You are on page 1of 27

20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Partisipasi Keikutsertaan warga negara atau masyarakat dalam suatu kegiatan politik,

tidak terlepas dengan adanya partisipasi politik dari masyarakat. Dimana masyarakat merupakan faktor terpenting dalam menentukan pemimpin

pemerintahan baik di tingkat pusat sampai pada tingkat terendah yakni desa. Maka dari itu penulis akan menguraikan definisi partisipasi yang menurut Inu Kencana Syafiie, dalam bukunya yang berjudul Sistem Pemerintahan Indonesia, sebagai berikut : Partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorang individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban bersama (Syafiie, 2002: 132). Berdasarkan pendapat di atas maka partisipasi merupakan faktor terpenting dalam setiap sikap yang dilakukan oleh seseorang atau individu baik dalam suatu organisasi, yang pada akhirnya dapat mendorong seseorang tersebut mencapai tujuan yang akan dicapai oleh organisasinya dan mempunyai tanggungjawab bersama dari setiap tujuan tersebut. Selain itu Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul Memahami Ilmu Politik memberikan definisi bahwa: Partisipasi merupakan salah salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan

21

mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik (Surbakti, 1992: 140). Bertolak dari pendapat di atas, dapat dikatakan partisipasi merupakan salah satu aspek terpenting dalam suatu pelaksanaan demokrasi. Dimana pelaksanaan demokrasi dapat menentukan keputusan politik yang akan dibuat dan dilaksanakaan pemerintah serta dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Menurut Hutington yang dikutip dari Soemarsono dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Politik yang dimaksud dengan partisipasi adalah: Partisipasi itu dapat bersifat perorangan atau secara kelompok, diorganisasikan atau secara spontan, ditopang atau sporadis, secara baik-baik atau dengan kekerasan, legal atau tidak legal, aktif atau tidak aktif (Hutington dalam Soemarsono, 2002:4.4). Bertolak dari pendapat di atas yang di maksud dengan partisipasi yaitu: partisipasi pada umumnya bersifat perorangan atau kelompok yang dibentuk dalam suatu organisasi secara baik-baik tanpa adanya kekerasan dalam bentuk apapun.

2.2

Partisipasi Politik Pelaksanaan partisipasi dari warga negara/masyarakat dalam salah satu

contoh keputusan yang dibuat oleh pemerintah yakni pemilihan umum di tingkat pusat dan di tingkat desa disebut pemilihan kepala desa. Pemilihan kepala desa tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak adanya partisipasi politik dari masyarakat. Definisi partisipasi politik itu sendiri menurut Hutington dan Nelson yang dikutip dari Inu Kencana dalam bukunya yang berjudul Sistem Pemerintahan Indonesia, yaitu: Partiasipasi politik adalah Kegiatan warga

22

Negara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah (Kencana, 2002: 132). Selanjutnya penulis akan mendefinisikan partisipasi politik menurut Miriam Budiardjo yang dikutip dalam bukunya Deden Faturahman dan Wawan Sobari yang berjudul Pengantar Ilmu Politik yaitu: Partisipasi politik adalah Kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) (Budiardjo dalam Faturahman dan Sobari, 2004:185). Berdasarkan pendapat di atas, kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang ikut aktif dalam politik dengan memilih pemimpin negara baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi semua kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga seseorang atau sekelompok orang yang aktif tersebut merupakan faktor terpenting dari semua kegiatan politik dalam menentukan pemimpin negara atau pemimpin pemerintahan. Menurut Soemarsono dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Politik yang dimaksud dengan: Partisipasi politik pada hakekatnya sebagai ukuran untuk mengetahui kualitas kemampuan warga negara dalam menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan (kebijaksanaan dalam mensejahterakan masyarakat sekaligus langkah-langkahnya) ke dalam simbol-simbol pribadi. Atau dengan perkataan lain, partisipasi politik adalah proses memformulasikan ulang simbol-simbol-simbol komunikasi berdasarkan tingkat rujukan yang dimiliki baik secara pribadi maupun secara kelompok (individual reference, social references) yang berwujud dalam aktivitas sikap dan prilaku (Soemarsono, 2002:4.5).

23

Bertolak dari pendapat di atas bahwa formulasi simbol-simbol merupakan faktor terpenting dalam komunikasi baik dilihat secara pribadi maupun secara kelompok. Sedangkan menurut Michael Rush dan Philip Althoff dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Politik bahwa Partisipasi politik ialah: keterlibatan individu sampai pada bermacammacam tingkatan di dalam sistem politik. Yang termasuk dalam sistem politik tersebut antara lain: Menduduki jabatan politik atau administratif, Mencari jabatan politik atau administrasi, Keanggotaan aktif suatu organisasi politik, Keanggotaan pasif suatu organisasi politik, Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik, Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik, Partisipasi dalam rapat umum, kampaye, dan sebagainya, Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik, Voting/ Pemberian Suara (Rush dan Althoff: 1992: 124). Bertolak dari pendapat di atas, keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam semua sistem politik, yang berupa hierarki partisipasi yang dapat dilihat dalam menduuki jabatan poitik, mencari jabatan politik, ikut menjadi anggota aktif suatu organisasi, menjadi anggota pasif suatu organisasi politik, ikut dalam rapat umum, ikut dalam diskusi politik maupun pemberian suara saat pemilihan baik pemilihan umum di tingkat pusat maupun pemilihan umum di tingkat pemerintahan terkecil yaitu desa. Sementara itu menurut Rafael Raga Maran dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Politik bahwa: Partisipasi politik sebagai usaha yang terorganisir oleh para warga negara untuk memilih pemimpin-pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalanya kebijaksanaan umum. Usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara. Dalam hal ini, partisipasi politik berbeda dengan mobilisasi politik, yaitu usaha pengerahan masa oleh golongan elite politik untuk mendukung kepentingan-kepentingannya (Maran, 1999:147).

24

Berdasarkan pendapat di atas, partisipasi politik sebagai usaha yang terorganisir atau tersusun rapi oleh warga negara atau masyarakat dalam memilih semua pemimpin-pemimpin yang akan menduduki pemerintahan serta dapat berpengaruh pada semua kebijaksanaan umum. Dalam hal ini partisipasi politik bukan merupakan mobilisasi politik yang dapat menggerakkan masyarakat yang diinginkan para elit politik, sehingga dapat mendukung semua keinginankeinginan dari para elit politik tersebut. Selanjutnya penulis akan mendefinisikan partisipasi politik menurut Kevin R. Hardwick yang dikutip dalam bukunya Deden Faturahman dan Wawan Sobari yang berjudul Pengantar Ilmu Politik yaitu: Political participation concerns the manner in which citizen interact with government, citizens attempt to convey their needs to public officials in the hope of having these needs met( Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga Negara berinteraksi dengan pemerintah, warga Negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingankepentingan tersebut) ( Faturohman dan sobari, 2004:185). Menurut pendapat di atas, partisipasi politik merupakan usaha dari warga negara untuk mempengaruhi pemimpin pemerintahan serta adanya interaksi warga negara dengan pemerintah dalam menyampaikan semua kepentingan atau keinginan yang dibutuhkan oleh warga negara yang disampaikan pada pemerintah, sehingga kepentingan atau keinginan tersebut dapat terlaksana. Menurut Myron Weiner yang dikutip dalam bukunya Mochtar Masud dan Colin Mac Andrew dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Sistem Politik, paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi lebih luas dalam proses politik ini antara lain:

25

1. Modernisasi, komersisialisasi pertanian, industrrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media komunikasi massa. Ketika penduduk kota baru yang buruh, pedagang mempengaruhi nasib mereka sendiri, mereka

makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik. 2. Perubahan-perubahan Struktur Kelas Sosial, begitu bentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. 3. Pengaruh kaum Intelektual dan Komunikasi massa Modern; kaum intelektual, sarjana, filsof, pengarang dan wartawan sering mengemukakan ide-ide seperti egalitarisme dan nasioalisame kepeda masyarakat umum untuk membangkitkan tuntutan akan partisipasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik. 4. Konflik di antara Kelompok-Kelompok pemimpin politik; kalau timbul kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berhadapan adalah mencari dukungan rakyat. 5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial ekonomi dan kebudayaan; perluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang

kebijaksanaan baru biasanya berarti bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintahan menjadi semakin menyusup ke segala segi kehidupan sehari-

26

hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah yang mungkin dapat ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutantuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. (Myron dalam Machtar Masud & Colin mac Andrew 1985: 42-45)

2.2.1

Dimensi partisipasi Politik Adapun dimensi partisipasi yang dapat mempengaruhi partisipasi politik

masyarakat dalam pemilihan umum seperti yang dikemukakan oleh James Rosenau yang dikutif dalam bukunya Jalaluddin Rakhmat yang berjudul Komunikasi Politik Khalayak dan Efek antara lain: (1) Gaya partisipasi (2) Motif partisipasi (3) Konsekuensi partisipasi seorang dalam politik ( Rakhmat: 2000:127) (1) Gaya partisipasi Gaya mengacu kepada baik apa yang dilakukan maupun bagaimana ia melakukan sesuatu kegiatan. Seperti gaya pembicaraan politik (antara singkat dan bertele-tele), gaya umum partisipasi pun bervariasi. Adapun yang termasuk dalam gaya partisipasi sebagai berikut:

27

a. Langsung/wakilan, Orang yang melibatkan diri sendiri (actual) dengan hubungan yang dilakukan terus-menerus dengan figur politik dengan cara menelepon, mengirim surat, dan mengunjungi kantor pemerintah. Yang lain bertindak terhadap politikus, tetapi tidak bersama mereka, misalnya mereka memberikan suara untuk memilih pejabat pemerintah yang belum pernah dilihat atau ditemuinya b. Kentara/tak kentara, Seseorang mengutarakan opini politik, hal itu bisa meningkatkan

kemungkinan diperolehnya keuntungan material (seperti jika mendukung seorang kandidat politik dengan imbalan diangkat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan). c. Individual/kolektif Bahwa tekanan dalam sosialisasi masa kanak-kanak, terutama dalam kelaskelas pertama sekolah dasar, adalah pada gaya partisipasi individual (memberikan suara, mengirim surat kepada pejabat, dsb). Bukan pada memasuki kelompok terorganisasi atau pada demontrasi untuk memberikan tekanan kolektif kepada pembuatan kebijakan. d. Sistematik/acak Beberapa individu berpartisipasi dalam politik untuk mencapai tujuan tertentu, mereka bertindak bukan karena dorongan hati, melainkan berdasarkan perhitungan, pikiran, perasaan, dan usul mereka utnuk melakukan sesuatu bersifat konsisten, tidak berkontradisi, dan tindakan mereka kesinambungan dan teguh, bukan sewaktu-waktu atau dengan intensitas yang berubah-ubah.

28

e. Terbuka/Tersebunyi Orang yang mengungkapkan opini politik dengan terang-terangan dan tanpa ragu-ragu, dan yang menggunakan berbagai alat yang dapat diamati untuk melakukannya, bergaya partisipasi terbuka. f. Berkomitmen/ Tak berkomitmen Warga negara berbeda-beda dalam intensitas partisipasi politiknya. Orang yang sangat mendukung tujuan, kandidat, kebijakan, atau program bertindak dengan semangat dan antusias; ciri yang tidak terdapat pada orang yang memandang pemilihan umum hanya sebagai memilih satu orang dengan orang lain yang tidak ada bedanya. g. Derita/kesenangan Seseorang bisa menaruh perhatian politik dan melibatkan deritanya karena kegiatan politik itu sendiri merupakan kegiatan yang menyenangkan. Yang lain ingin mencapai sesuatu yang lebih jauh dari politik melalui partisipasi.

(2) Motif partisipasi Berbagai faktor meningkatkan atau menekan partisipasi politik. Salah satu perangkat faktor itu menyangkut motif orang yang membuatnya ambil bagian. Motif-motif ini, seperti gaya partisipasi yang diberikannya berbeda-beda dalam beberapa hal sebagai berikut:

29

a. Sengaja/tak sengaja Beberapa warga negara mencari informasi dan berhasrat atau menjadi

berpengetahuan,

mempengaruhi

suara

legislator,

mengarahkan

kebijaksanaan pejabat pemerintahan b. Rasional/emosional Orang yang berhasrat mencapai tujuan tertentu, yang dengan teliti mempertimbangkan alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, dan kemudian memilih yang paling menguntungkan di pandang dari segi pengorbanan dan hasilnya disebut bermotivasi rasional. c. Kebutuhan psikologis/sosial Bahwa kadang-kadang orang memproyeksikan kebutuhan psikologis mereka pada objek-objek politik misalnya, dalam mendukung pemimpin politik karena kebutuhan yang mendalam untuk tunduk kepada autoritas, atau ketika memproyeksikan ketidakcukupannya pada berbagai kelas musuh politik yang dipersepsi-minoritas, negara asing, atau politikus dari partai oposisi. d. Diarahkan dari dalam/dari luar Perbedaan partisipasi politik yang dengan motivasi batiniah dan motivasi sosial untuk berpartisipasi politik. e. Berpikir/tanpa berpikir Setiap orang berbeda dalam tingkat kesadarannya ketika menyusun tindakan politik. Perilaku yang dipikirkan meliputi interpretasi aktif dari tindakan seseorang dan perkiraaan konsekuensi tindakan itu terhadap dirinya dan orang lain.

30

(3) Konsekuensi partisipasi seorang dalam politik Partisipasi politik yang dipikirkan dan interpretatif dibandingkan dengan jenis yang kurang dipikirkan dan lebih tanpa disadari menimbulkan pertanyaan tentang apa konsekuensi partisipasi bagi peran seseorang dalam politik pada umumnya. Konsekuensi partisipasi seorang dalam politik tersebut memiliki beberapa hal antara lain: a. Fungsional/disfungsional Tidak setiap bentuk partisipasi mengajukan tujuan seseorang. Jika misalnya tujuan seorang warga negara adalah melaksanakan kewajiban

Kewarganegaraan yang dipersepsi, maka pemberian suara merupakan cara fungsional untuk melakukannya. b. Sinambung/terputus Jika partisipasi politik seseorang membantu meneruskan situasi, program, pemerintah atau keadaan yang berlaku, maka konsekuensinya sinambung. Jika partisipasi itu mengganggu kesinambungan kekuatan yang ada, merusak rutin dan ritual, dan mengancam stabilitas, partisipasi itu terputus. c. Mendukung/menuntut Melalui beberapa tipe tindakan, orang menunjukan dukungan mereka terhadap rezim politik yang ada dengan memberikan suara, membayar pajak, mematuhi hukum, menyanyikan lagu kebangsaan, berikrar setia kepada bendera, dan sebagainya. Melalui tindakan yang lain mereka mengajukan tuntutan kepada pejabat pemeintahan-mengajukan tuntutan kepada pejabat pemerintahan.

31

mengajukan petisi kepada anggota kongres dengan surat, kunjungan, dan tetepon; lobbying atau menarik kembali dukungan financial dari kampaye kendidat. Berdasarkan dimensi partisipasi politik di atas, bahwa dalam partisipasi politik orang mengambil bagian dalam politik dengan berbagai cara. Cara-cara itu berbeda-beda dalam tiga hal atau dimensi yakni: gaya umum partisipasi, motif partisipasi yang mendasari kegiatan mereka, dan konsekuensi berpartisipasi pada peran seseorang dalam politik. 2.2.2 Piramida Partisipasi Politik Piramida partisipasi politik merupakan dampak dari kegiatan partisipasi politik warga negara memberi dampak cukup bermakna terhadap tatanan politik dan kelangsungan suatu kehidupan negara. Terutama di dalam mendekati tujuan negara yang hendak dicapai. Sehingga piramida partisipasi politik tersebut dapat diterapkan dalam menilai dan menganalisa partisipasi politik masyarkat dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah maupun pemilihan kepala desa. Menurut Hutington dan Nelson yang dikutip dalam bukunya Deden Faturahman dan Wawan Sobari yang berjudul Pengantar Ilmu Politik mengajukan dua kriteria penjelas dari partisipasi politik sebagai berikut: 1) Dilihat dari ruang lingkup atau proposisi dari suatu kategori warga negara yang melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik. 2) Intensitasnya, atau ukuran, lamanya, dan arti penting dari kegiatan khusus bagi sistem politik. Hubungan antara dua kriteria ini, cenderung diwujudkan dalam hubungan berbanding terbalik. Lingkup partisipasi politik yang besar biasanya terjadi dalam intensitas yang kecil atau rendah, misalnya partisipasi dalam pemilihan umum.

32

sebaliknya jika ruang lingkup partisipasi politik rendah atu kecil, maka intensitasnya semakin tinggi. Contoh, kegiatan kelompok kepentingan. (Hutington dan Nelson dalam Faturahman dan Sobari, 2004:193) Piramida partisipasi politik yang diuraikan dari David F. Roth dan Frank L. Wilson dapat dibagi sebagai berikut: 1) 2) 3) Aktivitas Partisipan Pengamat (Roth dan Wilson dalam Soemarsono. 2002:4.8) 1) Aktivitas Pada dasarnya partisipasi politik di tingkatan kategori aktivis. Para pejabat umum, pimpinan kelompok kepentingan merupakan pelakupelaku politik yang memiliki intensitas tinggi dalam berpartisipasi politik. Mereka memiliki akses yang cukup kuat untuk melakukan contacting dengan pejabat-pejabat pemerintah, sehingga upaya-upaya untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah menjadi sangat efektif. Terutama bagi pejabat umum, secara politis mereka memiliki peluang yang cukup kuat dalam mempengaruhi kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah, bahkan secara individual bisa mempengaruhi secara langsung. Namun warga negara yang terlibat dalam praktikpraktik partisipasi politik ditingkatkan aktivis, jumlahnya terbatas, hanya diperuntukkan bagi sejumlah kecil orang (terutama elit politik), yang memiliki kesempatan untuk terlibat dalam prose politik dengan mekanisme dan kekuatan pengaruh yang diperlihatkan.

33

Meskupun demikian, kegiatan partisipasi politik ditingkat aktivis, bukan saja ditempuh dengan cara-cara yang formal-prosedural atau mengikuti aturan yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan terdapat juga warga negara yang berupaya mempengaruhi proses politik, dengan caracara non foramal, tidak mengikuti jalur yang ditetapkan secara hukum, bahkan sampai pada tindakan kekerasan. 2) Partisipan Partisipasi politik sebagai partisipan di tingkatan kategori partisipan seperti: adanya petugas kampaye, aktif dalam

parpol/kelompok kepentingan, aktif dalam proyek-proyek sosial. Di tingkatan partisipan ditemukan semakin tingkat tinggi tingkat partisipasi politik seseorang maka semakin tinggi tingkat intensitasnya, dan semakin kecil luas cakupannya. Sebaliknya semakin menuju kebawah, maka semakin besar lingkup partisipasi politik, dan semakin kecil intensitasnya. 3) Pengamat Partisipasi politik di tingkatan kategori pengamat, Seperti: menghadiri rapat umum, memberikan suara dalam pemilu, menjadi anggota kelompok kepentingan, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik, dan usaha meyakinkan orang lain, merupakan contoh-contoh kegiatan yang banyak dilakukan oleh warga negara, artinya proposisi atau lingkup jumlah orang yang terlibat di dalamnya tinggi. Namun tidak demikian dengan intensitas partisipasi

34

politiknya, terutama kalau dikaitkan dengan arti pentingnya bagi sistem politik, praktik-praktik tersebut tingkat signifikasinya rendah, atau tingkat efektifitasnya dalam mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah, membutuhkan waktu dan sumber daya yang cukup banyak.

2.3

Desa Desa merupakan salah satu kesatuan terkecil masyarakat dimana

masyarakat yang bermata pencaharian didominasi oleh pertanian. Tetapi penulis akan mengemukakan pengertian Desa secara umum. Pengertian Desa menurut Egon E. Berger 1995 :121), yang dikutup dari bukunya Rahardjo yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaaan dan Pertanian, yaitu: Desa adalah setiap pemukiman para petani (peasant) sebenarnya faktor pertanian bukanlah ciri yng harus terlekat pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada desa ditandai oleh keterkaitan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Keterkaitan terhadap wilayah ini di samping terutama untuk tempat tinggal, juga untuk menyangga kehidupan mereka (Rahardjo, 1999 : 29). Menurut pendapat di atas, setiap pemukiman petani merupakan faktor pertanian dan bukanlah ciri-ciri yang melekat pada desa, sebenarnya ciri utama yang melekat pada desa di tandai adanya keterikatan warga masyarakat terhadap wilayahnya yang menjadi tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. Selanjutnya penulis akan mengemukakan pengertian desa menurut Raharjdo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian yaitu :

35

Desa dalam arti umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat dimanapun di dunia ini. sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada likalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhan, dan terutama yang tergantung kepada pertanian, desa-desa cenderung mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang sama (Rahardjo, 1999: 28). Bertolak dari pendapat di atas, desa dalam arti umum sebagai suatu gejala yang sangat umum yang ada di dunia, baik sebagai sebagai komunitas kecil baik dari tempat tinggalnya maupun pemenuhan kebutuhan dari mata pencaharian mereka yang sesuai dengan ciri-ciri yang sama dengan wilayah mereka. Pengertian desa menurut Haw Widjaja dalam bukunya Pemerintahan Desa dan Marga adalah sebagai berikut : Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional berada di daerah Kabupaten (Widjaja, 2002:65). Selanjutnya pengertian desa sama dengan nama marga sebagai berikut: Marga berasal dari serikat dusun-dusun atau kampung baik atas susunan masyarakat genealogis maupun masyarakat territorial, berdasarkan keturunan dan tempat dilahirkan. Masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang dilahirkan, dibesarkan, hidup dan bermata pencaharian dan meninggal dunia di tempat itu (Widjaja, 2002: 66). Bertolak dari pendapat diatas, maka penulis akan memberikan pengertian yang dimaksud dengan desa yakni: desa adalah suatu komunitas masyarakat kecil yang bertempat tinggal pada wilayah tertentu dan bermata pencaharian sebagain besar sebagai petani, dan berhak mengatur, mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasar pada adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat setempat.

36

Sebagaimana yang telah diuraikan oleh pendapat dari beberapa para ahli di atas, maka dari pengertian Desa sesuai dengan pengertian desa berdasarkan pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yaitu : Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara teoritis, disamping yang telah dirumuskan dalam kesatuan perundang-undangan. Disini juga terlihat bahwa adanya dukungan pemerintah yang diserahkan kepada warga desa untuk mengatur dan mengurus desa berdasarkan potensi desa itu sendiri. Salah satu dari sekian banyak rumusan pengertian desa seperti dikemukakan Siagian dalam bukunya berjudul PokokPokok Pembangunan Desa, Masyarakat Desa sebagai berikut: Desa adalah suatu daerah hukum yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan sosial yang hidup serta tinggal menetap di suatu daerah tertentu dengan adat istiadat yang dijadikan landasan hukum dan mempunyai seorang pemimpin formal yaitu Kepala Desa. Kehidupan penduduk desa umumnya tergantung dari usaha tani, nelayan dan sering disertai dengan usaha kerajinan tangan dan dagang kecil-kecilan (Siagian, 1989:3). Berdasarkan pengertian di atas, desa adalah organisasi pemerintahan terendah yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Desa juga merupakan wilayah yang berfungsi sebagai tempat tinggal sekelompok masyarakat yang mempunyai aturan-aturan, norma hukum yang harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia.

37

2.4

Masyarakat Desa Masyarakat desa identik dengan petani karena masyarakat desa sebagian

besar bermata pencaharian pertanian. Petani yang ada di pedesaan biasanya sering disebut petani kecil atau peasan. Yang dimaksud dengan peasan menurut Eric R. Wolf dalam bukunya Rahardjo, peasan adalah penghasil-penghasil pertanian yang mengerjakan tanah secara efektif, yang melakukan pekerjaan itu sebagai nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan (Rahardjo, 1999: 67). Menurut Belshaw yang masih dikutip dalam bukunya Rahardjo yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaan dan pertanian yang dimaksud dengan masyarakat desa atau masyaraat peasan adalah Yang way of life-nya berorientasi pada tradisionalitas, terpisah dari pusat perkotaan tetapi memiliki keterkaitan dengannya, yang mengkombinasikan kegitan pasar dengan produksi subsisten. (Rahardjo, 1999: 67) Masyarakat desa erat sekali kaitannya dengan kebudayaan tradiosional, bahwa kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakat desa amat tergantung kepada pertanian, tingkat teknologinya rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, maka menurut Paul H. Landis (1948) yang dikutif dari bukunya Rahardjo yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian yaitu pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa akan ditentukan oleh:

38

1) sejauhmana ketergantungan mereka terhadap pertanian 2) tingkat teknologi mereka 3) sistem produksi yang diterapkan Ada beberapa ciri-ciri kebudayaan tradisional masyarakat desa menurut Paul H. Landis dalam bukunya Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian adalah sebagai berikut: 1) Sebagai konsekuensi dari ketidakberdayaan mereka terhadap alam, maka masyarakat desa yang demikian ini mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap lingkungan alamnya. 2) Pola adaptasi yang pasif terhadap lingkungan alam berkaitan dengan rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya. Petani bekerja dengan alam. Elemen-elemen alam sebagaimana disebut di atas (jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, dan sebagainya) sekalipun bervariasi tetapi mengandung keajengan dan keteraturan tertentu. 3) Faktor alam dapat mempengaruhi kepribadian masyarakatnya. Seperti yang dikemukakan oleh O.E. Baker (dalam P.H Landis, 1948) sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya

mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Refleksi dari filasafat semacam ini dalam hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas.

39

4)

Pengaruh alam juga terlihat pada pola kebiasaan hidup yang semakin lamban. Kebiasaan hidup lamban ini disebabkan karena mereka sangat mempengaruhi oleh irama alam yang ajeg dan lamban.

5)

Dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat desa juga mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka terhadap takhayul. Takhyul dalam hal ini merupakan proyeksi dari kekuatan atau ketundukan mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara benar.

6)

Sikap yang pasif dan adaptatif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayan material mereka yang relatif bersahaja.

7)

Ketundukan masyarakat desa terhadap alam juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu. (Rahardjo, 1999: 63) Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan yang dimaksud dengan

masyarakat desa adalah: Masyarakat yang kehidupannya berasal dari pertanian, dimana pertanian merupakan salah satunya mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dan masyarakat desa juga sangat bergantung dengan alam. Karena pengaruh alam maka masyarakat desa diidentikkan dengan masih melekatnya kebudayaan tradisional dengan percaya pada tahayul dan dimana pengolahan pertanian masih tradiosional dan teknologi yang digunakan masih tradisional.

40

Menurut Munandar soelaeman dalam bukunya yang berjudul Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial edisi revisi I, yang dimaksud dengan: Masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang kehidupannya berbeda dengan masyarakat perkotaan. Perbedaan ini berasal dari adanya perbedaan yang mendasar dan keadaan lingkungan yang mengakibatkan adaya dampak terhadap personalitas dan segi-segi kehidupan. (Soelaeman, 1998:103) Berdasarkan pendapat di atas bahwa masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang kehidupannya berbada dengan mayarakat perkotaan, dimana perbedaannya dilihat dari keadaan lingkungan dan segi-segi kehidupan lainnya. Masih menurut Koentjaraningrat yang dikutip dalam Munandar Soelaeman dalam bukunya yang berjudul Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial edisi revisi I, suatu masyarakat desa menjadi suatu persekutuan hidup dan kesatuan sosial di dasarkan atas dua macam prinsip: a. b. Prinsip hubungan kekerabatan (geneologis) Prinsip hubungan tinggal dekat/territorial. Prinsip ini tidak lengkap apabila yang mengikat adanya aktivitas tidak ikut sertakan, yaitu: a. Tujuan khusus yang ditentukan oleh faktor ekologis b. Prinsip yang datang dari atas oleh aturan dan undang-undnag. (Soelaeman, 2001:113)

2.5

Pengertian Pemilihan Kepala Desa Menurut Duto Sosialismanto dalam bukunya yang berjudul Hemegomi

Negara Politik Pedesaan Jawa, yang dimaksud dengan: Pemilihan kepala desa adalah pesta rakyat, dimana pemilihan kepala desa dapat diartikan sebagai suatu kesempatan untuk menampilkan orang-orang yang dapat melindungi kepentingan

41

masyarakat desa (Sosialismanto, 2001:191). Pemilihan kepala desa biasanya dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang telah memenuhi syarat, pemilihan kepala desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan kepala desa juga dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksud dengan pemilihan kepala desa adalah peta rakyat pedesaan untuk menampilkan figur yang dapat melindungi masyarakat desa. Pemilihan kepala desa harus memenuhi syarat-syarat mengenai pemilihan kepala desa. 2.6 Kepala Desa Menurut Haw Widjaja dalam bukunya berjudul Pemerintahan

Desa/Marga berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Suatu Adminisrasi Negara, ada beberapa tahapan menjadi Kepala Desa antara lain:

2.6.1

Syarat-Syarat Menjadi Kepala Desa Yang dapat dipilih menjadi kepala desa adalah penduduk desa warga

negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: 1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 3. Tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan menghianati Pancasila dan Undang-Undnag Dasar 1945

42

4. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan atau berpengetahuan yang sederajat 5. 6. 7. 8. 9. Berumur sekurang-kurangnya 25 tahun Sehat Jasmani dan rohani Nyata-nyata tidak terganggu jiwa / ingatannya Berkelakuan baik, jujur dan adil Tidak pernah di hukum penjara melakukan tindakan pidana

10. Tidak di cabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap 11. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di Desa / Marga setempat 12. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa / Marga 13. Memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat setempat

2.6.2

Tahap Pencalonan Kepala Desa Pencalonan Kepala Desa / Marga antara lain, sebagai berikut:

a. Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Desa / Marga, BPD/BPM membentuk Panitia Pemilihan yang anggotanya terdiri dari para anggota BPD/BPM dan Perangkat Desa / Marga. Panitia Pemilihan melakukan pemeriksaan identitas Bakal Calon (Balon) berdasrkan Persyaratan yang telah ditentukan, melaksanakan pemungutan suara dan melaporkan pelaksanan pemungutan suara dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa/Marga kepada BPD / BPM.

43

b. Panitia Pemilihan melaksanakan penjaringan dan penyaringan Balon Kepala Desa / Marga sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. c. Panitia Pemilihan kepala Desa / Marga, terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku bagi pemilihan Kepala Desa / Marga untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dikenakan tindakan hukum sesuai dengan ketetnuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

2.6.3

Tahap Pemilihan Kepala Desa Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa / Marga antara lain sebagai berikut:

a. Sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari sebelum pemilihan dilaksanakan, panitia Pemilihan Kepala Desa / Marga yang berhak memilih melalui undangan dan pengumuman-pengumuman di tempat-tempat yang terbuka, tentang akan diadakan pemilihan Kepala Desa / Marga. Kepala Desa / Marga dipilih langsung oleh penduduk Desa / Marga yang bersangkutan dari calon yang memenuhi syarat dan telah ditetapkan oleh BPD/BPM sebagai calon yang berhak dipilih. b. Pemilihan bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) setiap orang yang mempunyai hak pilih, hanya mempunyai hak satu suara dan tidak boleh diwakilkan. Pemilihan dilaksanakan pada hari, tanggal, waktu dan tempat yang ditentukan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa / Marga. c. Pemilihan Kepala Desa / Marga dinyatakan sah, apabila jumlah yang hadir untuk menggunakan hak pilihnya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh pemilih yang telah disahkan oleh BPD/BPM.

44

d. Calon Kepala Desa / Marga yang dinyatakan terpilih ialah calon yang mendapatkan jumlah dukungan suara terbanyak. Dalam hal calon Kepala Desa/Marga hanya terdapat satu orang maka calon Kepala Desa / Marga tersebut baru dinyatakan terpilih, apabila mendapat dukungan suara sekurangkurangnya (setengah) ditambah satu dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya. e. Bagi calon kepala desa/marga, yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak maka Panitia Pemilihan mengadakan pemilihan ulang. Calon kepala desa/marga yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak, tidak

diperkenankan untuk mengikuti pencalonan berikutnya. Panitia pemilihan membuka kembali pendaftaran bakal calon kepala desa/marga selambatlambatnya 1 (satu) bulan sejak pembatalan. f. Apabila terdapat lebih dari 1 (satu) orang calon yang mendapat jumlah dukungan suara terbanyak, dengan demikian jumlah suara yang sama, maka terdapat mereka dilakukan pemilihan ulang. Dalam pemilihan ulang ternyata hasilnya tetap sama, maka untuk menetapkan calon dinyatakan terpilih dilaksanakan dengan cara yang bersangkutan menjawab daftar pertanyaan yang telah disediakan Panitia Pemilihan dengan sampul tertutup disegel. g. Apabila dalam pemilihan hanya terdapat satu calon, maka pelaksanaan pemungutan suara harus disediakan 2 (dua) tempat kotak suara atau 2 (dua) tanda gambar yang berbeda masing-masing untuk suara yang mendukung dan yang tidak mendukung.

45

h.

Setelah pemungutan suara selesai, maka Penitia pemilihan pada hari dan tanggal itu juga membuat Berita Acara Pemilihan yang ditandatangani oleh Panitia dan Calon, materinya menurut jalanya pelaksanaan pemilihan perhitungan jumlah suara dan mengumumkan hasil perhitungan suara. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal selesainya pelaksanaan pemilihan, Panitia pemilihan segera mengajukan Berita Acara Pemilihan (BAP) dan Laporan Pelaksanaan serta Pertanggungjawaban biaya pemilihan Kepala Desa / Marga kepada BPD/BPM dan dilaporkan kepada Bupati melalui Camat.

2.6.4

Tugas dan kewajiban Kepala Desa Tugas dan kewajiban Kepala Desa/Marga adalah:

a. Membina penyelenggaraan pemerintah desa/marga b. Membina kehidupan masyarakat desa/marga c. Membina perekonomian desa/marga d. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa/marga e. Mewakili desa /marganya di dalam dan di luar Pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya f. Mengajukan Rancangan Peraturan Desa/Marga dan bersama BPD/BPM menetapkan sebagai Peraturan Desa/Marga g. Mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa / Marga h. Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di Desa / Marga yang bersangkutan.

46

2.6.5

Pemberhentian Kepala Desa Kepala Desa / Marga diberhentikan oleh Bupati atas usul BPD/BPM,

setelah mendapat persetujuan Gurbernur karena: a. Meninggal dunia b. Mengajukan berhenti atas permintaan sendiri c. Tidak lagi memenuhi syarata dan / atau melanggar Sumpah / Janji d. Berakhir masa jabatan dan telah dilantik Kepala Desa / Marga yang baru e. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan / atau norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Desa/Marga.

You might also like