You are on page 1of 21

Kajian Teks Lontar Bacakan Banten Pati Urip

I Pendahuluan Hindu merupakan suatu agama yang telah muncul sejak dahulu kala bahkan dinyatakan sebagai sanatana dharma yang berarti kebenaran atau agama yang abadi dengan kitab sucinya adalah Weda. Weda diyatakan sebagai suatu berisikan secara lengkap mengenai ajaran-ajaran yang menuntun manusia dalam kehidupan di dunia ini maupun di alam setelah kematian. Ajaran Weda yang lengkap tersebut merupakan suatu hal yang sangta berguna bagi kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari. Ajaran yang terdapat dalam weda berbentuk sutra dan mantra yang perlu penafsiran dan pemaknaan sehingga apa yang di maksud dalam sutra atau mantra tersebut dapat dipahami secara benar. Untuk memahami dan mampu memberikan makna yang tepat diperlukan suatu kemampuan yang baik dan memadai sehingga ada kalimat dalam Weda yang menyatakan bahwa Weda takut dengan orang bodoh Hal itu jelas menunjukan bahwa dibutuhkan suatu kecerdasan dan kemampuan menganalisa dan memaknai ajaran yang tertuang dalam kitab suci weda. Hal ini menjadi suatu permasalahan karena tidak semua manusia memiliki kecerdasan yang seperti itu. Tingkat kemampuan manusia yang satu dan yang lainnya tidak sama. Hal itulah yang menjadi suatu alasan mendasar dicarikannya suatu jalan keluar supaya ajaran yang demikian luas dan mendalam dapat diketahui dan dipahami oleh manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya. Melihat kenyataan seperti itu para maharsi jaman dulu memberikan suatu solusi dengan dituangkannya ajaran dalam Weda dalam bentuk susastra Hindu. Hal itu juga ditegaskan dalam Kitab Sarasamuscaya dan purana yang menyatakan bahwa Hendaknya Weda diajarkan melalui Itihasa dan Purana. Dengan metode itihasa dan purana tentunya ajaran Weda akan lebih mudah dipahami sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini maupun dalam mempersiapkan

diri menghadapi kehidupan setelah meninggal nantinya. Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap ajaran Weda mengingat terdapat berbagai macam perbedaan budaya sehingga selanjutnya ajaran-ajaran tersebut dituangkan dalam susastra daerah. Hal itu seperti terlihat di bali ajaran-ajaran Weda dituangkan dalam bentuk lontarlontar dengan berbahasa jawa kuno. Selanjutnya dewasa ini mulai disalin dan diterjemahkan dalam hurup latin dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan demikian ajaran Weda semakin dekat dengan umat Hindu karena secara langsung dapat dibaca dan ditafsirkan. Seperti di atas bahwa setiap teks susastra perlu juga ditafsirkan kembali secara konstektual disesuaikan dengan perkembangan jaman sehingga ajaran dalam lontar atau susastra Hindu di daerah dapat lebih dipahami maka perlu dikaji dan ditafsirkan sehingga umat Hindu dapat memahami ajaran tersebut. salah satu lontar yang telah ditulis dengan huruf latin dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah lontar Bacakan Banten Pati Urip. Teks dan terjemahan lontar Bacakan Banten Pati Urip telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan Judul Bacakan Banten Pati Urip: Upakara Bayi Dalam Kandungan Sampai Orang Meninggal (Teks Dan Terjemahan) buku ini disusun oleh Drs. I Wayan Dunia yang diterbitkan oleh Paramita Surabaya pada tahun 2009. Dalam buku tersebut diawali oleh pengantar dari penyusun,

selanjutnya teks lontar Bacakan Banten Pati Urip dalam huruf latin dan bagian yang ketiga adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Lontar bacakan banten pati urip secara semiotik jelas memiliki makna bahwa menguraikan sarana upakara selama kehidupan dan kematian. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa lontar bacakan banten pati urip merupakan salah satu lontar tentang ritual keagamaan Hindu (Dunia, 2003:iii)

II Beberapa Kajian Lontar Bacakan Banten Pati Urip 2.1 Kajian Filosofis (Tattwa) Setiap upacara yang dilaksanakan memiliki makna atau nilai tattwa atau filosofis hal itu sesuai dengan konsep tri kerangka dasar agama Hindu. Tattwa atau filosofis agama Hindu mencakup berbagai aspek makna sampai pada pada ketuhanan. Upacara upacara yang dilaksanakan atau tertuang dalam lontar merupakan penjabaran dari ajaran teks suci yaitu Weda. Nilai filosofis dari upacara disebutkan bahwa upacara merupakan suatu kewajiban umat Hindu sebagai manusia yang memiliki hutang yang disebut tri rna. Tri rna tersebut merupakan dasar dari pelaksanaan upacara dalam umat Hindu (Wijayananda,2004a:1). Tri rna tersebut yaitu manusia memiliki utang kehidupan atau jiwa kepada Tuhan, hutang pengetahuan kepada para orang suci dan hutang budhi atau jasa kepada orang tua dan leluhur. Pada umumnya lontar tatwa ataupun yadnya secara langsung maupun tidak langsung sudah pasti tersirat atau bahkan tersurat di dalam lontar tersebut mengenai aspek-aspek ketuhanan dalam agama Hindu. Agama Hindu meyakini bahwa tuhan itu tunggal tiada duanya (Pudja:1999:12). Tuhan yang satu itu disebut dengan banyak nama dan bentuk oleh orang bijaksana (Suhardana, 2008:2). Tuhan yang tunggal dikenal dalam berbagai macam aspek Beliau. Aspek ketuhanan dalam agama Hindu sangatlah benar - benar memposisikan Tuhan sebagai sesuatu Yang Maha Kuasa. Dalam konsep Hindu diyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Sumber dari segalanya. Tuhan meresapi segala ciptaanNya. Tuhan bersifat Sarva Vyapi Vyapaka artinya Tuhan ada dimana-mana dan meresapi semua atau segala sesuatunya. Tuhan yang maha kuasa dan tak terbatas tidaklah mampu dijangkau oleh manusia dengan yang notabenenya memiliki keterbatasan dalam berbagai hal. Dengan keyakinan bahwa Tuhan Maha kuasa, maka manusia Hindu meyakini

apapun yang beliau kehendaki dapat diwujudkan atau dalam pengertian Beliau dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk sesuai dengan kehendakNya. Sebagai yang maha kuasa tentunya Beliau memiliki fungsi yang sangat tak terbatas.

Tuhan dalam konteks secara ilmu dapat dinyatakan atau diibaratkan dalam bentuk noumena yang akan menyatakan dirinya melalui fenomena. Dengan melalui fenomena inilah manusia akan dapat mengetahui noumena dibalik perwujudan tersebut. umat Hindu menyadari akan keterbatasan dirinya tetapi dengan adanya keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa maka umat Hindu mendekati Tuhan dengan cara pendekatan terhadap fungsi yang dianggap berhubungan dengan manusia.

sehingga Tuhan Yang tunggal kemudian di manifestasikan dan dipuja dalam berbagai bentuk dan cara berdasarkan Fungsi Beliau. Sebagi contoh dalam agama Hindu ada yang disebut dengan Brahman, ada yang disebut Purusa Pradana ada yang disebut Tri Murti dan seterusnya. Dengan adanya perwujudan dan pemujaan berdasarkan fungsi maka bagi orang yang tidak memahami bagaimana kronologis pemujaan dan perwujudan Tuhan maka akan memiliki penafsiran yang keliru terhadap keyakinan terhadap Tuhan dalam Agama Hindu bahkan dalam umat Hindu yang awam sendiri sering dipahami secara terpisah antara satu bentuk perwujudan dengan Tuhan padahal itu semua merupakan perwujudan atau fungsi dari yang maha Tunggal. Adanya perwujudan dan pemujaan yang tampak banyak justru hal itu merupakan implementasi dari keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa. Banyaknya perwujudan atau pemujaan yang berdasarkan fungsi dalam mumat Hindu pada umumnya hal itu menunjukan banyaknya fungsi Tuhan dalam kehidupan ini. Bahkan dalam Hindu sendiri di nyatakan bahwa apa yang menjadi satu perwujudan merupakan bagian terkecil dari kemahakuasaan Tuhan. Fungsi merupakan menunjukan pada kemampuan Tuhan. Dengan banyaknya fungsi berarti menunjukan banyaknya

kemampuan pula sehingga secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut merupakan sebagai cetusan keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa. Pencetusan kemahakuasaan Tuhan dalam bentuk bagian-bagian fungsi yang Tuhan Perankan juga menjadi aspirasi para mahakawi umat Hindu di Indonesia dan umat Hindu di Bali Khususnya dalam ajaran-ajarn yang tertuang dalam lontar-lontar. Termasuk lontar bacakan banten pati urip. Seperti dinyatakan di atas bahwa lontar ini berisikan tentang yadnya dimana yadnya terdapat nilai teologis yang terkandung
4

didalamnya karena setiap yadnya memiliki tujuan persembahan yadnya tersebut. konsep-konsep teologi dalam berbagai macam upacara dan sarana dalam lontar ini tampaknya tidak semua bagian dari banyaknya upacara yang dinyatakan diulas mengenai konsep teologinya. Ada bagian yang tidak mengulas teologi tetapi ada bagian yang menyebutkan mengenai teologinya. Dalam lontar tersebut ada disebutkan Bhatara Brahma, Dewa Kumara, Dewa Yoni, Dewa Siwa, Dewa Kama, Sanghyang Jatiswara, Sanghyang Sri Guru, Sanghyang Mahadewa, Iswara, Saraswati, Wisnu. Konsep teologi yang disebutkan dalam lontar tersebut tidak terdapat penjelasan secara jelas tentang bagaimana konsep-konsep teologi tersebut. akan tetapi konsep teologi tersebut dapatlah di jelaskan dengan dasar susastra lain. Hal itu mengingat konsep nama nama yang sama merupakan merujuk pada aspek atau atribut yang sama.

2.2 Kajian Etika (Susila) Dalam lontar bacakan banten pati urip sangat jelas terkandung nilai-nilai etika. Hal itu berdasarkan adanya konsep tri kerangka dasar agama Hindu yang merupakan suatu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama yang lainnya dimana ketiganya terdapat dalam upacara. Salah satu bagian dari tri kerangka dasar itu adalah etika yang merupakan suatu norma atau aturan bertingkah laku yang benar dan baik. Seperti dinyatakan bahwa dalam upacara sudah tentu mengandung suatu etika dalam pelaksanaannya. Hal itu terlihat jelas dalam upacara terdapat suatu aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya umat Hindu melaksanakan upacara. Demikian pula dalam berbagaimacam upacara yang terdapat dalam ajaran lontar Bacakan banten pati urip. Ajaran etika yang terdapat dalam lontar tersebut terutama dalam bentuk bagaimana sarana yang baik dan kepada siapa upacara tersebut diberikan. Setiap upacara memiliki suatu bentuk dan jenis sesajen atau upakara yang berbeda satu dengan yang lainnya walaupun ada sebagian upacara yang memiliki sama akan tetapi secara umumnya ada sarana yang membedakan. Hal ini membuat perlu diketahui suatu aturan dalam berupacara.
5

Berupacara merupakan suatu persembahan suci yang harus di dasari dengan kesucian. Hal itu tampak dalam berbagai macam jenis bahan atau bentuk upakara yang diajarkan dalam lontar ini. memang secara tersurat tidak ada penjelasan yang pasti mengenai arti fungsi upacara tersebut akan tetapi hal tersebut dapat di dekati atau dijelaskan dengan makna atau arti dari sarana dan bentuknya menurut susastra lainnya. Dalam berbagai sarana semua merupakan suatu symbol yang merupakan suatu cetusan rasa kesucian dan ketulusan. Rasa kesucian dan ketulusan tersebut sudah tentunya berkaitan dengan konsep-konsep kesucian dalam ajaran agama Hindu. Secara aspek pokoknya ada tiga dasar dalam beretika dalam agama Hindu yaitu yang disebut dengan tri kaya parisudha. ajaran etika dalam Hindu bukan hanya

menyangkut aspek perilaku tetapi juga dalam aspek lainnya yaitu pikiran dan perkataan. Hal itu mengingat kebaikan dalam perilaku atau sikap belum tentu menunjukan kebaikan dalam perkataan dan pikiran. Oleh karena itu ketiganya harus seimbang untuk disucikan sehingga keharmonisan dan kebahagiaan diperoleh. Dalam Hindu dengan konsep tri kaya parisudha ini adalah menunjukan adanya keselarasan kesucian antara ketiganya. Tri kaya pari sudha sebagai dasar etika Hindu mengajarkan bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan.

2.3 Kajian Ritual (Upacara) Ritual dalam agama Hindu di Indonesia disebut dengan istilah Upacara dan secara susastra Hindu khususnya dalam ajaran Weda disebut dengan istilah Yadnya. Sehingga sering keduanya digabungkan di Indonesia khususnya di Bali dengan istilah Upacara yadnya. Dalam agama Hindu banyak sekali terdapat upacara tetapi secara umum dikenal ada lima jenis yadnya yaitu yang disebut dengan panca yadnya. Setiap yadnya merupakan suatu rangkaian system yang didalamnya terdapat unsure-unsur yang saling berkaitan dan memiliki fungsi masing-masing untuk terlaksananya upacara tersebut. Dalam upacara terdapat pelaksana, sarana dan pemuput atau

pemimpin upacara. Pemimpin upacara bukanlah dapat dilaksanakan oleh sembarang orang, tetapi oleh orang suci. Hal itu seperti dinyatakan oleh Wayan Budha Gautama
6

(2003:1) yang menyatakan setiap pelaksanaan upacara yajna, dipimpin oleh seorang pendeta (sulinggih), atau Pinandhita (pemangku) sesuai dengan kewenangan masingmasing. Pelaksanaan upacara dapat membawa manusia pada suatu kesucian diri.

Hal itu seperti dinyatakan Eliade (dalam Ghazali, 2011:62) ritus merupakan media untuk umat beragama untuk menuju dari yang tidak suci kea rah kesucian. Hal ini juga ditegaskan dalam salah satu tujuan ritual atau upacara menurut Ida PAndita Mpu Jaya Wijayananda (2004b:10) bahwa upacara memiliki maksud untuk mencapai spiritual.

1. Ngerujaki Dalam lontar bacakan banten pati urip ngerujaki merupakan suatu upacara yang pertama kalinya dilakukan terhadap wanita yang hamil. Adapun sarana yang digunakan dalam upacara ngerujaki yang dinyatakan dalam lontar ini adalah sesayut satu pajeg lengkap dan byakala di tambah dengan persembahan yang dihaturkan di sanggah kemulan yang dipimpin oleh seorang pemangku atau orang suci yang disertai makan rujak. Kapan upacara ini dilakukan masih kurang jelas hanya

ditegaskan ketika hamil dalam lontar bacakan banten pati urip. Tetapi dapat diketahui melihat dari nama dan sarana maka upacara ini di laksanakan pada saat ngidam atau pada saat mulai diketahui kehamilan itu. Ngidam atau mulai diketahuinya kehamilan antara orang satu dengan yang lainnya terkadang berbeda-beda terlebih dalam kehidupan kontemporer ini dimana manusia disibukan akan urusan pekerjaan dan pikiran yang dibebeni oleh berbagaimacam keinginan sehingga kepekaan untuk mengetahui kehamilan sangat berkurang. Di sisi lain dalam konteks modernitas dewasa ini manusia dimudahkan dengan alat pendeteksi kehamilan sehingga yang tidak sibuk akan lebih dini mengetahui kehamilan. Hal ini yang terlihat dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan kehidupan umat Hindu khususnya sering terjadi ada yang baru satu bulan sudah diketahui dan ada pula setelah dua bulan atau bahkan lebih. Dalam

lontar tersebut ada disebutkan upacara tiga bulanan kehamilan sedangkan upacara
7

ngerujaki

disebutkan sebelum upacara tiga bulanan dengan demikian secara

logikanya upacara tersebut dilaksanakan sebelum tiga bulan usia kehamilan. Upacara ngerujaki ini dilaksanakan di sanggah merajan yang dimiliki masing-masing umat hal itu karena dalam lontar disebutkan adanya persembahan yang dipersembahkan di sanggah. Banten yang digunakan berupa sesayut merupakan sebagai suatu symbol atau penanda dari sesuatu obyek yang dimaksudkan atau istilah lainnya petanda. Sesayut sebagai suatu symbol tentunya memiliki suatu makna yang perlu ditafsirkan dan dipahami oleh umat Hindu. Istilah sesayut dapat diuraikan dari asal katanya yaitu dari kata pokok sayut yang memiliki pengertian mendoakan atau mengharapkan dan juga sebagai symbol dari sthana Tuhan beserta manifestasinya (Wijayananda, 2004:80). Dalam upacara ngerujaki dengan digunakan banten sesayut akan memiliki makna bahwa dengan atau melalui pelaksanaan upacara ngerujaki umat Hindu mengharapkan atau mendoakan kepada Tuhan berserta manifestasinya supaya benih atu janian dalam kandungan kuat atau selamat tidak mengalami keguguran demikian pula kepada ibu yang mengandung janin tersebut. hal itu dipertegas lagi dengan pengunaan banten byakala yang disebutkan dalam lontar bacakan banten pati urip tersebut.

2. Tiga Bulanan Upacara kedua dari dalam manusia yadnya yang dinyatakan dalam lontar bacakan banten pati urip adalah upacara setelah usia kehamilan menginjak tiga bulan. Tidak dijelaskan perhitungan hari untuk menyatakan bahwa kandungan berumur tiga bulan apakah perhitungan bulan tahun masehi atau kalender bali. tetapi berdasarkan sejarah dan tempat lontar tersebut dibuat yaitu dibali dimana dibali sendiri memiliki perhitungan kalender sehingga dapat dinyatakan yang dimaksud tiga bulan dalam lontar tersebut adalah tiga bulan dalam perhitungan kalender bali dimana satu bulannya terdiri dari 35 hari. Hal itu berarti perhitungan hari dalam setiap bulannya kalender bali lebih bantyak dari pada kalender masehi yang jumlah harinya tidak

tetap setiap bulannya jumlah hari yang tertinggi adalah sebanyak 31 hari dan jumlah yang paling sedikit sebanyak 28 hari. Dengan demikian pelaksanaan upacara tiga bulannan kehamilan disesuaikan dengan kalender bali. Menurut Sri Rsi Ananda Kusuma (2009:28) upacara tiga bulanan kehamilan sering disebut dengan megedong-gedongan. Adapun

sarananya yang dinyatakan dalam lontar bacakan banten pati urip adalah jenisnya sama dengan upacara ngerujaki, yaitu sesayut satu pajeg dan byakala ditambah dengan persembahan di sanggah kemulan. Banten yang yang dinyatakan dalam

lonter tampak lebih sederhana dibandingkan dengan yang dinyatakan oleh Sri Ananda Kusuma dimana terdapat beberapa uraian yang terinci yaitu Rujak kelapa gading dengan gula yang bermacam-macam dan madu, bunga kecubung, jajan berujud bayi 2 orang, seekor ikan belut yang masih hidup dibungkus dengan daun byah-byah sumbu 5 buah, klakat yang berisi sesari 250 kepeng, sorohan bertumpeng tujuh, delima seadanya, dua buah rumah kecil untuk laki-laki dan perempuan, canang daksina 2 buah untuk dewa trimurti dan pendeta. Hal itu diyatakan sebagai upacara yang besar dengan sarana upakara sedemikian rupa. Hal ini berarti upacara tiga bulanan tentunya dapat dilaksanakan dengan upacara yang sederhana atau kecil seperti yang dinyatakan oleh lontar tersebut dan apabila seseorang mampu dapat melaksanakan dengan upacara yang besar. Besar kecil upacara merupakan tergantung dari keadaan ekonomi dan keinginan umat Hindu untuk melaksanakan upacara tersebut. yang terpenting adalah tatwa dari upacara tersebut sesuai dengan ajaran agama sehingga dapat memperoleh berkah yang baik.

3. Upacara Kepus Pungsed Sebagai upacara ketiga yang dinyatakan dalam lontar bacakan baten pati urip adalah upacara lepas tali pusar. Pelaksanaan upacara ini tidak dijelaskan dengan perhitungan hari akan tetapi melihat kapan tali pusar seorang bayi itu putus atau lepas. Tidak adanya kepastian perhitungan hari pelaksanaan upacara ini dalam lontar tetntunya sangat ditentukan keyataan kehidupan sehari-hari dimana setiap seorang
9

bayi dengan yang lainnya memiliki masa perhitungan hari untuk lepas pusarnya adalah tidak sama. Ada yang lima hari ada pula yang satu minggu dan seterusnya. Oleh karena itu, hanya ditentukan pada saat tali pusar putus pada saat itulah dilaksanakan upacara ini. upakara atau sarana upacara ini yang dinyatakan dalam lontar yaitu: penyeneng, ayam biing, peras satu, canang, kelanan, abu satu tamas berisi daun satu ikat, lekesan berisi cincin uang kepeng, rokok lampu dari kapas yang digiling tulisan nama berwadahkan kojong, canang saagan, buwu satu buah, dan berjenis daun-daunan seperti daun sakeling, daun miana cemeng, daun gunggang rumput dreman, kundang kasih yang diikat menjadi satu, tempurung kelapa berisi abu, dedaunan, sirih rokok, lampu dari kapas digiling satu kojong, serta pohon pandan dibungkus dengan ijuk. Nasinya kepelan dan canang setelah bayinya

dipersem,bahi di dapur tempurung kelapa diletakan disisi pintu dapur. Selain itu juga dilakukan suatu persembahan berupa saji jerimpen kepada dewa kumara dan persembahan kepada penjaga berupa kelanan dan canang, serta persembahan kepada dewa yoni berupa saji jerimpen. Sementara di bawah mengunakan persembahan berupa saagan. Selanjutnya dilaksanakan juga suatu persembahan di sungai dengan sarana atau sesajen berupa kelanan, canang dan saagan.

4. Upacara Bayi Berumur 12 Hari Upacara bayi berumur 12 hari sesuai dengan namanya dilaksanakan pada saat bayi berumur 12 hari. Tidak dijelaskan dalam lontar mengenai perhitungan mengapa setelah dua belas hari perlu dilaksanakan suatu upacara bagi bayi. Apabila dilihat dari angka-angka mistik atau sacral ayang berhubungan dengan suatu symbol dalam agama Hindu maka 12 hari adalah sama dengan 3 yaitu 1+2. Angka 3 dalam Hindu sangat berhubungan dengan konsep ketuhanan yaitu tri murti dan tri purusa. Tri murti tersebut yaitu brahma sebagai pencipta, wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pemralina, sedangkan tri purusa adalah siwa, sadasiwa dan parama siwa. Dengan demikian upacara ini dilakukan berhunbungan dengan manusia sebagai mahluk dalam dunia ini selalu memiliki aspek dari ketiga tersebut. di samping itu
10

juga tiga yang dimaksudkan juga berkenaan dengan tri premana yaitu sabda, bayu, idep. Ketiganmya itu harus dijaga dan dipeliharra dengan baik supaya tercipta

kehidupan yang sejahtera. Hal itu sesuai dengan pendapat Sri Reshi Ananda Kusuama (2009:31) yang menyatakan tujuan upacara 12 hari adalah untuk memohon kemakmuran bagi bayi, kesehatan dan panjang umur. Adapun sarana yang digunakan dalam upacara ini yang dinyatakan dalam lontar adalah seperangkat guru kurenan, lwang jerimpen, pucakmanik, pangulap, pangambean, panyejeg, peras guling, jajanganan, teenan, baywan, dan daksina. Terdapat pula persembahan kepada dewa yoni berupa jerimpen satu buah. Untuk dewa kumara jerimpen satu buah.

5 Upacara Bayi Berumur 42 Hari Upacara ini juga sesuai dengan namanya dilaksanakan ketiga bayi telah berumur 42 hari. Adapun sarana yang digunakan adalah daksina satu buah, ketupat satu kelan, canang bayuan dua buah, canang sari dua buah, uang 225 , saagan. Apabila melihat pengunaan angka 42 hari dapat diuraikan 4+2 adalah 6, enam dalam konsep Hindu ada yang disebut Sadripu atau enam musuh dalam diri manusia. selanjutnya pengunaan uang sebanyak 225 yang dinyatakan dalam lontar dapat diuraikan 2+2+5 adalah 9 dalam agama Hindu Sembilan adalah mengacu pada dewata nawa sanga atau Sembilan dewa penjaga penjuru. Hal ini ini dapat berarti bahwa adanya musuh dalam diri manusia sebagai buana alit haruslah dijaga atau dikendalikan supaya manusiah berhasil mencapai kehidupan yang bahagia dan untuk menjaga tersebut sepatutnya memohon perlindungan dari Sembilan Dewa penjaga penjuru dalam alam ini termasuk dalam diri manusia. hal ini sesuai dengan pernyataan dalam lontar yang menyebutkan bahwa pada saat ini dibuatkan berupa penjaga atau pengijeng untuk si bayi. Hal itu juga sesuai dengan pendapat Sri Reshi Ananda Kusuma (2009:32) yang menyatakan bahwa tujuan upacara ini adalah supaya bayi mendapatkan panjang umur bahagia dan mendapat perlindungan dari Tuhan.

11

6. Upacara Bayi Berumur Tiga Bulan Upacara ini dilaksanakan setelah bayi berumur tiga bulan seperti hal nya upacara tiga bulan kehamilan pada upacara ini juga tidak dijelaskan tiga bulan dalam kalender bali atau kalender masehi. Namun seperti diatas jelas bahwa tiga bulanan yang dimaksud adalah tiga bulan dalam perhitungan kalender bali. apabila merujuk pengunaan 3 dalam perhitungan bulan pelaksanaan upacara ini maka memiliki makna mistis dimana tiga berhubungan dengan beberapa aspek dalam agama Hindu yaitu trimurti , tripurusa dan tri kaya parisudha atau tripemana. Sarana atau upakanra dalam upacara tiga bulanan ini lebih banyak disebutkan dalam lontar ini disbanding upacara yang disebutkan di atas. Adapun sarananya adalah satu perangkat atau Batekan pikekeh, tegenan, guru kurenan, lwang jerimpen, pucak manic, pemagpag, pangiring, congkak wedel, pangulap, pangabean, panyejeg, peras guling, jerimpen bebaywan, sesayut sesukanya, janganan, pabangkit rebah, satu tungkuh, banten bajang wadah bakul, berisi boki periuk tanah yang sudah usang lis dari daun kelapa, tua, bingas berisi jajan, tangkai buah kelapa, berisi mumbang, berisi ketupat siun, blayag, kosong jantung, pisang ditulisi kapur, berbentuk orang-orangan berisi telinga dari uang kepeng, penjor kecil, memakai paying dari daun kumbang. Banten bajang seperangkat terdiri dari penyeneng berisi guling babengke, ayam colong, dan perwujudan bajang dari waligo satu buah telur itik satu butir, batu hitam satu buah, disertai dengan kain bebali, jamu pupuk, ayunan uangnya 225 kepeng. Pada saat bajangnya berkeliling bersama-sam penmjor satu buah, lumping satu buah, sikat berisi uang 25 kepeng sebagi symbol si bajang berkeliling. Pasu satu buah berisikan telor ayam ikat pingang, atu-atu, uang 225 sebagai alas si bajang mandi dan bayi yang diupacarai. Selanjutnya lis satu pasang sebagi runtutan sesayut, persembahan ke kumara berupa jerimpen satu buah, untuk dewa yoni satu buah bayuan, saagan.

7. Otonan Otonan merupakan suatu upacara yang dilaksanakan setelah bayi berumur enam bulan. Enam bulan sebagai otonan mengingat perhitungan kalender bali bahwa
12

setelah enam bulan maka perhitungan wuku akan kembali pada ketika wuku bayi lahir. Dengan demikian dalam konsep otonan yang diperhatikan adalah wuku dan sapta wara yang sudah pasti akan berulang setiap enam bulan sekali. Oleh karena itu, menurut tradisi Hindu di bali otonan ini selalu berulang dalam kehidupan manusia sampai menemui ajalnya. Otonan ini sama serupa dengan ulang tahun dalam konteks kalender masehi sehingga memunculkan peringatan ulang tahun yang menjadi trend bagi manusia pada umumnya. Akan tetapi lain halnya di bali perayaan ulang tahun tidak terlalu menjadi suatu yang terlalu penting terutama masyarakat Hindu yang di desa sementara sebagaian masyarakat kota sudah mulai menganggap ulang tahun sebagai suatu yang penting, sehingga selain otonan mereka juga melaksanakan ulang tahun. Umat Hindu bali sering menyebut istilah otonan dengan sebutan ngotonen yang berarti melakukan upacara otonan. Adapun sarana atau upakara yang digunakan adalah seperangkat pakekeh, pulekerti,teenan, guru kurenan, lwang jerimpen, pucak manic, pamagpag, pangiring, congkak odel, bayuan pangulap, pangambaean, panyegjeg, sesayut telaga, pancoran, jarimpen be sambutan, jajanganan, peras, serta guling. Semua itu adalah banten untuk ayaban. Untuk megogoan di buatkan lobang ditanah, diisi air, diisi berbagai jenis isi sungai, bijaratus bijian gelang cincin, uang 225, sangkar, nyahnyah gringsing, ayam betina, untuk turun tanah bantennya peras satu buah, pekekeh, pulakerti dan sambutan. Selanjutnya untuk persembahan yang di haturkan kepada dewa kumara berupa jerimpen sebanyak satu buah, untuk dewa yoni dandanan dan jerimpen.

8. Upacara Tanggal Gigi Tanggal gigi merupakan suatu hal yang dialami oleh seseorang dalam kehidupannya. Tanggal gigi dimaksud dalam lontar ini tentunya bukanlah tanggal gigi yang sengaja dilakukan oleh manusia karena dicabut dengan paksa. Akan tetapi, dimaksudkan di sini adalah tanggal gigi untuk pertama kalinya yang pada umumnya dialami seseorang dalam hidupnya. Pada saat tanggal gigi inilah dilakukan suatu upacara. Adapun sarana bantennya yang disebutkan dalam lontar ini adalah satu
13

perangkat lengkap dengan pajegan, sesayut atma teka, bayu rauh, guru asih, pepek bayu, dan biakala, pengreting suara, bantennya sesayut satu dulang berisi tumpeng satu buah ikannya muluk gajih dan darah, sesayut memakai aledan seliwah ikannya bawang putih Sembilan ulas, sesayut satu buah ikannya hati babi satu wilah atau seiris, sesayut sumpeng memakai aledan peras ikannya usus dan limpa, penyeneng memakai tumpeng merah ikannya ayam biring, lis satu pasang , api beralaskan kekeb, ayabannya di tambah dengan sesayut nirmala kasuweran, suka stata, kecap mandi

9. Upacara Meningkat Dewasa Upacara meningkat dewasa dalam lontar tidak dijelaskan secara jelas mengenai kapan upacara itu dilaksanakan. Dalam lontar hanya disebutkan ketika remaja meningkat dewasa dilekati kekotoran. Walaupun tidak jelas apa yang

dimaksud kekotoran dalam lontar tersebut namun dapat dijelaskan mengunakan susastra lain mengenai kekotoran. Pada umumnya secara sastra dijelaskan bahwa yang dimaksud menginjak dewasa adalah ketika wanita mengalami dating bulan dan laki-laki mimpi basah untuk pertama kalinya. Keadaan seperti ini sangat tergantung pada diri seseorang karena setiap orang tidak sama waktunya atau umurnya ketika mengalami semua itu. Oleh karena itu dalamn lontar tidak disebutkan kapan dalam arti umur berapa upacara ini dilaksanakan. Hal itu berarti upacara ini dilaksanakan sesuai dengan masanya atau waktunya seseorang mengalami tanda-tanda menginjak dewasa. Menginjak dewasa dalam bahasa umumnya disebut dengan puber pertama merupakan suatu masa yang sangat rentan dimana seseorang sudah mulai membedakan secara jelas jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan pada saat ini mulai pula ada ketertarikan antara lawan jenis, wanita tertarik pada laki-laki dan laki-laki tertarik pada wanita. Adanya fenomena semacam itu merupakan suatu hal yang perlu dikendalikan supaya tidak terjadi penyalah gunaan atau penyimpangan prilaku atau terjadi prilaku yang tidak baik atas pengaruh hal tersebut maka dalam konsep Hindu termasuk dalam lontar bacakan banten pati urip perlu dilakukan suatu pensucian. Penyucian terhadap
14

kekotoran tersebut dan supaya terkontrol kea rah yang baik atau suci maka dilakukan dengan suatu upacara meningkat dewasa dengan mengunakan sarana yang dinyatakan dalam lontar ini yaitu membuat bale papajangan, dengan sarana upakaranya pikekeh, pulakerti, teteg, pulagembal, pletik cangkir, sekar setaman, bale bunga, nasi dedari, peras, penyeneng, sasayut paguntingan, krik keramas, papedetan,

prangkatan,padamel. Sesayut untuk ayabannya adalah banten satu perangkat seutamanya disertai dengan jerimpen sumbu, sate babali, adegan gayah, biakala agung, tumpeng agung, air anyar satu sangku, berbagai jenis sate dan lawn, tekor dari ubi berisi segau, kapas berisi minyak, asam dari limao setengah biji, sirih tulak, pinang, serabut kelapa, di jepit, benang merah dua, telur ayam satu butir, balung gending, lis satu buah, saagan, obor dari daun kelapa berwadah kekeb.

10 Upacara Potong Gigi Dalam lontar bacakan banten pati urip tidak terdapat penjelasan mengenai pengertian dan maksud upacara potong gigi. Demikian pula mengenai waktu

pelaksanaannya tidak dijelaskan dalam lontar ini. namun pada umumnya pelaksanaan potong gigi dilaksanakan ketika seseorang sudah meningkat remaja atau setelah upacara meningkat remaja hal ini juga secara sistematis atau urutan upacara yang disebutkan dalam lontar upacara ini urutannya setelah upacara meningkat dewasa. Mengenai kepastian pelaksanaan waktu potong gigi disebutkan dalam lontar rare angon yang diterjemahkan oleh Wayan Budha Gautama (2008:41) pelaksanaan

upacara potong gigi dilaksanakan pada saat usia 16 tahun. Upacara ini memiliki suatu maksud untuk menghilangkan Sad Ripu atau enam musuh. Enam musih tersebut hasu di basmi atau dihilangkan dri dalam diri manusia (Suhardana, 2010:94). Hal ini juga ditegaskan oleh Sri Reshi Ananda Kusuma (2009a: 38) tujuannya agar kotoran gigi itu bersih dan dapat mengalahkan musuh yang ada pada tubuh manusia yang dinamai sad ripu. Maksud upacara ini juga disebutkan dalam lontar rare angon yang diterjemahkan oleh Wayan Budha Gautama (2008:41) bahwa tujuan pelaksanaan upacara ini adalah untuk menghilangkan atau membersihakan gigi, kulit dan rambut.
15

Dengan dilaksanakan upacara ini orang tersebut akan mampu selalu sadar dalam kehidupannya mengenai adanya musuh yang ada atau muncul dalam dirinya dan mensucikan dirinya, sehingga kehidupan yang dijalaninya dapat memperoleh berkah berupa kesejahteraan dan kebahagiaan.

11. Upacara Mediksa Dalam lontar ini ada disebutkan suatu upacara yang disebut mediksa. Akan tetapi tidak di jelaskan kapan pelaksanaan ini dan siapa yang patut bisa

melaksanakan upacara ini. Apabila kita melihat pengertian secara umum mendiksa merupakan suatu inisiasi untuk menjadikan seseorang suci. Khusus dalam umat Hindu orang suci ada dua jenis yaitu eka jati dan dwi jati. Selama ini yang dipahami upacara mendiksa adalah untuk menjadi orang suci dalam tingkatan dwijati. Sementara untuk ekajati hanya dilakukan dengan upacara mawinten. Seorang suci yang pada tingkat diksa atau dwi jati sering disebut ida pedanda, pandita, rsi sedangkan umtuk eka jati sering disebut pemangku dan pinandita. Dengan demikian mediksa dalam konteks lontar ini tentunya menunjukan pada upacara untuk mencapai tingkat dwijati. Dalam proses yang dapat melaksanakan diksa secara umumnya di bali terdapat proser tertentiu tidak dapat secara langsung mencapai diksa dari umat biasa, akan tetapi umat terlebih dahulu melalui jenjang kepemangkuan yaitru dari mangku alait, selanjutnya mangku gde dan baru meningkat ke dwijati dengan melalui upacara diksa. Kata diksa merupakan bahasa Sanskerta yang memiliki makna pemberkatan atau pentasbihan (Wiana,tt:225). Diksa

merupakan suatu yang dapat diyatakan pengukuhan atau peresmian secara umum bahwa seseorang menjadi dwi jati hal itu dapat dilakukan bila seseorang memang telah memiliki suatu kualitas pandita. Menurut lontar bacakan banten pati urip tata cara melakukan diksa adalah sebagai berikut mendirikan sangar guru karma dengan tiga ruang, disebelah utara menghadap keselatan, sarana sesajen yang

dipersembahkan pada sanggar tersebut adalah daksina empat buah, dewa dewi empat buah, banten panglemek empat tamas, tigasan putih berisi uang 225 kepeng sebanyak
16

empat pasang yang masing-masing diikat dengan benang. Sirih pinang satu tamas, beserta tegenan-tegenan, bijaratus berwadah sopak. Di bawah sangar guru karma dipersembahkan sarana berupa sesayut memakai tumpeng merah, ayam biring dipangang, sampyan dari daun andong merah uang 225 kepeng daksina satu buah berisi uang 4000 kepeng. Di depan sanggar tersebut uang sebanyak empat keranjang masing-masing 4000 kepeng. Untuk sangah tutuan dipersembahkan satu soroh atau macam lengkap daksina dua buah yang isinya sama dengan yang di sebutkan di atas di sertai uang dua keranjang masingmasing 4000 kepeng dan dewa dewi dua buah. Sementara banten ayaban untuk orang yang didiksa sesayut satu pajeg tidak memakai jerimpen sumbu, tidak memakai sate babali, hanya dilengkapi dengan biakala. Selanjutanya banten utuk persembahan kepada sang guru yaitu suci satu soroh, peras, daksina berisi uang nista madya atau utama sesuai dengan kemampuan orang yang melaksanakan diksa serta jauman lengkap, panguriaga, pamreman, patarana, wastra lengkap, pasurian pojen, beserta banten ditempat tidur. Ditammbah lagi untuk orang yang didiksa pabersihan, dan pakaian putih satu pasang, panguriaga, ponjen, sekah suwun, pungu-pungu, dan alatalat padudusan untuk pensucian.

12. Upacara Mawinten Upacara mawinten juga tidak dijelaskan dalam lontar ini, akan tetapi secara umum mawinten memiliki maksud pensucian kepada seseorang yang berhubungan dengan kesucian misalnya pemangku atau pinandita, tukang banten dan lain-lain. Secara logikanya kesucian akan dapat didekati atau diambil oleh orang yang memiliki kesucian. Mensucikan yang dimaksud adalah mensucikan diri dalam konteks tri premana dengan tri kaya parisudha. kesucian yang dimaksud bukanlah hanya sebagai suatu symbol melainkan harus secara sebenarnya dalam konteks penyucian idep atau pikiran, sabda atu perkataan, dan bayu atau perbuatan. Dengan demikian mewinten dimaksudkan adalah untuk mensucikan ketiga aspek dalam diri manusia tersebut. adapun sarana dan tata cara yang disebutkan dalam lontar ini yaitu mendirikan
17

sanggar tutuan dengan persembahan sesaji suci satu perangkat lengkap, daksuina dua buah, dewa dewi satu buah, sirih pinang satu tamas, sesayut gana, serta peras dengen, daksina satu buah berisi uang tiga keranjang di tempatkan di tutuan. Untuk banten tataban dalam lontar ini tidak ditentukan artinya artinya tidak ada ketentuan

keharusan jumlahnya. Untuk labaan orang yang diwinten yaitu pisang kayu 20 biji, bantalk lenga 20 buah, gagodoh 20 buah, bubur pradnyan, ditambah sirih pinang untuk pangurip ditulisai aksara Ka Ga Gha Nga Ya Ra La Wa. Yang diwinten ditulisi aksara nista, madya dan utama. Banten untuk pawedaan suci satu buah, peras, daksina, uang utamanya 8000, madya 4000, dan nista 1700.

12. Upacara Untuk Orang Meninggal Dalam lontar bacakan banten pati urip upacara untuk orang yang meningal dapat dikelompokan atau dikategorikan kedalam 2 tingkatan upacara yaitu atitiwa atau atiwa-tiwa dan yang kedua adalah atma wedana. Dalam lontar ini tidak ada disebutkan istilah ngaben, ngeroras tau nyekah. Akan tetapi apabila dilihat dari proses dan pelaksanaannya maka dapat dibandingkan yaitu proses atitiwa untuk orang

meninggal dapat dipadankan dengan ngaben dan atma wedana dipadankan dengan ngeroras, nyekah. Sementara menurut wariga dewasa seperti yang dinyatakan Sri Reshi Ananda Kusuma (2009b: 21-22) menyatakan bahwa ada tiga macam atiwa-tiwa yaitu Apratiwa, tandang mantra dan tumandang mantra. Proses atitiwa mulai dilakukan sejak seseorang meninggal dunia sampai ngirim. Setelah itu selesai dilanjutkan dengan atma wedana yang hari pelaksanaannya tidak dijelaskan dalam lontar ini kapan waktunya yang pasti pelaksanaan upacara tersebut yang dijelaskan hanya pelaksanaannya setelah upacara atitiwa selesai. Upacara atma wedana dalam lontar ini dinyatakan ada tiga tingkatan yaitu utama, madya dan nista. Untuk utama atwma wedana disebut dengan istilah baligia, tingkat madya disebut dengan tileman, dan nista disebut dengan ngeroras. Untuk tingkat utama dilaksanakan selama tiga hari dan pada hari ketiga tau puncak acara disebut dengan panguptian yaitu puspalinga diusung mapurwa daksina
18

sebanyak tiga kali setelah itu dinaikan dalam bukur beserta sangge. Untuk tingkat madya atau tileman ditandai dengan mendirikan sanggar tawang dengan jumlah ruang tiga upakara yang dinaikan sama hanya pada akhir purwa daksina puspe linga ditempatkan tidak mengunakan bukur tetapi madya dan sangge juga menyesuaikan dengan madya. Untuk tingkat nista upakaranya ditandai dengan mendirikan sangar tutuan beruang satu mempersembahkan suci satu soroh dengan saji lengkap. Di bawah tutuan dipersembahkan banten satu pajeg, jarimpen sumbu 2 buah, caru sor seperti pada patileman tata cara atmalinganya sama memakai sangge laki perempuan setelah melaksanakan purwa daksina sebanyak tiga kali dinaikan ditempatnya di sini tidak mengunakan bukur atau madya tetapi hanya mengunakan juli-julian yang arepannya sama dengan upacara tileman. Setelah dipujakan lalu diturunkan dengan tanpa membuat liwet . setelah dibakar dimasukan dalam kelapa gading muda di busanai kain putih lalu dihanyut. Di samping upacara tersebut di atas, dalam lontar ini juga dinyatakan beberapa upacara yaitu ngenteg pedagingan ibu dan runtutan pedamel. Semua yang dijelaskan tersebut adalah berkaitan dengan pura ibu dari pelaksanan ngenteg sampai urutan sajen dan persembahyangan di pura tersebut. pura ibu merupakan diyatakan sebagai pura kawitan atau pura tempat memuja leluhur. Sistematika rangkaian upacara dinyatakan setelah upacara atmawedana hal ini menunjukan bahwa dalam proses selanjutnya adalah menstanakan roh suci leluhur yang telah menjadi dewa pitara di pura ibu dengan pesimpangan sanggah tiap-tiap rumah masing-masing keluarga. Hal ini sesuai juga yang dinyatakan oleh Prof. Dr I Made Titib (2003:100) pura kawitan seperti sanggah, merajan, ibu, panti, dadya, batur, penataran, padharman dan yang sejenisnya. Sebagai pura kawitan sudah jelas pura ibu merupakan temnpat menuja leluhur. Mengingat leluhur telah menjadi dewa pitara menjadi suatu pemahaman yang sulit untuk mengklasifikasikan jenis upacara tersebut apakan termasuk dewa yadnya atau pitra yadnya.

19

III. Kesimpulan Sebagai salah satu lontar yang berisikan tentang uraian upacara dalam kehidupan sampai kematian umat manusia tentunya merupakan suatu hal yang penting bagi manusia. setiap upacara yang dilaksanakan tentunya memiliki suatu nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Secara intinya, sesuai dengan ajaran agama Hindu di dalam upacara terdapat pemersatuan tri kerangka dasar agama Hindu yang merupakan aspek dalam agama Hindu yaitu Tattwa, Susila atau ettika, dan upacara. Setiap upacara selalu memiliki landasan tatwa yang berisikan makna dari upacara tersebut. sedangkan etika atau susila merupakan aturan yang mendasari pelaksanaan upacara tersebut, sehingga mencapai keberhasilan dan kesempurnaan dan upacara merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam upacara itu

sendiri. Upacara yang dinyatakan dalam lontar banten pati urip pada dasarnya ada perbedaan dan persamaan dengan pengetahuan dan susasatra lainnya. dalam lontar ini hanya diuraikan mengenai upacara manusia yadnya dan pitra yadnya pada umumnya.

20

DAFTAR PUSTAKA Adeng Muchtar Ghazali.2011. Antropologi agama:Upaya memahami keanekaragaman kepercayaan, keyakinan dan agama. Bandung: Alfabeta

Ananda Kusuma, Sri Rsi. 2009a. AUM Upacara Manusia Yadnya. Kayumas Agung ____________________2009b. AUM Upacara Pitra Yadnya. CV Kayu Mas Agung Budha Gautama, Wayan .2003. Puja Stawa: Penunjang Pegangan Para Pemangku dan Balian. Surabaya: Paramita ______________(Penj).2008. Tutur Rare Angon. Surabaya: Paramita Jaya Wijayananda, Ida Pandita Mpu.2004a. Pitra Pakerti: Berbhakti Kepada Leluhur Disaat Beliau Meninggal Dunia. Surabaya: Paramita ___________________2004b. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita Pudja, Gede. 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: PAramita Suhardana, Komang. 2008. Tri Murti : Tiga Perwujudan Tuhan. Surabaya: Paramita _________________2010. Kerangka Upacara.Surabaya: Paramita Dasar Agama Hindu: Tattwa, Susila

.Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

21

You might also like