You are on page 1of 3

Tabel 1.

Jumlah Megacity di Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan Kota-kota dengan 10 juta atau lebih penduduk: 1950, 1975, 2001, dan 2015 (Jumlah penduduk dalam jutaan)
1950 1975 Kota Pend. Kota New York 12,3 Tokyo New York Shanghai Mexico City Sao Paolo Pend. 19,8 15,9 11,4 10,7 10,3 2001 Kota Pend. Tokyo 26,5 Sao Paulo 18,3 Mexico City 18,3 New York 16,8 Mumbai 16,5 Los Angeles 13,3 Kolkata Dhaka Delhi Shanghai Buenos Aires Jakarta Osaka Beijing Rio de Jeneiro Karachi Metro Manila 13,3 13,2 13,0 12,8 12,1 11,4 11,0 10,8 10,8 10,4 10,1 2015 Kota Pend. Tokyo 27,2 Dhaka 22,8 Mumbai 22,6 Sao Paulo 21,2 Delhi 20,9 Mexico 20,4 City New York Jakarta Kolkata Karachi Lagos Los Angeles Shanghai Buenos Aires Metro Manila Beijing Rio de Jeneiro Cairo 1stanbul Osaka Tianjin 68,1 238,6 17,9 17,3 16,7 16,2 16,0 14,5 13,6 13,2 12,6 11,7 11,5 11,5 11,4 11,0 10,3 340,5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Total 12,3 Sumber: Population Reports (2003)

2. Revisi Teori Transisi Demografi


Sebagai akibat kemajuan teknologi, 1ndonesia mengalami revolusi kelahiran, yaitu keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka kelahiran dengan cepat, melebihi kecepatan penurunan angka kelahiran di negara maju sekalipun. Angka kelahiran total (TFR) turun dari 5,6 pada periode 1967-1970 menjadi 3,3 pada periode 1986-1989. Angka ini terus menurun menjadi 2,8 pada periode 1991-1994 dan 2,3 pada periode 1996-1999 (BPS, 2003).
3

Teknologi kedokteran seperti penemuan antibiotika dan imunisasi memberikan implikasi pada menurunnya angka kematian bayi (sebagai indikator angka kematian).

Angka kematian bayi turun dari 145 per 1000 kelahiran pada tahun 1971 menjadi 71 per 1000 kelahiran pada tahun 1990. Angka ini juga terus menurun menjadi 51 per 1000 kelahiran pada tahun 1995. (BPS, 1997). 1ndikator lain dari revolusi kematian adalah meningkatnya angka harapan hidup penduduk. Pada tahun 1971 angka harapan hidup diketahui sebesar 45,7. Kemudian meningkat menjadi 59,8 pada tahun 1990. Dan terus meningkat menjadi 64,4 pada tahun 1995. (BPS, 1997). Dua revolusi ini, revolusi fertilitas dan revolusi mortalitas, mengakibatkan 1ndonesia akan telah menyelesaikan transisi vital (transisi fertilitas dan mortalitas) pada tahun 2005. Setelah tahun 2005 1ndonesia akan memasuki era pascatransisi vital yang secara teknis disebut era NRR (net reproduction rate) lebih kecil daripada 1. Era ini adalah era yang ditandai dengan kondisi kelahiran dan kematian yang mirip dengan yang kini dialami oleh negara maju. 1stilah "transisi vital" sampai sekarang masih relatif jarang dipergunakan dalam berbagai kepustakaan demografi. Pada mulanya, tahun 1920-an oleh Thompson dan tahun 1940-an oleh Notostein, muncul ide mengenai "transisi demografi", yang menggambarkan proses perubahan fertilitas dan mortalitas. Pada tahun 1970-an Zelinsky mengritik penggunaan istilah "transisi demografi" ini. Pertumbuhan jumlah penduduk tidak hanya disebabkan oleh perubahan dalam fertilitas dan mortalitas, tetapi juga perubahan dalam migrasi. Karena dalam kepustakaan demografi sudah dikenal istilah statistik vital, yang mengacu pada kelahiran, kematian, dan perkawinan, maka Zelinsky mengatakan bahwa diskusi yang telah terjadi selama itu lebih tepat disebut dengan "transisi vital". Diskusi "transisi demografi" baru akan lengkap bila diskusi transisi vital disertai dengan diskusi transisi mobilitas. Teori transisi demografi pada hakekatnya ingin memperlihatkan dampak kemajuan dalam pembangunan ekonomi pada penurunan fertilitas dan mortalitas. Teori ini mencoba menerangkan mengapa suatu masyarakat mengalami perubahan dari angka fertilitas dan mortalitas yang tinggi ke angka fertilitas dan mortalitas yang rendah. Teori ini berupaya memperlihatkan bahwa kemajuan dalam pembangunan ekonomi mempunyai sumbangan penting dalam transisi fertilitas dan mortalitas. Jumlah anak yang makin kecil, pendidikan yang makin meningkat, pendapatan yang meningkat, dan globalisasi informasi mendorong terjadinya peningkatan aspek ketiga dalam demografi: mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk ini tidak saja dalam lingkup internal (mobilitas dalam negeri), tetapi juga mobilitas internasional. Menurut Ananta dan Chotib (2002), berdasarkan pengalaman negara-negara maju, pembangunan ekonomi biasanya memperlihatkan tahapan yang berbeda, yang memiliki karakteristik demografis berbeda pula. Pada tahap awal pembangunan misalnya, angka kelahiran dan kematian terlihat lebih tinggi. Mereka biasanya
4

menghadapi surplus tenaga kerja muda dan tak terdidik. Modal perekonomian dan tenaga kerja terdidik masih amat langka. Untuk mengatasi persoalan ini, dilakukanlah

pengiriman tenaga kerja yang ada (tak terdidik) ke luar negeri. Pada saat yang bersamaan, mereka juga menerima modal dan tenaga kerj a terdidik dari luar negeri. Sejalan dengan kemajuan pembangunan ekonomi, jumlah tenaga kerja tak terdidik makin menurun dan jumlah tenaga kerja terdidik terlihat makin meningkat. Ekspor barang-barang yang semula diproduksi dengan orientasi pada padat karya kini digantikan oleh ekspor barang-barang yang diproduksi dengan orientasi padat modal dan tenaga kerja terdidik. Bahkan, negara ini mampu menanamkan modalnya ke luar negeri. Negara ini akan mencapai tahap titik balik manakala pengiriman tenaga kerja tak terdidiknya dihentikan dan mulai mengirimkan modalnya ke luar negeri. Setelah melewati tahap titik balik, pengiriman modal dan tenaga kerja terdidik sudah makin intensif. Ekspor barang-barang yang berorientasi pada padat modal juga makin dominan. Pada tahap ini, angka kelahiran dan kematian biasanya sudah amat rendah. Mereka sudah menyelesaikan tahap transisi vitalnya (transisi kelahiran dan kematian) dalam proses tahapan transisi demografi. Penduduk juga terlihat makin menua sementara jumlah tenaga kerja muda terlihat makin berkurang. Terlebih lagi jumlah tenaga kerja tak terdidik yang biasanya mau melakukan pekerjaan 3 B (Bau, Berbahaya, dan Berat) juga makin langka. Zelinsky (1971) mencoba melihat kaitan tahapan dalam pembangunan ekonomi dengan besaran dan tipe mobilitas penduduk. la membuat lima tahap transisi mobilitas: masyarakat tradisional pra modern (premodern traditional society), masyarakat transisi awal (early transitional society), masyarakat transisi akhir (late transitional society), masyarakat maju (advanced society), dan masyarakat supermaju masa depan (~uture superadvanced society). Skeldon (1990) kemudian menyempurnakan pemikiran Zelinsky di atas dengan menganalisis pola migrasi penduduk di negara-negara sedang berkembang. Olehnya, transisi mobilitas dikembangkan menjadi tujuh tahap, yaitu (1) masyarakat pratransisi (pre-transitional society), (2) masyarakat transisi awal (early transitional society), (3) masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society), (4) masyarakat transisi akhir (late transitional society), (5) masyarakat mulai maju, (6) masyarakat maju lanjut, dan (7) masyarakat maju super.

3. Transisi Urbanisasi: Tinj auan Empiris


Bersandar pada konsep yang disampaikan oleh Zelinsky dan Skeldon di atas, maka sebagai bagian dari fenomena demografi, proses urbanisasi pada hakekatnya juga mengikuti tahap-tahapan perkembangan transisi demografi. Pada sisi lain, urbanisasi juga merupakan salah satu indikator dari tingkat kemajuan ekonomi suatu negara atau wilayah. Chotib (2002), memperlihatkan korelasi yang positif antara tingkat urbanisasi dan tingkat pembangunan ekonomi di berbagai negara di dunia.
5

You might also like