You are on page 1of 52

BAB I PENDAHULUAN

Program magang adalah suatu kegiatan pembelajaran di lapangan yang bertujuan untuk memperkenalkan dan menumbuhkan kemampuan mahasiswa dalam dunia kerja nyata. Pembelajaran ini terutama dilaksanakan melalui hubungan yang intensif antara peserta program magang dan tenaga pembinanya di

instansi/perusahaan Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan memiliki peran yang sangat besar dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan daya saing bangsa. Agar peran yang strategis dan besar tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka lulusan perguruan tinggi haruslah memiliki kualitas yang unggul Dalam masa ini, seorang mahasiswa bukan hanya dituntut berkompeten dalam bidang kajian ilmunya tetapi juga dituntut untuk memiliki kompetensi yang holistik seperti: mandiri; mampu berkomunikasi; memiliki jejaring (networking) yang luas; mampu mengambil keputusan; peka terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di dunia luar, dan lain-lain Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa mahasiswa dengan kualifikasi tersebut sulit ditemukan, untuk hal tersebut maka dibutuhkan sebuah program magang sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Bengkulu untuk memperoleh berbagai kompetensi holistik yang dibutuhkan setelah menyelesaikan pendidikan.

Kegiatan magang mahasiswa bertujuan untuk : 1. Memberikan keterampilan kerja, pengalaman praktek kerja serta

bersosialisasi dan berinteraksi dalam dunia kerja 2. Memberikan pengetahuan prosedur pelayanan baik secara formal dan yuridis yang menjadi dasar pijakan untuk melaksanakan

dasar-dasar

aktifitas/operasional suatu instansi 3. Mengenal instansi/institusi yang menangani masalah-masalah tertentu

dengan baik secara berjenajang (dari unit terbaah sampai unit yang tertinggi) 4. Dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab serta mengenal

dunia kerja sebelum mahasiswa tersebut masuk ke pasar kerja yang sesungguhnya. Berdasarkan surat keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Bengkulu Nomor: 26/J30.1.11/Hk/2004 Tanggal 13 November 2011, kegiatan magang mahasiswa fakultas hukum dibagi ke dalam tiga bentuk/jenis yaitu : 1. Magang perkantoran, yaitu bekerja ditempatkan

di kantor pada dinas pemerintah atau perusahaan swasta atau LSM 2. Magang di daerah dan kelompok masyarakat

bermasalah, yaitu kegiatan magang mahasiswa yang ikut memformulasikan serta menyelesaikan konflik masal di suatu daerah

3.

Magang kerja institusional yaitu; magang

mahasiswa yang dilakukan pada beberapa instasi pemerintah pusat dan atau lembaga-lembaga tinggi negara maupun instansi swasta di Jakarta. Berkenaan dengan surat keputusan dekan fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu Nomor: /j30.1.11/hk/2004 tanggal 13 November 2011 sepakat untuk melaksanakan kegiatan magang jenis/bentuk ke-tiga yaitu magang institusional di beberapa lembaga tinggi negara di Jakarta. Magang institusional pada tahun 2012 di lakukan DI Lembaga-lembaga tinggi yang menjadi objek magang institusional antara lain: MK, KY, KPK, DPD, KEJAGUNG, KPPU Dalam laporan magang ini penulis akan membahas secara lebih lanjut dan spesifik tentang Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahanperubahan yang mendasar stas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance sebagai pengganti system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar serta perlu dilembagakannya

peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusankeputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip, The Rule of Majority. Karena itu, fungsi-fungsi Judicial Review atas konstitusionalitas UndangUndang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan / Wakil Preseiden dikaitkan dengan fungsi MK. Disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul dan tidak dapat diseleseaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa Pemilu dan tuntutan pembubaran suatu partai politik. Perkara-perkara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika system politik demokratis yang dijamin oleh UUD 1945.

BAB II DISKRIPSI INSTITUSI

A. Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan

kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.

B. Komisi Yudisial Komisi yudisial berperan penting dalam menegakkan kode etik profesi hakim yang membuat dunia peradilan kita di indonesia ini buruk. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya harus dapat mengambil tindakan yang tegas bagi hakim-hakim Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri, yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Yakni Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Hal ini diatur dalam Undang-Undang NO.22 TH 2004 tentang Komisi Yudisial.

C. Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002

mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin oleh Plt Ketua Tumpak Hatorangan Panggabean. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

D. Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum. Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah 132 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini. Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.

E. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha KPPU adalah lembaga penegak hukum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KPPU, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain,

KPPU berfungsi menyusun peraturan pelaksanaan dan memeriksa berbagai pihak yang diduga melanggar UU No.5/1999 tersebut serta memberi putusan mengikat dan menjatuhkan sanksi terhadap para pelanggarnya. KPPU adalah komisi negara. KPPU bertanggung jawab kepada Presiden dan melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Pewakilan Rakyat. Komisi yang diresmikan pada 7 Juni 2000 ini terdiri atas sebelas anggota termasuk seorang Ketua dan Wakil Ketua yang pengangkatannya atas persetujuan DPR, dengan masa jabatan selama lima tahun. KPPU turut berperan mewujudkan perekonomian Indonesia yang efisien melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, yang menjamin adanya kepastian berusaha. Pengawasan pelaksanaan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan KPPU dimaksudkan untuk mewujudkan perekonomian Indonesia yang efisien melalaui penciptaan iklim usaha yang kondusif, yang menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha. Dengan tujuan yang sama, KPPU juga berupaya mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Upaya KPPU menjamin agar setiap orang yang berusaha di Indonesia berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku ekonomi tertentu. Kesempatan berusaha yang terjaga akan membuka lebar kesempatan konsumen untuk mendapatkan pilihan produk yang tak terbatas, yang memang menjadi hak mereka. Berjalannya kehidupan ekonomi yang menjamin keseimbangan antara

kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum ini pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

10

BAB III PEMBAHASAN

A. 1.

Komisi Yudisial Secara Umum Pengertian KY Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri, yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Yakni Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Hal ini diatur dalam UndangUndang NO.22 TH 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung. Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

11

keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam UndangUndang Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu, keberadaan Komisi Yudisial pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah wewenang sumir yang seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi

(constitutionally based power). Meskipun demikian, Komisi Yudisial masih terselamatkan oleh hadirnya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur pengawasan Komisi Yudisial. Tulisan ini bermaksud mendiskusikan beberapa aspek penting Komisi Yudisial setelah gagasan-gagasan pada tingkat konstitusi diimplementasikan dan tentunya setelah Mahkamah Konstitusi mengamputasi kewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Penguatan Komisi Yudisial,

12

independensi hakim versus akuntabilitas publik, dan pemeriksaan putusan hakim adalah tiga hal yang menjadi perhatian utama tulisan ini.

2.

Sejarah Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis

Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

13

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004. Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.

3. Pernyataan

Visi Dan Misi VISI adalah perwujudan harapan tertinggi yang

diupayakan untuk terwujud dengan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia di Komisi Yudisial melalui serangkaian tindakan yang dilakukan secara terus menerus berdasarkan amanat konstitusi dan UndangUndang. Visi Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Terwujudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan, dan profesional. Pernyataan MISI adalah komitmen, tindakan, dan semangat sehari-hari seluruh sumber daya manusia di Komisi Yudisial yang diarahkan untuk mencapai VISI Komisi Yudisial.

14

Misi Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: 1. Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur,

berani dan kompeten. 2. Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan

yang mengabdi dan menegakkan hukum dan keadilan. 3. Melaksanakan pengawasan penyelenggara kekuasaan

kehakiman yang efektif, terbuka dan dapat dipercaya

4. a. 1.

Landasan Hukum UUD 1945 Pasal 23 A ayat 3

Calon hakim agung diusulkan komisi yudisial kepada dewan perwakilan rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. 2. i. Pasal 24 B Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

15

ii.

Anggota Komisi Yudisial

harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. iii. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat. iv. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang. b. a. i. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 34: Ayat 1 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan UndangUndang ii. Ayat 3

Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh komisi yudisial yang diatur dalam Undang-Undang. c. Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

5.

Tujuan Komisi Yudisial:

16

a. Agar

dapat

melakukan

monitoring

secara

intensif

terhadap

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat. b. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekruitmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim. c. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. d. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.

6.

Wewenang, Tugas, Pertanggung jawaban dan Laporan Dalam posisinya sebagai lembaga negara yang baru, perlu dan untuk

tujuan memberi informasi kepada masyarakat kiranya dalam tulisan ini dikemukakan juga secara singkat mengenai kedudukan, wewenang dan tugas Komisi Yudisial. Mengenai kedudukan dari Komisi Yudisial dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi

17

Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional. Berkaitan dengan itu, menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah: a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan

Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan b. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

18

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka jelaslah mengenai kedudukan, wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang mandiri yang salah satu kewenangannya adalah melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara Ringkas Wewenag, tugas dan pertanggung jawaban Komisi Yudisial adalah Sebagai Berikut a. Wewenang Komisi Yudisial: Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. b. 1. Tugas Komisi Yudisial: Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung

Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. 2. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat

Serta Perilaku Hakim

19

Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim, Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

c.

Pertanggungjawaban dan Laporan Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR,

dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.

B. 1.

Struktur Organisasi Struktur Organisasi Sekertaris Jendral

20

2.

Struktur Organisasi Biro Umum

21

22

3. Hakim

Struktur Organisasi Biro Pengawasan

23

4. Penghargaan

Struktur Organisasi Biro Seleksi &

24

5. Pelayanan Informasi

Struktur Organisasi Pusat Data &

25

6. Pengendalian Internal

Struktur Organisasi Biro Investigasi &

C.

Pembentukan Dan Penguatan Komisi Yudisial Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, Komisi Yudisial dibentuk

berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan

26

bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Buku Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat menggarisbawahi, Pasal 24B Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun 1945 ini hadir karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. Pengaturan Komisi Yudisial di dalam konstitusi ini dianggap tepat oleh beberapa kalangan, mengingat ide dasar dari pembentukan Komisi Yudisial adalah bahwa pengadilan telah menjadi lembaga yang diyakini sangat korup

27

(judicial corruption) dan penuh dengan praktik-praktik yang sangat mencederai nilai-nilai keadilan, seperti memperdagangkan perkara yang telah terjadi secara sistematis, sehingga muncul istilah mafia peradilan. Praktik-praktik tersebut semakin menggejala ketika pengawasan internal tidak mampu mengendalikannya dengan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Komisi Yudisial kemudian dibentuk dengan semangat untuk mengembangkan sistem pengawasan eksternal Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan represif sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang muncul dari frasa ... mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana didesain oleh Pasal 24B. Dengan latar belakang demikian, pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDNRI Tahun 1945 sudah tepat dan cukup, sehingga sebenarnya UUDNRI Tahun 1945 telah memberikan landasan konstitusional yang cukup bagi efektivitas kinerja sebuah lembaga yang diidealkan akan menjadi pengawas eksternal. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam UUDNRI Tahun 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah

28

adanya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 005/PUU-IV/2006, yang

diucapkan 23 Agustus 2006. Hal ini, diakui ataupun tidak, merupakan akibat dari tidak maksimalnya penormaan pada tingkat undang-undang yang merupakan atribusi langsung dari Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 Patut disayangkan memang, Komisi Yudisial sebagai organ konstitusional (constitutionally based power) yang diharapkan dapat membereskan persoalan pengawasan hakimselain berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung harus menerima kenyataan pahit bahwa wewenang pengawasan tidak dapat diimplementasikan sesuai amanat konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalitas payung hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20, pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan yang diputus bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan pasalpasal inti (core provisons) Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi mempunyai

29

wewenang pengawasan. Dengan demikian, berdasarkan putusan tersebut, saat ini tidak ada lagi ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim. Singkatnya, saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang pengawasan eksternal hakim. Memang, saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung an Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur pengawasan Komisi Yudisial. Akan tetapi, hal ini belum terasa cukup untuk menjadi payung hukum keberadaan fungsi pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini mengingat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga mengamanatkan adanya revisi atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang hingga saat tulisan ini dibuat belum ada tanda-tanda kemauan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk membuat persetujuan bersama atas Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu, keberadaan Komisi Yudisial pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR, sebuah wewenang sumir yang seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi

30

(constitutionally based power). Dengan adanya putusan tersebut, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas pernah menyatakan bahwa Komisi Yudisial belakangan ini mengalami keterbatasan ruang gerak dalam mengawasi perilaku hakim, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir beberapa kewenangan Komisi Yudisial. Secara akademis, putusan itu masih dapat diperdebatkan di ruang wacana. Akan tetapi, sebagai sebuah putusan pengadilan putusan Mahkamah Konstitusi berada dalam jangkauan asas res judicata pro veritate habetur atau de inhoud van het vonnis geld als waard (apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar). Celakanya, pembentuk undang-undang (de wetgever), Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, tidak memiliki sensitivitas politik dan dukungan politik yang cukup untuk menyelamatkan Komisi Yudisial dengan merevisi Undang-Undang Komisi Yudisial sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Komisi Yudisial di sebuah negara dengan segenap kewenangan yang diberikan kepadanya tentu sangat ditentukan oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Oleh karena itu, tidak ada kesamaan Komisi Yudisial di suatu negara dengan Komisi Yudisial di negara lain. Terkait hal itu, beberapa persoalan yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan, fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan, dan mekanisme pengawasan Komisi Yudisial harus mendapatkan penjelasan yang

31

memadai. Pada titik ini penulis ingin mengemukakan beberapa hal terkait dengan penguatan Komisi Yudisial di masa yang akan datang. Pertama, dalam perspektif hukum tata negara, secara kelembagaan, Komisi Yudisial dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki keunikan jika dibandingkan dengan komisi lain. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan yang diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 22E ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Selain itu, berbeda dengan komisikomisi yang lain, Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam pengertian sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUDNRI Tahun 1945. Pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDNRI Tahun 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum yang salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai

32

seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam kerangka inilah Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 hadir dan mengamanatkan terbentuknya lembaga yang disebut Komisi Yudisial. Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 cenderung lebih menempatkan Komisi Yudisial sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparring partner) yang selain mencari kesalahan juga bisa memberikan penghargaan terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan kesejahteraannya. Selain

mengusulkan pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 hanya memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang didesain secara tidak maksimal oleh Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga akhirnya dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Ini berbeda dengan konstitusi Italia, misalnya, selain berwenang melakukan pengangkatan dan pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim. Jadi, peran Komisi Yudisial sebenarnya tidak hanya di ranah preventif-represif, tetapi juga konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara nomenklatur untuk Komisi Yudisial adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial Service

33

Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur dalam konstitusi kita. Semestinya Undang-Undang Komisi Yudisial perbaikan kelak dapat mengatur fungsi ini. Meskipun demikian, dengan berpijak pada kenyataan bahwa mengubah konstitusi tidak mudah, kelemahan-kelemahan pengaturan pada tingkat konstitusi dapat diminimalisasi dampaknya apabila pengaturan pada tingkat undang-undang dapat menerjemahkan kedudukan, wewenang, dan tugas Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, saat tulisan ini dibuat, terdapat momentum berupa revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUUIV/2006. Beberapa pihak menginginkan agar Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan sekedar kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Perluasan kewenangan yang patut mendapat pertimbangan adalah mutasi dan promosi hakim. Di negara-negara yang memberikan kewenangan secara terbatas terhadap Komisi Yudisial pun mengenal adanya kewenangan mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh, kewenangan ini dimiliki oleh Komisi Yudisial di negaranegara Eropa Selatan semacam Prancis, Italia, Spanyol, dan Potugal.

34

D. Hakim.

Peran Komisi Yudisial terhadap Eksternal terhadap

Praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan terus berlangsung, perlu dilakukan upaya-upaya yang luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang sungguh-sungguh dapat menjamin masyarakat dan pencari keadilan memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan. Disadari bahwa terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas, disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak terbantahkan, bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: a. b. Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan,

35

c.

Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan

untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), d. Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang

mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, e. Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga

penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat pengampunan dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan, sehingga tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial. Sebagai lembaga negara yang lahir dari tuntutan reformasi (reformasi hukum) dan berwenang

36

untuk melakukan reformasi peradilan, terutama dalam posisinya sebagai lembaga pengawas eksternal, tidak mungkin Lembaga Negara ini membiarkan terus terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan. Jadi, apabila dipahami spirit dan orientasinya tidak berlebihan bahkan sejalan dengan tuntutan konstitusi dan semangat reformasi peradilan apabila Komisi Yudisial melakukan langkah-langkah dan strategi yang progresif dan proaktif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim seperti menyusun dan mengusulkan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM. Draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tersebut semata-mata bertujuan untuk mengatasi berbagai penyalahgunaan wewenang badan peradilan, memulihkan kewibawaan badan peradilan, serta memulihkan kepercayaan masyaratakat dan pencari keadilan terhadap hakim sebagai penyelenggara utama fungsi pengadilan. Semua pihak, terutama para pihak yang terlibat dalam upaya penegakan hukum dan pengawal reformasi hukum (reformasi peradilan) harus memahami dengan benar, bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang secara hukum dan konstitusional diberikan amanat dan mempunyai tanggungjawab untuk memulihkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan dan hakim melalui fungsi pengawasan (pengawas eksternal) yang dimilikinya. Dalam kerangka itu, sepatutnya semua pihak yang mempunyai niat

37

yang tulus dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, terutama dalam rangka reformasi peradilan mendukung setiap upaya Komisi Yudisial, agar dalam pelaksanaan wewenangnya dapat efektif. Mengingat peranan penting dari pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, maka terciptanya pengadilan yang merdeka, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan. Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim agung dan hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya sangat memerlukan pengawasan yang efektif. Melalui putusannya, seorang hakim misalnya: dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan

memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat

38

besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara efektif, hakim tentu membutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Hanya dengan adanya kepercayaan itulah pengadilan dapat menyelesaikan perkara melalui jalur hukum dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pembuktian bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum serta menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten. Oleh karenanya, dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu, maka hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan, harus mempunyai komiten, tekad, dan semangat dalam membersihkan badan peradilan dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang dalam rangka memulihkan kewibawaan badan peradilan dan upaya memulihkan kepercayaan masyarakat kepada hakim. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Karena itu setiap hakim harus menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

39

hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi meliputi pengawasan yang bersifat preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Huruf b, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Mengenai fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, diperkuat juga oleh ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 34 Ayat (3) menentukan bahwa: Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undangundang. Hal ini sekaligus mempertegas eksistensi dan fungsi Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim agung dan hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya. Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan

40

peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, maka bukan hanya kepastian hukum dan keadilan yang dapat diwujudkan, tetapi juga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim pun terpelihara Oleh karena itu, sifat hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta merupakan sifat-sifat yang harus ditumbuhkembangkan dan diwujudkan secara nyata dalam tindakan dan perilaku hakim agar senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, serta menjunjung tinggi kejujuran. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah landasan dari semua prinsipprinsip dalam pedoman perilaku hakim. Ketaqwaan berarti percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan percayaannya masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini mampu mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Disadari bahwa hakim dalam melaksanakan wewenang dan tugas tidak terlepas dari berbagai kepentingan dari berbagai pihak. Keadaan yang demikian itu, tentu rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim yang demikian itu dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya

41

seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yudisialnya. Dalam menghadapi keadaan yang demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan tugasnya. Oleh karena itu, keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangatlah penting. Hal ini maksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Untuk itu diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim, yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung. Melalui lembaga pengawas eksternal tersebut aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika

42

kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan dalam menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela. Sejalan dengan fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu, hakim dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kehormatan adalah kemulian atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para Hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh

43

hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat dijaga dan ditegakkan. Sedangkan keluhuran menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan, atau profesi hakim adalah suatu officium nobile. Bila suatu profesi terdiri dari aspek-aspek (1) organisasi profesi yang solid, (2) standar profesi, (3) etika profesi, (4) pengakuan masyarakat, dan (5) latar belakang pendidikan formal, maka suatu profesi officium nobile terutama berlandaskan etika profesi dan pengakuan masyarakat. Sedangkan martabat menunjukkan tingkat hakekat kemanusiaan, sekaligus harga diri. Beranjak dari apa yang diuraikan, jelaslah bahwa Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya mendorong dan menciptakan hakim untuk selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran, keadilan, dan kode etik dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya. Untuk itu tentu saja para hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional, sehingga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim terjaga dan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan pencari keadilan.

44

BAB IV PENUTUP

A.

Kesimpulan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang mandiri berwenang mengawasi

(lembaga pengawas eksternal) terhadap hakim yaitu hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik, yang bersifat preventif sampai dengan yang bersifat represif bertujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kehadiran Komisi Yudisial antara lain disebabkan tidak efektifnya pengawasan internal yang ada di badan peradilan dan tidak adanya kehendak yang kuat dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal sangat penting dan menuntut hakim untuk selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran, integritas, kode etik, dan keadilan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, demi terpeliharanya kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

45

B.

Saran

Berdasarkan pelaksanaan Magang Kerja Institusional yang telah penulis laksanakan, maka penulis menyarankan : 1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan hakim, Komisi Yudisial harus memperhatikan putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. 2. Dalam menjaga dan menegakkan keluhuran

martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela. 3. Penulis juga menyarankan untuk

menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.

46

DAFTAR PUSTAKA

Buku: Huda, Nimatul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Grafindo, Jakarta hal. 275 Assiddhiqie, jimy.2004. Konstitusi & konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Diterbitkan Atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat study HTN FH Universitas Indonesia. ,kata pengantar dalam Buku A.Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & reformasi Peradilan (jakarta : ELSAM, 2004). Ridwan indra, Muhammad.1987. Kedudukan Lembaga-lembaga negara dan hak menguji Menguji menurut UUD 1945. Jakarta. Sinar Grafika. Ranadireksa, Hendarmin, visi bernegara Arstektur Konstitusi Demokratik, bandung.2007. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Undang-Undang Nomor 18 Republik Tahun Indonesia 2003 Tahun 1945 Advokat

tentang

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengawasan Hakim. Website

47

id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Yudisial oleh.annida.harid.web.id/?p=466

Dasar

Hukum

komisi

Yudisial

www.djpp.depkumham.go.id/.../597-desain-konstitusional-komisi-yudisial-dalamsistem-ketatanegaraan-indonesia.ht

LAMPIRAN

48

49

50

51

52

You might also like