You are on page 1of 6

FILSAFAT ILMU DAN SAINTISME Oleh: Sepri

Manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale), dengan berpikir manusia menjadi berbeda dengan makhluk hidup lainnya dengan berpikir pula manusia bisa melakkan bermacam-macam aktivitas demi sebuah peradaban. Pikiran menjadi sumber ensensial bagi manusia dalam mengolah sejumlah objek ataupun informasi. Namun demikian, proses berpikir manusia tidak serta merta menmukan bentuknya yang sublime (tertinggi) seperti sekarang ini. Sebelum abad 6 SM, pikiran manusia masih dipenuhi dengan mitos atau takhayul baru di kemudian hari di Miletos lahirlah para filsuf yang berusaha merasionalisasi pikiran manusia agar bergeser dari mitos kepada logos. Filsafat adalah dokter ampuh yang menyelamatkan manusia dari kekerdilan berpikir.

1. Sejarah Perkembangan Berpikir Manusia (dari MitorLogos-Ilmiah) Lahirnya filsafat mengubah wajah peradaban manusia, mitos menjadikan cara berpikir manusia menjadi monokausal, maksudnya segala sesuatu fenomena alam dikaitkan dengan kekuatan supranatural atau dewa-dewa tanpa menyelidiki batasan-batasan logis. Dengan logos (pengetahuan) manusia diajak memasuki dimensi baru yang lebih rasional dan memberikan mandat penuh pada kekuatan rasio untuk menyelidiki fenomena alam dalam batasanbatsan nyang logis. Dengan kata lain, rasio menjadi hakim bagi kebenaran yang logis. Namun kebebasan akal mendapat tantanagn baru pada abad pertengahan ketika gereja menjadi otoriter dan intoleran. Akal dilucuti dan manusia dibuat tidak berdaya dalam baying-bayang teologi. Teologi mengklaim sebagai ratu dari semua ilmu, akibatnya akan manusia menjadi mandul dan tidak produktif. Akal manusia mengalami semacam diskontinuitas (berhenti berproses), Diskontinuitas dalam pemikiran manusia jugalah yang menyebabkan apa yang disebut Aristoteles dalam bukunya Organon, sebagai de
1

sophisticis elenchis, yang berarti kesesatan atau kekeliruan berpikir. Sesat berpikir pada akhirnya membawa kepada degradasi peradaban, seperti yang telah terjadi pada zaman abad kegelapan, di mana akal ditundukkan dengan apa yang disebut sebagai iman. Ini terjadi saat pikiran manusia mengalami diskontinuitas, yang menyebabkan pikiran tersebut pada akhirnya menjadi keliru dan tersesat karena tidak lagi aktual dengan dunia dan peradaban yang senantiasa berubah Rene Descartes, yang dijuluki Bapak Filsuf Modern mengutarakan pemikiran yang tepat dalam hal ini: Aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Descartes mengungkapkan hakikat manusia yang adalah berpikir (res cogitans), sehingga ini secara tidak langsung bisa diartikan, saat manusia tidak lagi berpikir, maka manusia kehilangan hakikatnya sebagai manusia, bahkan keber-ada-annya. Selain Descartes, banyak filsfuf modern yang mencoba membebaskan akl dari penjara teologi. Milsanya David Hume ketika Hume mengajunrkan membakar semua buku teologia dan metafisika, karena dianggap mengerdilkan kedaulatan akal. Pengetahuan mencapai bentuknya yang diharapkan pada abad 19 melalui tradisi berpikir postivisme dengan August Comte penggagasnya. Comte memaparkan tesis fenomenal yang hingga kini menjadi dasar atau pijakan berpikir ilmiah melalui hukum tiga jenjang. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, di mana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.Adapaun hukum tiga jenjang yang merupakan tahapan berpikir sejarah manusia adalah sebagai berikut: Pertama, tahapan teologis. Tahap teologis atau yang sering disebut tahap mitos merupakan tahap di mana manusia masih mempercayai hal-hal mistik sehingga mereka tidak menanyakan sebab akibat dari gejala alam yang terjadi di sekitarnya. Misalnya terjadinya pelangi yang mereka anggap merupakan selendang bidadari, terjadinya petir yang dianggap dewa murka, dan lain sebagainya. Kedua, tahapan metafisik. Tahap metafisik merupakan tahap perpindahan antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang dapat ditemukan dengan akal budi. Jadi dalam masa ini, masyarakat telah
2

menggunakan nalar mereka kejadian alam yang ada.

untuk

menentukan logis

tidaknya

Ketiga, tahapan positivistic. Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak atau sering disebut dengan dinamis. Di sini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukumhukum yang bersifat uniformitas. Comte memastikan bahwa kebenaran ilmiah hanya berada pada tahapan positivistic. Positivistic menjadi dasar bagia muncul dan berkembangnya saintisme yang bebas dari pengandaian-pengandain adikodrati (ilahi). Di sini istilah rasional menemukan terminology baru yaitu bahwa rasionalitas hanya dibatasi pada keadaan atau argumentasi yang objektif, dapat diverivikasi. Peranan intersubjektivitas tidak diberi tempat sama sekali.

2. Langkah-Langkah Metode Ilmiah Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis: masuk akal, empiris: Dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan demikian ungkap Hillway. Semntara itu menurut Jujun Suriasumantri yang dimaksud dengan berpikir merupakan kegiatan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. metode berfikir ilmiah adalah prosedur, cara dan tekhnik memperoleh pengetahuan, serta untuk membuktikan benar salahnya suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya. Sebab fakta menunjukkan bahwa tidak semua ilmu pengetahuan yang ada dan yang dipakai manusia didapatkan tidak melalui metode atau pendekatan ilmiah. Metode Ilmiah ini adalah sebuah prosedur yang digunakan para ilmuan dalam pencarian kebenaran baru. Dilakukannya dengan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru, dan melakukan peninjauan kembali kepada pengetahuan yang telah ada. Tujuan dari penggunaan metode ilmiah yaitu agar ilmu berkembang dan tetap eksis dan mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Kebenaran dan kecocokan kajian ilmiah, akan terbatas pada ruang, waktu, tempat dan kondisi tertentu.
3

Gagasan Comte mirip dengan konsep Foucault seperti dikutip Haryatmoko di mana pengetahuan adalah cara tentang bagaimana ia menaklukkan setiap individu dengan pemaksaan diri, sehingga menimbulkan kesan bahwa subjek tidak andil sedikitpun di dalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan keilmiahan pengetahuan yang mandiri/netral. Secara umum langkah dari metode ilmiah tergambar dari skema berikut ini:

3. Metode Induksi Penggagas metode induksi yang terkenal adalah Francis Bacon. Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif. Dalam penggunaan metodenya Bacon sangat menekankan pada induksi-empiristik dan menjadikan metode ini sebagai satu-satunya metode ilmiah yang sah dalam pengembangan
4

ilmu. Ia menulis Novum Organum (Metode baru) sebagai tandingan terhadap logika Aristoteles yang terdapat dalam karya Organom. Pemikirannya tentang ilmu pengetahuan sangat terkenal pragmatis fungsional. Menurutnya ilmu hanya bermakna jika dapat diterapkan secara praktis. Nasr menulis: Bacon berperan penting dalam mempopulerkan sains baru yang lebih berperan sebagai pencarian kekuasaan yang mendominasi alam (power to dominate nature) daripada memahami alam sehingga berakibat pada pemaksaan alam untuk melayani kepentingan manusia. Dalam segala bentuknya yang lebih khusus induksi merupakan persoalan generalisasi empiris, yakni kita berargumen bahwa karena sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus yang diamati, besar kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus khusus), tetapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi rasional kita mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan kesimpulan dengan induksi sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita menggunakannya untuk menyimpulkan apa yang belum kita amati. Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai datadata partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu: a) Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular, kemudian mengungkapnya secara umum. b) Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan. 4. Kesimpulan Metode ilmiah di satu sisi menjaikan kebanaran factual karena melalui prose yang bersifat empiric dan dapat diverifikasi. Namun pengetahuan dan kebenaran bukan saja terkait dengan objektivitas melainkan juga intersubjektivitas. Habermas berjasa besar dalam
5

mendudukan ilmu pengetahuan dan manusia. Metode ilmiah dan prinsip berkerja secara induktif hanya mungkin bila ditempatkan dalam kerangka kerja ilmu-ilmu alam dan bukan pada kajian tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang dinamis, sehingga metode ilmiah tidak tepat menggambarkan tentang sejarah manusia. Manusia hanya mungkin didekati dengan metode hermeneutic yang memungkinkan berbagai tafsiran terhadapnya.

Kepustakaan Bakker, Anton., dan Zubari, Achmad Charis., Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisisus, 1990. Hardiman, Budi., Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Heriyanto, Husain., Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta: TERAJU, 2003. Laer, Henry Van., Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, Yogyakarta: LPMI, 1995. Magnis Suseno, Franz., Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005 Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

You might also like