You are on page 1of 5

PERFORMAN KAMBING PERAH PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN MALANG

Dairy Goat Performance Level In Different Places In The District Malang Langgeng Wahyono (NPM: 208.04.1.0005) Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Islam Malang Wonosobo-Ngadirojo-Pacitan e-mail: langit.masadepan@yahoo.com

ABSTRAK Ternak lokal asli Indonesia kambing Peranakan Etawah merupakan kekayaan negeri yang cukup penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil produknya sebagai sumber protein hewani maupun sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Namun sampai saat ini penyebaran kambing Peranakan Etawah ini masih sangat terbatas. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu pemeliharaan yang maksimal supaya pertumbuhanya dapat berkembang dengan baik. Salah satu penanganan yang harus dilakukan adalah dengan memperhatikan Performance dari kambing Peranakan Etawa dan kemungkinan faktor-faktor yang mempengaruhi Performance tersebut. hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam bidang berternak kambing Peranakan Etawah. Materi yang di gunakan menggunakan 90 peternak dan 90 anak kambing Peranakan Ettawa pada ketiga tempat dengan populasi kambing pada setiap lokasi sebagai berikut:Desa Jambangan kecamatan Dampit sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. Desa Wonorejo Kecamatan Lawang sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. Desa Mulyoasri Kecamatan Ampelgading sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing.Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini menggunakan metode Deskriptif. Dengan pengambilan data menggunakan obserfasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan performa kambing perankan ettawah di Kabupaten Malang dengan Fhitung = 0,76 Ftabel = 3,10 pada bobot lahir antar ketinggian (P<0,05) dan Fhitung = 16,54 Ftabel=3,10 pada bobot sapih antar ketinggian juga tidak terdapat pengaruh yang nyata (P<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pada ketinggian 796 m Dpl (Ampel Gading ) adalah daerah yang ideal untuk meningkatkan performance Kambing PE ditinjau dari ketersedian pakan hijauan yang tidak dibatasi oleh musim.

Kata kunci : Ketinggian tempat, Pertumbuhan, Bobot lahir dan Bobot sapih

ABSTRACT Indonesian native cattle crossbreed Etawah goat wealth of the country is a pretty important position, in terms of product yield as a source of protein as well as a source of income for the community. But until now the spread of crossbreed Etawah goats are still very limited. So to overcome this need maintenance so that maximum growth can thrive. One more thing to do is to look at crossbreed Etawa Performance of goats and the possible factors that affect the Performance. This research is expected to enhance the knowledge, insight and experience in the field of crossbreed Etawah goatling. The material is in use using 90 farmers and 90 goatling crossbreed Ettawa on third place with goat population in each location as follows: Pot sub Village Dampit by 30 farmers and 30 goatling. Wonorejo District Lawang village by 30 farmers and 30 goatling. Village District Ampelgading Mulyoasri by 30 farmers and 30 goatling. Data Collection Methods In this study, descriptive method. By taking data using obserfasi, interviews and documentation. The results of this study indicate that there is a performance difference goat crossbreed ettawah in Malang with Ftabel Fhitung = 0.76 = 3.10 between height on birth weight (P <0.05) and Fhitung = 16.54 F table = 3.10 in weight weaning between height also there is no significant effect (P <0.05). The results of this study indicate that the height of 796 m above sea level (Ampelgading) is an ideal area to improve performance in terms of PE goats feed forage availability is not limited by season. Keywords: Altitude, growth, birth weight and weaning weight

PENDAHULUAN Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing lokal Indonesia dengan kambing lokal dari India, yaitu antara kambing Kacang dan kambing Etawah, sehingga memiliki sifat diantara kedua tetua kambing tersebut (Atabany, 2001). Persilangan antara kedua kambing ini terjadi pada zaman penjajahan pemerintah Belanda di Indonesia. Hasil persilangan kedua kambing ini menghasilkan ternak kambing dengan tipe produksi dwi guna (penghasil susu dan daging). Kambing PE dapat beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia. Ternak lokal atau asli Indonesia seperti kambing Peranakan Etawah merupakan kekayaan negeri yang cukup penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil produknya sebagai sumber protein hewani yang bagus maupun sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Namun sampai saat ini penyebaran kambing Peranakan Etawah ini masih sangat terbatas dengan total populasi sekitar 11 juta ekor, tersebar tidak merata diseluruh wilayah Indonesia dan hanya 60%, dari populasi tersebut ada di Pulau Jawa dan Madura (Direktorat Jenderal Peternakan, 1992). Sehingga dari pernyataan tersebut dapat menjadi acuan pemeliharaan kambing tersebut supaya pertumbuhan dapat berkembang dengan baik. Pertumbuhan pada kambing menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa. Pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) . Pertumbuhan post natal biasanya dibagi menjadi pertumbuhan pra sapih dan pasca sapih. Pertumbuhan pra sapih sangat tergantung pada jumlah dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya Pada kambing , pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh bobot lahir, produksi susu induk, umur induk, jenis kelamin anak dan umur penyapihan. Pertumbuhan pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan, umur dan bobot sapih serta lingkungan seperti suhu udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan penyakit lainnya. Bobot sapih mempunyai korelasi positif dengan bobot lahir dan pertambahan bobot hidup harian (Lasley, 1978). Hal ini sama hal nya menurut Acker (1983) bahwa kambing anak yang mempunyai bobot lahir yang lebih berat akan tumbuh lebih cepat, sehingga akan mencapai bobot sapih yang lebih berat pula. Sebagai diutarakan oleh Kemp et al., (1988) yang menyatakan bahwa bobot lahir dapat dijadikan

tolok ukur untuk memprediksi pertumbuhan selanjutnya. Mengingat kompleksnya faktor yang mempengaruhi Performance pada kambing Peranakan Etawah maka pengamatan ternak secara langsung di lapang (pada daerah baru) menjadi penting untuk dilakukan. Sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap Performance Kambing Perah Pada Ketinggian Tempat Yang Berbeda di Kabupaten Malang . MATERI DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tiga tempat yaitu Lawang, Dampit dan Ampelgading Kabupaten Malang. Pada bulan Juli November 2012. Materi Penelitian Penelitian tentang perbedaan performance kambing peranakan etawa pada ketinggian tempat berbeda di Kabupaten Malang menggunakan 90 peternak kambing Peranakan Ettawa pada ketiga tempat dengan populasi kambing pada setiap lokasi sebagai berikut: 1. Desa Jambangan kecamatan Dampit 450 m Dpl sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. 2. Desa Wonorejo Kecamatan Lawang 500 m Dpl sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. 3. Desa Mulyoasri Kecamatan Ampelgading 769 m Dpl sebanyak 30 peternak dan 30 anak kambing. Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini menggunakan metode Deskriptif. Penelitian Deskriptif merupakan dasar bagi semua penelitian. Penelitian Deskriptif dapat dilakukan secara kuantitatif agar dapat dilakukan analisis statistik (Sulistyo- Basuki, 2006: 110). Dalam setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan pengumpulan data. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menurut Sulistyo-Basuki (2006: 147) meliputi: 1. Observasi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi langsung difokuskan pada pengamatan kandang kambing , menimbang ternak sesuai dengan variabel yaitu bobot lahir dan bobot sapih. 2. Wawancara Wawancara dengan setiap peternak terkait kondisi ternak, pakan, lingkungan, serta permasalahannya. 3. Dokumentasi Pemotretan bertujuan untuk mendokumentasikan semua aktivitas yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang valid.

HASIL PENEITIAN DAN PEMBAHASAN Bobot Lahir Antar Ketinggian Setelah dilakukan analisis Anova satu arah menggunakan perhitungan dengan Excel diperolah tabel Anova satu arah sebagai berikut : Dari perhitungan tersebut diperoleh hasil perhitungan Fhitung 0,7 dan F tabel 3,10 dengan taraf signifikasi 5% = 0,05. Karena Fhitung < Ftabel maka Ho Ditrima yang artinya tidak ada perbedaan berat lahir kambing peranakan etawah antar ketinggian berbeda. Setelah dilakukan uji BNT dapat dilihat secara signifikan bahwa berat lahir antar ketinggian tidak ada perbedaan dan selisih rata-rata tidak terlampau jauh sehingga dinotasikan dengan simbol huruf a. Tabel 2: Tabel Uji Bnt Berat Lahir Perlakuan K 450 K 769 K 500 Rataan 3,06 3,23 3,26 0,2 0,03 Selisih Notasi 5% a a a

Bobot Sapih Antar Ketinggian Setelah dilakukan analisis Anova satu arah menggunakan perhitungan dengan Excel diperolah tabel Anova satu arah sebagai berikut: Dari perhitungan tersebut diperoleh hasil perhitungan Fhitung 16,54 dan F tabel 3,10 dengan taraf signifikasi 5% = 0,05. Karena Fhitung>Ftabel maka Ho Ditolak yang artinya ada perbedaan berat lahir kambing peranakan etawah antar ketinggian berbeda. Setelah dilakukan uji BNT dapat dilihat secara signifikan bahwa bobot sapih antar ketinggia ada perbedaan dan terlihat selisih rata-rata sehingga dinotasikan dengan simbol huruf a dan b. Tabel 4. Tabel Uji BNT Berat Sapih
Perlakuan K 450 K 769 K 500 Rataan 17,86 20,16 21,06 2.3 0,9 Selisih Notasi 5% a b b

menggunakan uji BNT terlihat selisih rata-rata tidak jauh berbeda. Hal ini sebabkan ketersedian pakan hijauan yang melimpah dan didukung suhu udara (27oC 30oC) yang ideal untuk pertumbuhan anak Kambing Ettawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hafez (1968) yang menyatakan bahwa kambing akan menunjukan penurunan konsumsi pakan pada suhu 35oC. Kemudian Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa untuk daerah tropis lebih tinggi suhu lingkungannya untuk suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30oC. Kemudian Johnson (1985), menyatakan bahwa sumber daya manusia, sumber daya alam dan teknologi merupakan faktor saling terkait dalam pembangunan pertanian yang di payungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem. Tetapi menurut Mulyono (2003) bahwa kambing Peranakan Ettawa lebih cocok diusahakan di dataran sedang (500 700 m Dpl) sampai dataran rendah yang panas dengan suhu antara 21oC 25oC. Soegijatno (2003) menyatakan bahwa Faktor musim dan lokasi pemeliharaan ikut berpengaruh terhadap berat lahir anak, karena erat kaitannya dengan ketersedian hijauan dilapang. Pada musim hujan vegetasi yang tumbuh lebih beragam dan produksi hijauan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau, sehingga anak yang dilahirkan pada musim hujan berat lahirnya akan tinggi. Pengaruh iklim yang ekstrim terhadap ternak yaitu penurunan feed intake (pakan yang dimakan), ganguan terhadap pertumbuhan dan mengakibatkan kematian embrio dan adanya fetus yang kerdil (Williamson and Payne, 1993). Kurnianto, Johari dan Kurniawan (2007) melaporkan berat lahir kambing PE jantan sebesar 3,34+0,48 dan pada betina 3,12+0,44 kg. Secara umum, potensi genetik jantan terhadap betina dalam hal bobot lahir itu sendiri mempengaruhi perbedaan berat lahir jenis kelamin jantan dengan jenis kelamin betina. Faktor hormon androgen yang terdapat pada sistem hormonal kambing jantan diduga menyebabkan bobot lahir kambing PE jantan lebih tinggi dibandingkan dengan kambing PE berjenis kelamin betina. Pengaruh ketinggian tempat terhadap berat sapih Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot lahir di ketinggian tempat berbeda yaitu Ampelgading dengan ketinggian 769 m Dpl, Lawang dengan ketinggian 500 m Dpl dan Dampit dengan ketinggian 450 Dpl tidak ada perbedaan sangat nyata. diperoleh Fhitung 16,549 dan F tabel 3,10 sehingga sesuai dengan hepotesis Fhitung > Ftabel yang artinya Ha ditrima dan ada perbedaan. Setelah di uji ulang menggunakan uji BNT terlihat selisih rata-rata berbeda. Pada daerah Ampel gading dengan ketinggian 769 Dpl diperoleh rata-rata 20,16, pada daerah Dampit pada ketinggian 450 Dpl diperoleh rata-rata 17,86 dan pada daerah lawang dengan ketinggian 500 Dpl diperolah rata-rata 21,06. Rata-

PEMBAHASAN Pengaruh ketinggian tempat terhadap berat lahir Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot lahir di ketinggian tempat berbeda yaitu Ampelgading dengan ketinggian 769 m Dpl, Lawang dengan ketinggian 500 Dpl dan Dampit dengan ketinggian 450 Dpl tidak ada perbedaan secara nyata . diperoleh Fhitung 0,76 dan F tabel 3,10 sehingga sesuai dengan hepotesis Fhit < Ftabel yang artinya Ha Ditrima dan tidak ada perbedaan. Setelah di uji ulang

rata bobot Sapih pada daerah Lawang dengan ketinggian 500 Dpl relatif tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan peternak yang sebagian besar sudah mengetahui tentang manajeman pemberian pakan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (1985), yang mengatakan bahwa sumber daya manusia, sumber daya alam dan teknologi merupakan faktor saling terkait dalam pembangunan pertanian yang di payungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Menurut Makka (2004), model model yang dapat di replikasi diberbagai wilayah sesuai dengan kondisi agroekosistem dan pola usaha petani setempat.ketersedian pakan hijauan yang melimpah dan di dukung oleh suhu yang ideal (27oC 30oC) untuk pertumbuhan kambing. Kemudian berat sapih dapat digunakan sebagai evaluasi produksi susu induk, kemampuan memelihara dan kemampuan tumbuh anak kambing (Aryati, 2008). Tipe kelahiran juga turut mempengaruhi dalam pencapaian bobot sapih, hal ini lebih disebabkan karena terbatasnya produksi susu induk, sehingga induk jika punya anak kembar maka jumlah susu yang terbatas tersebut harus dibagi dua, beda halnya jika pada kelahiran tunggal seekor anak akan lebih banyak menerima susu sampai sebelum disapih, selain itu faktor induk juga sangat besar mempengaruhi bobot sapih (Toelihere, 1981). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa untuk daerah tropis lebih tinggi suhu lingkungannya untuk suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30oC. Johnson (1985), mengatakan bahwa sumber daya manusia, sumber daya alam dan teknologi merupakan faktor saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor pengerak suatu kesatuan sistem. Berat sapih atau berat umur 90 hari secara umum dapat di jadikan kriteria seleksi ternak. Berat sapih yang tinggi diharapkan akan menghasilkan laju pertambahan bobot badan pasca sapih yang tinggi pula (Elieser, dkk, 2006). Seleksi untuk meningkatkan berat sapih maupun bobot setelah sapih mengakibatkan peningkatan yang nyata terhadap efisiensi produksi (Kurnianto, dkk, 2007). Kesimpulan Berat lahir pada ketinggian yang berbeda (Ampelgading, Dampit, Lawang) terdapat perbedaan yang signifikan. Berat sapih pada ketinggian yang berbeda (Ampelgading, Dampit, Lawang) juga terdapat perbedaan yang signifikan. Untuk mendapatkan bobot lahir dan bobot sapih yang tinggi maka di sarankan ternak kambing dipelihara pada ketinggian 769 m Dpl (Ampelgading).

Saran Zona nyaman untuk mendapatkan Performance Kambing PE yang maksimal disarankan kambing dipelihara pada ketinggian 796 m Dpl, ditinjau dari ketersediaan pakan yang continuitas dan beragam, suhu udara pada ketinggian 796 m Dpl juga berperan terhadap kenyamanan dan khususnya produksi susu kambing PE. DAFTAR PUSTAKA Acker., D. 1983. Animal Science and Industry. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Anggorodi., R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Anggorodi., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta. Arikunto., 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Rhineka Cipta. Jakarta.

Arikunto., S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Atabany., A. 2001. Studi kasus produksi kambing Peranakan Ettawah dan kambing Seanen pada peternakan kambing PT Barokah dan PT Taurus Dairy Farm. Direktorat Jenderal Peternakan . 1992 . Buku Statistik Petemakan .1992. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Elieser., S, Doloksaribu. M, Mamalia. F dan Pamungkas. F. A. 2006. Produktifitas Kambing Hasil persilangan Kacang Dengan Pejantan Boer (Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Mortalitas). Eliezer., S., M. Doloksaribu, F. Mahmilia, A. Tarigan dan E. Romjali. 2006. Bobot Lahir Beberapa Genotip Kambing Hasil Persilangan. Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Sumatera Utara. http://peternakan.litbang.deptan.go.id Gatenby., dkk. 1994. Management of sheep in the Humid Tropic experiencies in north Sumatra. Second symposium on sheep production in Malaysia, 22-24 November 1994, Faculty of Vatenery Medicine and animal Science University Agriculture Malaysia, serdang. Center for Tipical Animal Production and disease Studies.

Hadi., S. 2000. Metodologi Research (Jilid I) Yogyakarta: Penerbit Andi. Hafez., E. S. 1968. Adaptation of domestic animals. Lea and Febinger, Philadelphia. Johnson., Bruce, F. dan Peter Kilby, 1985. Agriculture and Structural Transformation. Oxford University Press. New York.

Pamungkas., et al. 1994. Tampilan litter size dan persentase hidup sapih domba ekor gemuk yang berbeda dan faktor ketinggian tempat dan tingkat pola pemeliharaan. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Bogor, 25 26 Januari 1994. Balitnak, Ciawi- Bogor. hlm. 441 447. Smith., J,B. dan Mangkuwidjoyo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Cetakan Pertama. UI Press. Jakarta.

Kemp.,et al. 1988. Phenotypic and genetic parameter estimates for gestation length. Calving ease and birth weigh in Simental cattle. Can. J. Anim. Sci. 68: 291. Kurnianto., E., S.dkk. 2007. Komponen Ragam Bobot Badan Kambing Peranakan Ettawah di Balai Pembibitan Ternak Kambing Sumberrejo kabupaten Kendal. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. Kurnianto., E, Johari. S, Kurniawan. H. 2007. Komponen Ragam Bobot Badan Kambing Peranakan Etawa Di Balai Pembibitan Ternak Kambing Sumber rejo Kabupaten Kendal.eprints.undip.ac.id/.../EDKVariance _Component_32(4)2007p236-244.pdf. (Diakses tanggal 29 Desember 2012) Lasley.,1978. Genetics in Animal. Redwood Burn Limite, Trowbridge and Eshes, Butterworths, London. Makka Djafar, 2004. Tantangan dan Peluang Pengembangan Agribisnis Kambing Ditinjau dari Aspek Pewilayahan Sentra Produksi Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor. Mulyono., S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Cetakan Ke -V. Penerbit PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Soedjana., T.D. 1993. Ekonomi pemeliharaan ternak ruminansia kecil. Dalam: Produksi kambing dan domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta. hlm. 367- 417. Sulistyo-Basuki., 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Soegijatno., 2003. Pengaruh Makanan dan Hormon Gonadotropin Terhadap Jumlah dan Bobot Lahir Anak Kambing Lokal. Jurnal Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman: 5-10. Tillman,.A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekoedjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Williams IH., 1982. A Course Manual in Nutrition and Growth. Australian Vice ChoncellorsCommittee, Melbourne..

You might also like