You are on page 1of 11

Korupsi Politik: Dampak Logis dari Demokrasi Borjuis Ditulis oleh Jesus S.

Anam Selasa, 18 Oktober 2011 17:04 Share Korupsi adalah tindakan yang masuk kategori kejahatan luarbiasa. Korupsi juga bisa disebut sebagai kejahatan beresiko tinggi. Kenapa beresiko tinggi? Karena sudah pasti akan memiliki dampak yang berat bagi kehidupan masyarakat.

Korupsi, secara umum, bisa didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Dalam negara borjuis-kapitalis seperti Indonesia, korupsi bisa berproduksi dengan lancar. Bahkan bisa dikatakan sebagai produk unggulan. Demokrasi, dalam pengertian normatifnya, mengacu pada ungkapan Abraham Lincoln, berarti pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari pengertian normatif mengenai demokrasi ini sebenarnya sudah memberi kesimpulan terang, bahwa pemerintahan dan segala asetnya adalah milik rakyat, bukan milik individu, partai, atau kartel bisnis tertentu. Tetapi pertanyaannya, kenapa praktek korupsi justru tumbuh subur di negara yang menganut filosofi agung tersebut? Di dalam suatu masyarakat, jika pemerintahan sudah dimonopoli oleh sekelompok tertentu, maka sekelompok tertentu tersebut akan menyalahgunakan posisinya untuk kepentingannya sendiri atau golongan. Dalam buku Negara dan Revolusi, yang ditulis Lenin pada tahun 1917, dirumuskan aturan-aturan fundamental untuk mengatasi praktek-praktek korupsi dan birokratisme di Uni soviet setelah revolusi terjadi. Hal ini tentu mengacu pada memori, sejarah dan tradisi yang pernah ada di negara-negara borjuis sebelumnya, suatu pemerintahan yang ramai dengan korupsi dan penipuan terhadap rakyatnya sendiri. Aturan-aturan fundamental dari Lenin tersebut mengatur di mana semua pejabat yang dipilih secara bebas dan demokratis bisa ditarik mundur setiap saat, mengatur agar pejabat tidak menerima gaji lebih tinggi dari seorang buruh terampil, membentuk tentara rakyat sebagai pengganti tentara reguler, posisi birokrasi negara harus digilir. Konsepsi fundamental di atas terbukti mampu menjadikan Uni Soviet pada masa Lenin dan Trotsky sebagai rejim yang paling demokratis di dalam sejarah politik. Kehancuran Uni Soviet setelah itu adalah hal lain. Pengkhianatan revolusi oleh Stalin kemudian meluruhkan sistem itu ke dasar jurang dan memancing para politisi Barat untuk membuat propaganda hitam atas sosialisme. Sifat korupsi tidak lepas dari sifat ekonomi-politik borjuis-kapitalis. Konsep demokrasi

borjuis adalah jalan lebar yang dibuat untuk memuluskan gerak roda ekonomi-politiknya yang eksploitatif dan koruptif. Di dalam negara monarki atau totaliter, korupsi memang menjadi tradisi. Tetapi di dalam negara demokrasi borjuis, praktek korupsi memiliki warna lebih buruk lagi. Dalam buku Corruption, Capitalism and Democracy yang ditulis oleh John Girling, dikatakan bahwa watak demokrasi liberal (borjuis) telah melahirkan korporasi politik. Politik, yang seharusnya menjadi arena bersama untuk menentukan nasib sebuah bangsa, telah bermetamorfosis menjadi perusahaan milik para pemegang modal. Pembicaraan mengenai politik kemudian menjadi pembicaraan tentang untung rugi dan investasi. Kontes politik di arena pemilu menjadi ajang pertarungan yang berbiaya mahal. Kelompok yang menang secara moral politik sah untuk mengeruk kekayaan negara guna mengembalikan besaran investasi yang telah ditanamkan plus laba. Akhirnya korupsi menjadi tindakan yang tak terelakkan. Korupsi politik merupakan dampak logis dari demokrasi borjuis. Demokrasi borjuis adalah demokrasi kepentingan. Partai-partai politik butuh sumber keuangan yang deras untuk sampai pada kepentingan-kepentingan itu. Sumber keuangannya tentu tidak cukup jika hanya mengucur dari iuran anggota dan simpatisannya. Partai-partai elit ini akan berusaha menempatkan orang-orangnya pada lini-lini politik strategis untuk bisa mendapatkan dana melalui kebijakan-kebijakan politiknya yang koruptif. Partai-partai tersebut akan berusaha memasukkan orang-orangnya pada ruang-ruang basah seperti di Badan Anggaran (Banggar) DPR atau di komisi-komisi strategis lainnya. Dalam sistem politik borjuis, yang hanya mengejar kekuasaan ekonomi dan politik untuk tujuan profit, membangun kader-kader yang loyal dan ideologis bagi partai-partai bukanlah sesuatu yang penting. Karena visi politik mereka bukanlah membangun sistem kehidupan yang adil, membangun peradaban yang luhur;, membangun kekuatan revolusioner untuk tujuan kemanusiaan. Pandangan politik mereka tidak sejauh itu. Mereka hanya butuh kekuasaan segera. Mereka butuh memapankan modalnya segera. Mereka akan membayar konstituen politiknya dari hasil korupsi, dari hasil merampok kekayaan negara, dari hasil merampok uang rakyat (pajak) yang diperuntukkan untuk pembangunan kesejahteraan. Sungguh parah! Masa depan negeri ini, sebagaimana kata pepatah, seperti telur di ujung tanduk. Cepat atau lambat akan jatuh dan pecah. Tetapi sebelum telur itu jatuh dan pecah, usaha-usaha revolusioner, sebagai tanggungjawab historis dari kelas buruh, harus segera dilakukan. Negeri yang sudah bangkrut dengan asetnya yang kocar-kacir ini benar-benar membutuhkan oksigen baru yang segar. Agar bisa keluar dari kebangkrutan, negeri ini butuh program ekonomi ternasionalisasi yang terencana. Namun program tersebut bisa direalisasikan setelah buruh berkuasa, setelah negara buruh eksis menjadi kekuatan tak tertandingi, setelah diktatur proletariat menggantikan diktatur borjuasi!

PARTAI TERJERAT KORUPSI


Posted: 9:42 PM, December 19, 2012

Memprihatinkan kondisi partai politik di Indonesia. Hampir hampir tidak ada satupun yang bersih dari kasus korupsi, termasuk partai politik yang selama ini mengusung visi sebagai partai yang paling bersih ternyata kader-kadernya banyak juga berlumuran korupsi. Data yang di publikasikan Kementerian Dalam Negeri terkait izin pemeriksaan terhadap anggota legislative baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota menunjukan tidak ada satupun partai politik yang memiliki kursi terlepas dari jeratan syahwat korupsi dari kadernya. Diluar partai-partai besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, maka selama kurun waktu 2004-2012 anggota DPRD Provinsi yang berasal dari partai politik lainnya tercatat ; PPP 40 orang, PAN 23 orang, PKB 16 orang, PKS 10 orang. Sementara anggota DPRD Kabupaten dan kota yang terjerat korupsi PPP 39 orang, PKB 30 orang, PAN 28 orang, Partai Hanura 28 orang, PKS 27 orang dan Partai Gerindra 19 orang.Dalam keadaan demikian sulit sekali pemilih untuk menjaga konsistensinya saat partai yang diyakini juga larut dalam pengkhianatannya kepada rakyat dengan melakukan korupsi. Masyarakat akan berpikir ribuan kali untuk terus mendukung partai yang juga secara terang-terangan dan terang benderang tanpa malu-malu kader-kadernya melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini.Wajar saja hasil survey yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dengan tema Kecenderungan Swing Voter Pemilih Partai Menjelang 2014 mengungkapkan hanya 15 persen saja pemilih di Indonesia yang memiliki kedekatan dengan partai politik. Maka 85 persen pemilih cenderung bebas terbang kesana-sini mencari partai politik yang memiliki komitmen kuat untuk menjadi penyalur aspirasi dan peningkatan kesejahteraannya. Meningkatnya massa mengambang (floating mass) merupakan kabar buruk bagi pembangunan politik dari sisi Institusionalisasi Politik. Indikasi ini mengisyaratkan mulai berbondong-bondongnya pemilih meninggalkan partai politik yang selama ini digandrunginya. Lihat saja data tingkat partisipasi politik yang terus menerus menurun dari tahun ke tahun. Tingkat partisipasi politik pemilih yang mencapai 90 persen awal reformasi sekarang ini sulit untuk bisa diangka 70 persen. Inilah tanda-tanda kehidupan demokrasi yang semakin amburadul apabila partai politik tidak segera memperbaiki positioning politiknya untuk kembali ke idealisme pendiriannya.

Kamis, 06 Oktober 2011


DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERKEMBANGAN DI INDONESIA Saat Ini di Indonesia sedang marak terjadi nya kasus korupsi yang dilakuakan oleh berbagai pejabat , institusi Negara , bahkan dalam berbagai kalangan kelas bawah. Bayangkan sudah berapa banyak kerugian yang sudah dialami oleh Negara, kerugian yang di tafsirkan sampai milyaran bahkan triliunan jg dalam bentuk kurs dollar , Jika terus seperti ini maka Negara kita , akan sulit untuk berkembang karena uang yang seharusnya dipakai untuk kepentingan umum mereka ambil untuk diri mereka sendiri.

Berikut adalah data para koruptor di televisi dan media massa


Pada 17 Oktober 2006,Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Data dan foto 14 belas koruptor tersebut direncanakan ditayangkan di televise dan media massa dengan frekuensi seminggu sekali. Mereka adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Sudjino Timan - Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Ejo Edi Putranto Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS) Samadikun Hartono Presdir Bank modern Lesmana Basuki Kasus BLBI Sherny Kojongian - Direksi BHS Hendro Bambang Sumantri - Kasus BLBI Eddy Djunaedi - Kasus BLBI Ede Utoyo - Kasus BLBI Toni Suherman - Kasus BLBI Bambang Sutrisno Wadirut Bank Surya Andrian Kiki Ariawan - Direksi Bank Surya Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani - Kasus BLBI Nader Taher- Dirut PT Siak Zamrud Pusako Dharmono K Lawi - Kasus BLBI GAYUS TAMBUNAN kasus pajak

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik .Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong untuk melakuakan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia . Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus kasus korupsi di Indonesia

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: 1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) 2.Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) 3. Kepolisian 4. Kejaksaan 5. BPKP 6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)
Diposkan oleh settho di 13.49

Korupsi Di Indonesia
April 9th, 2011 Related Filed Under KORUPSI Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Kondisi yang Mendukung Munculnya Korupsi: Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan teman lama. Lemahnya ketertiban hukum. Lemahnya profesi hukum. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau sumbangan kampanye. Dampak Negatif Demokrasi Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Ekonomi Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan lapangan perniagaan. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan

infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan. Kesejahteraan umum negara Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus pro-bisnis ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka. Bentuk-bentuk penyalahgunaan Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan. Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan. Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan. Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad): Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun menurut abjad): Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)

Tuduhan korupsi sebagai alat politik Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka. Mengukur korupsi Mengukur korupsi dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan. KORUPSI DI INDONESIA Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi di Indonesia Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. 1. Orde Lama Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960 Antara 1951 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaanperusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.

Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur. Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad. 2. Orde Baru Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971 Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis. 3. Reformasi Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001 Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: 1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) 2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) 3. Kepolisian 4. Kejaksaan 5. BPKP 6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW) C. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketua KPK adalah Antasari Azhar (Non Aktif),Saat ini KPK dipimpin secara kolektif. Era Kepemimpinan KPK : 1. KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007) Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah good and clean governance (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi. Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh island of integrity (daerah contoh yang bebas korupsi). Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai

penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%). Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu Barometer Korupsi Global, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33). Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu corruption by needs (korupsi karena kebutuhan), corruption by greeds (korupsi karena keserakahan) atau corruption by opportunities (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis. Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK. 2. KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009) Dimasa kepemimpinan Antasari Azhar telah banyak kasus-kasus besar korupsi terungkap terbukti banyak para pejabat pemerintah yang dipenjarakan karena kasus korupsi, hal ini terjadi karena kerjasama yang erat antara lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia. Namun perjalanan panjang pemberantasan korupsi kepemimpinan Antasari Azhar terhambat akibat sejumlah sekenario pelemahan KPK yang membuat Antasari Azhar di non aktifkan dari jabatannya. 3. Tumpak Hatorangan Panggabean (Plt Ketua) Mantan Pimpinan KPK Jilid I periode 2003-2007 ini Lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 29 Juli 1943, dan menamatkan pendidikan di bidang hukum pada Universitas Tanjungpura Pontianak. Seusai menamatkan bangku kuliah, bapak tiga anak ini memilih langsung untuk mengabdi kepada negara dengan berkarier di Kejaksaan Agung pada1973. Karier di kejaksaan meliputi Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Asintel Kejati Sulteng (1993-1994), Kajari Dili (1994-1995), Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik Pada JAM Intelijen (1996-1997), Asintel Kejati DKI Jakarta (1997-1998), Wakajati Maluku (19981999), Kajati Maluku (1999-2000), Kajati Sulawesi Selatan (2000-2001), dan SESJAMPIDSUS (20012003). Sosok pekerja keras ini pernah mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karua Satya XX Tahun 1997 dan Satya Lencana Karya Satya XXX 2003, kemudian diusulkan oleh Jaksa Agung RI untuk bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003. Setelah memimpin KPK periode pertama, pada 2008 Tumpak diangkat sebagai Anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Pesero) berdasarkan Keputusan Meneg BUMN, sebelumnya akhirnya dipilih oleh presiden untuk menduduki posisi pejabat sementara (Plt) pimpinan KPK bersama Waluyo dan Mas Achmad Santosa. SUMBER: http://my.opera.com/a6us/blog/show.dml/4944371 Rating: 0.0/10 (0 votes cast)

Rating: 0 (from 0 votes)

You might also like