You are on page 1of 4

Down Sindrom adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang

mengacu pada retardasi mental. anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21) sehingga informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami penyimpangan fisik. Dahulu orangorang dengan down sindrom ini disebut sebagai penderita mongolisme atau mongol. Istilah ini muncul karena penderita ini mirip dengan orang-orang Asia (oriental). Istilah sindrom ini sepertinya sudah usang, sehingga saat ini kita menggunakan istilah down sindrom. Angka kejadian down sindrom ini meningkat seiring pertambahan usia ibu waktu hamil, dimulai sejak umur 35 tahun (Kumala, 2007). Dukungan keluarga sangatlah dibutuhkan sebagai penopang anak berkebutuhan khusus ini. Kasih sayang yang diberikan oleh orangorang terdekat ini akan membantu anak down syndrome untuk mampu mengasah atau mengoptimalkan kemampuan yang mereka miliki sehingga anak down syndrome tidak selalu mendapat penolakan dari masyarakat karena dianggap merepotkan. Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak down sindrom. Baik perkembangan fisik maupun mental. Hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima keadaan anak dengan down sindrom. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down sindrom, sebagian besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu: sedih, rasa tak percaya, menolak, marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan bersalah (Selikowitz, 2001).
Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB), Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008). Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008). Dalam beberapa kasus,

terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down syndrome pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan down syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 01 Oktober 2012 di Sekolah Inklusi Aisyah Kota Mojokerto dengan tehnik wawancara pada keluarga anak down syndrome untuk mengetahui dukungan keluarga. Wawancara tentang dukungan keluarga meliputi dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penilaian/penghargaan. Dari 10 wawancara yang dilakukan dengan keluarga down syndrome 100% keluarga tidak memberikan dukungannya secara penuh kepada anak Down Syndrome.

Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan mereka. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab pada dasarnya keberhasilan program tersebut bukan hanya merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan yang terkait saja. Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari setiap anggota keluarga akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak dan remaja yang terbelakang mental untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan orang lain. Sebaliknya, penolakan yang diterima dari orang-orang terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta tergantung pada orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri. Terdapat dua kemungkinan sikap yang akan dimunculkan oleh anggota keluarga terhadap individu yang terbelakang mental, yaitu menerima atau menolak. Secara normatif, sebagian besar orang tentunya menyatakan telah menerima keberadaan mereka, sebab bagaimanapun mereka telah ditakdirkan menjadi bagian dari keluarga. Namun pada kenyataannya, respon penerimaan masing-masing individu tidaklah selalu sama. Respon inilah yang nantinya akan menjelaskan apakah mereka telah benarbenar menerima atau sebenarnya melakukan penolakan dengan cara-cara dan

perlakukan tertentu. Hal ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana pola sebuah keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan keberadaan individu yang berbeda tersebut. Dengan hasil yang diperoleh, peneliti berharap bahwa nantinya akan memperoleh gambaran yang nyata tentang sikap sosial dalam masyarakat terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental. Hal tersebut kemudian akan dijadikan dasar untuk merancang suatu langkah dalam membantu mengoptimalisasikan perkembangan individu yang memiliki kebutuhan khusus, terutama dengan menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan penuh dukungan yang dibutuhkan bagi kelancaran proses belajar dan aktivitas sosial mereka.

You might also like