You are on page 1of 30

MENJELAJAHI DEMOKRASI

BOOK REPORT Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Landasan dan Teori Pendidikan Kewarganegaraan

DOSEN : Prof. Dr. ABDUL AZIZ WAHAB, M.A (Ed)

OLEH : AULIYA AENUL HAYATI PUSPA DIANTI ROSE FITRIA LUTFIANA

1201280 1201634 1201468

JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2012

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillahirabbilalamin, Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat da hidayah Nya lah kelompok kami bisa menyelesaikan book report yang berjudul menjelajah demokrasi sebagai salah satu tugas dari mata kuliah landasan dan teori kewarganegaraan dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Pada tugas book report ini kami memilih buku menjelajah dunia karangan Dr. Suyatno, M.Si. pada pembahasannya akan dijelaskan mengenai perjalanan demokrasi, tipetipenya, gelombang demokrasi, isu-isu yang berkaitan dengan demokrasi, hingga prospek demokrasi ke depan. Selanjutnya dalam analisis, kelompok kami mencoba menguraikan kelebihan dan kekurangan dari buku ini dengan menjadikan beberapa buku demokrasi yang lain sebagai pembandingnya. Pada kesempatan ini kelompok kami ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas book report ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan book report ini mungkin masih banyak kekurangan, baik dalam hal isi atau muatan materinya ataupun dalam hal penulisan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi perbaikan di masa selanjutnya. Akhirnya, kami berharap agar tulisan kami /book report ini dapat memberikan manfaat, dijadikan referensi, dan dapat memberikan sumber inspirasi bagi kita semua.

Bandung, 19 Desember 2012

IDENTITAS BUKU

JUDUL PENGARANG TAHUN TERBIT PENERBIT

: Menjelajahi Demokrasi : Dr. Suyatno, M.Si. : 2008 : Humaniora

JUMLAH HALAMAN : 207 eksemplar

BAB I ISI I. PERJALANAN DEMOKRASI

A. Sejarah Demokrasi Demokrasi telah dikembangkan gagasannya sejak masa Mesir kuno dan Mesopotamia Kuno (3000 tahun sebelum masehi). Pendapat lain mengatakan demokrasi dimulai sejak Amerika Serikat berhasil melancarkan revolusi dan mengeluarkan konstitusi yang terkenal demokratis. Banyak sarjana lain berpendapat demokrasi dimulai masa Yunani kuno. perbedaan ini muncul karena kekayaan wacana tentang sejarah demokrasi. B. Demokrasi Mesir Dan Mesopotamia Kuno Yves Schemeil dalam Democracy Before Democracy : pada masa ini, tonggak sejarah kuno ditandai oleh fenomena-fenomena : Narmer berhasil menyatukan Mesir Kuno (Upper dan Lower Egypt); sargon membawa Akkadian, seorang tokoh Samaria yang mendirikan Dinasti Akkad di Mesopotamia; Raja Akhenaten menemukan monoteisme; Ratu Hatshepsut mendelegitimasi hukum wanita karena menganggap dirinya seolah-olah sebagai pria. Nilai-nilai demokrasi Mesir dan Mesopotamia Kuno : mereka telah membangun banyak dewan kuno dan majelis yang jauh lebih demokratis daripada polis Yunani. Kebebasan berpendapat mereka dilindungi sekalipun pendapat yang dilontarkan dapat membuat merah telinga pemimpinnya. Majelis dianggap lebih demokratis karena memungkinkan keanggotaan wanita, tidak seperti masa Yunani yang menganggap wanita sebagai un-citizen. Mereka memiliki aturan yang memungkinkan pluralisme, menyadari esensi demokrasi bukan terletak pada citizenship melainkan pada pentingnya mobilitas warga (bentuk partisipasi politik yang populer pada masa selanjutnya). Rezim masa ini mengenalkan demokrasi dengan istilah delegasi. Meskipun tidak memlalui pemilihan umum, voting majelis atau aturan main, tetapi hal itu menggambarkan representasi yang sesungguhnya atas konstituennya. C. Demokrasi Yunani Kuno Beberapa tokoh yang memberikan sumbangan perkembangan pranata demokrasi Athena : 1. Solon a. Mengadakan pembaruan dibidang ekonomi dengan membesakan para serf dari kewajiban membayar sixth part. b. Pembaruan bidang birokrasi : kebangsawanan tidak menjadi kriteria utama menjadi pemegang jabatan setelah birokrasi, kekayaanlah yang menjadi penentunya. c. Langkah debirokratisasi menjadikan privilese para bangsawan berhasil diruntuhkan. Pendirian Dewan Empat Ratus tidak beranggotakan bangsawan lagi, tetapi orangorang yang memiliki minat terhadap polis. d. Mendirikan pengadilan rakyat sebagai tempat rakyat mengadu jika tidak memperoleh keadilan dari para hakim.

2. Pisistradis a. Menghubungkan desadesa di Attica dengan kota Atena. Jalan-jalan dibangun agar orang dari desa-desa dapat pergi ke Athena sehingga urusan politik tidak didominasi oleh penduduk kota. 3. Kleisthenes Ia mengubah struktur dan isi suku yang semula hanya ada empat diubah menjadi sepuluh suku. Satu suku yang semua beranggotakan orang-orang bangsawan, oleh Kleisthenes dimasukkanlah semua orang yang tinggal di demes. Keistimewaan lain, sebuah suku terdiri dari tiga unsur : kota, daerah pedalaman dan daerah pesisir. Dengan demikian mereka mewakili kepentingan banyak golongan dan tidak mungkin kolusi. 4. Ephialtes dan Perikles Mereka membentuk Arepagus (Dewan Orang Tua) yang berfungsi sebagai penjaga privilese golongan bangsawan. Dewan ini berhadapan dengan Majelis Rakyat dan Dewan Lima Ratus. Ephialtes mengubah peranan ini dengan membagikan kekuasaannya kepada Dewan Lima Ratus dan Pengadilan. Perikles mendorong lebih banyak warga negara untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan dan memberikan bayaran sesuai dengan pelayanan yang mereka berikan. Ia memperkenalkan sistem anggota juri bayaran dan menetapkan sebuah undang-undang. Dengan undang-undang tersebut, setiapwarga miskin berkemungkinan untuk menjabat sebagai hakim. Warga yang berusia diatas 18 tahun daat berpartisipasi dalam perdebatan di Ekklesia. Meskipun para pengkritik dari kalanan aristokrasi menuduh demokrasi sebagai bentuk perampasan kekuasaan rakyat biasa terhdap kaum aristokrasi dalam pemerintahan namun realitanya demokrasi banyak digunakan secara khusus oleh orang-orang Athena dan banyak pemerintahan kota lainnya di Yunani. Kritiknya, demokrasi pada zaman ini hak dan kwajiban warga negara Yunani hanya pada para elit demokrasi (citizen). Wanita, budak dan penduduk biasa tidak dianggap sebagai citizen dan dilarang menduduki jabatan publik, melakukan transaksi jual beli dan kepemilikan tanah. Struktur amsyarakat dibagi menjadi citizen dan slave (budak) yang tidak memiliki hak dalam pemerintahan dan politik tetapi mereka tetap diizinkan menikah dan memiliki tanah. Lahirnya kesadaran untuk melihat rakyat sebagai kumpulan individu yang berhak memerintah dirinya sendiri, terbebas dari tirani, pengenalan lembaga-lembaga politik (lembahga peradilan, lembaga perwakilan) dan rotasi kepemimpinan dalam sebuah sistem yang memungkinkan si kaya mengontrol si miskin merupakan bentuk subangan fundamental bagi perkembangan demokrasi. Demokrasi di Yunani lenyap atas penaklukan Yunani oleh Philip of Macedon raja macedonia (338 SM). Selanjutnnya hukum Macedonia lah yang digunakan diwilayah Yunani. D. Demokrasi Romawi Kuno Orang Romawi menakan sistemnya sebagai suatu republik res. Hak untuk ikut seta dalam memekrintah republik berkembang dari yang hanya terbatas kepada golongan angswana (kaum aristokrat) menjadi rakyat biasapun dapat masuk kedalamnya.

Kemunduran sistem repulik berawal dari perluasan kekuasaan Romawi hingga ke Mediterania yang berimplikasi pada efektivitas keterlibatan rakyat dalam majelis plebs. Wilayah yang menjadi luas, keterbatasan alat transportasi yang dapat digunakan rakyat untuk hadir dalam forum-forum politik yang lokasinya jauh dari pusat kekuasaan. Hingga akhirnya naiknya Julius Caesar sebagai kaisar mengganti demokrasi menjadi kediktatoran. Sistem republik yang semula diperintah oleh rakyat berubah menjadi sebuah imperium yang diperintah oleh para kaisar. E. Demokrasi Abad Pertengahan Diawali lahirnya Magna Carta (Piagam Besar) 15 Juni 1215 yang merupakan kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris. Dengan piagam ini, seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mnegakui dan menjamin beberapa hak dan previlages dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Selanjutnya memperkenalkan konsep emansipasi dalam bidang sosial dan agama, kebebasan manusia yang mendasar yang dimiliki manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. F. Revolusi Amerika Sepuluh nilai-nilai demokrasi yang diterapkan di Amerika Serikat yang diadopsi negara-negara lain yang menganut demokrasi : 1. Prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi 2. Pemilu yang demokratis 3. Federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal 4. Pembuatan undang-undang 5. Sistem peradilan yang independen 6. Kekuasaan lembaga kepresidenan 7. Peran media yang bebas 8. Para kelompok kepentingan 9. Hak masyarakat untuk tahu 10. Melindungi hak-hak minoritas G. Demokrasi Masa Modern Gagagasan demokrasi pada masa ini ditandai dengan penetapan Declaration of Human Rights 1948. Mayoritas penduduk dunia yang diwakili 48 negara PBB menyetujui hak-hak asasi seluruh manusia. Setiap orang berhak atas seuruh hak dan kebebasan tanpa mempertimbangkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau lainya. Nilai itulah yang kemudian menjadi kesadaran bersama dan memperkaya gagasan demokrasi sehingga menjadi isu sentral dalam kehidupan bernegara dan berbangsa umat manusia di masa modern. II MENJELASKAN DEMOKRASI A. UPAYA PENDEFINISIAN Teorisasi demokrasi melahirkan dua pendekatan yang lazim digunakan apaila mengkaji konsep demokrasi : Klasik normatif dan Empirik minimalis. Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan. Sementara

pendekatan empirik lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun. Pendekatan klasiknormatif lebih banyak membicarakan ide-ide dan modelmodel demokrasi secara substantif, mendefinisikan demokrasi sebagai kehendak rakyat sebagai sumber atau alat mencapai tujuan kebaikan bersama.. B. DEMOKRASI SUBSTANTIF : PENDEKATAN NORMATIF MAKSIMALIS pendekatan ini lebih banyak dipengarui oleh pemikiran-pemikiran klasik yang memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukkan diensi-dimensi sosial, ekonomi dan budaa yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik dan lembaga-lembaga pemerintahan. Dengan kata lain demokrasi emmbutuhkan dimensi-dimensi tersebut untuk dapat tumbuh subur. C. DEMOKRASI PROSEDURAL : PENDEKATAN EMPIRIS MINIMALIS Pendekatan empirik didasarkan pada gagasan Joseph Schumpeter yaitu demokrasi sebagai metode politik. Pendekatan emiris minimalis ini banyak digunakan untuk menganalisis demokratisasi kontemporer karena pendekatan klsik-normatif-maksimalis dianggap terlalu utopis. Kenyataannya, negara pengusung demokrasi masih dirajuti persoaanpersoalan semacam diskriminasi rasial terhadap kulit hitam dan ketimangan ekonomi yang cukup tajam akibat implikasi kapitalsme. D. DARI DEMOKRASI ELEKTORAL KE DEMOKRASI LIBERAL Demokrasi elektoral merupakan sebuah sistem konstitusional yang menyelenggarakan pemilu multki partaiyang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif. Beranjak dari sisi ini, ada upaya konstruktif untuk memperluas demokrasi prosedural yang diperluas yang dikenal orang sebagai demokrasi liberal. Demokrasi liberal sebagai konsep yang lebih luas daripada demokrasi elektoral membutuhkan beberapa hal berikut : 1. Penolakan kehadiran kekuasaan militer dan aktor lain yang secara langsung atau tidak memiliki akuntabilitas pada pemilu. 2. Selain akuntabilitas secara vertikal para penguasa kepada rakyat (yang terutama dijamin lewat pemilu), demokrasi liberal juga menghendaki akuntabilitas secara horisontal di antara para pemegang jabatan yang membatasi kekuasaan eksekutif dan melindungi konstitusionalisme, legalitas dan proses pertimbangan. 3. Demokrasi liberal mencakup ketentuan-ketentuan yang luas bagi pluralisme sipil dan politik serta kebebasan individu dan kelompok sehingga kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang saling bertentangan dapat dikspresikan dan bersaing lewat proses-proses artikulasi dan representasi yang berkelanjutan, tidak terbatas pada pemilu-pemilu yang diselenggarakan secara berkala. E. MENGUKUR DEMOKRASI Setiap tahun, Freedom House (FH) menggunakan sebagian unsur-unsur demokrasi liberal untuk mengukur demokrasi negara-negara di dunia. Variabel kebebasan sipil dan pertimangan akan hak-hak politik digunakan untuk mengukur derajat kebebasan sebagai elemen dasar demokrasi. Peringkat ditetapkan didasarkan pada skor 1 7. Skor 1 adalah negara-negara yang palingbebas dan paling demokratis; sedangkan nilai 7 adalah sebaliknya, tidak bebas dan tidak demokratis.

Laporan yang dikeluarkan FH (Democracys Century; A Survey of global Political Change in the 20th Century) tahun 2000 melihat sejauh mana sistem politik yang digunakan mengelola sebuah pemerintahan negara dari 1900 2000. Untuk membedakannya, pemilahan dilakukan berdasarkan basis praktik politik menjadi beberapa kategori berikut : 1. Democracy (DEM)/ Demokrasi, 2. Restricted Democratic Practices (RDP)/ Demokrasi Terbatas, 3. Monarchies/ Monarki, 4. Authoritarian regimes (AR) / Rezim Otorian, 5. Totalitarian Regimes (TR)/ Rezim Totaliter, 6. Colonial and Imperial Dependencies / Negara Jajahan, 7. Protectorate/ Protektorat III TIPE-TIPE DEMOKRASI A. Tipe Demokrasi 1. Demokrasi langsung Demokrasi langsung merupakan sistem pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah publik yang di dalamnya warga negara terlibat secara langsung. Demokrasi langsung adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya terdapat hak untuk melakukan pengambilan keputusan politik dijalankan langsung oleh seluruh warga negara. 2. Demokrasi representatif Merupakan sistem pemerintahan yang mencakup pejabat-pejabat terpilih yang melaksanakan tugas mewakili kepentingan-kepentingan atau pandangan-pandangan dari para warga negara dalam daerah-daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tinggi aturan hukum. Demokrasi ini adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya warga masyarakat bisa menjalankan hak yang sama dalam menjalankan pengambilan keputusan politik, tetapi tidak dalam kapasitas personal, tetapi melalui perwakilan yang ditunjuk dan bertanggung jawab terhadapnya. Dua elemen yang paling esensial dalam demokrasi perwakilan adalah pemisahan antara pemerintah dan warga masyarakat, dan secara periodik diselenggarakan pemilihan umum sebagai wahana warga masyarakat mengontrol pemerintah. Demokrasi perwakilan pada umumnya, berkaitan erat dengan dua sistem dasar pemerintahan yang umum di dunia, yaitu: a. Demokrasi Parlementer Dalam demokrasi parlementer kekuasaan pengambilan keputusan politik dijalankan oleh wakil-wakil rakyat sesuai dengan hasil pemilihan umum, sehingga parlemenlah merupakan satu-satunya lembaga perwakilan tertinggi untuk pengambilan keputusan. Lembaga eksekutif atau pemerintahan biasanya dipimpin oleh seorang perdana menteri yang sangat tergantung pada kepercayaan yang diberikan oleh parlemen. Kepala negara biasanya memiliki kekuasaan yang sangat terbatas atau bahkan kepala negara bisa tidak mewakili kekuasaan eksekutif, selain hanya berperan sebagai fungsi perwakilan. Hal ini, kepala negara hanya menjalankan tugas-tugas untuk mewakili negara dan pengengah dalam situasi konflik.

b. Demokrasi Presidensial Dalam demokrasi presidensial, kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang presiden yang memiliki kedudukan kuat dalam pembuatan keputusan. Kekuasaan politiknya pun sangat kuat. Kekuasaan politik presiden sering kali disejajarkan dengan parlemen, atau bahkan lebih kuat dari parlemen. Dalam demokrasi ini, kekuasaan pengambilan keputusan politik dijalankan oleh wakil-wakil rakyat sesuai dengan hasil pemilu. Sebaliknya, dalam demokrasi ini kepala negara dipilih secara langsung oleh rakyat merupakan pusat kekuasaan mandiri. Kepala negara juga sangat berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan dan penyusunan undang-undang. 3. Demokrasi Campuran Mattew Sughart dan John Carey menjabarkan implementasi tipe campuran ke dalam tipologi yang lebih detail dalam konteks realita demokrasi campuran, yaitu: No Tipe-tipe Penjabaran Karakteristik Contoh Negara 1 Presidensial Murni Pilihan presiden secara Amerika Serikat langsung Eksekutif monistik dengan presiden 2 Presidensial - Pilihan presiden secara Rusia Parlementer langsung Eksekutif dualistik dengan perdana menteri yang tergantung pada presiden 3 Perdana Menteri- Pilihan presiden secara Polandia Presidensial langsung Eksekutif dualistik dengan perdana menteri yang tidak tergantung pada presiden 4 Parlementer Pilihan presiden secara Austria dengan pilihan langsung presiden secara Eksekutif monistik dengan langsung perdana menteri B. Demokrasi Elektronik 1. Definisi E Democracy E-Democracy baru berlangsung di negara-negara maju, seperti USA, Swedia, Inggris, dan Australia. Konsep E-Democracy oleh Martin Hagen, diartikan sebagai sistem politik demokratis yang menggunakan komputer dan jaringannya untuk meningkatkan fungsi-fungsi krusial dari proses demokrasi. Fungsi-fungsi krusial itu antara lain: sebagai informasi dan komunikasi, artikulasi kepentingan dan agregasi, serta proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, E-Democracy menekankan makna penting komputer dan jaringan komputer sebagai alat utama dalam penggunaan sistem politik yang demokratik.

2. a.

b.

c.

Tipe E Democracy Teledemocracy Teledemocracy merupakan konsep tertua dari e democracy. Konsep ini mulai berkembang sejak 1970-an, tepatnya ketika Ted Baker menggunakan TV kabel sebagai eksperimen dalam proses pengambilan keputusan politik akhir 1970-an. Teledemocracy berupaya meningkatkan bentuk demokrasi langsung melalui penggunaan teknologi komunikasi yang baru ke dalam sistem politik Amerika. Lebih jauh, Teledemocracy berusaha untuk menjawab terjadinya fenomena apatis, frustasi dan aliensi dari para pemilih dalam sistem demokrasi representatif di USA. Misi yang dibawa adalah membawa lebih dekat pemeritah representatif kepada warga pemilihnya. Cyberdemocracy Cyberdemocracy merupakan respons langsung atas terjadinya evolusi jaringan komputer. Cyber bisa diartikan sebagai dunia maya, yakni dunia semu tempat bertemu dan berkumpulnya pengguna jaringan komputer yang tidak mengenal batas wilayah dan ruang. Dunia maya digunakan sebagai wahana bagi peningkatan demokrasi langsung melalui aktivitas politik dan diskusi. Dunia maya berupaya menciptakan komunitas virtual dan non virtual sebagai pusat perlawanan terhadap bentuk bentuk pemusatan kekuasaan pemerintahan. Electronic Democratization Electronic democratization diartikan sebagai peningkatan demokrasi melalui penggunaan teknologi komunikasi yang baru dengan cara meningkatkan kekuasaan politik yang pada titik tertentu sering kali diminimalisir. Pelaku tipe demokrasi ini adalah orang-orang atau lembaga yang tergolong mapan seperti anggota DPR, pejabat istana kepresidenan, para jurnalis ternama dsb. Karena tujuan utamanya adaah memperluas keuntungan informasi jaringan komputer yang memberikan informasi-informasi elite kepada publik umum sehingga sistem pilitik yang demokratik memperoleh keuntungan secara menyeluruh. Dengan kata lain model ini ingin menciptakan saluran alternatif informasi antara para pemilih dan wakil rakyat.

IV DEMOKRATISASI: SEBUAH IKHTIAR DEMOKRASI A. Definisi Demokratisi Demokratisasi merupakan proses menuju demokrasi yang harus didefinisikan sebagai adanya peningkatan penerapan pemerintahan rakyat pada lembaga, masalah dan rakyat yang sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi. B. Gelombang Demokratisasi Gelombang demokratisasi adalah sekelompok transisi dari rezim-rezim non demokratis, yang terjadi di dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak dari pada transisi menuju arah sebaliknya demikianlah Huntington menjelaskan, sekaligus mempopulerkan istilah gelombang demokratisasi ke seluruh penjuru dunia. Tiga gelombang demokratisasi yang telah terjadi pada modern yaitu: 1. Gelombang Demokratisasi Pertama (1828-1926) Dengan menggunakan standar yang digunakan oleh Jonathan Sunshine, yakni negara dapat dianggap mulai menyelenggarakan proses demokratis apabila memenuhi syarat: a) 50% laki-laki dewasa berhak memberikan suara; b) seorang pejabat yang

2.

3.

4.

5.

6.

bertanggung jawab harus mempertahankan dukungan mayoritas dalam parlemen yang terpilih atau dipilih dalam pemilu. Dalam perkembangannya standar minimal itu dikembangkan dengan memperluas hak, memberikan suara, mengurangi jumlah pemberian suara ganda, memperkenalkan sistem pemberian suara secara rahasia, dan menetapkan tanggung jawab perdana menteri dan kebinet kepada parlemen. Gelombang Demokratisasi Balik Pertama (1922-1942) Perkembangan politik yang dominan pada dasawarsa 1920-1930 adalah pergeseran menjauhi demokrasi dan gerakan kembali ke bentuk-bentuk tradisional pemerintahan otoriter atau totaliter, bentuk baru yang berlandaskan pada masa yang lebih brutal dan luas. Gelombang Demokratisasi Kedua (1943-1962) Inilah fase demokratisasi yang tergolong pendek. Pasca perang dunia II, negaranegara yang kalah perang harus mengikuti alur dinamika politik internasional. Hengkangnya kolonialisme barat melahirkan negara-negara baru yang bergerak ke arah demokrasi. Gelombang Demokratisasi Balik Kedua (1958-1975) Inilah fase yang dikenal dengan fase berdarah. Adanya kudeta militer atau keterlibatan militer dalam tampuk kekuasaan pada fase ini menandakan bahwa bandul demokrasi semakin menjauh dan berganti pada gaya otoriterisme. Kurang lebih 22 negara beranjak dari demokrasi menuju era otoriterisme. Hal yang paling mencolok adalah kekuatan elit-elit militer dan sipil bersama mengelola kekuasaan secara sinergis otoritarian. Kekuasaan mereka ini dikenal dengan sebutan otoriterisme-birokratik. Gelombang Demokratisasi Ketiga (1974) Portugal, Spanyol dan Yunani yang menjadi pemicu lahirnya fase ini. Keadaan tiga bangsa itu seolah-olah menjungkirbalikkan teorisasi banhwa demokrasi tidak bisa hidup di negara-negara berkembang, negara-negara yang secara ekonomi , sosial dan budaya belumlah layak menyandang predikat demokrasi, sebagaimana dialami oleh negara-negara maju. Seketika saja, keruntuhan rezim otoriterisme juga mulai merambah kawasan-kawasan lain. Huntington menyebutnya sebagai fenomena berefek bola salju (snow ball effect) karena rambahan dan resonansi gelombang ini yang sangat luar biasa. Liberalisasi politik dan ekonomi dalam paket kebijakan Perestronika, Glasnost dan Demokratizatzia (restrukturisasi, keterbukaan dan demokratisasi) yang digelindingkan oleh pemimpin Uni Soviet saat itu, Mikhael Gorbachev (Gorby), membuahkan hasil yang gemilang bagi kemenangan demokrasi secara global. Hal ini terjadi karena tidak saja menelan negara-negara komunis dan berganti menjadi negara menuju demokrasi, tetapi juga praktis mengakhiri perang dingin yang telah berlangsung puluhan tahun. Gelombang Demokratisasi Balik Ketiga ? (1991) Larry Diamond, mempertanyakan apakah fase gelombang ketiga benar-benar telah berlalu. Sejumlah bukti yang menggerogoti fase ini sulit untuk dipungkiri banhwa gelombang ketiga memang cukup rentan keberhasilannya. Memang harus diakui gelombang demokratisasi ketiga telah meningkatkan jumlah negara demokrasi hingga dua kali lipat jumlahnya.

Keraguan lainnya beranjak pada realita bahwa proporsi negara demokrasi elektoral sekarang kurang lebih sedang mengalami stagnasi, banyaknya negara demokrasi gelombang ketiga terkemuka yang kinerja demokratis aktualnya sangat buruk; palanggaran hak asasi manusia yang meningkat bahkan ada di negara-negara demokrasi dunia ketiga yang telah lama; adanya jurang pemisah yang signifikan antara bentuk elektoral dan substansi liberal dari demokrasi; dan banyaknya negara otoriter dunia yang paling kuat dan berpengaruh (Cina, Iran dan Arab Saudi) yang menunjukkan sedikit atau tiada prospek demokratisasi dalam jangka dekat. Atas dasar tersebut, wajarlah jika gelombang ketiga mulai dipertanyakan kontinuitasnya. C. Jalur Menuju Demokratisasi David Potter dkk menjelaskan pendekatan terjadinya demokratisasi, yaitu: 1. Pendekatan Modernisasi Pendekatan modernisasi menekankan pada sejumlah prakondisi sosial dan ekonomi yang dibutuhkan bagi suksesnya proses demokratisasi. Seymour Martin Lipset adalah tokoh yang terkenal dengan tesisnya: Semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi. Demokrasi sangat terkait erat dengan pembangunan sosio-ekonomi atau tingkatan modernisasi yang ditempuh. Asumsinya berdasarkan alasan bahwa modernisasi dan hasil pembangunan yang berujud pada kesejahteraan akan selalu disertai oleh sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi, yakni meningkatkan tingkat melek huruf dan pendidikan, urbanisasi, dan pembangunan mass media. Berbeda dengan Lipset, ODonnell melihat bukannya meodernisasi yang mendorong terjadinya demokrasi, tetapi malah otoriterisme yang lahir. Kondisi ini terjadi karena modernisasi industri yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin pada tahun 1960-an dan awal 1970-an tidak bisa berbuat banyak untuk sebagian besar penduduknya. Karena itu, dalam rangka mencari model di tengah-tengah resistensi masyarakat, elite penguasa membutuhkan sistem yang otoriter. Kelas menengah memang lahir, tetapi kelahirannya bukanlah dari rahim medernisasi secara murni, melainkan dari suapan fasilitas dan kesempatan yang diberikan oleh penguasa. Menurut Huntington, tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan yang tinggi (perkembangan sosial), serta mengecilnya konflik sosial di masyarakat (perkembangan politik) akan memudahkan proses transisi menuju demokrasi. Kunci masalah otoritas ini terletak pada kelas menengah. Tetapi, bukan karena kelas menengah memiliki potensi untuk merobohkan rezim otoriter. Jika posisi kelas ini semakin kuat, berarti relatif sudah terjadi kesamaan kedudukan di masyarakat, dan tingkat kepuasan sosial yang tinggi sehingga orang akan lebih menghargai sikap kompromi dan mengedepankan pemikiran rasional dari pada bentrok fisik. 2. Pendekatan Struktural Pendekatan struktural menekankan pada perubahan struktur kekuasaan yang menguntungkan bagi terjadinya proses demokratisasi. Penjelasan utama dalam pendekatan ini terletak pada proses perubahan historis berjangka panjang. Tidak seperti pendekatan transisi yang menyatakan proses demokratisasi dijelaskan dalam konsepsi agen-elite, menurut pendekatan ini, demokratisasi terjadi karena adanya perubahan struktur kekuasaan (changing structure of power).

Bentuk-bentuk sistem politik yang dihasilkan oleh masing-masing negara bisa berbeda-beda karena sangat ditentukan oleh pola perubahan dari hubungan antar kelas tersebut. Menuju pembangunan demokrasi, Moore menawarkan lima kondisi umum yang harus dipenuhi: a) pembangunan sistem yang seimbang untuk menghindari dominasi negara atau tuan tanah; b) perubahan menuju bentuk pertanian komersial yang pantas; c) memperlemah kelas aristokrasi pemilik tanah; d) mencegah koalisi kelas borjuis dengan aristokrasi melawan kelas buruh dan petani; e) memutus masa lalu secara revolusioner yang dipimpin oleh kelas borjuis. Studi Moore dilanjutkan oleh Dietrich Rueschmeyer dkk. Secara lebih detail dan lebih mempertegas bahwa hubungan antara pembangunan dan demokrasi saling terkait erat, serta amat bergantung pada perubahan struktur hubungan antar kelas. Rueschmeyer dkk meneliti keterkaitan erat antara pembangunan ekonomi dan perkembangan demokrasi dengan menggunakan basis studi yang bertumpu pada pendekatan pilihan rasional yang berbasis kelas. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari pembiasan variabel yang dibentuk mealalui penjelasan berbasis kultural. Di sisi lain, demokrasi didefinisikan dengan mengkaitkannya pada tiga aspek: pemilihan umum yang bebas, adil dan teratur penyelenggaraannya, adanya tanggung jawab aparat negara terhadap pemilu, serta adanya garansi terhadap kebebasan berekspresi dan berserikat. Asumsi dasar yang digunakan bahwa demokrasi itu bertalian erat dengan konsep power dan power sharing. Landasan premisnya bersandar pada fokus yang memungkinkan lahirnya peluang demokrasi lebih leluasa. Pertama, keseimbangan kekuasaan antara kelas-kelas sebagai aspek penting keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat sipil. Kedua, keseimbangan kekuasaan antara rakyat sipil dan negara. Ketiga, sistem ekonomi internasional dan sistem negara. Keseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat sipil juga sangat relevan untuk menentukan peluang terciptanya demokrasi. Negara membutuhkan kondisi yang kuat untuk proses penyelenggaraan bernegara. Meskipun demikian, kekuasaannya juga membutuhkan counterbalance oleh organisasi-organisasi yang kuat yang dibentuk oleh masyarakat sipil sehingga memungkinkan demokrasi tumuh subur. Sebagaimana Moore, Rueschemeyer dkk. Pun menekankan peran kelas borjuis dalam sumbangannya terhadap demokrasi. Hanya saja, Rueschemeyer secara tegas menolak peran aktif tunggal dari kelas borjuis bagi terciptanya demokrasi, kecuali apabila kelas borjuis rela membagi kekuasaannya dalam format parlementer yang mengontrol negara. Kelas borjuis justru menjadi penghambat demokrasi apabila kepentingannya dan previlese-previlesenya terganggu atau terancam. Sebagai karya yang mendukung Moore, temuan Rueschemeyer dkk. Bukannya tanpa kelemahan. Pendekatan yang dilakukan Rueschemeyer tergolong induktif makrososial. Ia memiliki kelemahan dalam generalisasinya yang beresiko tinggi karena ketika analisis awal yang memusatkan pemahaman akan pentingnya analisis yang bersandarkan pada keseimbangan kekuasaan antar kelas, kesulitan akan muncul apabila suatu negara atau kawasan memiliki dimensi yang berbeda. Disini, ada dua akibat yang merupakan kesalahan kululatif. Kelemahan lain, Rueschemeyer kurang begitu menjelaskan secara komplit tentang proses transisi menuju demokrasi, melalui keseimbangan kekuasaan antar kelas

3.

itu. demikian pula, salah satu asumsi yang berkaitan erat dengan kekuasaan transnasional yang juga memiliki saham akan terdorongnya demokrasi. Para pendukung pendekatan otoritarian meyakini bahwa demokrasi justru menghambat laju pembangunan ekonomi. Lowenthal, berpendapat bahwa sistem politik yang demokratis memberi ruang bagi masyarakat untuk menuntut kebebasan dan hakhaknya secara tidak terbatas. Terkadang tuntutan itu menghambat hal-hal penting yang perlu dilakukan awal pembangunan ekonomi. Pendekatan Transisi Pendekatan transisi menekankan pada proses politik dan inisiatif elite, serta pilihan elite yang memperhitungkan terjadinya perubahan dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Danwart Rostow lah orang yang pertama mengkritik tentang pendekatan modernisasi. Ia menggambarkan demokratisasi sebagai pendekatan yang dituliskan pada masa kini dan kelewat dimotivasi oleh fungsionalisme, tetapi tidak mampu menjawab pertanyaan faktor apakah yang paling dapat memelihara atau meningkatkan kualitas atau stabilitas demokrasi. Untuk menjawabnya, Rustow mengenalkan sebuah pendekatan yang berdasarkan sejarah yang ditandai oleh pertimbangan meyeluruh negara-negara yang berbeda sebagai studi kasusnya. Ia juga memberikan basis pengingat bagi analisis dari pada mencari prasyarat fungsional. Ia memberikan jalur yang dapat ditempuh menuju demokratisasi. Jalur-jalur tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, tahapan ketika persatuan nasional dengan wilayah yang dimiliki harus dipahami terlebih dahulu sebelum memahami transisi menuju demokrasi. Kedua, tahapan persiapan (preparatory phase). Tahapan ini berisi apa yang oleh Rustow disebut sebagai perjuangan politik yang panjang dan tidak meyakinkan. Ketiga, tahapan keputusan (decision phase) atau transisi awal, sebuah monumen bersejarah ketika para pemimpin politik yang melakukan perjuangan politik yang panjang dan tidak meyakinkan menetapkan sebuah keputusan yang telah dirundingkan untuk melembagakan aspek krusial dari prosedur demokrasi. Keempat, tahapan pembiasaan (habituation phase) atau transisi kedua atau pula Soreson menyebutnya sebagai tahapan konsolidasi. Dilihat sebagai sebuah proses, tahapan ini jelas tumpang tindih dengan tahapan keputusan. Perkembangan gradual tahapan keputusan dari demokrasi yang lebih terbatas menuju demokrasi yang lebih nyata dapat dilihat sebagai elemen yang menyebabkan meningkatnya konsolidasi. Secara sederhana, rangkaian tahap tersebut menggambarkan alur menuju demokratisasi; dari latar belakang persatuan nasional hingga proses transisi pemerintah non demokrasis menuju pemerintah yang demokrasis. Sekali lagi dalam kenyataannya, penggambaran tiga tahapan tersebut sering tumpah tindih, tahapan-tahapan tersebut yaitu: pertama, tahapan persiapan. Tahapan ini bercirikan perjuangan politik untuk menjatuhkan rezim non demokratis. Kedua, tahapan keputusan yang di dalamnya elemen yang jelas dari tertib demokrati telah dibangun. Ketiga, tahapan konsolidasi yang di dalamnya demokrasi baru lebih berkembang dan akhirnya praktek-praktek demokrasi menjadi bagian dari budaya politik sehingga demokrasi yang sesunguhnya akhirnya dihasilkan oleh inisiatif umat manusia. Pada gilirannya, pendekatan elite dan kelompok dominanlah yang dapat melanjutkan kontinuitas pendekatan transisi milik Rustow.

4.

Pendekatan Elite dan Kelompok Dominan Pendekatan ini merupakan pendekatan yang menganalisis pilihan-pilihan aktor (elit) politik yang memiliki kinerja atau prosedur lembaga-lembaga politik yang menggiring ke arah transisi menuju demokratis. Guillermo ODonnell, Philippe Schmitter dan Alfred Stephan, Larry Diamond, Guiseppe di Palma, Adam Przeworski dan Samuel Huntington meruapakan ahli-ahli yang dikenal sebagai analis atas peranan elit politik dalam transisi demokratis. John Highley dan Richard Gunther mendefinisikan elite sebagai person-person yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi produk politik nasional secara reguler dan substansial melalui keuntungan posisi strategisnya dalam organisasi yang memiliki kekuatan. Elite-elite adalah para pengambil keputusan yang penting dalam pemerintahan, ekonomi, militer, profesional, komunikasi, gerakan-gerakan maupun organisasiorganisasi kultural dalam masyarakat. Adam Przeworski berpendapat bahwa transisi dari otoritarisme ke demokrasi merupakan hasil dari negosiasi dan tawar menawar di antara kelompok dominan yang bermaksud mengamankan dan mengembangkan kepentingan mereka. Baginya demokrasi politik adalah demokrasi yang mempertahankan kepentingan kelompok yang sudah meraka bangun. Przeworski menolak anggapan bahwa kelas dan ekonomi merupakan dasar sosial penentu hasil politik. Baginya, penentu hasil politik sangat bergantung pada penyelenggara kepemimpinan, keadaan organisasi politik dan lembaga-lembaga terbentuk di dalam proses transisi. Begitu juga DPalma menytakan behwa demokrasi ada ketika gagasan koeksistensi menjadi cukup menarik bagi kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak bersepakat mengenai aturan-aturan dasar permainan politik. Huntington pun berkesimpulan bahwa keberhasilan demokratisasi sangat bergantung pada kemampuan elite pembaharu liberal dalam pemerintah untuk mengakali polapola yang mapan. Liberalisasi politik yang diawali oleh rezim dengan pola represi dan penciptaan liberalisasi sipil tidak dengan sendirinya mendorong terciptanya demokratisasi. Ini terjadi karena liberalisasi memiliki kemungkinan kembalinya otoritarian lama. Proses liberalisasi melibatkan peraturan kekuatan rezim dengan kekuatan oposisi. D. Tahap Demokrasi No Jalur/Tipe Aktor Utama Hasil Prognosis Contoh Kasus 1 Dari atas Rezim Demokrasi Bisa terbatas Brasil, (transformasi) otoriter terbatas atau bisa ke Spanyol, otoriter Taiwan, Meksiko 2 Dari tengah Rezim dan Demokrasi Instalasi dan Polandia, (negosiasi) oposisi penuh konsolidasi yang Bolivia, cepat Nikaragua, Korea Selatan

Bisa Instalasi yang Argentina, penuh bisa lambat tetapi Filipina, terbatas bisa ke otoriter Portugal Pertama, jalur atau tipe dari atas, yakni transisi demokratis berlangsung ketika pihakpihak yang berkuasa dalam rezim otoriter (aktor utama) memelopori dan memainkan peran yang menentukan dalam mengakhiri rezim itu, dan mengubahnya menjadi sistem baru yang demokratis. Keputusan rezim memilih jalur ini biasanya berdasarkan pertimbangan kelompok elit bahwa kepentingan mereka jangka panjang akan lebih bisa terjamin apabila diperjuangkan dalam lingkungan yang demokratis. Dalam jalur ini, pada umumnya menghasilkan beberapa kecenderungan. Pertama, proses redemokratisasi bisa saja dihentikan oleh pemegang kekuasaan karena situasi yang muncul pada masa liberalisasi itu dianggap terlalu mahal biayanya dari pada biaya represi. Kedua, karena redemokratisasi dari atas itu dikaitkan dengan pemeliharaan kepentingan elit, kecenderungan yang terjadi adalah lahirnya demokrasi terbatas. Ketiga, kekuatan militer akan terus melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan hak-haknya tertap ada dan hal ini sangat mengganggu proses redemokratisasi. Kedua, jalur atau tipe dari tengah atau titik antara tekanan dari bawah dan kemauan dari atas. Pemerintah otoriter mendapat tekanan dari kelompok oposisi dan massa (aktor utama) yang mendesakkan demokrasi dengan mengadakan negosiasi untuk melembagakan demokrasi. Negosiasi lewat jalur ini tergolong paling aman, cepat dan sukses dalam melembagakan demokrasi ketimbang jalur lain. Sebab, pemerintah otoriter dan kekuatan oposisi memiliki kekuatan yang seimbang. Keseimbangan inilah yang pada akhirny melahirkan kesepakatan pelembagaan demokrasi secara cepat. Ketiga, jalur atau tipe dari bawah, transisi demokrasi terjadi ketika gerakan protesprotes sosial yang dipimpin oleh oposisi atau masyarakat (aktor utama), tersebar dari berbagai organisasi grass root, gelombang pemogokan yang massif, aksi kolektif mahasiswa, tekanan kekuatan oposisi yang memobilisasi massa untuk menekan rezim. Namun, jalur bawah ini menurut Stephan lebih merupakan jalur menuju perubahan pemerintahan dari pada jalur menuju demokrasi. Hasil yang cenderung dicapai dari krisis tajam rezim otoriter akibat rangkaian dan kekuatan yang tersebar adalah pemerintahan otoriter pengganti yang dirancang secara baru atau junta militer sementara yang menjanjikan pemilihan umum demokrastis pada masa depan. V. ISU-ISU KRITIS Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tema-tema demokrasi dan pembangunan, demokrasi dan radikalisme agama, demokrasi dan konflik, serta demokrasi dan korupsi. 1. Demokrasi dan pembangunan Perdebatan tentang demokrasi dan pembangunan mengemuka sejak negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara berhasil membangun negerinya dari kehancuran perang dunia II. Demokrasi dianggap memilki hubungan resiprokal dengan pembangunan yang sukses diterapkan di wilayah tersebut. Itulah sebabnya ada beberapa teori yang dikonsep beberapa ahli, yaitu : Lipset, mengemukakan teori hubungan antara modernisasi dan demokrasi

Dari Bawah Oposisi/ (replacement) massa

Barrington Moore Jr, mengemukakan betapa penting kelas borjuasi sebagai pilar utama demokrasi. tidak ada borjuis berarti tidak ada demokrasi Dietriech Rueschmeyer dkk, mengakui pentingnya hubungan positif demokrasi dan pembangunan yang berbasis perubahan struktur kelas, juga menjabarkan secara lebih variatif variabel kelas dalam dinamika pembangunan dan menopang tumbuhnya demokrasi. Lummis, menyatakan pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung lebih pesat jika dilaksanakan di bawah alam demokrasi. Keyakinan beberapa ahli di atas bermuara pada kenyataan bahwa negara-negara yang relatif makmur sekarang ini adalah negara-negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokratis. Namun sejara bergulir tidaklah sebagaimana harapan terorisasi Lipset, Moore, maupun Rueschmeyer dan Lummis, karena peningkatan modernisasi tidak diikuti oleh peningkatan demokrasi yang dikandung. Peningkatan itu justru melahirkan apa yang disebut otoriterisme di Amerika Latin, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Perdebatan antar kubu modernisasi-demokrasi dengan kubu otoriter saling menyuguhkan data di lapangan. Di negara-negara miskin, sistem politik otoriter meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, sementara sistem politik yang demokratis tampak seperti barang mewah yang menghalangi pembangunan. Berikut tabel hubungan demokrasi dan pembangunan ekonomi : Demokrasi Menghalangi Ekonomi Demokrasi Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Nalar Demokrasi tidak mampu mengurangi Investasi demokratis dalam ekonomi konsumsi untuk meningkatkan kebutuhan dasar manusia adalah baik investasi. Jadi pertumbuhan ekonomi bagi pertumbuhan ekonomi. tidak bagus. Nalar Demokrasi meningkatkan tekanan Demokrasi menyediakan lingkungan politik terhadap institusi-institusi yang lemah politik yang stabil dan basis bagi Aksi bersama pemerintah lebih sulit pluralisme ekonomi. dilakukan. Pemerintah lemah. Demokrasi berarti legit imasi: sebuah pemerintah yang kuat seringkali juga merupakan sebuah pemerintah yang demokratis Menyikapi perdebatan tersebut, sesungguhnya tidak ada bukti yang dapat memberikan keyakinan absolute bahwa negara yang menganut sistem otoriter atau demokrasi dapat selalu menjamin keberhasilan pembangunan ekonominya.bukti empiris lainnya membuktikan bahwa kedua sistem politik tersebut juga gagal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di beberapa negara.sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara tidak hanya ditentukan oleh sistem politik yang dianut tetapi juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lainnya, internal dan eksternal. 2. Demokrasi dan Radikalisme Agama Demokrasi dan agama adalah dua fenomena besar pada akhir abad 20. Di satu sisi, tidak adanya demokrasi di negara-negara muslim dapat menumbuhkan gerakan-gerakan kebangkitan agama, yang kemudian melahirkan radikalisme agama dalam bentuk terorisme.

Di sisi lain adanya demokrasi yang mengijinkan adanya kebebasan berbicara, berpikir, dan mengemukakan pendapat ( freedom to speech and expression) juga dapat melahirkan gerakan kebangkitan agama yang berujung pada radikalisme dan terorisme. Senang atau tidak, demokrasi pada gilirannya tidak mengijinkan pembungkaman terhadap lahirnya pendapat tertentu, meskipun pendapat tersebut bertentanagn dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri karena pembungkamannnya merupakan tindakan yang tidak demokratis. Namun disinilah masalahnya, ketika demokrasi mengijinkan adanya kebebasan pluralitas maka demokrasi seakan tidak berdaya menghadapi radikalisme agama. Mekanisme demokrasi tidak bisa berbuat lain kecuali membiarkannya untuk berkompetisi dengan gagasan dan ide-ide lain. Bisa dikatakan maraknya gerakan radikalisme memperoleh sumbangan cukup berarti dari maraknya gelombang demokratisasi tersebut. Namun wajah paradoks ini tidak lantaran menyalahkan satu sama lain dalam menghadapi efek sampingnya, yaitu radikalisme dan terorisme. Di samping karena faktor demokrasi yang memberi peluang kebebasan mengekspresikan ide, gagasan, dan gerakan, munculnya gerakan radikalisme agama bisa disebabkan beberapa hal. Yaitu : Kekecewaan terhadap sistem demokrasi yang dinilai sekulerisme, dimana agama tidak diberi tempat didalam negara. Agama adalah urusan privat yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun. Kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial yang disebabkan oleh ketidakberdayaan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara religius. Ketidakadilan politik. Radikalisme agam juga muncul sebagai ekspresi perlawanan terhadap sistem politik yang menindas dan tidak adil. 3. Demokrasi dan konflik Fakta bahwa demokrasi dapat membawa kemakmuran dan perdamaian memang tidak diragukan lagi. Sebagai contoh tidak adanya negara-negara demokrasi yang saling berperang adalah sisi positif implikasi yang ditimbulkan oleh demokrasi. Namun sebaliknya adanya fakta bahwa demokrasi juga menimbulkan konflik yang berlatar belakang SARA juga bukan hal yang dipungkiri. Terlebih dengan runtuhnya komunisme yang berakibat pada banyaknya negara bekas komunis melakukan proses demokratisasi, yang ternyata malah berbenturan dengan semangat nasionalisme. Francis Fukuyama mengemukakan tiga dalil tentang demokrasi-nasionalisme, yaitu: nasionalisme bertentangan dengan demokrasi liberal, nasionalisme tidak bertentangan dengan demokrasi, dan demokrasi memerlukan nasionalisme. Jack Sydner mengemukakan bahwa demokratisasi yang membuka jalan kepada nasionalisme dapat menuju pada kemakmuran atau pada kehancuran. Jalan mana yang akan dilalui oleh suatu bangsa ditentukan oleh tiga hal, yaitu : kemantapan lembaga sipil, termasuk profesionalisme pers, kelenturan elite politik, yang bersifat tak langsung, adala tingkat perkembangan sosial ekonomi. Inggris, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat adalah sebagian di antara negara yang menikmati kemakmuran. Demikian pula dengan Jepang, Afrika Selatan, termasuk negara bekas komunis seperti Republik Ceko, Polandia, Hongaria, Estonia, dan Latvia. Di negara ini hak minorita dilindungi dan konflik SARA kian berkurang.

Selanjutnya bagaimana dengan kaitan antar negara demokratisasi tanggung dan konflik berdarah. Wilayah bekas yugoslavia dan kaukasus merupakan kancah nasionalisme paling berdarah di antara negara yang sedang menuju demokrasi. Terdapat juga SARA asimilatif yaitu negara yang menerapkan kebijakan membujuk atau memaksa golongan minoritas untuk menggunakan bahasa dan identitas budaya mayoritas, seperti Rumania, Slovaakia, Estonia, Latvia, Bulgaria dan negara-nagara Asia Tengah. Negara-negara yang masih kelembagaan mereka tampak lebih beresiko dilanda konflik berdarah nasionalis. Snyder menggolongkan nasionalisme menjadi empat macam berdasarkan imbauan yang digunakan untuk mencapai kemaslahatan umat, yaitu : nasionalisme sipil, nasionalisme kontrarevolusioner, nasionalisme revolusioner, dan nasionalisme SARA. Tiga yang disebut terakhir sarat permusushan dan eksklusif berusaha agar hak kelompok ditentukan menurut garis SARA. Nasionalisme sipil yang mendekati ideal, tidak menggunakan kriteria SARA sebagai acuan keanggotaan kelompok melainkan kesetiaan terhadap ide dan lembaga politik yang dianggap tangguh.jalan mana yang mau dilalui suatu bangsa tidak lepas dari sejarah yang turut menciptakan peluang serta membentuk motivasi para penggerak partisispasi politik tersebut. Dalam hal ini ada tiga faktor utama yang menetukan, menurut Snyder, yaitu : Kemantapan lembaga sipil, termasuk di dalam nya lembaga pers Ketegaran kepentingan elite Tingkat perkembangan sosial ekonomi saat transisi demokrasi dilaksanakan. 4. Demokrasi dan korupsi Berkembangnya demokrasi saat ini ternyata banyak merisaukan berbagai pihak ketika menengok laju demokratisasi yang beriringan dengan laju korupsi yang tak kunjung reda. Apakah demokrasi justru merupakan katalisator bagi terciptanya korupsi, adalah sebuah pertanyaan yang naif karena justru demokrasi yang menekankan peran penting partisispasi masyarakat dalam sistem politik memberi ruang yang lebih untuk meminta akuntabilitas pejabat dan serta mewujudkan mekanisme politik yang transparan. Korupsi berasal dari bahasa Inggris corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang artinya bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Banyak yang mendefinisikan tentang korupsi, salah satunya yaitu Klitgaard, yaitu korupsi sama dengan monopoli plus keleluasaan, minus pertanggungjawaban (akuntabilitas).banyak istilah umum dalam kegiatan korupsi di Indonesia, diantaranya uang tip, angpao, uang administrasi, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang pangkal, uang rokok, uang damai, di bawah meja, tahu sama tahu, uang lelah. Akibat yang disebabkan oleh korupsi juga dijabarkan oleh lembaga masyarakat transparansi Indonesia. Korupsi dapat membawa konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan, yaitu: Korupsi mendelegitimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan kepada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik dan menafikkan supremasi hukum (the rule of law). Korupsi meniadakan sistem promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.

Korupsi mengakibatkan proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan hutang luar negeri. Moran memilah beberapa negara yang dikategorikan menuju transisi demokrasi tetapi juga sekaligus menuju masifitas korupsi. Kategori tersebut adalah sebagai berikut : Transisi yang berlangsung dari pemerintahan otoritarian, misalnya Indonesia, Filipina, Korea Selatan Transisi dari negara bekas komunis, misalnya negara-negara bekas Uni Soviet, negara-negara Eropa Timur, dan Asia Tengah. Negara-negara dekolonisasi, misalnya negara di kepulauan Karibia, Negara baru seperti Timor-Timur Dari beberapa negara tersebut memiliki tipe yang sama yakni ketika memasuki era transisi menuju demokrasi negara dalam keadaan lemah. Proses demokratisasi yang disertai oleh perubahan politik yang drastis, yakni diselenggarakannya pemilu untuk merealisasikan mekanisme pergantian kekuasaan secara konstitusional, adanya kompetisi partai politik yang bertarung dalam pemilu, kebebasan berpendapat, dan berorganisasi, adanya jaminan bagi kebebasan sipil, ternyata tidak secara otomatis meredusir tingkat korupsi yang sebelumnya marak terjadi. Untuk jelasnya dapat dilihat dari laporan transparancy internasonal yang memberikan peringkat negara paling bersih (dengan skala 10) hingga negara paling korup (skala 0). Dapat dilihat bahwa negara-negara dengan kategorisasi Moran menduduki peringkat terbawah dalam derajat berrsih dari korupsi, atau paling tinggi dalam artian paling korup sedunia. Namun juga harus dilihat bahwa ada sebuah sistem yang lebih besar yang tetap melahirkan korupsi dalam mekanisme demokrasi. Menurut John Girling, bertemunya sistem demokrasi dengan praktek-praktek ekonomi kapitalisme, melahirkan ketidaksesuaian yang mengakibatkan korupsi ekonomi-politik. Sistem demokrasi bermaksud untuk mengakomodasi dan memperjuangkan kepentingan umum, sementara sistem ekonomi dalam kapitalisme selalu memperjuangkan kepentingan pribadi. VI Prospek demokrasi (layu atau berkembang) Bab ini mencoba memaparkan analisis tentang prospek demokrasi dari dua sisi yang berjalan seiring bersama, yakni sisi pesimis yang memandang hambatan demokrasi dan problemanya akan mengancam keberlangsungan demokrasi (demokrasi menjaadi layu), dan sisi optimis yang memandang masa depan demokrasi secara optimistik mengingat dialektika teorisasinya terus mendukung dan melengkapi keberlangsungan demokrasi (demokrasi kian berkembang). 1. Demokrasi layu ? Perbincangan demokrasi memang harus diakui kini mendominasi wacana perdebatan publik akademis secara lebih optimistis. Hal ini didorong oleh kemenangan demokrasi-liberalisme atas komunisme yang ditandai oleh bubarnya uni soviet, the end of history kata Fukuyama. Kelompok pesimis juga lantang menyuarakan sejumlah masalah akut yang apabila dibiarkan akan menghancurkan negara pemakainya serta masyarakat penghuninya. Tuduhan ini sah saj ditengahkan dalam perdebatan masa depan demokrasi.

Kelompok pesimis dari awal sudah mengingatkan bahwa demokrasi tidak akan mudah berkembang dalam realitas politik aktual. Demokrasi baru bisa disemaikan jika tersedia lahan yang memang kondusif bagi pertumbuhannya. Sebagaimana dinyatakan Macpherson bahwa demokrasi seringkali menimbulkan kekcewaan. Demokrasi butuh lahan yang subur untuk perkembangannya, yakni: penyelenggaraan masyarakat yang bersaing individualis dan berorientasi pasar, dan terselenggaranya negara liberal. Bahkan Dorothy Pickles berani menegaskan bahwa tidak ada demokrasi yang sempurna. Begitu pula Tannsjo berpendapat bahwa bisa terjadi konflik di antara demokrasi di satu tempat dengan tempat yang lain di dalam masyarakat yang sama. Dalam konteks ini ia memandang demokrasi secara kontekstual, yaitu demokrasi untuk siapa, demokrasi di mana, dan kapan serta dalam keadaan apa. Huntington sendiri, disamping menolak tesis Fukuyama jauh lebih skeptis ketika memandang masa depan demokrasi : sejarah telah membuktikan bahwa baik mereka yang optimis maupun yang pesimis keliru mengenai demokrasi. Kejadian di masa depan mungkinakan membuktikan hal yang sama. Terdapat hamabatan-hambatan besar bagi perluasan demokrasi di masyarakat. Gelombang ketiga revolusi demokrasi global pada akhir abad ke 20, tidak akan terjadi untuk selamanya. Gelombang tersebut mungkin akan diikuti oleh gelombang baru otoritarianisme yang cukup berkelanjutan untuk menciptakan gelombang balik yang ketiga. Hal itu, bagaimanapun juga, tidak akan menghalangi gelombang demokratisasi keempat yang dikembangkan pada suatu saat di abad ke 21. Robert Kaplan bahkan menemukan fakta bahwa demokrasi tidak menyelamatkan bangsa Afrika. Bukan perpolitikan rasional yang muncul di benua itu, tetapi pertarungan antar suku dan agama. Maslahnya, demokrasi mengandalkan parpol yang menjadi agregasi kepentingan. Di Afrika hal itu tidak terjadi. Parpol ternyata hanya berbasis agama atau kesukuan dan pertarungan antar suku dan agama Selanjutnya tahun 1994 Freedom House (FH) telah mencatat tentang suramnya prospek demokrasi ketika dalam laporannya diketemukan sebagian besar kelima puluh negara tidak bebas, yakni empat puluh sembilannya, negara itu memiliki satu atau lebih dari tiga karakteristik berikut : Mereka memilki populasi mayoritas muslim dan sering mendapat tekanan-tekanan fundamentalis Islam yang kuat Mereka mengalami kerasnya perpecahan etnis tanpa sebuah kelompok etnis yang dominan Mereka memiliki rezim neo-komunis atau pasca komunisme dengan dominasi satu partai yang menyebar kuat. Bahkan pada laporan tahun 2002, FH malah menemukan bahwa dunia Islam, selain Mali di Afrika, secara umum gagal membangun rezim demokratis. Pesimisme ini berlanjut ketika tidak hanya temuan FH yang menyatakan wilayahwilayah Timur Tengah, Afrika serta negara-negara mantan komunisme mengalami kemerosotan demokrasi, tetapi pada kenyataannya fenomena demokrasi yang berwajah bopeng dan bersifat merusak memang tidak bisa dipungkiri telah terjadi. Kesenjangan implementasi demokrasi di negara-negara Afrika, Amerika Latin, Asia dan bekas negara-

negara komunis dengan ketentuan-ketentuan kelembagaan formalnya adalah disebabkan institusi-institusi politiknya terlalu lemah untuk menjamin perwakilan dari kepentingankepentingan yang beragam, supremasi konstitusional, supremasi hukum, dan pembatasan kekuasaan eksekutif. Pesimisme selanjutnya bermuara pada lahirnya spesiesbaru yang memotret layunya perkembangan demokrasi di Amerika Latin, yakni apa yang dipopulerkan oleh Guillermo ODonnel dengan istilah demokrasi Delegatif. Menurut ODonnel demokrasi delegatif memberikan tekanan secara kritis pada tiadanya akuntabilitas horisontal antara sang presiden terpilih dan kedua cabang pemerintah lainnya. Meski memiliki struktur-struktur konstitusional formal dari demokrasi- bahkan memenuhi standar-standar empiris dari demokrasi liberal mereka secara konstitusional kosong dan rapuh. Kata kuncinya adalah bahwa demokrasi delegatif bukan hanya sebuah struktur tapi juga sebuah proses, yang seiring waktu cenderung menegaskan pelemahan institusi-institusi politik dan personalisasi kekuasaan politik. Dalam proses tersebut, demokrasi menjadi bukan sekedar berbeda, atau bertahan terus tanpa konsolidasi, tetapi kian melemah, lebih keropos (kosong bagian dalamnya), dan lebih rapuh. Fransisco Werffot memberikan contoh termurni patologi-patologi demokrasi delegatif, yakni kepemimpinan personalistik, pemilihan plebisiter dan politik klien, pada kasus Brasil dimulai dari meninggalnya presiden terpilih yang populis, Tancredo Neves tahun 1985. Demikian contoh patologi demokrasi delegatif yang merupakan alur logis dari kubu pesimis yang memandang demokrasi secara minor. 2. Demokrasi berkembang Fukuyama yang dengan lantangnya menyatakan ambruk komunisme menandai era baru kemenangan demokrasi liberal sebagai akhir dari sejarah. Eforia ini dapat dipahami terutama ketika menengok keruntuhan rezim otoriterdi Amerika Latin, Asia, serta Afrika yang dikenal dengan sebutan gelombang demokratisasi ketiga. Terlebih dengan menunjuk pada jumlah negara penganut demokrasi yang peningkatannya sungguh luar biasa. Kalau kubu pesimisme memandang kawasan Timur Tengah dan kawasan Sub Shara Afrika yang berpenduduk muslim sebagai penghambat laju demokratisasi, karena rendahnya skor kebebasan di sana, tidak demikian halnya dengan kubu optimisme. Di negara tersebut tampaknya memungkinkan dalam jangka panjang. Secara kultural dan historis, inilah wilayah paling sulit di dunia bagi kebebasan politik dan demokrasi. Tetapi orang Islam semakin tidak seragam dlam bersuara dan terdapat pertumbuhan arus pluralis demokratis.sebuah kelompok reformis Islam yang baru tumbuh sedang bergulat dengan pertanyaan tentang bagaimana memodernisasi dan mendemokratisasi sistem politik dan ekonomi dalam sebuah konteks Islam. Lebih jauh, reformasi demokratis telah berlangsung secara signifikan di Yordania. Belum lagi ditambah oleh perkembangan demokrasi yang signifikan yang dilakukan oleh negeri Muslim lainnya. Sultan Brunei menyetujui dicairkannya kembali lembaga perwakilan yang telah lama dibekukan. Indonesia sebagai negeri berpenghuni penduduk muslim terbesar di dunia, sukses melaksanakan pemilu terumit, yakni dengan memilih anggota parlemen dan presiden secara langsung. Namun demikian, bukan berarti kubu ini tidak mendapatkan kecaman. Hanya saja sika berkelit yang masuk akal rupanya menjadi jurus ampuh untuk mengamankan semangat optimistik, atau meminjam istilah I. Wibowomemaafkan

demokrasi. Wibowo mwncoba mengeksplorasi kelemahan demokrasi dengan cara memaklumi atau dengan sebutan memaafkan demokrasi yang dapat dipandang sebagai jalan terbaik untuk menyelamatkan demokrasi. Ada empat cara untuk itu, yaitu : Cara yang paling persuasif yaitu mengatakan ada periode transisi menuju demokrasi Dengan mengatakan masa ini adalah masa konsolidasi demokrasi Dengan mengatakan bahwa banyak macam kualitas demokrasi di dunia. Dengan memberi ajektif pada tiap kata demokrasi. Sehingga mau dikatakan tiap bangsa memiliki demokrasinya sendiri, tidak boleh dibandingkan dengan demokrasi di tempat lain. Berikut konsepsi democratic developmental State yakni sebuah solusi bagi negara-negara berkembang untuk memajukan pembangunan tanpa harus mengorbankan demokrasi sebagaimana layaknya otoriterisme melakukannya. Democratic Developmental State Development state kurang lebih diartikan sebagai negara yang mana hubungn internal dan eksternal politiknya menampilkan pemusatan kekuasaan yang memadai yang mencakup kewenangan, otonomi, kompetensi, dan kapasitas yang terpusat pada bentuk, tujuan, dan peningkatan pencapaian tujuan pembangunan secara eksplisit, baik melalui pendirian dan pengembangan kondisi pertumbuhan ekonomi atau melalui pengorganisasian secara langsung, atau pula melalui kedua-duanya. Ciri-ciri karakter development state : 1. Dipimpin oleh elite dominan 2. Adanya wilayah otonom yang relatif antara elite dan institusi negara yang mereka pimpin 3. Baik determinasi pembangunan para elite maupun otonomi relatif negara sama-sama membantu membentuk kekuasaan penuh, kompetisi yang tinggi dan mengisolasi birokrasi dengan kewenangan secara langsung serta mengelola pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial secara lebih luas. 4. Di dalam development state, masyarakat sispil memiliki posisi yang lemah, dibawah hegemoni negara 5. Kekuasaan, kewenangan, dan otonomi negara ditingkatkan dan dikonsolidasikan pada sejarah pembangunan modernnya sebelum investasi asing masuk dan menjadi berpengaruh. Kini ketika fenomena otoriterisme kehilangan daya jualnya, dan digantikan oleh rezim-rezim yang lebih demokratis kisah sukses development state dapat diterjemahkan ke dalam negaranegara yang selama ini mengalami problema dalam hubungan demokrasi dan pembangunan. Dalam democratic development state (negara pembangunan yang demokratis ), negara tetap berposisi secara kuat tetapi tidak lagi bersifat otoriterisme, melainkan memiliki kapasitas yang kuat menegakkan rule of law, mengejar kepentingan kesejahteraan sosial (social welfare) yang berkelanjutan dan menggalakkan pemerintahan yang bersih. Democratic development state merupakan terobosan penting karena mereka menempuh langkah utama dalam mentransformasikan kesejahteraan secara umum ke dalam masyarakatnya dengan cara yang demokratis. Adrian Leftwich memberikan tiga contoh kasus negara-negara yang dapat menjelaskan democratic development state, yakni :

Botswana, singapura, dan malaysia. Meski di Malaysia dan Singapura track record hak asasi sipil tergolong mengkhawatirkan ketika dilihat dari kacamata demokrasi liberal, terlebih singapura, prospek negara-negara ini dalam menyejahterakan masyarakatnya tidak diragukam lagi. Rendahnya tingkat kebebasan tersebut melahirkan kritisme sehingga democratic developmental state sering dituding tidak ubahnya seperti demokrasi otoritarian.. Oleh leftwich persamaan tersebut ditolak, terlebih apabila membandingkan ketiga negara tersebut dengan negara-negara otoriter seperti bekas unu soviet., afrika selatan masa apartheid, dan Indonesia masa Soeharto. Ketiga kasus tersebut di atas menggambarkan betapa kekuasaan , kewenangan, otonomi, kontinuitas, dan kapasitas politik yang telah disediakan oleh developmental state dan elite politiknya didayagunakan untuk menopang dan mencapai percepatan laju ekonomi. Hal ini dimungkinkan karena mereka memiliki partai-partai yang dominan puluhan tahun lamanya. Tentunya contoh di atas sangat berbeda dengan apa yang terjadi di dalam negara yang menganut developmental state, tetapi tidak memiliki partai politik yang dominan, sehingga praktis upaya demokratik mengalami kendala dalam kerangka tersebut. Hal ini terjadi di Sri Lanka dan Jamaika. Demokrasi kosmopolitan Merupakan bagian dari perkembangan demokrasi dewasa ini dalam konteks globalisasi. Demokrasi kosmopolitan merupakan suatu sistem pemerintahan demokratis yang timbul dari dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang beraneka ragam dan saling hubungan di antara rakyat dan bangsa yang berbeda-beda. Ia juga merupakan suatu konsepsi hubungan legal demokratis yang disesuaikan secara tepat dengan dunia bangsa-bangsa yang terjerat dalam jaringan proses regional dan global. Model demokrasi kosmopolitan akan mengusahakan terciptanya legislatif dan eksekutif trans nasional yang efektif pada tingkat regional dan global, yang diikat oleh dan beroperasi dalam syarat-syarat hukum demokratis pokok.

BAB II ANALISIS Secara parsial, pertama-tama analisis ini dikhususkan sebagai analisis Bab I. Bab I dikategorikan sebagai bab awal yang membahas bagaimana perjalanan demokrasi mulai dari sejarah kemunculan demokrasi itu sendiri dengan bermacam-macam pandangan; yang sebagian diantaranya memandang kemunculannya itu sejak jaman Mesir Kuno dan Mesopotamia Kuno sampai pada demokrasi masa modern. Isi dari bab ini, dilihat dari sub bab per sub babnya cukup mewakili keterikatan konten bagaimana perjalanan demokrasi yang ada di dunia. Isinya tidak banyak kiasan dan tidak bertele-tele. Tersusun dan terkonsep rapih dengan pembagian koridor sub-bab babnya yang tegas. Kekurangannya terletak pada sempitnya cakupan materi atau pengetahuan pada beberapa bagian tertentu. Seperti salah satunya pada bagian materi demokrasi masa modern. Tidak ada disinggung di dalamnya bagaimana demokrasi mampu diterpkan pada masa modern di berbagai model negara. Seperti misalnya dari kajian demokrasi berdasarkan pembagian negara maju dan negara berkembang. Bagaimana kita dapat membandingkan penerapan demokrasi pada negara maju dan berkembang pasti akan memiliki perbedaan dan gejolak yang menarik untuk dikaji. Terlebih tentang demokrasi dan aplikasinya di negara kita Indonesia. Hal ini menarik untuk diketahui sebagai dasar kita menerapkan dan menjalankan demokrasi. Seperti penjelasan penjelmaan demokrasi dengan judul Sila Keempat : Menjalani Eksperimen Demokrasi yang disusun oleh Tim Kompas (2010:121) dalam buku yang berjudul Merajut Nusantara Rindu Pancasila, dimana dinyatakan melalui suguhan permasalahan-permasalahan demokrasi Indonesia : Diskursus soal kerakyatan dan musyawarah-mufakat perlu dimunculkan. Pendidikan demokrasi menjadi keniscayaan di tengah pergerakan demokrasi yang tidak terkontrol. Esensi musyawarah-mufakat yang terkandung dalam Pancasila perlu dibumikan dalam praksis politik. Peringatan 65 tahun kemerdekaanmenjadi momen tepat bagi kita untuk melihat dan membumikan kembali relasi Pancasila, konstitusi, undang-undang serta perilaku politik. Dengan upaya itu, kita bisa selamat dalam menjalani eksperimentasi demokrasi. Untuk analisis Bab II, dengan judul Menjelaskan Demokrasi, isi daripada bab ini sudah menggambarkan keseluruhan apa itu demokrasi dari berbagai substansi, bentuk dan pola. Penjabaran yang runtun mulai dari definisi umum yaitu pada bagian Upaya Pendefinisian berlanjut ke hal-hal pendefinisan khusus selanjutnya sampai pada cara pengukuran demokrasi menjadikan atau mempermudah pemahaman kita akan topik demokrasi ini. Begitu pentingnya kita untuk mengerti apa itu demokrasi. Sehingga pemahaman awal mengenai definisi demokrasi pada bab II ini pun sangatlah penting karena kita tidak ingin bertindak salah dan menyaahi konsep demokrasi yang sudah dibangun begitu idealnya atau sederhananya kita tidak menginginkan kebebasan dalam demokrasi yang tidak kenal batas terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam Kompas (2010:119)

menyebut euforia demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan sering disalah artkan sebagai kebebasan tanpa aturan (Lawlessness Freedom) dan tanpa kepatuhan pada hukum. Sebagai tambahan, bab ini akan lebih lengkap lagi jika memasukkan poin-poin tersendiri mengenai bagaimana cara merealisasikan pengembangan demokrasi disamping penjelasan pengukuran demokrasi. Sebagaimana yang dituangkan dalam buku Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, Wahab & Sapriya (2011) mengenai realisasi pengembangan demokrasi sebagai berikut : Untuk merealisasikan arah pengembangan pendidikan demokrasi yang baru, selayaknya dilakukan analisis terhadap curriculum content, buku ajar PKn dan survei terhadap konsep piir para pakar dan praktisi guna menentukan pangkal tolak dan arrah pengembangan program pendidikan kewarganegaraan yang sesuai dengan tuntutan era demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan adanya kajian dan analisis ini diharapkan akan diperoleh suatu pola dan gambaran curriculum content yang sesuai dengan kebuthan dan tuntutan masyarakat dan bangsa di era informasi menuju masyarakat madani yang ditandai oleh adanya masyarakat demokratis yang berwawasan global. Untuk analisis Bab III, dengan judul Tipe-tipe demokrasi, pada bab ini dijabarkan tentang tipe-tipe demokrasi secara universal yang ada di dunia. Tipe-tipe demokrasi yang dijelaskan dalam bab III ini cukup rinci dan jelas. Bahasa yang digunakan cukup mudah di pahami dengan alur runtut menjadi poin tersendiri. Kekurangan dalam bab III yang membahas tipe-tipe demokrasi adalah penulis hanya menjabarkan tipe demokrasi secara umum dan sama sekali tidak membahas tentang demokrasi yang ada di Indonesia. Untuk analisis Bab IV, dengan judul Demokratisasi: Sebuah Ikhtiar Demokrasi. Pada bab IV yang membahas tentang materi demokratisasi yang mencakup pengertian demokratisasi, gelombang demokratisasi, masa gelombang demokratisasi, dan jalur menuju demokratisasi dipaparkan secara jelas dan rinci dengan penjelasan-penjelasan yang tidak ambigu dan mudah dipahami. Selanjutnya untuk analisis bab V dan VI, kami melihat bahwa dalam bab tersebut dibahas mengenai isu-isu kritis dan prospek demokrasi ke depan (layu atau berkembang). Pada bab isu-isu kritis, penulis menguraikan isu yang berkaitan dengan demokrasi dan pembangunan, demokrasi dan radikal agama, demokrasi dan konflik, serta demokrasi dan korupsi. Dalam pembahasannya kami melihat bahwa buku ini memiliki cakupan pembahasan yang cukup luas. Misalnya dalam membahas tentang isu-isu kritis yang berkaitan dengan demokrasi, penulis menguraikan pihak yang pro dan kontra terhadap demokrasi. Untuk isu demokrasi dan pembangunan, penulis menguraikan negara-negara mana yang berhasil dalam pembangunannya ketika menggunakan demokrasi dan juga menguraikan negara-negara yang tidak berhasil dengan pembangunannya ketika menggunakan sistem demokrasi. Begitu pun juga dengan isu-isu lain yang berkaitan dengan agama, konflik, dan korupsi. Dalam bab VI yaitu prospek demokrasi, penulis juga menguraikan tentang pihak dan pendapat dari kelompok yang pesimis dan optimis akan keberlangsungan sistem demokrasi. Namun, ada beberapa kelemahan yang mungkin bisa dijadikan bahan masukan. Menurut kami, materi yang disajikan dalam bab V dan VI ini memang cukup luas namun kurang mendalam. Pada buku tersebut pembahasan mengenai isu-isunya terlalu umum

bahkan untuk negara Indonesia sangat sedikit dibahas. Mungkin akan lebih baik jika dibahas lebih mendalam atau bila perlu dibuat bab tersendiri untuk isu-isu kritis demokrasi (demokrasi dan pembangunan, demokrasi dan radikal agama, demokrasi dan konflik, demokrasi dan korupsi) yang ada di Indonesia karena itu akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat kita sendiri. Seperti yang terdapat dalam buku Agama dan Pendidikan Demokrasi karangan Fuad Fachrudin, ia menjelaskan bagaiman pluralisme dalam suatu agama dengan demokrasi. Misalnya NU dan masyarakat demokrasi, Muhammadiyah dan demokrasi. Selanjutnya kami juga membaca bahwa penulis juga menguraikan tentang nasionalisme. Dalam pembahasannya kami menangkap bahwa nasionalisme tersebut tidak sejalan dengan demokrasi. Alangkah baiknya bila dalam menguraikan tentang nasionalisme, penulis memberikan penjelasan yang lebih mendalam agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami makna nasionalisme. Seperti yang diuraikan oleh Roeslan Abdulgani (Herbert Feith dan Lance Castles), ia membahas tentang nasionalisme radikal namun ia mempertegas bahwa nasionalisme yang ada di Indonesia berdasarkan demokrasi keadilan sosial. Dengan demikian tidak akan ada kesalahan dalam memahami nasionalisme tersebut. Kelemahan lain yang bisa kami lihat adalah, dalam pembahasannya penulis menguraikan tentang demokrasi kosmopolitan yang merupakan jenis demokrasi yang cocok untuk era globalisasi saat ini. Menurut kami alangkah lebih baik jika dalam bab isu-isu kritik demokrasi, penulis juga menguraikan tentang isu yang berkaitan dengan demokrasi dan globalisasi. Terakhir, dari pembahasan isu-isu dan prospek demokrasi ke depan akan lebih baik jika penulis menguraikan juga tentang pendidikan demokrasi sebagai solusi bagi warga negara dalam menghadapi atau menjalankan sistem demokrasi. Seperti yang dijelaskan oleh Fuad (2006) tentang pendidikan demokrasi bagi warga negara, yaitu : 1. Mengembangkan kapabilitas pemikiran dan partisipasi masyarakat yang bertanggung jawab sebagai warga negara demokratis dalam berbagai segi kehidupan 2. Memberikan seperangkat nilai-nilai inti demokrasi atau sikap demokratis seperti menghormati perbedaan yang masuk akal, pandangan berbeda dan harga diri manusia menghargai hak minoritas, sikap peduli terhadap orang lain keadilan, partisipasi, kebebasan sebagai syarat warga negara untuk menciptakan masyarakat demokratis. 3. Mengajarkan bagaimana menggunakan konsep demokrasi dala pengertian bentuk pemerintahan, khususnya pemerintahan demokratis. 4. Membentuk warga negara politik yang percaya, setia, menjunjung tinggi dan mendukung prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menjadi warga negara yang efektif .

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Demokrasi telah dikembangkan gagasannya sejak masa Mesir kuno dan Mesopotamia Kuno (3000 tahun sebelum masehi). Pendapat lain mengatakan demokrasi dimulai sejak Amerika Serikat berhasil melancarkan revolusi dan mengeluarkan konstitusi yang terkenal demokratis. Banyak sarjana lain berpendapat demokrasi dimulai masa Yunani kuno. perbedaan ini muncul karena kekayaan wacana tentang sejarah demokrasi 2. Teorisasi demokrasi melahirkan dua pendekatan yang lazim digunakan apaila mengkaji konsep demokrasi : Klasik normatif dan Empirik minimalis. Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan. Sementara pendekatan empirik lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun. Pendekatan klasik-normatif lebih banyak membicarakan ide-ide dan modelmodel demokrasi secara substantif, mendefinisikan demokrasi sebagai kehendak rakyat sebagai sumber atau alat mencapai tujuan kebaikan bersama. 3. Tipe-tipe demokrasi secara universal terdiri dari: pertama, demokrasi langsung (direct democracy); kedua, demokrasi representatif. Demokrasi representatif dibagi menjadi demokrasi parlementer dan demokrasi presidensial. Sementara itu ada juga demokrasi elektronik (E Democracy). Tipe E Democracy dibagi menjadi tiga, yaitu: teledemocracy, cyberdemocracy dan electronic democratization. 4. Demokratisasi merupakan proses menuju demokrasi yang harus didefinisikan sebagai adanya peningkatan penerapan pemerintahan rakyat pada lembaga, masalah dan rakyat sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi. Gelombang demokrasi merupakan sekelompok transisi dari rezim-rezim demokratis, yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak dari pada transisi menuju arah sebaliknya. Jalur menuju demokratisasi dapat ditempuh dengan tiga jalur/pendekatan, yaitu: pendekatan modernisasi, pendekatan struktural dan pendekatan transisi. 5. Isu-isu kritis demokrasi yang terjadi saat ini dintaranya adalah demokrasi dan pembangunan, demokrasi dan radikalisme agama, demokrasi dan konflik, demokrasi dan korupsi. 6. Memandang tentang prospek demokrasi ke depan, maka ada dua kelompok yang memberikan pandangannya, yaitu kelompok yang pesimis dan yang optimis akan keberlangsungan sistem demokrasi. Masing-masing kelompok mempunyai alasan dan bukti-bukti tersendiri dalam mempertahankan pendapatnya. B. Saran 1. Buku yang membahas mengenai apa demokrasi ini akan lebih mudah dipahami jika melebarkan pengetahuan menjadi ke ranah aplikasi dan permasalahan dewasa ini didalam perjalanan demokrasi itu sendiri. 2. Akan lebih baik jika buku ini mampu menyuguhkan kondisi demokrasi pada beberapa negara baik itu negara maju maupun negara berkembang sebagai perbandingan penerapan konsep demokrasi pada berbagai kondisi negara.

3. Tipe-tipe demokrasi yang ada dalam buku ini akan lebih baik jika tidak hanya menjelaskan tipe-tipe demokrasi secara umum yang ada di dunia saja tetapi juga menjelskan tentang demokrasi secara khusus yang ada di Indonesia. 4. Buku yang berjudul menjelajahi demokrasi ini akan lebih sempurna jika dapat menyajikan materi nya secara lebih mendalam 5. Alangkah lebih baik jika di dalam buku ini diuraikan dalam bab tersendiri mengenai isuisu-isu demokrasi yang ada di Indonesia dan pendidikan demokrasi bagi warga negara sehingga akan lebih memberikan kebermanfaatan yang lebih nyata khususnya bagi masyarakat Indonesia sendiri.

DAFTAR PUSTAKA Fachrudin, Fuad. 2006. Agama dan Pendidikan Demokrasi. Jakarta: pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP. Feith, Herbert dan Lance Castles. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES Penerbit Buku Kompas (2010). Merajut Nusantara, Rindu Pancasila. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara Suyatno. 2008. Menjelajahi Demokrasi. Bandung: Humaniora. Wahab & Sapriya (2011). Teori & Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Alfabeta

Filename: Directory: Template:

COVER BOOK REPORT C:\Users\Oce\Documents C:\Users\Oce\AppData\Roaming\Microsoft\Templates\Normal.dot

m Title: Subject: Author: Acer45407 Keywords: Comments: Creation Date: 19/12/2012 15:14:00 Change Number: 1 Last Saved On: 19/12/2012 15:16:00 Last Saved By: Acer45407 Total Editing Time: 3 Minutes Last Printed On: 04/03/2013 17:19:00 As of Last Complete Printing Number of Pages: 29 Number of Words: 11.256 (approx.) Number of Characters: 64.162 (approx.)

You might also like