Professional Documents
Culture Documents
t
_
,
Keterangan:
L : panjang lajur darurat (m)
V : kecepatan masuk (km/jam)
R : tahanan laju, dinyatakan dengan kelandaian ekivalen (%)
G : kelandaian (%), (+) tanjakan; (-) turunan.
5.5.7.6 Lengkung vertikal
Lengkung vertikal diperlukan untuk menyediakan peralihan yang nyaman pada jalan yang
peralihan antara mendaki dan menurun sehingga nyaman dan aman. Lengkung parabola
menyediakan peralihan dengan laju yang konstan dalam membentuk lengkung vertikcal dan
memenuhi persyaratan pandangan pengemudi sepanjang lengkung.
5.5.7.7 Panjang lengkung vertikal
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan
kelandaian dengan tujuan:
a) mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian; dan
b) menyediakan jarak pandang henti.
5.5.7.8 Lengkung vertikal cembung
Panjang lengkung vertikal cembung, berdasarkan jarak pandangan henti dapat ditentukan
dengan rumus sebagai berikut:
a) jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung (S < L),
seperti pada Gambar 19;
658
2
AS
L
b) jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cembung (S > L),
seperti pada Gambar 20.
A
S L
658
2
dengan pengertian:
L : panjang lengkung vertikal (m)
A : perbedaan aljabar landai (%)
S : jarak pandang henti (m)
51 dari 147
G1
G2
R1
Gambar 19 Jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung
Gambar 20 Jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cembung
Nilai minimum untuk panjang lengkung vertikal pada kondisi jarak pandang lebih besar dari
panjang lengkung vertikal, yaitu Lmin = 0,6 VR, dimana VR dalam km/jam dan Lmin dalam meter.
Panjang minimum lengkung vertikal cembung berdasarkan jarak pandangan henti, untuk
setiap kecepatan rencana (Vr) jalan tol dapat menggunakan Tabel 22.
Tabel 22 Panjang lengkung vertikal cembung berdasarkan jarak pandang henti
Perbedaan aljabar landai
(%)
Panjang lengkung vertikal cembung (m)
VR = 120 km/jam VR = 100 km/jam VR = 80 km/jam VR = 60 km/jam
12,0 625 309 132
11,0 573 283 121
10,0 521 257 110
9,0 469 232 99
8,0 760 417 206 88
7,0 665 365 180 76
6,0 570 313 155 61
5,0 475 261 129 39
4,0 380 209 96 36
3,0 285 151 48 36
2,0 171 60 48 36
1,0 72 60 48 36
5.5.7.9 Lengkung vertikal cekung
Panjang lengkung vertikal cekung, berdasarkan jarak pandangan henti dapat ditentukan
52 dari 147
h1
h2
S
L
h1
h2
G1
G2
L
S
R1
dengan rumus sebagai berikut:
a) jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cekung (S < L)
S
AS
L
5 , 3 120
2
+
b) jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung (S > L),
,
_
+
A
S
S L
5 , 3 120
2
dengan pengertian:
L : panjang lengkung vertikal (m)
A : perbedaan aljabar landai (%)
S : jarak pandang henti (m)
Nilai minimum untuk panjang lengkung vertikal pada kondisi jarak pandang lebih besar
panjang lengkung vertikal, yaitu Lmin = 0,6 VR, dimana VR dalam km/jam dan Lmin dalam meter.
Panjang minimum lengkung vertikal cekung berdasarkan jarak pandangan henti, untuk
setiap kecepatan rencana (VR) dapat menggunakan Tabel 23.
Tabel 23 Panjang lengkung vertikal cekung berdasarkan jarak pandang henti
Perbedaan aljabar landai
(%)
Panjang lengkung vertikal cekung (m)
VR = 120 km/jam VR = 100 km/jam VR = 80 km/jam VR = 60 km/jam
12,0 536 353 208
11,0 491 324 191
10,0 446 294 174
9,0 402 265 156
8,0 503 357 236 139
7,0 440 313 206 122
6,0 377 268 177 104
5,0 315 223 147 87
4,0 252 179 117 66
3,0 169 115 69 36
2,0 72 60 48 36
1,0 72 60 48 36
5.6 Simpangsusun
5.6.1 Kriteria umum
Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam perencanaan simpangsusun:
1. Jenis-jenis ramp (Direct, Indirect, Loop)
2. Jalur-jalur tambahan yang terdiri dari lajur percepatan dan perlambatan
53 dari 147
R1
3. Tempat keluar masuk simpangsusun
4. Penggunaan sumbu acuan perancangan antara sumbu jalan di jalan utama dengan
sumbu jalan di ramp.
5. Standar geometri yang digunakan:
a. Landai ramp untuk lajur percepatan dan perlambatan
b. Ruang bebas berkaitan dengan tinggi minimum jembatan.
c. Konsistensi bentuk simpangsusun dan dan jarak antara simpangsusun berurutan.
5.6.2 Tipe persimpangan
Jenis-jenis/tipe simpang tak sebidang diantaranya adalah sebagai berikut:
T (atau Trumpet) atau Y, untuk simpangsusun 3 kaki/lengan
Diamond untuk simpangsusun 4 kaki/lengan dan arus major dan minor.
Cloverleaf terdiri dari partial cloverleaf dan full cloverleaf.
Directional atau langsung
Kombinasi, merupakan penggabungan dari bentuk-bentuk dasar diatas
54 dari 147
R1
Gambar XX - Standar tipe Persimpangan/Simpang Susun
55 dari 147
R1
5.6.3 Jarak simpangsusun
Ketentuan jarak simpangsusun seperti dilustrasikan pada Gambar 21, 22, dan 23, adalah
sebagai berikut:
1) Jarak antar simpangsusun untuk jalan tol antarkota minimal adalah 5 (lima) km atau
ketentuan jarak nose ramp jalan masuk dan nose ramp jalan keluar untuk jurusan yang
sama minimal adalah 5 (Lima) km.
2) Jarak antar simpangsusun untuk jalan tol perkotaan minimal adalah 2 (dua) km dengan
ketentuan jarak nose ramp jalan masuk dan nose ramp jalan keluar untuk jurusan yang
sama minimal adalah 2 (dua) km.
Gambar 21 Ilustrasi jarak nose ramp pada on ramp-on ramp dan off ramp-off ramp
Gambar 22 Ilustrasi jarak nose ramp pada on ramp-off ramp
Gambar 23 Ilustrasi jarak nose ramp pada off ramp-on ramp
3) Simpangsusun pelayanan harus dirancanakan menghubungkan jalan tol dan jalan bukan
tol yang berfungsi sebagai jalan arteri atau minimal kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer.
56 dari 147
on ramp on ramp
off ramp
off ramp
on ramp
on ramp
off ramp
off ramp
R1
4) Jarak nose ramp jalan masuk simpangsusun dengan nose ramp jalan keluar tempat
istirahat atau jarak nose ramp jalan keluar simpangsusun dengan nose ramp jalan masuk
tempat istirahat pada arah yang sama minimal 3 (tiga) km.
5) Jarak terowongan dengan jarak nose ramp jalan keluar simpangsusun minimal 1 (satu)
km.
6) Penyediaan simpangsusun pada jalan tol mempertimbangkan jumlah penduduk pada
wilayah yang bersangkutan, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 1 (satu)
simpangsusun untuk 1 (satu) wilayah dengan penduduk minimal 250.000 jiwa.
5.6.4 Kecepatan rencana
Kecepatan rencana ramp simpangsusun yang menghubungkan jalan tol dengan jalan tol
(Simpangsusun Sistem) harus memenuhi ketentuan sebagaimana Tabel 24 berikut:
Tabel 24 Kecepatan rencana ramp pada simpangsusun sistem
VR jalan tol I
(km/jam)
VR jalan tol II
(km/jam)
120 100 80 60
120 60-80
100 60-80 60-80
80 40-80 40-60 40-60
60 40-60 40-60 40-60 40-60
Kecepatan rencana ramp simpangsusun yang menghubungkan jalan tol dengan jalan bukan
tol (Simpangsusun Pelayanan) harus memenuhi ketentuan sebagaimana Tabel 25 berikut:
Tabel 25 Kecepatan rencana ramp pada simpangsusun pelayanan
VR jalan tol
(km/jam)
VR jalan bukan tol
(km/jam)
100 80 60
120 60-80
100 60-80
80 40-60 40-60
60 40-60 40-60 40-60
5.6.5 Penampang melintang
1) Ramp simpangsusun untuk 2 (dua) arah lalulintas harus dilengkapi dengan median.
2) Lebar jalur lalulintas ramp simpangsusun dengan 1 lajur lalulintas dengan 1 arah minimal
4,5 meter dengan tanpa mempertimbangkan kebutuhan pelebaran lajur lalulintas pada
tikungan.
3) Lebar lajur lalulintas ramp simpangsusun dengan 1 lajur lalulintas untuk 1 arah atau
dengan 2 lajur lalulintas untuk 1 arah, dapat dibuat sama dengan lebar lajur lalulintas
pada jalur utamanya dengan mempertimbangkan kebutuhan pelebaran pada tikungan.
57 dari 147
R1
(a) ramp satu jalur satu arah
(b) ramp satu jalur satu arah tanpa pelebaran
(c) ramp dua jalur dua arah
Keterangan:
Satuan dalam meter
(A) : pelebaran yang dibutuhkan
() : angka untuk jalan tol perkotaan
Gambar 24 Tipikal potongan melintang pada ramp
4) Besarnya kebutuhan pelebaran pada ramp mengikuti perhitungan pelebaran pada
tikungan.
5) Pada ramp Simpangsusun Pelayanan dengan 2 lajur lalulintas untuk 1 arah, lebar bahu
luar dapat dibuat sama dengan lebar bahu dalam.Lebar median pada ramp
simpangsusun dengan 2 (dua) lajur lalulintas untuk 2 (dua) arah dapat menggunakan
median datar atau median ditinggikan (median concrete barrier) seperti pada persyaratan
jalan tol.
5.6.6 Perencanaan ramp
5.6.6.1 Tipe ramp
Berdasarkan pergerakannya, terdapat 3 (tiga) tipe ramp, yaitu Direct, Semi Direct, dan
Indirect.
a) Direct (hubungan langsung):
Sebelum titik pusat, ramp langsung berbentuk kearah tujuan, seperti Gambar 25 berikut.
58 dari 147
7.60 + (A)
3.60 + (A) 1.00 3.00 (2.00)
8.50 (7.50)
4.50 1.00 3.00 (2.00)
15.60 + (2A)
3.60 + (A) 1.00 3.00 (2.00) 3.60 + (A) 1.00 3.00 (2.00)
2.40
R1
Gambar 25 Jalur penghubung langsung
b) Semi direct (hubungan setengah langsung)
Dalam menuju arah tujuan, ramp melalui/mengelilingi titik pusat dahulu dan memotong
salah satu arus lain secara tegak lurus, seperti Gambar 26 berikut.
Gambar 26 Jalur penghubung setengah langsung
c) Indirect (hubungan tak langsung)
Dalam menuju arah tujuan, ramp berbelok kearah berlawanan dahulu dan kemudian
memutar sekitar 270
0
, seperti Gambar 27 berikut.
Gambar 27 Jalur penghubung tidak langsung
5.6.6.2 Radius tikungan pada ramp/loop
Radius tikungan pada ramp/loop harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) Sesuai dengan kecepatan rencana masuk ramp, sebagaimana Tabel 26 berikut:
Tabel 26 Radius tikungan minimum untuk ramp
VR
(km/jam)
Radius tikungan minimum (m)
emax = 6% emax = 8% emax = 10%
80 250 230 210
60 135 125 115
59 dari 147
R1
40 55 50 45
Jika digunakan tikungan majemuk, perbandingan antara radius tikungan pertama dengan
tikungan ke dua adalah 2:1, atau minimal 1,5: 1.
Gambar 28 Ramp dengan menggunakan 1 (satu) radius tikungan
Gambar 29 Ramp dengan menggunakan 2 (dua) radius tikungan
Gambar 30 Ramp dengan menggunakan 3 (tiga) radius tikungan
5.6.7 Lajur percepatan dan lajur perlambatan
1) Jalan keluar pada simpangsusun dengan 1 (satu) lajur lalulintas menggunakan lajur
perlambatan tipe taper, seperti berikut.
Gambar 31 Lajur perlambatan tipe taper
60 dari 147
R1
Gambar 32 Lajur perlambatan tipe paralel
2) Jalan Masuk pada simpangsusun dengan 1 (satu) lajur lalulintas menggunakan lajur
percepatan tipe paralel, seperti berikut.
Gambar 33 Lajur percepatan tipe paralel
Gambar 34 Lajur percepatan tipe taper
3) Jalan Keluar dan Jalan Masuk pada simpangsusun dengan 2 lajur lalulintas
menggunakan lajur perlambatan dan lajur percepatan.
5.6.8 Taper
Taper digunakan untuk awal lajur percepatan/perlambatan yang disediakan untuk
pergerakan belok kanan dan belok kiri secara serong, untuk mengarahkan penggabungan
maupun pemisahan terhadap lalulintas di jalur utama.
5.7 Perkerasan
a. Perkerasan jalan tol berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalulintas ke
61 dari 147
WIDENING
( Rigid pavement +flexible pavement )
AC WC 5 cm 5 cmAC WC
AC BC 5 cm
Aggregate base class A
20 cm
Aggregate base class B
20 cm 15 cmAggregate base class B
AC Base 10 cm
10 cmWet lean concrete
30 cmPelat beton
EXISTING PAVEMENT
( Flexible pavement )
Umur Rencana 10 tahun Umur Rencana 10 tahun
Umur rencana sama
R1
tanah dasar
b. Sebagai permukaan jalan, perkerasan harus terdiri dari material dengan spesifikasi yang
tinggi dan kuat yang akan menghasilkan kekesatan permukaan jalan 0,33 m,
kedalaman tekstur 0,65 mm dan ketidakrataan (IRi) 4 m/km.
c. Jenis konstruksi jalan tol meliputi perkerasan lentur dan pekerasan kaku. Penentuan
jenis konstruksi disesuaikan dengan kondisi eksisting dan memperhatikan aspek
ekonomis.
d. Perancangan kekuatan konstruksi perkerasan jalan tol terutama dipengaruhi oleh beban
lalulintas yang melewatinya selama umur rencana, daya dukung tanah dasar, serta
kondisi lingkungan di sekitarnya dan spesifikasi material perkerasan.
Untuk jenis perkerasan lentur, beban lalulintas pada lajur yang dibebani paling besar
menentukan kekuatan konstruksi dari keseluruhan konstruksi perkerasan. Berat gandar yang
bervariasi dari lalulintas dikonversikan ke suatu beban gandar standar sebesar 8,16
ton/equivalent standard axle load (ESAL). Dengan demikian umur konstruksi perkerasan
sebenarnya adalah dalam kemampuan melewatkan sejumlah total (jutaan) ESAL selama
umur rencana.
5.7.1 Pemilihan tipe perkerasan
Pemilihan tipe perkerasan kaku dan perkerasan lentur bisa didekati dengan keuntungan dan
kerugian masing-masing perkerasan. Sehingga dapat diketahui efektif dan efisien
pemilihannya, Efektif adalah dapat dengan tepat menentukan type perkerasan yang akan
dipilih sedangkan efisien adalah sesuai dengan ketepatan anggaran biaya yang telah
direncanakan. Sehingga dapat meminimalkan pemborosan baik dari segi biaya dan waktu.
5.7.2 Umur rencana
Umur rencana flexible pavement umumnya diambil 10 tahun untuk konstruksi
baru dan peningkatan jalan. Sedangkan untuk pemeliharaan jalan dapat diambil 5 tahun.
Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi baru.
Sedangkan untuk pelebaran jalan dimana struktur perkerasan existing adalah
flexible pavement dan pelebarannya dengan gabungan rigid pavement dan flexible
pavement, umur rencana diambil 10 tahun untuk menyesuaikan umur rencana flexible
pavement-nya (yang umumnya umur rencana flexible pavement adalah 10 tahun),
penjelasan ini diperlihatkan seperti pada Gambar 35.
62 dari 147
R1
Gambar 35 Umur Rencana Untuk Pelebaran Perkerasan
5.7.3 Vehicle damage factor
Konstruksi perkerasan jalan tol menerima beban lalulintas yang dilimpahkan melalui roda-
roda kendaraan. Besarnya beban yang dilimpahkan tersebut tergantung dari berat total
kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda dan perkerasan, kecepatan
kendaraan dll.
Dengan demikian efek dari masing-masing kendaraan terhadap kerusakan yang ditimbulkan
tidaklah sama. Oleh karena itu perlu adanya beban standar sehingga semua beban lainnya
dapat diekivalensikan ke beban standar, beban sumbu tunggal beroda ganda seberat 18.000
lb (8,16 ton).
Nilai angka ekivalensi sumbu kendaraan terhadap beban standar diperoleh dari hasil Kajian
Faktor Kerusakan (Vehicle Damage Factor)
Nilai angka ekivalensi sumbu kendaraan (Ek) dari tiap jenis kendaraan menurut laporan
Kajian Faktor Kerusakan adalah sebagai berikut:
Tabel 27 Vehicle Damage Factor (VDF) desain.
63 dari 147
Vehicle Damage Factor (VDF)
A B C D E F G H
1 Sedan, jeep, st. wagon 0.0005 0.0024 0.0001 0.0010 0.0005 0.0020 0.0020 0.0012
2 Pick-up, combi 0.2174 0.2738 0.1580 0.0010 0.3106 0.1960 0.3590 0.2165
3 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 0.2174 0.2738 0.1580 0.2060 0.3106 0.1960 0.3590 0.2458
4 Bus kecil 0.2174 0.2738 0.1580 0.2060 0.3106 0.1960 0.3590 0.2458
5 Bus besar 0.3006 0.3785 0.6984 4.4526 0.1592 0.9290 0.3710 1.0413
6 Truck 2 as (H) 2.4159 3.0421 2.6883 4.4526 2.3286 1.5690 4.4460 2.9918
7 Truck 3 as 2.7416 5.4074 5.3847 3.4214 2.6209 8.0290 9.8050 5.3443
8 Trailer 4 as, truck gandengan 3.9083 4.8071 5.7962 8.9003 7.0588 8.1950 0.4040 5.5814
9 Truck S. Trailer 4.1718 7.2881 4.2155 3.6923 4.3648 1.0290 0.5200 3.6116
No. Type kendaraan
R1
Keterangan:
A: Bina Marga MST 10 Ton; B: NAASRA MST 10 Ton; C: PUSTRAN 2002 (overloaded); D: CIPULARANG 2002;
E: PANTURA 2003 MST 10 Ton; F: PUSTRANS 2004 Semarang-Demak; G: PUSTRANS 2004 Yogyakarta-
Sleman / Tempel; H: VDF rata-rata
Perencana harus menetapkan VDF desain sesuai hasil kajian jalan alternatif dari jalan tol
rencana tersebut secara efisien, menggunakan alat pengukuran beban sumbu (WIM).
5.7.4 Repetisi beban standar rencana
Konsruksi perkerasan harus mampu memikul repetisi beban standar selama umur rencana,
karena itu prediksi jumlah kendaraan dan komposisi jenis kendaraan yang akan melewati
lajur rencana harus di konversi kedalam jumlah repetisi beban standar.
Repetisi beban standar (W18) rencana pada suatu ruas jalan dihitung berdasarkan prediksi
repetisi beban standar pada lajur rencana. Dengan rumus:
W18 = FD x FL x Vi x Eki
FD (Faktor distribusi Arah) dari Laporan Kajian Lalulintas Jalan tol Cipularang diperoleh
bahwa volume lalulintas pada Main Road sama pada masing-masing arah (FD= 50%).
FL (Faktor Lajur) adalah konstanta yang menunjukkan persentase kendaraan yang akan
menggunakan lajur rencana. Besarnya FL untuk main road (2 lajur/arah) diambil sebesar 90
% yang merupakan angka media dari yang disarankan AASHTO 1993, seperti diperlihatkan
pada Tabel 28 berikut.
Tabel 28 Persentase Faktor Lajur Rencana-AASHTO 1993
Jumlah Lajur per Arah Persen(%)Kendaraan di Lajur Rencana (FL)
1
2
3
4
100
80-100
60-80
50-75
64 dari 147
R1
5.7.5 Perkerasan lentur
Perkerasan lentur adalah perkerasan yang terdiri dari beberapa lapis material berbutir
dimana aspal dipergunakan sebagai bahan pengikat, dan lapisan-lapisan perkerasannya
bersifat menyebarkan beban lalulintas ke lapisan tanah dasar.
Perencanaan tebal perkerasan lentur yang digunakan mengacu pada AASHTO guide for
design of pavement structures 1993. Parameter perencanaan terdiri :
Analisis lalu-lintas : mencakup umur rencana, lalu-lintas harian rata-rata, pertumbuhan
lalu-lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single axle load
Terminal serviceability index
Initial serviceability
Serviceability loss
Reliability
Standar normal deviasi
Standar deviasi
CBR tanah dasar
Resilient modulus
Elastic (resilient) modulus
Layer coefficient
Drainage coefficient
5.7.5.1 Batasan waktu
5.7.5.1.1 Performance period
Adalah periode waktu bahwa suatu perkerasan akan berakhir masa layannya sebelum ia di
rehabilitasi (diperbaiki). Periode kinerja ini adalah sama dengan waktu yang berlaku untuk
suatu konstruksi baru, direkonstruksi atau struktur rusak di rehabilitasi dari kemampuan
pelayanan (serviceability) awal sampai kemampuan pelayanan (serviceability) akhir.
5.7.5.1.2 Periode analisa
Adalah periode waktu untuk dilakukan suatu analisa. Periode analisa ini analog dengan
desain waktu yang digunakan oleh perencana. Untuk jalan dengan volume lalulintas tinggi
diperlukan periode analisa yang lebih panjang sebagai pegangan dapat dilihat pada Tabel
29.
65 dari 147
R1
Tabel 29 Penentuan Periode Analisa
Kondisi Jalan Periode Analisa (Tahun)
Urban Volume Tinggi
30-50
Rural Volume Tinggi
20-50
5.7.5.2 Lalulintas
Prosedur perencanaan didasarkan pada kumulatif beban ekivalen 18 Kip Single Axle Load
(ESAL) selama periode analisa (W18).
Jumlah lalulintas yang diperhitungkan pada perencanaan adalah kumulatif yang harus
memasukkan faktor lalulintas yang disebabkan oleh arah dan jumlah lajur lalulintas bila lebih
dari 2 lajur.
W 18 = DD x DL x W 18
Dimana:
W 18 = Kumulatif ESAL untuk desain setelah koreksi.
DD = Faktor distribusi jurusan, yang dinyatakan dalam ratio, sebagai contoh
Timur-Barat-Utara-Selatan
DL = Faktor kontribusi lajur, yang dinyatakan dalam ratio, perhitungan untuk
distribusi lalulintas bila perkerasan lebih dari dua lajur.
W 18 = Kumulatif 18 Kip ESAL dua jurusan selama periode analisa.
Biasanya faktor DD diambil 0,5 (50 %) untuk kebanyakan jalan. Apabila suatu sisi kendaraan
lebih berat karena pada suatu jurusan kendaraan dimuati dan yang lainnya kosong, maka
DD akan berkisar antara 0,3-0,7. Faktor DL dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Faktor Distribusi Lajur (DL)
Jumlah lajur pada
setiap jurusan
Persen 18 Kip ESAL
pada lajur desain
1 100
2 80-100
3 60-80
4 50-75
5.7.5.3 Reliability (kehandalan)
Faktor desain reliability adalah menghitung kemungkinan variasi pada perkiraan lalulintas
(W18) dan perkiraan performance, oleh sebab itu menyangkut tingkat kepercayaan (R)
66 dari 147
R1
bahwa perkerasan akan tahan sesuai dengan periode yang direncanakan.
Penetapan konsep reliability memerlukan tahapan sebagai berikut:
- Penetapan klasifikasi fungsi dari fasilitas tersebut apakah rural atau urban.
- Pilih tingkat reliability yang ditetapkan pada tabel, nilai yang tinggi memerlukan struktur
perkerasan yang lebih tebal.
- Suatu standar deviasi (So) dipilih sesuai dengan kondisi setempat.
- Tingkat reliability untuk berbagai klasifikasi fungsi disajikan pada Tabel 31
Tabel 31 Tingkat Reliability
Klasifikasi Fungsi Urban Rural
Jalan tol 85-99.9 80-99.9
Arteri 80-99 75-95
Kolektor 80-95 75-95
5.7.5.4 Serviceability
Serviceability dari perkerasan ditetapkan sebagai kemampuan untuk bertahan terhadap
lalulintas yang menggunakan fasilitas tersebut. Ukuran utama dari serviceability adalah
Present Serviceability Index (PSI) yang bertingkat mulai 0 (jalan tidak bisa dilalui) sampai 5
(jalan sangat baik). Pemilihan PSI terendah yang masih bisa diterima atau Terminal
Serviceability Index (pt) yang didasarkan pada index terendah yang diizinkan sebelum
rehabilitasi, pelapisan ulang atau rekonstruksi dilakukan. Nilai index 2,5 atau lebih tinggi
disarankan untuk jalan utama dan 2,0 untuk lalulintas yang lebih rendah. Salah satu kriteria
untuk mengidentifikasi minimum tingkat serviceability dapat ditentukan atas dasar
penerimaan publik yang menggunakannya.
Petunjuk umum nilai Pt yang disarankan disajikan dalam Tabel 32 berikut ini.
Tabel 32 Nilai Serviceabilty Index (PSI)
Terminal Serviceability Persen orang yang menyatakan keluhan
3,0 12
2,5 55
2,0 8,5
Sejak waktu dimana struktur perkerasan mencapai terminal serviceability tergantung pada
volume lalulintas dan Initial Serviceability (Po), dimana Po untuk perkerasan lentur adalah
4,2 sedangkan untuk perkerasan kaku 4,5.
67 dari 147
R1
PSI = Po Pt
5.7.5.5 Modulus resilien
Resilent modulus untuk tanah dasar (AASHTO T 274) harus dilakukan pada contoh yang
representatif pada tegangan dan simulasi kadar air terutama pada kadar air musiman.
Alternatif lain resilent modulus nilainya dapat ditentukan dengan korelasi sifat-sifat tanah
seperti kadar lempung, kadar air dan lain sebagainya. Kegunaan mengidentifikasi modulus
musiman adalah untuk menghitung kerusakan relatif perkerasan akibat selama musiman
tertentu selama tahun tersebut dan memperbaikinya sebagai bagian keseluruhan
perencanaan.
5.7.5.6 Koefisien drainase
Sistem drainase dari jalan sangat mempengaruhi kinerja jalan tersebut. Tingkat kecepatan
pengeringan air yang jatuh/terdapat pada konstruksi jalan tol bersama-sama dengan beban
lalulintas dan kondisi permukaan jalan sangat mempengaruhi umur pelayanan jalan.
AASHTO 93 membagi kualitas drainase ini menjadi 3 tingkat seperti pada Tabel 33.
Tabel 33 Kualitas Drainase
Kualitas drainase Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan air
Baik Sekali 2 jam
Baik 1 hari
Cukup 1 Minggu
Berdasarkan kualitas dari drainase pada lokasi jalan tersebut maka dapatlah ditentukan
koefisien drainase dari lapisan perkerasan lentur.
AASHTO 93 memberikan daftar koefisien drainase seperti pada Tabel 34 berikut ini:
Tabel 34 Daftar Koefisien Drainase
Kualitas Drainase
Persen waktu perkerasan dalam keadaaan lembab-jenuh
<1 1-5 5-25 > 25
Baik Sekali 1.40-1.35 1.35-1.30 1.30-1.20 1.20
68 dari 147
PSI
4,2-1,5
1094
(SN+1)
5,19
R1
Baik 1.35-1.25 1.25-1.15 1.15-1.20 1.00
Cukup 1.25-1.15 1.15-1.05 1.00-0.80 0.80
5.7.5.7 Koefisien lapisan
Pada perencanaan struktur perkerasan lentur diperlukan nilai koefisien layer (ai). Nilai
kofisien ini ditetapkan untuk setiap lapisan material dalam struktur perkerasan agar dapat
dikonversi tebal lapisan sebenarnya kedalam structural sumber (SN). Layer coefficient ini
menyatakan hubungan empiris antara SN dan tebal, serta merupakan suatu ukuran
kemampuan relatif dari material yang berfungsi sebagai suatu komponen struktural dari
perkerasan. Persamaan berikut untuk structural number yang menyatakan pengaruh relatif
dari layer coefficient (ai) dan tebal (Di).
SN = ai . Di
5.7.5.8 Structural number (SN)
Adalah asumsi kekuatan struktur perkerasan untuk perkerasan lentur dan tebal pelat D untuk
perkerasan kaku. Asumsi ini diperlukan dalam menghitung ESAL Penggunaan SN (structural
number) = 5 untuk penentuan ekivalen faktor 18 Kip eqivalen single axle. Bila diinginkan
hasil yang lebih teliti dan perhitungan perencanaan terdapat perbedaan 1 inchi untuk asphalt
concrete dari asumsi semula, maka nilai baru harus diambil dan dilakukan perhitungan ulang
dan perencanaan struktur berdasarkan nilai W 18 yang baru.
SN = a1x D1 = a1.D1 + a2.D2.m2 +a3.D3.m3
Dimana:
SN = Structural Number.
a1; a2; a3 = Layer Coefficient.
D1; D2; D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (inchi).
m2,m3 = Drainage Coefficient Lapisan base dansub base.
Prosedur penentuan tebal lapisan perkerasan lihat Gambar. dibawah ini.
SN1 D1
SN2D2
69 dari 147
PSI
4,2-1,5
1094
(SN+1)
5,19
Surface course
Base course
R1
SN3 D3
Subgrade
1
1 *
1
a
SN
D
1
*
1 1
*
1
SN D . a SN
2 2
*
1 2 *
2
m . a
SN SN
D
2
*
2
*
1
SN SN SN +
( )
3 3
*
2
*
1 3 *
3
m . a
SN SN SN
D
+
Nn
1 N
L A j j 18
365 D D DF LHR W
di mana:
W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas, Equivalent Single Axle Load.
LHRj = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j.
DFj = Damage factor untuk jenis kendaraan j.
DA = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi lajur.
N1 = Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.
Nn = Lalu-lintas pada akhir umur rencana.
Faktor distribusi arah: DD = 0,3-0,7 dan umumnya diambil 0,5 (AASHTO 1993 hal. II-9).
Faktor distribusi lajur (DL), mengacu pada Tabel 35
Tabel 35 Faktor distribusi lajur (DL).
Jumlah lajur setiap arah DL (%)
1 100
2 80-100
3 60-80
4 50-75
Sumber: AASHTO 1993 halaman II-9.
5.7.6.2 Reliabilitas
Reliabilitas adalah kemungkinan bahwa perkerasan yang direncanakan akan tetap
memuaskan selama masa layannya. Penetapan angka reliability dari 50 % sampai 99,99 %
menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi
kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability
yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih (deviasi)
desain dan kenyataan.
Besaran-besaran desain yang terkait dengan ini antara lain:
- Peramalan kinerja perkerasan.
- Peramalan lalu-lintas.
- Perkiraan tekanan gandar.
- Pelaksanaan konstruksi.
Reliability (R) mengacu pada Tabel 36. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-9), standard
normal deviate (ZR) mengacu pada Tabel 37. (diambil dari AASHTO 1993 halaman I-62).
75 dari 147
R1
Tabel 36 Reliability (R) disarankan
Klasifikasi jalan
Reliability: R (%)
Urban Rural
Jalan tol 85-99,9 80-99,9
Arteri 80-99 75-95
Kolektor 80-95 75-95
Tabel 37 Standard normal deviation (ZR).
R (%) ZR
75 -0,674
80 -0,841
85 -1,037
90 -1,282
91 -1,340
92 -1,405
93 -1,476
94 -1,555
95 -1,645
96 -1,751
97 -1,881
98 -2,054
99 -2,327
99,9 -3,090
99,99 -3,750
Standard deviation untuk rigid pavement: So = 0,30-0,40 (diambil dari AASHTO 1993
halaman I-62).
5.7.6.3 Serviceability
Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 38. (diambil dari AASHTO 1993
halaman II-10). Initial serviceability untuk rigid pavement: po = 4,5 (diambil dari AASHTO
1993 hal. II-10). Total loss of serviceability:
t o
p p PSI
Tabel 38 Terminal serviceability index (pt)
Percent of people
pt
Stating unacceptable
12 3,0
55 2,5
85 2,0
5.7.6.4 Modulus reaksi tanah dasar
Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan grafik penentuan
modulus reaksi tanah dasar berdasar ketentuan CBR tanah dasar.
76 dari 147
R1
MR = 1.500 x CBR,
4 , 19
M
k
R
pci
Lapis subbase : Cement aggregate mixture
Loss of Support : LS = 1
Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan Grafik pada Figure 3.6.
(diambil dari AASHTO 1993 halaman II-42).didapat: k = 160 pci
5.7.6.5 Flexural strength (modulus of rupture) dan Modulus elastisitas beton
Yaitu kekuatan menahan momen lentur biasa disebut Sc. Di sarankan digunakan beton
semen mutu tinggi (Sc = 40-45 kg/cm2), karena:
- Harus tahan terhadap aus
- Harus tahan terhadap pelapukan
- Tidak boleh sering mengalami pemeliharaan
Untuk nilai slump beton semen diisyaratkan nilai slump 2.5-5 cm biasanya 4 cm.
'
c c
f 000 . 57 E
di mana:
Ec = Modulus elastisitas beton (psi).
78 dari 147
PSI
4,5-1,5
1,624 x 10
7
(D+1)
8,46
1 +
18,42
(Ec: k)
0,25
215,63 x J x D x D
0,75
California Bearing Ratio (CBR)
R1
fc = Kuat tekan beton, silinder (psi).
Kuat tekan beton fc ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan.
5.7.6.6 Load transfer
Dilambangkan dengan J, adalah faktor yang digunakan dalam merencanakan struktur
perkerasaan dalam perhitungannya untuk mampu menyalurkan distribusi beban yang
bersambungan (tidak menerus), seperti sambungan dan retak. Penyaluran beban
dipengaruhi nilainya oleh daya ikat (pengkuncian) agregate, dan pengaruh bahu jalan yang
digunakan.
Load transfer coefficient (J) mengacu pada Tabel 40. (diambil dari AASHTO 1993 halaman
II-26), dan AASHTO halaman III-132.
Tabel 40 Load transfer coefficient.
Shoulder Asphalt Tied PCC
Load transfer devices Yes No Yes No
Pavement type
1. Plain jointed& jointed reinforced 3.2 3.8-4.4 2.5-3.1 3.6-4.2
2. CRCP 2.9-3.2 N/A 2.3-2.9 N/A
Penetapan parameter load transfer:
- Joint dengan dowel : J = 2,5-3,1 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-26).
- Untuk overlay design : J = 2,2-2,6 (diambil dari AASHTO 1993 halaman III-132).
5.7.6.7 Persamaan dasar perkerasan kaku
Log10 W18 = ZR So + 7,35 Log10(D+1)-0,06 + + (4,22-0,32.Pt) x
79 dari 147
PSI
4,5-1,5
Log
10
1,624 x 10
7
(D+1)
8,46
1 +
Sc x Cd x D
0,75
1,132
18,42
(Ec: k)
0,25
215,63 x J x D x D
0,75
R1
Log10
Dimana:
W18 = Jumlah beban eqivalen (ESAL)
ZR = Standar deviasi normal.
So = Standar gabungan kesalahan dari lalulintas dan perkiraan performance.
PSI = Perbedaan antara desain awal kemampu-layanan untuk Po dan desain terminal
serviceability index.
Sc = Flexural Stength
Fc = Modulus Elastisitas Beton
J = Load Transfer
SN = Structural Number.
5.7.6.8 Jenis perkerasan kaku
- Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan/ Jointed Plain Concrete Pavement
(JPCP). Adalah perkerasan kaku yang tidak menggunakan tulangan pada strukturnya,
kecuali pada bagian sambungan. Sambungan pada tipe ini mempunyai jarak relatif
pendek antara 4-7 meter.
- Perkerasan Beton Semen Bersambung Dengan Tulangan / Jointed Reinforced Concrete
Pavement (JRCP).
- Konstruksi ini selain menggunakan sistem sambungan juga menggunakan tulangan pada
strukturnya, penulangan pada struktur ini tidak mempengaruhi kekuatan strukturnya,
tetapi hanya untuk mengurangi terjadinya keretakan-keretakan akibat adanya
penyusutan atau Shrinkage Cracking.
- Perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan/ Continous Reinforced Concrete
Pavement (CRCP). Jenis perkersan ini tidak memiliki sistem sambungan pada
strukturnya dengan kata lain sistem sambungan melintang tidak di perlukan, namun
dengan adanya tulangan menerus ini perkerasan beton bisa mempunyai panjang lebih
dari 30 m.
- Perkerasan Beton Bersambung tanpa Tulangan/ Jointed Plain Concrete Pavement.
(JPCP). Perkerasan ini juga mengunakan sistem sambungan atau tranverse joint pada
arah memanjang dan melintang dengan mengunakan sistem pratekan dimana akan
mengurangi resiko terjadinya craks (retak).
- Rolled Compacted Concrete Pavement (RCCP). Perkerasan beton semen tanpa
tulangan dan dengan kadar air rendah sehingga slump yang dihasilkan nol.
80 dari 147
R1
5.7.6.9 Desain tulangan
Tujuannya penulangan bukan untuk mencegah terjadinya retak melainkan untuk:
- Membatasi lebar retakan, agar kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan.
- Memungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah
sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan.
- Jumlah tulangan yang diperlukan dipengaruhi oleh jarak sambungan susut, sedangkan
dalam hal beton bertulang menerus, diperlukan jumlah tulangan yang cukup untuk
menghilangkan sambungan susut.
Tabel 41 Koefisien gesek dipakai antara Pelat Beton dengan Lapis Pondasi Bawah
Jenis Pondasi Faktor Gesekan (F)
Aspal Beton, Lataston
Stabilisasi Kapur
Stabilisasi Aspal
Stabilisasi Semen
Koral
Batu pecah
Sirtu
Tanah
2.2
1.8
1.8
1.8
1.5
1.5
1.5
0.9
- Tulangan memanjang dan melintang diperlukan persentasenya dirumuskan dengan:
Ps = LF x 100
2Fs
Dimana:
Ps = tualangan memanjang dan melintang dalam (%)
L = Panjang slab (feet)
Fs = Stel working stress (Psi) kuat tarik
F = Fiction factor.
-
- Tie bar dirancang untuk memegang palt sehingga teguh, dan dirancang menahan gaya
tarik maksimum, tie bar tidak dirancang untuk memindahkan beban. Dowel alat
pemindah beban yang biasanya dipakai adalah dowel baja bulat polos, syarat yaitu
dibuat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 42 Syarat Penggunaan Dowel
Tebal
Perkerasaan
(in)
Dowel
Diameter
(in)
Panjang
Dowel
(in)
Jarak
Dowel
(in)
10
11
12
1
1
1
18
18
18
12
12
12
81 dari 147
R1
Diameter dowel:
D = D/8
D = Diameter pelat beton (inches)
d = Diameter dowel (inches).
82 dari 147
Umur rencana
Faktor distribusi arah
Faktor distribusi lajur
Traffic LHR pada tahun dibuka
Traffic design akhir umur rencana
Damage factor
Design ESAL
Reliability Standard normal deviation
Standard deviation
Tidak
Serviceability Terminal serviceability Serviceability loss Coba Check Ya Tebal pelat
Initial serviceability Tebal pelat Equation rencana
Load transfer coefficient
Drainage coefficient
Modulus reaksi tanah dasar
Modulus elastisitas beton
Flexural strength
R1
Gambar 39 Bagan Alir perencanaan tebal perkerasan kaku
83 dari 147
R1
5.7.6.10 Metode Alternatif
Untuk alternatif menghitung tebal perkerasan kaku diperbolehkan/diijinkan menggunakan
Buku Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen Pd. T-14-2003 yang telah diterbitkan
oleh PU Bina Marga.
5.7.6.11 Contoh Perhitungan Perkerasan Kaku
Jalan Tol Cipularang Seksi 1 : Ruas Purwakarta Utara Purwakarta Selatan
84 dari 147
. Traffic :
Umur Rencana 20 Tahun
Faktor distribusi arah 0,5
Faktor distribusi lajur 0,8
Jumlah lalu lintas Design Traffic Factor Design
Tahun 2003 Tahun 2023 ESAL ESAL
Sedan + Pick Up 6.700 57.909.331 0,0010 57.909
Truck / Bis kecil 61 1.105.706 0,2060 227.775
Truck / Bis Sedang 836 15.224.128 1,0931 16.641.494
Truck / Bis Besar 1.364 12.948.056 4,4526 57.652.514
Truck 3 - 4 As 402 7.597.032 3,4214 25.992.485
Truck Gandeng 111 2.102.151 8,9003 18.709.771
Semi Trailer 198 3.748.835 3,6115 13.538.916
Total 9.672 132.820.866
. Modulus Tanah Dasar (k) 44 kg/cm2 160 psi
. Modulus Elastisitas Beton (Ec) 294000 kg/cm2 4.200.000 psi
. Flextural Stregth (S'c) 45 kg/cm2 640 psi
. Load transfer Coefisient (J) 2,6
. Drainage Coefisient (Cd) 1,2
. Serviciability
- Terminal Serviciablity (pt) 2,5
- Initial Serviciability (po) 4,5
- Serviciability (PSI) 2
. Reability (R %) 90
. Standard Normal Deviasi (Zr) -1,282
. Stamdar Deviasi (So) 0,3
Tebal Perkerasan :
Tebal plat Rigid Pavement (D) = inc 11,96 30,3784 cm
. Check Equation : 8,12 8,12
Lantai Kerja 10 cm
Kendaraan
Perkerasan Beton 30 cm
R 1
5.8 Jembatan jalan tol
Pedoman ini sebagai acuan bagi perencana dalam mendesain jembatan jalan tol.
Ketentuan-ketentuan dalam pedoman ini harus digunakan untuk perencanaan jembatan
jalan tol termasuk jembatan layang. Beban-beban, aksi-aksi dan metoda penerapannya
boleh dimodifikasi dalam kondisi tertentu, selama dapat dibuktikan secara ilmiah dan dengan
seizin pejabat yang berwenang atau tim teknis yang ditunjuk.
5.8.1 Kriteria desain
Untuk menjamin kelancaran lalu lintas di jalan tol, maka jembatan jalan tol harus didesain
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan dibawah ini:
- Lebar lajur kendaraan mengukuti lebar lajur jalan yang ada.
- Jika jembatan jalon tol merupakan satu satunya akses penghubung antara dua tempat,
maka jembatan jalan tol harus dilengkapi dengan lajur untuk kendaraan beroda dua.
- Kiri dan kanan lajur lalu lintas diperlengkapi bahu selebar bahu jalan yang ada.
- Alinyemen vertikal dan horizontal mengikuti alinyemen vertikal dan horizontal jalan.
- Diberikan pengaman tepi / sandaran untuk keamanan lalu lintas.
- Memenuhi standar kekuatan: Jembatan mampu menahan beban sampai umur rencana,
baik beban lalu lintas, aksi lingkungan atau beban khusus.
5.8.2 Desain jembatan
Untuk menjamin desain jembatan memenuhi kriteria desain diatas, maka desain jembatan
harus mengikuti proses desain sebagai berikut:
1. Melakukan survey pendahuluan untuk mengumpulakan data-data perencanaan dan
untuk mengetahui posisi / letak jembatan.
2. Membuat pradesain, berdasarkan hasil survai
3. Melalukan pengkajian hasil pradesain untuk memastikan:
a. lebar dan bentang jembatan.
b. perlu tidaknya pilar pilar
c. letak kepala jembatan
d. posisi struktur atas jembatan terhadap muka air banjir atau permukaan air laut
tertinggi atau bangunan lain yang ada dibawahnya
e. bahan jembatan
f. ukuran pilar dan kepala jembatan
g. metoda konstruksi yang dapat diterapkan / akan digunakan
4. Menentukan desain akhir dari struktur atas dan bawah jembatan
5. Menentukan beban-beban yang bekerja pada jembatan
85 dari 147
Kompilasi data
Evaluasi data
Pradesain
a. Type/model struktur
b Lebar jembatan
b. Bentang jembatan
c. Pilar jembatan
d. Posisi / letak kepala jembatan
e. posisi struktur atas terhadap MAB/HWS/ .
bangunan lain yang ada dibawahnya
f. Bahan jembatan
g. Ukuran kepala dan pilar jembatan
h. penentuan metoda konstruksi
Evaluasi
Pradesa
inn
Desain akhir
Modifikasi
- Gambar kostruksi
- Dokumen Hitungan
Survey data
Analisa
struktur
Perhitungan
dimensi
R 1
6. Melakukan perhitungan analisa struktur
7. Menentukan dimensi tiap elemen jembatan
8. Membuat gambar hasil perencanaan.
Diagram alir proses desain jembatan dapat dilihat pada Gambar 40.
Gambar 40 Diagram alir proses desain jembatan
5.8.3 Umur rencana jembatan
Umur rencana jembatan jalan tol harus dibuat tidak kurang dari 50 tahun (untuk jembatan
86 dari 147
R 1
standar), Untuk jembatan khusus minimal 100 tahun. Umur rencana dipengaruhi oleh
material jembatan dan aksi lingkungan yang mempengaruhi jembatan.
Jembatan dengan umur rencana lebih panjang harus direncanakan untuk aksi yang
mempunyai periode ulang lebih panjang. Hubungan antara umur rencana periode ulang
adalah:
Pr = Kemungkinan bahwa aksi tertentu akan terlampaui paling sedikit sekali selama umur
rencana jembatan
D = Umur rencana (th.)
R = Periode ulang dari aksi (th.)
hubungan antara periode ulang dengan umur rencana
No
Umur rencana (D)
(tahun)
Pereode ulang (R) (tahun)
Keadaan batas layan Keadaan batas ultimate
1 50 (Jembatan standar) 20 100
2 100 (Jembatan khusus) 20 200
5.8.4 Bahan jembatan
Bahan utama jembatan jalan tol ditentukan berdasarkan bentuk dan bentang jembatan,
lokasi jembatan, dan umur rencana jembatan. Penggunaan bahan khusus harus melalui uji
material untuk mengetahui karakteristik , sifat-sifat fisik dan kimianya. Secara umum
jembatan dapat menggunakan bahan dan material:
- Beton bertulang dan Beton Prategang
- Baja dan Baja mutu tinggi.
-
Bahan beton untuk jembatan
Beton untuk jembatan beton bertulang.
fc [MPa] ( uji silinder)
20 25 30 35 40 60
Beton untuk jembatan beton prategang
fc [MPa] ( uji silinder)
- - 30 35 40 60
Kuat Tekan Beton Karakterisitik
K (kg/cm
2
) ( uji kubus)
240 300 360 410 470 700
( sumber : SK.SNI T-12-2004 )
87 dari 147
( )
1
1 1
D
r R
P +
R 1
Bahan baja untuk jembatan
Jenis Baja
Tegangan putus minimum, fu Tegangan leleh minimum, fy
(Mpa) (kg/cm
2
) (kN/m2) (Mpa) (kg/cm
2
) (kN/m2)
BJ 34 340 3.400 340.000 210 2.100 210.000
BJ 37 370 3.700 370.000 240 2.400 240.000
BJ 41 410 4.100 410.000 250 2.500 250.000
BJ 50 500 5.000 500.000 290 2.900 290.000
BJ 55 550 5.500 550.000 410 4.100 410.000
( sumber : SK.SNI T-03-2005 )
5.8.5 Pembebanan pada jembatan
Jembatan jalan tol harus diperhitungkan terhadap semua beban yang mungkin bekerja pada
jembatan tersebut, termasuk tumbukan kapal pada pilar jembatan bila jembatan tersebut
berada di atas sungai yang digunakan untuk lalu lintas kapal, atau jembatan diatas selat dan
laut. Beban pada jembatan terbagi tiga bagian
A. Beban tetap - Berat mati dan beban mati tambahan
- Beban hidup atau beban lalulintas dengan beban kejut dan beban
rem
B. Aksi Lingkungan - Beban angin
- Beban tumbukan kendaraan
- Beban tumbukan kapal
- Beban air mengalir
- Beban tumbukan benda hanyutan
- Beban gempa
C. Beban Khusus - Beban sentrifugal
- Rangkak dan susut
Secara umum beban tetap ditampilkan pada Gambar 41 dengan berat isi pada Tabel 45.
88 dari 147
R 1
Gambar 41 Diagram beban tetap
Untuk menentukan besarnya beban mati dan beban mati tambahan dilakukan dengan
menghitung volume setiap elemen jembatan, lalu mengalikannya dengan berat jenis yang
tergantung bahan pembentuk elemen jembatan tersebut. Jika tidak ditentukan melalui uji
laboratorium, maka berat jenis bahan dapat dipergunakan berat jenis seperti yuang tertera
pada tabel berikut:
Berat isi untuk beban mati (kN/m)
No. Bahan
Berat jenis atau
Berat/Satuan Isi (kN/m
3
)
Kerapatan Masa
(kg/m
3
)
1 Campuran aluminium 267 2.720
2 Besi tuang 71.0 7.200
3 Aspal beton 22.0 2.240
Beton ringan 12.25-19.6 1.250-2.000
5 Beton berat 22.0-25.0 2.240-2.560
6 Beton prategang 25.0-26.0 2.560-2.640
7 Beton bertulang 23.5-25.5 2.400-2.600
8 Baja 77.0 7.850
5.8.5.1 Beban hidup atau beban lalulintas
Beban hidup lalu lintas terdiri dari beban terpusat (T) dan beban laljur (D).
Beban terpusat (T) sebesr 112,5 kN bekerja pada lantai jembatan , dan dipergunakan untuk
perhitungan lantai jembatan.
Beban lajur lalu lintas terdiri datri beban garis (P) dan beban merata (q)
89 dari 147
Beban
Tetap
Beban
Mati
Beban
Mati
Tambahan
Beban
Hidup
Berat sendiri konstruksi, sesuai dengan Berat
Jenis material pembentuk konstruksi:
Beban yang selalu ada yang tidak termasuk
struktur penahan beban kendaraan , pipa drainasi,
sandaran , tiang lampu, ornamen
Beban lalu lintas yang bekerja diatas jembatan:
orang dan kendaraan
R 1
Beban garis (P) sebesar 49,0 kN/m arah melintang jembatan bekerja di tengah bentang
untuk peninjauan momen max pada struktur atas , bekerja diatas pilar untuk peninjauan pilar
dan bekerja diatas kepala jembatan untuk perhitungan kepala jembatan.
Beban merata (q) sebesar 9 KN/m
2
; bekerja pada seluruh lantai jembatan, untuk
perhitungan struktur atas dan struktur bawah jembatan
5.8.5.2 Beban terpusat (T) roda kendaraan yang bekerja pada lantai jembatan
Pembebanan truk "T" terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai susunan dan
berat as seperti terlihat dalam Gambar 42. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi
2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan
lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk
mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.
Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu kendaraan truk "T"
yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana.Kendaraan truk "T" ini harus
ditempatkan ditengah-tengah lajur lalu lintas rencana .
Beban terpusat T ini dekerjakan pada lantai jembatan dengan luas bidang kontak 0,2 m x 0,5
m (luas bidang kontak roda kendaraan dengan lantai jembatan). Beban T ini dipergunakan
untuk menentukan kapasitas lantai jembatan terhadap lentur dan geser.
Gambar 42 Truk untuk beban titik pada lantai jembatan
90 dari 147
R 1
5.8.5.3 Beban lajur lalu lintas (D)
Beban lajur "D" terdiri dari beban merata (q) yang digabung dengan beban garis (p) seperti
terlihat dalam Gambar 43, Beban ini dipergunakan utnuk mendapatkan gaya-gaya dalam
maksuimum pada girder atau rangka jembatan.
Gambar 43 Penyebaran beban merata (q) dan Beban Garis (p)
5.8.5.4 Beban terbagi rata (BTR) (q)
Besar beban terbagi rata (q) tergantung pada bentang jembatan (L).
Beban ini bekerja merata seluas lantai jembatan
Untuk menentukan q dapat menggunakan Gambar 44
Gambar 44 Diagram beban terbagi rata (BTR) (q)
91 dari 147
2
2
Untuk : L 30m : q = 9 kN/m =0,9 t/m
15 15
Ubtuk : L 30m : q = 9 0,5+ kN/m =0,9 0,5+ t/m
L L
_ _
, ,
R 1
5.8.5.5 Beban garis (BG) (p)
Beban garis harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan.
Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur maksimum pada
jembatan menerus, BG kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah
melintang jembatan pada bentang lainnya.
5.8.5.6 Penyebaran beban "D" pada arah melintang
Beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan
momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan BG dari beban "D" pada
arah melintang harus sama.
Penempatan beban ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 7 m, maka beban "D"
harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 % .
2. apabila lebar jalur lebih besar dari 7 m, beban "D" harus ditempatkan pada jumlah lajur
lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan dengan intensitas 100 % Hasilnya adalah beban
garis ekuivalen sebesar nl x 3.5 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar nl x 3.5 p
kN, kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar nl x 3.5 m;
3. lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada
jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari
jalur dengan intensitas sebesar 50 % seperti Susunan pembebanan ini bisa dilihat dalam
Gambar 45;
4. Bila lajur lalu lintas dipisahkan oleh median, maka peninjauan lebar b pada gambar 43
adalah selebar dari batas median sampai batas pengaman tepi
Gambar 45 Intensitas beban p dan q pada lajur lau lintas
92 dari 147
R 1
5.8.5.7 beban lalu lintas D pada jembatan dengan balok menerus
Untuk mendapatkan momen maksimum pada jembatan dengan balok menerus, maka beban
D diatur seperti pada Gambar 46.
Gambar 46 Distribusi beban D pada jembatan dengan balok menerus
93 dari 147
R 1
5.8.5.8 Beban kejut (beban akibat pengaruh beban dinamis)
Beban kejut yang diakibatkan oleh kendaraan truk yang secara tiba-tiba melewati jembatan
harus diperhitungkan terhadap kapsitas lantai jembatan dan gider jembatan.
Untuk lantai jembatan besar beban terpusat (T) dinaikkan 30%
Untuk balok dan rangka, beban garis (P) dinaikkan sebesar diagram pada Gambar 47
Gambar 47 Faktor pengali beban kejut
5.8.5.9 Beban rem
Kendaraan diatas jembatan yang berhenti mendadak secara bersama-sama harus
diperhitungkan adanya beban yang diakibatkan oleh pengaruh pengereman pada
kendaraan tersebut. Besarnya gaya rem ditentukan menurut Gambar 48 yang dianggap ada
pada semua lajur lalu lintas tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan bekerja dalam
satu arah, besarnya tergantung pada bentang jembatan.
Gaya rem tersebut dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan. Gaya rem yang
diterima oleh lantai jembatan ini didistribusikan ke pilar dan kepala jembatan oleh girder
jembatan. Gaya rem hasil analisa ini bekerja bersam-sama dengan beban p dan q
Gambar 48 Intensitas Beban rem per lajur lalu lintas per bentang.
94 dari 147
R 1
5.8.5.10 Beban angin
1. Beban angin yang bekerja pada jembatan diperhtiungkan bekerja horizontal pada arah
tegak lurus panjang jembatan. Ketentuan dan rumus-rumus gaya angin pada pedoman
ini dipergunakan untuk jembatan girder dan rangka. Untuk jembatan cable stayed dan
suspension bentang panjang peninjauan beban angin didasarkan kepada analisa
dinamis dan uji terowongan angin.
Besarnya gaya beban angin ditentukan sebesar
TEW = 0,0006 Cw (Vw)
2
Ab (kN) (gaya angin yang bekerja pada jembatan)
TEW = 0,0012 Cw (Vw)
2
(kN /m) (gaya angin yang bekerja pada kendaraan)
dengan pengertian:
VW adalah kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau
CW adalah koefisien seret - lihat Tabel 46
Ab adalah luas koefisien bagian samping jembatan (m2)
2. Kecepatan angin rencana harus diambil seperti yang diberikan dalam Tabel 47.
3. Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang masif dalam
arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka luas ekivalen ini
dianggap 30 % dari luas yang dibatasi oleh batang-batang bagian terluar;
4. Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas;
Tabel 46, Koefisien seret CW
Tipe Jembatan CW
Bangunan atas masif: (1), (2)
b/d = 1.0
b/d = 2.0
b/d 6.0
2.1 (3)
1.5 (3)
1.25 (3)
Bangunan atas rangka 1.2
CATATAN (1) b = ebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar sandaran
d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang masif.
CATATAN (2) Untuk harga antara dari b / d bisa diinterpolasi linier.
CATATAN (3) Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi, Cw harus dinaikkan sebesar 3
% untuk setiap derajat superelevasi, dengan kenaikan maksimum 2,5 %.
Tabel 47, Kecepatan angin rencana VW
Keadaan Batas
Lokasi
Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimit 35 m/s 30 m/s
95 dari 147
R 1
Gambar 49 Beban angin pada kendaraan dan pada struktur
Peninjuan beban angin pada jembatan saat ada kendaraan seperti Gambar 49
Angin tekan 50% dari TEW jembatan dan ngin hisap 25% dari TEW jembatan
Dan yang bekerja pada kendaraan 100% dari TEW kendaraan
Gambar 50 Beban angin yang bekerja pada struktur.
Peninjuan beban angin pada saat tidak ada kendaraan seperti pada Gambar 50.
Angin tekan 100% dari TEW dan angin hisap 50% dari TEW jembatan
5.8.5.11 Beban tumbukan kendaraan
Beban akibat tumbukan kendaraan pada pilar jembatan jalan layang seperti pada Gambar
51 ditentukan sebesar 1.000 kN pada arah tegak lurus jembatan dan sebesar 500 kN pada
arah memanjang jembatan. Keduanya bekerja pada tinggi 1,8 m dari permukaan jalan di
bawah jembatan.
( sumber : PPJJR, SKBI-1.3.28-1987)
Gambar 51 Beban tumbukan kendaraan pada pilar jalan layang
96 dari 147
w DWT Wa +
R 1
5.8.5.12 Beban tumbukan kapal
Jembatan yang menyeberangi laut, selat atau sungai yang besar yang dilewati kapal, pilar
dan pylon jembatan harus dilindungi terhadap tumbukan kapal, seperti pada gambar 52.
Gambar 52 Tumbukan kapal pada sistem pelindung pilar / pylon jembatan
Sistem pelindung pilar atau pylon dapat dibuat menyatu atau terpisah dengan pilar atau
pylon. Jika dibuat terpisah struktur pelindung harus dibuat sekaku mungkin sehingga
deformasi yang terjadi pada struktur pelindung sebagai akibat tumbukan kapal tidak
menimbulkan beban tambahan pada pilar atau pylon, atau dengan kata lain struktur
pelindung tidak boleh menyentuh pilar atau pylon pada saat terjadi tumbukan kapal.
Tumbukan kapal dari arah depan pada struktur pelindung pilar atau pylon dapat
diperhitungkan sebagai gaya tumbukan statis pada obyek yang kaku, dan dapat dihitung
dengan rumus berikut:
) 5 , 12 ( ) (
2 / 1
xV DWT R T
S
( sumber :RSNI T-02-2005)
dengan pengertian:
TS = R = gaya tumbukan kapal sebagai gaya statis ekuivalen (t)
DWT = tonase berat mati muatan kapal (t) = berat kargo, bahan bakar, air dan persediaan
V = kecepatan / laju tumbukan kapal (m/s)
Untuk kapal yang membentur pilar atau pylon dari arah samping (Gambar 53 )digunakan
rumus energi kinetik dari kapal desain berdasarkan perumusan gaya akselerasi sebagai
berikut :
:
( sumber :RSNI T-02-2005)
97 dari 147
2
3 2
1
.
4
t m
1.03 , = 9.81
m dt
pp a
a
Wa d L
g
2
H
C x 0,5W(V)
E=
g
R 1
Keterangan:
Energi kenitik dalam satuan kN.m, lalu dirubah dalam satuan ton.m.
Lambung kapal dianggap bulat.
E = energi kinetik dari kapal desain (tm)
C H = koefisien hidrodinamis masa air yang bergerak bersama kapal.
d = draft kedalaman kapal pada beban penuh (m)
W = tonase perpindahan kapal (t), berat total kapal pada beban penuh
Vtk = kecepatan tumbukan kapal (m/s)
g = gravitasi (= 9,8m/s
2
)
Lpp = Panjang bagian yang terendam dalam air
Gambar 53 Beban tumbukan kapal dari arah samping pada pilar atau pylon
Keterangan:
E sin = Energi kinetik yang diterima oleh fender ( tm)
R = Gaya statis yang didustribusikan oleh fender ke pilar atau pylon (t)
98 dari 147
R 1
( sumber :RSNI T-02-2005)
Gambar 55 . Diagram hubungan antara C/d dan CH
Untuk mendapatkan type fender dan gaya kapasitas statis (R) yang diterima oleh struktur
pilar atau pylon jembatan digunakan Tabel 48. Untuk type fender lain yang tidak tertera pada
tabel 48, dapat digunakan type fender lain yang ada dipasaran.
Tabel 48. Type dan ukuran Fender
Bentuk Fender
Nomor
TYpe
Dimensi ( cm) Energi
(E)
(ton.m)
Kapasitas
(R)
(ton)
a b c
FV005-1-1
FV005-1-2
FV005-1-3
FV005-1-4
100
100
100
100
120
120
120
120
90
90
90
90
4,5
4,0
3,0
2,0
35
30
23
15
FV005-2-1
FV005-2-2
FV005-2-3
FV005-2-4
150
150
150
150
170
170
170
170
70
70
70
70
6,8
6,0
4,5
3,0
52
45
34
23
FV005-3-1
FV005-3-2
FV005-3-3
FV005-3-4
200
200
200
200
220
220
220
220
63,5
63,5
63,5
63,5
9,1
8,1
6,0
4,0
69
60
46
31
99 dari 147
R 1
FV005-4-1
FV005-4-2
FV005-4-3
FV005-4-4
250
250
250
250
270
270
270
270
80
80
80
80
11,0
10,0
7,5
5,0
86
75
57
38
FV005-5-1
FV005-5-2
FV005-5-3
FV005-5-4
300
300
300
300
320
320
320
320
72,5
72,5
72,5
72,5
13,0
12,0
9,0
6,0
103
90
68
45
( sumber : Perencanaan Pelabuhan, kramadibrata, hal 418)
Ukuran kapal Penumpang.
Untuk mendapatkan nilai Lpp, dapat digunakan tabel kapal dibawah ( tabel 49), dan dapat
dilakukan interpolasi linier jika DWT kapal tidak sama dengan DWT yang ada di tabel, atau
dapat digunakan tabel kapal lain yang berdasarkan sfesifikasi kapal yang lewat dibawah
jembatan.
Tabel 49. Sfesifikasi kapal
DWT Lpp (M) B (M) d (M) Full
500
1000
2000
4000
8000
10000
15000
20000
30000
51
68
76
92
123
138
160
181
197
10,2
11,9
13,9
16,3
17,8
20,6
23,1
25,1
28,2
2,9
3,6
4,5
5,6
7,4
8,2
8,8
9,2
10,0
5.8.5.13 Beban air mengalir
1) Pilar jembatan yang terendam oleh air banjir harus diperhitungkan terhadap gaya air
mengalir yang tertahan oleh pilar setinggi air banjir. Gaya air mengalir dihitung dengan
rumus:
TEF = 0,5 CD (Vs)
2
Ad (kN)
dengan pengertian:
Vs adalah kecepatan air rata-rata (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau.
CD adalah koefisien seret - lihat Tabel 49.
Ad adalah luas proyeksi pilar tegak lurus arah aliran (m
2
) dengan tinggi sama dengan
kedalaman aliran - lihat Gambar 57.
100 dari 147
R 1
Gambar 54 Luas Proyeksi Pilar
2) Bila pilar tipe dinding membuat sudut dengan arah aliran, gaya angkat melintang akan
semakin meningkat. Harga nominal dari gaya-gaya ini, dalam arah tegak lurus gaya
seret, adalah: TEF = 0,5 CD (Vs)
2
AL (kN)
dengan pengertian:
VS adalah kecepatan air (m/dt)
CD adalah koefisien angkat - lihat Tabel 49.
AL adalah luas proyeksi pilar sejajar arah aliran (m
2
), dengan tinggi sama dengan
kedalaman aliran - lihat Tabel 50.
Tabel 50, Koefisien seret
101 dari 147
R 1
5.8.5.14 Beban tumbukan benda hanyutan
Pilar jembatan yang terendam oleh air banjir harus diperhitungkan menerima tumbukan
benda hanyutan bawaan air banjir yang bekerja pada permukaan air banjir.
Besarnya tumbukan benda hanyutan ditentukan dengan rumus
dengan pengertian:
M adalah massa batang kayu = 2 ton
Va adalah kecepatan air permukaan (m/dt) pada keadaan batas yang ditinjau.
Dalam hal tidak adanya penyelidikan yang terperinci mengenai bentuk diagram kecepatan
dilokasi jembatan, Va bisa diambil 1,4 kali kecepatan rata-rata Vs.
d adalah lendutan elastis ekuivalen (m) - lihat Tabel 51
Tabel 51, Lendutan ekuivalen untuk tumbukan benda hanyutan
Tipe Pilar d (m)
Pilar beton masif
Tiang beton perancah
Tiang baja perancah
0.075
0.150
0.300
Beban akibat tumbukan benda hanyutan ini ditinjau bersamaan dengan beban air mengalir.
5.8.5.15 Beban gempa
Jembatan yang dibangun pada daerah rawan gempa harus diperhtungkan terhadap beban
gempa. Untuk jembatan lurus dengan ketinggian pilar tidak mencapa 30 m dapat dilakukan
analisa statis ekuivalen. Untuk jembatan yang melingkar, bentang utama melebihi 200 m,
jembatan fleksibel dengan periode panjang yang melebihi 1,5 detik, jembatan
pelengkung dengan lantai di atas, jembatan berpenahan kabel, dan jembatan
dengan ketinggian pilar diatas 30 m harus dilakukan peninjauan dengan analisa dinamis.
Beban gempa statis ekuvalen (Kh) dapat ditentukan dengan rumus berikut:
Keterangan:
TEQ : Gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN)
C : Koefisien geser dasar yang berdasarkan wilayah gempa, waktu getar struktur pilar
102 dari 147
2
.( )
(KN)
a
EF
M V
T
d
. . . (kN)
EQ T
Kh T C I S W
R 1
dan jenis tanah dimana jembatan tersebut didirikan.
I : Faktor kepentingan
S : Faktor tipe bangunan
WT : Berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa, diambil
beban mati struktur atas ditambah berat setengah pilar bagian atas dan beban mati
tambahan (kN)
Koefisien geser dasar (C)
Nilai C diperoleh dari Gambar 56 dan Gambar 57 yang sesuai dengan daerah gempa
dimaan jembatan tersebut didirikan, Nilai C ditentukan berdasar pada wilayah gempa, jenis
tanah di bawah jembatan dan waktu gertar dari struktur pilar jembatan.
Jenis tanah yang didapatkan dari hasil investigasi tanah dapat dilihat pada Tabel 52
Tabel 52, Kondisi tanah untuk koefisien geser dasar
Jenis Tanah
Tanah
Teguh
Tanah Sedang
Tanah
Lunak
Untuk seluruh jenis tanah ( data sondir ) 3 m
> 3 m sampai
25 m
> 25 m
Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser
undrained rata-rata tidak melebihi 50 kPa: (data
boring)
6 m
> 6 m sampai 25
m
> 25 m
Pada tempat dimana hamparan tanah salah
satunya mempunyai sifat kohesif dengan kekuatan
geser undrained rata-rata lebih besar dari 100 kPa,
atau tanah berbutir yang sangat padat: (data boring)
9 m > 9 m sampai 25 m > 25 m
Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser
undrained rata-rata tidak melebihi 200 kPa: (data
boring)
12 m
> 12 m sampai 30
m
> 30 m
Untuk tanah berbutir dengan ikatan matrik padat:
(data boring)
20 m
> 20 m sampai 40
m
> 40 m
CATATAN (1) Ketentuan ini harus digunakan dengan mengabaikan apakah tiang pancang
diperpanjang sampai lapisan tanah keras yang lebih dalam
103 dari 147
R 1
Untuk data investigasi tanah dari n SPT menggunakan tabel dibawah.
JENIS TANAH KEDALAM TANAH KERAS ( SPT > 40 )
(a) Tanah Teguh 0 ~ 3 M
(b) Tanah Sedang 3,4 ~ 24,4 M
(c) Tanah Lunak 25 M
Waktu getar (T)
Waktu getar struktur adalah waktu yang diperlukan oleh struktur pilar atau pylon untuk
mengalami satu kali gerakan bolak balik.
Waktu getar struktur pilar dan pylon dapat dihitung dengan rumus-rumus dibawah ini.
( sumber : SNI 2833:2008)
Nilai kekakuan gabunga (Kp) dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:
( sumber : seismic design and retrofit of bridges , priestley, hal 169)
Gambar 55 nilai Kp dari berbagai bentuk pilar / pylon
Gambar 56 Peta gempa Indonesia
104 dari 147
2 (dt)
.
TP
p
W
T
g K
2
DL + DL tambahan + setengah berat pilar ( kN)
percepatan gravitasi bumi = 9,81 (m/dt )
= Kekakuan gabungan (kN/m)
TP
P
W
g
K
R 1
( sumber : SNI 2833:2008)
Gambar 57 Koefisien geser dasar (C) untuk analisis statis, periode ulang 500
tahun
105 dari 147
R 1
( sumber : SNI 2833:2008)
Faktor kepentingan I untuk jembatan memuat lebih dari 2000 kendaraan/hari, jembatan pada
106 dari 147
R 1
jalan raya utama atau arteri dan jembatan dimana tidak ada rute alternatif adalah 1,2. Faktor
yang lebih besar akan memberikan frekuensi lebih rendah dari kerusakan bangunan yang
diharapkan selama umur jembatan.
Faktor tipe bangunan S yang berkaitan dengan kapasitas penyerapan energi (kekenyalan)
dari jembatan, diberikan dalam Tabel 52.
Tabel 52, Faktor tipe bangunan (s)
Tipe
Jembatan
(1)
Jembatan dengan Daerah
Sendi Beton Bertulang atau
Baja
Jembatan dengan Daerah Sendi Beton
Prategang
Prategang Parsial (2) Prategang Penuh (2)
Tipe A (3) 1,0 F 1,15 F 1,3 F
Tipe B (3) 1,0 F 1,15 F 1,3 F
Tipe C 3,0 3,0 3,0
CATATAN (1)
Jembatan mungkin mempunyai tipe bangunan yang berbeda pada arah
melintang dan memanjang, dan tipe bangunan yang sesuai harus digunakan
untuk masing-masing arah.
CATATAN (2)
Yang dimaksud dalam tabel ini, beton prategang parsial mempunyai
prapenegangan yang cukup untuk kira-kira mengimbangi pengaruh dari
beban tetap rencana dan selebihnya diimbangi oleh tulangan biasa. Beton
prategang penuh mempunyai prapenegangan yang cukup untuk
mengimbangi pengaruh beban total rencana.
CATATAN (3)
F = Faktor perangkaan
= 1,25 0,025 n ; F 1,00
n = jumlah sendi plastis yang menahan deformasi arah lateral pada masing-
masing bagian monolit dari jembatan yang berdiri sendiri-sendiri (misalnya:
bagian-bagian yang dipisahkan oleh sambungan siar muai yang memberikan
keleluasan untuk bergerak dalam arah lateral secara sendiri-sendiri)
CATATAN (4)
Tipe A :jembatan daktail (bangunan atas bersatu dengan bangunan bawah)
Tipe B :jembatan daktail (bangunan atas terpisah dengan bangunan bawah)
Tipe C :jembatan tidak daktail (tanpa sendi plastis)
5.8.5.16 Ketentuan-ketentuan khusus untuk pilar tinggi
Untuk pilar yang tingginya lebih dari 10 meter, beban gempa statis ekuivalen arah horizontal
harus diperbesar sesuai dengan gambar 61. Untuk pilar yang lebih tinggi dari 30 m
peninjauan gempa dilakukan dengan analisa dinamis .
107 dari 147
R 1
Gambar 58 Beban gempa pada pilar tinggi
5.8.5.17 Beban vertikal statis ekuivalen
Untuk perencanaan perletakan dan sambungan, gaya gempa vertikal dihitung dengan
menggunakan percepatan vertikal (keatas atau kebawah) sebesar 0,1 g, yang harus bekerja
secara bersamaan dengan gaya horisontal Gaya ini jangan dikurangi oleh berat sendiri
jembatan dan bangunan pelengkapnya. Gaya gempa vertikal bekerja pada bangunan
berdasarkan pembagian massa, dan pembagian gaya gempa antara bangunan atas dan
bangunan bawah harus sebanding dengan kekakuan relatif dari perletakan atau
sambungannya.
5.8.5.18 Beban sentrifugal
Jembatan yang melingkar harus diperhitungkan gaya horisontal radial yang dianggap
bekerja pada tinggi 1,8 m di atas lantai kendaraan. Gaya horisontal tersebut harus
sebanding dengan beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas tanpa
dikalikan dengan faktor kejut. Beban lajur D disini tidak boleh direduksi bila panjang bentang
melebihi 30 m.
Gaya sentrifugal seperti pada Gambar 59 harus bekerja secara bersamaan dengan
pembebanan "D" atau "T" dengan pola yang sama sepanjang jembatan.
108 dari 147
R 1
Gambar 59 Arah kerja beban sentrifugal
Gaya sentrifugal ditentukan dengan rumus berikut:
dengan pengertian:
TTR adalah gaya sentrifugal yang bekerja pada lantai jembatan (kN)
V adalah kecepatan lalu lintas rencana (km/jam)
R adalah jari-jari lengkungan (m)
D adalah beban lajur lalu lintas (kN)
5.8.5.19 Gaya rangkak dan susut
Gaya akibat rangkak dan susut harus diperhitungkan terhadap jembatan yang monolit. Gaya
rangkak dan susut disebabkan oleh pengaruh perbedaan temperatur / suhu seperti pada
Tabel 53 dan Tabel 54.
Tabel 54, Temperatur jembatan rata-rata
Tipe Bangunan Atas
Temperatur Jembatan
Rata-rata Minimum (1)
Temperatur Jembatan
Rata-rata Maksimum
Lantai beton di atas gelagar atau
boks beton.
15C 40C
Lantai beton di atas gelagar, boks
atau rangka baja.
15C 40C
Lantai pelat baja di atas gelagar,
boks atau rangka baja.
15C 45C
CATATAN (1) Temperatur jembatan rata-rata minimum bisa dikurangi 5C
untuk lokasi yang terletak pada ketinggian lebih besar dari 500 m diatas permukaan laut.
Sifat bahan rata-rata akibat pengaruh temperatur
Bahan
Koefisien Pemuaian
Akibat Suhu
Modulus Elastisitas
MPa
Baja 12 x 10
-6
per C 200.000
109 dari 147
2
0, 79
TR
V
T D
R
R 1
Beton:
Kuat tekan <30 MPa
Kuat tekan >30 MPa
10 x 10
-6
per C
11 x 10
-6
per C
25.000
34.000
Aluminium 24 x 10
-6
per C 70.000
5.8.5.20 Tegangan berlebihan yang diperbolehkan
Beberapa kombinasi beban mempunyai probabilitas kejadian yang rendah dan jangka waktu
yang pendek. Untuk kombinasi yang demikian maka tegangan yang berlebihan
diperbolehkan berdasarkan prinsip tegangan kerja. Tegangan berlebihan yang diberikan
dalam Tabel 55 adalah sebagai prosentase dari tegangan kerja yang diizinkan.
Kombinasi beban untuk perencanaan tegangan kerja
Aksi
Kombinasi No.
1 2 3 4 5 6 7
Aksi tetap
Beban lalu lintas
Pengaruh temperatur
Arus/hanyutan/hidro/daya apung
Beban angin
Pengaruh gempa
Beban tumbukan
Beban pelaksanaan
X
X
-
X
-
-
-
-
X
X
X
X
-
-
-
-
X
X
-
X
X
-
-
-
X
X
X
X
X
-
-
-
X
-
-
X
-
X
-
-
X
-
-
-
-
-
-
X
X
X
-
-
-
-
X
-
Tegangan berlebihan
yang diperbolehkan ros
nil 25% 25% 40% 50% 30% 50%
Untuk analisa dengan menggunakan beban berfaktor tegangan leleh berlebih tidak
diperbolehkan. Besarnya faftor beban mengacu pada pada kaidah dan atauran yang berlaku,
jika tidak ditentukan lain, maka tabel faktor beban dibawah dapat digunakan.
Kombinasi beban untuk perencanaan dengan beban berfaktor
Aksi
Kombinasi No.
1 2 3 4 5 6 7
Aksi tetap
Beban lalu lintas
1,2
1,6
-
1,2
1,6
1,2
0,9
1,2
-
0,9
1,2
1,2
0,9
-
-
1,2
-
-
1,2
1,6
-
110 dari 147
R 1
Pengaruh temperatur
Arus/hanyutan/hidro/daya apung
Beban angin
Pengaruh gempa
Beban tumbukan
Beban pelaksanaan
1,2
-
-
-
-
1,2
-
-
-
-
1,2
1,2
-
-
-
1,2
1,2
-
-
-
1,2
-
1,0
-
-
-
-
-
-
1,,6
-
-
-
1,0
-
5.8.6 Struktur atas jembatan
Struktur atas jembtan adalah bagian jembatan yang langsung menerima beban lalu lintas.
Struktur atas terdiri dari lantai jembatan, girder, rangka dan ikatan angin.
Pemilihan bentuk struktur atas jembatan dipengaruhi oleh panjang bentang dan material
yang digunakan. Penentuan bentuk struktur atas selain mempertimbangkan faktor kekuatan
dan kelayanan, sedapatmungkin mempertimbangkan sisi ekonomi dan keindahan.
Penggunaan rangka diperkenankan untuk jenis rangka terbuka dan rangka dengan lantai
jembatan diatas.
5.8.6.1 Kriteria Disain Struktur Atas Jembatan
Kriteria disain struktur jembatan mengacu pada edaran Dirjen BM no UM
0103-Db/242, 21 maret 2008. Pokok perencanaan meliputi Kekuatan dan
stabilitas, Kenyamanan dan kesalamatan, Kemudahan, Keawetan, Ekonomis,
lingkungan social dan Estetika.
111 dari 147
Gambar 60 Penentuan tipe struktur atas Jembatan Berdasarkan
Bentang Jembatan
R 1
Peraturan Perencanaan Jembatan (Bridge Design Code) BMS 92 dengan revisi SK-SNI
terbaru dan Kepmen PU.
Umur jembatan didesain 50 ~100 th, dengan Pembebanan BM100
Lebar Jembatan mengikuti lebar lajur dan bahu jalan yang ada.
Tinggi ruang bebas diatas permukaan lantai jembatan minimal 5,1 meter
Apabila tidak direncanakan secara khusus, penggunakan standar Bina Marga sesuai
dengan bentang ekonomis dan kondisi lalu-lintas air di bawah struktur bangunan
dapat diterapkan.
Perencanaan struktur atas menggunakan Limit States atau Perencanaan Beban
Keadaan Batas (PBKT) berupa Ultimate Limit States (ULS) dan Serviceability Limit
States (SLS).
5.8.7 Struktur bawah jembatan
Struktur bawah jembatan adalah struktur yang berfungsi menyalurkan beban dari struktur
atas termasuk beban lalu lintas ke tanah pendukung jembatan melalui pondasi. Struktur
bawah terbagi menjadi dua bagian yaitu kepala jembatan dan pilar jembatan.
5.8.7.1 Kepala Jembatan
Kepala jembatan adalah struktur penghubung antara jalan dengan jembatan dan sekaligus
berfungsi sebagai penopang struktur atas jembatan dan sebagai struktur penahan tanah
dibelakang kepala jembatan.
Type Kepala Jembatan
Bentuk kepala jembatan ditentukan berdasarkan tinggi kepala jembatan yang diukur dari
dasar kepala jembatan sampai permukaan lantai jembatan. Bentuk kepala jembatan
mengikuti tabel dibawah.
112 dari 147
R 1
( sumber: BMS 6-M3)
Dimensi kepala jembatan didasarkan pada analisa struktur yang memperhitungkan semua
gaya yang mungkin terjadi pada kepala jembatan tersebut termasuk akibat pengaruh beban
gempa yang bekerja pada struktur atas dan beban gempa yang bekerja pada tanah
dibelakang kepala jembatan.
Kriteria desain Kepala Jembatan
Untuk menghindari kerusakan dan kegagalan yang mungkin terjadi pada kepala jembatan,
maka sedapat mungkin kepala jembatan:
Tidak ditempatkan pada belokan luar sungai
Tidak ditempatkan pada aliran air sungai
Tidak ditempatkan di atas bidang gelincir lereng sungai.
Tidak ditempatkan pada lereng sungai jika digunakan fondasi dangkal
Berdiri diatas Pondasi yang ditanam sampai kedalaman pengaruh
penggerusan aliran air sungai.
113 dari 147
R 1
5.8.7.2 Pilar Jembatan.
Pilar jembatan adalah struktur penopang antara dua struktur atas jembatan dan berfungsi
sebagai penghubung antar dua struktur atas jembatan yang sekaligus sebagai penyalur
beban struktur atas ke pondasi yang ada dibawahnya
Kriteria desain Pilar Jembatan
Untuk menghindari kerusakan dan kegagalan yang mungkin terjadi pada pilar jembatan,
maka pilar jembatan harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
Tidak ditempatkan di tengah aliran air sungai
Jika pilar ditempatkan pada aliran sungai maka pilar dibuat sepipih mungkin
dan sejajar dengan arah aliran air
Bentuk disarankan bulat atau lancip
Untuk daerah rawan gempa diupayakan untuk tidak menggunakan pilar
tunggal.
Jika menggunakan pondasi dangkal, pondasi ditanam dibawah dasar sungai
sampai batas pengaruh gerusan aliran air sungai.
Dimensi pilar jembatan didasarkan pada analisa struktur yang memperhitungkan semua
gaya yang mungkin terjadi pada pilar jembatan tersebut termasuk akibat pengaruh beban
gempa yang bekerja pada struktur atas dan beban gempa yang bekerja pada pilar jembatan
itu sendiri.
Type Pilar Jembatan
Bentuk pilar jembatan ditentukan berdasarkan tinggi pilar jembatan yang diukur dari dasar
pilar jembatan atau dasar sungai sampai permukaan lantai jembatan. Bentuk pilar jembatan
mengikuti tabel dibawah.
114 dari 147
R 1
( sumber: BMS 6-M3)
5.8.8 Pondasi jembatan
Pondasi jembatan merupakan struktur paling bawah dari jembatan yang
meneruskan beban dari struktur atas dan bawah jembatan ke tanah dibawahnya. Pondasi ini
memegang peranan yang utama terhadap kestabilan jembatan pada saat menerima beban
mati, hidup dan aksi lingkungan, untuk itu pondasi tidak boleh turun, tergeser atau terguling.
Untuk menjaga agar pondasi tidak turun,tergeser atau terguling, maka pondasi seharusnya
didudukkan pada tanah keras, atau dijepit pada tanah yang kokoh.
Type Pondasi Jembatan
Bentuk pondasi jembatan ditentukan berdasarkan kedalaman tanah keras dan karakteristik
tanah dibawah kepala dan pilar jembatan. Bentuk pondasi jembatan mengikuti parameter
seperti tabel dibawah.
115 dari 147
R 1
( sumber: BMS 6-M3)
Kriteria Desain Pondasi Jembatan
a. Disarankan tidak menggunakan pondasi langsung pada daerah
dengan gerusan/scouring yang besar, jika terpaksa berikan perlindungan pondasi
terhadap scouring.
b. Hindari peletakkan pondasi pada daerah gelincir local dan gelincir
global, jika kepala jembatan harus diletakkan pada lereng sungai.
c. Hindari penyebaran gaya dari pondasi kepala jembatan jatuh ke
lereng/tebing sungai.
d. Gunakan pondasi sesuai dengan kondisi tanah dibawah kepala atau
pilar jembatan
e. Gunakan Faktor keamanan (Safety Factor) yang dapat memberikan
keyakinan terhadap kestabilan pondasi. Bila analisa kekuatan pondasi
menggunakan data tanah dari uji sondir, maka disarankan:
Untuk pondasi Tiang pancang, SF Point bearing =2,5 ~ 3 dan SF Friction =3~ 5
Untuk fondasi Sumuran dangkal dan pondasi dangkal SF Daya dukung = 1,5~3,
SF Geser = 1,5 ~ 2 dan SF Guling = 1,5 ~ 2
Apabila data tanah yang digunakan dari hasil boring, maka angka keamanan dapat
diambil lebih kecil dari angka keamanan diatas, karena data hasil boring lebih teliti.
116 dari 147
R 1
5.9 Struktur Bawah Tanah
5.9.1 Terowongan bagi kendaraan beroda empat atau lebih
5.9.1.1 Persyaratan umum
Jika jalan tol harus memotong Bukit, dimana pembuatan galian terbuka tidak dimungkinkan,
maka harus dibuat terowongan. Kegiatan perancangan terowongan diawali dari studi
kelayakan, penyelidikan tanah, pradesain dan diakiri dengan final desain.
Perencanaan bangunan terowongan harus juga memperhatikan pula faktor kebisingan,
bangunan utilitas dan interior jalan lainnya, sesuai dengan:
a) Pedoman Bina Marga, No. 036/T/BM/1999, bila menggunakan bangunan peredam bising
dengan ALWA.
b) Pedoman Bina Marga, No. 007/T/BNKT/1990, untuk perencanaan trotoar,
c) Pedoman Bina Marga, No.Pd T-12-2004-B, tentang marka jalan,
d) Pedoman Bina Marga No.Pd T-15-2004-B, tentang perencanaan pemisah Jalan,
e) Pedoman Bina Marga, No. 033/T/BM/1999, tentang persyaratan Aksesibilitas pada Jalan
Umum,
f) SNI 03-2442-1991, Spesifikasi Kurb Beton untuk Jalan.
5.9.1.2 Dimensi ruang terowongan bagi kendaraan roda empat atau lebih
Bila tidak ditentukan lain, persyaratan teknis untuk terowongan bagi kendaraan beroda
empat adalah sebagai berikut:
a. Tidak lebih sempit dari lajur jalan yang ada, Lebar terowongan sesuai dengan kebutuhan
ruang bebas ke arah samping.
b. Ruang bebas harus cukup, tidak menggangu jarak pandang, Tinggi ruang bebas
terowongan dari permukaan jalan minimum 510 cm.
c. Dilengkapi dengan saluran drainase agar air hujan yang masuk terowongan tidak
menggenangi permukaan jalan.
d. Terowongan harus dilengkapi dengan lampu penerangan sepanjang siang dan malam
hari pada umumnya, sesuai dengan ketentuan untuk lampu penerangan jalan umum
yang berlaku.
e. Terowongan yang dibuat pada daerah cekungan harus diperlengkapai dengan sistem
pengendalian banjir, agar air yang terkumpul melalui saluran drainase dapat terbuang
dengan cepat hingga tidak menimbulkan banjir di dalam terowongan.
f. Jika terowongan dibuat pada daerah yang tidak datar, maka alinyemen vertikal dan
horizontal harus mengikuti alinyemen vertikal dan horizontal dari geometri jalan, tanjakan
117 dari 147
R 1
dan turunan harus dibuat selandai mungkin.
g. Didalam terowongan harus diperlengkapi dengan kerb dan trotoar yang memenuhi
ketentuan untuk keperluan perawatan dan perbaikan lampu dan saluran drainase.
h. Diperlengkapi dengan blower pemberi oksigen, atau bukaan keatas atau kesamping, jika
terowongan terlalu panjang (lebih dari 300 m) dan dimungkinkan didalam terowongan
kandungan oksigen terlalu rendah.
5.9.2 Dinding penahan dan pelindung
5.9.2.1 Persyaratan umum
Manakala jalan tol harus memotong bukit, dimana pembuatan galian terbuka dimungkinkan,
maka sebelah kiri dan kanan jalan harus dibuat didnidng penahan tanah. Agar tidak terjadi
erosi pada lereng diatas jalan tol, maka tanah tersebut harus diberi dinding pelindung.
Kegiatan perancangan dinding diawali dari studi kelayakan, penyelidikan tanah, pra desain
dan diakiri dengan final desain
5.9.2.2 Ketentuan desain
Dinding Penahan tanah harus didesain sedemikian rupa sehingga:
a. Kuat menahan beban-beban yang diakibatkan oleh tekanan tanah aktif, tekanan air,
tekanan gaya akibat pengaruh beban hidup yang bekerja pada tanah dibelakang dinding
dan tekanan tanah akibat pengaruh beban gempa.
b. Diperlengkapi dengan system drainase vertikal dan horizontal yang memadahi
c. Dipasang dilatasi pada jarak tertentu.
d. Dipastikan pada daerah aman longsor dan dengan pondasi yang cukup kuat.
5.10 Hidrologi dan drainase
5.10.1 Hidrologi
5.10.1.1 Persyaratan umum
Analisis hidrologi harus mempertmbangkan semua data yang digunakan untuk menetapkan
debit banjir, yang terkait dengan dimensi parit, posisi pilar, dimensi gorong-gorong, dimensi
pipa drainase, dan permukaan air banjir sungai yang berhubungan dengan posisi pilar
jembatan, posisi struktur atas jembatan, dan kepala jembatan.
5.10.1.2 Data dan analisa hidrologi
1. Data-data yang diperlukan untuk anlisa hidrologi adalah:
a. Karakteristik dan luas catchment area serta karakteristik aliran
b. Intensitas curah hujan
118 dari 147
R 1
c. Koefisien Run-off Periode ulang
d. Permukaan air banjir maksimum pada sungai
2. Catchment area didasarkan kepada peta kontur dan kemungkinan air mengalir ke
kawasan jalan tol.
3. Koeffisien run-off didasarkan kepada: Luas perkerasan, Permeabilitas tanah,
Keberadaan gedung/bangunan, Tanaman dan Kemiringan lahan.
4. Intensitas curah hujan didapatkan darti hasil analisa data curah hujan yang didapatkan
dari stasiun pengamatan hujan terdekat.
5. Intensitas curah hujan digunakan untuk membuat grafik lengkung curah hujan, yang
menghubungkan antara waktu konsentrasi, periode ulang dan intensitas hujan. Lengkung
curah hujan ini dipergunakan untuk menghitung debit aliran dengan pereode ulang yang
digunakan adalah 50 tahunan.
5.10.2 Pengendalian banjir jalan tol
5.10.2.1 Persyaratan umum
Dalam segala hal permukaan jalan tol tidak boleh tergenang oleh air baik dalam waktu
singkat maupun dalam waktu panjang, untuk itu harus dibuat system drainase yang
terintregasi dengan wilayah penyenggah jalan tol agar dapat dipastikan banjir tidak akan
terjadi pada jalan tol, baik banjir yang diakibatkan oleh hujan atau banjir yang diakibatkan
oleh naiknya permukaan air laut.
5.10.2.2 Dimensi dan bangunan pengendalian banjir
Untuk menjamin bahwa jalan tol tidak akan terendam oleh air, maka jalan tol harus
diperlengkapi dengan bangunan-bangunan sebgai berikut:
a. Saluran pengumpul dikiri dan kanan jalan yang dalamnya tidak boleh kurang dari 60 cm
untuk jalan tol dalam kota dan 80 cm untuk jalan tol luar kota.
b. Saluran pembuang menuju ke tempat pembuangan akhir, yang harus dipastikan
permukaannya lebih rendah dari permukaan saluran pengumpul.
c. Jika tidak dimungkinkan untuk membuang air ke tempat pembuangan akhir, maka harus
diupayakan agar air dapat diresapkan ke dalam tanah.
d. Dimensi bangunan peresap harus dihitung dan dirancang berdasarkan debit aliran dan
tes perkolasi tanah.
e. Jika tidak dimungkinkan pembuatan peresapan, maka harus dibuat sistem pengendalian
banjir dengan menggunakan pompa.
5.10.3 Drainase Jalan
119 dari 147
R 1
Drainase jalan terdiri atas drainase permukaan jalan (surface drainage) dan drainase bawah
permukaan jalan (sub-surface drainage).
Drainase permukaan jalan tol atau secara fisik adalah dalam bentuk saluran tepi (side ditch),
gorong-gorong, dan box culvert. Air hujan atau air yang ada pada permukaan jalan, bahu
jalan dan jalur lainnya di sepanjang koridor jalan tol harus dikendalikan agar tidak
mempengaruhi kenyamanan dan keamanan berkendaraan. Saluran tepi jalan, gorong-
gorong dan box culvert harus dibangun dengan konstruksi yang awet dan mudah dipelihara
secara rutin.
Dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
penyelenggara jalan, saluran tepi jalan tol dapat diperuntukkan sebagai saluran lingkungan
yang terintegrasi dengan drainase kota/wilayah.
Drainase bawah permukaan jalan tol harus dirancang dan disediakan bila badan jalan
dipengaruhi oleh ketinggian muka air tanah asli sedangkan kurang dari 60 cm dari
permukaan jalan.
Dimensi dan cara perencanaan drainase permukaan jalan dapat mengikuti SNI 03-3424-
1994, tentang Tata Cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan. Dimensi dan pembuatan
drainase bawah permukaan jalan harus menggunakan bahan-bahan porus, pipa berlubang
sesuai dengan SNI 03-4818-1998, Spesifikasi Pipa Beton Berlubang untuk Saluran Drainase
Dalam Tanah, dan bahan-bahan penyaring dengan ukuran tertentu.
5.11 Utilitas
5.11.1 Bangunan utilitas
Demi terjaminnya keselamatan pengguna jalan, fasilitas utility harus ada., dengan diimbangi
faktor lain seperti kepraktisan konstruksi, pengoperasian, dan perawatan jalan. Desain,
lokasi dan cara yang penggunaan utilitas sebaiknya disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku. Pada tempat tertentu di Rumija Tol dapat dimanfaatkan untuk penempatan
bangunan utilitas.
Bangunan utilitas pada jaringan jalan tol di dalam kota dapat ditempatkan di dalam Rumaja
Tol dengan ketentuan yang berada di bawah tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari
tepi terluar bahu jalan atau kereb terluar sehingga tidak mengganggu keamanan konstruksi
jalan.
120 dari 147
R 1
Bangunan utilitas pada jaringan jalan tol di luar kota, dapat ditempatkan di dalam Rumija Tol
pada sisi terluar. jaraknya ditentukan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. Penempatan, pembuatan, dan
pemasangan bangunan utilitas direncanakan dan dikerjakan sesuai dengan persyaratan
teknis jalan tol yang ditetapkan oleh Menteri. Rencana kerja, jadwal kerja, dan cara-cara
pengerjaan bangunan utilitas di Rumija Tol diatur oleh penyelenggara jalan yang
bersangkutan dengan memperhatikan pendapat Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pemasangan, pembangunan, perbaikan,
penggantian baru, pemindahan, dan relokasi bangunan utilitas yang terletak di dalam, pada,
sepanjang, melintas, serta di bawah Rumaja Tol dan Rumija Tol diatur dalam pedoman
terpisah.
Dalam hal Rumaja Tol dan/atau Rumija Tol jalan bersilangan, berpotongan, berhimpit,
melintas, atau di bawah bangunan utilitas maka persyaratan teknis dan pengaturan
pelaksanaannya, ditetapkan bersama oleh penyelenggara jalan dan pemilik bangunan
utilitas yang bersangkutan, dengan mengutamakan kepentingan umum.
5.11.2 Kriteria desain bangunan utilitas
a. Garis pemisah jalur harus dibuat jelas terlihat siang atau malam hari.
b. Batas perkerasan jalan kiri dan kanan harus diberi tanda khusus yang trelihat pada
malam hari
c. Rambu dan Petunjuk harus terbaca dengan jelas pada jarak 100 m
d. Tempat tertentu diberi tanda kejud untuk lajur yang lurus dan panjang
e. Pada jarak tertentu disiapkan tempat istirahat
f. Pada saat masuk jalan tol diberi tanda batas kecepatan.
5.12 Perlengkapan jalan
5.12.1 Bangunan peredam bising
Pagar yang dipasang di sekitar permukiman, perkotaan atau daerah pariwisata dapat terbuat
dari bahan yang dapat menyerap atau meredam bising, yang pemasangan dan dimensinya
harus sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Bina Marga No. 036/T/BM/1999 untuk
bahan bangunan peredam bising terbuat dari bahan Artificial Light Aggreggate (ALWA), atau
bahan lain dengan ketentuan tertentu yang berlaku.
Metode untuk menguji tingkat kebisingan dapat diuji sesuai dengan SNI 19-6878-2002, serta
121 dari 147
R 1
untuk memprediksi kebisingan akibat lalulintas dapat diuji sesui dengan Pedoman Bina
Marga No.Pd T-10-2004-B.
5.12.2 Bangunan pengaman lainnya
Bangunan pengaman lain untuk melindungi pengguna jalan antara lain trotoar, kereb,
bangunan pemisah jalan, bukaan pemisah jalur dan bangunan pengaman tepi jalan.
Bangunan-bangunan tersebut harus dapat meredam energi terhadap benturan kendaraan,
tanpa mengakibatkan luka kepada pengguna jalan.
Bangunan yang dapat meredam energi benturan dapat terdiri atas tanaman pelindung jenis
perdu dengan ketinggian tertentu yang dapat menghambat laju kendaraan bila bergerak tak
terkendali ke tepi atau median jalan yang dipasang tanaman perdu tersebut.
Bentuk lain adalah timbunan tanah atau parit terbuat dari tanah dengan bentuk V atau U
yang dibangun di tepi atau atau median jalan, akan menyebabkan ban kendaraan tergantung
dan tidak akan bergerak ke arah jalur yang berlawanan.
Persyaratan teknis yang terkait dengan hal-hal tersebut harus mengacu pada pedoman dan
SNI sebagai berikut:
a) Pedoman Bina Marga No. 007/T/BNKT/1990, Perencanaan trotoar,
b) Pedoman Bina Marga No.Pd T-15-2004-B, Perencanaan pemisah Jalan,
c) SNI 03-2442-191, Spesifikasi kurb beton untuk Jalan,
d) SNI 07-6892-2002, Spesifikasi pagar anyaman kawat baja berlapis seng,
e) SNI 03-2444-2002, Spesifikasi bukaan pemisah jalur (separator),
f) SNI 03-2446-1991, Spesifikasi bangunan pengaman tepi jalan,
5.13 Pelataran tol dan gerbang tol
5.13.1 Kriteria umum
Perencanaan pelataran tol dan gerbang tol harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Kelancaran lalulintas
b) Keamanan dan efisiensi pengoperasian
c) Pandangan bebas
5.13.1.1 Kelancaran arus lalulintas
a. Untuk menghindari adanya antrian pada gerbang tol utama yang mempengaruhi
operasional jalan tol, kecuali dapat dibuktikan melalui analisa teknis, maka jarak jalan
penghubung antara gerbang tol utama ke arah persimpangan jalan bukan tol minimum 2
122 dari 147
R 1
(dua) km dengan tetap memperhatikan keseimbangan kapasitas antara gerbang tol dan
persimpangan.
b. Pada gerbang tol simpangsusun atau ramp harus direncanakan sedemikian sehingga
bila terjadi antrian tidak mengganggu kelancaran arus lalulintas pada jalur utama jalan tol
maupun jalan bukan tol.
c. Pelataran tol dan gerbang tol tidak boleh menjadi lokasi leher botol (bottle neck) bagi
arus lalulintas. Oleh karena itu harus tersedia lajur lalulintas dan gardu tol yang cukup
pada gerbang tol untuk dapat menampung volume lalulintas pada jam puncak/sibuk.
5.13.1.2 Keamanan dan efisiensi pengoperasian
a. Keberadaan gerbang tol harus dapat diketahui oleh pengguna jalan untuk itu harus
dilengkapi dengan rambu-rambu petunjuk maupun peringatan yang jelas dan dapat
terbaca dari kendaran yang berjalan dengan kecepatan tinggi, mengenai keberadan
gerbang tol yang bersangkutan.
b. Untuk menghindari akumulasi polusi gas buang di daerah gerbang tol maka dihindari
penempatan gerbang tol di daerah galian yang cukup dalam.
c. Untuk kebutuhan drainase areal pelataran tol sebaiknya gerbang tol diletakkan pada titik
tertinggi dari lengkung vertikal cembung alinyemen vertikal jalan.
d. Gerbang tol harus memungkinkan dan menjamin kendaraan dapat berhenti dan berjalan
kembali dengan aman serta kegiatan operasional pengumpulan tol terlaksanakan secara
efisien. Untuk itu pelataran tol sedapat mungkin direncanakan dan ditempatkan pada
daerah lurus dan datar.
e. Penyediaan lahan untuk areal pelataran tol dan gerbang tol harus memperhitungkan
kemungkinan peningkatan kapasitas gerbang (perluasan) di masa mendatang seimbang
dengan rencana kapasitas jalan maksimum.
5.13.1.3 Pandangan bebas
a. Penempatan gerbang tol dihindari diletakkan pada tikungan dengan jari-jari kecil atau
pada lengkung vertikal cekung dimana jarak pandangan terbatas dan lalulintas
cenderung berjalan dengan kecepatan relatif tinggi.
b. Gerbang tol harus diletakkan minimum 250 m dari jembatan lintas atas (overpass)
sehingga pandangan bebas pengemudi dan geometri pelataran tol tidak terganggu,
kecuali dapat dibuktikan melalui analisa teknis yang mendukung.
5.13.2 Perencanaan pelataran tol
123 dari 147
R 1
Lebar lajur lalulintas pada gerbang tol 2,90 m dan lebar pulau tol (toll island) 2,10 m. Untuk
dapat melayani sesuatu yang bersifat khusus, seperti misalnya angkutan dengan kendaraan
khusus yang ekstra lebar maka pada lajur paling luar (kiri) dibuat dengan lebar 3,50 m,
Kemiringan melintang permukaan perkerasan pada pelataran tol pada umumnya minimum
1,0% dan maksimum 2,0% sedangkan untuk permukaan perkerasan pelataran tol pada
barrier, kemiringan melintang permukaan perkerasannya dapat dibuat minimum sebesar
0,5%, dengan ketentuan sumbu gerbang tol berada pada puncak lengkung vertikal dengan
landai memanjang jalan +2% dan -2%.
Pelebaran jalur pada pelataran tol harus dibuat dengan panjang transisi yang cukup,
sehingga memungkinkan manuver atau weaving lalulintas dari jalur normal ke arah lajur
tol/gardu yang akan dituju dan sebaliknya.
Pada pelataran tol barrier, pelebaran jalur harus dibuat dengan kemiringan taper maksimum
pelataran 1:8, dan kemiringan taper maksimum pelataran tol pada ramp atau jalan akses 1:5.
Gambar 60 Pelataran tol pada gerbang tol barrier
Gambar 61 Pelataran tol pada gerbang tol ramp
Pada kondisi-kondisi khusus tertentu dimana ketersediaan lahan menjadi penentu atau
jumlah lajur tol relatif kecil (2 lajur s/d 4 lajur saja) seperti di wilayah perkotaan misalnya,
kemiringan taper 1:3 masih dapat diterima.
5.13.3 Perencanaan gerbang tol
124 dari 147
1: 8
1: 8
1: 8
1: 8
50 m 50 m
1: 5
1: 5
1: 5
1: 5
50 m 50 m
R 1
5.13.3.1 Kriteria umum
Gerbang tol harus direncanakan sesuai dengan kriteria sebagai berikut:
a. Bentuk konstruksi atap dan tinggi minimum gerbang tol dibuat sedemikian sehingga
mempunyai ruang bebas pada lajur lalulintas dengan tinggi minimum 5,10 m dan lebar
ruang bebas minimum 3,5 m.
b. Lebar atap gerbang tol minimum 13 m dan bentuk listplanknya dibuat sedemikian
sehingga memungkinkan pemasangan lampu lalulintas ataupun lane indicator.
Penempatan kolom gerbang harus sedemikian sehingga tidak mengganggu pandangan
bebas pengumpul tol ke arah datangnya kendaraan dan kebutuhan akan ruang gerak
yang memadai bagi karyawan gerbang dalam melaksanakan tugasnya di gerbang tol.
Gambar 62 Ruang bebas pada gerbang tol
c. Untuk gerbang tol dengan jumlah lajur lebih dari 10 lajur (9 pulau tol) disarankan
dilengkapi dengan terowongan penghubung antar gardu dan ke kantor gerbang untuk
keselamatan dan keamanan pengumpul tol yang sekaligus menampung utilitas.
d. Penempatan lampu pada atap gerbang agar dibuat sedemikian hingga tidak menyilaukan
pengumpul tol untuk melihat kendaraan yang datang serta tidak mengganggu fungsi lane
indicator.
5.13.3.2 Pulau tol (toll island)
Lebar pulau tol minimum 2,10 m dengan panjang minimum 25 m untuk lajur searah dan 33
m untuk lajur bolak balik (reversible lane). Ujung pulau tol yang menghadap arah datangnya
lalulintas dilengkapi dengan bull nose serta 2 bumper block. Satu bumper block diletakkan
pada ujung akhir bull nose dan satu lainnya diletakkan di muka gardu tol. Panjang bull nose
7 m dan tinggi bumper block 1,35 m di atas permukaan jalan.
125 dari 147
Gardu
Tol
Ruang Bebas
Gardu
Tol
Gardu
Tol
Ruang Bebas
5,10 m
2,90 m
3,50 m
2,90 m
3,50 m
2,10 m 2,10 m 2,10 m
R 1
Batas keliling pulau tol dilengkapi dengan concrete curb (kanstin/bingkai jalan) dengan tinggi
0,25 m di atas permukaan jalan.
5.13.3.3 Gardu tol (toll booth)
Gardu tol perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga menciptakan kondisi kerja yang
cukup nyaman dan aman bagi pengumpul tol. Untuk itu gardu tol harus dilengkapi dengan
pengatur suhu, pasokan udara segar dan alat komunikasi antar gardu dan dengan kantor
gerbang atau pos tol. Ukuran gardu tol minimal lebar 1,25 m panjang 2,00 m dan tinggi 2,50
m. Pintu gardu tol berupa pintu geser dan diletakkan pada bagian belakang gardu, dengan
lebar minimum 0,60 m.
5.13.3.4 Jumlah kebutuhan gardu tol
Untuk menetapkan jumlah lajur atau jumlah gardu tol yang direncanakan, akan ditentukan
oleh 3 (tiga) faktor yaitu:
a) Volume lalulintas
b) Waktu pelayanan di gardu tol
c) Standar pelayanan (jumlah antrian kendaraan yang diperkenankan)
5.13.3.4.1 Volume lalulintas
Dalam merencanakan jumlah lajur (gardu tol), volume lalulintas yang harus diperhitungkan
adalah volume lalulintas pada jam sibuk, dalam hal ini yang dipakai adalah volume lalulintas
jam perencanaan.
5.13.3.4.2 Waktu pelayanan
Besarnya waktu pelayanan sangat dipengaruhi oleh sistem pengumpulan tol dan
kemampuan peralatan tol maupun keterampilan dan kesiapan peugas pengumpul tol
maupun pemakai jalan. Besarnya waktu pelayanan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Sistem pengumpulan tol terbuka
1) Gardu masuk/keluar : 6 detik
b) Sistem pengumpulan tol tertutup
1) Gardu masuk : 4 detik
2) Gardu keluar : 10 detik
5.13.3.4.3 Kapasitas gerbang
Untuk keperluan perhitungan rencana jumlah lajur (gardu) tol pada gerbang tol, jumlah
antrian kendaraan per lajur (per gardu) maksimum adalah 3 (tiga) kendaraan.
126 dari 147
R 1
5.14 Fasilitas umum
5.14.1 Pertimbangan pembangunan fasilitas umum
Setiap ruas jalan tol harus dipasang dan dilengkapi dengan fasilitas umum, yang terdiri atas
fasilitas bagi penyeberang jalan tol dan bagi pengguna jalan tol.
Bagi penyeberang jalan tol dipasang fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan
atau terowongan bagi pejalan kaki dan sepeda motor, tidak termasuk jembatan untuk
kendaraan roda empat atau lebih karena masuk criteria jembatan sebagai pelengkap jalan
tol.
Jembatan untuk pejalan kaki, dan kendaraan roda dua tersebut harus dibangun karena
sebelum ada bangunan jalan tol, jalan tersebut sudah ada sebagai prasarana transportasi,
sebagai jalur penghubung dari satu kota ke kota lain dan sebagai urat nadi jalur ekonomi
daerah setempat ke daerah di kawasan lainnya.
Bagi pengguna jalan tol harus dipasang dan dilengkapi dengan sarana komunikasi, tempat
istirahat dan pelayanan umum lainnya yang diatur oleh BPJT.
Jembatan untuk kendaraan roda empat atau lebih harus dirancang sebagai jembatan layang
(overpass).
5.14.2 Fasilitas penyeberangan jalan tol
Fasilitas penyeberangan harus disediakan bagi pejalan kaki dan sepeda motor
5.14.2.1 Jembatan penyeberangan bagi pejalan kaki
5.14.2.1.1 Persyaratan umum
Jembatan untuk pejalan kaki harus terbuat dari bahan yang awet dan dapat mencapai umur
paling sedikit 50 tahun atau sama dengan umur jembatan pada umumnya. Beberapa standar
dan pedoman terkait yang dapat digunakan sebagai acuan meliputi:
a) Pedoman Bina Marga, No. 006/T/BM/1998, Tata cara perencanaan teknik jembatan
penyeberangan untuk pejalan kaki di Indonesia,
b) Pedoman Bina Marga, 025/T/BM/1998, Spesifikasi jembatan penyeberangan,
c) Pedoman Bina Marga, 032/T/BM/1999, Pedoman Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki
pada Jalan Umum,
d) SNI 03-1725-1989, Tata Cara Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya,
e) SNI 03-2833-1992, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan Jalan
Raya,
127 dari 147
R 1
f) SNI 03-4816-1998, Spesifikasi Bantalan Karet Untuk Perletakan Jembatan,
g) SNI 03-3967-2002, Spesifikasi perletakan elastometer jembatan tipe polos dan tipe
laminasi.
Perencanaan jembatan beton harus memperhatikan ketentuan dalam RSNI T-12-2004,
tentang perencanaan struktur beton untuk jembatan, atau ketentuan struktur baja untuk
jembatan lainnya. tata cara perencanaan tersebut di atas dapat digunakan untuk jalan tol
dengan memperhatikan spesifikasi teknis yang lebih tinggi dari pada untuk jalan umum.
5.14.2.1.2 Dimensi ruang
Bila tidak ditentukan lain, persyaratan teknis untuk jembatan bagi pejalan kaki di atas jalan
tol adalah sebagai berikut:
a) Lebar jembatan bagi pejalan kaki minimum 160 cm
b) Tinggi pagar jembatan dan pagar di anak tangga minimum 1,20 meter yang dirancang
tertutup di kiri dan kanan pagar.
c) Tinggi elevasi jembatan bagian bawah diukur dari permukaan perkerasan jalan tol
minimum 510 cm.
d) Pagar dari ketinggian 120 cm ke atas sampai 300 meter dipasang trails berbentuk grid
agar tembus pandang terbuat dari kawat baja dengan ukuran kisi-kisi maksimum 50 mm
x 50 mm, atau bentuk lainnya, diperkuat dengan ikatan angin yang mencukupi.
e) Pagar yang dipasang trails harus dipasang minimum sepanjang jembatan, mulai dari
ujung satu ke ujung seberang lainnya.
f) Tangga bagi pejalan kaki dapat berupa anak tangga dengan tinggi anak tangga
maksimum 250 mm, lebar minimum 300 mm.
g) Tangga harus dilengkapi dengan bordes sepanjang 200 cm, untuk setiap maksimum 40
anak tangga.
h) Tangga dapat berbentuk menerus dengan jumlah bordes maksimum 2 (dua) buah,
selanjutnya harus dibelokkan dengan sudut minimum 900 pada anak tangga berupa
bordes, dan dilanjutkan dengan anak tangga lainnya sampai mencapai ketinggian
jembatan yang direncanakan.
i) Lantai jembatan dan tangga harus dilengkapi dengan jalu-jalur atau pipa-pipa saluran
drainase agar air hujan dapat mengalir secepatnya dari permukaan lantai jembatan dan
anak tangga.
j) Bila tidak berupa anak tangga, dapat berupa jalur mendaki dengan sudut kemiringan
maksimum 300, dan panjang maksimum 10 meter kemudian dilengkapi dengan bordes
sepanjang 200 cm.
k) Jalur mendaki dapat berbentuk menerus dengan jumlah bordes maksimum 2 (dua) buah,
128 dari 147
R 1
selanjutnya harus dibelokkan dengan sudut minimum 900 berupa bordes, dan dilanjutkan
dengan jalur mendaki sampai mencapai ketinggian jembatan yang direncanakan.
l) Jembatan harus dilengkapi dengan lampu penerangan pada umumnya, sesuai dengan
ketentuan untuk lampu penerangan jalan umum yang berlaku.
m) Seluruh ketentuan harus memperhatikan persyaratan aksesbilitas pada jalan umum
untuk penyandang cacat, sesuai dengan Pedoman Bina Marga No. 033/T/BM/1999, dan
memperhatikan ruangan minimum yang harus tersedia serta unsur arsitektur.
n) Bila memungkinkan terutama di kota besar, untuk mencapai elevasi jembatan dapat
dibangun elevator tertutup menggunakan tenaga listrik.
5.14.2.2 Terowongan bagi pejalan kaki dan kendaraan beroda dua
Bila lebar badan jalan tol setiap jalur terdiri atas tiga atau lebih lajur sehingga panjang
terowongan mencapai lebih dari 20 meter, terowongan harus dilengkapi dengan lampu atau
ventilasi terbuka yang terlindung dari air hujan, yang dibangun di bawah median jalan tol
yang ada. Lubang ventilasi harus dilengkapi dengan tralis baja berbentuk grid yang kuat,
dengan ukuran kisi-kisi 50 mm x 50 mm.
5.14.2.2.1 Persyaratan umum
Perencanaan bangunan terowongan harus juga memperhatikan faktor kebisingan, bangunan
utilitas, dan interior jalan lainnya, sesuai dengan:
a) Pedoman Bina Marga, No. 036/T/BM/1999, bila menggunakan bangunan peredam bising
dengan ALWA,
b) Pedoman Bina Marga No. 007/T/BNKT/1990 untuk perencanaan trotoar,
c) Pedoman Bina Marga No.Pd T-12-2004-B, tentang marka jalan,
d) Pedoman Bina Marga No.Pd T-15-2004-B, tentang perencanaan pemisah jalan, dan
e) Pedoman Bina Marga tentang Persyaratan aksesibilitas pada Jalan Umum,
f) SNI 03-2442-1991, Spesifikasi Kurb Beton untuk Jalan.
5.14.2.2.2 Dimensi ruang
Bila tidak ditentukan lain, persyaratan teknis untuk terowongan bagi pejalan kaki dan
kendaraan beroda dua di bawah jalan tol adalah sebagai berikut:
a) Lebar terowongan minimum 240 cm.
b) Tinggi terowongan minimum dari permukaan jalan minimum 300 cm.
c) Perkerasan jalan harus dilengkapi dengan jalur-jalur atau pipa-pipa saluran drainase
agar air hujan yang masuk terowongan dapat mengalir secepatnya dari permukaan
perkerasan jalan.
d) Bila panjang terowongan lebih dari 20 meter, harus dilengkapi dengan lampu
129 dari 147
R 1
penerangan sepanjang siang dan malam hari, sesuai dengan ketentuan untuk lampu
penerangan jalan umum yang berlaku.
e) Seluruh ketentuan harus memperhatikan persyaratan aksebilitas pada jalan umum untuk
menyandang cacat, sesuai dengan Pedoman Bina Marga No. 033/T/BM/1999, dan
memperhatikan ruangan minimum yang harus tersedia serta unsur arsitektur yang
memadai.
f) Bila lebar badan jalan tol setiap jalur terdiri atas tiga atau lebih lajur sehingga panjang
terowongan mencapai lebih dari 20 meter, terowongan harus dilengkapi dengan lubang
ventilasi terbuka tetapi terlindung dari air hujan, yang dibangun di bawah median jalan tol
yang ada. Lubang ventilasi harus dilengkapi dengan trails baja berbentuk grid yang kuat,
dengan ukuran kisi-kisi 50 mm x 50 mm.
5.14.3 Fasilitas bagi pengguna jalan tol
5.14.3.1 Tempat istirahat (rest area)
Tempat istirahat dan pelayanan umum harus disediakan paling sedikit setiap satu jalm
perjalanan sejak kendaraan memasuki awal Gerbang Tol atau ujung Gerbang Tol terjauh,
atau paling sedikit satu tempat untuk setiap jarak 50 km pada setiap jurusan.
Fasilitas yang harus disediakan meliputi:
a. Lajur lalulintas,
b. Rumah makan,
c. Toko cenderamata,
d. Minimarket,
e. Anjungan tunai mandiri (ATM)
f. Penukaran valuta asing,
g. Kamar mandi/WC,
h. Taman,
i. Bengkel perbaikan kendaraan dan tambal ban,
j. SPBU,
k. Tempat Ibadah,
l. Tempat parkir.
m. Tempat pelayanan kesehatan
130 dari 147
R 1
Bila memungkinkan lokasi tempat istirahat berseberangan dengan lokasi tempat istirahat
lain, dapat disediakan jembatan penyeberangan yang dilengkapi dengan area restoran di
atas permukaan jalan dan median, dengan konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis
untuk jembatan dan arsitektur, serta perancangan dan pelaksanaannya diatur oleh BPJT
dengan memperhatikan pendapat Menteri.
Ketentuan lain tentang penataan dan rancangan tempat istirahat di jalan tol dapat mengikuti
pedoman:
- Bina Marga, No. 037/T/BM/1999, Pedoman penataan lokasi Tempat istirahat (rest area)
Buku 1: Pedoman penataan lokasi tempat istirahat di jalan bebas hambatan
- Pedoman Bina Marga, No. 009/T/Bt/1995 Tata cara pemeliharaan tanaman lansekap
jalan
- Pedoman Bina Marga, No. 011/T/BM/1999, Pemilihan Tanaman untuk Mereduksi Polusi
(Nox, CO, dan SO2)
- Pedoman Bina Marga, No. 034/T/BM/1999, Pedoman pemilihan berbagai jenis tanaman
untuk Jalan.
- Pedoman Bina Marga, No. 035/T/BM/1999, Pedoman Penataan Tanah untuk Jalan
- Pedoman Bina Marga, No.Pt T-04-2002-B, Penanggulangan erosi permukaan lereng
jalan dengan tanaman
- Pedoman Bina Marga, No.UPR.02.6, Pemeliharaan rutin taman jalan.
Jalur lalulintas di dalam tempat istirahat tidak direncanakan sebagai fasilitas parkir. Dalam
keadaan mendesak fasilitas parkir sejajar jalur lalulintas di badan jalan dapat disediakan, jika
kebutuhan akan parkir tinggi dan fasilitas parkir di luar badan jalan tidak tersedia. Untuk
memenuhi hal-hal tersebut, perencanaan parkir sejajar jalur lalulintas harus
mempertimbangkan lebar lajur parkir minimum 3,0 m dan mempertimbangkan keselamatan
lalulintas.
Fasilitas pejalan kaki disediakan untuk pergerakan pejalan kaki. Semua jalan di dalam
tempat istirahat harus dilengkapi jalur pejalan kaki di satu sisi atau di kedua sisi. Jalur
pejalan kaki harus mempertimbangkan penyandang cacat, dan dapat berupa:
a) jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, tetapi diperkeras permukaannya;
b) trotoar;
c) penyeberangan sebidang;
d) penyeberangan tidak sebidang (jembatan penyeberangan atau terowongan
131 dari 147
R 1
penyeberangan);
e) penyandang cacat.
Jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, harus ditempatkan di sebelah luar saluran samping.
Lebar minimum jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan adalah 1,5 m dan sangat dianjurkan
berupa trotoar. Lebar trotoar harus disesuaikan dengan perkiraan jumlah pejalan kaki yang
menggunakannya. Penentuan lebar trotoar yang diperlukan harus agar mengacu pada SNI
No. 03-2447-1991, Spesifikasi Trotoar.
Persyaratan fasilitas pelayanan
a) Luasan tempat istirahat dan pelayanan serta fasilitas pelayanannya harus diperhitungkan
untuk dapat menampung kebutuhan pelayanan sampai sepuluh tahun terhitung sejak
dioperasikan dengan kapasitas fasilitas pelayanan dapat dibangun secara bertahap.
b) Pada tempat istirahat, minimal harus disediakan tempat parkir untuk 30 kendaraan
golongan I (mobil penumpang dan truk kecil/ roda tunggal) dan 10 kendaraan golongan II
(truk besar dan bus besar)
c) Pada tempat istirahat dan pelayanan minimal harus disediakan tempat parkir untuk 80
kendaraan golongan I dan 20 kendaraan golongan II.
5.15 Lansekap
5.15.1 Persyaratan umum
Lahan kosong Disepanjang jalan tol harus dibuat taman dengan ditanami tumbuhan
tumbuhan yang teratur dengan tujuan:
1) Mengurangi lelah bagi pengguna jalan tol
2) Mengurangi silau lampu kendaraan pada lawan arah
3) Mereduksi bising kendaraan
4) Mereduksi CO dari kenalpot kendaraan
5) Menyegarkan udara
5.15.2 Kriteria desain
a. Bentuk tanam disesuaikan dengan lahan yang kosong
b. Jenis tumbuhan adalah tumbuhan penyegar dan perindang
c. Luas daerah taman minimal 30% dari luas lahan yang kosong.
d. Dalam desain lansekap jika kriterianya tidak ditentukan oleh pengelola tol, maka dapat
digunakan ketentuan seperti yang tertera pada tata cara perencanan teknik lansekap
jalan No. 033/T/BM/1996 Dirjend. Bina Marga, Dept. Pekerjaan Umum.
132 dari 147
R 1
5.16 Estimasi biaya
5.16.1 Perhitungan biaya pekerjaan jalan tol
1) Untuk perhitungan biaya pekerjaan jalan tol diperlukan pengetahuan tentang:
a) Produktivitas tenaga kerja, ialah jumlah dan susunan kualifikasi tenaga kerja yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu volume pekerjaan dalam satu satuan waktu
b) Besarnya volume bahan yang harus disiapkan
c) Kapasitas produksi setiap peralatan yang digunakan
2) Kriteria perkiraan biaya:memenuhi spesifikasi, dapat dipertanggung-jawabkan , alternatif
terendah, acuan penentuan pemenang lelang atau penentuan harga dalam penunjukan
langsung
3) Spesifikasi yang digunakan
a) Memuat segala peraturan & ketentuan tentang bagai-mana pekerjaan harus
dikerjakan & berhasil akhir.
b) Salah satu bagian penting dokumen lelang/kontrak
c) Dikenal dengan nama spesifikasi teknik / umum.
d) Jika perlu dilengkapi spesifikasi khusus atau addendum
e) Bentuk: berjenjang atau end result
f) Isi spesifikasi:
i) Lingkup pekerjaan
ii) Bahan
iii) Metode pelaksanaan
iv) Peralatan
v) Pengendalian mutu
vi) Cara pengukuran hasil kerja
vii) Cara pembayaran
4) Komponen analisa biaya dimulai dari komponen analisa harga satuan: material, tenaga
kerja, peralatan dan overhead &profit.
5) Software yang ada dapat digunakan untuk rujukan tetapi dianjurkan untuk tidak diadopsi
100% karena masih terdapat kekurang sempurnaan pada software tersebut, apalagi
dengan spesifikasi teknik yang berbeda.
6) Bantuan komputer Analisa harga satuan meliputi:
a) Masukan:
i) Bahan
ii) Alat
iii) Tenaga kerja
133 dari 147
R 1
iv) Overhead & profit
b) Proses:
i) Harga satuan dasar bahan
ii) Harga satuan dasar alat
iii) Harga satuan dasar tenaga kerja
iv) Overhead & profit
c) Keluaran
i) Harga satuan pekerjaan setiap item
ii) Harga total seluruh item
iii) Perkiraan biaya proyek
5.16.2 Cara pengerjaan
a. Menghitung harga satuan dasar bahan, harga satuan dasar alat dan harga satuan dasar
tenaga kerja - sebagai masukan
b. Menghitung satuan mata pembayaran bahan, alat dan tenaga kerja - sebagai proses
c. Menghitung estimasi biaya yang terdiri dari: harga satuan setiap pembayaran, kuantitas
pekerjaan, harga pekerjaan setiap mata pembayaran, harga total seluruh mata
pembayaran, PPN 10%, Perkiraan biaya proyek.-- sebagai output.
5.17 Manajemen K3 pelaksanaan jalan dan jembatan
Pengaturan mengenai keselamatn dan kesehatan kerja bidang konstruksi mencakup aspek
legal, administrative dan teknis operasional atas seluruh kegiatan kesehatan dan
keselamatan kerja bidang konstruksi. Ketentuan administratif meliputi: kewajiban umum,
organisasi keselamatan dan kesehatan kerja, laporan kecelakaan, keselamatan kerja dan
pertolongan pertama pada kecelakaan dan pembiayaan keselamatan dan kesehatan kerja.
Ketentuan teknis mencakup: tempat kerja dan peralatan, alat pemanas (heating
appliances), bahan-bahan yang mudah terbakar, cairan yang mudah terbakar, inspeksi dan
pengawasan, perlengkapan peringatan, perlindungan terhadap benda-benda jatuh dan
bagian bangunan yang roboh, perlindungan agar orang tidak jatuh/terali pengaman dan
pinggir pengaman, lantai terbuka, lubang pada lantai, lubang pada dinding, tempat-tempat
kerja yang tinggi, bahaya jatuh ke dalam air, kebisingan dan getaran (vibrasi), penghindaran
terhadap orang yang tidak berwenang, struktur bangunan dan peralatan konstruksi
bangunan, pemeriksaan dan pengujian pemeliharaan dan perlengkapan keselamatan kerja
Dalam pekerjaan konstruksi terdapat banyak komponen kegiatan yang dapat menimbulkan
dampak penting terhadap Lingkungan Hidup, sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut di
134 dari 147
R 1
atas, maka sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku,
kegiatan tersebut di atas wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) yang pelaksanaannya mengacu pada berbagai pedoman dan petunjuk teknis
AMDAL yang relevan, dengan memperhatikan sasaran dan ciri-ciri atau karakteristik
kegiatan proyek yang bersangkutan.
Dokumen AMDAL terdiri atas berbagai dokumen yang berturut-turut sebagai berikut :
1. KA - ANDAL, yaitu ruang lingkup studi ANDAL yang merupakan hasil pelingkupan atau
proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang berkaitan dengan dampak penting.
2. ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan), yaitu dokumen yang menelaah secara cermat
dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana atau kegiatan.
3. RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) adalah dokumen yang mengandung upaya
penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh rencana
kegiatan.
4. RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) adalah dokumen yang mengandung upaya
pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting akibat rencana
kegiatan.
Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu dalam melaakukan pemanfaatan, penataan,
pemeliharaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan lingkungan hidup, sehingga
pelestarian potensi sumber daya alam dapat tetap dipertahankan, dan pencemaran atau
kerusakan lingkungan dapat dicegah. Perwujudan dari usaha tersebut antara lain dengan
menerapkan teknologi yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan.
Berbagai prinsip yang dipakai untuk pengelolaan lingkungan antara lain :
1. Preventif (pencegahan), didasarkan atas prinsip untuk mencegah timbulnya dampak
yang tidak diinginkan, dengan mengenali secara dini kemungkinan timbulnya dampak
negatif, sehingga rencana pencegahan dapat disiapkan sebelumnya.
Beberapa contoh dalam penerapan prinsip ini adalah melaksanakan AMDAL secara baik
dan benar, pemanfaatan sumber daya alam dengan efisien sesuai potensinya, serta
mengacu pada tata ruang yang telah ditetapkan.
2. Kuratif (penanggulangan), didasarkan atas prinsip menanggulangi dampak yang
terjadi atau yang diperkirakan akan terjadi, namun karena keterbatasan teknologi, hal
tesebut tidak dapat dihindari.
Hal ini dilakukan dengan pemantauan terhadap komponen lingkungan yang terkena
dampak seperti kualitas udara, kualitas air dan sebagainya.
Apabila hasil pemantauan lingkungan mendeteksi adanya perubahan atau pencemaran
135 dari 147
R 1
lingkungan, maka perlu ditelusuri penyebab/sumber dampaknya, dikaji pengaruhnya,
serta diupayakan menurunnya kadar pencemaran yang timbul.
3. Insentif (kompensasi), didasarkan atas prinsip dengan mempertemukan kepentingan 2
pihak yang terkait, disatu pihak pemrakarsa/pengelola kegiatan yang mendapat manfaat
dari proyek tersebut harus memperhatikan pihak lain yang terkena dampak, sehingga
tidak merasa dirugikan. Perangkat insentif ini dapat juga berupa pengaturan oleh
pemerintah seperti peningkatan pajak atas buangan limbah, iuran pemakaian air, proses
perizinan dan sebagainya
6 Gambar penampang standar
6.1 Umum
Tipe dari gambar rencana yang dibutuhkan tergantung pada besar kecilnya proyek jalan tol
yang di tangani. Gambar-gambar rencana yang dimaksud meliputi gambar lokasi, peta
topografi, gambar-gambar geoteknik, rencana dan gambar-gambar dari struktur-struktur.
Seluruh gambar harus sudah termasuk di dalamnya keterangan legenda, daftar singkatan-
singkatan serta kepala gambar yang berisikan logo DPU, judul gambar, dipersiapkan,
disetujui dan nomor gambar.
6.2 Gambar desain jalan
Gambar-gambar tersebut biasanya diurut sebagai berikut:
a. Gambar-gambar umum dan peta
b. Gambar-gambar jalan tol
c. Gambar-gambar drainase
d. Gambar-gambar struktur jembatan/box/terowongan
e. Gambar-gambar lampu penerangan, lampu pengatur lalulintas serta pekerjaan elektrikal
f. Gambar-gambar fasilitas jalan tol
g. Gambar-gambar tempat istirahat, tempat pelayanan dan fasiltas tempat parkir
h. Gambar-gambar lain-lain serta pekerjaan tambahan (peta geoteknik)
Gambar desain jalan tol atau rencana teknik jalan tol harus menunjukkan secara jelas hal-hal
sebagai berikut:
- Koordinat dan elevasi dari titik awal dan titik akhir alinyemen
- Koordinat titik persimpangan
136 dari 147
R 1
- Arah sudut
- Panjang alinyemen jalan
- Radius kurvaPanjang kurva peralihan
- Panjang total alinyemen
- Gradien kemiringan jalan
- Koordinat dan elevasi titik pertemuan alinyemen vertikal
- Panjang serta lebar galian (cut) dan timbunan (fill)
- Lebar dari setiap elemen potongan melintang
- Ketebalan dan lebar dari lapis perkerasan
6.2.1 Gambar umum dan peta
Isi gambar-gambar umum, meliputi:
- Daftar gambar
- Gambar lokasi
- Legenda
- Daftar singkatan
6.2.2 Gambar jalan tol
Isi gambar jalan, meliputi:
- Rencana serta profil dari jalan
- Gambar-gambar perkerasan
- Potongan melintang khusus
- Gambar-gambar alinyemen
- Gambar-gambar pekerjaan tanah
- Detail kurva dan pelebaran
- Detail super-elevasi
- Detail persimpangan
- Detail lajur tambahan
- Detail ramp
- Detail fasilitas pejalan kaki
- Detail kerb, pembatas serta median
- Detail persilangan dengan rel kereta jika ada
6.2.3 Gambar drainase
Isi Gambar-gambar drainase, meliputi:
137 dari 147
R 1
- Rencana, profil dan potongan melintang gorong-gorong (culvert)
- Rencana, profil dan potongan melintang saluran samping
- Detail pembetonan gorong-gorong (pembesian)
- Detail kotak gorong-gorong pasangan batu kali
- Detail saluran samping
- Detail inlet
- Detail pekerjaan drainase
Gambar desain drainase harus menunjukkan secara jelas hal-hal sebagai berikut:
- Koordinat dan elevasi dari titik awal dan titik akhir drainase
- Gradien dari sistem drainase
- Tipe dan dimensi drainase
6.2.4 Gambar struktur jembatan/box/terowongan
Isi gambar struktur memuat secara umum layout dan detail dari struktur seperti jembatan,
gorong-gorong, pondasi, tiang pancang, abutmen, balok serta dinding penahan tanah.
Biasanya meliputi:
- Rencana umum, memanjang serta potongan melintang struktur atas (super-structure)
- Rencana umum, memanjang serta potongan melintang struktur bawah (sub-structure),
termasuk tiang pancang, kolom, abutmen
- Rencana umum, memanjang serta potongan melintang dinding penahan tanah
- Detail seluruh pembesian, termasuk tekukan
- Detail struktur pemasangan batu kali
- Detail pondasi
- Detail ekspansion joints dan bearings
- Gambar-gambar khusus lainnya yang dibutuhkan
Seluruh gambar harus disetujui oleh perencana dan memenuhi persyaratan prosedur.
Meliputi struktur:
- Jembatan/Terowongan (serta gorong-gorong besar)
- Tipe dan dimensi dari superstructure
- Tipe dan dimensi dari substructure
- Lebar dan elevasi dari permukaan superstruktur kebutuhan perkuatan
- Spesifikasi besi baja
138 dari 147
R 1
- Spesifikasi dari komponen yang dibuat di pabrik (sambung, mur, baut)
- Spesifikasi dari pekerjaan khusus termasuk pentahapan pekerjaan konstruksi, pre-stress,
dll.
- Kekuatan tekan beton
- Dinding penahan tanah (retaining wall), meliputi:
- Ketinggian dari permukaan tertinggi dinding penahan tanah
- Tipe dan dimensi potongan melintang
- Kebutuhan perkuatan
6.2.5 Gambar lampu penerangan, lampu pengatur lalulintas serta pekerjaan elektrikal
Isi gambar lampu penerangan, lampu pengatur lalulintas serta pekerjaan elektrikal, meliputi:
- Detail lampu penerangan jalan
- Layout dan detail lampu pengatur lalulintas (traffic light)
- Desain kabel listrik
- Detail dan lokasi eletrikal manhole
6.2.6 Gambar fasilitas jalan tol
Isi gambar-gambar fasilitas jalan tol, meliputi:
- Detail-detail fasilitas tol
- Rencana gerbang tol
- Pengaturan umum, rencana, potongan memanjang dan potongan melintang bangunan-
bangunan
- Detail pulau-pulau tol
- Detail pintu tol
- Detail frontage road
6.2.7 Gambar tempat istirahat, tempat pelayanan dan fasiltas tempat parkir
Isi gambar-gambar tempat istirahat, tempat pelayanan dan fasilitas tempat parkir, meliputi:
- Rencana daerah tempat istirahat
- Pengaturan umum, rencana, potongan memanjang dan potongan melintang bangunan-
bangunan
- Detail daerah parkir dan fasilitas lain yang terdapat di dalam area tempat istirahat.
139 dari 147
R 1
6.2.8 Gambar lain-lain serta pekerjaan tambahan (peta geoteknik)
Isi gambar-gambar lain-lain serta pekerjaan tambahan (peta geoteknik), meliputi:
- Detail khusus geoteknik
- Detail pekerjaan tanah termasuk drainase
- Detail solid dan strip sodding
- Detail paving block
- Detail kemiringan tanah serta penahan tanah
- Detail rambu serta marka jalan
- Layout dan detail pembatas, pagar dan guard rails
- Detail lansekap
- Kilometer post
6.2.9 Gambar lain-lain
a) Lebar grass block paving
b) Tipe dan dimensi paving block
c) Tipe dan dimensi slope protection
d) Pekerjaan khusus geoteknik
e) Tipe dan dimensi rambu dan marka jalan
f) Tipe dan dimensi pembatas (barrier), pagar dan guardrail
g) Tipe dan dimensi lansekap
h) Lampu penerangan, lampu sinyal dan pekerjaan elektrikal
Tipe lampu penerangan jalan
Tipe dan dimensi kabel
Tipe dan dimensi lampu sinyal
Tipe dan dimensi instalasi listrik
i) Fasilitas Tol
Tipe dan dimensi gerbang tol (Toll Plaza)
Tipe dan dimensi pintu tol
Tipe dan dimensi lampu jalan
Tipe dan dimensigedung
j) Tempat istirahat, tempat pelayanan dan fasilitas tempat parkir
Tipe dan dimensi bangunan dan tempat istirahat
Tipe dan dimensi perkerasan
Tipe dan dimensi lansekap
Tipe lampu penerangan
140 dari 147
R 1
Tipe dan luas tempat parkir di dalam tempat istirahat dan pelayanan jalan tol
6.3 Ukuran dan skala gambar
6.3.1 Tingkat detail gambar untuk berbagai elemen
Gambar teknik dibuat dengan maksud agar kontraktor dapat melaksanakan pekerjaan
konstruksi sesuai dengan desain dan spesifikasi. Gambar harus dibuat dengan skala yang
sesuai, selengkap mungkin serta jelas dan konsisten. Biasanya untuk gambar teknik dibuat
pada kertas ukuran A1 (841 x 594 mm). Penulisan perlu jelas sehingga dapat terbaca
dengan baik jika ukuran gambar diperkecil menjadi ukuran kertas A3 (420 x 297 mm)
Skala dari berbagai gambar seperti terlihat sebagai berikut:
- Gambar lokasi:1:10.000
- Peta topografi:1:1.000
- Potongan melintang jalan:1:200
- Desain dan profil:1:1,000 (perlembar kertas setiap panjang 700 m)
- Alinyemen memanjang: Horisontal 1:1,000, vertikal 1:100
- Potongan melintang struktur:1:100 dan 1:200
- Gambar detail:1:20 atau lebih detail (1: 5 atau 1:2)
6.3.2 Pembebasan lahan
Pembebasan berarti suatu aksi untuk membebaskan melalui pembayaran kompensasi untuk
pemilik lahan yang bersangkutan yang akan dibebaskan.
Rencana aksi pembebasan lahan adalah dari dokumen pembebasan lahan untuk mencapai
tujuan sebagai berikut:
- Lokasi lahan yang dibutuhkan
- Volume dan ukuran dari lahan yang dibutuhkan
- Volume dan ukuran dari bangunan
- Tata guna lahan
- Estimasi biaya kompensasi
- Tingkat kesulitan pelaksanaan pembebasan lahan
- Informasi detail yang perlu ditunjukkan:
- Titik ground control
- Garis tengah desain jalan dan ruang milik jalan
- Batas kepemilikan lahan
141 dari 147
R 1
- Batas bangunan
- Jembatan untuk pejalan kaki
- Utilitas
- Tipe bangunan (permanen atau semi permanen)
- Penggunaan bangunan (tempat tinggal, kantor pemerintah, tempat bisnis)
- Status kepemilikan lahan
- Fasilitas umum yang ada
- Tipe, usia dan kondisi dari tumbuhan pada lahan
- Populasi pada lahan
Skala gambar yang biasa digunakan adalah 1:1.000 atau 1:500 untuk proyek jalan baru
dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif sedikit. Sedangkan untuk daerah dengan
tingkat kepadatan penduduk lebih besar perlu gambar dengan skala yang lebih besar.
6.4 Standar gambar desain
Standar gambar desain untuk jalan tol terdiri dari potongan melintang jalan tol pada daerah
datar, pada daerah galian, pada daerah timbunan, dan pada daerah galian dan timbunan
seperti pada Gambar 66, Gambar 67, Gambar 68, dan Gambar 69 berikut.
Gambar 63 Potongan melintang jalan tol pada daerah datar
142 dari 147
R 1
Gambar 64 Potongan melintang jalan tol pada daerah galian
Gambar 65 Potongan melintang jalan tol pada daerah timbunan
Gambar 66 Potongan melintang jalan tol pada daerah galian dan timbunan
7 Pelaporan
Laporan terdiri dari tetapi tidak terbatas pada:
a) laporan rencana kerja terinci;
b) laporan pendahuluan;
c) laporan survai;
d) laporan kriteria desain;
e) laporan bulanan yang harus disampaikan setiap bulan pada tanggal yang sama dengan
melaporkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diselesaikan setiap bulan sesuai rencana
kerja terinci.
Kemajuan pekerjaan dihitung berdasarkan pekerjaan-pekerjaan yang telah selesai dan
akan menjadi dasar untuk pembayaran bulanan.digunakan sebagai dasar pembayaran
bulanan;
f) laporan khusus;
g) laporan akhir pekerjaan yang terdiri dari:
- paparan perencanaan konsep dan metoda desain yang telah diterapkan pada
seluruh pekerjaan, ringkasan hasil analisis dan perhitungan, laporan koordinasi
143 dari 147
R 1
dengan pihak terkait (dilampiri dengan notulen-notulen penting), evaluasi dan
rekomendasi;
- gambar rencana teknik akhir;
- perkiraan biaya engineer (engineer estimate);
- back up seluruh hasil perhitungan desain (geometrik, hidrologi, drainase, struktur,
mekanikal-elektrikal, dll).
laporan akhir pekerjaan termasuk back up data: topografi, geometrik, perkerasan,
hidrologi, quarry, geoteknik, struktur, lansekap, dan lain-lain.
8 Cara pengerjaan rencana teknik akhir
Cara pengerjaan rencana teknik akhir (final engineering design) dalam tahapan dalam
perencanaan teknik jalan tol digambarkan dengan urutan kegiatan-kegiatan dengan diagram
alir sebagai berikut, sesuai Gambar 69 dan 70.
144 dari 147
R 1
Gambar 67 Diagram alir tahapan perencanaan teknik jalan tol
145 dari 147
R 1
Gambar 68 Diagram alir pengerjaan rencana teknik akhir
146 dari 147
R 1
ATAR ACUAN
BMS7-C2, 1992, Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan Bagian 2 Beban
Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum, Dirjend. Bina Marga, Jakarta.
BMS6-M3, 1992, Selection and design of Superstructures, Substructures and
Foundations, Departemen Pekerjaan Umum, Dirjend. Bina Marga, Jakarta.
SKBI-1.3.28.1987, Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya,
Departemen Pekerjaan Umum, Dirjend. Bina Marga, Jakarta
RSNI T-02-2005, Pembebanan Untuk Jembatan, Badan standarisasi nasional. Jakarta.
Kramadibrata, Soedjono. 1995. Perencanaan Pelabuhan. Bandung, Ganeca Exact.
SNI 2833:2008, Standar perencanaan ketahanan gempa untuk
jembatan, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Priestly, 1996, Seismic Design and Retrofit of Bridges, New York, John
Wiley & Sons, inc.