You are on page 1of 39

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Masalah 1.

1 Latar Belakang Teks sastra yang membahas masalah-masalah religiusitas merupakan dokumentasi kehidupan spritual nenek moyang bangsa Indonesia serta memberikan gambaran yang memadai tentang alam pikiran dan lingkungan hidupnya. Dari pendekatan sosiologi sastra, hal ini merupakan aspek dokumenter sastra. Asumsinya, sastra merupakan cermin dari nilai-nilai budaya yang hidup pada zaman karya itu diciptakan (Damono, 1984:9). Teew (1984:229) berpendapat bahwa hal seperti ini merupakan aspek mimesis dalam penciptaan karya sastra. Kenyataan sosial berpengaruh besar dan mengarahkan makna yang terkandung dalam suatu karya sastra. Naskahnaskah sastra yang membahas masalah-masalah religiusitas yang ada pada saat sekarang ini pada umumnya bukan naskah asli atau arketipe, melainkan salinanya. Jika ditemukan banyak salinan naskah-naskah yang terkait dengan hal tersebut, dapat diprediksi bahwa naskah itu begitu penting dalam pandangan masyarakatnya. Suatu karya sastra yang dikenal luas dalam

masyarakat berarti pesan moral dalam karya sastra tersebut dipahami dan diterima sebagai bagian dari sistem acuan perilaku warga masyarakat. Hal ini berkaitan dengan fungsi sosial dari karya sastra, yakni permasalahan tentang seberapa jauh nilai-nilai budaya dalam karya

sastra berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan sosial suatu masyarakat (Damono, 1984:45). Sebagai imitasi kehidupan, karya sastra dapat membantu manusia dalam menafsirkan kenyataan hidup sehari-hari. Dari aspek inilah, nilai-nilai keagamaan dalam teks sastra dapat berperan menjadi nilai-nilai budaya yang transformatif, yakni nilai-nilai keagamaan itu menjadi kerangka acuan berpikir, bersikap, dan bertindak bagi orang yang membacanya. Dari pesan teks sastra sebagai wahana dokumentasi nilai-nilai budaya masa lalu dan sebagai sumber nilai-nilai budaya transformatif, dapat dicari relevansinya dengan tata kehidupan sosial pada saat ini. Kegiatan pengkajian teks sastra penting dilakukan pada saat ini untuk menggali nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya sebagai bahan dalam membina dan

mengembangkan kebudayaan nasional. Dengan mengkaji teks sastra itu, dapat dipahami dan dihayati pandangan serta cita-cita yang menjadi pedoman hidup nenek moyang bangsa Indonesia. Kebudayaan masa lampau merupakan tempat berakar dan berpijaknya pandangan hidup dan cita-cita bangsa Indonesia (Sudjiman, 1995:46). Dari sisi inilah, dapat dipahami alam pikiran nenek moyang bangsa Indonesia yang merupakan akar dan tempat berpijak terbentuknya kebudayaan nasional bangsa Indonesia pada saat ini. Selain itu, nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam teks sastra dapat dipergunakan sebagai kerangka acuan dalam membina dan

mengembangkan kebudayaan nasional. 3

Setiap peneliti sastra bertanggung jawab terhadap suatu karya sastra yang sedang dikajinya, yakni tanggung jawab untuk menggali kandungan makna pada saat karya sastra diciptakan. Namun, tanggung jawab itu tidak seperti seorang pengumpul benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali. Peneliti karya sastra wajib memberikan penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh orang pada masa kini (Damono, 1984:5). Jadi, tugas peneliti sastra adalah mengungkap kandungan makna yang tersurat dan tersirat dalam teks sekaligus menafsirkan makna tersebut dalam perspektif masa kini atau mengungkap relevansi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam suatu teks dengan tata sosial kehidupan masyarakat pada saat ini. Permasalahan pertama yang dihadapi peneliti dalam melaksanakan tanggung jawabnya adalah bagaimana peneliti yang hidup pada saat sekarang ini mampu memahami makna yang terkandung dalam naskah lama. Inti permasalahan tersebut adalah bagaimana peneliti dapat

memahami kandungan nilai-nilai budaya yang tersurat dan tersirat dalam naskah sastra Islam, padahal naskah itu ditulis pada masa lampau yang latar belakang sosial budaya masyarakatnya berbeda dengan masyarakat saat ini. Naskah tulisan hasil cipta masa lampau, pada saat ini berada dalam kondisi yang tidak selalu dapat diterima dengan jelas dan sering dikatakan gelap atau tidak jelas oleh pembaca masa sekarang. Sebagai akibatnya, banyak karya tulisan masa lampau dirasakan tidak mudah dipahami (Baried, dkk., 1994:1).

Hampir setiap peradaban memiliki kekayaan teks atau naskah karya sastra, termasuk suku Makassar yang merupakan salah satu etnis yang ada di Sulawesi Selatan. Teks atau naskah ini juga bervariasi, yakni puisi dan prosa. Doangan (mantra), paruntuk kana (peribahasa), Kelong (pantun), pakkiok bunting (sanjak), dondo (sanjak), dan rapang (perumpamaan) merupakan jenis-jenis puisi; sedangkan yang tergolong jenis prosa adalah rupama (dongeng), pau-pau (hikayat, riwayat, roman), patturioloang (silsilah), dan lontarak bilang (buku harian kerajaan); dan yang tergolong bahasa berirama, yaitu royong (nyayiang) dan sinrilik (Basang, 1986:14-93). Di antara teks-teks sastra tersebut, penulis menekankan pembahasan pada Kelong. Kelong merupakan salah satu teks lama yang juga menyimpan sejumlah informasi masa lampau mengenai segi kehidupan. Di antara yang belum banyak mendapat sentuhan penelitian adalah Kelong lama penyimpan ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam. Karena itu, penulis mencoba meneliti Kelong-Kelong yang sebenarnya banyak diajarkan oleh seorang guru namun belum terdokumentasi. 1.2 Masalah Didasarkan atas pemaparan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana analisis heuristik Kelong Makassar? b. Bagaimana interpretasi nilai religi dalam Kelong Makassar?

2. Tujuan dan Hasil yang Diharapkan Penelitian ini bertujuan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan analisis heuristik Kelong Makassar; b. Mendeskripsikan interpretasi nilai religi dalam Kelong Makassar. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. hasil penelitian yang memuat deskripsi yang komprehensif mengenai struktur bahasa Kelong dan interpretasinya; b. hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitianpenelitian selanjutnya yang terkait dengan masalah ini. 3. Kerangka Teori 3.1 Definisi Kelong Menurut Nasruddin (2000), Kelong termasuk salah satu seni sastra berbahasa Makassar yang digolongkan ke dalam genre puisi Makassar. Kelong atau elong dalam sastra Bugis merupakan bagian dari sastra lisan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. (Djamaris, dkk., 1994) Moeliono, dkk. (1990) memaparkan beberapa pengertian lagu, yakni: (1) ragam suara yang berirama (dalam bercakap, membaca, dan

sebagainya), (2) menyanyi, nyanyian, (3) ragam menyanyi (musik, gamelan, dsb.), dan (4) tingkah laku, cara, lagak. Karakteristik-karakteristik Kelong: a) Kelong terikat dalam pola persukuan yaitu lirik pertama 8 suku kata, larik

kedua 8 suku kata, larik ketiga 5 suku kata, dan larik keempat 8 suku kata b) Kelong dapat selesai atau mengandung suatu pengertian yang lengkap dengan satu bait saja, tetapi dapat pula terdiri atas beberpa bait. Menurut Herianah (2007) ada berbagai cara yang dilakukan

pakKelong (pengarang atau pembawa elong) dalam melukiskan pikiran dan perasaannya yakni: pernyataan langsung PakKelong menyatakan pikiran dan perasaannya secara langsung dengan mempergunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti oleh pendengarnya;

pengiasan PakKelong melukiskan pikiran dan perasaannya tidak dengan terus terang, melainkan dengan terkias; asosiasi bunyi ucapan PakKelong menyampaikan ucapannya dengan melalui cara dan

pengertian yang samar-samar, atau dengan kata berkias 3.2 Teori Hermeneutika Teori hermeneutika merupakan teori yang awalnya digunakan untuk menafsirkan kitab suci. Setelah perjalanannya yang panjang, teori ini

melahirkan banyak pemikir dengan gagasan-gagasannya masing-masing yang kemudian saling melengkapi setiap celah yang ada. Teori hermeneutika yang digunakan dalam penelitian ini merupakan perpaduan teori hermeneutika Paul Ricouer dan Hans George Gadamer. Ricoeur (dalam Njambon, 2009) menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulian adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Disini terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana , yang di tuliskan dalam hermeneutika Paul Recouer, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme. Selain teori hermeneutika Paul Ricouer, teori hermeneutika lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutika dialogis. Penggagas teori hermeneutika ini adalah Hans George Gadamer. Gagasan Gadamer merupakan pengembangan dari pemikiran Martin Heidegger dan Wilhem Dilthey. Bagi Gadamer (dalam Anshari), tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mungkin dapat melahirkan proses peleburan antara dua horisan, yaitu horison seseorang (penafsir) dengan horison

kesejarahannya (teks). Hermeneutika dialogis yang digagas oleh Gadamer mendeskripsikan interaksi antara penafsir (P) dan teks. Pengarang (jika dikenali dan masih hidup) dan konteks historis dari sebuah teks perlu dipertimbangkan dalam

proses interpretasi bersama dengan prasangka sang penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis pelacakan, bahasa, dan budaya. Pendekatan sang penafsir terhadap teks sangatlah mendasar bagi pengungkapan kembali kebenaran/makna teks. Berkaitan dengan pemaknaan teks, Gadamer (dalam Hamdi, 2003:58) berpendapat bahwa tugas hermeneutika bukan untuk menemukan makna asli sebuah teks. Makna suatu teks tidak hanya terbatas pada pengarang saja, tetapi juga terbuka bagi adanya penafsiran sesuai dengan kreativitas sang interpreter (penafsir). Pandangan ini mengindikasikan bahwa suatu karya yang sudah dituangkan dalam tulisan sepenuhnya menjadi milik pembaca. Oleh karena itu, interpretasi bukan hanya sebatas mereproduksi makna, melainkan juga memproduksi makna. Lebih lanjut, interpretasi memerlukan perpaduan macam-macam cakrawala, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, budaya, dan konteks historis dalam rangka memahami makna teks berdasarkan konteks ruang dan waktu. Orientasi hermeneutika Gadamer (dalam Machasin, 2003:125) adalah berusaha mendialogkan teks itu dengan pembaca dan situasi zamannya dan kemampuannya untuk memahami teks atas dasar tanda-tanda yang terdapat dalam teks itu sendiri. Dalam hal ini, Gadamer (dalam Mulyono, 2002:136) menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi itu adalah dialektika atau dialogis yang produktif antara masa lalu dan masa sekarang. Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan Gadamer (dalam 9

Palmer, 2003:219), pemahaman merupakan suatu partisipasi (keterlibatan) di dalam arus tradisi serta di dalam suatu peristiwa yang menggabungkan masa lalu dan masa sekarang. 4. Metode dan Teknik Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Interpretasi sebagai ciri khas penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Kurniawan, 2009: 31). Metode teoritis yang digunakan dalam penelitian adalah teori hermeneutika Paul Ricouer dan Hans George Gadamer. Tahap penelitian yang dilakukan adalah: Pembacaan terhadap objek penelitian; Pemilihan sampel sebagai data penelitian; Pengumpulan data tambahan yang mendukung penelitian ini oleh karena data utama penelitian kualitatif adalah adalah kata-kata atau bahasa (Kurniawan, 2009: 31 ), data pendukungnya yaitu buku yang mendukung penelitian ini; Melakukan analisis secara cermat terhadap; Merumuskan kesimpulan.

BAB II SELAYANG PANDANG MENGENAI HERMENEUTIKA 2.1 Hermeneutika Hermeneutika sebenarnya merupakan topik lama, namun kini muncul kembali sebagai sesuatu yang baru dan menarik, apalagi dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sastra sebagai bagian ilmu humaniora merupakan salah satu bidang yang sangat membutuhkan konsep hermeneutika ini. Dengan demikian, hermeneutika seakan-akan bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting. Untuk memahami substansi 11 hermeneutika, sebenarnya dapat

dikembalikan kepada sejarah filsafat dan teologi, karena hermeneutika tampak dikembangkan dalam kedua disiplin tersebut. Selanjutnya,

perkembangan pemikiran tentang hermeneutika secara lambat laun merebak ke berbagai area disiplin lainnya, termasuk juga pada disiplin sastra. Apabila ditelusuri perihal sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika teks-teks, pada awalnya tampak dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi dalam sejarah permikiran teologis YudioKrisitiani. Lefevere (1977: 46) menyebutnya sebagai sumber-sumber asli, yakni yang bersandarkan pada penafsiran dan khotbah Bibel agama Protestan (Eagleton, 1983: 66). Secara lebih umum, hermeneutika di masa lampau memiliki arti sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci. Dalam konteks ini, dapatlah diungkapkan bahwa herme-neutika tidak lain adalah menafsirkan berdasarkan pemahaman yang sangat mendalam. Dengan perkataan lain, menggunakan sesuatu yang gelap ke sesuatu yang terang. Perlu diketahui, kemunculan hermeneutika dalam ilmu-ilmu sosial merupakan perkembangan yang menarik. Berbagai anggapan muncul mewarnai pertanyaan mengapa hermeneutika berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Sehubungan dengan itu, Eagleton (1983: 60) melihat bahwa kemunculannya itu lebih dilatarbelakangi oleh adanya krisis ideologi di Eropa, yang pada masa itu ilmu semakin menjadi positivisme yang mandul karena subjektivisme yang sulit dipertahankan. Konsekuensinya, muncullah

beberapa tokoh yang mencoba menawarkan alternatif, di antaranya adalah Husserl. Ia menolah sikap yang terlalu ilmiah (Eagleton, 1983: 60-61). Sehubungan dengan itu, Madison (1988: 40) juga mengatakan bahwa masalah status epistemologi ilmu-ilmu sosial atau kemanusiaan menjadi bahan pembahasan secara terus-menerus selama beberapa dekade. Namun, yang paling prinsip diungkapkannya di sini adalah bagaimana sumbangan Husserl tentang penjelasan dan pemahaman dalam

hermeneutika. Dua konsep ini kemudian dipertegas oleh M.J. Valdes (1987: 56-57) dengan mengemukakan teori relasional tentang sastra dan menolak validitas dari semua klaim terhadap berbagai interpretasi yang definitif. Mereka memandang pentingnya subjek dalam posisi respons, sehingga karya sastra klasik tidak diinterpreasi secara definitif melainkan terusmenerus. Karya-karya klasik seperti karya Aristoteles, Dante, Shakespeare, Goethe, Keats, Proust, dan sebagainya, tidak cukup diinterpretasi sekali, tetapi perlu diinterpretasi secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Hermeneutika dikatakan Dilthey diterapkan pada objek

geisteswissen-schaften (ilmu-ilmu budaya), yang menganjurkan metode khusus yaitu pemahaman (verstehen)(1). Perlu dikemukakan bahwa konsep memahami bukanlah menjelaskan secara kausal, tetapi lebih pada membawa diri sendiri ke dalam suatu pengalaman hidup yang jauh, sebagaimana pengalamaan pengobjektifan diri dalam dokumen, teks (kenangan tertulis), dan tapak-tapak kehidupan batin yang lain, serta 13

pandangan-pandangan dunia (welstancauunganen) (Madison, 1988: 41). Dalam dunia kehidupan sosial-budaya, para pelaku tidak bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, tetapi berbicara dalam language games (permainan bahasa) yang melibatkan unsur kognitif, emotif, dan visional manusia. Keseluruhan unsur tersebut bertindak dalam kerangka tindakan komunikatif, yaitu tindakan untuk mencapai pemahaman yang timbal balik. 2.2 Pandangan Lefevere tentang Hermeneutika dalam Interpretasi Sastra Lefevere (1977: 46-47) memandang bahwa ada tiga varian

hermeneutika yang pokok. Dari ketiga varian tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya, yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas berbagai tulisan hermeneutika. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan khusus turut membuat hermeneutika membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan substansi hermeneutika yang sesungguhnya sangat bernilai. Jika orang menyadari bahwa tulisan yang hermeneutis kebanyakan dibuat dalam gaya seperti itu, orang akan sedikit memahami mengapa dialog nyata antar para penganut aliran hermeneutika dan positivis logis begitu sulit untuk diprakarsai. Kendati demikian, dalam kehidupan akademik saat ini, tentunya asumsi-sumsi itu tidak relevan dengan perma-inan kata, yang di

dalamnya kita turut ambil bagian. Ketiga varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama,

hermeneutika tradisional (romantik); kedua, hermeneutika dialektik; dan ketiga, hermeneutika ontologis. Perlu dikemukakan, di satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutika itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutika itu dalam kerangka kajian sastra, mulai hermeneutika tradisional, dialektik, hingga ontologis. 2.3 Hermeneutika Tradisional Refleksi kritis mengenai hermeneutika mula-mula dirintis oleh Friedrich Schleiermacher, kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Hermeneutika yang mereka kembangkan kemudian dikenal dengan hermeneutika tradisional atau romantik. Mereka berpandangan, proses versetehen mental melalui suatu pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu (Lefevere, 1997: 47). Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada pemahaman pengalaman pengarang atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada ekspresi kehidupan batin atau makna peristiwa-peristiwa sejarah. Apabila dicermati, keduanya dapat

15

dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere (1977: 47) karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif. Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes (1987: 58) yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif. Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis (geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora (1977: 48), apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena menurut Eagleton (1983) dunia karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek. Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara pengamat dan penafsir (pembaca)

tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian, teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan (1977: 47-48); Eagleton, 1983: 59; Valdes, 1987: 57; Madison, 1988: 41). Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang diungkapkan. Kelemaham yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya

versetehen) hanya menghidupkan kembali (mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dmunculkan oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1977: 49). Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra. 2.4 Hermeneutika Dialektik Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu

17

yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa (Lefevere, 1977: 49). Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial. Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman

intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa penjelasan dan pemahaman dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu ilmu-ilmu sosial alam dan kemanusiaan

(geistewissenschaften)

maupun

(naturwissen-shacften)

(Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal

ini

dipertimbangkan

sebagai

masalah

dalam

filsafat

ilmu

(filsafat

pengetahuan). Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48). Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan. Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49). Inti varian hermeneutika dialektik tersebut-yang tidak

mempertentangkan penjelasan dengan pemahaman-sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting penjelasan dan pemahaman untuk menjelaskan prinsip

interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59). Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum19

hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya. Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri. 2.5 Hermeneutika Ontologis Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran

hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai

penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai kosep

metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis. Verstehen, kehidupan menurut itu Gadamer, yang merupakan asli. Varian jalan keberadaan ini

manusia

sendiri

hermeneutika

menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagi metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis. Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan ma-salah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih mementingkan rekreasi. Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan reproduktif, tetapi sebagai jalan produktif. Berbeda halnya dengan apresiasi Lefevere, Valdes justru melihat 21

bahwa apa yang dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59) Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Struktur Bahasa dalam Kelong Makassar 3.1.1 Kelong tentang Tuhan Kelong 1: Kareng minang kammaya Karaeng tena rapanna Karaeng sekre Taena sampak julukna Terjemahan: Tuhan yang maha Tuhan yang tak memiliki perumpamaan Tuhan yang Esa Tak ada yang menyerupai 23

Analisis Kelong 1 Seperti penulisnya, Kelong di atas juga tak berjudul. Hanya terdiri atas satu bait dan empat larik. Penggunaan kata karaeng pada larik pertama merujuk pada sesuatu yang memiliki kekuasaan, pun penggunaan kata minang pada larik pertama merupakan metafora yang mengiaskan sesuatu yang tak memiliki bandingan. Pernyataan tersebut semakin ditegaskan melalui penggunaan kata sekre yang mengacu pada angka satu. Secara keseluruhan, makna dalam bait Kelong tersebut menyatakan bahwa karaeng yang dimaksud adalah Allah swt. Tuhan yang satu dan

hanya satu-satunya yang tak memiliki kemiripan dengan sesuatupun. Kelong 2: Gampangjintu assenganna Karaeng minang kammaya Kaniya jintu Tamallakkak ri atiya Terjemahan: Adalah hal yang mudah diketahui Tuhan yang maha Karena Dia ada Tak pernah terlepas dari hati Analisis Kelong 2 Pada larik pertama, penggunaan kata gampangjintu mengiaskan sesuatu yang dapat diperoleh tanpa susah payah. Selanjutnya larik yang menyatakan tamallakkak ri atiya menegaskan bahwa kesusahpayahan itu

karena Tuhan tak pernah lepas dari hati. Kelong 3: Majainaji tanjakna Najai pakarenganna Kuntu tojenna Sekreji tanjakna rua Terjemahan: Hanya perwujudannya yang banyak Sehingga Dia memiliki banyak gelar Sesungguhnya Hanya satu yang berwujud dua Analisis Kelong 3 Kata majainaji mengiaskan sesuatu yang banyak. Namun,

penggunaan kata sekreji merujuk pada sesuatu yang tunggal. Perwujudan bahwa dia benar-benar tunggal semakin ditekankan dengan pernyataan Sekreji tanjakna rua. Kelong 4: Lakbiriki anne linoa Lakbirangngangi suruga Lakbirang pole Pangngainna Karaenta Terjemahan: Dunia ini begitu mempesona Lebih mempesona lagi surga Namun yang paling mempesona Adalah cinta Allah swt. Analisis Kelong 4 Penggunaan kata lakbirik merujuk pada sesuatu yang mulia. Pesona 25

dunia yang sangat memikat dibandingkan dengan pesona surga dan cinta Tuhan. 3.1.2 Kelong tentang Amanah Kelong: Tutu laloko ri pasang Jarrekko ri panrannuang Nutealalo Lessoki ri kuntu tojeng Terjemahan: Hati-hati dengan amanah Peliharalah ia Agar anda Tidak berpaling dari kejujuran Analisis Kelong Kata pasang dan panrannuang adalah dua kata yang bermakna sama yang digunakan dalam Kelong di atas. Kedua kata tersebut saling menegaskan bahwa amanah adalah sesuatu yang penting. Selain itu, penggunaan kata kuntu tojeng juga mengiaskan bahwa kejujuran adalah kunci agar seseorang amanah. Makna bait Kelong di atas yaitu seseorang harus menjaga amanah dengan cara memegang kukuh kejujuran karena pangkal dosa adalah kebohongan. 3.1.3 Kelong tentang Taubat Kelong:

Lintak-lintak makik tobak Umuruk lolo-lolota Niminasai Nirapik awwali sekre Terjemahan: Segerakanlah bertaubat Saat umur muda Diharapkan Mendapati wali yang satu Analisis Kelong Penggunaan kata lintak-lintak mengiaskan bahwa tindakan bersegera tidak berarti terburu-buru seperti kata karo-karo karena kata tersebut merujuk pada sesuatu yang dilakukan tanpa rencana sebelumnya. Larik kedua yang menggunakan kata lolo-lolota mengiaskan bahwa meskipun masa muda adalah masa yang penuh gejolak dan masa pencarian jati diri tidak berarti siapapun berhak melakukan sesuatu tanpa mengindahkan norma karena ajal tak mengenal usia. Siapapun yang dikehendakinya akan diambilnya, tak pandang bulu. 3.1.4 Kelong tentang Guru Kelong 1: Gurunta paeng pedomang Iya paleng nipinawang Nani jarreki Sikuntu pangngajarranna Terjemahan: Guru adalah pedoman Dia yang seharusnya diikuti 27

Agar mendalam Semua yang diajarkannya Analisis Kelong 1 Kata pangngajarrang pada larik keempat merupakan penguatan bahwa kata gurunta yang dimaksud adalah kata yang mengiaskan pada seseorang yang dianggap menyampaikan suatu kebaikan. Begitu pentingnya kehadiran seorang guru, sehingga kata paeng pedomang digunakan. Kelong 2: Gesaraki agamaya Punna tenna anrong guru Katena paleng Anakoda mangnguluang Terjemahan: Rubuh suatu agama Jika tanpa guru Karena tidak ada Nahkoda yang memimpin Analisis Kelong 2 Penggunaan kata gesara mengiaskan sesuatu yang berubah tidak pada tempatnya. Lebih lanjut, pengiasan kata guru dengan anakoda member makna bahwa seorang guru disimbolkan sebagai seorang nahkoda. Kelong 3: Horomaknu ri gurunnu Horomaknu ri Muhammak Kaiya tonji Horomak ri karaennu Terjemahan:

Hormatmu pada gurumu Hormatmu pada Muhammad saw. Juga berarti Hormat pada Tuhanmu Analisis Kelong 3 Penggunaan kata horomak yang digunakan pada hampir setiap larik menegaskan pentingnya kata tersebut. Horomak merajuk pada sebuah tindakan menghargai sesuatu baik secara tersurat maupun tersirat. Kata Guru yang digunakan pada larik pertama mengiaskan bahwa umat Islam yang datang belakangan diajak kepada kebenaran oleh guru, sementara yang datang sebelumnya oleh Muhammad saw. Terakhir, dengan

penghormatan pada guru dan Nabi Muhammad saw. berarti penghormatan kepada Tuhan. Pembawa kebenaran diurut dari level terendah ke yang tertinggi. 3.1.5 Kelong tentang Bersuci Kelong: Iya junnuk ia saadak Iya nikana satinja Iya nikana Mannangkasi batangkale Terjemahan: Dia junub dia syahadat Dia disebut istinja Dia yang disebut Menyucikan seluruh badan Penggunaan kata junnuk dan satinja merupakan dua kata yang 29

mengiaskan istilah bersuci dalam agama Islam. 3.2 Interpretasi Nilai Religi dalam Kelong Makassar Kelong Makassar yang dimuat dalam penelitian ini merupakan Kelong yang berisi nasihat-nasihat agama. Berdasarkan informasi yang beredar, konon kelong-kelong tersebut adalah ajaran-ajaran tarikat yang banyak berkembang di kalangan masyarakat yang kemudian diajarkan melalui kelong. Sebagian besar isinya adalah saduran dari kitab suci Alquran. Berdasarkan temuan, penulis mengeksplorasi interpretasi nilai religi yang terdapat dalam kelong-kelong tersebut. 3.2.1 Ketauhidan Terkait dengan konsep ketauhidan, Islam menganut sistem ketauhidan seperti yang tercantum dalam Surah Al-Ikhlas ayat pertama yang menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa. Satu atau Esa adalah angka primordial yang menjadi milik-Nya, keberdaan yang tidak memiliki lawan. Tuhan yang tak ada duanya, Dia adalah Sang Tunggal dengan segala kemahaannya. Tak satupun yang dapat menyerupainya, seperti titahnya yang mengatakan bahwa tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya. Kepada-Nya segala pinta dimohonkan dan semua doa dipanjatkan, hanya pada-Nya. Konsep ketauhidan ini mencakup semua hal. Dalam Islam, ketauhidan ini terkait dengan hal rububiyah, uluhiyah, dan tauhid asma dan sifat.

Meski tak tampak secara inderawi, keberadaan Tuhan dapat terdeteksi melalui segala ciptaan-Nya. Bukan hanya manusia biasa yang pernah sangat ingin menemui-Nya secara langsung, Nabi Musa pun dalam sejarah diceritakan kalau beliau ingin bertemu Tuhan agar ummatnya yakin bahwa Tuhan benar-benar ada. Namun, alam pun tak kuasa melihatnya langsung, terbukti dengan meletusnya gunung ketika Tuhan akan menampakkan diri. Tuhan hanya memberikan tanda-tanda untuk dapat mengenalnya.

Keberadaannya bagaikan jejak kaki yang tertinggal di gurun pasir, terdapat bukti bahwa pernah ada seseorang di sana namun tak diketahui siapa. Jejak terdekat yang memudahkan seseorang mengenal Tuhan adalah dirinya. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa membuat ciptaan sesempurna dirinya, segalanya tertata sesuai tempatnya, setiap organ melaksanakan tugas tanpa membantu organ lain dan hal tersebut terjadinya dalam hitungan matematis yang sangat detail. Hal tersebut pun Tuhan tegaskan dengan pernyataan bahwa Aku lebih dekat dari nadimu. Tuhan ada dalam setiap nurani baik yang terasah ketajamannya oleh kebaikan dan kekayaan spiritual maupun yang tidak. Tuhan juga tak pernah benar-benar meninggalkan hamba-Nya, meski hamba-Nya menjauh dari-Nya. Hanya kadang-kadang manusia tak dapat membaca tanda-tanda yang ditinggalkannya. Mereka terlalu membiarkan dirinya larut dalam kubangan kejahatan. Padahal, Tuhan sudah sangat adil dengan memberikan pilihan kepada manusia, apakah akan mendominankan sifat fujur atau takwanya. 31

Selanjutnya, kendatipun memiliki banyak nama, Tuhan sebenarnya hanyalah satu. Dia adalah satu dalam wujud makhluknya. Wujud makhluk adalah ain ujud Sang Khalik. Khalik dan makhluk memiliki satu wujud namun terlihat dua karena manusia tidak memandangnya dari wajah yang Satu. Mereka memandang kepada keduanya dengan pandangan bahwa wajah yang pertama adalah Haq dan wajah kedua ialah Khalik. Sifat-sifat Tuhan ada dalam setiap diri manusia. Karena ingin bertemu Sang Khalik pun AlHallaj rela bunuh diri agar segala Akunya bisa melebur bersama milik Sang Khalik. 3.2.2 Amanah Dapat dipercaya adalah salah satu sifat yang disandarkan oleh Allah swt. pada Nabi Muhammad saw. Hal ini menjadi sangat penting agar kelak semua ajaran yang disampaikannya dapat diterima sehingga sejarah kehidupannya dihindarkan Tuhan dari hal-hal yang membuat orang sangsi atas dirinya. Dalam kehidupan realitas sekitar pun kepercayaan adalah hal yang sangat penting dipertaruhkan. Sekali saja seseorang khianat atau bersikap tidak jujur maka seumur hidup orang lain akan susah. Kebohongan adalah induk dari segala dosa karena itu segala amanah yang dipercayakan harus dilaksanakan sebaik mungkin. Ibarat bola salju yang terus

menggelinding, kebohongan yang kecil bisa semakin besar jika tak dihentikan. Bahkan, kebohongan bisa memicu kejahatan-kejahatan lain.

3.2.3 Taubat Dalam sebuah hadis diriwayatkan pelihara lima perkara sebelum datang lima perkara, salah satunya adalah masa muda sebelum datang masa tua. Ketika muda, sebagian orang mengatakan bahwa yang tua dululah yang menjadi penghuni mesjid, yang tua dululah yang bersikap bijak, dan yang tua dululah melakukan kebaikan karena tanda-tanda ajal menjemput telah terukir di wajah mereka, tapi tidakkah cukup bukti betapa banyak orang yang sehat malah lebih dulu dijemput malaikat maut, dan betapa banyak orang yang terbaring di rumah sakit tanpa ada kepastian apakah mereka bisa sembuh atau tidak malah diberi umur panjang. Usia tidak menjadi ukuran lama dan singkatnya hidup seseorang karena itu segerakanlah diri bertaubat dengan sebenar-benar taubat selama masih ada kesempatan. Tuhan memberikan banyak peluang untuk menyingkap banyak hal rahasia di dunia ini kecuali ruh, hanya sebagian kecil yang tersurat untuk manusia. Tuhan pun telah berjanji akan mengampuni semua dosa kecuali dosa menyekutukannya kecuali yang Dia kehendaki. Alangkah tidak bersyukurnya kita, diberi tubuh yang sehat dan masa muda yang penuh gairah kemudian kita mewarnainya dengan hal-hal yang tidak membuatnya ridha pada kita. Tak akan berguna segala penyesalan jika tubuh telah dijangkiti segala macam penyakit yang membuatnya lemah tak berdaya dan aktivitas-aktivitas duniawi yang memaksa kita untuk meluangkan banyak waktu baginya.

33

3.2.4 Guru Sebuah pepatah mengatakan bahwa siapapun yang mengajarkanku ilmu maka aku telah menjadi hamba baginya. Pepatah tersebut

mengimplikasi makna bahwa ilmu adalah hal yang sangat berharga. Oleh karena itu, siapapun yang telah membagi ilmunya adalah seorang raja. Allah swt. pun menjamin bahwa seseorang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya baik di sisi Allah swt. apalagi manusia. Segala hal yang diajarkan selama itu tidak menyimpang dari norma agama adalah titah. Sayangnya, hal ini menjadi barang langka di sekitar kita. Telah terjadi pergeseran nilai, guru yang dahulunya banyak mencetak orang-orang berilmu yang hebat kini tak lagi bangga dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Kehidupan memaksa sebagian dari mereka untuk bekerja berorientasi materi sehingga proses penyampaian pengetahuan menjadi tak maksimal. Hal-hal tersebut memicu terbinanya anak didik yang hanya sekadar dilimpahi ilmu duniawi yang kemudian banyak disalahgunakan karena tak dilandasi agama. Kehidupan mulai kehilangan nahkoda karena sang pengikut tak tahu akan meniru siapa. Padahal, dipundak merekalah tersemai tanggung jawab sebagai wali Allah swt. setelah ketiadaan Rasulullah sebagai teladan. 3.2.5 Bersuci Dalam kitab Fiqhi, bersuci atau taharah dibahas pada bab-bab awal mengingat betapa pentingnya bersuci sebelum segala ritual penyembahan

kepada Sang Khalik dilakukan. Mandi junub dan istinja adalah dua cara bersuci dari hadas besar. Yang menjadi pertanyaan menarik kemudian, kenapa dua hal tersebut menjadi demikian penting sehingga harus disebut dalam Kelong. Mandi junub dilakukan terkait dengan sesuatu yang ada hubungannya dengan syahwat, sunnatullah (seperti haid), mengislamkan wanita atau lakilaki kafir, dan memandikan jenazah. Mandi junub menjadi sangat penting karena menjadi tolak ukur awal diterima tidaknya ibadah yang dilakukan, demikian halnya dengan istinja. Ditinjau dari segi medis pun kedua hal ini sangat penting. Dalam beberapa doa bersuci yang berkembang di masyarakat Makassar pun mandi junub dan istinja yang banyak disebut seperti berikut. Bismillahirrahmanirrahim, allakna buttaya kutai, rasanna tonji anrokoki, moncongna judik napakdongkoki. Dontenna maeko ri buttaya, cairikna maeko ri jekneka, rasanna maeko ri anginga, rakkakna maeko ri pepekka, kucuci minne tuju timungang kucuci, tuju sahadak ku sahadakkang, tuju satinja kusantinjang, tujuh timungang kucuci tangkasa takkonci ngaseng. Kukapumako anne kammatong takkapukna punna narapikmo wattunna. Terjemahan: Bismillahirrahmanirrahim, celah tanah yang kubuangi feses, baunya sendiri yang membungkusnya, bukit segala hal yang buruk yang dia tempati. Wujud padatnya ke tanah, wujud cairnya ke air, baunya ke angin, kesatnya ke api, saya mencuci tujuh pintu, tujuh syahadat kubaca, tujuh istinja kuistinjakan, tujuh pintu kucuci bersih tertutup semua. Kurapatkan lubang dubur seperti tertutup rapatnya jika waktunya tiba. Demikian halnya dengan mandi junub, seperti doa berikut.

35

Bismillahirrahmanirrahim jeknek junnukna Makka kujeknek, jeknek satinja kupiraknyuk, jeknek tassukrung naik ri langik tujua lonjokna singarakna ri rupangku nur Allah nur Muhammad mallakbang kupasapu ri kalengku Terjemahan: Bismillahirrahmanirrahim air junub Mekkah yang kumandi, air istinja yang kupakai membasuh wajah, air yang alirannya sampai ke langit ke tujuh, sinar di wajahku nur Allah nur Muhammad tersapu rata ke seluruh tubuhku

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan bahwa: Semua Kelong yang dianalisis hanya terdiri atas empat larik dengan rima yang tak beraturan. Beberapa pemilihan kata yang digunakan nampaknya agak hati-hati mengingat Kelong ini memuat tentang pesan-pesan yang terkait dengan keagamaan yang ditakutkan akan menimbulkan interpretasi yang salah Nilai-nilai religi yang termuat dalam penelitian ini adalah tentang

ketauhidan,

taubat,

amanah,

guru,

dan

bersuci

yang

dilatarbelakangi oleh ajaran Islam. Saran Penulis merasa penting mengemukakan beberapa saran terkait dengan penelitian-penelitian bahasa dan sastra daerah, yaitu: karya sastra daerah merupakan aset daerah yang tak ternilai harganya, analisis tentangnya perlu dilakukan demi pemertahanan dan dokumentasi sejarah daerah terkait; karya sastra daerah belum bisa disejajarkan dengan karya sastra moderen masa kini karena itu harus dengan pertimbangan yang tepat dan teliti untuk menentukan teori dan metode yang tepat untuk menganalisisnya. Selain karena mereka merupakan citra karya sastra masa lalu, juga karena mereka kebanyakan disampaikan secara turun temurun melalui lisan yang mungkin akan memiliki versi yang berbeda dari tiap orang yang

menceritakannya; asumsi bahwa karya sastra daerah mengimplikasi banyak aspek sastra yang dapat dianalisis, maka penelitian mengenai ini perlu terus dilanjutkan untuk membongkar dan menganalisis tuntas aspek yang dikandung dalam karya sastra terkait.

37

DAFTAR PUSTAKA Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Basang, Djirong. 1986. Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: CV. Alam. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djamaris, edwar, dkk. 1994. Sastra Daerah di Sumatera: Tema, Amanat, dan Nilai-Nilai Budaya. Jakarta: Balai Pustaka. Eagleton, T. 1983. Literary Theory: An Introduction. London: Basil Blackwell. Herianah. 2007. Kajian Stilistika dalam Lirik Lagu-Lagu Bugis Populer. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Pps UNM Kurniawan, Heru. 2009. Mistisisme Cahaya, Cet. 1, Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Moeliono, dkk. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Nasruddin. 2000. Nilai Religi dalam Kelong Makassar. SG No.12: pp.34-49.

Njambon. 2009. Kajian Hermeneutika Paul Ricouer dalam Kumpulan Sajak Rumah Cahaya Karya Abdul Wachid B.S. Daring: http://id.kemudian.com/node/54497 akses 27 Januari 2010 Soleh, A. Khudori. 2009. Hermeneutika dan Metode Tafsir. Daring (http://www.scribd.com/doc/3933891/Herneutika-dan-Tafsir) akses 5 januari 2009 . Sudjiman, panuti. 1995. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1983. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

39

You might also like