You are on page 1of 23

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Gangguan Penghidu Indera penghidu/pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat

hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubanglubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior.1,2 Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati maka refrat ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya.2 Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita gangguan penghidu, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.2 1.2. Epistaksis Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri atau dengan tindakan sederhana yang dlakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak

segera ditolong dapat berakibat fatal. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba yang membuat penderita selalu ketakutan sehingga perlu memanggil dokter.2,3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Gangguan Penghidu

2.1.1. Definisi Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau).1 2.1.2. Anatomi dan fisiologi Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang di dalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius. Dengan bertambahnya usia, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel.2 Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak di bawahnya.

Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamili yang berhubungan dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria di dalam epitel.2 2.1.3. Pembagian Gangguan Penghidu Gangguan penghidu dapat terbagi atas :2,3 Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat mendeteksi bau. Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi pada orang tua. Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau Disosmia : distorsi identifikasi bau Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma. Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik ata kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang tua

2.1.4. Patogenesis Pada gangguan penghidu yang perlu diperhatikan adalah kerja dari sistem olfaktori yang merupakan ujung saraf, ditemukan pada membran mukosa atap hidung. Bagian ini disebut area olfaktori yang berada di bawah lobus frontal otak. Pada area olfaktori terdapat jutaan sel-sel olfaktori yang kecil. Masing-masing sel terdiri dari 12 silia, mukus mempermudah gerak silia. Mukus juga menangkap molekul bau-bau, lalu reseptor di silia menstimulasi molekul dan mengirim impuls saraf ke otak. Serat-serat saraf olfaktorius membawa impuls kedua bulbus olfaktori di otak. Informasi diproses di bulbi, kemudian dikirim ke korteks serebri. Setiap transmisi masuk ke pusat pembauan di otak, sehingga manusia bisa mencium bau. Seseorang yang memiliki penciuman yang baik dapat mengenali 10.000 bau-bauan. Sensasi rasa ini merangsang kelenjar ludah. Oleh karena itu, gangguan penghidu sering mempengaruhi sensasi rasa.1 2.1.5. Etiologi 1. Disfungsi pembauan Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus; dan trauma kepala.

2. Defek konduktif a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.

Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis kronik seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif. b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi

aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan keganasan. c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat

menyebabkan obstruksi. d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena

berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakeotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi. Hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini. 3. Defek sentral/sensorineural a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada

transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.

b.

Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ontogenesis struktur olfakorius dan

ditandai oleh anosmia akibat kegagalan hipogonadisme hipogonadotropik. c.

Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada

fungsi pembauan. d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat

menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia. e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan

sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung. f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi

pembauan. g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.

Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat. h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer

disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat

daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.2

2.1.6. Diagnosis Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat ISPA, patologi hidung atau sinus, riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum. Lakukan CT scan jika dipandang perlu. Seringkali dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI apabila riwayat penyakitnya tidak mendukung atau ditemukan gejala dan tanda neurologis sekunder. 2 A. Tanda dan Gejala Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan. Anosmia hanya dapat dikenali dengan menguji bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik biasanya mengeluhkan hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman.1,2 B. Temuan Fisik Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas, kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan adanya massa nasofaring atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari massa

hidung, jendalan darah, polip, dan peradangan membran hidung sangat penting. Bila ada, rinoskopi anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada rongga hidung dan nasofaring. Keberadaan telekantus pada pemeriksaan mata dapat mengarah ke massa atau peradangan di sinus. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran tiroid. Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensorimotorik sangat penting. Mood pasien secara umum harus dinilai dan tanda-tanda depresi harus dicatat.2 C. Temuan Laboratorium Walau tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium standar namun dapat dilakukan pemeriksaan alergi, DM, fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi endokrin, dan defisiensi gizi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Telah dikembangkan teknikteknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.2 D. Pencitraan CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.2 E. Pemeriksaan Sensorik

Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk :2 (1) Memastikan keluhan pasien (2) Mengevaluasi kemanjuran terapi (3) Menentukan derajat gangguan permanen.

Langkah pertama : menentukan sensasi kualitatif Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman : a. Tes Odor stix Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar. b. Tes alkohol 12 inci Tes ini untuk memeriksa persepsi kasar terhadap bau. Tes alkohol 12 inci menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung. c. Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) Scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar. d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi Bau ini paling mirip seperti bau coklat, pisang, bawang putih, atau jus buah, dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan

usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal. Langkah kedua : menentukan ambang deteksi Setelah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung. 2.1.7. Terapi A. Kurang Penciuman Hantaran Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1) Pengelolaan alergi (2) Terapi antibiotik (3) Terapi glukokortikoid sistemik dan topical (4) Operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.2 B. Kurang Penciuman Sensorineural

Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural. Namun penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi seng dan vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan. Karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasuskasus ini.2 C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia) Lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun menderita disfungsi penciuman. Belum ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun sangat penting untuk membicarakan masalah ini dengan pasien-pasien usia lanjut sehingga dapat menenangkan bagi pasien ketika seorang dokter mengenali dan membicarakan bahwa gangguan penciuman memang umum terjadi. Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh dengan mengidentifikasi masalah tersebut sejak dini. Insidensi kecelakaan akibat gas alam sangat tinggi pada usia lanjut, kemungkinan sebagian karena penurunan kemampuan membau secara bertahap. Merkaptan, bau busuk pada gas alam, adalah perangsang olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih tua dengan disfungsi penciuman mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan makanan-makanan yang lebih kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan jumlah garam dalam diitnya. Konseling dengan seksama dapat membantu

pasien-pasien ini mengembangkan strategi-strategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan membaunya.2

2.1.8. Prognosis Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya. Namun sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alasan yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade keempat, kelima, dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia. Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan bahan penyebabnya.2

2.2. Epistaksis 2.2.1. Definisi Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung. Epistaksis bukanlah merupakan suatu penyakit melainkan adalah gejala dari suatu penyakit.4 2.2.2. Anatomi Vaskuler Suplai darah cavum nasi berasal dari arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :4 1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang mendarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui

kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.

2.2.3. Klasifikasi Walaupun sirkulasi kavum nasi sangat kompleks, epistaksis biasanya dibagi atas pendarahan anterior atau posterior.5,6
o

Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri etmoid anterior.

Pleksus Kiesselbach menjadi sumber perdarahan yang paling sering pada epistaksis, terutama pada anak-anak, biasanya dapat berhenti sendiri (secara spontan) dan mudah diatasi.
o

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.

Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya arteri sfenopalatina. 2.2.4. Etiologi Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus

Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.4 Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.4,7 1. Lokal a. Trauma Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya karena mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.

b. Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis. c. Neoplasma Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadangkadang disertai mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik herediter. Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah, atau bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru. e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum

Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengerikan aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane mukosa septum dan menyebabkan perdarahan. f. Faktor lingkungan Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.

2. Sistemik
a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.

b. Penyakit kardiovaskuler Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arterisklerosis, nefritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya kurang baik. c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah d. Gangguan endokrin Wanita hamil, menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan epistaksis. 2.2.5. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.4,6 Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan pada posisi dan ketinggian yang memudahkan pemriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat penghisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah beku. Sesudah dibersihkan semua lapangan hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.4 Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang telah diberi larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara. Sesudah 5-10 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.4 Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.4 Pemeriksaan yang diperlukan berupa :4,6 1. Rinoskopi anterior Pemriksaan harus dilakukan secara teratut dari anterior ke posterior, vestibulum, mukosa hidung, septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat. 2. Rinoskopi posterior

Pemriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting untuk pasien dengan epistaksis berulang dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. 3. Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan hipertensi. 4. Rontgen sinus Rontgen sinus penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi. 5. Skrining terhadap koagulopati 6. Riwayat penyakit

2.2.6. Penatalaksanaan Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis :7 1. Menghentikan perdarahan 2. Mencegah komplikasi 3. Mencegah berulangnya epistaksis

Penanganan epitaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :8 1. Riwayat perdarahan sebelumnya 2. Lokasi perdarahan

3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak 4. Lama perdarahan dan frekuensinya 5. Kecendrungan perdarahan 6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 7. Hipertensi 8. Diabetes mellitus 9. Penyakit hati 10. Penggunaan antikoagulan 11. Trauma hidung yang belum lama 12. Obat-obatan misalnya aspirin dan fenilbutazon

2.2.6.1. Perdarahan anterior Jika lokasi perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus diberikan bersama denagn obat-obat topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazoline atau phenylephrine. Untuk perdarahan yang lebih aktif perlu diberikan anestesi topikal seperti lidocain dan tetrakain. Sebelum penatalaksanaan dilakukan harus diberikan obat-obat anestesi topical yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.5,6

2.2.6.2. Perdarahan posterior Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).4 Teknik pemasangan Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Belloq, dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.3,4 Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi a. etmoid anterior dan posterior dapat

dilakukan dengan membuat sayatan di dekat kantus medialis dan kemudian mencari kedua pembuluh darah tersebut di dinding medial orbita. Ligasi a. maksilla interna yang terletak di fossa pterigomaksila dapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior sinus maksila.3 2.2.7. Komplikasi Tindakan Akibat pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan sinusitis (karena ostium tersumbat), air mata yang berdarah karena darah mengalir secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia.4 Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Wain

Liz,

2006.

http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/

transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsp. Diakses tanggal 1 Desember 2008.

2. Kris,

2008.

http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/.

Diakses tanggal 1 Desember 2008. 3. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 2007. 4. Ikhsan M, 2001. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan Epistaksis. pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis. html. Diakses tanggal 1 Desember 2008. 5. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. Diakses tanggal 1 Desember 2008. 6. The Merck Manual, 2005. http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.html. Diakses tanggal 1 Desember 2008. 7. Arif Mansur, 2006. http://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/

epistaksis.htm. Diakses tanggal 1 Desember 2008. 8. Hilger Peter, 1997. Penyakit Hidung. Dalam Boies Buku

Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.

You might also like