You are on page 1of 19

1

PROBLEMATIKA PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA Oleh: Tri Wahyu Hidayati, M.Ag.

Abstract This article discusses problems of organizing waqf in Indonesia. The writer shows that there are many problems in organizing waqf, such as the lack of understanding to waqf decree and the domination of traditional fiqh understanding. This kind of problem affects Indonesian muslim to tend to defend the eternity of phisical existence of waqf asset than its benefit. Beside of that, many nzhirs are individuals that make the progress of waqf depends on the personality of the person. Whenever the person is profesional, the waqf will be in progress. But whenever the nzhir is weak in management, the waqf in his hand will be weak. Otherwise, most of nzhirs in Indonesia are not fulltimer workers. Therefore, most of them are not in focus on his job as a nzhir. In another word, they are not profesionals. Another problem is the lack of control to nzhirs from the society. Therefore, some nzhirs organize assets in disorder way. To solve these problems, the writer proposes three ways. Firstly, socializing waqf decree (number 41/2004) comprehensively in order the people have better understanding to it. Secondly, preparing profesional nzhirs through management trainings. Thirdly, BWI and ministry of religious affairs should cooperate in synergy in developing and controlling nzhirs. Keywords: Waqf produktif, nzhir, profesionalitas. A. Pendahuluan

Wakaf merupakan doktrin yang amat penting guna membangkitkan peradaban Islam. Pada masa kejayaan Islam, wakaf telah memainkan peran penting dalam kemajuan masyarakat muslim. Pada masa lalu, pusat-pusat peradaban, kebudayaan, dan keilmuan banyak yang disokong oleh aset-aset wakaf. Pendanaan riset dan fasilitas beasiswa juga dibiayai dari perberdayaan wakaf. Universitas al-Azhar Kairo, misalnya, sejak berdiri pada abad ke-10M hingga sekarang masih memanfaatkan aset wakafnya untuk biaya operasional. Tanah-tanah wakafnya yang strategis dipergunakan untuk toko dan hotel guna membiayai program universitas. Mundurnya peradaban Islam ternyata juga berpengaruh pada kemunduran dunia perwakafan. Kini kekayaan wakaf tidak lagi menjadi

penopang kemandirian umat Islam. Banyak institusi keislaman yang tidak mandiri karena memang pendanaannya bergantung pada pihak lain seperti pada pemerintah dan yayasan, dalam maupun luar negeri. Keadaan yang demikian bukanlah buruk, namun alangkah lebih baiknya bila institusi keislaman mengembangkan aset wakafnya guna mewujudkan

kemandiriannya. Ia bisa menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan titipan yang kadang hanya sempit dan sementara, untuk lebih berkhidmat pada kepentingan yang lebih besar dan abadi. Dunia perwakafan di Indonesia cukup membanggakan secara kuantitas namun belum secara kualitas. Di Indonesia masih banyak aset wakaf yang belum dikelola dengan baik. Bahkan, beberapa nazhir yang sempat penulis temui, menyatakan bahwa mengelola wakaf itu lebih banyak dianggap beban dari pada kebanggaan. Hal ini terjadi karena cerita wakaf di Indonesia lebih didominasi oleh kesedihan, kerumitan, dan kegagalan. Cerita sukses dalam dunia perwakafan di Indonesia amatlah sedikit. Bila dunia perwakafan Indonesia dikelola maksimal, tidak mustahil ia akan mampu menjadi partner negara guna membangun kemandirian bangsa. Hal ini cukup beralasan. Jumlah aset wakaf di zamrud khatulistiwa ini amat besar. Menurut data yang masuk ke Kementrian Agama, jumlah tanah wakaf Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.672.406 M. Dari

jumlah itu 75% bersertifikat wakaf, dan 10% berpotensi ekonomi tinggi. Dari data tersebut apabila tanah yang strategis dikelola dengan profesional, maka akan memberi kontribusi yang sangat signifikan bagi penanggulangan kemiskinan. Namun, hal ini belum diwujudkan oleh muslim Indonesia. Beberapa regulasi yang mengatur wakaf di Indonesia memang telah ada. Apalagi dengan hadirnya UU no.41 tahun 2004 tentang perwakafan merupakan perangkat hukum yang cukup kuat untuk dijadikan pijakan dalam upaya memaksimalkan pengelolaan wakaf secara produktif dan profesional, sehingga dapat memberikan implikasi positif dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, pada kenyataannya, kemiskinan

di Indonesia makin menggurita. Sehingga umat Islam harus menilik ulang, begitu banyak ajaran Islam yang menganjurkan untuk peduli pada kaum miskin, seperti zakat, infak, shadaqah, wakaf. Melalui ajaran kedermawanan tersebut, seharusnya persoalan kemiskinan bisa diurai sedikit demi sedikit. Oleh karena itu, saatnya ajaran tentang wakaf diwujudkan dengan baik demi meningkatkan sebanyak-banyaknya kesejahteraan umat. Telah banyak regulasi tentang wakaf, namun pengelolaan wakaf di Indonesia belum maksimal. Tulisan ini, hendak menelusuri problem pengelolaan wakaf di Indonesia dan menawarkan solusi yang perlu diambil oleh para pemerhati wakaf di tanah air.

B. Konsep Wakaf dalam Fiqh

Al-waqf, menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Arab waqafa yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu (Munawir, t.t.: 1648). Istilah waqf dalam ilmu tajwid berarti

menghentikan bacaan. Waqf yang berarti berdiam di tempat, digunakan dalam istilah wuquf, yaitu berdiam di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Sedangkan waqf dalam arti menahan, digunakan berkaitan dengan harta kekayaan, dan itulah yang dimaksud dengan istilah wakaf dalam uraian ini. Waqf dalam berbagai literatur bersamaan artinya dengan habs. Waqf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya, dengan tetapnya benda untuk disalurkan dalam kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (al-Zuhailiy, 1997: 7599 -7601). Istilah waqf tidak disebut secara jelas dalam al-Quran seperi zakat. Beberapa ayat yang dipandang para ahli sebagai landasan hukum wakaf adalah QS/22:77, 2:267, 3:92. Sementara dalam hadits diriwayatkan bahwa: "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga;

shadaqah

jariah,

ilmu

yang

dimanfaatkan,

dan

anak

shalih

yang

mendoakannya (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Hadits lain yang berkaitan dengan wakaf adalah hadits tentang Umar berikut: "Ibn Umar meriwayatkan Umar b. Khatthab mendapat sebidang tanah di Khaibar. Kemudian ia mendatangi Rasulullah. Umar berkata: Saya mendapatkan tanah yang sangat berharga, belum pernah saya dapatkan yang lebih berharga dari pada itu. Bagaimana saran baginda? Rasul bersabda: Jika kamu suka tahanlah pokoknya bersedekahlah dengannya. Maka pokoknya ditahan tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkannya kepada fakir miskin, kerabat, hamba sahaya, f sablillh, tamu, dan musafir" (HR Muslim dari Ibnu Umar). Menurut hadits ini Umar bin Khattab mempunyai tanah di Khaibar, suatu daerah pertanian di Madinah. Beliau bertanya kepada Nabi, apakah sebaiknya dia melepaskan tanah itu sebagai sedekah, kemudian dijawab oleh Nabi: "Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya". Maka Umar menuruti sabda nabi tersebut, Ditahannya tanah tersebut dalam arti tidak dijual, tidak diwariskan, dan tidak pula dihibahkan. Dan hasil tanah itu diperuntukkan bagi fakir miskin, keluarga yang memerlukannya, orang yang dalam perjalanan, para tamu, para penuntut ilmu, dan sebagainya. Adapun bagi orang yang mengelolanya dapat mengambil bagian sebatas keperluan hidupnya. Hadits inilah yang kemudian menjadi dasar hukum perwakafan. Dalam literatur fiqh, wakaf dibicarakan dalam rangkaian pembicaraan mengenai hak-hak kebendaan lain seperi wasiyat dan kewarisan. Di sana akan kita jumpai pembicaraan panjang lebar mengenai wakaf, termasuk syarat dan rukunnya. Adapun rukun wakaf ada empat, yaitu: wqif (orang yang mewakafkan), mauqf (harta yang diwakafkan), mauqf alaih (tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf), shighat atau ikrr wakaf (al-Zuhailiy, 1997: 7606). Adapun syarat wakaf adalah: wakaf harus selamanya, tujuannya harus jelas, harus segera dilaksanakan setelah diikrarkan. Selanjutnya bahwa wakaf

itu tidak dapat ditarik kembali, dan kepemilikannya telah berganti menjadi milik Allah, tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan (Sabiq: 381).

C. Konsep Wakaf Dalam Perundang-undangan di Indonesia

Wakaf telah dikenal luas di Indonesia sejak dulu. Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, sehingga banyak peraturan yang ada untuk mengaturnya, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Bijblaad 1905: 6195, memerintahkan kepada bupati untuk membuat daftar rumah ibadah umat Islam dalam wilayahnya. Bijblaad 1931: 125/3 menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mewakafkan hartanya harus seizin bupati (Ali, 1988: 78). Setelah Indonesia merdeka, pembenahan terus dilakukan terhadap hukum perwakafan di Indonesia. Tahun 1953, Departemen Agama membuat petunjuk mengenai pelaksanaan wakaf yang disempurnakan pada tahun 1956 tentang prosedur perwakafan. Perwakafan makin mendapat tempat dalam peraturan perundangan dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria no.5 tahun 1960. Pasal 49 UU ini menyatakan bahwa perwakafan tanah milik diatur oleh Peraturan Pemerintah Tujuh belas tahun berikutnya, PP yang dimaksud baru terwujud, yaitu PP no.28 tahun 1977. PP ini kemudian diikuti dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri dan beberapa instruksi Gubernur. Wakaf telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Islam, dan menjadi penunjang utama perkembangan kehidupan masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada kenyataan bahwa hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam dibangun di atas tanah wakaf. Dan satu kemajuan yang sangat signifikan bagi umat Islam, ketika dikeluarkannya Undang-Undang Perwakafan yaitu UU no.41 tahun 2004. Undang-Undang ini telah enam tahun diundangkan, namun masih banyak kendala dalam melaksanakannya. Di antaranya lambannya sosialisasi dan belum siapnya perangkat-perangkat pelaksana. Dalam UU ini terdapat

beberapa hal baru yang merupakan pembaharuan dari fiqh wakaf yang kita kenal selama ini. Hal baru itu antara lain: pengertian wakaf, harta yang boleh diwakafkan, pengelolaan dan pemberdayaan wakaf. Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Ada hal yang harus dicermati dari pengertian wakaf dalam UU ini, yaitu adanya kesempatan bagi kita untuk mewakafkan

sebagian harta kita dalam jangka tertentu. Hal ini berbeda dengan wakaf dalam fiqh klasik, khususnya madzhab Syafii dan Hanbali yang mengharuskan wakaf harus selamanya bukan dalam jangka tertentu. Hal ini direduksi dalam PP no.28 tahun 1977, yang menyebut bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Pengertian wakaf harus selamanya ini juga diikuti oleh Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 215. Pergeseran pemahaman juga terjadi terhadap harta benda yang boleh diwakafkan. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 16 UU no.41 tahun 2004. Harta tersebut dipersyaratkan tahan lama dan atau bermanfaat jangka panjang serta bernilai ekonomi menurut syariah, dapat berupa harta tidak bergerak (seperti tanah, bangunan, tanaman) dan harta bergerak (seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dll.).Sementara itu cakupan benda wakaf yang banyak dikenal masyarakat hanya pada benda tidak bergerak, bahkan PP no.28 tahun 1977 hanya untuk tanah saja. Padahal wakaf benda bergerak juga sudah ada pada masa Nabi. Hal ini bisa dilihat dari sabda Nabi yang artinya: Orang yang menahan (mewakafkan) kuda di jalan Allah, karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka makanannya, kotorannya, dan kencingnya merupakan kebaikan-kebaikan dalam pandangan

Allah (HR al-Bukhari dalam CD Sakhr software, 1997). Bahkan lebih jauh lagi dalam literatur fiqh klasik, wakaf uang dianggap tidak sah. Mengenai wakaf uang, dalam pasal 28 UU ini disebutkan bahwa wakaf uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri. Selanjutnya dalam pasal 29 disebutkan bahwa wakaf uang dilakukan secara tertulis kemudian akan diterbitkan sertifikat wakaf uang yang diserahkan kepada wakif dan nazhir. Hal ini dilakukan dalam rangka mempermudah wakaf uang. Dalam hal pengelolaan wakaf banyak hal yang harus disyukuri, karena bergerak menuju optimalisasi peran wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dalam UU no. 41 tahun 2004 diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dalam pasal 48 dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan / atau kabupaten / kota sesuai dengan kebutuhan. Pada tahun 2007, badan ini telah terbentuk berdasarkan SK

Menteri Agama tanggal 20 September 2007, meskipun baru di tingkat pusat. Badan ini diketuai oleh Prof. Dr. KH Tholhah Hasan (BWI, 2008). Sesuai dengan pasal 49 ayat 1 UU no. 41 tahun 2004, diantara tugas badan ini adalah Membina nzhir dalam mengelola dan mengembangkan wakaf. Dalam rangka mengamankan harta wakaf, UU ini mengamanahkan untuk mendaftarkan pada instansi berwenang untuk dicatat dan mengikuti proses administrasi lain yang diatur. Dalam pasal 32 disebutkan bahwa setiap harta wakaf harus didaftarkan pada instansi yang berwenang, maksimal tujuh hari setelah ikrar wakaf ditandatangani. Sementara untuk wakaf uang, didaftarkan setelah terbitnya sertifikat wakaf uang (pasal 30). Dan bagi harta wakaf yang telah dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya UU ini, seperti PP 28 tahun 1977, Inpres no. 1 tahun 1991 dan lainnya dianggap sah dan harus didaftarkan juga paling lambat lima tahun setelah

diundangkannya UU no 24 tahun 2004. Setelah dicatat dan diadministrasikan kemudian diumumkan oleh menteri dan BWI (pasal 37 dan 38).

D. Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif

Wakaf adalah lembaga ekonomi khas Islam yang seharusnya dapat mensejahterakan umat. Sangatlah pas ketika UU ini menganjurkan untuk memberdayakan wakaf secara maksimal secara produktif sesuai dengan Syariah. Dengan demikian pengelolaan wakaf tidak hanya untuk peribadatan saja seperti masjid, tapi juga kegitan yang bernilai ekonomi tinggi. UU no. 41 tahun 2004 menjadi petanda bagi era baru pengelolaan wakaf produktif di Indonesia. Pengelolaan wakaf secara produktif menjadi ruh undang-undang itu.. Paradigma pengelolaan wakaf secara produktif inilah yang juga menjiwai PP no 42/2006 dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang berdiri 13 Juli 2007. Menurut Mundzir Qahaf, yang dikutip oleh Muhyar Fanani (2010: 2829), dari segi penggunaannya, wakaf dibagi menjadi dua macam, yakni: a). Wakaf langsung yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk mencapai tujuannya, seperti masjid untuk shalat, sekolah untuk kegiatan belajar mengajar. Wakaf ini disebut juga dengan wakaf konsumtif karena pokok barangnya dipergunakan secara langsung dan tidak dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu (produktif). b). Wakaf tidak langsung, yakni wakaf yang pokok barangnya tidak secara langsung digunakan untuk mencapai tujuannya, tapi dikembangkan terlebih dahulu hingga menghasilkan sesuatu (produktif), kemudian hasilnya baru dipergunakan untuk tujuan wakaf. Wakaf jenis kedua ini disebut dengan wakaf produktif karena pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi terlebih dahulu dan hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf. Contoh dari wakaf produktif adalah wakaf tanah pertanian yang dikelola secara produktif dan hasilnya untuk membiayai kegiatan pendidikan di Pondok Modern Gontor (Fanani, 2008:12).

Dari pembagian wakaf di atas maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan wakaf produktif adalah wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan keuntungannya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf (Fanani, 2010:29). Departemen agama telah melakukan beberapa langkah penting dalam rangka pemberdayaan wakaf, antara lain: mengadakan proyek percontohan pemberdayaan wakaf produktif di Kuningan, Medan, dan Bali (2005), serta disusul dengan berbagai program bantuan antara lain pembentukan Badan Wakaf UIN Malang (2006) (Darori, 2006: 4). Selain proyek percontohan di atas, pengembangan wakaf produktif di Indonesia juga bisa dilihat dengan adanya lembaga-lembaga seperti Tabung Wakaf dari Dompet Dhu'afa Republika, Baitul Mal Muamalat dari Bank Muamalat, Bisnis Centre al- Badar di Medan, Toserba Panama di Kuningan, dan bisnis Center Muslimin di pekalongan. Selain itu, DEPAG juga memberi contoh beberapa model

pengembangan wakaf produktif, berupa pembangunan gedung misalnya rumah toko (RUKO), Gedung Wakaf dan Bisnis Centre, Gedung Rumah Sakit Islam, Rumah Kost Muslim, Mini Market, dan SPBU (Depag,2008:35-60). Dengan pesatnya kegiatan ekonomi masyarakat, tanah wakaf juga bisa dikembangkan dengan lebih fleksibel, misalnya untuk Bisnis Center. Dengan perhitungan yang memadai, sebidang tanah wakaf bisa dijadikan pusat kegiatan bisnis. Dengan demikian bangunan itu dapat digunakan berbagai bidang usaha strategis, seperti rumah makan, warnet, dan biro perjalanan. Model pengembangan wakaf juga dilakuakan dalam bidang

pengembangan fasilitas kesehatan. Hal ini dapat dilihat pada pembangunan Gedung rawat inap VIP di Rumah Sakit Islam Malang. Pembangunan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dengan makin banyaknya kunjungan dan pelayanan kesehatan untuk golongan menengah ke atas. Pemberdayaan wakaf secara produktif bukan berarti merubah seluruh peruntukan tanah wakaf yang ada untuk dapat bernilai ekonomis. Semuanya harus berdasar analisis yang matang terhadap asset wakaf yang ada. Jika harta

10

wakaf di suatu tempat masih berfungsi dan diperlukan keberadaannya, maka ia tidak perlu dialihfungsikan untuk bangunan lain yang mendatangkan keuntungan ekonomis. Dalam hal untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan pengembangannya, nzhir boleh melakukan terobosan pengelolaan tanpa merubah fungsi awalnya, misalnya, sekolah atau masjid.

E. Problem pengelolaan wakaf di Indonesia

Hasil penelitian wakaf UIN Syahid Jakarta menunjukkan bahwa dari 500 responden nzhir di 11 Propinsi terlihat bahwa wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) daripada organisasi (16%) dan badan hukum (18%). Selain itu, harta wakaf juga lebih banyak yang tidak menghasilkan (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Selain itu, diketahui bahwa jumlah nazhir yang bekerja secara penuh sangat minim (16 %). Umumnya mereka bekerja sambilan dan tidak diberi upah (92%) (Fanani, 2010: 242). Hasil penelitian UIN Jakarta tersebut sejalan dengan hasil penelitian penulis bersama tim LKBHI STAIN Salatiga terhadap kondisi perwakafan pada sebuah kota di Jawa Tengah, yaitu Salatiga. Jumlah tanah wakaf secara keseluruhan di Salatiga mencapai sekitar 402 lokasi dengan luas 132.382 M2. Dari jumlah itu yang dipergunakan untuk masjid dan mushalla sebesar 324 lokasi (lebih dari 75 %). Sementara untuk madrasah 42 lokasi, dan sisanya untuk makam dan lainnya (Khumaini dkk., 2009: 75). Pada tahun 2003, menurut data Depag yang diperkuat oleh data CSRC (Centre for the Study of Religion and Research), aset wakaf di seluruh Indonesia mencapai 362.471 lokasi dengan total nilai sekitar 590 trilyun. Pada tahun 2006, jumlah aset wakaf itu bertambah 41.374 lokasi. Dengan demikian, jumlah tanah wakaf di Indonesia tiga tahun kemudian menjadi 403.845 lokasi

11

dengan luas 1.566.672.406 M2. Dari jumlah itu 75% bersertifikat wakaf, dan 10% berpotensi ekonomi tinggi. Pada tahun 2008, jumlahnya bertambah menjadi 430,766 lokasi dengan luas mencapai 1,615,791,832.27 M2 (Fanani, 2010:27). Berdasarkan data-data tersebut penulis mencatat beberapa problem penting dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, di antaranya: 1. Dominasi Pemahaman Fikih Tradisional Meskipun UU tentang wakaf telah diundangkan enam tahun yang lalu, namun pemahaman masyarakat tentang wakaf masih banyak didominasi pemahaman yang kaku terhadap fikih tradisional. Akibat dari pemahaman tradisonal ini, muncul beberapa fenomena, di antaranya: (Khummaini, dkk: 69-80) a) Ada tanah wakaf yang belum disertifikatkan b) Peruntukan tanah wakaf banyak yang cenderung untuk tempat ibadah, seperti masjid, mushalla. Padahal pasal 5 UU no. 41/2004 menyatakan, "Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Pasal ini kemudian diperjelas dengan pasal 22 yang menyatakan: "Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya diperuntukkan bagi: a). Sarana dan kegiatan ibadah, b). Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, c). Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, d). Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat dan atau e). Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan." c) Banyaknya aset wakaf yang berupa benda tidak bergerak yaitu tanah, ini disebabkan belum meluasnya pemahaman tentang macam-macam harta yang boleh diwakafkan. d) Kurangnya kesadaran umat Islam untuk melakukan wakaf, karena menurut pemahaman sebagian mereka wakaf harus selamanya, padahal UU wakaf Indonesia membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu

12

2. Banyaknya Nzhir Perseorangan Nzhir perorangan berupa Kyai atau ulama. Penunjukan

perorangan sebagai nzhir didorong oleh rasa percaya dari wakif untuk menyerahkan harta bendanya sebagai benda wakaf kepada kyai/ulama. Nzhir perorangan seringkali menyulitkan koordinasi dan pembinaannya bahkan kontrol mengenai peruntukan tanah wakaf yang ditanganinya. Dari dalam diri nzhir (yang kebanyakan sudah tua) terdapat kelemahan di bidang manajemen, sehingga belum memanfaatkan tanah secara maksimal. Hal ini terlihat dari peruntukan tanah wakaf hanya sebatas tempat beribadah, seperti masjid, mushola, tempat pendidikan seperti madrasah, TPA dan tempat peristirahatan terakhir (kuburan). Tanah wakaf tersebut belum mampu diolah nazhir menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat secara langsung kepada masyarakat sekitar. Masih banyaknya nzhir perseorangan membuat perkembangan wakaf amat tergantung pada perseorangan. Mekanisme pelaporan juga belum dijalankan secara baik akibat dari budaya kerja yang saling percaya namun mengabaikan administrasi yang transparan. Masih banyaknya nzhir perseorangan itu juga masih diperparah dengan kurangnya kesadaran untuk peningktan manajemen perwakafan. 3. Profesionalitas Nzhir Wakaf di Indonesia masih sangat sedikit yang produktif. Kunci kelemahannya terletak pada nzhir dan tim manajemennya yang tidak terorganisasi dengan baik. Para pengelola wakaf (nzhir) sebaiknya merubah manajemen pengelolaannya menjadi lebih produktif. Misalnya, bagi tanah wakaf yang berpotensi ekonomi tinggi dicarikan investor untuk memproduktifkannya. Salah satu sumber dana investasi yang dapat dioptimalkan adalah dana cash waqf (wakaf uang). Profesionalitas nzhir merupakan hal yang sangat penting bagi wakaf produktif. Saat ini, sebagian besar nzhir merupakan perorangan bukan badan hukum. Ini merupakan kendala yang serius bagi pengembangan wakaf produktif. Untuk itu Departemen Agama perlu

13

mengadakan pelatihan nzhir secara maksimal. Pendidikan dan pelatihan nadzir ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi untuk terus dilakukan dalam rangka menyediakan nzhir yang profesional (Darori, 2006). Hal ini penting, karena untuk memberdayakan wakaf secara produktif bagi kesejahteraan sosial, maka yang sangat memegang peran penting dan strategis adalah nzhir. Walaupun dalam fikih klasik, nazhir tidak begitu penting dan tidak menjadi rukun wakaf, namun dalam wakaf produktif, peran nzhir sangatlah sentral. Nzhir haruslah orang atau lembaga yang benar-benar berkualitas dan mempunyai kualifikasi khusus. Nzhir memang memiliki posisi penting dalam perwakafan bahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 menjadikannya sebagai unsur (rukun) wakaf. Ini tentu lebih maju dari pemikiran fiqh lama. Namun tentu saja yang dimaksud di sini adalah nzhir yang profesional. Nzhir yang tidak profesional hanya akan menambah beban bagi dunia wakaf, apalagi bagi wakaf produktif. Untuk itu Kementrian Agama perlu mengadakan pelatihan nzhir secara maksimal (Darori, 2006). Guna meningkatkan produktivitas wakaf, maka ke depan nzhir yang terpilih haruslah nzhir yang berkualitas. Secara sepintas, syarat yang ditetapkan oleh UU wakaf itu sangat bagus, namun masih perlu dirinci lagi, terutama terkait dengan kemampuan manajerial dan kemampuan untuk berwirausaha. Beberapa pakar telah menekankan pentingnya kemampuan di bidang menejemen dan enterpreneurship ini. Di antaranya adalah Eri Sudewo (CEO Dompet Dhuafa Republika). Sudewo, sebagaimana dikutip Muhibbin (2006), menyatakan bahwa persyaratan nazhir harus meliputi syarat moral, manajemen, dan bisnis. Syarat moral meliputi: paham tentang hukum wakaf baik secara syariah maupun perundang-undangan, tahan terhadap godaan terutama menyangkut perkembangan usaha, bersungguh-sungguh dan suka tantangan, punya kecerdasan emosional dan spiritual. Syarat manajemen meliputi: mempunyai kemampuan yang baik dalam leadership, visioner, cerdas secara intelektual, sosial, dan pemberdayaan, dan profesional dalam

14

mengelola harta. Adapun syarat bisnis meliputi: mempunyai semangat bisnis, pengalaman bisnis, siap magang, dan jeli dalam melihat peluang usaha. Semua persyaratan itu harus ditambah persyaratan baku yaitu jujur, adil, dan amanah. Persyaratan-persyaratan tersebut memang agak berat, namun bukan suatu hal yang mustahil untuk dipenuhi. Hanya dengan menetapkan syarat yang tinggi itulah pengelolaan wakaf secara baik dan

menguntungkan secara ekonomis akan dapat dicapai guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan umat Islam. Dapat dibayangkan bila aset yang demikian besar dan potensial itu dikelola oleh orang yang tidak cakap, maka nilai strategis aset itu pasti tidak berguna maksimal. 4. Lemahnya pengawasan terhadap nzhir Untuk mendapatkan nzhir yang memenuhi syarat di atas tentu tidak mudah. Namun semua bisa dipersiapkan melalui pengkaderan yang berkesinambungan. Untuk tugas pembinaan kemampuan nzhir ini, BWI adalah lembaga yang ditugasi oleh UU untuk melakukan tugas pembinaan dan pengawasan (pasal 49 ayat 1 UU no. 41/2004). Berdasarkan Undang-undang, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia menuju era wakaf produktif, yaitu wakaf yang dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umum. Sehubungan dengan tugas dan wewenangnya tersebut Badan Wakaf Indonesia merumuskan visi, yaitu terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional. Adapun misinya adalah menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum (BWI, 2007: 10-11). Namun pada kenyataannya, pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja nzhir belum berjalan dengan baik. Bahkan di masyarakat, sering kita jumpai nzhir yang tidak profesional, hal ini masih diperparah lagi

15

oleh rendahnya sikap amanah mereka. Sehingga pengelolaan wakaf tidak berjalan semestinya. BWI yang hanya berada di tingkat pusat, tidak dapat menjangkau sampai seluruh pelosok Indonesia. Kantor Kementrian Agama melalui GARA Zakat Wakaf dan KUA, masih sebatas mengkoordinir dan mendata wakaf dan nzhir-nya saja, belum kepada pembinaan dan pengawasan. Pembinaan yang selama ini dilakukan masih bersifat insidental dan belum dilakukan secara terus-menerus. Berdasarkan UU pula, seharusnya seorang nzhir melaporkan kinerjanya kepada BWI (pasal 11). Amanah UU ini belum bisa dilaksanakan dengan baik. Jadi praktis yang selama ini banyak terjadi mereka tidak melaporkan kinerjanya kepada lembaga yang ditunjuk. Sehingga akuntabilitas pengelolaan wakafnya juga tidak terlacak dengan baik. 5. Banyaknya asset wakaf yang belum dikelola secara produktif Pemberdayaan wakaf secara produktif di Indonesia masih sangat sedikit, padahal banyak tanah wakaf di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi. Ada beberapa contoh pengelolaan harta wakaf yang patut untuk ditiru dan dikembangkan, misalnya Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), Badan wakaf Sultan Agung, badan wakaf Universitas Islam Indonesia (UII), Yayasan wakaf paramadina, Badan Wakaf Universitas Muslimin Indonesia (UMI) di Makasar. Di Jawa Tengah, kita mempunyai aset yang cukup

membanggakan sekaligus menantang untuk dikembangkan, yaitu Bondo Wakaf Masjid Agung Semarang seluas 119 ha. Tanah seluas itu baru dimanfaatkan sebagian, yaitu untuk masjid Agung dan segala prasarana yang menunjangnya. Sebagian lahan untuk SPBU, dan masih banyak lagi tanah yang belum diberdayakan secara optimal, bahkan kemudian ditempati bangunan-bangunan liar. Seandainya di atas tanah seluas itu dibangun rumah susun atau pusat pertokoan kemudian disewakan, berapa keuntungan yang bisa diperoleh untuk masyarakat sekitar. Sekali lagi, ini persoalan manajerial yang perlu mendapat perhatian serius.

16

Setelah melihat UU perwakafan ini, ada secercah harapan bagi kaum muslim Indonesia, apabila wakaf ini ditangani secara sungguhsungguh, bukan hal yang mustahil, kita bisa bertindak nyata dalam mengurangi kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Mengenai pemberdayaan wakaf secara produktif sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru. Kita bisa melihat Mesir dengan alAzhar-nya telah membuktikan betapa wakaf bisa meningkatkan derajat hidup umat Islam dengan bea siswa yang diberikan terhadap para mahasiswanya. Demikian pula di Tunisia, Qatar, dan Bangladesh. Begitu pentingnya hingga ada kementerian khusus wakaf. Sementara di Indonesia Wakaf ditangani Departemen Agama direktorat wakaf yang masih digabung dengan zakat. Dan pada tahun 2007 telah dibentuk badan yang khusus menangani wakaf, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI). 6. Belum tersosialisasikannya wakaf tunai dengan baik Sebagian besar masyarakat apalagi yang tinggal di pedesaan tidak banyak mengenal adanya wakaf uang. Padahal dengan adanya wakaf uang dapat menjadi sarana untuk mengatasi problem banyaknya tanah wakaf yang belum dikelola secara produktif, karena ketiadaan sumber dana. Wakaf uang adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang kemudian dikelola oleh nazhir secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauqf alaih. Dengan demikian, dalam wakaf uang, uang yang diwakafkan tidak boleh diberikan langsung kepada mauqf alaih, tetapi harus diinvestasikan lebih dulu oleh nzhir, kemudian hasil investasinya diberikan kepada mauqf alaih. Di Indonesia, Baitul Mal Muamalat, Tabung Wakaf Indonesia, dan PKPU telah berupaya menjadi nazhir wakaf uang, walaupun masih terdapat keragaman konsep dan aplikasinya. Indonesia, melalui fatwa MUI telah membolehkan wakaf uang, seperti Mesir, karena mempertimbangkan manfaat wakaf uang. Diantara manfaat yang bisa diambil adalah: 1. Seseorang dapat berwakaf tanpa harus kaya..

17

2. Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf berupa tanah-tanah kosong bisa dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau sarana lain yang lebih produktif untuk kepentingan ummat. Wakaf uang dapat menjadi sumber pendanaan pengelolaan wakaf tak bergerak termasuk dalam pengembangan wakaf properti seperti yang terjadi di Bangladesh. 3. Membuka peluang umat Islam untuk lebih mandiri dalam

mengembangkan dunia pendidikan 4. Dana wakaf yang terkumpul dapat dipergunakan untuk

memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini. Sebanyak 99,9 % pengusaha di Indonesia masuk dalam kategori usaha kecil (Fanani, 2010: 81-83) Dari berbagai manfaat itu, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf uang dapat menjadi pintu pembuka bagi perubahan orientasi dari wakaf konsumtif ke produktif. Para pengelola wakaf sebaiknya merubah manajemen pengelolaannya menjadi lebih produktif. Misalnya, bagi tanah wakaf yang berpotensi ekonomi tinggi dicarikan investor untuk memproduktifkannya. Salah satu sumber dana investasi yang dapat dioptimalkan adalah dana wakaf tunai.

F. Penutup Dari berbagai persoalan di atas, penulis mengajukan beberapa alternatif solusi, di antaranya: Pertama, mensosialisakan UU wakaf no. 41/2004 dengan lebih komprehensif, sehingga masyarakat akan mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang perwakafan. Kedua, menyiapkan nzhir yang profesional melalui berbagai pelatihan manajemen pengelolaan wakaf. Ketiga, perlunya jalinan kerjasama yang sinergis antara BWI dan Kementrian agama dalam membina dan mengawasi kinerja nzhir dalam pengelolaan wakaf[]

18

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurn al-Karm Alfiah li Sunnah an-Nabawiyyah, CD Rom, Sakhr Software, 1997. Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf. Jakarta: UIP, 1988. Alabiy, Adijani al-, Perwakafan Tanah di Indonesia: Teori dan Praktek. Jakarta: Rajawali Pres, 1989. Antonio, Syafi'i, "Pengantar Pengelolaan Wakaf Secara Produktif", dalam Achmad Djunaidi dan Thabib al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya Progressif untuk Kesejahteraan Umat. Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006 (vi-viii). BWI, Profil Badan wakaf Indonesia Periode 2007-2010, Jakarta: BWI, 2008. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, Revitalisasi Filantropi Islam. Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2005. Data Jumlah Tanah Wakaf Menurut Penggunaannya, Kota Salatiga, Tahun 2009, tertanggal 7 Oktober 2009. DEPAG RI, Model Pengembangan Wakaf Produktif, Jakarta: DEPAG RI, 2008 Darori, Amirudin, Kebijakan Deparetemen Agama Pasca Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwakafan Masyarakat Kampus, IAIN Walisongo, Rabu, 20 September 2006. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Data Luas dan Lokasi Tanah Wakaf Nasional Sampai Dengan Tahun 2008, Jakarta, 22 April 2008. Djunaidi, Achmad,dkk, Strategi Pengembangan wakaf Tunai di Indonesia. Jakarta: DEPAG RI, 2007. --------, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: DEPAG RI, 2007. ______, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008 Fanani, Muhyar, Kelanggengan Wujud Fisik versus Kelanggengan Manfaat: Kunci Sukses Manajemen Wakaf Produktif PMDG, Jurnal Ijtihad vol. 8, no. 1, Juni 2008 (1-24).

19

--------, Berwakaf Tak Harus Kaya, Semarang: Walisongo Press, 2010. Khummaini, Yusuf, dkk., Potensi Wakaf Produktif di Salatiga, Laporan Penelitian Kelompok STAIN Salatiga tahun 2009. Muhibbin, Paradigma Baru Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf Produtktif di Indonesia, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwakafan Masyarakat Kampus, IAIN Walisongo, Rabu, 20 September 2006. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Yogyakarta:tp.,tt. Peraturan Pemerintah no.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Peraturan Pemerintah no. 42 tahun 2006 tentang Wakaf Rofiq, Ahmad, Wakaf dalam Kajian Hukum Islam, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwakafan Masyarakat Kampus, IAIN Walisongo, Rabu, 20 September 2006. Sabiq, Sayid, Fiqh as-Sunnah. Semarang: Taha Putera, t.t. Undang-Undang no.41 tahun 2004 tentang Wakaf Zuhailiy, Al-, Wahbah, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, juz X, Beirut: Dar al-Fikr tt.

You might also like