You are on page 1of 291

F I L S A F AT M A N U S I A : S A M P U L

Manusia dalam wacana filosofis

Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi., C.W.P.
juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

K ATA P E N G A N TA R

ilsafat Manusia merupakan suatu refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan dengan rasional, sistematis, radikal, dan kritis, dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang paling asasi. Filsafat manusia sesungguhnya ingin menegaskan bahwa manusia selalu bergerak atau hidup bersama refleksi. Dalam refleksi itu, manusia kembali kepada diri sendiri dan kepada pengalaman dan keyakinan yang bersemi dalam hidup kesehariannya. Manusia adalah makhluk yang bertanya. Filsafat Manusia ini diharapkan pula dapat membantu mahasiswa fakultas psikologi untuk berfilsafat tentang manusia, tidak hanya sekadar belajar filsafat manusia; dan dengan demikian melanjutkan apa yang sudah dimulai dalam diri kita pada saat kita merefleksikan pengalaman kita sendiri. Sebelum berdirinya laboratorium psikologi yang pertama di Leipzig tahun 1879 oleh Wilhelm Wundt, psikologi mula-mula merupakan bagian dari filsafat, karena psikologi dibicarakan oleh filsuf-filsuf yang mempunyai minat terhadap gejala psyche atau jiwa. Dalam perkembangannya, psikologi kemudian memisahkan diri dari filsafat. Aliran-aliran psikologi modern yang kemudian muncul adalah behaviorisme dengan tokohnya John Watson, Gestalt dengan tokohnya Max Wertheimer, psikologi humanistik dengan tokohnya Maslow, psikologi kognitif dengan tokohnya George Miller, dan psikoanalisis dengan tokohnya Sigmund Freud. Sekalipun demikian, perkembangan psikologi dari masa lampau hingga kini tetap tidak terlepas dari pengaruh filsafat, utamanya filsafat manusia. Dalam modul ini banyak dianalisis lebih lanjut tentang aktualitas filsafat manusia dalam perkembangan psikologi. Tugas seorang ahli ilmu psikologi lebih berupa bertanya bagaimana suatu realitas psikis berfungsi, secara konkret, bagaimana sesuatu melakukan kegiatan, menurut aturan-aturan atau hukum tertentu. Misalnya, ia akan mencari hasil-hasil yang dapat diukur, seperti IQ inteligensi. Ukuran semacam itu tidak selalu mungkin, namun si ahli psikologi cenderung untuk mencarinya. Dalam hal psikologi tidak mampu lagi, ia harus menyajikan perkataan kepada metafisika seperti filsafat manusia. Sempat dicatat oleh Louis Leahy (2002), misalnya, bahwa Abraham Maslow adalah filsuf sekaligus ahli ilmu psikologi, namun mungkin derajat filsafatnya kurang dibandingkan dengan kompetensinya sebagai ahli psikologi. Menurut hemat saya, kemungkinan-kemungkinan semacam ini patut dipertimbangkan oleh seluruh mahasiswa fakultas psikologi, sarjana psikologi, dan psikolog. Modul Filsafat Manusia ini terdiri dari 14 (empat belas) bagian tematik. Modul ini pertama kali dipergunakan dalam Perkuliahan Kelas Karyawan Fakultas Psikologi Mercu Buana Angkatan Kedua Tahun 2009, dalam hal mana Satuan Acara Perkuliahan (SAP)nya sempat saya susun sendiri (lihat Lampiran II modul ini). Tujuan umum dan tujuan khusus tiap-tiap modul tematik terdapat dalam SAP terlampir. Selaku dosen mata kuliah dan penyusun modul ini, berdasarkan penelusuran dan penyelidikan yang cukup intensif dan ekstensif, menurut hemat saya, bila harus menentukan satu literatur dalam bentuk buku berbahasa Indonesia sebagai acuan utama (tanpa bermaksud untuk menjadi simplistis) bagi mahasiswa fakultas psikologi, maka sampai dengan saat ini di tanah airnya nampaknya belum ada literatur yang mampu mendekati dalam hal kualitas uraiannya seperti karangan filsuf Prof. Dr. Louis Leahy, S.J., yang berjudul Siapakah Manusia? Sintesis Filosofis tentang Manusia (Penerbit Kanisius, 2001). Pemikiran Louis Leahy tentang manusia sebenarnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sebagai seorang pemikir, Leahy dan pandangan-pandangannya masih dipengaruhi oleh pola pemikiran para pemikir sebelumnya.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

Louis Leahy seringkali mengutip pemikiran-pemikiran para filsuf dan teoris sebelumnya sebagai dasar pemikirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Louis Leahy sebenarnya berusaha membangun filsafatnya di atas teori-teori atau di atas pemikiranpemikiran yang sudah ada sebelumnya. Kendati demikian, tidak berarti Louis Leahy mengambil alih begitu saja pemikiran para filsuf yang lain. Sebagai seorang pemikir, Leahy juga mempunyai posisi pemikiran sendiri. Dalam banyak hal ia memang mendasarkan pemikirannya pada gagasan para filsuf yang lain, namun dia juga tidak jarang mengkritik pendapat dan gagasan para pemikir yang lain. Menurut saya, Louis Leahy merupakan seorang pemikir yang tidak berat sebelah dalam mengambil sikap terhadap persoalan yang melingkupi manusia. Hal itu terlihat dari sikap Louis Leahy yang tidak begitu saja menyetujui satu pendapat dan melawan pendapat yang lain. Sebaliknya, dalam menyikapi pelbagai persoalan yang muncul berkaitan dengan manusia, Louis Leahy senantiasa berusaha meletakkan dirinya dalam posisi yang seimbang. Dalam menanggapi soal-soal tentang manusia, Louis Leahy sama sekali tidak mendasarkan diri pada teori-teori yang melangit dan yang sulit diterima oleh kebanyakan orang. Melainkan, Louis Leahy berusaha memberi tanggapan yang praktis berdasarkan pengalaman hidup manusia sehari-hari. Sehingga tanggapan-tanggapan yang dilontarkan dapat dengan mudah dicerna oleh semua orang. Selain itu, karena dasar pemikiran Louis Leahy terutama adalah pengalaman hidup manusia, maka pemikiran Leahy menjadi sesuatu yang konkret. Hal-hal ini sangat penting bagi mahasiswa fakultas psikologi yang tengah mempelajari filsafat manusia.

Walaupun telah berupaya, saya menyadari bahwa tidak semua tema dalam tiap-tiap modul dapat terbahas tuntas. Melalui modul ini saya berupaya mengelaborasi lebih dalam serta lebih luas lagi pokok-pokok yang disajikan Louis Leahy dalam bukunya, minimal dalam parafrase; menambahkan tema-tema, seperti: permainan, filsafat feminisme, dan filsafat timur; serta mengembangkan secara serius sejumlah angle pemikiran tertentu yang dirasa urgen dalam situasi dunia dewasa ini, untuk semakin memperkaya perspektif kajian. Kendati demikian, apabila kita ingin mendalami pemikiran para filsuf tentang manusia, mesti tiba waktunya di mana kita tidak puas lagi dengan hanya membaca tentang para mereka dan pemikirannya. Kita ingin membaca tulisan para filsuf itu sendiri. Berhadapan dengan tulisan mereka sendiri, baru dapat kita rasakan gaya dan nada khas mereka. Kita juga akan mengerti bahwa rangkuman terbaik pun yang dibuat orang lain tidak dapat menggantikan ungkapan para pemikir itu sendiri. Oleh karena itu, selaku partner belajar, saya menganjurkan dengan kuat kepada para mahasiswa fakultas psikologi yang sedang menjalani perkuliahan filsafat manusia untuk melakukan eksplorasi, investigasi, dan analisis yang mendalam terhadap sebanyak mungkin teks-teks filsafat manusia dalam 14 (empat belas) kali tatap muka yang terbatas ini dalam suatu model proses pemecahan masalah bersama. Saya berterimakasih secara khusus kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Dr. A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.Psi., atas kesempatan, motivasi, sikap-sikap yang membesarkan hati, serta kepemimpinan yang beliau berikan kepada saya, tidak saja yang berkaitan dengan perkuliahan filsafat manusia tetapi juga sejak saya mulai berkarya di lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Untuk itu, saya berhutang budi pada beliau. Beberapa revisi yang tengah direncanakan adalah revisi atas soal-soal di akhir modul untuk memperkaya pemahaman. Soal-soal analisis akan jauh lebih diperbanyak. Di samping itu, saya memikirkan untuk membuat peta gagasan (mind map) terhadap seluruh isi modul ini sebagai semacam pegangan dan pemandu jalan, utamanya bagi yang baru pertama kali berkenalan dengan filsafat manusia. Ilustrasi-ilustrasi yang sudah ada pada modul kali ini akan pula ditambahkan. Segenap tegur sapa dan sumbang saran dari pembaca senantiasa saya nantikan dengan tangan terbuka. Selamat berfilsafat! Jakarta, Maret 2009 Juneman, S.Psi., C.W.P.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

D AF TAR I S I

Kata Pengantar . 2

FILSAFAT MANUSIA: Sampul..............................................................1 Filsafat Manusia.................................................................................1 Kata Pengantar..................................................................................2 Daftar Isi............................................................................................4 ..........................................................................................................7 Modul I........................................................................................7 Pendahuluan......................................................................................8 I. Mengapa Suatu Filsafat Manusia?................................................8 II. Kesulitan dan Perlunya Filsafat Manusia.....................................9 III. Apa yang Membedakan Filsafat Manusia dari Ilmu-ilmu Lain tentang Manusia?.........................................................................11 IV. Metode Filsafat Manusia..........................................................12 V. Objek Filsafat Manusia..............................................................16 VI. Nama Filsafat Manusia.............................................................17 VII. Ikhtisar....................................................................................17 Modul II.....................................................................................21 Bahasa.............................................................................................22 I. Mengapa Mulai (Pembahasan Filsafat Manusia) dengan Perbuatan Berbicara?...................................................................22 II. Apa yang Dimaksudkan dengan Berbicara dan Mengisyaratkan? ......................................................................................................24 III. Berbicara dan Mengisyaratkan Menunjukkan Keunggulan Manusia.........................................................................................28 IV. Masalah Bahasa dan Makna: Filsafat Bahasa Wittgenstein.....30 V. Masalah Bahasa Religius: Filsafat Analitis terhadap Pemakaian Bahasa Teologis............................................................................33 VI. Ikhtisar.....................................................................................36 Modul III....................................................................................39 Kehidupan........................................................................................40 I. Kodrat Manusia sebagai Makhluk Hidup....................................40 II. Manusia dan Badannya.............................................................41 III. Badan sebagai Jasmani yang Dirohanikan atau Rohani yang Menjasmani...................................................................................48 IV. Perkembangan Studi tentang Badan Manusia.........................51 V. Apakah Jiwa Merupakan Sesuatu yang Real?...........................55 VI. Manusia Mengatasi Batas-batas Kebertubuhannya.................59 VII. Ikhtisar....................................................................................60 Modul IV....................................................................................62 Pengetahuan....................................................................................63 I. Kompleksitas Pengetahuan Manusia..........................................63 II. Apakah Pengetahuan Itu?.........................................................68
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

III. Apa yang Diandaikan oleh Pengetahuan?................................70 IV. Kesesuaian (Konaturalitas) antara yang Diketahui dan Si Pengenal.......................................................................................72 V. Ikhtisar dan Matinya Epistemologi............................................73 Modul V.....................................................................................80 Afektivitas........................................................................................81 I. Kekayaan dan Kompleksitas Afektivitas Manusia......................81 II. Yang Bukan dan yang Merupakan Perbuatan Afektif................84 III. Kondisi-kondisi Afektivitas Manusia.........................................86 IV. Kesenangan Harus Dicurigai?..................................................87 V. Catatan tentang Cinta Akan Diri Sendiri dan akan Sesama Manusia.........................................................................................88 Modul VI....................................................................................94 Pengertian........................................................................................95 I. Apa yang Bukan Inteligensi Manusia.........................................95 II. Apa yang Bukan Seluruh Inteligensi Manusia...........................99 III. Tahap-Tahap Perkembangan Inteligensi................................100 IV. Kegiatan-kegiatan Inteligensi Manusia..................................102 V. Objek Inteligensi Manusia.......................................................105 VI. Fungsi Inteligensi dalam Konteks Dinamika Manusia............107 VII. Spesialisasi dan Bahayanya..................................................111 VIII. Ikhtisar.................................................................................113 Modul VII.................................................................................116 Kebebasan.....................................................................................117 I. Objek, Watak Kodrati, dan Keaslian Kehendak........................117 II. Aktualitas Ide Kebebasan........................................................120 III. Apakah Kebebasan Itu? Kebebasan Fisik, Moral, dan Psikologis ....................................................................................................122 IV. Argumen-argumen yang Membenarkan Adanya Kebebasan. 127 V. Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Vertikal......................132 VI. Kebebasan di Hadapan Determinisme-determinisme............133 VII. Determinisme dan Ketidakkoherenannya.............................143 VIII. Letak Persoalan Determinisme Dan Kebebasan..................143 IX. Ikhtisar ..................................................................................148 Modul VIII................................................................................150 Eksistensialisme.............................................................................151 I. Apakah Eksistensialisme Itu?...................................................151 II. Karl Jaspers.............................................................................151 III. Jean-Paul Sartre.....................................................................160 IV. Sren Aabye Kierkegaard......................................................166 V. Nicholas Alexandrovitch Berdyaev.........................................173 VI. Friedrich Wilhelm Nietzsche..................................................177 VII. Pengaruh Fenomenologi dan Eksistensialisme Terhadap Perkembangan Psikoanalisis Eksistensial dan Daseinsanalyse...183 VIII. Ikhtisar.................................................................................191 Modul IX..................................................................................193 Permainan......................................................................................194 I. Apakah Permainan Itu?............................................................194
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

II. Fungsi Permainan...................................................................196 III. Permainan dan Perlombaan...................................................197 IV. Permainan dan Kebudayaan..................................................198 V. Kritik atas Kebudayaan Modern..............................................200 VI. Permainan dan Pembebasan.................................................201 VII. Ikhtisar..................................................................................203 Modul X...................................................................................207 Sosialitas Manusia..........................................................................208 I. Manusia Bekorelasi dengan "Yang-Lain"..................................208 II. Aku Diadakan oleh Yang-Lain.................................................210 III. Aku Mengadakan Yang-Lain...................................................211 IV. Korelasi..................................................................................212 V. Permasalahan & Pandangan-pandangan................................212 VI. Ikhtisar...................................................................................217 Modul XI..................................................................................219 Historisitas Manusia.......................................................................220 I. "Histori" dan "Historisitas" Melawan "Nasib" dan "Fatalisme" 220 II. Arti Modern Istilah "Historisitas" ............................................226 III. Segi-segi dan Implikasi-Implikasi Historisitas.........................228 IV. Ikhtisar ..................................................................................232 Modul XII.................................................................................234 Kematian Manusia..........................................................................235 I. Dunia Akhirat: Persoalan yang Konstan dan Umum bagi Umat Manusia......................................................................................235 II. Lahirnya Manusia....................................................................237 III. Jiwa Manusia Tidak Dapat Direduksikan kepada Badan (Jiwa Manusia Bersifat Spiritual dan Sederhana; Jiwa Manusia Bersifat Kekal)..........................................................................................239 IV. Argumen-argumen Pokok mengenai Hidup Sesudah Mati.....241 V. Hidup Sesudah Mati: Masalah "Caranya"................................246 VI. Ikhtisar...................................................................................247 Modul XIII................................................................................249 Filsafat Feminisme.........................................................................250 I. Feminismus: Kelahiran Universalisme Perempuan yang Timpang .....................................................................................250 II. Tubuh, Identitas, Penindasan, Perjuangan, dan Pembebasan Tubuh Perempuan.......................................................................253 III. Feminismus: Menuju Kesadaran Subyek................................259 IV. Perempuan Indonesia: Perempuan Jawa?..............................261 V. Ikhtisar....................................................................................263 M....................................................................................................265 Modul IX..................................................................................265 Filsafat Timur.................................................................................266 I. Pemikiran Timur: Filsafat atau Kepercayaan?..........................266 II. Pemikiran Timur sebagai Filsafat............................................272 III. Filsafat Timur Selangkah Lebih Maju Dari Filsafat Barat?......277 Lampiran I: Soal-soal......................................................................285
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

Pendahuluan
Modul I

Sub Materi:
Mengapa Suatu Filsafat Manusia? Kesulitan dan Perlunya Filsafat Manusia Apa yang Membedakan Filsafat Manusia dari Ilmu-ilmu Lain tentang Manusia? Metode Filsafat Manusia Objek Filsafat Manusia Nama Filsafat Manusia Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

PENDAHULUAN

I. Mengapa Suatu Filsafat Manusia? Dewasa ini makin luas pengetahuan mengenai manusia. Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia tahu tentang pekerjaannya, tentang rumahnya dan keluarganya, dan tentang kepandaian dan kekurangan-kekurangannya. Ia membawa serta pengalaman dan macam-macam warisan; ia menyusun rencana dan proyekproyek baru. Aneka unsur dan aspek keadaan manusia diselidiki secara metodissistematis di dalam pelbagai ilmu pengetahuan; dan kemudian pengetahuan itu dipergunakan secara terarah di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, ilmu-ilmu eksakta meneliti manusia menurut unsur-unsur yang menyerupakannya dengan halhal bukan manusiawi. Unsur-unsur yang lebih khas manusiawi dipelajari oleh ilmuilmu sosial, seperti ilmu sejarah, sosiologi, ilmu hukum, psikologi, dan antropologi budaya. Namun, semua ilmu pengetahuan itu, dan pada umumnya seluruh hidup sehari-hari, tidak sampai mempersoalkan taraf dan bidang pengetahuan mengenai yang paling dasariah. Pengetahuan itu selalu diandaikan saja sebab dianggap jelas dan eviden. Pengetahuan itu ialah pemahaman apa dan siapa sebenarnya manusia. Sebetulnya dasar itulah yang paling dikenal manusia, sebab tidak ada yang lebih intim dan karib bagi kita daripada berada-manusia kita sendiri. Pemahaman fundamental itu mendasari segala kegiatan dan pengetahuan kita, dan dengan tetap meresapinya seanteronya pula. Namun, di dalam pengetahuan sehari-hari, dan yang ilmiah pun, dasar manusia ini hanya dipahami secara implisit saja, dan dengan tersembunyi di dalam gejala-gejala lain. Pengertian yang terpendam itu disebut pra ilmiah atau pra refleksif. Pengertian ini melulu merupakan suatu conscientia, yakni pengetahuan sambilan saja. Kesadaran ini menyertai dan mengiringi segala pengertian dan kegiatan manusia; tidak merumuskan inti itu dengan jelas, melainkan hanya diketahui dengan intuisi atau pengalaman konkret. Sejak dahulu kala, orang berusaha menyelami dan menjelaskan inti manusia itu. Filsafat ialah ilmu yang menyelidiki dan mentematisasi kesadaran mengenai inti itu. Filsafat berusaha menguraikannya sebagai objek langsung dan eksplisit (objek formal). Filsafat bermaksud mengeksplisitkan, membeberkan, dan menjelaskan hakikat manusia itu. Filsafat berikhtiar agar pengertian akan inti itu, yang hanya tersirat saja, menjadi tersurat.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

II. Kesulitan dan Perlunya Filsafat Manusia Sebagaimana tergambar sebelumnya, filsafat manusia adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan: Siapakah manusia itu? Apakah hakikat manusia? Bagaimanakah hubungannya dengan alam dan sesamanya? Dengan kata lain, filsafat antropologi berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi, eksistensi, status, maupun relasi-relasinya. Sebenarnya, sudah sejak zaman purba, manusia dipersoalkan secara filsafati. Pythagoras mengajarkan keabadian jiwa manusia dan perpindahannya ke dalam jasad hewan apabila manusia telah mati, dan jika hewan itu mati akan berpindah lagi ke jasad lainnya, demikian seterusnya. Perpindahan jiwa yang demikian itu merupakan suatu proses penyucian jiwa. Jiwa itu akan kembali ke tempat asalnya di langit apabila proses penyuciannya telah selesai. Untuk membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manusia harus berpantang terhadap jenis makanan tertentu, taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan persekutuan Pythagorean, bermusik, dan berfilsafat. Demokritos (460-370 SM) mengajarkan bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun adalah materi yang terdiri dari atom-atom khusus yang bundar, halus dan licin, oleh sebab itu tidak saling mengait satu sama lain. Demikian juga atom-atom yang berbentuk lain. Dengan demikian, atom-atom jiwa gampang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya dan menyebar ke seluruh tubuh manusia. Plato (428-348 SM) mengajarkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh adalah musuh jiwa. Karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada di dalam tubuh yang demikian itu, maka tubuh merupakan penjara jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu nous (akal), thumos (semangat), dan epithumia (nafsu). Karena pengaruh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh. Aristoteles (384-322 SM) menyatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu. Tubuh adalah materi, dan jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka konsekuensinya ialah pada saat manusia mati, baik tubuh maupun jiwa, kedua-duanya mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah akhir dari segala-galanya. Namun, Aristoteles juga mengakui bahwa ada bagian dari jiwa itu yang tidak dapat mati. Selanjutnya. dualisme Descartes (1596-1650) menegaskan bahwa tubuh dan jiwa adalah dua hal yang sangat berbeda dan harus dipisahkan. Tubuh adalah Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 9

suatu mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang begitu kompleks. Adapun jiwa adalah sesuatu yang tidak terbagi, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ditandai oleh kegiatan rohani, seperti berpikir, berkehendak, dan sebagainya. Kendati berbeda dan terpisah, tubuh dan jiwa itu memiliki pertautan yang erat satu sama lainnya, bagaikan kapal dan juru mudinya. George Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa jiwa manusia adalah pusat segala realitas yang tampak. Penolakannya terhadap materi menunjukkan bahwa Berkeley adalah seorang spiritualis. Akan tetapi, idealisme subjektif spiritualis Berkeley tidak berpangkal pada yang abstrak, melainkan pada yang konkret, yang diperoleh lewat pengamatan indrawi. Sesuatu itu dikatakan ada karena dapat dilihat dan dirasakan. Jadi, kebenaran sesuatu itu tergantung pada yang melihat dan yang merasa. Yang melihat dan yang merasa itu adalah yang hadir dalam tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak lebih dari tanda kehadiran roh. Sebaliknya, Feuerbach mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Allah. Demikian pula di balik tubuh tidak ada jiwa. Jelas terlihat bahwa Feuerbach adalah seorang materialis karena ia menyangkal segi rohani manusia. Feuerbach sendiri tidak mau menyebut melainkan ajarannya organisme. sebagai materialisme, bahwa Ia menyatakan

manusia bukan mesin seperti yang diajarkan oleh penganut materialisme. Feuerbach menunjukkan bahwa ia menolak materialisme dengan mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang organis. Selaku makhluk hidup yang organis manusia senantiasa berhubungan secara konkret dengan sesamanya. Ungkapan itu sekaligus menunjukkan status manusia. Feuerbach menandaskan bahwa tubuh menunjukkan manusia sebagai makhluk yang tidak tertutup dalam dirinya sendiri dan yang dengan akal budinya menyadari bahwa ia senantiasa berada dalam relasi akuengkau. Sebagaimana kita lihat sepintas di atas, apa yang dikatakan oleh para filsuf hingga kini tentang manusia tidaklah tanpa menimbulkan keragu-raguan. Mereka telah menyajikan pelbagai konsepsi tentang manusia yang tampaknya saling bertentangan, malahan di antara mereka itu telah melakukan banyak kesalahan yang mengecewakan. Namun demikian, pertentangan-pertentangan ini dapat bermanfaat, asalkan saja orang mampu mengatasinya dan menemukan titik-titik
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

10

pandangan yang mendamaikannya: itulah salah satu tugas filsafat. Adapun kesalahan-kesalahan para filsuf tidaklah begitu kasar seperti yang digambarkan oleh pengetahuan dangkal tentang sejarah filsafat. Bagaimanapun juga, kebanyakan telah dinuansakan, atau dikoreksi satu demi satu, sepanjang abad, oleh para filsuf yang lebih mendalam atau lebih cemerlang pengetahuannya daripada mereka yang dituduh bersalah tadi. Sedemikian sehingga filsafat, seperti halnya dengan ilmuilmu pengetahuan lain serta sejarah, setapak demi setapak mengatasi sendiri kesulitan-kesulitannya, dan dari zaman ke zaman dapat mencapai suatu pengertian tentang manusia dan dunia yang selalu menjadi lebih berbobot dan mendalam. Alangkah sayangnya kalau orang tidak mau menerima pandangan-pandangan yang begitu banyak dan mendalam sekali, tentang manusia, yang tak henti-hentinya dikemukakan oleh para filsuf sejak zaman Plato dan Aristoteles, sampai MerleauPonty, Roicoeur, Heidegger, Lvinas, Marcel, Derrida, dan lain-lain.

III. Apa yang Membedakan Filsafat Manusia dari Ilmu-ilmu Lain tentang Manusia? Ilmu-ilmu manusia yang lain, seperti misalnya antropobiologi, sosiologi, psikologi, juga menyelidiki manusia. Berdasarkan gejala-gejala dan data-data yang dapat disimpulkan dengan metode-metode positif, dirumuskan hukum-hukum tetap dan disusun teori-teori umum yang sungguh-sungguh memberikan pemahaman mengenai manusia pula. Namun, ilmu-ilmu itu tidak mengajukan pertanyaan sedalam seperti diselidiki di dalam filsafat: apakah manusia, apakah cinta kasih, apakah kebebasan. Ilmu-ilmu yang lain itu tidak mempunyai maksud menyelidiki aci-acian yang paling fundamental melainkan diandaikan saja. Mereka menyelidiki gejalagejala itu dengan lebih dangkal. Misalnya, psikologi eksperimental menelaah reaksi mata, daya ingatan, kemampuan belajar; dalam ilmu hayat, senyuman diterangkan sebagai gerak otot; psikologi klinis mempelajari proses-proses dan bidang-bidang kesadaran manusia. Oleh sebab itu, konsep-konsep dan istilah-istilah yang dipakainya juga tidak diteliti sampai pada akarnya tetapi diartikan sesuai dengan pemahaman pada taraf ilmu itu sendiri. Memang, jikalau dibandingkan dengan ilmu-ilmu positif, filsafat manusia hampir tidak atau mungkin samasekali tidak memberikan informasi baru tentang manusia. Yang diberikan ialah insight yang radikal dan mutlak mengenai hakikat manusia sehingga semua data positif menerima kerangka dan latar belakang yang kukuh. Justru pemahaman sendiri itu lebih mendalam.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

11

Data-data positif dari ilmu-ilmu manusia dapat dipakai oleh filsafat sebagai contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi untuk uraiannya sendiri; sebab, jika memang benar, mereka akan cocok dengan struktur-struktur yang ditemukan filsafat. Ilmuilmu itu juga dapat memberikan rangsangan psikologis untuk mempelajari soalsoal tertentu, ataupun untuk mencari jalan-jalan ke jurusan tertentu. Namun, pengaruh ini tetap bersifat ekstrinsik saja; dan ilmu filsafat wajib menemukan simpulsimpulnya sendiri dengan memakai metodenya sendiri. Sebaliknya, filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk atau peringatan kepada ilmu-ilmu positif tentang halhal atau pola-pola yang dialpakannya sebagai pengaruh psikologis-ekstrinsik. Namun, ilmu-ilmu itu berkewajiban menyelidiki soal-soal menurut metodenya sendiri, tanpa dipengaruhi secara logis, dengan mengambil alih hasil-hasil filsafat manusia.

IV. Metode Filsafat Manusia Filsafat manusia tidak mampu menemukan fakta-fakta baru, tidak memberikan informasi baru mengenai manusia. Hanya berusaha memberikan insight radikal mengenai fenomen-fenomen. Oleh karena itu, filsafat selalu bersifat refleksi (Gabriel Marcel: reflexion seconde). Refleksi ialah pengetahuan manusia jika melengkungkan diri kembali kepada diri sendiri dan merenungkan kesadaran mengenai diri, mengenai kegiatannya, dan mengenai objeknya. Berhubungan dengan sifat refleksif itu, sesaat pun filsafat manusia tidak boleh dan tidak lepas dari fenomen-fenomen. Selalu berefleksi mengenai kenyataan manusiawi dan mengenai manusia seluruhnya. Satu gejala pun tidak boleh diabaikan. Tidak ada jalan lain untuk menemukan kembali inti realitas dan pengalaman dasar daripada melalui la perception (M.Ponty), yaitu melalui pengamatan; dan tidak ada hal lain yang mau dijelaskan kecuali realitas kehidupan manusia yang konkret. Di dalam filsafat manusia, refleksi itu dilaksanakan menurut bermacam-macam metode. Masing-masing metode sebenarnya juga memiliki latar belakang filosofis. Sekurang-kurangnya menghasilkan suatu filsafat pengetahuan atau epistemologi sendiri; bahkan biasanya memperkembangkan suatu filsafat sistematis yang lengkap. Itu karena metode dan objek dalam ilmu pengetahuan mana saja tidak dapat dipisahkan dan saling ditentukan. Hanya diajukan beberapa metode pokok, tanpa menyinggung filsafat yang melatarbelakanginya. Metode Kritis (Negatif)
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

12

Metode kritis bertitik tolak dari pendapat filsuf-filsuf lain, atau juga dari teori-teori ilmu-ilmu lain, atau pula dari keyakinan-keyakinan sehari-hari yang agak sentral. Diselidiki konsistensi teori-teori atau keyakinan-keyakinan itu, yaitu apakah unsurunsurnya dapat disesuaikan satu sama lain atau tidak. Jikalau mungkin, ditunjukkan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Atau diperlihatkan bahwa jikalau jalan pikiran demikian dilangsungkan dengan konsekuen, akan tercapai suatu kesimpulan yang terang-terangan absurd. Atau dibuktikan bahwa pandangan tersebut tidak dapat dicocokkan dengan data-data lain. Dengan jalan demikian, disusun suatu pemahaman sendiri yang lebih memuaskan. Pada umumnya, metode ini tidak membawa orang ke arah pemahaman yang benar-benar positif. Kesimpulan-kesimpulan hanya tercapai karena pemecahanpemecahan lain disingkirkan satu per satu, dengan metode asimilasi. Metode Analitika Bahasa (Linguistic Analysis) Metode analitika bahasa bertitik tolak dari bahasa sehari-hari (the ordinary language), menyelidiki hubungan antara bahasa dan pikiran, dan guna bahasa bagi ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebagai metode, analitika bahasa terutama meneliti bermacam-macam permainan bahasa (language games) yang de facto dipergunakan orang di berbagai bidang. Lalu berusaha membahas cara pemakaian bahasa itu; dan membersihkan darinya kekaburan, unsur dwiarti dan metaforis, dan semua corak bukan-logis. Sampai akhirnya berusaha pula menyusun bahasa buatan yang bersih dan serba logis, yaitu logika terformalisasi atau logistik (mathematical atau symbolic logic). Bahaya metode ini ialah membekukan bahasa yang sudah ada, dengan tidak mengizinkan atau mengakui perkembangan pengungkapan dan pemahaman yang baru dan kreatif. Apalagi, pengertian apakah yang logis itu pada umumnya terlalu ditentukan oleh gaya ilmu eksakta. Padahal, setiap ilmu mempunyai dan memperkembangkan logikanya sendiri-sendiri. Metode Fenomenologis Metode fenomenologis dirintis oleh Husserl (1859-1938) dengan semboyan: zuruck zu den Scahen selbst, artinya: kembali kepada hal-hal sendiri, atau kepada apa adanya, tanpa mulai dengan salah satu interpretasi apriori. Perincian metode ini berlain-lainan dan tergantung pada filsuf yang mempergunakannya. Bentuk yang paling berpengaruh ialah yang seperti sekarang dipakai dalam mazhab 13 fenomenologi eksistensial (Heidegger, M. Ponty, Sartre, dan lain-lain).
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

Setiap pengungkapan jelas, entah sehari-hari entah ilmiah, yang semua disebut Ponty suatu expression seconde, akhirnya berakar di dalam suatu pengalaman langsung yang bersifat prailmiah dan pra-refleksif. Pengalaman yang asli itu berisi utuh dan kaya, tetapi dalam pengungkapan biasa atau ilmiah pun hanya muncul secara sempit dan cacat. Metode fenomenologis berusaha menemukan kembali pengalaman asli dan fundamental itu melalui beberapa langkah atau penjabaran (reduction) tertentu:

a. Gejala atau fenomen hanya diselidiki sejauh disadari secara langsung dan
spontan sebagai yang lain dari kesadaran sendiri.

b. Apalagi fenomen itu hanya diselidiki sejauh merupakan bagian dunia yang
dihidupi sebagai keseluruhan (lebenswelt atau lived-world), dan bukan menjadi objek bidang ilmiah yang terbatas. Maka segala gejala dan pengungkapannya, entah ilmiah entah sehari-hari, dianalisis menurut prinsip-prinsip tadi. Lalu dibersihkan dari segala penyempitan atau interpretasi yang berat sebelah dan terlalu dangkal; sampai akhirnya ditemukan dasar asali untuk gejala-gejala itu. Dengan proses penyelidikan itu, lama-kelamaan tampaklah kembali susunan dunia manusiawi yang benar, yang selalu telah dialami. Pada Heidegger dan Sartre, metode fenomenologis itu diperluas dan dikembangkan menjadi metode yang sungguh-sungguh metafisis. Metode (Metafisik-) Transendental Metode transendental dirintis oleh Joseph Marechal (1878-1944) dengan melangsungkan pola pemikiran Kant; dna kemudian dipergunakan antara lain oleh K. Rahner, A. Marck, B. Lonergan, Coreth, Lotz. Kadang-kadang juga disebut metode kritis, tetapi menurut arti yang berlainan dengan hal yang diurai di atas tadi. Metode ini bertitik tolak dari fakta kegiatan berbicara dan berpikir di dalam manusia. Di dalam setiap pernyataan termuat pengandaian-pengandaian yang ikut menentukannya secara operatif (dengan aktif bekerja); dan walaupun hanya hadir secara implisit saja, pengandaian-pengandaian itu di-ia-kan saja dalam setiap pengungkapan. Maka, analisis transendental menyelidiki pengandaian-pengandaian operatif yang implisit itu, dan mencari syarat-syarat apriori (the a priori conditions) yang mutlak perlu untuk memungkinkan kegiatan atau pernyataan seperti itu, baik pada pihak manusia sendiri yang berbicara, maupun pada pihak objek yang dinyatakan. Dengan demikian, ditemukan dan dieksplisitasikan struktur-struktur Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 14

hakiki di dalam manusia dan dunianya yang merupakan akar mutlak-konstitutif untuk kegiatan manusia itu. Tahap ini disebut reduksi transendental. Tahap kedua ialah pemutarbalikan (retortion), sebagai pembuktian keharusan mutlak yang berlaku untuk syarat-syarat apriori tadi. Setiap pengingkaran atau kesangsian eksplisit mengenai syarat-syarat itu telah dibohongkan secara implisit. Sebab, justru kegiatan pengingkaran atau kesangsian tadi sudah mengandaikan pula hal-hal yang diingkarkan atau disangsikan. Jadi, diperlihatkan bahwa ada ketidaksesuaian fundamental antara adanya pernyataan sendiri dan isi pernyataan. Tahap ketiga ialah deduksi transendental. Pegangan yang telah terdapat di atas diterapkan kembali pada fenomena dan sifat-sifat manusia; dibicarakan semua gejala sentral yang secara tradisional di dalam filsafat. Jikalau rupanya ada pertentangan antara beberapa pernyataan mengenai manusia itu, maka isi pernyataan dibandingkan (dikonfrontasikan) dengan pengandaian-pengandaian yang dinyatakan secara implisit di dalam kegiatan itu sendiri (retortion). Lalu entah pengandaian-pengandaian sendiri mungkin perlu dibetulkan; atau, kalau pengandaian-pengandaian fundamental itu betul, cukup saja merumuskan kembali si pernyataan sesuai dengan dasar lebih dalam yang telah ditemukan. Pada umumnya, metode yang dipergunakan di dalam filsafat manusia tergantung pada gaya dan tabiat masing-masing filsuf. Seorang filsuf, misalnya, dapat menggunakan suatu metode metafisik yang sangat serupa dengan metode transendental. Berpangkal dari fenomena konkret diupayakan mencapai satu pemahaman fundamental dan sentral yang telah mengandung seluruh struktur pokok seperti dihayati manusia. Kemudian, semua aspek yang termuat di dalam inti itu dieksplisitasikan tahap demi tahap, menurut susunan sistematis. Refleksi itu terus-menerus berusaha bersentuhan dengan fenomena janganjangan kehilangan hubungan dengan realitas konkret yang justru ingin dijelaskan. Akhirnya, semua fenomen seharusnya dapat disesuaikan dengan pemahaman yang dihasilkan penyelidikan ini. Dengan demikian, juga metode fenomenolois tidak diabaikan, melainkan diintegrasikan sedapat mungkin. Refleksi metafisis ini berusaha menerangkan gejala-gejala kenyataan manusia. Proses penyelidikan ini lalu tidak akan menerima dengan percuma dan tanpa ujian semua pengartian istilah-istilah tradisional. Filsafat bersifat vorauszunglos; artinya filsafat tidak mengandaikan sesuatu apapun, tidak dari pengertian sehari-hari, tidak dari ilmu-ilmu lain, bahkan tidak dari filsuf siapa pun. Data-data, keteranganketerangan, teori-teori itu semua melulu dipandang sebagai pernyataan, tantangan, persoalan, bahan penyelidikan saja; dan secara metodis dan teratur dicurigai semua.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

15

Pertangguhan atau suspension peng-ia-an ini disebut juga e poche, yaitu hal menghindarkan diri dari keputusan dahulu. Sifat berusaha menemukan arti dasariah dan radikal dari semua istilah yang dipergunakan itu. Dengan jalan ini, kenyataan yang ditemukan kerap cukup berbeda dengan pengertian sehari-hari, sebab itu terbukti cukup dangkal dan berat sebelah. Dengan demikian, metode metafisis ini juga berdekatan dengan metode analitika bahasa. Metode kritis yang telah bersifat negatif hanya dipergunakan dengan sangat terbatas. Berkali-kali akan dilaporkan pandangan-pandangan dan pemecahanpemecahan yang telah diberikan oleh ahli-ahli filsafat lain; dan kemudian juga kerap diberikan bahasan yang pendek. Namun, dianggap lebih perlu memberikan uraian positif menurut metode tersebut di atas ini, untuk mencapai insight yang lebih mendalam.

V. Objek Filsafat Manusia Bagi filsafat manusia, semua gejala atau fenomena manusiawi merupakan objek material. Mereka dianggap sebagai bahan atau materi untuk penyelidikan. Phainomenon berasal dari kata Yunani phainomai, yang berarti menampak. Filsafat manusia tidak berhenti pada fenomena itu, melainkan bermaksud menerobos mereka sampai pada dasarnya. Di bawah dan di dalam gejala yang beraneka warna dan yang berubah-ubah itu dicari akar-akar yang memungkinkan keanekaan dan perubahan itu. Inti yang bersifat tetap dan mutlak itu disebut numin; noumenon berasal dari kata kerja noeoo (berpikir), dan berarti yang dipikirkan. Dengan demikian, objek formal bagi filsafat manusia ialah struktur-struktur hakiki manusia yang sedalam-dalamnya, yang berlaku selalu dan di mana-mana untuk sembarang orang. Hakikat manusia sebagai objek filsafat manusia ini meliputi dua aspek:

a. Manusia mau dipahami seekstensif atau seluas mungkin. Bukan berupa sifat
atau gejala saja, seperti misalnya berjalan, bekerja, malu, rasa takut, cinta kasih. Pemahaman manusia harus meliputi dan melingkupi semua sifat, semua kegiatan, semua pengertian, pokoknya semua aspeknya pada segala bidang. Semuanya perlu dipandang sebagai satu keseluruhan.

b. Manusia dipahami seintensif atau sepadat mungkin. Tidak cukup diselidiki


fungsi atau kegiatan manusia pada taraf tertentu saja, yaitu sejauh ia serupa dengan hal atau makhluk bukan manusiawi lain; misalnya pada taraf biokimia, biologis saja. Penyelidikan demikian hanya bersifat regional.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

16

Seluruh manusia harus dipandang sekadar manusia, dan segala unsurnya ditinjau sekadar manusiawi. Semua aspeknya perlu dilihat di dalam keseluruhan manusia, sejauh berhubungan dengan inti sari manusia, dan sekadar diresapi dengan berada-manusia itu. Objek filsafat manusia terdiri dari manusia seluruhnya menurut semua sudutnya. Maka objek itu bukan manusia umum saja sebab lalu diabaikan corak paling khusus di dalam manusia, yaitu keunikan dan kesendiriannya. Setiap manusia adalah seorang aku yang sangat konkret. Jadi, juga istilah manusia harus diungkapkan dengan sangat konkret, sebagai aku. Seorang filsuf terutama memikirkan kenyataannya sendiri. Aku-nya sendiri merupakan persoalan pokok, dan persoalan itu perlu pertama-tama aku jelaskan sendiri. Memang, masing-masing filsuf juga harus sedia mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh ahli-ahli filsafat lain, tetapi tidak dapat puas dengan hanya mengulang-ulang saja pernyataan orang lain itu. Masing-masing harus mencapai pemahaman dan keyakinan pribadi yang mendalam.

VI. Nama Filsafat Manusia Sampai baru-baru ini, filsafat manusia lazimnya disebut psikologi. Agar dibedakan dengan ilmu jiwa positif, maka diberi tambahan menjadi psikologi rasional atau psikologi spekulatif, atau psikologi metafisis. Nama ini menimbulkan keberatan, karena tampak terlalu menekankan satu sudut manusia saja, yaitu kehidupan sadar sebab psyche berarti jiwa. Untuk menjelaskan bahwa filsafat manusia membicarakan manusia seluruhnya, dengan segala sudutnya, maka zaman sekarang makin terpakai nama antropologi. Nama itu berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti manusia. Akan tetapi, nama ini juga dipakai untuk menunjukkan ilmu-ilmu yang menyelidiki manusia secara positif, misalnya menurut aspek budaya, turunan, dan sebagainya; terutama dalam bahasa Inggris: anthropology. Maka perlu diberi penjelasan tambahan, dan disebut entah antropologi filsafati (philosophical anthropology) / filsafat antropologi untuk menunjukkan orientasi umum, entah antropologi metafisik agar dengan khusus dipentingkan metode filosofis yang dipergunakan.

VII. Ikhtisar Filsafat adalah cara atau metode pemikiran yang tertib, berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakiki dari pelbagai kenyataan yang tampil Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 17

di muka kita. Filsafat mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hakekat kehidupan dan kegiatan manusia, tentang makna kebebasan dan mencintai, tentang dunia, waktu, alam semesta, manusia dan Tuhan. Antropologi filosofis (Philosophical anthropology) secara harafiah berarti pengetahuan filosofis mengenai manusia. Filsafat manusia sebagai salah satu cabang filsafat mencoba mengupas secara mendalam arti menjadi manusia. Filsafat manusia dalam arti ini berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, seperti biologi, psikologi, antropologi, sosiologi, etnologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia berdaya-upaya untuk menemukan hukum-hukum perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara indrawi atau sejauh perbuatan itu dapat menjadi objek introspeksinya. Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia hanya mempelajari manusia secara partial berdasarkan ruang gerak dan tujuan yang ingin mereka capai. Misalnya, Biologi hanya akan menggeluti manusia dari aspek biologisnya saja, Psikologi akan menyoroti manusia berdasarkan aspek jiwanya, Sosiologi akan melihat manusia dalam kaitannya dengan segi sosialitas manusia, dan sebagainya. Filsafat manusia berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia karena dia berusaha mengarahkan penyelidikan dan refleksinya pada segi yang lebih mendalam dari pribadi manusia. Filsafat manusia mempunyai karakter yang lebih fundamental dan ontologis, dan sudut pandangnya lebih luas dan lebih mempersatukan serta lebih global. Modul ini memberikan beberapa pendasaran yang dapat membawa kita untuk memperhatikan filsafat manusia. Pertama-tama adalah karena hakekat manusia sebagai makhluk yang bertanya. Manusia memikirkan dan mempertanyakan segala hal. Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan akal budi, yang sampai batas-batas tertentu, mampu menyelidiki segala hal secara mendalam. Alasan kedua adalah karena hakekat manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Manusia mempunyai tugas untuk mengenal dirinya sendiri, menganal hakekat sifat dirinya, kemampuannya dan cita-citanya. Alasan yang ketiga adalah karena hakekat manusia sebagai pribadi. Manusia mempunyai harga diri dan kehormatan yang membuatnya menolak untuk diperlakukan sebagai binatang atau benda. Membentuk dan mengerjakan suatu sistem filsafat manusia merupakan usaha yang sulit dan berat. Alasannya adalah karena, terutama pada masa kini, semakin banyak bermunculan ilmu-ilmu pengetahuan manusia yang mencoba mendekati manusia dari sudut pandangnya sendiri. Alasan kedua adalah karena adanya kontroversi-kontroversi atau pertentangan-pertentangan solusi para pemikir dalam
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

18

memberikan jawaban atas hakekat pribadi manusia, yang sering kali menjadi faktor utama munculnya kekurangpercayaan manusia pada disiplin filsafat manusia. Plato, misalnya, melihat manusia sebagai makhluk ilahi, sebaliknya bagi Epicuros manusia adalah makhluk hidup yang berumur pendek, lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa. Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang jahat (homo homini lupus), sedangkan Rousseau berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang secara kodrati baik. Marcel dan Buber memberi penegasan lain, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang punya nilai unik. Perbedaan-perbedaan itu juga muncul akibat perbedaan cara para pemikir dalam menggambarkan eksistensi manusia di dunia. Misalnya Plato berpendapat bahwa hidup manusia sudah ada dalam dunia abadi atau dunia idea sebelum eksistensinya di dunia ini. Descartes menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terbentuk dari campuran dua bahan, yaitu badan dan jiwa. Spinoza menegaskan bahwa eksistensi manusia itu hanyalah suatu bayangan, tanpa konsistensi pribadi dari substansi Ilahi. Meskipun muncul banyak perbedaan dari para pemikir dalam memandang dan menggambarkan manusia, namun masih tetap ada kemungkinan untuk berfilsafat tentang manusia. Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia memberi gambaran kepada kita mengenai aspekaspek manusia yang berbeda satu dengan yang lain. Namun demikian kita masih perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah makhluk itu? Apa arti keseluruhan aspek yang membentuk pribadi manusia itu? Apa yang membentuk kesatuan pribadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain di dunia ini? Bagaimanakah struktur esensial manusia itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak muncul dalam ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, sebaliknya filsafatlah yang mengemukakan dan mengupas persoalan-persoalan itu. Filsafat manusia, sebagaimana juga ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, mengambil manusia sebagai obyek material. Sedangkan obyek formal filsafat manusia adalah inti manusia, alam kodratnya, strukturnya yang fundamental. Artinya adalah bahwa apa yang ingin dikatakan dan dimengerti oleh filsafat manusia ialah bukan bentuk fisiknya yang dapat diamati, dibayangkan, digambar, diukur; juga bukan bagian ini atau fungsi itu dari bentuk fisik ini, melainkan struktur metafisiknya, alasan adanya (principe detre), yaitu sesuatu yang oleh karenanya, yang tanpa itu manusia tidak dapat dipikirkan. Jadi kalau filsafat mengatakan bahwa manusia terdiri dari badan dan jiwa, itu tidak berarti bahwa manusia seakan-akan terdiri dari dua hal yang dihubungkan, atau terdiri dari campuran dua bahan yang masing-masing dapat digambarkan dan diletakkan secara terpisah. Tetapi itu merupakan pengakuan bahwa manusia itu ada sesuatu yang oleh karenanya dia adalah material dan dapat
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

19

binasa, serta ada sesuatu yang oleh karenanya dia adalah makhluk yang hidup dan berpikiran. Pada dasarnya filsafat itu bersifat interogatif. Sifat khas yang membedakan filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan adalah bahwa filsafat mempertanyakan yang oleh karenanya secara fundamental. Oleh karena itulah seringkali filsafat disebut sebagai bersifat meradikalisasikan. Filsafat tidak berhenti pada sikap bertanya itu, namun ia juga berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Metode yang dipakai oleh filsafat selalu bersifat dialektik; atau juga, kita tahu dalam perkembangan sejarah pemikiran, metode filsafat adalah bersifat refleksif, fenomenologis, induktif, abstraktif, eidetik, dan metode metafisik. Disebut metode metafisik karena filsafat tidak bermaksud mencari struktur esensial apa yang fisik, yang dapat ditangkap oleh pancaindra, melainkan berusaha mengerti dan mengatakan bagaimana sesuatu itu harus dikonsepsikan sehingga ia inteligibel. Kata Metafisika berasal dari bahasa Yunani meta ta physika (sesudah fisika; dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan after the things of nature). Aristoteles menyebut metafisika dengan filsafat pertama. Ia menggunakan istilah pertama karena menurut Aristoteles metafisika merupakan pengenalan mengenai yang mendasar tentang realitas. Metafisika membahas mengenai natura atau kodrat yang ada dalam dirinya sendiri. Metafisika bergelut dengan yang metafisis, dengan apa yang melampaui yang fisis, dengan aspek-aspek yang fundamental dari kenyataan. Kata fisis di dalam konteks pembahasan kita berarti seluruh dunia pengalaman ragawi sejauh ia tunduk kepada alam, yaitu ia tunduk pada proses menjadi atau dilahirkan dengan cara tertentu. Maka istilah metafisis berarti apa yang secara hakiki tidak dapat dialami oleh pancaindra, tidak dapat berubah dan sedikit banyak bersifat rohani. Tetapi apa yang disebut metafisis di sini bukan berarti tidak dapat diketahui. Objek matafisika adalah ada sejauh ada dengan segala atribut yang menyertainya.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

20

B a h a s a
Modul II
Sub Materi:
Mengapa Mulai dengan Perbuatan Berbicara? Apa yang Dimaksudkan dengan Berbicara dan Mengisyaratkan? Berbicara dan Mengisyaratkan Menunjukkan Keunggulan Manusia Masalah Bahasa dan Makna: Filsafat Bahasa Wittgenstein Masalah Bahasa Religius: Filsafat Analitis terhadap Pemakaian Bahasa Teologis Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008


Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

21

BAHASA

I. Mengapa Mulai (Pembahasan Filsafat Manusia) dengan Perbuatan Berbicara? Ada tiga macam keuntungan kalau kita memulai filsafat tentang manusia dengan suatu studi tentang perbuatan berbahasa atau juga berbicara. Pertama, berbicara adalah suatu gejala yang terang. Nampaknya, sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Para sastrawan menemukan jati dirinya lewat bahasa. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio-televisi, perancang iklan, dsb, memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mal-mal. Berdebat di ruang pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli tahu-tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan bahasa. Bahasa memang memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih daripada apa yang disampaikan. Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Efek wilayah tak-sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan seringkali tampil dalam bentuk salah ucap (misal, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami gangguan keteraturan Dengan Perancis, cara tetapi struktural ini, yang Jacques menurut tertentu. psikoanalis Lacan, tak-sadar rantai

menghubungkan semiotika,

dengan bahasa. Dalam perspektif bahasa adalah penandaan. Apabila di dalam praktik bahasa, rantai penandaan terputus, maka terjadi gangguan apa yang satu dalam disebut bahasa 22 proses reproduksi bahasa, sehingga menghasilkan Jacques Lacan sebagai bahasa skizofreniasalah dominan posmodernisme.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

Suatu kenyataan yang tidak bisa luput dari perhatian setiap orang adalah pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun bentuknya, selalu terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannya. Antara jeritan yang paling jelas dari hewan mengajak kawannya berkencan atau memberi peringatan atau menunjukkan marahnya, dengan perkataan manusia yang paling tak mengandung arti, terdapat tahapan evolusi yang luas. (Langer). Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis; artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti apapun, walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya olah kata itu tidak hadir. Hal ini mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan. Kedua, tema bahasa atau pun wicara merupakan salah satu tema yang terpilih dan disukai oleh pemikiran kontemporer. Bahkan, sejak dahulu, para ahli pikir menyebut manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi). Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata ataupun susunan. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan sesuatu mengenai dunia yang mengitarinya. Maka itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus mengenai logos di dalam manusia sendiri (kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti, susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah logos itu (van Peursen). Bahasa, menurut Gadamer, bukanlah suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa terletak kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa. Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa. Melalui kata dan logat yang tepat, seseorang dapat menggerakkan dunia, kata Joseph Conrad (Brussell, 1988). Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words; inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Bagaimana bahasa perlahan-lahan berkembang sebagai tema sentral filsafat Barat, dapat dilihat dan ditelusuri dengan cara berikut (Sugiharto, 1996): Pertama, pada periode Frege, Husserl, Wittgenstein awal, dan Carnap, bahasa dipahami secarameminjam peristilahan Derridalogosentris. Dimensi-dimensi dasar bahasa dianggap hanya tampil dalam fungsi-fungsi logisnya, misalnya dalam bentuk penilaian, pernyataan, dan representasi. Kedua, terpantul dalam pergeseran pemikiran Wittgenstein, dalam kemunculan filsafat bahasa sehari-hari tahun 1950Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

23

an, dalam kategori speech-act maupun dalam teori-teori yang bersifat pragmatik (Austin, Grice, Searle), bahasa dilihat dalam sifat kontekstual dan pragmatisnya. Bagi Wittgenstein-tua, misalnya, bahasa hanya dapat dimengerti dalam kerangka bentuk-bentuk kehidupan yang merupakan konteks bagi pemakaian bahasa itu. Di dalam Speech Acts, J.R. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidaktidaknya ada tiga jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seorang penutur di dalam berbahasa, yakni tindakan untuk mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tindakan melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan mempengaruhi lawan bicara (prelocutionary act). Secara berturut-turut, ketiga jenis tindakan itu disebut sebagai the act of saying something, the act of doing something, dan the act of affecting something. Ketiga, sebagian terpengaruh oleh perkembangan di luar filsafat sendiri, yaitu di wilayah susastera dan kritik teks umumnya, sebagian lagi merupakan perkembangan lanjut dari dunia filsafat sendiri; bahasa akhirnya dilihat nilai intrinsiknya, dikaji ulang hakikat dan fungsinya. Tahap ketiga ini melibatkan semiotika, strukturalisme, hermeneutika, dan post-strukturalisme. Ketiga, perbuatan berbahasa menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara menyeluruh. Louis Hjelmslev mengatakan bahwa suatu bahasa selalu mempunyai dua segi, yaitu segi ekspresi dan segi isi. Apabila segi ekspresi adalah segi seleksi kata-kata, maka rangkaian kata-kata tadi dapat memberikan arti khusus, yaitu umpamanya dengan memindahkan tempat kata=lata sehingga didengar lebih indah dan halus. Hal ini sering dilakukan oleh puisi. Selain itu, Hjelmslev juga mengatakan bahwa bahasa mempunyai bentuk dan substansi. Substansi adalah kata atau ungkapannya, sedangkan bentuk adalah apa yang diberi oleh pembicara kepada kata yang dipakainya. Melalui bentuk yang dipilih oleh pembicara, maka suatu kata memperoleh arti dan makna. Tergambar jelas dari uraian ini, dalam perbuatan berbicara, seluruh pribadi manusia itu, tersangkut badan dan jiwa, pancaindera, dan roh, yaitu manusia secara konkret, dalam sikapnya yang paling biasa dan dalam hubungannya dengan orang lain.

II. Apa yang Dimaksudkan dengan Berbicara dan Mengisyaratkan? Manusia adalah homo semioticus, menurut van Zoest (1993). Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain; contohnya, asap menandai adanya api.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

24

Apabila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra, misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik). Sebuah teks dan semua hal yang mungkin menjadi tanda bisa dilihat dalam aktivitas penanda, yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi. Perhatikan rumusan berikut: S (s, i, e, r, c). S adalah untuk semiotic relation; i untuk interpreter, e untuk effect; r untuk reference; dan c untuk context atau conditions. Meski dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus, namunsejak Ernst Cassirer dan Susanne Langerdalam kepustakaan filsafat, manusia kerap pula disebut sebagai animal simbolicum. Maka itu, jika disandingkan, kedua pengertian atau sebutan ini tentu saja memerlukan penjelasan tentang persamaan dan perbedaannya. Jelas bahwa perbedaan animal dan homo sudah memunculkan problematika, terutama mereka yang tidak akrab dengan pemikiran ilmu-ilmu alam, apalagi teori evolusi menganggap sebutan animal untuk manusia itu dianggap penghinaan. Pemikiran Ernst Cassirer memang dilatarbelakangi oleh pemikiran biologi dan psikologi hewan, sehingga bagi Cassirer, fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya. Gagasan Cassirer didasari oleh prinsip-prinsip biosemiotik von Uexkull yang diterapkan pada manusia, sehingga dengan memperoleh sistem simbolis, ia memperoleh sebutan baru, animal simbolicum. Walaupun kita menggunakan raut-muka dan gerak-gerik untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran yang bersahaja, wahana utama kita untuk bertukar informasi adalah bahasa. Keselamatan kita, sebagai hewan sosial, tergantung pada kemampuan kita berbicara dan mengerti; dan keampuhan kebudayaan modern berasal dari terciptanya tulisan barang lima ribu tahun yang lalu. Semua peradaban besar di dunia ini sekarang dibangun di atas dasar manfaat tulisan dan bacaan. Perpustakaan, dengan segala rekaman bahasa yang berada di dalamnya, merupakan khazanah pengetahuan insani.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

25

Perkembangan evolusioner bahasa pastilah terpacu oleh keunggulan yang berasal dari membaiknya lalulintas informasi, namun peranan bahasa lebih daripada wahana komunikasi. Bahasa terkait erat dengan proses nalar, tetapi apakah hubungan antara bahasa dan nalar? Biasanya kita memakai bahasa untuk bernalar, tetapi apakah keduanya benar-benar saling terkait? Dapatkah kita bernalar tanpa bahasa? Bagaimana kita dapat mengukuhkan atau menyanggah hal ini? Para sarjana telah bergulat dengan pertanyaan ini sejak lama. Claude Lvi-Strauss pesimis bisa memberi jawaban, Bahasa adalah salah satu bentuk nalar manusia, dan punya nalar sendiri yang manusia tidak mengetahuinya. Bila kita untuk membandingkan bahasa dan nalar, kita melihat keduanya punya banyak persamaan. Masing-masing merupakan produk biologis, agaknya berkembang memperbaiki organisasi dan kerjasama sosial. Masing-masing dapat membantu kita mencapai tujuan, namun tidak dapat menentukan apa tujuan kita itu. Agar bisa bernalar, kita harus berpikir. Sebelum beranjak ke soal apakah bernalar dapat terjadi tanpa bahasa, kita harus lebih dulu bertanya secara lebih umum: Bisakah kita berpikir tanpa bahasa? Gilbert Ryle beranggapan bahwa sebagian besar kegiatan berpikir kita sehari-hari berlangsung sebagai monolog batin atau percakapan sendiri dalam hati (silent soliloquy), biasanya disertai dengan gambar hidup yang berputar dalam batin. Samuel Johnson mengatakan, Bahasa adalah busana pikiran. Dengan istilah teknis dan filosofis, Colin McGinn mengajukan pertanyaan inti, Apakah bahasa sekadar pantulan pikiran bersifat sesaat (contingent manifestation of thought), yang diperlukan hanya untuk menyampaikan pikiran kepada orang lain, atau mestinya kita berkata bahwa bahasa merupakan darahdaging pikiran (the stuff of thought), wahananya yang mutlak perlu? Colin McGinn mengakui kesulitan menjawabnya, dan mengambil sikap sementara ini belum ada jawaban yang memuaskan. J.J. Jenkins memberikan tiga hipotesis: (1) pikiran tergantung pada bahasa; (2) pikiran adalah bahasa; dan (3) bahasa tergantung pada pikiran. Jenkins memberikan bukti yang mendukung setiap hipotesis tersebut, mengakui bahwa bukti-bukti itu banyak benarnya, dan menyimpulkan bahwa jawaban yang betul adalah semua yang telah disebutkan itu. Filsuf lain mengambil sikap yang lebih pasti. Kant berpendapat bahwa berpikir adalah bicara pada diri sendiri. Max Mler lebih jauh lagi; ia menulis buku berjudul The Science of Thought: No Reason without Language; No Language without Reason. Isinya antara lain berjudul Language and Thought Inseparable (Bahasa dan Pikiran Tak-terpisahkan), di mana Mler menegaskan, Apa yang sudah terbiasa kita sebut pikiran tidak lain daripada satu sisi mata uang logam yang sisi lainnya
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

26

adalah bunyi yang bertekanan (articulate sound), sementara mata uang logam itu tunggal tak terbelah, jadi bukan pikiran bukan juga bunyi, tetapi kata (word). Hannah Arendt juga sama pasti dan tanpa tedeng aling-aling, Tiada pikiran tanpa wicara (speech). Ludwig Wittgenstein mengatakan hal yang sama, Batas-batas bahasa saya adalah batas-batas dunia saya. Filsuf besar lainnya berpendapat sebaliknya, yakni bahwa bahasa dapat dipisahkan dari pikiran. John Locke menganggap katakata terkadang sanggup mengungkapkan pikiran, tetapi terkadang tidak. Jean Piaget menunjukkan bahwa proses mental pada anak-anak terjadi sebelum mereka kenal bahasa; lantas ia menyimpulkan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua hal yang berbeda. Frank Benson mengembangkan argumen yang serupa, lalu sampai pada kesimpulan bahwa bahasa dan pikiran merupakan dua fungsi otak yang terpisah. Filsuf senantiasa mengakui pentingnya bahasa. Beberapa tahun belakangan ini mazhab analisis bahasa dalam filsafat telah menegaskan bahwa banyak soal filosofis timbul akibat bahasa yang kacau dan salah-pakai, sehingga perumusan kembali bahasa dengan teliti dan cermat mestinya dapat mengatasi soal-soal itu. Di mana-mana kita dapat saksikan the linguistic turn, dalam hal mana refleksi filosofis berbalik kepada bahasa. Malahan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya, hermeneutika, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis. Sikap ini tidak terlalu memuaskan bagi seorang biolog yang berusaha memahami bahasa sebagai hasil evolusi. Pendekatan yang lebih berguna adalah menganggap arti sebagai mata-rantai yang menghubungkan kalimat dan pikiran; kalimat berarti pikiran yang ditimbulkannya. Pikiran akan menimbulkan kalimat, dan kalimat kembali akan memantulkan pikiran. Pendapat bahwa arti adalah mata-rantai yang menghubungkan kata dan pikiran memberikan suatu definisi kerja yang berguna, sekalipun sangat menyederhanakan. Beberapa pertanyaan selanjutnya yang serta-merta muncul adalah bagaimana pikiran memperoleh arti, dan apakah arti suatu pikiran? Dalam kajian filsafat, kaitan pikiran dan kata, dan definisi arti, samasekali tidak jelas begitu saja. Definisi yang bersifat bilangan memungkinkan kita merasa pasti mengenai arti ujaran seperti dua tambah tiga samadengan lima, tetapi diluar sistem matematika yang bersifat khusus dan taat-asas, apakah arti kata-kata seperti benar dan salah? Ujaran tentang dunia bendawi tentu saja bisa benar (seperti Es menutupi Kutub Selatan) atau salah (seperti Kanada terletak di Khatulistiwa). Benar dan salah melantunkan arti yang universal, tetap, dan abadi, tetapi kesan pasti ini menyesatkan. Hilary Putnam mengatakan dengan cara yang meyakinkan bahwa kebudayaan kita
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

27

menentukan apa yang kita anggap benar dan salah, karena lingkungan dan sikap membentuk serba patokan apakah suatu ujaran diterima atau ditolak. Benjamin Lee Whorf telah mengajukan suatu teori tentang relativitas linguistik. Ia menekankan keberagaman isi konseptual dalam bermacam-macam bahasa dan menyarankan bahwa keberagaman itu timbul akibat ciri-ciri kebudayaan; Dengan demikian kita diperkenalkan dengan suatu kaidah relativitas baru, bahwa semua pengamat tidak dibimbing oleh kenyataan bendawi yang sama ke gambaran semesta yang sama, kecuali jika latarbelakang linguistik mereka serupa. Jika tafsiran atas peristiwa-peristiwa bendawi bisa dipengaruhi oleh bahasa, masih lebih besar lagi pengaruh yang berasal dari pertimbangan-pertimbangan yang bersifat tidak taat-asas. Benarkah bahwa, Bir lebih enak daripada anggur, atau bahwa, Bach lebih hebat daripada Beethoven sebagai komponis? Jika digunakan terhadap pernyataan seperti ini, wawasan benar dan salah tampak tidak berdaya. Jika beberapa ujaran tidak mungkin dikatakan sebagai benar dalam pengertian beyond reasonable doubt kita tidak boleh menyimpulkan bahwa benar dan salah tidak punya arti. Kita hanya harus hati-hati menafsirkan kata, dan mengakui keterbatasannya. Kebenaran terbukti telah menjadi wawasan yang sangat berguna dalam penelitian sains terhadap kodrat alam. Bahwa kebenaran hanya berarti beyond reasonable doubt, itu samasekali tidak mengurangi nilainya. Para sarjana bahasa memeriksa bagaimana bahasa diperhalus dan diperindah agar mampu memainkan peran yang sangat khusus dan penting. Banyak bahasa berhasil memenuhi keperluan seni dan sains tanpa kesulitan, tetapi tidak ada bahasa yang tahan terhadap hantaman filsafat. Penyelidikan bersifat intelektual yang cerdik atas bahasa menyingkapkan banyak ke-tak-cocok-an (inconsistencies) dan ke-takrapi-an (incoherencies) dalam penggunaanya. Sebagai contoh, apakah arti yang terkandung dalam suatu pesan yang tertera pada secarik kertas yang mengatakan bahwa keterangan di balik kertas itu bohong, dan bunyi keterangan di balik kertas itu persis sama dengan pesan tersebut? Barangkali para filsuf sedang membebani bahasa jauh lebih daripada kemampuannya sehingga bahasa patah persis seperti semua piranti lain yang dipaksa terlalu keras.

III. Berbicara dan Mengisyaratkan Menunjukkan Keunggulan Manusia Masa Evolusioner Bahasa. Lebah memberitahu sesamanya bahwa sari madu telah ditemukan dengan menari pada sudut tertentu dari atas ke sudut lain, antara matahari dan arah sumber makanan itu terletak. Jauhnya jarak ke sumber makanan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

28

ditunjukkan dengan seberapa hebat goyangan lebah pada bagian perut. Kendati susunan sarafnya boleh disebut bersahaja, lebah bisa menghitung penyesuaian dengan informasi yang dikomunikasikan. Jika langit mendung ketika kembali dari melanja, lebah akan membuat perubahan yang perlu pada sudut tarian untuk menyesuaikan letak matahari yang tak bisa mereka lihat sesuai dengan waktu. Berbagai rombongan lebah mengembangkan perbedaan-perbedaan kecil pada tarian mereka, yang disebut dialek oleh mereka yang menyamakan komunikasi serangga dengan bahasa manusia. Binatang lain bisa juga menyampaikan informasi yang teliti bekantan punya teriakan khusus untuk menyatakan tanda bahaya yang menuntut jawaban kelompok yang berbeda-beda. Bila elang mengancam dari atas, terdengar suara khusus menyuruh kelompok turun dari pohon. Bila pemangsa terlihat di tanah, teriakan jenis lain terdengar untuk menyuruh kelompok memanjat. Bahasa manusia memungkinkan jumlah informasi yang siap disampaikan meningkat luar biasa yang menopang kegiatan intelektual pada umumnya dan khususnya kemampuan nalar. Kita tidak menyadari kemampuan khusus kita memerikan abstraksi seperti besok padahal abstraksi semacam itu hanya mungkin berkat bahasa. Ciri penting lain bahasa manusia adalah kemampuan mengajukan pertanyaan. Dalam analisis mereka yang mendalam atas serba perbedaan antara komunikasi binatang dan komunikasi manusia, David dan Ann Premack menekankan pentingnya bertanya. Binatang mengirim informasi dengan lambang (codes) yang punya kaitan antara tindakan tertentu pada pengirim dan beberapa hal di dunia... Suatu lambang menjadi bahasa jika penggunanya dapat ditanya mengenai lambang itu. Pinker berpendapat, tatabahasa merupakan ciri unik bahasa manusia yang betulbetul membedakannya dari komunikasi pada binatang: Bahasa jelas berbeda dengan sistem komunikasi binatang seperti belalai gajah dari hidung binatang lain. Sistem komunikasi bukan-manusia berdasarkan satu dari tiga rancang-bangun: sejumlah terbatas jenis teriakan (satu jenis untuk mengingatkan bahaya pemangsa, satu jenis untuk mendaku wilayah kekuasaan, dan sebagainya), tanda analog yang berkepanjangan untuk menunjukkan gawatnya situasi (semakin gencar tari lebah, pertanda semakin melimpah sumber makanan yang ditemukan), atau beragam perbedaan dalam satu lambang (kicau burung yang berulang-ulang tapi setiap kali dengan cengkok baru). Bahasa manusia berbeda samasekali. Sistem penggabungan yang tersirat di dalam bahasa, yang bernama tatabahasa membuat bahasa manusia itu tak terbatas (tak terhitung jumlah kata-kata atau kalimat rumit dalam suatu bahasa), bersifat digital (jumlah yang tak terhitung itu timbul akibat
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

29

berulangnya susunan atau penggabungan unsur-unsur yang terkandung dalam bahasa dengan urutan yang senantiasa berbeda, bukan sekadar bertambah banyak jumlah sinyalnya seperti bertambahnya panjang air raksa dalam tabung termometer), dan bersifat komposisi (setiap susunan atau kombinasi yang jumlahnya tak terhitung itu punya arti masing-masing yang dapat diperkirakan dari arti setiap bagian serta aturan dan kaidah yang menjadi landasannya).

IV. Masalah Bahasa dan Makna: Filsafat Bahasa Wittgenstein Ide dapat pokok ditemukan Wittgenstein dalam dua dalam

karya besarnya. Kedua buku itu mempunyai kesamaan topik pembahasan: bahasa dan makna, tetapi keduanya berbeda dalam cara menyampaikan dan inti permasalahan. Kedua buku ini gaya secara esensial tidak saja. berbeda, hanya berbeda dalam filosofisnya Wittgenstein sendiri, dengan buku yang kedua mau membuat koreksi terhadap buku pertama, yaitu Tractatus Logico-Philosophicus. Pada karya yang pertama kita menemukan pembicaraan mengenai bahasa pada umumnya, sedangkan dalam karya kedua ia berbicara secara khusus mengenai bahasa. Wittgenstein I: Tractatus Logico-Philosophicus Tujuan utama buku ini, seperti dikatakan oleh Wittgenstein sendiri, adalah untuk memberikan syarat umum bahasa bermakna. Ia mau menunjukkan bagaimana seharusnya dunia kalau bahasa harus mempunyai makna tertentu. Beberapa pokok penting dalam karya ini:

1. Tugas filsuf: metode filsafat ialah jangan katakan kalau hal itu tidak dapat
dikatakan. Berbicara mengenai metafisika tidak ada artinya.

2. Analisis bahasa (linguistic analysis) merupakan metode tepat bagi filsafat.


Semua masalah filsafat diselesaikan dengan analisis bahasa.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

30

3. Hanya pernyataan ilmu pengetahuan alam yang mempunyai arti. Hanya pernyataan yang berdasarkan eksperimen dan bersifat faktual atau dengan kata lain pernyataan ilmiahlah yang mempunyai arti/makna.

4. Pernyataan metafisika, etika, estetika, atau agama tidak mempunyai arti, karena
bukan pernyataan faktual. Semua ini bukannya tidak benar, melainkan tidak bermakna. Kita tidak dapat menjawabnya, kita hanya dapat menetapkan ketidakbermaknaan pernyataan itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masalah yang paling mendalam tidak menjadi masalah. Hanya pernyataan ilmu pengetahuan alamiah yang mempunyai arti. Dalam hal ini Wittgenstein berbeda pendapat dengan positivisme logis. Positivisme menekankan hal ini sebagai sesuatu yang a priori. Ini sudah merupakan dalil. Tetapi bagi Wittgenstein, pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku. Batas bahasaku menunjukkan batas duniaku. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa mengenai yang tidak dapat dikatakan, lebih baik diam.

5. Teori mosaik atau teori gambar: bahasa berkonfigurasi sejajar dengan dunia.
Antara keduanya terdapat hubungan yang bersifat biunivok dengan setiap objek yang difigurkan. Tanpa hubungan itu, bahasa tidak mempunyai arti atau makna. Menurut teori gambar, sebuah pernyataan yang mempunyai makna perlu menunjukkan bentuk logis tertentu yang disusun sedemikian rupa, sehingga nama-nama (kata-kata) yang menyusun pernyataan itu benar. Menurut Wittgenstein, pernyataan menyampaikan situasi kepada kita. Oleh karena itu, harus dimasukkan. Caranya ialah dengan gambaran logis. Pernyataan menyatakan sesuatu hanya dalam ukuran gambar. Tetapi Wittgenstein tidak berbicara jelas mengenai kriteria makna.

6. Bahasa etika dan agama. Wittgenstein mengatakan bahwa duniaku sebatas


bahasaku. Batas bahasaku menunjukkan batas duniaku. Semua yang dapat dikatakan hanyalah fakta. Dalam hal ini, etika dan agama tidak berbicara mengenai fakta atau data. Wittgenstein menegaskan bahwa makna dunia berada di luar dirinya. Dalam dunia, yang ada hanya orang yang menyatakan dirinya sebagaimana terjadi dan tidak ada nilai di dalam dirinya. Tuhan tidak mewahyukan diri-Nya dalam dunia. Sungguh, sesuatu yang tak terkatakan. Tuhan menampakkan diri, ini suatu mistik. Manusia tidak mampu mengucapkan Tuhan, karena Ia bukan fakta. Di hadapan ketidakmampuan ini, Wittgenstein menandaskan pokok-pokok yang kuat: (a) Agar dapat menegaskan bahwa makna dunia mesti dicari di luar dirinya, seorang filsuf tidak perlu bimbang bahwa Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 31

nilai itu ada; (b) Akibatnya, bahwa sesuatu yang memberi makna kepada bendabenda yang berada di atas dunia, perlu dicari di luar dirinya, juga mengenai hal itu kita perlu diam; (c) Kendati pun Tuhan sendiri tidak menyatakan diri dalam dunia, namun realitas Tuhan mewahyukan diri lewat dunia, karena fakta dunia ada dan dari fakta tersebut ada bagian yang tak terkatakan. Wittgenstein II: Philosophical Investigations Nampaknya, Philosophical Investigations merupakan sebuah koreksi atas karya yang pertama. Dalam hal ini, Wittgenstein beralih dari teori mosaik kepada teori makna dalam penggunaan dan permainan bahasa. Teori makna dalam penggunaan (meaning in use): Bagi Wittgenstein, masalah bahasa pertama-tama adalah masalah menggunakan beberapa bunyi tertentu. Dengan itu lantas ia mengatakan bahwa di luar penggunaan, dalam kenyataannya, sebuah tanda menjadi mati. Sebuah tanda menjadi hidup, menjadi bermakna, justru dalam penggunaan. Penggunaan sebuah tanda merupakan nafas kehidupan tanda yang bersangkutan. Peralihan dari persoalan makna kepada makna dalam penggunaan didasarkan pada pengertian umum bahwa makna sebuah kata adalah objek dilambangkannya. Kata menunjukkan sesuatu yang dapat diinderai keberadaannya. Misalnya, kambing, kuda, pohon, kursi bermakna karena menamakan sesuatu. Tetapi terdapat banyak kata yang tidak menunjukkan benda, misalnya sudah, boleh, maka, dan. Karena itu, jangan ditanyakan apa arti sebuah kata, tetapi bagaimana sebuah kata digunakan. Permainan bahasa (language games). Bahasa bukanlah fenomen sederhana melainkan merupakan sebuah fenomen yang sangat kompleks. Di dalamnya terdapat jumlah permainan bahasa yang tak terhitung. Dengan bahasa yang sama, kita dapat memaparkan sesuatu, memberi perintah, menanyakan, berterimakasih, beroda, bernyanyi, dan seterusnya. Bahasa bagaikan alat-alat pertukangan dalam tas seorang tukang. Sebagaimana tidak ada satu penggunaan pasti dan sangat terbatas pada suatu alat, demikian pun bahasa, tidak ada penggunaan pasti dan ketat tiap-tiap kata. Kata-kata bagaikan buah catur yang dapat dimainkan ke segala arah. Dalam permainan bahasa, beberapa pikiran pokok ini perlu diperhatikan: 1. Ada banyak permainan bahasa, tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan itu. Esensi setiap permainan berbeda. Setiap permainan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

32

menyatakan satu pernyataan tertentu. Antara permainan-permainan ini hanya dikenal satu kesamaan keluarga.

2. Dalam aneka permainan bahasa terdapat kesamaan keluarga. Dengan itu, tidak
mungkin menentukan dengan persis batas-batas pemahaman mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan ialah melacak batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat disebut suatu permainan atau tidak. Batasbatas permainan itu sendiri kabur dan sulit dipahami.

3. Kendatipun orang tidak tahu persis sebuah permainan, namun ia tahu apa yang
dapat dibuat dengan sebuah permainan. Permainan memang merupakan sebuah konsep yang sangat halus dan sulit didefinisikan. Kita tidak dapat tuntas menjelaskan konsep permainan. Kita hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-beda. Tugas Filsafat atau Filsuf adalah mengadakan klasifikasi aneka macam

penggunaan dan mengadakan verifikasi, apakah penggunaan kata dalam keadaan tertentu itu tepat atau keliru, bermakna atau tidak. Filsafat menjadi semacam sarana kritis untuk memeriksa pemakaian bahasa, bahkan menjadi terapi bagi pemakai bahasa yang berlebih-lebihan [bahasa metafisis].

V. Masalah Bahasa Religius: Filsafat Analitis terhadap Pemakaian Bahasa Teologis Dalam filsafat ketuhanan dapat kita saksikan the linguistic turn yang menandai seluruh filsafat abad ke-20. Dalam konteks filsafat ketuhanan zaman kita sekarang, cara manusia dapat berbicara tentang Tuhan merupakan tema yang penting. Dalam tradisi filosofis berbahasa Inggris, tema itu tidak jarang diberi nama God-talk. Tema itu dikenal juga sebagai masalah bahasa religius atau bahasa teologis. Soalnya ialah bahwa bahasa yang kita pakai selalu mengacu kepada cakrawala manusiawi dan kepada benda-benda yang terdapat dalam dunia di sekitar kita. Bahasa kita berasal dari pengalaman manusiawi kita dan penggunaannya berlangsung di situ pula. Tetapi bila kita berbicara tentang Tuhan, kita menggunakan bahasa yang sama. Terpaksa, karena bahasa lain tidak kita punya. Dengan demikian timbul bermacammacam pertanyaan. Masih kita ketahui, kita berbicara tentang apa, bila bahasa manusiawi itu kita pakai untuk menunjukkan Tuhan? Apakah bahasa yang kita gunakan dalam konteks pengalaman konkret kita, dapat digunakan begitu saja untuk menunjukkan Tuhan yang tak kelihatan? Apakah bahasa yang selalu berkaitan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

33

dengan dunia berhingga kita, dapat diterapkan begitu saja pada Tuhan yang tak berhingga? Bukankah Tuhan itu unik, berlainan dengan segala sesuatu yang lain (the wholly Other, tidak jarang dikatakan dalam tradisi monoteisme) dan bukankah hal itu mempunyai konsekuensinya juga bagi God-talk kita? Syarat-syarat mana harus terpenuhi, supaya bahasa religius itu mungkin? Ataukah di sini kita harus mempraktekkan perkataan Wittgenstein yang termasyur itu, What we cannot speak about we must pass over in silence: (yang tidak dapat dibicarakan harus didiamkan saja). Oleh karena filsafat analitis hanya menerima bahasa sebagai objek penyelidikannya, maka sudah jelas bahwa pengikut-pengikutnya tidak menginjak problematik teologis itu sendiri (misalnya, mereka tidak mempersoalkan bagaimana adanya Tuhan dapat dibuktikan, suatu masalah yang ramai dibicarakan sepanjang sejarah filsafat), melainkan hanya memperhatikan pemakaian bahasa teologis. Isilah pemakaian bahasa teologis di sini digunakan dalam arti seluas-luasnya, sehingga mencakup setiap pembicaraan tentang Tuhan, baik dari segi filosofis belaka maupun dari segi teologis dalam arti kata yang sebenarnya. Sejak kira-kira akhir dasawarsa 1950-an, semakin banyak pengikut filsafat analitis mengarahkan perhatiannya kepada permasalahan pemakaian bahasa religius. Terutama di Inggris, banyak publikasi terbit mengenai tema ini. Perhatian baru untuk bahasa religius itu tentu tidak kebetulan, tetapi bersangkut-paut dengan perkembangan filsafat analitis pada umumnya. Kita akan memandang ketiga periode filsafat analitis dari segi sikapnya terhadap pemakaian bahasa teologis. Dalam periode pertama, pemakaian bahasa teologis belum diperhatikan dan umumnya tidak dibicarakan tentang masalah-masalah teologis. Pada G. Moore, misalnya, jarang sekali ditemukan perumusan yang menyinggung problematik religius. Salah satu pengecualian adalah teks pendek berikut ini: On the whole, I think it is fairest to say that common sense has no view on the question whether we do know that there is a God or not. Kita lihat bahwa pendirian yang diungkapkan dalam teks ini berkecenderungan untuk mengelak. Demikian juga atomisme logis dari Russell dan Tractatus Logico-Philosophicus dari Wittgenstein. Bagi Russell, Tuhan dianggap oleh filsafat ketuhanan sebagai Wujud yang mutlak perlu (the necessary Being); tetapi mutlak perlu hanya mempunyai arti pada taraf logis, tidak pada taraf ontologis. Karena itu, ucapan-ucapan tentang Tuhan tidak mempunyai arti. Bagi Wittgenstein, Tuhan termasuk apa yang disebutnya yang mistis (the mystical) dan tentang itu berlaku, What we cannot speak about we must pass over
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

34

in silence (Tractatus, nr. 7). Bahwa dalam hidup pribadi kedua filsuf ini, sikap mereka terhadap agama sangat berlainan, tidak perlu diuraikan dalam konteks ini. Bagaimana pandangan Alfred Jules Ayer tentang bahasa religius, sudah dapat diperkirakan dari pada yang dikatakan mengenai positivisme logis dalam periode kedua. Kalau diukur dengan prinsip verifikasi, maka semua ucapan teologis (dan pada umumnya semua ucapan metafisis), artinya ucapan yang melampaui data-data inderawi), secara apriori tidak bermakna. Ucapanucapan yang bermakna hanya ada dua macam: norma-norma logis (tautologi-tautologi) empiris. Tetapi dan karena konstatasi-konstatasi

ucapan metafisis dan teologis tidak termasuk dua kelompok ini, harus disimpulkan bahwa ucapan serupa itu tidak bermakna atau, sebagaimana dikatakan Ayer juga, tidak mempunyai nilai pengenalan. Ayer tentu tidak mengatakan bahwa ucapan teologis (dan ucapan metafisis pada umumnya) merupakan omong kosong saja. Ayer tidak menyangkal bahwa ucapan teologis dapat bernilai untuk hidup pribadi si penutur dan para pendengarnya, tetapi ucapan-ucapan itu tidak mempunyai factual content, tidak mempunyai isi faktual. Ucapan semacam itu tidak mempunyai makna kognitif, tidak berbicara tentang suatu fakta. Bagaimanapun nilainya yang nonkognitif, emosional atau ekspresif, namun ucapan-ucapan itu secara faktual tidak berarti sesuatu pun, semuanya tidak bermakna. Kita melihat betapa pentingnya peranan prinsip verifikasi dalam pandangan ini. Seluruh teori positivisme logis bergantung pada jatuh bangunnya prinsip verifikasi. Kalau dalam periode ketiga, prinsip verifikasi ditinggalkan dan orang mulai mengakui pluriformitas di bidang pemakaian bahasa, maka masalah tentang hubungan antara filsafat analitis dengan ucapan-ucapan teologis mendapat perspektif yang samasekali baru. Bila ada banyak permainan bahasa, tidak ada keberatan lagi untuk menerima pemakaian bahasa teologis sebagai permainan bahasa sendiri. Dengan demikian terbukalah kemungkinan untuk menyelidiki pemakaian bahasa teologis sama serius seperti pemakaian bahasa lainnya. Di antara pemikir-pemikir yang menaruh perhatian untuk analisis bahasa teologis dapat dibedakan dua tendensi. Ada filsuf-filsuf analitis yang mengambil antara lain
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

35

pemakaian bahasa teologis sebagai objek penyelidikan mereka. Selanjutnya, ada pemikir-pemikir Kristen yang sebetulnya mempunyai minat teologis tetapi berharap dapat memanfaatkan penelitian analitis untuk maksud mereka. Tendensi pertama tampak pada tokoh-tokoh seperti: J.J. Smart, R.B. Braithwaite, R.M. Hare. Tendensi kedua terlihat pada pemikir-pemikir seperti: I.T. Ramsey, I.M. Crombie, E. Mascall, P. Van Buren, D.D. Evans, J. Macquarrie, J. Hick, B. Mitchell. Tidak mudah untuk menyingkatkan usaha-usaha yang sudah dilancarkan guna menerapkan metode analisis bahasa atas pemakaian bahasa religius. Kesukarankesukaran muncul karena beberapa alasan. Pertama, filsuf-filsuf bersangkutan tidak bekerja sistematis, sebagaimana filsafat analitis pada umumnya mengutamakan detail-detail dan tidak begitu meminati struktur-struktur menyeluruh. Kedua, penyelidikan-penyelidikan itu masih sedang berjalan, sehingga sekarang masih terlalu prematur untuk memberikan evaluasi definitif. Ketiga dan yang terutama, metode mereka adalah analisis bahasa. Yang penting dalam analisis seperti itu adalah penelitian yang terperinci, langkah demi langkah, di mana satu unsur tidak dapat dilepaskan dari unsur lain. Suatu ikhtisar mau tidak mau menghilangkan sebagian dari kekayaan yang terperinci itu. Namun demikian, sudah tersedia cukup banyak buku yang berusaha mengumpulkan dan menyingkatkan apa yang dikerjakan selama ini.

VI. Ikhtisar Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja, bahasa tidak merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalahmasalah yang menyangkut bahasa terlihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum pernah begitu umum, begitu luas, dan begitu mendalam seperti dalam abad ke-20. Pada zaman kita ini, bahasa memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan being (ada) dalam filsafat klasik dulu. Memang terdapat kemiripan tertentu: baik bahasa maupun being bersifat samasekali universal. Hanya saja harus ditambah, keuniversalan itu menyangkut sudut pandang yang berlainan. Being adalah universal dari sudut objektif: ada meliputi segala sesuatu; apa saja merupakan being. Bahasa adalah universal dari sudut subjektif. Bahasa meliputi segala sesuatu yang dikatakan atau diungkapkan; makna atau arti hanya bisa timbul dalam hubungan dengan bahasa.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

36

Bahasa kini telah mendapatkan fungsi baru, yakni fungsi transformatif. Fungsi inilah, menurut pengamatan para linguis, yang memungkinkan proses transformasi pemahaman manusia karena ia berbahasa. Itulah sebabnya Frege, Husserl, dan Carnap berbicara tentang bahasa yang dipahami secara logosentrisme, yang menampilkan dasar-dasar logisnya. Pada gilirannya, segi kontekstual dan pragmatik dalam filsafat bahasa kemudian menjadi perhatian Austin maupun Grice. Pada akhirnya, Heidegger, Derrida, dan Ricoeur melahirkan bayi raksasa dalam filsafat bahasa yang kemudian dikenal sebagai metafor. Agaknya, yang terakhir inilah yang kini menjadi bidang kutat bagi filsafat posmodern, ramai-ramai orang membawa kembali nuansa dan atmosfer filsafat kepada bahasa, suatu pembalikan besarbesaran ke arah bahasa. Gerakan kembali ke bahasa itu sebetulnya merupakan gejala yang kompleks. Ia bertali-temali dengan sejumlah aliran pemikiran yang tidak begitu saja bisa diraup dalam satu kategori. Demikianlah, pengetahuan filsafat maupun pengetahuan tentang hidup seharihari tidak dapat digambarkan lepas dari bahasa. Dalam setiap kata, dilahirkan sesuatu rasa heran. Dalam kata-kata, manusia, barang-barang, dan peristiwaperistiwa, memperoleh bentuknya yang dinamis, yang tak pernah bulat selesai, yaitu selama suara manusia meraba-raba dan memateriakan barang-barang, selama mulut kanak-kanak berulang kembali mengumandangkan penemuan-penemuan bahasa. Morizt Schlick pernah mengungkapkan: Dahulu kala filsafat mengajukan pertanyaan tentang dasar terdalam dari yang ada (Seienden), tentang eksistensi Tuhan, kebakaan serta kebebasan jiwa, tentang arti dunia dan kaidah bagi perbuatan-perbuatan manusia. Tetapi kami tidak tanyakan lain daripada, Apakah yang Anda maksudkan sebenarnya? Kepada setiap orang, siapa pun dia dan apa pun yang ia katakan, kami mengajukan pertanyaan berikut ini, Apakah artinya tuturan Anda? Karena cara bertanya itu, kebanyakan orang menjadi bingung. Tetapi kami tidak bersalah. Kami bertanya dengan tulus hati dan tidak bermaksud memasang perangkap untuk siapapun. Pada pokoknya, perumusan Schlick ini akan disetujui oleh kebanyakan pengikut filsafat analitis. Mereka semua mengarahkan perhatian mereka kepada makna bahasa. Tentu saja, sebagaimana sudah kita lihat, makna dan juga bahasa oleh
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

37

mereka dipahami dengan berbagai cara. Tetapi pertanyaan apakah makna bahasa bagi mereka semua merupakan pertanyaan utama dalam filsafat.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

38

Kehidupan
Modul III
Sub Materi:
Kodrat Manusia sebagai Makhluk Hidup Manusia dan Badannya Badan sebagai Jasmani yang Dirohanikan atau Rohani yang Menjasmani Perkembangan Studi tentang Badan Manusia Apakah Jiwa Merupakan Sesuatu yang Real? Manusia Mengatasi Batas-batas Kebertubuhan-nya Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008


Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

39

K E H I D U PAN

I. Kodrat Manusia sebagai Makhluk Hidup Tentang manusia bisa diajukan banyak pertanyaan. Ada pertanyaan-pertanyaan yang eksperimental. Ini bisa eksperimental-biasa atau eksperimental-ilmiah. Contoh eksperimental-biasa lihatlah pertemuan Cakil dan Arjuna: Dari manakah kamu, ke manakah kamu, siapakah namamu?. Ada yang eksperimental-ilmiah, dan berbagai macam: sosiologis, psikologis, juridis, antropologis, dan lain sebagainya. Dalam filsafat bagaimana pertanyaannya? Bukan eksperimental, melainkan metafisis atau hakiki. Yang ditanyakan adalah hakikat manusia yang jawabannya menjadi dasar keterangan semua hal manusiawi. Dasar pertanyaan ini ialah bahwa hewan tidak bisa bertanya tentang hewan ataupun diri sendiri. Manusia bisa. Apakah yang memungkinkan ini? Manusia itu adalah makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya. Manusia sudah tahu diri (secara operatif) sebelum bertanya (dengan ini: tematisasi). Pengertian ini kompleks, banyak segi jika orang bertanya, maka dalam membuat jawaban bisa menitikberatkan ini atau itu. Oleh karena itu, dalam pandangan tematis bisa salah. Dalam bertanya tentang diri, bagaimana titik tolak manusia? Konkret, padat, situasi yang terlibat-libat dan berlibat-libat. dari situlah dia bertanya tentang diri sendiri. Untuk lebih jelasnya: lihatlah ini! Manusia berhadapan dengan dirinya sendiri. Diri manusia (lihat kata diri) bersatu dengan dunia, dan juga berarti dengan sesama (sosial). Dia mengalami diri dalam perlibatan itu, dengan pandangannya, dengan emosinya, dan lain sebagainya. Dalam keadaan konkret itu dia bisa berada sebagai persona seperti yang dimaksud Jung, dalam psikologinya tentang persona. Tampaklah pangkal yang bisa menjadi sumber kesalahan. Ingatlah selalu gambaran yang sudah dikatakan tadi, yakni manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi juga menghadapi dalam arti yang mirip dengan menghadapi soal, menghadapi kesukaran, dan lain sebagainya. Jadi, dia melakukan, dia mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri, dan lain sebagainya. Dia bersatu dan berjarak terhadap dirinya sendiri.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

40

Bersama dengan itu manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa mengubah dan mengolahnya. Hewan juga berada di dalam alam, tetapi tidak berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Lihat saja, hewan tidak bisa memperbaiki alam dan tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Corak yang ketiga, yang kita tunjuk dalam gambaran yang pertama ini ialah bahwa manusia itu selalu hidup dan mengubah dirinya dalam arus situasi yang konkret. Dia tidak hanya berubah dalam, tetapi juga karena diubah oleh, situasi itu. Namun dalam berubah-ubah ini, dia tetaplah dia sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan mengubah manusia. Dengan ini dia menyejarah. Sesudah pendahuluan ini, kita bisa mencoba mengadakan eksplorasi tentang manusia.

II. Manusia dan Badannya Yang jelas bagi semua orang ialah bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbadan. Lihat saja, bagaimana manusia itu menjadi sadar. Karena badannya. Badannya bersatu dengan realitas sekitarnya; dan dengan demikian, manusia bangkit, berada dalam suatu "cahaya", dia "melihat" dirinya dan barang-barang, dia menempatkan diri, mengerti sini dan sana (semua ini terhadap badan), dia bisa berjalan, bertindak, dan lain sebagainya. Lihatlah, cacat dalam badan juga mengurangi kesadarannya. Jika cacat itu merusak seluruh keindraan, manusia juga tidak bisa mengerti dunia. Jadi, berkat badannyalah dia bisa menjalankan dirinya. Kalau begitu, harus dipandang bagaimanakah badan? Yang pertama, jangan berkata tentang badan dan jiwa. Ingatlah dulu pengalaman kita yang asli. Di situ manusia tidak memandang badan dan jiwa; subjek pengalaman ialah dia-sendiri juga. Masing-masing dari kita berkata: Aku. Dengan ini yang dimaksud bukan badan, tetapi juga bukan jiwa. Manusia tidak sadar tentang jiwa, melainkan tentang aku! Kelak, jika manusia menguraikan kesadarannya, dia berkata tentang aku dan badan (bukan jiwa). Dia berkata: aku sakit, atau badanku sakit, di sebelah sini atau sana. Dalam pengalaman dan hidup sehari-hari, apakah yang kita lihat? Manusia mengalami diri dan barang-barang, sebagai subjek. Subjek artinya berdiri sendiri, mengambil tempat (posisi) dan sikap. Jadi, menghadapi. Yang dihadapi: diri sendiri dan realitas. Dia menghadapi, jadi punya daya, punya kemampuan, yang menyebabkan dia bisa seperti itu. Barang material tidak bisa menghadapi diri sendiri
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

41

maupun realitas, begitu juga dengan hewan. Maka, kemampuan manusia itu kita sebut kemampuan rohani, artinya tidak seperti barang-barang yang lain, tidak terbentang, tidak terlipat-lipat, berdimensi tiga. Lihatlah, kemampuan itu menyebabkan dia berdiri sendiri, bisa menghadapi diri dan barang lain, dengan sadar. Kemampuan itu juga bisa kita sebut sifat. Maka, manusia kita katakan bersifat rohani. Jadi, seluruh subjek (manusia) itu bersifat rohani. Jangan katakan rohani itu ada di dalam! Tidak! Lihatlah mata manusia, berbeda dari mata hewan! Lihatlah wajah manusia, berbeda dari muka monyet! Dalam seluruh Gestalt manusia, dalam semua itu tampak kerohaniannya. Bersama dengan itu, manusia juga jasmani, artinya materi. Dia berat atau ringan, berdarah dan berdaging, bisa dilihat secara anatomis, mirip dengan makhluk hidup lainnya. Juga kesenangannya, kebahagiaannya, sukacitanya, tidak lepas dari barang materi. Pikiran pun berkecimpungan dalam materi. Kita bisa berkata bahwa seluruh manusia itu juga jasmani. Seluruh manusia adalah rohani; seluruh manusia adalah jasmani. Kesatuan itu bisa disebut: kesatuan rohani-jasmani. Rohani-jasmani bukanlah dua bagian karena keduanya menyeluruh. Kita bisa katakan: ada aspek rohani, ada aspek jasmani. Dalam berpikir dua aspek ini bisa kita pandang tersendiri sebagai dua barang yang tersendiri. Maka, kita katakan badan dan jiwa. Jiwa adalah prinsip rohani tadi, badan adalah prinsip jasmani. Pandangan jiwa-badan bisa salah karena memandang dua prinsip secara tersendiri. Jika kita berbicara tentang badan tersendiri, maka di situ pandangan kita memecah belah kesatuan, dengan hanya memandang dan menganggap seolah-olah badan itu ada tersendiri. Dalam realitas, yang ada bukan badan, tetapi manusia, dan ini mempunyai aspek rohani dan jasmani. Dalam berbicara ada kecenderungan dan bahaya untuk memandang badan sebagai sesuatu yang bulat, habis! Itulah salahnya. Kita boleh saja menggunakan kata "badan" dan berdiskusi tentang badan asalkan selalu ingat bahwa tidak lain dan tidak bukan hanyalah aspek jasmani manusia, jadi tidak boleh pernah disendirikan, dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Berdasarkan pikiran ini kita bisa menunjuk pendapat-pendapat yang salah mengenai badan manusia.

Ada pandangan idealistis tentang badan. Menurut pandangan ini badan hanyalah sinar dari roh. Roh adalah listrik, badan cahayanya. Badan dan roh tidak pernah bertentangan. Tetapi, badan seolah-olah tidak ada, yang ada hanya roh.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

42

Pandangan materialistis berpendapat bahwa orang tidak perlu berpikir lebih lanjut. Yang ada hanya badan, habis perkara. Pendapat ini pun tidak riil. Sebab pada manusia ada hal yang tidak bisa hanya diterangkan atas dasar materi, misalnya cinta, sedih, kemampuannya untuk memandang diri (dan realistis).

Pendapat yang ketiga memandang badan sebagai musuh yang jahat semata-mata dari roh. Dalam pandangan ini antara roh dan badan hanya ada pertentangan dan perlawanan melulu. Badan dianggap penarik ke bawah, ke kejahatan. Pandangan ini biasanya juga dualistis, artinya tidak melihat badan dan jiwa sebagai satu hal yang ada, melainkan sebagai dua.

Badan dan Kesatuan Manusia (Aku) Yang jelas, dalam pemahaman awal, yang masih asli, tidak dibedakan antara badan dan jiwa. Yang tampak adalah Aku, Persona (tidak dalam pengertian Jung), Pribadi. Manusia berbicara tentang dirinya sendiri. Dalam berbicara ini dia berkata tentang jiwa dan badan. Dasarnya adalah karena dia menangkap aspek rohani dan jasmani pada diri atau akunya. Selanjutnya, jiwa dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (di dalam) dan badan juga, tetapi tampak. Pikiran tentang badan dan jiwa ini salah. Untuk membenarkan katakan: aku ini ya rohani ya jasmani. Badan adalah bentuk konkret dari kejasmanianku, atau adaku sepanjang aku ini jasmani. Yang ada bukan badan, yang ada ialah aku ini dan badan adalah aku dalam bentukku yang jasmani. Badan adalah aku sendiri dalam kedudukanku sebagai makhluk jasmani. Badan adalah wujudku sebagai makhluk jasmani. Semua ini untuk menyatakan bahwa badan bukanlah sesuatu seperti sepatu atau topi, sesuatu yang menempel. Badan adalah unsur diriku, unsur aku-ku. Jika aku berkata aku, maka di situ sudah termuat badanku. Samakah badan dengan aku? Tidak. Sebab aku bisa berkata: badan-ku. Tetapi badan sebagai milik, juga tidak sama dengan sepatu, cermin, dan lain sebagainya. Sekali lagi, badan termuat dalam aku. Aku sebagai makhluk jasmani berupa badan. Dalam arti ini ada sedikit kesamaan antara aku dan badan. Badan adalah aku sendiri sepanjang aku ini makhluk jasmani yang konkret. Lihatlah sepanjang itu. Badan tidak sama dengan aku. Hanya sama sepanjang aku ini berwujud jasmani, sepanjang aku ini terlihat, tampak dalam alam jasmani. Tetapi jangan lupa bahwa yang tampak itu tetap aku, tetapi melalui badanku atau bentuk jasmaniku.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

43

Kesamaan itu hanya sepanjang .... Sepanjang berarti badan merupakan caraku untuk tampak. Minatilah caraku menampakkan, jadi tidak sama saja dengan aku. Maka dari itu, badan juga merupakan perintangku dalam penampakan. Badan membatasi penampakanku, aku manusia tidak tampak seluruhnya dengan badanku. Karena badan itu menjadi penampakanku, maka bisa juga disebut ekspresi manusia; atau lebih konkret: badan itu merupakan ekspresi dari aku. Atau: Aku tampak dengan dan dalam bentuk yang disebut badan itu. Jika orang lain melihat badanku, maka dia melihat aku. Orang tidak akan berkata: aku lihat badan. Orang akan berkata: aku melihat si A. Kita tidak berkata: itulah badannya. Kita berkata: itulah orangnya. Setiap manusia juga sadar diri sebagai berbadan. Dia berkata: awakku lagi susah, awakku sedang malang. Yang malang bukan badan, tetapi seluruh manusia. Antara badan dan aku ada kesatuan, tetapi juga ada distansi, jarak. Aku bisa menyembunyikan diriku "di belakang badanku". Aku bisa berpura-pura marah, mengucapkan kata manis-manis, ... tetapi menipu! Jika badanku sakit, aku memang sakit, tetapi belum tentu malang, celaka. Badanku bisa tidak berdaya, tetapi aku mungkin masih bisa berpikir, mengarang, dan lain sebagainya. Untuk mengerti hubungan antara aku dan badanku ingatlah bahwa manusia yang sedang diucapkan. Di situ pikiran dan suara merupakan kesatuan. Menangkap suara berarti menangkap pikiran. Pikiran berbentuk suara (kata-kata). Tetapi antara pikiran dan suara tetap ada perbedaan. Bolehkah badan kita sebut "alat"? Boleh asalkan jangan lupa bahwa alat di sini tidak sama dengan alat biasa. Bolehkah kita berkata aku punya badan? Boleh juga asalkan (lagi) selalu diingat bahwa badan bukan milik seperti sepatu! Jika aku berkata aku "ada", maka di situ milikku tidak termuat. Tetapi, badanku termuat. Aku ada berarti aku ini manusia, jadi berbadan (tetapi belum tentu bersepatu). Setelah semua ini dikatakan, maka boleh saja kita berbicara tentang badan, menunjuk badan, seperti orang-orang lain. Tetapi dalam berpikir tentang manusia, hal ini harus dikoreksi bahwa badan bukan suatu kebulatan yang ada sendiri.

Badan sebagai Bentuk dari Aspek Jasmani Manusia Seluruh manusia adalah badani atau bodily. Sekarang kebadanian ini harus kita pandang. Aspek jasmani kita atau kebadanian kita dalam konkretnya berupa bentuk yang tertentu, yaitu badan itu. Ini bisa kita pandang dalam keadaan biologisnya atau sepanjang badan itu bentuk dari aspek jasmani kita. Dalam pandangan yang pertama kita melihat badan sebagai kesatuan biologis. Di situ tampak suatu struktur Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 44

yang terjadi dari banyak struktur yang tak terhingga jumlahnya. Di situ badan tampak sebagai bangunan dari sel-sel; bangunan ini mempunyai diferensiasi yang berbentuk organ-organ dengan fungsinya. Bangunan itu selalu berubah. Ada perkembangan yang memuncak sampai tingkat tertentu, lantas disusul dengan regresi atau peruntuhan, yang berakhir dengan disintegrasi. Tetapi pandangan ini tidak boleh dipisahkan dari pandangan yang kedua, yaitu badan sebagai aspek (jasmani) dari manusia. Dalam pandangan ini badan berupa tubuh atau diri fisik. Dalam pandangan ini aspek jasmani adalah penuh dengan aspek rohani. Dua itu tidak berdampingan. Manusia itu tidak sebelah kiri jasmani dan sebelah kanan rohani. Manusia adalah sekaligus jasmani dan rohani. Untuk menyatakan kesatuan ini, maka kita mengatakan bahwa aspek jasmani itu "penuh" atau dijiwai oleh aspek rohani. Sebetulnya kata "penuh" juga belum tepat; penuh di sini tidak seperti gelas penuh air. Gambaran yang lebih tepat dari penuh ini ialah kesatuan kata dan artinya. Dengan meminjam kata dari kalangan kesepuhan Jawa, kita bisa berkata kesatuan tubuh dan jiwa itu seperti "curiga manjing warangka dan warangka manjing curiga". Kita bisa berkata bahwa jiwa itu "dalam badan", tetapi bisa juga berkata badan atau tubuh itu ada dalam jiwa (warangka manjing curiga). Setelah ini kita nyatakan, asal dengan selalu mengingat kebenaran ini, kita boleh memandang badan atau tubuh dari sudut biologisnya. Maka tampak bahwa badan merupakan suatu struktur hidup, berproses menurut hukumhukum biologis, ditentukan oleh hukum-hukum warisan, dan lain sebagainya. Lihat juga dalam keadaannya dan pertumbuhannya yang konkret: badan di tengah-tengah keadaan yang konkret, juga ditentukan oleh keadaan itu. Keadaan tanah, keadaan iklim, keadaan geografis, keadaan flora, kesemuanya ini ikut serta menentukan seluruh manusia sebab jangan lupa bahwa badan selamanya adalah bentuk konkret dari aspek (jasmani) manusia. Jadi, tidak ada sesuatu yang hanya menentukan badan. Akan tetapi menurut aspek rohaninya, manusia akan berusaha selalu mengalahkan penentuan dari dunia luar itu. Maka, ada ketegangan antara aspek rohani dan aspek jasmani. Manusia itu kesatuan, tetapi kesatuannya tidak sempurna; padanya ada konflik antara rohani dan jasmani.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

45

Akan selalu menangkah kerohanian dalam konflik ini? Belum tentu. Ingatlah hukum warisan yang ada pada kita (Mendel). Mau tidak mau hukum warisan ini menentukan bentuk dan keadaan badan kita. Sebelum kita lahir, hukum-hukum ini sudah menentukan akan bagaimanakah cara kita berdiri dan bersikap terhadap dunia. Jika hukum-hukum warisan menentukan badan seorang sehingga badan ini hanya akan seperti Gareng maka si Gareng itu tidak akan berdiri dan berjalan seperti Wrekudara! Tetapi hal ini tidak jadi masalah. Semua keadaan badan, kecil atau cukupan, asal sehat saja, masih memungkinkan kemenangan kerohanian. Artinya, kerohanian manusia akan bisa muncul dan berkembang. Tetapi bisa ada keadaan yang sedemikian rupa sehingga kerohanian manusia seolah-olah terpendam, seperti api dalam banyak abu. Sifat rohani hanya menggejala dengan lemah, seolah-olah seperti pelita kecil dalam malam buta, sebentar tampak sedikit, sebentar hilang. Demikianlah adanya manusia tidak sampai ke kemanusiaannya. Pandanglah sekarang badan yang normal, yang sehat. Maka, di situ ada pertumbuhan yang normal, mulai dari bayi sampai ke puncak perkembangannya (1-25 tahunan terus berkembang, sesudah 25 tahun tidak tambah panjang atau tingginya, 25-30 kestabilan tinggi-lebar, 50-70 regresi atau proses keruntuhan yang berakhir dengan mati; demikianlah Dr. Charlotte Bhler dalam Psychologie der Puberteit). Tentu saja, pertumbuhan yang normal itu masih bisa dan harus disempurnakan dengan olahraga, pelajaran tari, dan lain sebagainya. Semua ini untuk lebih melancarkan berbagai macam fungsi. Jika badan bertumbuh secara normal, maka seluruh fungsinya dalam hidup manusia akan normal juga. Hal ini berarti bahwa manusia dalam hidup badani itu bisa melaksanakan kemanusiaannya. Hidup badani adalah untuk memanusia. Dengan membadan kita memanusia. Namun, jangan dilupakan bahwa badan atau tubuh mempunyai semacam otonomi sendiri. Di situ ada hukum-hukum yang berjalan sendiri sekalipun seluruh hidup badan itu dari jiwa asalnya. Badan atau tubuh hanya hidup alas kekuatan jiwa. Tetapi materia tidak menjadi rohani, tidak menjadi jiwa; hanya menjadi badan; tetap berproses dengan ditentukan oleh hukum-hukum materia (di sini hidup yang berdarah dan berdaging). Untuk sebagian badan kita bisa kita atur, untuk sebagian tidak bisa dan syukur tidak bisa (tidak perlu) sebab sudah jalan dengan sendirinya (misalnya perputaran darah, pembiakan sel). Tetapi ini pun masih bisa kita pengaruhi (ingat saja ilmu
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

46

kedokteran). Dalam arti tertentu proses-proses fisiologis pun ada di tangan kita. Kita bisa mengurangi makan, bisa pilih makanan dan obat-obatan, bisa mengurangi atau menambah tidur, dan lain sebagainya. Dengan semua ini kita bisa mengatur alam fisik dan fisiologis kita. Memang ada fungsi-fungsi yang berjalan sendiri tanpa kemauan kita (tidak perlu kita putar, seperti arloji), misalnya denyutan jantung. Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi yang meskipun fisiologis, terjadinya selalu dengan kemauan kita seperti ke kamar kecil dan lain sebagainya! Fungsi ini bisa juga diatur (kecuali kalau orang sakit, misalnya disentri!). Dengan mengemukakan sudut fisik atau fisiologik ini kita sudah sedikit menunjuk apa yang dalam bahasa Prancis disebut misre dari badan manusia. Badan kita mempunyai misre dan grandeur, artinya "kenistaan" dan "keagungan". Lihatlah sebentar sedikit dari misre itu. Lihatlah anak kecil, biarpun sehat, kalau masih kecil (bayi), belum bisa apa-apa! Makan harus disodori, minum harus diminumi, dan seandainya ibu tidak bertindak, ... si anak akan berkecimpungan dalam kotoran! Lihatlah juga pada usia yang dalam perkembangannya. Manusia di situ sudah kuat, sedang kuat-kuatnya. Ambil untuk mudahnya, orang yang sehat walafiat! Juga dalam keadaan yang demikian itu badan masih merupakan ke-nelangsa-an. Coba saja, seandainya tidak dibersihkan ... dengan mandi, sabun, dan lain sebagainya, akan bagaimanakah warna dan bau badan manusia! Manusia tidak bisa selalu bangga akan badannya, dalam segala-galanya! Kecuali semua ini, lihatlah bagaimana badan mengikat dan merintangi kita! Mahasiswa mau belajar, tetapi ... badannya berontak! Ketekunan yang sebesar-besarnya sedang dituntut karena ujian, ... tetapi sang kepala menjadi pusing! Lihatlah orang pandai, mungkin dia luar biasa, tetapi jika dalam otaknya ada gangguan sedikit saja ... lenyaplah semua kepandaiannya, malahan mungkin dia ditertawakan! Dalam bidang fisik, lihatlah orang yang sebagusbagusnya atau secantik-cantiknya, tetapi jika hidungnya digigit monyet sedikit saja, ... hilanglah semua keindahan! Tetapi pandanglah juga sebentar grandeur atau keagungan badan kita! Lihatlah seluruh struktur yang berdiri itu! Dalam lingkungan hidup tidak ada struktur yang lebih sempurna! Ingatlah bagaimana seluruh tubuh itu merupakan kesatuan. Ingat saja denyutan jantung, perputaran darah, pembagian makanan dan gula, dan lain sebagainya, dalam tubuh manusia. Ingatlah susunan dan cara kerja mata manusia! Semua itu mengagumkan. Jika pandangan ini masih statis, lihatlah manusia dalam kemampuannya dengan badannya. Lihatlah tangan manusia, macam apa saja yang dibisai. Lihatlah dalam tari-tarian bagaimana bagusnya badan manusia dalam aksi! Lihatlah ketangkasan-ketangkasan badan manusia dalam
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

47

olahraga! Sungguh mengagumkan. Di samping pandangan yang sangat sederhana ini, lihatlah peranan badan manusia dalam ilmu pengetahuan. Bisakah sarjana belajar tanpa badannya? Tidak! Lihatlah konstruksi-konstruksi teknik dari komputer, mesin hitung, reaktor atom. Semua itu hanya mungkin karena badan manusia. Lihatlah sekarang barang-barang seni; lukisan yang indah-indah! Mungkinkah itu tanpa adanya badan manusia? Tidak! Dengarkan musik yang mengharukan. Mungkinkah itu tanpa badan manusia? Tidak! Akhirnya, dalam aktivitas manusia yang tertinggi tidak mungkin menghilangkan fungsi badan. Lihatlah orang-orang yang sedang bersalat menyembah Tuhan! Badannya, tangannya, bibirnya, lidah-nya, matanya, semuanya ikut serta! Dengan ini tampaklah sedikit keluhuran badan manusia. Jika seluruh manusia menyembah Tlihan, maka aspek jasmaninya pun turut serta!

III. Badan sebagai Jasmani yang Dirohanikan atau Rohani yang Menjasmani Pandangan di atas sudah menunjukkan dengan lebih jelas bahwa badan itu tidak melulu materi atau kejasmanian. Oleh sebab itu, daging manusia jangan dianggap sama saja dengan daging lembu. Darah manusia tidak sama dengan darah hewan. Pancaindra manusia tidak hanya sama dengan indra hewan! Manusia mendengar, anjing mendengar, tetapi itu tidak sama. Seluruh kejasmanian manusia dalam segala-galanya, kesemuanya itu, jika dilihat dalam kedudukannya dalam keseluruhan manusia, tidak sama dengan kejasmanian hewan karena kejasmanian manusia itu jasmani yang dirohanikan, atau dalam jasmani itu rohlah yang menjasmani (seperti arti dalam kata). Berdasarkan keluhuran ini, maka badan juga hanya akan luhur secara sepenuhnya jika hidupnya untuk mengabdi roh. Kita bisa melihat pada wajah seseorang, jika hidupnya (kesusilaannya) bejat sama sekali. Sifat tuna susila atau kebubrahan moral berarti bubrah-nya aturan dalam kesatuan jiwa-raga. Maka, kerendahan dan kehancuran itu tercermin pada wajah manusia. Kedudukan badan yang sangat luhur itu nampak jika kita memandang persoalan tentang perumahan, makanan, pakaian, dan lain sebagainya. Untuk sekarang cukup dikemukakan bahwa badan itu pengejawantahan rohani kita. Maka dari itu, bisa juga disebut aspek luar dari pribadi manusia. Karenanya badan menjadi cerminan pribadi manusia. Jika pribadinya luhur, maka badan dalam sikap-sikapnya, dalam gerakgeriknya, dalam solah-bawa-nya, dalam penampilannya dan penampakannya, juga

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

48

akan mencerminkan keluhuran itu. Tetapi sebaliknya, jika orang ingin menjadi pribadi luhur, maka dia juga harus mengatur segi-segi luar dari hidupnya itu. Badan dan Pendidikan Manusia adalah makhluk badani dan sebagai makhluk badani dia harus menjalankan hidupnya di dunia ini. Dia harus bersikap, bertindak, bergerak dan bekerja (mengolah dunianya). Semua ini hanya mungkin berkat badannya (=bentuk konkret dari kebadanian). Tetapi, kita melihat bahwa badan manusia itu semula tidak berdaya sehingga seluruh manusia pun tidak berdaya karenanya. Daya dan kemampuan insani hanya tumbuh lambat laun dengan dan dalam pertumbuhan badan. Anak kecil belum bisa berpikir karena otaknya belum berkembang. Karena itu, dia juga belum bisa bertindak sebagai manusia. Mengingat hubungan antara pertumbuhan jasmani dan rohani ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa pertumbuhan badan itu merupakan prasarana atau infrastruktur perkembangan rohani. Cara mengatakan ini boleh saja asalkan orang tidak mengira bahwa dua perkembangan itu hanya berjejer atau berdampingan! Yang bertumbuh dan berkembang ialah seluruh manusia dan bukan badan di samping roh sebab memang tidak ada badan di samping roh. Pada akhirnya kita tidak menangkap bagaimana perkembangan manusia itu merupakan kesatuan dalam kebhinnekaan. Yang tidak bisa disangkal ialah adanya kesatuan itu. Berdasarkan ini, maka penyempurnaan manusia tidak dipisahkan dari penyempurnaan badannya. Manusia hanya berkembang sebagai manusia jika badannya memungkinkan. Oleh sebab itu, badan harus selalu dianggap supaya ada kemungkinan perkembangan yang sebesar-besarnya. Karenanya bimbingan kepada anak juga harus memuat bimbingan menjalankan hidup jasmani. Dalam praktek biasa (juga dalam kalangan sederhana) kita melihat hal ini berjalan, sebab ibu mengajar si anak makan, minum, tidur, mengenakan pakaian, berjalan, dan lain sebagainya. Pendek kata, anak harus diajari hidup jasmani dan ini tidak bisa tidak berarti melatih melakukan badan dengan berbagai macam cara. Manusia hanya memanusia dalam badannya. Dia hanya tampak sebagai ke-badan-an. Jadi, semua hal insani badani juga. Demikianlah tata sopan, hormat, cinta kasih, kebaktian, semua ini dilaksanakan dalam kehidupan manusia, jadi dengan badan. Maka dari itu, mendidik selalu berarti "mendidik badan" (sebetulnya bukan hanya badan, tetapi badan sebagai bentuk konkret dari manusia). Dalam semua ini belum dibicarakan secara khusus pendidikan jasmani dalam arti yang khusus itu, pendidikan manusia sudah mempunyai segi jasmani. Dalam pendidikan manusia jasmani dirohanikan dan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

49

rohani dijelmakan. Kehidupan jasmani yang teratur itu adalah kehidupan jasmani yang dirohanikan dan penjelmaan kerohanian.

Kesehatan dalam Kehidupan Insani Dalam bagian ini kita akan melihat kedudukan dan fungsi kesehatan dalam kehidupan insani. Dalam istilah ini kita sudah menentukan sikap dalam memandang sakit dan sehat. Situasi badan harus dipandang menurut kedudukan badan yaitu bentuk konkret dari aspek kejasmanian kita. Keadaan badan adalah keadaan dari aspek itu, jadi keadaan manusia. Asalkan kita selalu mengingat kesatuan manusia ini, maka boleh saja kita berbicara tentang badan sehat dan jiwa sehat, malahan kita boleh berkata tentang jiwa sehat (mens sana) dalam badan sehat (in corpore sano), meskipun kita sudah mengerti bahwa jiwa tidak berdiam di badan seperti jangkrik dalam bumbung! Apakah kesehatan itu? Biasanya yang disebut sehat itu manusia dilihat melalui badannya. Si A sehat berarti bahwa keadaan badannya baik, tidak sakit. Kata "sakit" biasanya dikatakan tentang keadaan badan, tetapi juga tentang jiwa (lihatlah istilah mental health, mental hygiene); sekarang orang juga berbicara tentang dokter jiwa, rumah sakit jiwa, sakit jiwa, dan lain sebagainya. Dalam sastra Indonesia kita juga bisa membaca bahwa misalnya jatuh cinta disebut "sakit". Tetapi tentu saja tidak sama dengan sakit jiwa! Dalam pandangan ilmu pengetahuan sekarang, sakit itu tidak hanya dipandang sebagai keadaan badan. Jika kita mengingat psikoanalisis, maka tampak bahwa dalam menghadapi manusia sakit, yang dilihat bukan badannya saja, juga bukan hanya berbagai macam fungsinya. Kejiwaan manusia diminati juga. Jadi, pokoknya kata "sehat" dan "sakit" digunakan juga mengenai keadaan jiwa atau lebih tepat kejiwaan, yang artinya seluruh manusia, tetapi dilihat dari sudut psikis. Dalam pikiran sekarang yang akan kita pandang hanya sehat atau sakit sebagai keadaan manusia seluruhnya dipandang dari sudut jasmaninya (konkret: badannya). Sekali lagi dalam hal ini pandangan manusia yang asli juga menyeluruh, artinya orang tidak pikir tentang badan yang sehat atau sakit. Orang melihat seluruh manusia. Hal ini tampak dalam berbagai macam orang yang bicara. Dalam bahasa Inggris misalnya, kesehatan disebut whole-some, di mana kata whole menunjuk keseluruhan. Dalam bahasa Jawa kita kenal kata wilujeng dan sugeng. Kalau orang bertemu, maka orang tanya apa kawannya wilujeng (sugeng). Yang dimaksud dengan wilujeng dan sugeng ialah seluruh manusia. Apakah sebetulnya arti sehat? Hal ini sulit dikatakan secara tepat. Sebab yang sebaliknya (sakit) juga sulit dibatasi artinya. Secara negatif bisa dikatakan bahwa Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 50

sehat berarti tidak sakit, tidak adanya penyakit apa pun. Tetapi justru apakah sakit atau penyakit itu? Mana batasnya antara sakit dan sehat? Lagi, bagi manusia sehat dan sakit itu bukanlah soal badan semata-mata. Kekecewaan yang hebat, kesusahan yang mendalam bisa juga membuat badan sakit, sehingga obat-obatan tidak berguna! Mengingat ini, maka sebetulnya masih kuranglah jika kita berkata bahwa sehat bagi manusia berarti tidak adanya penyakit-penyakit (badan). Dalam situasi yang konkret, sehat atau tidak itu juga berhubungan dengan kebudayaan. Bagi orang di hutan rimba "perumahan" yang sangat primitif tidak masalah; di sana hidupnya masih jalan baik. Sebaliknya, bagi orang yang datang dari lain kebudayaan, orang itu akan terganggu kesehatannya; badannya di situ tidak bisa berfungsi. Jika kita mengingat kesemuanya ini, maka bagi manusia apa yang disebut sehat atau kesehatan ialah situasi total dari manusia sebagai totalitas, baik jasmani maupun rohani, yang memungkinkan dia menjalankan hidupnya dengan menempatkan diri dalam keadaannya. Dalam rumusan ini tampak bahwa kesehatan bukan hanya soal badan, tetapi soal seluruh manusia. Keadaan kebudayaan yang konkret juga masuk dalam rumusan ini sebab menempatkan diri dalam keadaannya atau menyesuaikan diri dengan keadaannya menunjukkan keadaan yang konkret dan itu selalu berupa kebudayaan yang tertentu.

IV. Perkembangan Studi tentang Badan Manusia Ada tiga pandangan utama tentang tubuh yang berlaku di Yunani Kuno. Yang pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental". Aliran yang kedua, didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental". Aliran yang terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus, mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengaruhi filsuf-filsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato. Pemikiran Romawi tidak memandang tubuh dengan negatif. Sebagian besar orang Romawi sangat percaya dengan astrologi dan memandang tubuh dan jiwa adalah bagian dari kosmis. Kemudian tibalah zaman Renaissance yang mengakhiri ide dasar bahwa "tubuh adalah musuh", dan mulailah bergulir gagasan bahwa tubuh adalah sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

51

Pada abad ke-20, dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi, dan psikologi, tubuh tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau yang dianggap secara potensial berbahaya dan perlu selalu diawasi, tetapi tubuh dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, sesekali memang dapat "rusak", tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki. Pada perkembangannya yang terakhir tubuh tidak lagi bisa dianggap sebagai sekedar pemberian Tuhan, tetapi dianggap sebagai plastik dan bionik, dengan alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata dan telinga, pendeknya sesuatu yang dapat dibentuk sesuai keinginan manusia. Tubuh manusia sudah jadi topik penting dalam kajian antropologi sejak awal abad ke-19. Ada empat alasan yang bisa menjelaskan kenapa tubuh menempati posisi penting dalam antropologi: 1) Pembahasan antropologi filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini otomatis menempatkan perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral; 2) Asal-usul manusia yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam antropologi. Apakah yang kemudian membatasi alam dan kebudayaan?; 3) Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi (darwinisme sosial), yang memberi kontribusi pada studi tubuh; 4) Karena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius. Abad baru, dengan pandangan tentang tubuh yang baru, membuat para antropolog berhenti untuk melihat tubuh secara fisik dan mulai melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat. Margaret Mead misalnya mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari dua jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalanpersoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing. Studi Tubuh Modern Sebetulnya pada tahun 1970-an sudah mulai bermunculan buku-buku kajian tentang tubuh, misalnya Touching karya Ashley Montagu (1971) atau Social Aspects
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

52

of the Human Body karya Ted Polhemus (1978). Tapi baru pada tahun 1980-an studi tubuh mulai populer dan berkembang secara sistematis. Mary Douglas adalah orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan, "Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat. Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik. Bryan S. Turner membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai "geometri tubuh" (The Body and Society [1984]). Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh empat dimensi: 1) Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi; 2) Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagai masalah "politik"; 3) Kemampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh; 4) Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh. Pemikiran Arthur W. Frank sedikit lebih kompleks ("For a Sociology of the Body: An Analytical Review" [1991]). Menurutnya ada empat masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama, dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi empat: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body. Michel Foucault: Bio-politics dan Bio-power Bagi Michel Foucault, tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

53

adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas, personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual. Foucault membuat tiga kategori analisis: 1) Force relations: kekuasaan dalam formasinya yang lokal dan global dalam hukum, negara dan ideologi. 2) The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. 3) The social body: perwujudan kolektif target kekuasaan, tubuh sebagai "spesies". Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power. Biopower dipertahankan dengan dua metode: pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkat kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan produktivitas. Dan ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori normaltidak normal, praktek kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi. Banyak karya Foucault yang sangat fenomenal bagi studi tubuh: Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1973), Discipline and Punish (1975), dan The History of Sexuality (1978), The Use of Pleasure (1985), dan The Care of The Self (1986). Tubuh dalam Kebudayaan Konsumen Mike Featherstone mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar ("The Body in Consumer Culture" [1982]). Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh). Menurutnya dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

54

Persepsi tentang tubuh dalam

kebudayaan konsumen didominasi oleh

meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah kreator utama citra tersebut.

V. Apakah Jiwa Merupakan Sesuatu yang Real? Penolakan gagasan jiwa dewasa ini oleh banyak ahli teologi Barat bukan seratus persen kebetulan. Itu bisa dimengerti, untuk sebagian, sebagai reaksi terhadap suatu representasi dari jiwa dalam konteks suatu dualisme yang dipopulerkan di Barat sejak abad ke-17, dan yang mendukung suatu spiritualitas yang nampak terlalu jauh dari dunia konkret dan material. Marilah melihat masalah itu dari lebih dekat. Penolakan Semua Jenis Dualisme dalam Manusia Mulai dengan Descartes, pikiran Barat diwarnai oleh suatu konsepsi dualistis tentang manusia, yang terdiri dari jiwa dan badan seperti dua realitas yang dijajarkan satu di samping yang lain (juxtaposition). Realitas pertama, jiwa, disamakan dengan pikiran refleksif dan hanya dialah yang sungguh-sungguh mendefinisikan esensi manusia. Yang kedua, badan, dianggap sebagai bagian dari dunia fisik yang terstruktur sedemikian rupa sehingga menjadi hamba jiwa; dan yang khas bagi badan adalah: keluasan, bagaikan semua benda lain. Jiwa yang dilayani oleh badan, dan badan itu berhubungan satu sama lain seperti si penunggang (jiwa) dengan tunggangannya (badan). Konsepsi dualistis ini ditolak oleh pikiran kontemporer yang ingin mempertahankan kesatuan kepribadian manusia; dan dalam perspektif kesatuan manusia real ini, wajah badaniahnya masuk kodrat manusia dan bukan sesuatu yang sekunder. Itulah yang dicatat baik oleh fenomenologi abad ini dengan gagasan badan-subjek (corps-sujet). Pengalaman seperti misalnya penyakit, penderitaan, penyiksaan, yang dihayati dalam kebatinan pribadi (persona) menyatakan bahwa karena badannyalah (badan yang dijiwai) subjek manusiawi, kepribadian itu, membuka diri akan benda-benda, akan dunia objek-objek. Kebadaniahan atau korporalitas, sebagai modalitas esensial dari subjek merupakan mediasi yang membuat kepribadian menghadiri dunia objektif, tetapi tanpa dikuasai olehnya. Pendekatan baru terhadap dunia material ini menjelaskan arti penting yang diberikan oleh orang zaman ini kepada hidup badaniah, yang dianggap sebagai
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

55

suatu dimensi esensial dari eksistensinya. Badan bukan sesuatu yang asing terhadap keakuan; terutama bukan penjara atau wadah saja bagi jiwa (konsepsi Plato). Badan itu adalah syarat suatu eksistensi manusiawi yang terstruktur untuk berkembang dalam suatu dunia yang pas sekali dengannya: dunia historis. Bisa dimengerti betapa penting re-evaluasi itu dari sudut moral: karena dengan demikian, kekhasan-kekhasan kepribadian manusia mencirikan hidup badaniah sendiri. Hidup badaniah mengambil bagian dalam martabat kepribadian, mengikutsertakan keputusan-keputusan, perjuangan-perjuangan, dan hak-haknya. Bagi orang zaman ini, semua ancaman akan hidup badaniah nampak sebagai ancaman akan kepribadian juga. Menyentuh badan atau menyerangnya berarti menyentuh dan menyerang manusia dalam globalitasnya. Sebaliknya, dalam konsepsi dualistis Descartes, hanya jiwa saja yang disamakan dengan pikiran yang merupakan realitas yang memang manusiawi; sedangkan badan hanya dianggap sebagai suatu realitas yang asing terhadap pikiran manusiawi itu, atau sebagai bagian dari dunia material saja di mana manusia termasuk. Karena Descartes mengintegrasikan dualisme badan-jiwa tersebut dalam konteks suatu spiritualitas hebat yang mengejar Allah, gagasan jiwa lalu terikat dengan sebuah spiritualitas keterlaluan yang memalingkan orang dari kegiatan konkret dalam dunia ini. Tentu saja dualisme itu bersama dengan visi manikeisnya tentang dunia di mana materi dan roh dianggap saling bermusuhan satu sama lain harus ditolak. Tetapi itu bukan alasan untuk menolak juga gagasan jiwa dan gagasan badan dengan dalih bahwa kedua kategori mental tersebut diambil dari lingkungan RomawiYunani di mana paham Kristen menemukan penyebarannya yang terbesar, sehingga distingsi jiwa dan badan, katanya, bukan sesuatu yang biblis Jangan mengacaukan doktrin tradisional mengenai jiwa dan badan seperti yang diterima dan dipelajari dalam monoteisme otentik dengan dualisme Plato dan Descartes di mana jiwa dan badan merupakan dua realitas lengkap yang berlawanan satu sama lain. Sebelum kita berbicara tentang jiwa, kita akan mulai dengan memikirkan realitasrealitas yang disebut spiritual, untuk melihat apakah mereka adalah sesuatu yang real ataukah ilusi saja. Perjalanan ini akan berusaha untuk menghindari semua yang mirip dengan dualisme kuno, yang merupakan sumber pesimisme. Perhatian akan diberikan kepada kesatuan manusia real yang dinyatakan secara baik dengan istilah persona manusiawi. Tetapi sebelum realitas-realitas spiritual itu dibicarakan, marilah meringkaskan yang khas bagi dunia material.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

56

Dunia Material, Bidang Kuantitas Materi adalah semua yang bisa dilihat, dirasakan, disentuh, diukur, dilokalisasikan; semua yang bisa disadari berkat perubahan apa pun atau modifikasi spasio-temporal; juga materi nampak sebagai sesuatu yang terkena perluasan, divisibilitas, dan lain sebagainya. Materi inilah yang merupakan objek langsung dan pertama dari pengetahuan manusia, entah umum atau ilmiah. Pengetahuan manusia, pun pula dalam derajatnya yang paling spiritual, selalu bertitik-tolak dengan pengetahuan indrawi, lewat kontak badan manusiawi dengan lingkungan: pertama terjadi modifikasi indrawi berdasarkan tanggapan pancaindra, lalu modifikasi tersebut dikerjakan oleh otak yang mengintegrasikan perasaan-perasaan. Dengan demikian dunia materi menyentuh manusia yang tenggelam di dalamnya. Dunia Spiritual dan Pikiran Refleksif Karena asal-usul pengetahuan kita terikat pada pancaindra, dia ini tidak terbuka langsung kepada dunia rohani. Dunia rohani itu, karena tidak bersifat material, hampir hanya bisa didefinisikan lewat deduksi dan dengan perlawanan dengan dunia material. Spirit atau inteligensi, misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlihat, tak tersentuh, tak tertangkap oleh pancaindra, tak terukur. Demikianlah pikiran manusiawi. Manusia bukan hanya organisasi, struktur pasif; artinya bukan hanya kodrat, seperti halnya dengan semua benda lain yang material. Manusia juga bersifat dinamisme yang mengorganisasikan dan menguasai materi, dan itu nampak kalau dia menemukan ide, gagasan, dan hukum-hukum yang mendiami materi sendiri untuk membuatnya dimengerti (itulah pengetahuan biasa atau ilmiah), atau jika dia mengerjakan materi itu untuk memberikan kepadanya suatu struktur baru (itulah kesenian, kerajinan, dan teknik). Bagaimanapun juga, manusia memberikan kepada materi signifikansinya. Dia menentukan inteligibilitas yang sudah ada dalam materi atau dia memberikan kepada materi suatu signifikansi atau makna baru. Pendeknya, manusia berkat pikirannya merupakan suatu jenis dinamisme dan terjelma dari spirit dalam materi. Dengan kata lain, manusia mampu memberikan kepada suatu bagian materi tertentu yang sudah mempunyai jenisnya (seperti kayu atau besi, misalnya), suatu struktur baru, suatu organisasi khusus untuk sebuah tujuan tertentu yang dia maksudkan (misalnya dengan membuat suatu patung, atau sebuah motor). Pendeknya, manusia berhasil menjelmakan dalam suatu bagian materi tertentu suatu representasi yang
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

57

lahir dari pikiran kreatifnya. Dalam psikologi klasik dahulu dikatakan bahwa yang khas bagi manusia adalah menciptakan ide-ide dengan mana dia membayangkan dunia dan mempengaruhinya. Ide-ide itu adalah hasil abstraksi dari kondisi-kondisi konkret dan data-data indrawi yang merupakan basis semua bentuk pengetahuan manusiawi. Kapasitas abstraksi manusia tersebut terdapat pada semua kebudayaan, baik dalam penciptaan alat-alat intensional oleh manusia, maupun dalam upacara pemakaman. Makhluk manusiawi mampu melampaui kontingensi-kontingensi saat sekarang serta rasa-rasa indrawi. Dia mampu mengatasi kontingensi dan rasa-rasa indrawi itu, serta mengorientasikan mereka kepada suatu proyek: yaitu suatu tujuan yang belum ada. Kemampuan itu kita namakan di luar paham dualisme Platonis semacam instansi yang memimpin yang memungkinkan manusia mengambil jarak terhadap dunia material di mana dia berada di dalamnya berkat badan dan rasa-rasa indrawinya, dan lalu menguasai dan mengorientasikan dunia material itu. Inilah dunia batin yang tidak termasuk lagi dalam dunia kuantitatif dan ukuran. Biasanya bidang ini disebut dunia kesadaran psikologis, di mana manusia tahu bahwa dia membuat sesuatu atau merencanakan suatu proyek tertentu. Manusia merasa perlu menemukan suatu nama khusus untuk menyebut bidang yang dimasuki manusia berkat pikiran refleksifnya. Nama itu adalah Spirit, semacam sabda batin dengan mana manusia menyatakan kepada dirinya sendiri baik mengenai semua yang melibatkan hidupnya sehari-hari, maupun tentang keputusankeputusan yang paling penting. Spirit ini didefinisikan berdasarkan pembedaannya terhadap dunia materi yang ciri-ciri khasnya adalah kuantitas, keluasan, dan ukuran. Spirit masuk dalam kategori kualitas yang tak terukur langsung; masuk juga kategori afektivitas, yaitu reaksi batin positif atau negatif terhadap realitas-realitas yang dihadirkan oleh pancaindra dan imajinasi. Justru terhadap segi itulah, nampak sebuah pendekatan lain terhadap realitasrealitas spiritual: Manusia didiami oleh kebutuhan-kebutuhan vital yang harus dipenuhi untuk menjalankan eksistensinya. Pada kesempatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itulah juga terlihat kapasitas manusia untuk menyadari dunia spiritual, di seberang kotingensi-kontingensi biologis. Jadi, berdasarkan kekurangan manusia terhadap keinginan-keinginannya dapat dimengerti munculnya realitas spiritual manusia.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

58

VI. Manusia Mengatasi Batas-batas Kebertubuhannya Berlainan dengan semua makhluk hidup yang lain, termasuk jenis hewan bertulang belakang tingkat tinggi, kekurangan manusia membangkitkan sesuatu yang lain dan mewahyukan kodrat khas manusia; sesuatu yang bersifat heterogen terhadap apa yang biologis semata-mata. Sebenarnya, pada manusia pemuasan suatu kebutuhan tertentu sama sekali tidak meredakannya, sebaliknya malah menimbulkan suatu tegangan dan dorongan ke arah sesuatu yang lain; pemuasan tersebut mewahyukan suatu kekurangan lebih fundamental lagi, yaitu keinginan. Pemuasan sebuah kebutuhan sama sekali tidak menghentikan denyut dan gelora terhadap kebaikan yang diinginkan dan dihabiskan, dan hanya menimbulkan suatu keinginan baru, dengan memperluas cakrawala dari semua yang dapat diharapkannya. Akibatnya, timbul kekecewaan dan pengejaran terus-menerus ke arah kepuasan-kepuasan yang baru. Tiap kebutuhan yang dipenuhi melahirkan suatu kebutuhan baru. Situasi tersebut bisa diringkaskan begini: dalam makhluk manusia terdapat suatu cakrawala relasional yang keterbukaannya tak terbatas. Gagasan cakrawala menyatakan dengan baik perluasan terus-menerus menjauh ketika orang mengira sedang mendekatinya. Begitulah keinginan yang muncul sebagai akibat dari pemuasan suatu kebutuhan. Bukankah benar bahwa manusia sering sedih sesudah suatu kebutuhan terpenuhi, bahwa dia tidak puas dan selalu mencari sesuatu yang lebih sempurna, lebih lengkap? Jika manusia tinggal di derajat kebutuhan, dia hanya berpaling pada dirinya; hanya keinginanlah yang bisa membangkitkan di dalamnya suatu alteritas sejati, alteritas seorang lain, suatu persona yang diakui dan dihormati untuk dirinya sendiri. Ketidaksesuaian permanen yang tersisip di antara pemuasan kebutuhan dan terus-menerus munculnya keinginan baru tidak lain dan tak bukan merupakan konsekuensi dari kehadiran suatu pikiran dan afektivitas spiritual dalam diri manusia. Yang khas bagi roh adalah mentransendensikan hal-hal yang bersifat kuantitatif, material; dan pada kesempatan hadirnya hal-hal ini, roh itu menduga-duga (membayangkan) realitas-realitas jenis lain. Akibatnya, suatu sifat yang khas bagi manusia karena asalnya yang spiritual adalah: kecakapan untuk maju, untuk perkembangan ilmiah, kultural, moral, dan lain-lain. Berkat karakter spiritualnya, manusia agaknya masih belum lengkap. Ada-nya yang sejati tetap berada di depannya sebagai tugas yang mesti dilaksanakan. Spiritualitas manusia bisa dilukiskan dengan cerita berikut: Dalam Perang Dunia II, sesudah tentara Jerman menduduki Perancis, para tawanan perang terpaksa Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 59

hidup dalam kemiskinan luar bias: penuh dengan penderitaan akibat kelaparan, kotoran, kedinginan, dan sebagainya. Dalam kesempatan itu, banyak orang kehilangan segala sesuatu yang dapat dikatakan humanitasnya, karena semuanya diatur agar mereka terampas dari hormat terhadap dirinya sendiri. Tetapi, sebaliknya, juga banyak orang lain yang justru memperlihatkan kekuatannya dengan berusaha dan berhasil bertindak baik sekali, sesuai dengan keyakinan-keyakinannya yang superior. Suatu hari, beberapa serdadu Jerman melemparkan beberapa potong roti ke dalam kamp tawanan perang sejenis itu. Banyak orang buru-buru lari dan berebut potongan roti itu secara liar, laksana gerombolan serigala. Adegan buruk itu difilmkan oleh opsir-opsir Jerman, untuk kemudian diperlihatkan dan ditertawakan dalam rangka propaganda perang. Tiba-tiba, secara kebetulan dua potong roti jatuh di kaki dua teman yang sedang membicarakan dimensi spiritualitas manusia. Mereka mau memfilmkan keburukan kita!, kata salah seorang di antaranya. Orang itu tidak mau meniru keliaran orang lain. Dia menyepak potongan roti itu, meskipun perutnya lapar sekali. Lihatlah, tutur temannya, tadi kita bicara mengenai ada tidaknya jiwa, hidup spiritual. Nah, kamu baru saja menunjukkan apa artinya jiwa atau dimensi nonmaterial manusia itu! Sesungguhnya, kemampuan manusia untuk menjawab tidak terhadap kebutuhan-kebutuhan material atau biologis, berdasarkan suatu cita-cita yang dipilih karena nilainya yang tinggi (yang sama sekali berbeda dengan latihan binatang sirkus), tidak masuk lagi ke dalam bidang materi, melainkan dunia kebebasan batin; dan sekali lagi, itulah artinya istilah spiritual.

VII. Ikhtisar Kehidupan makhluk manusia itu, akibat ciri spiritual jiwanya, diucapkan dengan istilah persona. Jadi arti persona adalah ada spiritual yang mekar berkembang dalam dan lewat badan. Persona manusiawi, karena spiritualitasnya, penuh dengan kekayaan batin: pikiran dan kebebasan. Kekayaan itu dirasakan seperti suatu misteri misteri makhluk manusiawi, yang meletakkannya di luar semua kategori. Persona ini bukan merupakan sebuah objek atau benda, atau suatu kodrat pasif yang bisa diklasifikasi dan dimanipulasikan. Dia mentransendensikan seluruh tata jenis itu. Karena itu, persona tak pernah boleh menjadi milik seorang lain; dia juga tak pernah disentuh dalam intimitasnya, kecuali jika dia memberikan dirinya sendiri dengan bebas. Itulah pertemuan batin dan terutama kegiatan cinta-kasih, karena mencintai

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

60

merupakan panggilan sejati manusia, dengan membuka diri ke arah misteri-misteri pribadi lain dan bertukar kekayaan-kekayaan pribadi dengan mereka. Ciri khas persona tersebut juga diucapkan dengan gagasan keunikan; maksudnya, tidak ada dua persona yang sama satu sama lain, berlainan dengan makhluk material saja yang bisa dilipatgandakan tanpa batas dari dalam, seperti proliferasi kuman selama ada unsur-unsur yang bisa dipakai. Sebaliknya, makhluk spiritual bersifat unik dalam keanekaragaman sesamanya. Itulah dasar martabatnya. Badan yang penuh dengan hidup, yang saya sentuh dan rasakan itu, sudah merupakan suatu badan yang dijiwai, yang terstruktur berkat jiwa; dia sudah merupakan keseluruhan manusia dari segi badaniahnya; dia adalah diri saya sendiri dari sudut pandang materialnya sebagai suatu makhluk yang masuk dunia material dan biologis. Adapun jiwa, dalam fungsi yang menstrukturnya, tidak bersifat lahiriah terhadap badan; dia bersifat imanen terhadapnya.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

61

Pengetahua n

Modul IV

Sub Materi:
Kompleksitas Pengetahuan Manusia Apakah Pengetahuan Itu? Apa yang Diandaikan oleh Pengetahuan? Kesesuaian (Konaturalitas) antara yang Diketahui dan Si Pengenal Ikhtisar dan Matinya Epistemologi

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008


Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

62

P E N G E TA H U AN

I. Kompleksitas Pengetahuan Manusia Usaha mempelajari pengetahuan manusia dengan sifat jangkauannya yang terbuka dan kompleks, jelas bukan merupakan usaha tanpa kesulitan. Kesulitan pertama adalah mengobjektivasikan pengetahuan manusia untuk dapat meraih dan memahami kodratnya dengan teliti, serta mengungkapkannya secara tepat. Kesulitan ini disebabkan karena untuk mengobjektivasikan suatu realitas apa pun, orang harus mengambil jarak terhadapnya. Ada dua faktor kesulitan dalam hubungan dengan hal ini. Pertama, sikap pengambilan jarak terhadap perbuatan atau tindakan mengetahui merupakan hal yang sulit karena dengan itu sekaligus mengambil jarak terhadap realitas. Ketiga, berkat pengetahuanlah. maka semua yang terdapat di luar dan di dalam subjek dapat menjadi nyata. Bagaimana pengetahuan sendiri dapat menjadi objek dari pengetahuan? Bagaimana pengetahuan bisa menjadi dua untuk menempatkan diri di hadapan dirinya sendiri? Analisis yang dilakukan oleh Hardono Hadi (1996) maupun Louis Leahy (1993) akhirnya mengakui bahwa kesulitan ini memang mengandung alasan yang benar. Pengetahuan tidak bisa dipandang seperti memandang suatu objek yang terdapat di sana, di depan subjek, yang dapat dijangkau oleh pandangan dan oleh tangan manusia. Benar bahwa manusia tidak bisa mempertimbangkan itu semudah mempertimbangkan kegiatan lain yang timbul darinya tetapi yang muncul di luar dengan lebih jelas, seperti mengisyaratkan atau menginginkan. Pengetahuan, karena diandaikan oleh kegiatan-kegiatan itu, maka akhirnya ia tidak jelas menampilkan diri untuk dapat diketahui Kondisi inilah yang oleh Kees Bertens digambarkan sebagai hal yang membuat para filsuf menghindar untuk mempelajari pengetahuan pada umumnya. Alasannya, karena hal itu dianggap mustahil dan tidak berguna. Bertens menjelaskan bahwa biasanya para filsuf cenderung meneliti suatu bentuk tertentu dari pengetahuan. Ia menunjukkan, misalnya M. Merleau-Ponty yang membicarakan mengenai persepsi (sebagai dasar fenomenologi) yang mendahului adanya ilmu pengetahuan; atau Immanuel Kant di dalam Kritik der reinen Vernunft (kritik atas rasio murni), yang memperhatikan bagaimana bermacam-macam kegiatan dari pengetahuan tergantung dan saling berinteraksi satu sama lain (Bertens, 1987: 29 50).
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

63

Meskipun usaha mempelajari pengetahuan manusia demikian kompleks dan sulit, namun pengetahuan bukan tidak bisa diketahui. Louis Leahy menjelaskan bahwa pengetahuan itu bisa mencapai dirinya sendiri karena pengetahuan itu ada, sampai batas tertentu, jernih bagi dirinya sendiri. Pengetahuan dapat memahami dirinya makin lama makin baik karena pengetahuan itu dapat secara tak terbalas kembali ke dirinya sendiri. Bersamaan waktu dengan orang mengenai suatu objek apa pun, ia dapat mengetahui juga apa yang terjadi dalam dirinya. Hal itu kemudian dapat dikembalikan ke perbuatan itu (atau ke perbuatan yang mirip) selama diperlukan untuk mengerti secara pasti kodratnya dan mendefinisikannya secara memuaskan. Permasalahan kritis di sini adalah kompleksitas pengetahuan manusia yang sulit dijangkau secara lengkap, utuh, dan paripurna oleh budi manusia yang terbatas. Kompleksitas pengetahuan itu dapat digambarkan demikian: pengetahuan itu karena dilaksanakan oleh manusia yang sekaligus bersifat daging dan jiwa, maka pengetahuan itu sekaligus adalah subjek-objek, objek-subjek serta indrawi dan intelektif. Pengetahuan itu dikatakan indrawi lahir atau indrawi luar kalau orang mencapainya secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, pembau, perasaan, serta peraba setiap kenyataan yang mengelilinginya. Pengetahuan itu dinamakan pengetahuan indrawi batin ketika menampakkan dirinya kepada orang dengan ingatan dan khayalan, baik mengenai apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauannya. Pengetahuan seterusnya disebut perseptif, ketika sambil muncul secara spontan, pengetahuan itu memungkinkan orang untuk menyesuaikan dirinya secara langsung dengan situasi yang disajikan. Pengetahuan dalam arti ini lebih menyatakan dirinya melalui gerakan tangan, tingkah laku, gerakan-gerakan, sikap-sikap, tindakan, serta jerit teriakan, daripada dengan perkataan yang dipikirkan atau dengan keterangan yang jelas. Ada juga yang disebut pengetahuan refleksif, ketika pengetahuan itu membuat objektif kodrat dari suatu realitas apa pun juga. Pengungkapannya adalah, baik dalam bentuk ide, konsep, definisi, serta putusan-putusan maupun dalam bentuk lambang, mitos, atau karya-karya seni. Pengetahuan disebut pula diskursif, ketika pengetahuan itu memperhatikan suatu aspek dari benda kemudian suatu aspek yang lain, ketika pengetahuan itu pergi dan datang dari keseluruhan ke bagian-bagian, dan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pengetahuan dalam arti ini lebih menampakkan diri sebagai sesuatu yang datang dari sebab ke akibat dan dari akibat ke sebab, dari prinsip ke konsekuensi dan dari konsekuensi ke prinsip, dan sebagainya. Seterusnya, ada pula yang disebut Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 64

pengetahuan intuitif, ketika pengetahuan menangkap atau memahami secara langsung benda atau situasi dalam salah satu aspeknya, keseluruhan dalam satu bagian, sebab dalam akibat, konsekuensi dalam prinsip, dan sebagainya. Pengetahuan itu adalah induktif, bila menarik yang universal dari yang individual, dan sebaliknya deduktif, bila menarik yang individual dari yang universal. Pengetahuan itu kontemplatif, bila mempertimbangkan benda-benda dalam dirinya dan untuk dirinya sendiri. Pengetahuan itu disebut spekulatif, bila mempertimbangkan benda-benda dalam bayangan-bayangan dan ide-ide, atau konsep-konsep tentang benda-benda itu. Praktis, kalau mempertimbangkan bendabenda menurut bagaimana mereka bisa dipergunakan. Pengetahuan itu sinergis, kalau merupakan akumulasi dari seluruh daya kemampuan dari subjek (yang sedang mengetahui). Keseluruhan jenis pengetahuan ini dikoordinasikan dari anggotaanggotanya, organ-organnya, dan kemampuan-kemampuannya, yang indrawi dan intelektif. Akhirnya, pengetahuan menjadi sangat kompleks dan beraneka ragam sifat dan bentuknya. Pengetahuan pun tampak di dalam banyak bentuknya yang berbedabeda. Pengetahuan memakai bermacam-macam jalan, menurut bagaimana cara diambil, baik itu berupa objek maupun makhluk berbeda-beda yang tipe dan realitasnya berlain-lainan tingkat dan macamnya. Pengetahuan tentang materi, tentang luasnya, tentang gerakan, tentang hidup, tentang manusia, berbeda sekali satu sama lainnya. Pendeknya, tidak baik kalau pengetahuan manusia yang begitu kaya dan kompleks direduksikan kepada salah satu dari cara-caranya, atau kalau satu cara atau bentuknya terlalu ditekankan atau dimutlakkan sehingga merugikan lainnya. Kompleksitas pengetahuan membuat dirinya begitu terasa sulit didekati dengan sebuah rumusan definisi yang tetap (statis) dan terbatas. Bagi epistemologi, satusatunya definisi umum yang dapat menerangi fenomena pengetahuan manusia adalah mendefinisikan pengetahuan dari segi kemampuan pengetahuan manusia sebagai subjeknya. Subjek pengetahuan secara hakiki berupa subjek yang bereksistensi dalam hubungan dengan sebuah objek sehingga objek itu dengan eksistensi dan kodratnya menjadi hadir dan nyata pada subjek. Perumusan tersebut menegaskan bahwa meskipun pengetahuan menyerupai kesadaran namun tidak ada persesuaian yang sempurna antara pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan suatu realitas menjadi kurang lebih dinyatakan. Pengetahuan lebih merupakan hubungan subjek dengan objek yang berbeda darinya. Inti kesadarannya adalah kegiatan yang menjadi bersamaan waktu subjek
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

65

mengetahui suatu realitas, subjek mengenal dirinya yang sedang mengetahui realitas itu. Jelas di sini bahwa pengetahuan pada dirinya juga berbeda dengan kegiatankegiatan afektif yang menemaninya. Kegiatan-kegiatan afektif, baik yang mendahuluinya (yang menghidupkan keingintahuan dan mengatur cara mengetahui) maupun yang sesudahnya (misalnya kepuasan) yang muncul sebagai akibat spontan dari pengetahuan. Tegasnya, lewat pengetahuanlah benda-benda menjadi hadir pada subjek, sedangkan lewat afektivitas, subjek menjadi tertarik atau terjijikan. Pertanyaan kritis yang muncul sehubungan dengan pokok ini adalah, apakah pengetahuan itu subjektif atau objektif? Persoalan ini telah menjadi debat epistemologis sejak zaman awal Abad Pertengahan sampai Abad Modern. Jelaslah bahwa pada hakikatnya pengetahuan selalu bersifat relasional. Artinya, pengetahuan berada di dalam interaksi antara subjek-objek. Relasi ini bukan seperti relasi ekstrinsik yaitu relasi yang hanya sekadar tampak di permukaan saja, melainkan suatu relasi intrinsik yang sifatnya mendasar dan mendalam. Pengetahuan bukan sekadar pertemuan antara subjek-objek, melainkan persatuan antara subjek-objek yang manunggal, sehingga dengannya terjadi suatu kesatuan yang mendalam (intrinsic union) dan bukan sekadar extrinsic union. Sejarah epistemologi telah memperlihatkan adanya beberapa pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan sekadar sebagai relasi ekstrinsik semata-mata dengan menerangkan adanya kehadiran objek di dalam subjek. Pandangan ini menghadapi problem epistemologis yang tidak sederhana, sebab di sini orang harus menjelaskan hubungan antara ke-apa-an di satu pihak dengan ke-siapa-an di lain pihak, demikian juga problem antara esensi dan eksistensi. Secara historis dapat disebutkan dua aliran, yaitu Nominalisme dan Konseptualisme, yang sangat tegas mengakui tetapi sekaligus membedakan sifat interaksi subjek-objek dalam pengetahuan. Kedua aliran ini berpendapat bahwa yang terjadi di dalam pengetahuan hanyalah suatu pertemuan, jadi bukan persatuan antara subjek dan objek. Bagi kaum Nominalis, di dalam pertemuan itu terjadi pengetahuan karena adanya objek dan subjek hanyalah pemberi nama (nomas) kepada objek-objek tersebut. Kaum Konseptualis umumnya berpendapat bahwa pengetahuan adalah pertemuan, namun di dalam pertemuan tersebut, yang menemukan adalah konsep-konsep dari intelek manusia. Dalam Dictionary of Philosophy diberikan keterangan demikian: Nominalism: In "Scholastic philosophy, theory that abstract or general terms, or universals. represent no objective real existents, but are mere words or
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

66

names, mere vocal utterances "flatus vocis". Reality is admitted only to actual physical particulars. Universals exist only post res (Runes. 1975: 211). Dijelaskan di sini bahwa universalia bukanlah entitas-entitas riil, entah di dalam dunia maupun di dalam pikiran, tetapi hanya nama-nama yang menunjuk kelompok atau kelas hal-hal individual. Nominalisme, karena itu merupakan teori yang menyatakan bahwa hal-hal tidak mempunyai esensi, maka manusia adalah nama belaka. Pendeknya. tidak ada eksistensi baik di dalam pikiran maupun di dalam dunia benda-benda, yang ada hanya nama atau istilah yang umum dan abstrak. Pandangan ini telah memacu lahirnya aliran Konseptualisme sebagai ekstrem lain yang telah meredusir pluralitas dan kompleksitas realitas kemanusiaan di dalam konsep. Jelasnya, berbeda halnya dengan Nominalisme, Runes lebih lanjut menjelaskan Konseptualisme demikian: Conceptualism: A solution of the problem of universal which seeks a compromise between extreme nominalism (generic concepts are signs which apply indifferently to a number of particulars) and extreme realism (generic concepts refer to subsystem universal). Conceptualism offers various interpretation of conceptual objectivity: (a) the generic concept refers to a class of resembling particulars, (b) the object of a concept is a universal essence pervading the particulars, but having no reality apart from them, (c) concepts refer to abstracts, that is to say. to ideal objects envisaged by the mind but having no metaphysical status (Runes, 1975: 61), Konseptualisme dalam pandangannya ini merupakan suatu pemecahan universal dengan cara mengkompromikan ekstrem nominalisme dan ekstrem realisme. Menurutnya, terdapat konsep-konsep abstrak umum di dalam hal-hal partikular sebagai esensi. Konseptualisme menganggap bahwa hal-hal universal bereksistensi hanya dalam konsep. universal hanya berada di dalam pikiran bukan di luar pikiran. Perkembangan di kemudian hari menunjukkan bahwa aliran realisme-kritis dan realisme-moderat-lah yang beranggapan bahwa pengetahuan adalah suatu bentuk persatuan antara subjek-objek, dan bukan hanya sekadar pertemuan. Perkembangan sejarah epistemologi pada Zaman Abad Modem kemudian memperlihatkan bahwa kontroversi itu menggejala di dalam bentuk aliran Positivisme Logis di satu pihak. dan aliran Idealisme di lain pihak. Permasalahan menyangkut pengetahuan sebagai persatuan antara subjek-objek, dan objek-subjek, ternyata tidak sederhana implikasinya. Sebab pokoknya adalah bahwa harus dijelaskan hubungan antara subjek dan objek tersebut. Di balik ini
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

67

terkandung permasalahan antara "Materialisme" dan "Immaterialisme", dimensi material dan dimensi spiritual, induksi dan deduksi, objektif atau subjektif. Pandangan ini menyangkut pula kriteria mengenai kebenaran dan masalah kebenaran itu sendiri. Terlihat di sini juga bahwa kemanunggalan antara subjekobjek dan objek-subjek di dalam pengetahuan bukanlah suatu kemanunggalan yang sempurna, mutlak, dan final. Tidak ada kemanunggalan yang sempurna dan final, di mana subjek menjadi objek sepenuhnya dan objek menjadi subjek sepenuhnya. Tidak seperti halnya dengan yang diajarkan oleh aliran monisme, pantheisme. atau idea absolut yang diajarkan oleh Plato (F. Sontag. 1970). Kemanunggalan ini dapat dipandang sebagai sebuah "proses" dari sekadar sebuah realitas bendawi yang statis dan pasif. Proses ini terjadi karena subjek memiliki daya untuk mengetahui (daya indra maupun daya intelektual) sementara objek di dalam dirinya juga memiliki daya untuk dirasa dan dimengerti (sensibility and intelligibility). Pengetahuan seperti itu hanya dapat terjadi apabila ada pembauran antara aspek material dan aspek immaterial (spiritual) di dalamnya. Terjadi suasana yang membawa frustrasi dan bahkan suasana yang menuju kepada keirasionalan atau absurditas.

II. Apakah Pengetahuan Itu? Pengetahuan pada dirinya sendiri merupakan suatu nilai sehingga rupanya ada semacam korelasi antara pengetahuan dan eksistensi manusia, antara tingkat pengetahuan suatu pengada, dan tingkat kepenuhan yang dapat diberikannya kepada eksistensinya. Pengetahuan merupakan suatu kegiatan yang mempengaruhi subjek dalam dirinya sendiri. Pengetahuan adalah suatu ketentuan yang memperkaya eksistensi subjek, karena pengetahuan itu lebih merupakan kegiatan imanen, kegiatan otoperfektif yang menyempumakan subjeknya sendiri. Sebenarnya, pengetahuan adalah suatu kegiatan dan nilai yang subjeknya adalah sekaligus prinsip dan akhirnya. Kondisi itulah yang menyuburkan subjeknya karena subjek adalah sekaligus sebab dan yang mengambil keuntungan (beneficiary). Jelaslah bahwa pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang berkualitas dari subjek, suatu ketentuan yang melengkapi keadaan substansial dari suatu subjek. Kualitas itu termasuk jenis kegiatan intensional (bahasa Latin) yang mengandung pengertian bahwa suatu pengada bergerak ke arah suatu pengada yang lain. Pengetahuan sebagai kegiatan imanen yang bersifat intensional, dalam arti pengetahuan mengeluarkan subjek dari dirinya dan sekaligus memperbolehkan dia mengalasi
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

68

batas-batasnya. Kegiatan intensional ini mengakibatkan subjek berada dalam ketegangan ke arah objek. Kata intensional sudah dipakai oleh Thomas Aquinas, kemudian digunakan lagi oleh Edmund Husserl. dan para filsuf fenomenologi lain seperti M. Merleau-Ponty. Inti penekanannya adalah bahwa mengetahui merupakan kegiatan yang menuntun subjek berkomunikasi secara dinamis dengan eksistensi dan kodrat dari hakikat diri objek benda-benda (Leahy, 1993 & Bertens, 1983). Pandangan ini sekaligus hendak menunjukkan bahwa pengetahuan bersifat relasional karena lewat pengetahuanlah manusia masuk ke dalam keberhubungannya dengan hakikat adanya sesuatu objek yang lain. Bila dianalisis lebih lanjut, akan tampak bahwa di dalam pengetahuan sekaligus terdapat aktivitas dari subjek maupun dari objek, dan sebaliknya ada pula pasivitas subjek maupun pasivitas objek. Ditinjau dari sisi subjek, maka pengetahuan itu dapat dipandang sebagai sesuatu yang terjadi di dalam diri subjek. Pangkalnya ada pada daya pengetahuan subjek (inteligensi) dan akhirnya juga terdapat di situ. Melalui inilah orang lalu memandang pengetahuan sebagai suatu hal yang imanen sematamata, dan kalaupun keluar (transcendent), maka itu merupakan peranan subjek yang satu-satunya menentukan. Aliran Subjektivisme temyata mendapat angin kesuburan dari pandangan tersebut. Akibatnya, aliran ini mengabaikan kenyataan bahwa di dalam pengetahuan tersebut subjek aktif dan objek tetap berbeda, berlainan. dan berada di luar subjek. Sementara objek tetap memiliki apa yang disebut sifat berubah atau sifat berganti-ganti (alteritas). Aliran Idealisme, di pihak lain, cenderung mengabaikan adanya sifat objek selalu berganti-ganti tersebut. Ditinjau dari sisi objek, maka ada pendapat yang ingin mempertahankan objektivitas murni akhirnya, terkait dengan aliran Empirisme dan Positivisme. Jelaslah bahwa pengetahuan akan selalu bersifat subjektif-objektif dan objektif-subjektif. Pengetahuan adalah persatuan keberadaan antara subjek dan objek, dengan mengetahui, maka subjek menjadi manunggal dengan objek dan objek menjadi manunggal dengan subjek. Suatu kemanunggalan subjek-objek yang sungguh mendalam. Akhirnya, pengetahuan bukan sekadar penemuan antara subjek dan objek, akan tetapi sungguh merupakan suatu kemanunggalan dalam keberadaan yang mendalam. Mempelajari pengetahuan, menjadikan orang berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, untuk mempertimbangkan bagaimana dunia objek manusia dan objek benda lain membentuk pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan bisa dikatakan pula sebagai transsubjektif, dalam arti bahwa pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadikan orang keluar dari keterbatasanManusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

69

keterbatasannya dan melewati keakuan subjektivitasnya. Walaupun demikian, pengetahuan sekaligus bisa dikualifikasikan sebagai "yang mengobjektifkan", karena lewat pengetahuanlah sesuatu menjadi objectum. Objectum mengandung arti bahwa apa yang terdapat di hadapan saya yang menawarkan diri kepada saya. Aime' Forest menegaskan pandangannya mengenai hal ini dengan mengatakan bahwa cita-cita pengetahuan adalah suatu manifestasi. Cita-cita ini tak pernah kita realisasikan secara sempurna, tetapi rupanya ia terdiri dari membiarkan bendabenda berada di hadapan jiwanya, dengan menarik perhatian kita terhadap mereka. Penjelasan tersebut akhirnya, mengantarkan pada kesimpulan bahwa setiap percobaan untuk mendefinisikan pengetahuan haruslah didasarkan pada pengakuan bahwa subjek hanya baru berhasil memasuki secara progresif misteri pengetahuan itu. Meskipun demikian, pikiran ke arah itu masih bisa diteruskan, dengan bertanya pada diri sendiri: apa yang diandaikan dari subjek yang berpengetahuan dan dari objek yang diketahui, supaya pengetahuan memang menjadi mungkin?

III. Apa yang Diandaikan oleh Pengetahuan? Pemahaman yang memadai tentang pengetahuan manusia yang bersifat eksistensialis mengantarkan kita pada analisis yang sangat mendasar tentang hakikat dan tujuan epistemologi. Immanuel Kant dalam hal ini berpendapat "bahwa tujuan epistemologi bukan terutama untuk menjawab pertanyaan apakah manusia dapat tahu. Menurutnya, epistemologi pada dasarnya bertujuan untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan manusia dapat tahu, jangkauan dan batas-batas pengetahuan manusia. Jelaslah bahwa epistemologi dalam hal ini berfungsi membuat peta dan melukiskan jangkauan serta batas-batas pengetahuan manusia itu (Sindhunata, 1982:30 -31). Pandangan ini sangat membantu dalam memahami pengetahuan dan syarat-syaratnya, namun epistemologi tidak boleh terbalas sampai di situ saja, karena adanya kenyataan bahwa manusia lelah memikirkan kemungkinan untuk menanyakan hal-hal yang tak tertanyakan. Keinginan manusia untuk tahu bukan saja merupakan masalah yang bersifat dorongan akademis untuk mencapai suatu kebenaran formal, karena dorongan ini lebih merupakan suatu keprihatinan eksistensial. Persoalan metafisika mengenai "apa yang dapat diketahui atau mengenai apakah yang dimaksudkan dengan realitas?" merupakan segi-segi keprihatinan eksistensial manusia yang mendorong keingintahuannya. Jelaslah di sini bahwa manusia bertanya sejauh mana manusia dapat melekat kepada apa yang nyata, bagaimana manusia dapat meyakinkan diri
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

70

mengenai hubungan aku dirinya dengan ada subjek lainnya? Keprihatinan ini telah memunculkan skeptisisme metodis atau keraguan metodis yang merupakan kemungkinan positif bagi pernyataan ontologis mengenai kodrat eksistensial manusia tersebut. Sikap tersebut kiranya sangat relevan bagi pengembangan epistemologi yang memungkinkan adanya pengetahuan dan pengembangannya atas dasar tanggung jawab kultural. Dasar keraguan manusia secara ontologis berada dalam keterbatasan kodratinya. Manusia terbatas dalam seluruh keberadaannya. Keterbatasan manusia ini menjangkau pula alam pengetahuan yang dimilikinya. Keterbatasannya itulah yang mendorong, menggerogoti, membakar, serta memekarkan keraguannya sehingga memunculkan adanya pertanyaan-pertanyaan radikal dalam rangka menemukan kebenaran atau kepastian pengetahuan yang sifatnya dinamis dan tak teragukan. Pengetahuan manusia merupakan fungsi dari cara beradanya, dan cara berada manusia pada hakikatnya bersifat temporal. Sebagaimana eksistensi manusia selalu belum terpenuhi, demikian juga pengetahuannya. Pengetahuan merupakan sebuah kenyataan yang tidak selesai. Pengetahuan terus berada dalam proses pembentukan dan penyempurnaan diri secara terus-menerus. Merleau Ponty sekurang-kurangnya sependapat dengan hal yang sama ketika ia berkata bahwa kebenaran dan kepastian pengetahuan tidak pernah definitif dan absolut (Bertens, 1983: 344). Pengetahuan sebagai ciri keberadaan manusia tidak sama seperti keberadaan batu atau benda-benda lainnya. Ada benda-benda yang melulu identik dengan dirinya sendiri, lengkap, seutuhnya terwujudkan, tegas tanpa cacat di dalam eksistensinya, mereka adalah mereka. Sren Kierkegaard maupun Jean-Paul Sartre menunjukkan adanya perspektif yang lain mengenai manusia. Mereka menekankan bahwa manusia tidak identik dengan dirinya sendiri, manusia harus menjadi dirinya sendiri. Menjadi manusia tidaklah hanya identik dengan dirinya sendiri sebagaimana sebuah batu atau meja, karena diri manusia memiliki keberadaannya sendiri. Jelasnya. pengetahuan sebagai cara berada manusia merupakan suatu adaptasi akumulatif yang sangat terbuka dan dinamis. Pengetahuan sebagai cara berada manusia terbuka bagi masa depan: karenanya terbuka juga bagi masa sekarang. Pengetahuan manusia sesaat pun tidak pernah seutuhnya identik dengan dirinya sendiri. Kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia adalah kebenaran dan kepastian dalam hidup dan kehidupan manusia yang tidak pernah selesai. Akibatnya, kebenaran dan kepastian pengetahuan tidak pernah terhabiskan seperti sebuah kebenaran matematis yang terhabiskan misalnya, dua kali dua sama dengan empat
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

71

(2 x 2 = 4). Kebenaran dan kepastian yang bercorak manusiawi selalu "bernuansa" dan berperspektif, ia mampu melampaui dan mengatasi kebenaran matematika yang statis dan tetap tak berubah itu. Apabila manusia tidak pas dengan dirinya sendiri, tetapi selalu berbeda dari dirinya sendiri, melampaui dirinya sendiri, maka demikian pula halnya dengan pengetahuannya yang juga tidak pernah dapat melulu menjadi miliknya sendiri. Sebagaimana manusia tidaklah sama dengan dirinya, maka demikian halnya dengan pengetahuan, ia tidak tahu apa yang diketahuinya. Keberadaan manusia, sebagaimana merupakan suatu perkembangan yang terus berlangsung sebagai suatu pencapaian, maka pengetahuan pun demikian halnya merupakan pencapaian terus-menerus. Pengetahuan ibarat sebuah hadiah yang selalu dimenangkan kembali. Keprihatinan eksistensial manusia yang membakar dan mendorong pengembangan pengetahuannya ini terletak di dalam perjuangannya untuk melewati ketiadaan di dalam dirinya. Penegasan ini sekaligus menyatakan bahwa secara kultural pengetahuan manusia ada, tetapi kebenarannya tetap berada di bawah syarat-syarat eksistensi manusia.

IV. Kesesuaian (Konaturalitas) antara yang Diketahui dan Si Pengenal Melalui pengetahuanlah, secara radikal, daripada melalui bahasa dan

seksualitas, kita mempunyai hubungan dengan dunia dan orang lain. Melalui pengetahuanlah, benda-benda dimanifestasikan dan orang-orang dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri dirinya. Melalui pengetahuanlah, manusia bisa berada secara lebih tinggi, dan sekaligus mengatasi batas-batas badan itu, yang diperlukan supaya pengetahuan bisa terjadi. Akan tetapi, karena kita akan mempelajari, dalam satu modul yang lain lagi, watak kodrati pengetahuan manusia yang paling tinggi, yaitu pengetahuan intelektif, maka cukup sampai di sini, untuk menyelesaikan modul ini, dengan mengingat betapa misterius fenomena pengetahuan itu, kendati semua penjelasan sudah diberikan. Terutama karena materi bukan jiwa, dan jiwa bukan materi, tidak cukup kita berkata bahwa ada konaturalitas antara mereka berdua. Tinggal pertanyaan: Bagaimana konaturalitas itu mungkin? Bagaimana ia harus dipikirkan? Tentang itu, kita akan melengkapi penyelidikan ini pada modul yang bertemakan Pengertian.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

72

V. Ikhtisar dan Matinya Epistemologi Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Apakah nalar puitis itu? Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus pengucapan baru. Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada dan ada. Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 73

sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran. Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan. Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategorikategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis. Donny Gahral Adian (2004) menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis Adian. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Adian dituduh memutlakkan jalan puisi. Sungguhkah demikian? Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukanlah puisi. Puisi sekadar metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitunghitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif. Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

74

transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun. Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang dimaksud dalam uraian di atas. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata nalar puitis. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang melupakan apakah. Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan satusatunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk mendongkelnya. Berakar dari proyekproyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

75

tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah. Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup dalam menyitir Giddens kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat. Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar yang patuh. Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya: lingkungan memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

76

Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang bertolak belakang. Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri kebenaran. Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing komunitas. Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan produk budaya sama artinya dengan mengatakan pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah. Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan gramatika nalar masingmasing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

77

percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup bersama. Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang menua dalam masingmasing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa adanya. Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari sistem-sistem pemikiran kontemporer. Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara. Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalismeabsolutisme. Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat dan sadar, pada segurat
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

78

keheningan yang senantiasa membayangi cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita memainkan nalar secara puitis. Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang hilang. Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

79

Afektivitas
Modul V

Sub Materi:
Kekayaan dan Kompleksitas Afektivitas Manusia Yang Bukan dan yang Merupakan Perbuatan Afektif Kondisi-kondisi Afektivitas Manusia Kesenangan Harus Dicurigai? Catatan tentang Cinta Akan Diri Sendiri dan akan Sesama Manusia

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008


Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

80

A F E K T I V I TAS

I. Kekayaan dan Kompleksitas Afektivitas Manusia Cipta (kognisi), karsa (konasi), rasa (afeksi), itulah trias-dinamika manusia, atau manusia sebagai trias-dinamika. Baiklah sebentar kita meninjau kata "rasa" itu. Dalam kalangan Jawa, terutama kalangan kebatinan, kata "rasa" mempunyai arti yang berlainan dari yang kita maksud di sini. Dalam kalangan itu rasa berarti kebijaksanaan (wisdom) yang sangat tinggi sehingga dengan rasa itu manusia mengerti tempatnya sendiri, dirinya sendiri, bisa menilai segala keadaan, dan lain sebagainya. Dalam Serat Wedhatama misalnya, disebutkan: Mangka nadyan tuwa pikun (meskipun sudah tua) yn tan mikani rasa, (jika tidak memiliki rasa) yekti sepa sepi lir sepah samun (maka dia kosong sama sekali). Bahkan, dengan rasa kadang-kadang yang dimaksud titik tertinggi dalam hidup rohani, yaitu di mana manusia sampai ke kesatuan dengan Tuhan yang seerateratnya. Bukan itu yang dimaksud di sini dengan kata "rasa". Di sini arti rasa sama dengan yang kita tangkap, jika seorang berkata: aku merasa dingin, minuman ini terasa manis, dan lain sebagainya. Di samping itu, rasa juga kita jumpai dalam kalimat seperti: Saya merasa tertarik, Saya merasa khawatir. Di sini rasa mengandung pengertian, tetapi toh lebih sedikit dari itu. Jadi, kita membedakan dua macam rasa, yaitu rasa yang bersifat jasmani (tetapi bagi manusia tidak ada hanya rasa), rasa pada badan! Di samping itu, ada rasa yang lebih mendalam. Rasa ini akan kita sebut rasa rohani-jasmani. Rasa jasmani mempunyai lokalisasi (sakit pada tempat luka, manis pada lidah, dan lain sebagainya). Rasa rohani-jasmani itu tidak mempunyai lokalisasi. Rasa khawatir, rasa takut, rasa was was, rasa "tersayat-sayat" bisa dikatakan dalam hati", dan juga bisa mempunyai akibat lokal (misalnya orang takut githoknya mengkirig). Tetapi, sebetulnya tempat rasa-dalam itu adalah pada seluruh diri manusia. Baiklah kita coba menyelami apakah rasa itu, bagaimana kedudukannya. Di atas hal itu sudah kita mulai. Dinamika manusia itu mempunyai dua aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek pengambil. Aspek ini bisa juga disebut aspek perangsang, aspek apetitif, aspek pendekap. Orang mencium bau mangga, tetapi dengan demikian dia belum
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

81

merasakan mangga. Nah, dia mengambil buah itu, memakannya. Dengan ini dia mengalami mangga itu. Persatuan yang sesempurna-sempurnanya itu berupa kesatuan yang dimengerti. Kesatuan yang tidak dimengerti bagi manusia bukanlah kesatuan; sebaliknya, pengertian saja juga belum kesatuan yang sesungguhnya. Mungkin kata yang agak bisa memberi kesan dari yang dimaksud di sini itu adalah kata "menikmati". Menikmati sesuatu berarti ya bersatu ya mengerti. Orang pingsan tidak bisa menikmati. Orang yang lidahnya sakit, meskipun mulut dimasuki makanan, toh tidak bisa menikmati karena lidahnya "tidak bisa mengerti" (lidah tidak bisa menangkap rasa karena sakit). Sebaliknya, kalau lidah hanya kangen bakmi, di situ belum terjadi penikmatan bakmi. Lebih jelas lagi merasa haus, belum berarti minum! Contoh-contoh ini diambil dari lingkungan bawah, tetapi berlaku juga untuk taraf rohani. Sebetulnya, pada prinsipnya pengertian dan kehendak itu merupakan satu realitas. Tetapi, bagi kita hal itu terpecah dua atau dua aspek dari satu dinamika. Tetapi toh ada gambaran-gambaran yang bisa memberi kesan tentang kesatuan itu, yaitu dalam cinta, di situ pengertian dan kehendak menjadi satu. Mengapa dinamika kita itu meskipun satu, tetapi berupa kesatuan dengan kejasmanian. Maka sesuai dengan kejasmanian, kesatuan itu menjadi kebhinnekaan. Jika sesuatu kita "materikan", maka yang satu itu menjadi terbentang, menjadi terserak. Pikiran kita, jika dilahirkan, maka menjadi banyak kata. Jika cinta dinyatakan, maka "membentang" berupa kalimat. Jadi, menjadi bhinneka. Jangan dikatakan bahwa dinamika itu terlebih dahulu satu, lantas menjadi banyak. Sejak muncul dalam alam realitas, manusia itu manusia, jadi sejak saat pertama sudah bhinneka-tunggal karena dia jasmani-rohani. Di atas telah dikatakan bahwa bentuk dinamika perangsang kita itu sebagai piramida, di bawah lebar, tetapi meruncing ke atas. Gambar itu bisa kita balik juga, yaitu di atas suatu titik, tetapi bentuk kesatuannya melebar ke bawah. Dengan ini hanya dinyatakan bahwa segala daya yang di bawah itu harus ditentukan oleh puncaknya, yaitu karsa. Tetapi sebaliknya, karsa juga tidak bisa bertindak tanpa "bawahan". Artinya, manusia itu tidak bisa mau kecuali jika objeknya datang dari bawah, artinya "melalui" daya-daya sensitif. Objek kita bukanlah suatu kekosongan. Kita selalu mau sesuatu; dan sesuatu itu datangnya dari bawah, artinya melalui indra kita. Manakah bentuk-bentuk konkret atau peruncingan dari dinamika kita dalam bidang apetitif atau yang berupa rasa? Bentuk-bentuk itu berupa berbagai macam dorongan, seperti dorongan ke arah barang-barang untuk mempertahankan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

82

hidupnya (konkretnya makanan dan minuman tetapi juga Iain-Iain, seperti rokok dan lain sebagainya), dorongan seksual (dorongan untuk mempertahankan dan melangsungkan bangsa atau spesiesnya), dorongan ke arah keindahan, dorongan sensitif untuk cinta. Dalam kedua dorongan ini lebih tampak bahwa rasa tidak bisa dipisahkan dari kerohanian manusia sebab mengalami keindahan dan cinta bukan soal jasmani saja. Dorongan-dorongan tersebut adalah dorongan positif, artinya menghadapkan manusia terhadap sesuatu. Pada manusia terdapat juga dorongan negatif, artinya yang menyebabkan manusia menolak sesuatu, yaitu takut, marah, segan, dan lain sebagainya. Dalam semua ini manusia berhadapan dengan barangbarang yang baginya bisa berupa malapetaka. Jika dorongan dipenuhi, maka apakah puncaknya? Penikmatan. Jika pemenuhan mungkin tetapi belum terlaksana, maka pada manusia ada harapan, penantian. Jika malapetaka mengancam, maka manusia takut; jika dia terpaksa bersatu dengan malapetaka, maka dia marah atau putus asa. Dengan menunjuk berbagai macam bentuk ini tampak bahwa istilah dorongan tidak begitu tepat; lebih baik kata yang selalu kita gunakan yaitu dinamika. Dalam semua bentuk itu tampaklah dinamika. Paparan tentang rasa kita tambah dengan dua catatan. Yang pertama ialah bahwa dengan dinamika tersebut hiduplah manusia. Hidup tidak hanya secara biologis, tetapi secara manusia. Untuk lebih jelasnya ambillah harapan atau penantian. Manusia tidak bisa kita pikir tanpa harapannya. Dia selalu berharapan, dia selalu menanti. Selama kita hidup, tidak ada perbuatan atau situasi yang terakhir. Perbuatan atau situasi tentu disusul dengan yang berikutnya. Maka, manusia berbuat ini atau itu selalu berharap akan berbuat lainnya. Sedang dalam situasi tertentu manusia menanti gantinya. Perpanjangan suatu situasi, terutama jika akhirnya tidak tampak, bagi manusia merupakan penderitaan. Demikianlah penderitaan orang sakit yang tidak bisa sembuh, orang dipenjara seumur hidup, dan lain sebagainya. Dengan adanya harapan manusia merasa berani (ini pun bentuk peruncingan dinamika), merasa gembira, bisa kerja lebih baik dan lain sebagainya. Catatan yang kedua ialah bahwa bentuk dinamika jangan dipandang lepas dari pribadi manusia. Dalam pikiran analitis, untuk lebih menyelami, kita boleh saja bicara tentang dorongan atau nafsu seolah-olah ada dorongan tersendiri. Tetapi salahlah pikiran kita jika hanya menganalisis saja. Pikiran kita selalu bersifat analitis-sintetis dan sintetis-analitis. Jadi, selalu terjun dari sintesis ke analisis, tetapi dari analisis kembali lagi ke sintesis, dengan isi yang lebih jelas. Untuk maksud kita sekarang, baik kalau dinyatakan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

83

bahwa semua dorongan manusia itu adalah peruncingan dari persona atau pribadi manusia. Jadi, seluruh personalah yang hidup dalam bentuk-bentuk dinamika itu. Yang ada bukan hanya rasa takut, tetapi seluruh pribadilah yang takut. Yang menikmati keindahan bukanlah mata, tetapi seluruh pribadi manusia. Yang lapar bukanlah perut, tetapi seluruh manusia. Pengertian ini sangat penting, misalnya dalam memandang seksualitas. Pandangan yang memisahkan seksualitas dari manusia adalah merendahkan manusia, akibatnya akan merusak kesusilaan dan perkembangan pribadi manusia. Apa yang disebut dorongan seksual adalah suatu momen dari dinamika manusia. Dalam dinamikanya, manusia itu terdorong untuk bercinta kasih dalam bentuk yang khusus. Yaitu cinta kasih suami-istri. Dalam cinta kasih ini dua pribadi bisa (bisa dan harus, tetapi bisa meleset juga) bertemu sedalam-dalamnya sehingga lebih sempurna, lebih sentosa, dan sanggup meluhurkan diri. Untuk itulah momen yang disebut dorongan seksual. Uraian yang lebih lanjut tentang hal ini tidak diberikan dalam rangka kuliah ini. Cukuplah soal ini disinggung untuk memberi pengertian bahwa pada manusia dorongan atau bentuk dinamika tidak boleh dilepaskan dari seluruh manusia sebagai pribadi rohanijasmani. Hanya dengan demikian ada pandangan yang integral; dan berdasarkan pandangan inilah mungkin realisasi yang integral pula dari dinamika kita, artinya realisasi yang sesungguhnya untuk kesempurnaan manusia sebagai pribadi rohanijasmani.

II. Yang Bukan dan yang Merupakan Perbuatan Afektif Diakui bahwa manusia bukan saja memiliki kemampuan kognitif-intelektual, tetapi juga afektivitas. Jelasnya, di samping pengetahuan, afektivitas juga membuat manusia berada secara aktif dalam dunianya serta berpartisipasi dengan orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa dunianya. Melalui peranan afektivitaslah, manusia tergerakkan hatinya, keinginannya, dan perasaannya atau ketertarikannya untuk mengamati, mempelajari, dan mengembangkan pengada-pengada aktual di sekitarnya menjadi bagian dari proses keberadaannya. Afektivitas tidak sama dengan pengetahuan, namun menjadi penggerak atau penyebab dan sekaligus akibat dari proses pengetahuan manusia dalam arti penerapannya dalam bentuk perbuatan atau tindakan. Inti persoalannya di sini adalah dalam arti manakah afektivitas memberikan suatu pengetahuan yang memadai? Apakah tindakantindakan afektivitas mempunyai nilai kognitif? Pernyataan Immanuel Kant justru secara tegas menolak kemungkinan ini sebagaimana jelas di dalam pandangannya
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

84

mengenai kritik atas rasio murni. Baginya, kegiatan-kegiatan afektivitas berada di luar kategori rasio murni, karena tidak memiliki landasan nilai-nilai kognitif. dengan demikian afektivitas merupakan bagian dari rasio praktis yang nonintelektual. Penolakan ini muncul karena adanya kesulitan untuk memberikan status kognitif bagi hal-hal afektif yang sifatnya individual. Kaum positivis dan saintis umumnya memandang bahwa hal-hal afektif tidak memiliki objektivitas untuk diletakkan sebagai tindakan kognitif intelektual. Alasan penolakannya adalah karena kendala indrawi yang tidak dapat memberikan penegasan epistemologis yang berkesesuaian terhadapnya. Walaupun demikian, hendaknya orang tidak terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan hanya karena halhal afektivitas bersifat nonkognitif. Theo Huijbers (1992: 60-61) mengkonstatasi pandangan para mistikus, misalnya Bergson dan Rudolf Otto, yang menjelaskan bahwa kemampuan-kemampuan afektivitas seperti rasa cinta (intuisi), berpartisipasi aktif dalam proses inteligensi manusia untuk mencapai pengetahuan yang lebih memadai. Rudolf Otto menunjukkan bahwa pengalaman (intuisi) telah memunculkan "mysterium" sebagai realitas yang menakjubkan dalam alam pengetahuan manusia. Rasa cinta (intuisi) merupakan prapengetahuan yang menandai daya pengetahuan dan sekaligus membangkitkan daya inteligensi manusia sehingga inteligensi dapat berfungsi lebih memadai. Intuisi merupakan dasar yang kuat untuk membuktikan adanya kebenaran dan realitas yang lebih memadai. Prinsipnya. orang hendaknya tidak terlalu cepat membuat dikotomi mengenai pengetahuan dan afektivitas. karena terdapat kemungkinan bahwa pengetahuan tertentu mungkin hanya tercapai melalui perasaan. Pengetahuan eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian bebas dan memberi alasan untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen dari penegasan intelektual mengenai adanya afektivitas dalam alam pengetahuannya. Cinta (disebut afektivitas positif) atau benci (disebut afektivitas negatif) dapat menjadi dasar penentuan bagi suatu tindakan kognitif. Hal ini tentunya dilakukan melalui suatu dasar penempatan diri yang jelas. Sering orang begitu kacau memberikan definisi pengetahuan dengan istilahistilah yang sama, baik untuk pengetahuan maupun untuk cara-cara afektivitas, misalnya, mengatakan bahwa mengenal adalah penerimaan, komunikasi. partisipasi, kepatuhan. atau cinta, seolah-olah merupakan cara mengenal yang istimewa, sampai orang bisa menyatakan bahwa cinta adalah satu-satunya cara autentik dari pengetahuan itu. Memang benar bahwa mencintai bukanlah mengerti dan mengerti
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

85

bukanlah mencintai, namun demikian bukan berarti bahwa tidak ada hubungan antara keduanya. Orang lupa bahwa cinta bukan saja membuktikan diri dalam perbuatan, tetapi justru cinta telah mendahului perbuatan (intelektual) yang terdapat di dalam subjek. Cinta bila terabaikan dalam tindakan kognisional mengandaikan pengetahuan sebagai hal yang tetap kosong, tanpa bobot, dan menjijikkan atau membosankan.

III. Kondisi-kondisi Afektivitas Manusia Afektivitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan selera, kecenderungan. atau apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan intelektual atau intelligible. Afektivitas adalah satu dari unsur-unsur pokok dasariah dari cara berada manusia di dunia. dan satu dari dimensi-dimensi esensial roh manusia. Perbuatan afektif harus dimengerti sebagai segala gerakan atau kegiatan batin yang karenanya subjek ditarik atau ditolak. Perbuatan tersebut sedikit mirip dengan perbuatan mengenal karena merupakan suatu tindakan imanen yang cocok dengan perbuatan intensional yang membuat subjek terbuka dan mengarahkan atau menghubungkan diri kepada yang lain daripada dirinya. Perbuatan afektif mengarahkan manusia untuk dunianya dan membuat manusia berada secara lebih langsung dan lebih intensif bersama dengan hal-hal lain, jadi sejauh lebih bersifat eksistensial. Melalui ini tindakan afektivitas memberikan dasar atau prinsip nilai bagi suatu proses kognitif. Pengalaman-pengalaman afektivitas justru menjadi syarat yang sangat menentukan bagi proses inteligensi manusia. Semua cara mengenal sebagai suatu proses kognitif-afektivitas, menunjukkan bahwa pengetahuan imajinatif secara khusus bisa menghasut, menguatkan. mengembangkan. dan tidak henti-hentinya menstimulasi kecenderungan dan keinginan-keinginan manusia. Imajinasi dapat membayangkan hal-hal dengan langsung, menggayakannya. dan menjiwainya dengan mewarnainya. Imajinasi juga dapat memperlihatkan bentuk-bentuk kualitas dari hal-hal itu sambil memperbesar atau mengistimewakannya. Jadi, untuk mencapai afektivitas, subjek harus berada dalam kondisi dimana subjek akan melahirkan kegiatan afektif. Adapun kondisi-kondisi tersebut ialah: Pertama, antara subjek dan objek harus ada ikatan kesamaan atau kesatuan itu sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan maka tidak akan ada afektivitas. Sebagai contoh ketika kita berhubungan dengan sebuah objek maka dalam diri objek terdapat sesuatu yang membuat kita tertarik atau menjauhinya, sesuatu yang ada pada diri
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

86

objek pasti juga ada dalam diri subjek yang akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau menolak. Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam kondisi ini, ketika objek dipandang memiliki sebuah nilai maka subjek akan melahirkan kegiatan afektif, karena afektivitas itu sendiri adalah berdasar pada kecintaan akan sesuatu maka subjek pada akhirnya akan melahirkan kegiatan afektif untuk menolak atau menerima. Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan kognitif, pada kondisi ini subjek akan dalam melakukan sebuah afektif harus ditunjang dengan sebuah sifat dasariah yang akan mendorong dia untuk lebih cenderung, selera, berkeinginan akan sesuatu yang pada akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata memang sesuai dengan sifat dasariah tersebut. Keempat, mengenal adalah kausa dari afektivitas. Dalam proses mengenal subjek akan mengalami kondisi dimana dia harus berusaha mendefinisikan objek yang akan dikenalinya dan ketika definisi tentang objek tersebut telah tercapai maka pada akhirnya akan lahir sebuah keputusan afektif apakah dia harus menyerang, mencintai, mempertahankan diri atau yang lainnya. Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan kegiatan afektif maka imajinasi dapat menjadi sebuah pendorong, semangat, mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan pertama (baik dari pengalaman atau informasi dari pengenalan) akan melahirkan sebuah deskripsi awal tentang objek, maka dalam kondisi ini subjek akan dipengaruhi untuk bertindak seperti apa yang ia dapat pada pengalamanpengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan terdahulu. Dari penjelasan-penjelasan diatas jelaslah bahwa perbuatan afektif tidak cukup subjek mengenal objek, menggunakannya dan menarik perhatiannya akan tetapi secara fundamental ia disiapkan oleh keadaan dan kondisi itu sendiri yang menyebabkannya.

IV. Kesenangan Harus Dicurigai? Pada penjelasan terdahulu telah disebutkan bahwa kegiatan afektif harus ada peran roh/jiwa atau psikis. Dalam hal keinginan akan sesuatu yang akhirnya menimbulkan perbuatan afektif disana sangat berperan apa yang namanya cinta, kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan (beserta lawan-lawannya). Keinginankeinginan tersebut akan membawa subjek pada kegiatan afektif yang bersifat eksistensial (materialis) yang pada akhirnya berakibat pemenuhan dan pemilikan akan sesuatu. Dalam hal tersebut harus dicurigai bahwa kesenangan tersebut
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

87

memperhatikan nilai yang ada atau sebuah kecintaan pribadi yang akhirnya menegasi-kan yang lain. Maka kebahagiaan sebagai sikap dasariah afektif menegaskan bahwa roh harus hadir di sana dan bahwa kebahagiaan tidak berarti mengambil atau memiliki akan tetapi partisipasi dan intensionalitas dengan objeklah yang akhirnya akan menjadi kebahagiaan.

V. Catatan tentang Cinta Akan Diri Sendiri dan akan Sesama Manusia Ajaran bahwa sikap mementingkan diri sendiri adalah dosa berat dan bahwa mencintai diri sendiri meniadakan cinta kepada orang lain tidak hanya terdapat dalam filsafat dan teologi, tetapi menjadi salah satu dari berbagai gagasan seharihari yang disebarkan di rumah, sekolah, bioskop, buku-buku; tentu juga di semua media yang mempengaruhi masyarakat. Jangan mementingkan diri sendiri adalah semboyan yang ditanamkan kepada jutaan anak, dari generasi ke generasi. Arti dari semboyan itu agak samar-samar. Kebanyakan orang rupanya akan mengatakan bahwa itu berarti jangan ingat diri, jangan bersikap acuh tak acuh, tidak menaruh perhatian kepada orang lain. Sebetulnya hal itu mempunyai arti lebih luas dari itu. Tidak mementingkan diri sendiri juga mengandung arti: jangan berbuat apa yang Anda ingin buat, hentikan keinginan pribadi untuk kepentingan orang yang berwenang. Jangan bersikap egoistis dalam analisis terakhir mempunyai arti yang mendua sama seperti yang terdapat dalam Kalvinisme. Terlepas dari pengertiannya yang nyata, itu berarti jangan mencintai dirimu sendiri, jangan menjadi dirimu sendiri, tetapi pasrahkan dirimu kepada yang lebih penting dari dirimu, kepada suatu kekuasaan luar atau internalisasinya yakni kewajiban. Jangan mementingkan diri sendiri menjadi salah satu alat ideologis yang paling kuat untuk menindas spontanitas dan perkembangan bebas suatu kepribadian. Karena pengaruh semboyan ini, kita diminta untuk berkorban dan patuh secara mutlak: hanya tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat untuk individu tetapi untuk seseorang atau sesuatu di luar diri sendiri, boleh dianggap sebagai tindakan yang tidak egoistis. Harus ditekankan lagi bahwa dalam arti tertentu gambaran ini bersifat sebelah. Sebab selain dari ajaran bahwa orang tidak boleh mementingkan diri sendiri, ajaran sebaliknya juga dipropagandakan pada masyarakat modern, yakni: ingatlah keuntunganmu sendiri, dengan bertindak demikian, engkau juga akan memperoleh keuntungan yang paling besar bagi orang lain. Gagasan bahwa egoisme merupakan dasar dari kesejahteraan umum, sebenarnya merupakan prinsip di atas mana masyarakat yang bersaing dibangun. Mengherankan bahwa dua prinsip yang
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

88

kelihatannya begitu bertentangan, dapat diajarkan berdampingan di dalam satu kebudayaan; itulah kenyataan yang tak dapat diragukan. Salah satu dari pertentangan ini adalah timbulnya kebingungan dalam diri individu. Karena terombang-ambing antara dua ajaran tadi, ia sangat dihambat dalam proses mengintegrasikan kepribadiannya. Kebingungan ini merupakan salah satu sumber yang paling mencolok dari kebingungan dan ketidakberdayaan manusia modern. Ajaran bahwa cinta kepada diri sendiri adalah identik dengan mementingkan diri sendiri, dan merupakan suatu alternatif bagi cinta kepada orang lain, telah meresapi filsafat, teologi, dan pikiran populer. Ajaran yang sama telah dirasionalisasi dengan bahasa ilmiah dalam teori tentang narsisme dari Freud. Konsep Freud mengandaikan adanya jumlah tetap dari energi libido. Pada bayi, seluruh libido diarahkan kepada pribadi bayi sendiri. Itulah yang disebut Freud sebagai tahap narsisme primer. Dalam perkembangan individu tersebut, libido berpindah dari pribadi individu itu kepada objek-objek lain di luarnya. Jika seseorang dihalanghalangi dalam mengembangkan relasi-relasi objeknya, maka libido akan ditarik kembali dari objek-objek dan diarahkan kembali kepada diri sendiri. Hal itu disebut narsisme sekunder. Maka Freud berpendapat bahwa semakin banyak cinta yang saya arahkan kepada dunia luar, semakin kurang cinta yang tertinggal bagi diri saya sendiri, dan sebaliknya. Maka Freud menguraikan gejala cinta sebagai suatu pemiskinan cinta diri seseorang, karena seluruh libido dialihkan kepada suatu objek di luar dirinya. Pertanyaan-pertanyaan yang berikut dapat timbul: Apakah observasi psikologis membenarkan pernyataan bahwa terdapat suatu pertentangan yang mendasar dan suatu keadaan yang tumpang tindih antara cinta kepada diri sendiri dan cinta kepada orang lain? Apakah cinta kepada diri sendiri identik dengan sikap ingat diri atau apakah keduanya berlawanan? Selanjutnya, apakah sikap ingat diri manusia modern sungguh-sungguh merupakan keprihatinan bagi dirinya sendiri sebagai individu, dengan segala daya intelektual, emosional dan sensualnya? Apakah ia tidak menjadi suatu embel-embel saja dari peran sosio-ekonomi? Adakah egoismenya identik dengan cinta diri sendiri atau apakah egoisme itu justru disebabkan oleh kurangnya cinta diri? Sebelumnya, kita harus menekankan kekeliruan logis yang terdapat dalam gagasan bahwa cinta kepada orang lain dan cinta kepada diri sendiri saling meniadakan. Kalau mencintai sesamaku sebagai manusia merupakan suatu kebajikan, maka pasti mencintai diriku sendiri juga harus merupakan suatu kebajikan (dan bukan merupakan sesuatu yang buruk) karena saya juga manusia. Tidak ada
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

89

konsep tentang manusia di mana saya sendiri tidak termasuk. Suatu ajaran yang menyatakan peniadaan semacam itu, terbukti dengan sendirinya sebagai sesuatu yang kontradiktoris secara intrinsik. Gagasan yang terungkap dalam Injil, yakni Cintailah sesamamu sama seperti engkau mencintai dirimu sendiri, secara tidak langsung mengatakan bahwa respek terhadap integritas dan keunikan dirimu sendiri dan cinta serta pengertian terhadap dirimu sendiri tidak dapat dipisahkan dari respek dan cinta serta pengertian terhadap pribadi yang lain. Cinta kepada diriku sendiri berkaitan erat dengan cinta terhadap setiap pribadi lain. Sekarang kita sampai kepada alasan-alasan psikologis yang menjadi dasar kesimpulan-kesimpulan argumentasi kita. Biasanya, alasan-alasan ini adalah sebagai berikut: Bukan hanya orang lain, melainkan kita sendiri adalah objek dari perasaan dan sikap kita; sikap terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri, sama sekali tidak bertentangan tetapi pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat. Sehubungan dengan persoalan yang sedang kita diskusikan, hal ini berarti, antara cinta kepada orang lain dan cinta kepada diri sendiri tak ada pilihan. Sebaliknya, cinta terhadap diri akan ditemukan pada siapa saja yang mampu mencintai orang lain. Cinta pada prinsipnya tidak dapat dibagi sejauh hal itu menyangkut hubungan antara objek-objek dan pribadi itu sendiri. Cinta yang ikhlas merupakan ungkapan dari produktivitas dan meliputi: perhatian, respek (rasa hormat), tanggungjawab dan pengetahuan. Itu bukan suatu affect (perasaan) dalam arti bahwa perasaanku dipengaruhi oleh seseorang, melainkan suatu perjuangan aktif demi suatu perkembangan dan kebahagiaan pribadi yang dicintai, yang berakar dalam dayaku sendiri untuk mencintai. Cinta adalah suatu ungkapan dari daya seseorang untuk mencintai, dan untuk mencintai seseorang merupakan perwujudan dan pemusatan daya ini terhadap seorang pribadi. Tidak benar bahwa terdapat hanya satu pribadi tunggal saja di dunia yang saya dapat cintai, sebagaimana dalam gagasan tentang cinta romantis, dan tidak benar juga bahwa untuk menemukan pribadi seperti itu merupakan kesempatan yang luar biasa dalam hidupku. Juga tidak benar jika ada anggapan bahwa cinta bagi seseorang mengakibatkan suatu penarikan kembali cintanya kepada orang lain. Cinta yang hanya dialami pada satu pribadi saja justru membuktikan bahwa itu bukan cinta tetapi suatu ikatan perasaan simbiotik. Suatu afirmasi mendasar yang terkandung dalam cinta tertuju kepada pribadi yang dicintai sebagai perwujudan dari sifat-sifat yang khas manusiawi. Cinta terhadap satu pribadi tertentu saja berarti cinta terhadap manusia itu sendiri. Ada semacam pembagian tugas di mana bila seseorang mencintai keluarganya sendiri tetapi tidak merasa
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

90

simpati terhadap orang asing, itu merupakan suatu tanda bahwa ia pada dasarnya tidak sanggup mencintai. Cinta terhadap manusia bukan suatu abstraksi yang timbul sesudah cinta kepada seorang pribadi tertentu, tetapi justru merupakan alasannya, walaupun secara genetis cinta itu diperoleh dengan mencintai pribadi-pribadi tertentu. Bertolak dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa diriku sendiri, pada prinsipnya, harus juga merupakan suatu objek cintaku sama seperti pribadi lain. Afirmasi terhadap hidup, kebahagiaan, perkembangan, kebebasannya sendiri, berakar pada kemampuannya untuk mencintai, yaitu: perhatian, rasa hormat, tanggungjawab, dan pengetahuan. Jika seorang pribadi dapat mencintai secara produktif, ia mencintai dirinya sendiri juga; jika ia hanya dapat mencintai orang lain, ia samasekali tidak dapat mencintai. Andaikata cinta kepada diri sendiri dan kepada orang lain pada prinsipnya saling berhubungan, bagaimana kita menerangkan egoisme, yang dengan jelas meniadakan setiap perhatian yang ikhlas terhadap orang lain? Orang yang egois hanya tertarik pada dirinya sendiri, ingin memperoleh segala sesuatu demi dirinya sendiri dan merasa tidak senang memberi, tetapi hanya senang menerima. Dunia luar dilihat hanya dari segi keuntungan yang dapat ia peroleh darinya; ia tidak mempunyai minat terhadap kebutuhan orang lain dan tidak menghormati martabat dan integritas orang lain. Ia tidak melihat apapun kecuali dirinya sendiri; ia menilai tiap orang dan setiap hal dari segi kegunaannya bagi dirinya; ia pada dasarnya tidak sanggup mencintai. Bukankah hal ini membuktikan bahwa perhatian kepada orang lain dan kepada diri sendiri merupakan pilihan yang tak terelakkan? Ini hanya terjadi apabila egoisme dan cinta diri sendiri adalah identik. Namun anggapan itu merupakan suatu pikiran yang amat keliru yang mengarahkan kita kepada sekian banyak kesimpulan yang keliru menyangkut masalah yang kita bahas. Egoisme dan cinta diri sendiri samasekali tidak identik, keduanya sungguh-sungguh saling bertentangan. Orang yang egoistis bukannya terlalu mencintai diri, melainkan justru sangat kurang mencintai diri; sesungguhnya ia membenci dirinya sendiri. Kurangnya cinta dan perhatian terhadap diri, yang hanya merupakan suatu perwujudan dari kurangnya produktivitasnya, menyebabkan bahwa ia merasa diri kosong dan kecewa. Ia pasti tidak merasa bahagia dan gelisah dalam usaha merampas dari kehidupan suatu kepuasan yang pencapaiannya ia halangi sendiri. Ia kelihatannya memperhatikan dirinya sendiri secara berlebihan, namun sebenarnya ia hanya tidak berhasil menyembunyikan dan mengimbangi kegagalannya untuk sungguh-sungguh memelihara dirinya sendiri. Freud mempertahankan bahwa orang yang ingat diri bersifat narsistis, karena ia telah menarik kembali cintanya dari orang lain dan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

91

mengalihkannya

kepada

dirinya

sendiri.

Benar bahwa orang yang ingat diri tidak mampu mencintai orang lain, namun mereka juga tidak sanggup mencintai dirinya sendiri. Egoisme lebih mudah kita pahami kalau dibandingkan dengan perhatian yang rakus kepada terlalu orang prihatin lain dan sebagaimana suka kita temukan, misalnya pada seorang ibu yang menguasai anaknya (Erich Fromm). Secara sadar ia yakin bahwa ia sangat mencintai anaknya, namun secara tidak sadar ia sebenarnya merasakan suatu permusuhan yang direpresi terhadap objek keprihatinannya. Ia merasa prihatin yang berlebihan, bukan karena ia sangat mencintai anaknya, melainkan karena ia harus mengimbangi kekurangmampuannya untuk mencintai anaknya. Teori tentang sifat dasar egoisme ini berasal dari pengalaman pasien neurotis yang tidak mementingkan diri sendiri. Sifat tak mementingkan diri ini merupakan suatu simtom neurotis yang diobservasi pada banyak orang yang biasanya diganggu bukan oleh simtom ini melainkan oleh simtom-simtom lain yang berhubungan dengan simtom tadi, seperti: depresi, kelelahan, kegagalan dalam relasi cinta, dan sebagainya. Sikap mementingkan diri sendiri bukan hanya tidak dirasakan sebagai suatu simtom, melainkan sering dianggap sebagai ciri watak yang bagus, sebagai satu-satunya yang dibanggakan orang itu. Orang yang tidak mementingkan diri sendiri tidak menyukai sesuatu pun bagi dirinya sendiri; hidup hanya untuk orang lain, merasa bangga bahwa ia menganggap dirinya sendiri tidak penting. Ia bingung melihat bahwa walaupun ia tidak mementingkan dirinya, ia tidak dapat bahagia, dan bahwa hubungannya dengan mereka yang paling dekat dengannya tidak memuaskannya. Ia ingin melepaskan segala kesulitan yang dianggapnya sebagai simtom, kecuali sikap tidak mementingkan diri itu sendiri. Karya terapi psikoanalitis menunjukkan bahwa sikap yang tidak mementingkan diri sendiri itu bukan sesuatu yang lain atau di luar simtom-simtom lainnya, tetapi merupakan salah satu dari simtom-simtom itu, malah sesungguhnya sering merupakan simtom yang paling penting. Karya terapi psikoanalitis memperlihatkan bahwa ia lumpuh dalam kemampuan untuk mencintai atau untuk menikmati sesuatu; bahwa ia diliputi rasa permusuhan melawan kehidupan, dan bahwa ia di balik kedok sikap yang tidak mementingkan diri sendiri itu, tersembunyilah suatu sikap egosentrisme yang halus
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

92

namun kuat. Orang ini dapat disembuhkan hanya kalau sikap yang tidak mementingkan diri sendiri juga ditafsirkan sebagai salah satu dari simtom-simtom sedemikian rupa sehingga kurangnya produktivitas pada dirinya, yang merupakan sumber baik dari sikapnya yang tidak mementingkan diri sendiri maupun dari gangguan-gangguan lain, dapat diperbaiki. Sifat dasar dari sikap tidak mementingkan diri ini menjadi nyata terutama sekali dalam pengaruh dan akibatnya terhadap orang lain, dan sangat sering, untuk adat istiadat kita, dalam pengaruh atas anak-anak dari seorang ibu yang tidak mementingkan diri. Ia yakin bahwa lewat sikapnya yang tidak mementingkan diri, anak-anak akan mengalami apa artinya dicintai dan pada gilirannya mempelajari arti mencintai. Namun hasil dari sikapnya yang tidak mementingkan diri itu samasekali tidak sepadan dengan harapannya. Anak-anak tidak menunjukkan kebahagiaan pribadi-pribadi yang yakin bahwa mereka dicintai; mereka cemas, kaku, takut terhadap celaan ibu dan cemas untuk bertindak sesuai dengan harapannya. Biasanya mereka dipengaruhi oleh rasa permusuhan yang tersembunyi dari ibunya terhadap kehidupan, yang mereka rasakan lebih daripada menyadarinya, dan akhirnya mereka sendiri diliputi oleh kebencian tersebut. Akhirnya pengaruh sikap ibu yang tidak mementingkan diri sendiri tidak terlalu berbeda dari seorang ibu yang bersikap egoistis; sesungguhnya pengaruh itu sering lebih jelek karena sikap tidak mementingkan diri dari ibu menghalangi anak-anak untuk mengkritiknya. Mereka hidup dengan beban kewajiban untuk tidak mengecewakan ibu, mereka diajar, di bawah topeng kebajikan, agar benci terhadap kehidupan. Jika kita mempunyai kesempatan untuk mempelajari pengaruh dari seorang ibu yang memiliki cinta pada diri sendiri yang sejati, kita dapat melihat bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih berhasil untuk memberikan seorang anak suatu pengalaman tentang apa arti cinta, keriangan dan kebahagiaan, daripada dicintai oleh seorang ibu yang mencintai dirinya sendiri.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

93

Pengertian
Modul VI
Sub Materi:
Apa yang Bukan Inteligensi Manusia Apa yang Bukan Seluruh Inteligensi Manusia Tahap-Tahap Perkembangan Inteligensi Kegiatan-kegiatan Inteligensi Objek Inteligensi Manusia Fungsi Inteligensi dalam Konteks Dinamika Manusia Spesialisasi dan Bahayanya Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008


Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

94

PENGERTIAN

I. Apa yang Bukan Inteligensi Manusia Mengenai apa yang bukan merupakan inteligensi, maka pertama-tama diingat bahwa inteligensi berbeda dari pengetahuan indrawi. Para filsuf umum membedakan dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bersumber pada daya indrawi dan budi intelektif manusia. Secara umum, kedua sumber pengetahuan ini berbeda, namun tidak bersifat temporal parsial (terlepas-pisah), karena keduanya bersifat manunggal dan berjenjang.

Hakikat Pengetahuan Indrawi Alexis Carrel (1987) sekurangkurangnya pengetahuan manusia menyetujui indrawi diperoleh kebenaran yang dimiliki melalui pendapat yang menunjukkan bahwa

kemampuan indranya, namun selalu bersifat relasional. Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, namun tidak melulu sebagai makhluk biotik, sebab makhluk biotik lainnya seperti pohon atau bunga tidak memilikinya. Pengetahuan itu diperoleh manusia karena ia juga mengandung tahap psikis atau indrawi biologis, seperti juga pada binatang. Berkat indranya itu, maka manusia mengatasi tahap hubungan yang semata-mata fisik-vital dan masuk ke dalam medan intensional, walaupun masih sangat sederhana. Daya indra menghubungkan manusia dengan hal-hal konkret-material dalam ketunggalannya. entah nyata atau semu. Pengetahuan indrawi bersifat parsial, disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan indrawi berhubungan dengan sifat khas fisiologis indra dan ciri objek
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

95

yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indra menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya, seperti bunyi, cerah, atau bentuk dengan keras-lunaknya, rasa, atau bau, dan sebagainya. Pengetahuan indrawi, menjadi berbeda-beda menurut perbedaan indra dan terbatas pada sensibilitas organ-organ indra tertentu. Pendengaran hanya mampu menangkap suara, dan hanya dalam batas-batas frekuensi tertentu, sesuai dengan kepekaan indra pendengaran masing-masing orang. Mata peka terhadap cahaya, dan tidak mampu menangkap bau yang merupakan tugas indra penciuman, begitu juga halnya dengan semua indra lainnya. Pengetahuan indrawi hanya terletak pada permukaan kenyataan karena terbatas pada hal-hal indrawi secara individual, dan dilihat hanya dari segi tertentu saja. Jelas bahwa terdapat kesulitan epistemologis dari hal pengetahuan indrawi yang sifatnya deterministik. Kesulitan itu disebabkan persepsi indrawi merupakan suatu penampakan yang pucat dan tidak lengkap dari kenyataan. Pandangan tersebut merupakan suatu upaya klarifikasi epistemologis terhadap dua aliran pemikiran dalam epistemologi yang sifatnya deterministik dan saling mengabaikan yaitu "Determinasi Empiris indrawi" dan "Realisme naif. Empirisme indrawi dipelopori oleh John Locke berusaha untuk menentukan atau memaksakan suatu reduksi seluruh isi pikiran kepada pengalaman indrawi, seolah-olah pengetahuan yang asli di atas papan budi manusia adalah yang hanya ditulis oleh indra. Sisi berikut dari pandangan di atas adalah reaksi kritisnya terhadap Realisme naif yang secara tegas mengabaikan bipolaritas pengetahuan manusia dengan mempertahankan bahwa kualitas-kualitas yang dirasakan adalah secara formal lepas dari sensasi atau rangsangan sebagai cara subjek penerimanya. Menurut Realisme naif, kualitaskualitas primer yang mewakili apa yang terdapat dalam benda-benda material itu sendirilah yang mengintervensi atau menerobos subjek dengan tindakannya sendiri. Maksud uraian ini hendak menunjukkan bahwa secara epistemologis, betapapun objektifnya pengetahuan indrawi tersebut, jelas bahwa ia hanya ditangkap oleh satu indra saja, oleh karena itu tidak dapat dipandang sebagai pengetahuan yang utuh. Jenis pengetahuan indrawi ini belum mempunyai dasar objektif yang kokoh. Warna, suara, rasa, tidak termuat secara esensial di dalam konsep benda material. Unsurunsur tersebut hanyalah sensasi yang disebabkan di dalam diri manusia oleh kualitas-kualitas primer dan tentu saja tidak mempunyai dasar objektif yang sama. Semua sensasi (warna, bau, rasa, serta suara) akan lenyap dan berhenti apabila tanpa mata yang melihat sinar atau warna, atau tanpa telinga yang mendengar suara, tanpa langit-langit mulut yang merasakan, atau hidung yang membau. UnsurManusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

96

unsur tersebut akan direduksi ke dalam sebab-sebab mereka, yaitu kumpulan, bentuk, dan gerakan dari bagian-bagian, bila tidak ditangkap oleh indra subjek. Semua substansi material tidak dapat dianggap lepas dari budi (intelektif) sebab bila demikian, maka pengetahuan hanya merupakan sebuah mitos saja. Walaupun sifat kebenaran pengetahuan indrawi itu masih sangat terbatas, namun demikian pengetahuan indrawi menjadi sangat penting, karena jenis pengetahuan ini pun dapat bertindak selaku pintu gerbang pertama untuk menuju pengetahuan yang lebih utuh. Pandangan di atas mengantarkan pada beberapa kesimpulan mengenai hakikat pengetahuan indrawi: Pertama, penangkapan subjektif yang diterima sebagai kesan tersebut sudah mendapatkan pengolahannya dengan cara tertentu oleh si subjek di dalam menanggapi objeknya. Hal ini perlu ditekankan karena subjek tidak pernah hanya bersifat pasif. Pertanyaannya adalah apakah warna merah yang telah diolah oleh subjek dengan caranya sendiri tersebut benar-benar warna merahnya si objek? Kalau memang terjadi kesesuaian antara pengalaman subjektif dengan keadaan objektif, maka terdapat suatu hubungan yang benar antara kenyataan dan penangkapan subjektif. Kedua, walaupun ada hubungan kebenaran antara kesan dan kenyataan yang ditampilkan oleh hubungan antara persepsi indrawi dengan objek, namun hubungan ini lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan hubungan itu bersifat lebih luas, lebih kabur, dan cukup kacau di dalam kekhususan hubungan antara objek dengan kesan. Ketiga, hakikat kebenaran pengetahuan indrawi pada sisi yang lebih luas, menampakkan hubungan secara tidak langsung melalui kebenaran simbolis. Hubungan ini hanya muncul dari kebiasaan si penerima. Kodrat kesan tidak membawa kejelasan bagi objek dan objek tidak membawa kejelasan bagi kesan, kecuali berdasarkan pengalaman-pengalaman dari sekelompok penerima yang sudah dibentuk kemudian. Bahasa dan artinya merupakan contoh paling jelas dari jenis antara suara-suara dan tanda-tanda visual di atas kertas dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan. Bahasa tidak hanya menyampaikan arti objektif, tetapi juga warna subjektif. Musik, pakaian, bau-bauan, serta gerakan-gerakan yang digunakan di dalam upacara tertentu juga mempunyai kebenaran atau kesalahan simbolis. Musik memberi contoh kapan harus diartikan sebagai perangsang emosi bagi semangat politik, perang ataupun religius. Jelaslah bahwa terdapat hubungan kebenaran yang Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 97

samar-samar. melalui pengertian kelompok (komunal), antara musik dengan kesan yang ditimbulkannya. Gabungan kompleks dari hubungan kebenaran dan kesalahan. sekaligus membentuk daya interpretasi.

Kebenaran Pengetahuan Indrawi Satu-satunya kriteria untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan indrawi, adalah kebenaran an sich atau kebenaran in itself tanpa kualifikasi. Caranya, adalah dengan korespondensi atau kesesuaian dari kesan-kesan yang jelas dengan kenyataan. Persoalan epistemologis yang muncul di sini adalah, apakah yang ditangkap oleh indra subjek benar-benar sama dengan apa yang ditampilkan oleh objek. Adakah dasar bagi keyakinan kita bahwa objek-objek tersebut benar-benar ditangkap oleh indra sebagaimana adanya? Adanya kesesuaian seperti ini tidak muncul dari keniscayaan kodrati. Pengaruh cahaya, kesehatan mata, dan seterusnya, menunjukkan bahwa kesan dari objek tertentu mungkin cukup tidak relevan bagi kejadian sebenarnya dengan objek yang bersangkutan. Kesan akhir dikontrol oleh fungsi badan, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa ada dasar yang memungkinkan kebenaran di sini. Kondisi ini disebabkan fungsi indra dan peristiwanya sendiri berasal dari suatu masa lampau yang nyata dan menjadi "datum" bersama bagi keduanya. Masa lampau indra dan masa lampau objek memiliki titik singgung yang sangat besar. Badan mempunyai kesan dan objek yang membangkitkan kesan tersebut saling bertemu di dalam "datum" masa lampau, sehingga di dalam situasi normal, kesan-kesan sangat mungkin berkesesuaian dengan objek-objeknya. Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam hal kebenaran pengetahuan indrawi di kalangan para filsuf. Ada yang lebih menekankan pada bentuk dari-pada suatu "badan benda", sementara ada (terutama para filsuf kontemporer) yang lebih menekankan pada tangkapan "arti dan signifikasi" suatu keadaan daripada bentuknya. Walaupun demikian, kedua segi ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Arti, tujuan. dan makna suatu benda akhirnya tergantung pada bentuknya. Bentuk dari suatu badan benda menunjuk pada orientasi, tujuan, dan arti benda itu. Bentuk dari suatu benda adalah bukan hanya pada apa yang memberi kodrat, tetapi juga yang memberi kegiatan dan tujuan tertentu kepadanya. Pendeknya, dari bentuknya suatu benda menerima, baik keberadaan hakikat dirinya maupun dinamisme dan tujuannya yang khas. Akibatnya, mengerti bentuk suatu objek adalah juga menangkap orientasi dan manfaatnya, dengan demikian dapat
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

98

dimengerti mengapa dan untuk apa objek dibuat. Misalnya, menangkap bentuk pisau, berarti mengerti sekaligus untuk apa pisau dibuat, itulah artinya.

II. Apa yang Bukan Seluruh Inteligensi Manusia Pengetahuan indrawi dan pengetahuan intelektif dalam diri manusia adalah tidak terpisahkan dan bersifat sinergis. Walaupun demikian mereka merupakan dua tahap pengenalan yang berbeda. C. A. van Peursen (1980:21 -22) cenderung menolak adanya pemisahan antara kedua jenis pengetahuan ini. Menurutnya, pengetahuan lewat akal budi (intelektif) merupakan suatu kesatuan dengan pengetahuan yang diperoleh lewat pancaindra. Maksudnya, bahwa di dalam pengetahuan indrawi telah terlibat proses intelektual yang memberikan pengertian dan pemahaman menurut akal budi, pengetahuan indrawi dan pengetahuan konseptual atau intelektif saling meliputi. Istilah intelektual (bahasa Latin: intellectus) mengandung arti "dalam pikiran" atau "dalam akal", tanpa menutup kemungkinan terhadap adanya realitas. Pengetahuan intelektif dengan ini berarti pengetahuan yang diperoleh dalam proses pikiran atau akal yang mendalam. Pengetahuan intelektif adalah pengetahuan yang hanya dicapai oleh manusia dan tidak dapat dicapai oleh makhluk lain di dunia ini. Pengetahuan intelektif ini dicapai oleh rasio atau inteligen, yang merupakan kemampuan intelektual manusia. Guna memahami jenis pengetahuan ini, maka perlu diselidiki bentuk kegiatan-kegiatan inteligensi ini. Sifat khas dari pengetahuan intelektif ini adalah menangkap bentuk atau kodrat objek, dan tetap menyimpannya di dalam dirinya sedemikian rupa sehingga subjek dapat mempertimbangkan objek itu bagi dirinya sendiri. Hal ini berlangsung baik apabila benda konkret yang kodratnya telah ditangkap itu benar-benar masih ada atau sudah tidak ada lagi. Ingatan dan imajinasi (daya membayangkan) menyerupai inteligensi sejauh subjek tersebut mampu mengingat kembali atau membayangkan objeknya, jika objek tersebut tidak ditunjukkan secara langsung, secara fisik. Istilah Inteligensi diambil dari kata intellectus dan kata kerja intellegere (bahasa Latin). Kata intellegere terdiri dari kata intus yang artinya dalam pikiran atau akal, dan kata legere yang berarti membaca atau menangkap. Kata intellegere dengan ini berarti membaca dalam pikiran atau akal segala hal dan menangkap artinya yang dalam. Menjadi inteligen berarti menangkap apa yang fundamental pada jenis ini atau macam ada yang itu, berarti menangkap apa yang esensial dari suatu gejala. melihat apa yang hakiki dalam kegiatan ini atau itu (menambah. mengurangi,
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

99

mengalihkan, atau membagi). Inteligensi adalah kegiatan dari suatu organisme dalam menyesuaikan diri dengan situasi-situasi, dengan menggunakan kombinasi fungsi-fungsi seperti persepsi, ingatan, konseptual, abstraksi, imajinasi, atensi, konsentrasi. seleksi relasi, rencana, ekstrapolasi, prediksi, kontrol (pengendalian), memilih, mengarahkan. Berbeda dengan naluri, kebiasaan, adat istiadat, hafalan tanpa mempergunakan pikiran, tradisi. Pada tingkat intelek (pemahaman) yang lebih tinggi, inteligensi juga dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah-masalah (soal-soal kebingungan) dengan penggunaan pemikiran abstrak. Tingkat-tingkat inteligensi yang lebih tinggi berisi unsur-unsur seperti simbolisasi dan komunikasi pemikiran abstrak, analisis kritis, dan rekonstruksi untuk diterapkan pada kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut dan/atau pada situasi-situasi yang terkait, entah praktis atau teoretis (Lorens Bagus, 1996: 359). Demikianlah, hal-hal yang berada pada tiap-tiap tahap perkembangan pengetahuan intelektif tidak dapat dipandang sebagai keseluruhan inteligensi itu sendiri.

III. Tahap-Tahap Perkembangan Inteligensi Secara epistemologis dapat dikemukakan suatu analisis mengenai tahap-tahap perkembangan pengetahuan intelektif manusia dalam rangka pengembangan pengetahuan secara utuh dam menyeluruh. Psikolog kontemporer (Piaget, ReimonRiver) antara lain menunjukkan bahwa ada tahap-tahap perkembangan inteligensi pada manusia. Louis Leahy (1993:122) secara garis besar memerinci setiap tahap perkembangan inteligensi (pengetahuan intelektif) manusia itu demikian: sebelum anak berumur tujuh tahun, kemampuan inteligennya nyata seiring dengan pemunculannya dalam bentuk kemampuan anak untuk mengarahkan segala sesuatu pada dirinya dan menafsirkan segala sesuatu dalam hubungan dengan pemusatan pada diri (ego)-nya sendiri. Akibatnya, inteligensi pada tahap kanak-kanak umumnya masih bersifat egosentris. Kemampuan inteligensi anak kecil hampir sedikit seperti binatang, mula-mula hanya tertarik pada apa yang akan memenuhi kebutuhankebutuhan pribadinya. Namun demikian, ia tidak dapat disamakan dengan binatang karena pada anak perilakunya lebih bersifat intelektual yang melebihi suatu tindakan yang sekadar bersifat stimulus atau rangsangan dan reaksi (stimulus-respons). Setelah memasuki usia remaja. inteligensi mulai memperlihatkan dirinya dalam bentuk kemampuan berpikir yang menanjak pada kemampuan berpikir secara nalar atau secara abstrak daripada mengerti berdasarkan hal-hal konkret saja. Tahap kemampuan inteligensi ini oleh para psikolog disebut sebagai usia metafisik yang
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 100

khas. Tahap ini diikuti oleh pikiran dewasa yang terdiri dari suatu rekonsiliasi antara pikiran yang formal dan realitas. Walaupun demikian, kiranya belum cukup untuk mengatakan bahwa inteligensi mereka telah menjadi dewasa penuh secara objektif sebab mereka belum dapat melihat kenyataan sebagaimana adanya. Inteligensi pada manusia remaja ini telah meningkat pada kemampuan untuk menggambarkan lebih jauh mengenai apa yang mungkin dan yang ideal dari hal-hal yang aktual dan sekarang. Usia akil balik pada anak menunjukkan bahwa perkembangan pengetahuan intelektif melalui daya inteligensinya telah bertumbuh secara kompleks. Hal ini ditandai dengan timbulnya kemampuan inteligensi mereka untuk menangkap hubungan-hubungan untuk menggolong-golongkan para individu menurut keluarganya, menurut ukuran besar-kecilnya. menurut volume serta berat-ringannya. Selain itu kemampuan inteligensi pada usia akil balik ini nyata pula dalam hal mengerti sistem-sistem dan golongan-golongan sistem, bahkan menggerakkan mereka secara tepat, misalnya seperti dalam ilmu berhitung (bandingkan Singgih D. Goenarsa, 1980). Berbeda dengan inteligensi tahap kanak-kanak yang bersifat sangat egosentris, pada orang dewasa, ciri inteligensinya lebih bersifat objektif. Ciri pengetahuan intelektif pada manusia dewasa adalah objektivitasnya. Sesungguhnya, orang dewasa dapat melihat hal-hal dalam diri mereka sendiri, lebih dari pada bagaimana hal-hal itu tampak padanya menurut selera dan kebutuhan-kebutuhannya. Pengetahuan intelektif yang diperoleh melalui daya inteligen pada orang dewasa muncul secara kompleks dalam berbagai kemampuan untuk menanyakan kenyataan di balik realitas sebagai upayanya untuk mendapatkan realitas yang lebih tepat dan mendasar (ultimate). Inteligensi pada orang dewasa ini muncul dalam bentuk ketidakpuasan terhadap pengidentifikasian hakikat kenyataan satu demi satu, dan berusaha mengerti bagaimana kenyataan-kenyataan itu terkait satu sama Iain. la tidak membatasi diri hanya pada analisis detail-nya, tetapi berusaha untuk melihat bagaimana segala sesuatu mengkoordinir dan mempersatukan dirinya. Melalui ini, ia bertanya-tanya sampai bertanya pada dirinya sendiri bagaimana semua realitas yang tersebar dalam ruang membentuk suatu alam semesta. Dengan itu pula, ia terus mempertanyakan tentang bagaimana semua kejadian yang saling menyusul dalam waktu melukiskan suatu evolusi. Bagaimana pengaruh yang saling berkaitan dari faktor-faktor ekonomis, psikologis, sosial, politik, serta religius melahirkan suatu peradaban. dan bagaimana akhirnya urut-urutan peradaban itu menghasilkan sejarah. Jelaslah bahwa tingkat kemampuan inteligensi pada manusia dewasa
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

101

sebegitu luas mengarah pada kemampuannya untuk dapat menempatkan setiap hal menurut hubungannya dengan hal-hal lain serta ikatannya dengan keseluruhan. Ciri kemampuan inteligensi manusia dewasa berusaha untuk menangkap, menempatkan. mengintegrasikan, atau melihat hubungan antara sebuah objek serta hal-hal yang dapat menerangkan kodratnya. la juga berusaha menangkap hubungan antara satu gejala dengan penyebabnya, antara data-data sebuah masalah dan prinsip pemecahannya. Kompleksitas daya inteligensi menunjukkan pula bahwa ciri pengetahuan orang dewasa lebih bersifat luas, objektif, mendalam, serta terartikulasikan. Objek khas dari pengetahuan intelektif manusia dewasa menjadi begitu luas dan mendalam pula. Tingkat keluasan dan kedalaman pengetahuan intelektif pada orang dewasa tidak terbatas hanya pada suatu aspek khusus dari kenyataan atau pada suatu kategori khusus objek-objek tertentu. Manusia dewasa mampu untuk menghubungkan yang ideal dengan kenyataan. Ia memperhitungkan sekaligus pelajaran-pelajaran masa lampau, kemungkinan-kemungkinan masa kini serta urut-urutan hari depan. Semakin mendalam refleksinya, maka semakin luaslah objeknya. Sejarah epistemologi menunjukkan bahwa hampir tidak ada batas-batas pada penyelidikan dan penaklukan dari inteligensi manusia dewasa. Pada waktu manusia menguasai rahasia-rahasia alam semesta, ia tidak henti-hentinya menciptakan dunia-dunia baru. Manusia dewasa sambil meneliti dengan semakin metodis, ia dengan semakin baik menyadari kemampuan-kemampuan roh inteligensinya. Pendeknya, petualangan inteligensi manusia dewasa bukan hanya mencoba mengetahui lebih banyak, tetapi juga secara lebih mendalam, setotal mungkin. Melalui ini akan dibicarakan mengenai hakikat perkembangan pengetahuan intelektif.

IV. Kegiatan-kegiatan Inteligensi Manusia Manusia selalu mengalami bahwa semua yang diketahuinya tidak pernah sempurna, tuntas, abadi, serta paripuma. Manusia tidak pernah merasa puas dengan pengetahuannya, betapa pun tinggi dan banyaknya. Tidak ada yang selesai (tidak ada yang terhabiskan dalam alam pengetahuan manusia), meski besar sekali pengetahuan seseorang, namun makin besar juga kehausannya untuk meneruskannya. Alexis Carrel (1987:27) mengemukakan bahwa perkembangan pengetahuan manusia tidak melalui suatu rencana, tetapi berkembang secara acak. Pengetahuan manusia merupakan hasil dari kegiatan inteligensi yang bersifat progresif-revolusioner. Van Melsen (1992: 5) menunjukkan bahwa pertumbuhan Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 102

yang agresif dari pengetahuan lebih dipacu oleh adanya kecenderungan untuk mengabdikan ilmu pengetahuan bagi kepentingan hidup sehari-hari menurut segala aspeknya. Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa sebenarnya ada beberapa faktor penyebab yang mendorong sifat perkembangan yang begitu agresif dalam pengetahuan. Pertama, inteligensi atau rasio merupakan kemampuan tertinggi manusia yang didukung dan didorong oleh kemampuan-kemampuan bertahap rendah yang ada di bawahnya. Inteligensi bukanlah suatu substansi, atau suatu substansi yang bereksistensi dari dan bagi dirinya sendiri. Inteligensi hanya merupakan salah satu kemampuan manusia (tentu saja yang paling tinggi) dan hanya dapat beroperasi dengan melibatkan semua kemampuan lain yang lebih rendah sifatnya. Kedua, pengetahuan inteligensi selalu didorong oleh pengetahuan-pengetahuan sebelumnya, yang menjadi prapengertian atau prapengetahuan bagi pengetahuan lanjut secara lebih mendalam dan meluas. Dinamisme rasio yang didukung oleh kehendak dan keyakinan serta keberanian untuk bereksperimentasi. sementara penampilan diri ditentukan oleh gerak maju inteligensi, semuanya akan menjadi dasar progresivitas pengetahuan intelektif manusia. Ketiga, sekalipun mengerti secara mendalam adalah suatu perbuatan yang bersifat pribadi sekali. tetapi hal ini berada dalam pengaruh dunia yang melingkupinya. Hasil perkembangan dan kemajuan masyarakat selalu mendorong perkembangan dan kemajuan pengetahuan. Pengetahuan intelektif tidak pernah lepas dari dunia yang melingkupinya. Perkembangan budi intelektif seseorang juga tergantung dari perkembangan hasil budi orang Iain. Sifat sosial manusia tidak dapat diabaikan dalam pengembangan pengetahuan manusia. Interaksi antarbidang pengetahuan justru semakin memacu perkembangan pengetahuan intelektif. Sementara pada aspek kebudayaan dapat dilihat bahwa cara berpikir, cara merasa, cara bertindak, serta cara bereaksi, sekurang-kurangnya pada awal perkembangan seseorang dibentuk oleh kebudayaan masyarakatnya. Melalui ini dapat dilihat bahwa pengetahuan bersifat progresif dalam interaksi dengan masyarakat sosialnya. Pengetahuan intelektif di samping bersifat progresif, juga bersifat sosial. Bentuk-bentuk kegiatan intelektif manusia berasal dari tahap-tahap yang paling rendah (sederhana) sampai ke tahap yang lebih tinggi (kompleks). Pengetahuan itu berjalan dari tahap yang tidak sadar sampai kepada tahap yang sadar yang menempatkannya secara sistematis dan reflektif. Pengetahuan pada tahap sadar ini memiliki sistematisasi dan refleksi. Pengetahuan intelektif yang paling rendah atau yang paling sederhana adalah penglihatan atau penanggapan (persepsi). Kegiatan Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 103

intelektif pada tahap yang rendah atau sederhana ini umumnya digerakkan secara tidak sadar dan prareflektif. Persepsi ini. misalnya, tampak pada refleksi spontan. prasadar. dan prapribadi. Tahap berikutnya adalah jenis pengetahuan yang muncul secara tiba-tiba tanpa kesadaran yang memadai, misalnya pada waktu sedang melamun. Bentuk pengetahuan intelektif berikutnya adalah aprehensi (penampakan) yaitu bentuk pengetahuan di mana sudah terdapat kesadaran, meskipun subjek menerima apa yang terjadi pada dirinya secara pasif tanpa diinginkannya. Heidegger dalam pandangan fenomenologi eksistensialnya antara lain menyebut kegiatan inteligensi ini sebagai sesuatu penerangan atau satu tindakan penyingkapan organis dan dan pemanifestasian (Bertens, 1987: 23). Maksudnya. bahwa aprehensi adalah sebagai suatu tindakan membiarkan inteligensi melewati batas-batas memanifestasikan diri secara langsung. W. Penfield menyebutkan bahwa dasar pikiran adalah tindakan otak pada setiap individu. Tindakan itu mengiringi kegiatan roh, tetapi roh itu bebas sifatnya. Roh mampu melakukan inisiatif hingga suatu tahap tertentu. Selanjutnya Penfield menjelaskan juga bahwa bila seandainya roh itu hanya mempunyai otak, bukan pikiran, maka keputusan yang sulit itu tidak akan menjadi keputusannya sendiri. J. Eccles dalam hal yang sama mengatakan bahwa pikiran itu terjadi tanpa tergantung pada otak dan kemudian disampaikan kepada otak. Menurut J. Eccles, "Saya pikir, itu pertama-tama adalah pikiran yang sadar diri yang sedang menjelajahi sumber-sumber dayanya sendiri yang maha luas dan terbentang baginya" (Leahy, 1993: 312 313). Tahap berikutnya adalah insight yang merupakan penangkapan intelektual secara mendadak mengenai objek. Melalui tahap ini inteligensi manusia tidak hanya menyadari secara pasif apa yang terjadi, tetapi berusaha untuk menangkap esensi atau hakikat atau inti peristiwa tertentu. Jelaslah bahwa di dalam insight lebih banyak diandalkan adanya kegiatan abstraksi oleh budi. di mana ciri-ciri pokok dicoba untuk ditangkap sambil menyingkirkan yang tidak penting, sambil berusaha mencari sebab-sebab dan sifat terdalamnya, misalnya insight terjadi sebagai ilham bagi seorang seniman. Tahap pengetahuan yang semakin kompleks lagi adalah kegiatan bernalar yang bersifat diskursif. Istilah diskursif dari kata di-curres artinya berlari ke berbagai arah melalui induksi, deduksi, refleksi, subjektif-objektif, dan sebagainya (Leahy, 1993: 132). Jenis pengetahuan intelektif ini lebih mendalam daripada sekadar insight yang ditangkap secara intuitif. Tekanan utama kegiatan berpikir atau bernalar ini lebih diutamakan pada budi intelektif itu sendiri. Budi harus benar-benar mengetahui dengan penuh tanggung jawab, sebab insight diverifikasikan. diterangkan dengan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

104

logis dan ilmiah. Tahap kegiatan intelektual yang lebih tinggi adalah tahap keputusan sebagai keyakinan akan kebenaran atau kesalahan dari hasil penyelidikan tertentu. Putusan ini lebih bersifat reflektif, sebab penguatan atau afirmasi yang diberikan sungguh-sungguh didasarkan pada landasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Putusan ini juga lebih bersifat pasti karena pelakunya mengetahui bahwa ia tahu, bukan hanya kurang lebih dari itu.

V. Objek Inteligensi Manusia Sebagaimana dikatakan semula bahwa secara ontologis objek pengetahuan intelektif adalah hakikat segala realitas, yakni segala sesuatu yang ada, yang pernah ada, dan yang mungkin ada: segala sesuatu yang memanifestasikan diri, yang pernah memanifestasikan diri dan yang mungkin memanifestasikan diri. Objek pengetahuan intelektif meliputi segala sesuatu yang pernah ada, dan segala sesuatu yang akan ada, baik berupa kenyataan maupun khayalan. Kalau pancaindra hanya menjangkau realitas sejauh bersifat indrawi, maka inteligensi sama sekali mengenai segala-galanya. Kaum Aristotelian umumnya mengakui bahwa intelek mencapai hal yang universal, sedangkan pancaindra menyangkut hal-hal yang individual (Harun Hadiwijono, 1994: 45-48). Pengetahuan intelektif dengan ini menjadi sulit didefinisikan karena selain merupakan kemampuan untuk mengenal segala-galanya, pengetahuan ini juga merupakan kecakapan untuk menyelidiki segala-galanya. tertarik kepada segalagalanya. dan mencari alasan dari segala-galanya. Bukan berarti bahwa jenis pengetahuan intelektif ini benar-benar memahami segala-galanya, lebih-lebih segalagalanya secara sempurna. Maksudnya, tidak ada realitas apa pun yang secara prinsipiil tidak dapat dicapai, dan bahwa tidak ada apa pun yang sedikitnya tidak dapat menjadi objek penyelidikannya. Hakikat keberadaan objek itulah yang dengan sendirinya menarik perhatian atau mendorong inteligensi terhadapnya. Setiap kegiatan inteligensi dapat terjadi bila mencapai objek-objek sejauh objek itu ada. Bilamana inteligensi (atau lebih baik manusia yang inteligen) ingin mengerti sesuatu, maka penyelidikannya mengenai hakikat ada yang bereksistensi, atau bagaimana objek itu bereksistensi. Bila mendefinisikannya, maka pengetahuan ini menempatkan objek itu dalam satu jenis tertentu. Bilamana menilai. maka daya pengetahuan inteligensi ini menegaskan bahwa objek itu ada seperti apa yang digambarkannya dan dikatakannya. Bila bernalar, maka daya pengetahuan ini menunjukkan mengapa objeknya adalah sebagaimana adanya. Segala penegasan.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

105

penilaian, kesimpulan. serta penalarannya didasarkan atas prinsip-prinsip pertama yang merupakan hukum yang memanifestasikan semua kenyataan itu. Secara epistemologis, setiap pernyataan mengenai realitas eksistensial mengandung sejumlah prinsip dasar yang tidak dapat disangkal kebenarannya yang bersifat pasti. Secara tradisional ada tiga prinsip pertama yang merupakan hukum pemastian mengenai pengetahuan. Pertama, prinsip identitas. Prinsip ini mengatakan "apa yang ada adalah ada"; dan "apa yang tidak ada, adalah tidak ada". Sepintas lalu. kelihatannya pernyataan ini merupakan sesuatu tautologi (pengulangan) yang kosong. Walaupun demikian, pernyataan ini bersifat dasariah (p adalah p; non p bukan p). Demikian mendasar sehingga meskipun kedengarannya hanya merupakan pengulangan, prinsip ini sesungguhnya merupakan kebenaran yang tidak dapat disangkal dan mendasari seluruh pemikiran. Jelasnya, pernyataan ini menyatakan kebenaran bahwa sesuatu yang nyata benar adalah sesuatu yang intelligible (dapat diketahui). Artinya, bahwa sesuatu yang benar adalah yang korelatif dengan pikiran, sehingga dapat dikatakan bahwa antara ada dan ketiadaan terdapat suatu perbedaan radikal. Prinsip nonkontradiksi menyatakan, Sesuatu tidak mungkin merupakan hal tertentu dan bukan hal tertentu dalam suatu kesatuan, Prinsip ini menyatakan juga bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin ada pada suatu benda dalam waktu dan tempat yang sama. Dalam penalaran himpunan prinsip nonkontradiksi sangat penting, yang dinyatakan bahwa sesuatu hal hanyalah menjadi anggota himpunan tertentu atau bukan anggota himpunan tersebut, tidak dapat menjadi anggota dua himpunan yang berlawanan penuh. Prinsip nonkontradiksi memperkuat prinsip identitas, yaitu dalam sifat yang konsisten tidak ada kontradiksi di dalamnya. Prinsip eksklusi tertii menyatakan, Sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah. Prinsip eksklusi tertii menyatakan juga bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya sifat p atau non p. Demikian juga dalam penalaran himpunan dinyatakan bahwa di antara dua himpunan yang berbalikan tidak ada sesuatu anggota berada di antaranya, tidak mungkin ada sesuatu di antara himpunan H dan himpunan non H sekaligus. Prinsip ketiga ini memperkuat prinsip identitas dan prinsip nonkontradiksi, yaitu dalam sifat yang konsisten tidak ada kontradiksi di dalamnya, dan jika ada kontradiksi maka tidak ada sesuatu di antaranya sehingga hanyalah salah satu yang diterima.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

106

Prinsip cukup alasan menyatakan, Suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi. Prinsip cukup alasan ini dinyatakan sebagai tambahan bagi prinsip identitas karena secara tidak langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, tetap sebagaimana benda itu sendiri jika terjadi suatu perubahan maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya sebagai penyebab perubahan itu.

VI. Fungsi Inteligensi dalam Konteks Dinamika Manusia Bila kita melihat dinamika manusia, maka di situ pada pokoknya ada dua unsur. Yaitu unsur kognitif (cognitive), dan unsur apetitif (appetitive) katakan saja unsur pengambil. Artinya, dengan unsur ini manusia mengambil apa yang dimengerti. Dia menyatukan dirinya dengan apa yang ditangkap dalam pengertiannya, dan menyatukan objek itu dengan dirinya. Di sini yang akan kita lihat hanya unsur pengertian dulu. Unsur ini pun menyatukan, menghubungkan. Unsur pengambilan tidak mungkin bertindak tanpa unsur pengertian. Yang bertindak sebetulnya bukan unsur, melainkan manusia. Tetapi dalam dinamikanya yang aktif itu kita melihat dua unsur, yaitu pengertian dan pengambilan. Asal kita ingat bahwa pengertian itu tidak tersendiri, maka bolehlah kita memandangnya. Baiklah sekarang kita lihat fungsinya. Untuk mulai dengan yang mudah, lihatlah bahwa pengertian itu menjiwai kehidupan kita dan semua perbuatan kita. Hal ini tampak jelas dalam berbagai macam perbuatan yang memerlukan pola yang digambar seperti dalam membatik. Tetapi, sebetulnya semua perbuatan kita berdasarkan pola. Pola adalah isi pengertian kita. Pola itu tidak selalu disadari, tetapi ada. Jika dilihat dari sudut pola, maka bisa dikatakan bahwa perbuatan itu merupakan pelaksanaan pola atau pelaksanaan pengertian. Jika dipandang dari sudut bangkitnya dinamika, maka bisa dikatakan bahwa pengertian itu membangkitkan. Manusia mengerti dan melihat karena melihat, lantas ingin, tertarik, dan mulai bergerak. Hal ini bisa dijelaskan juga dengan berbagai macam percobaan dalam ilmu psikologi. Pada bunyi lonceng, anjing ingat (= mengerti) makanannya, lantas tertarik untuk makan sehingga keluar air liur. Jadi, muncullah dinamika dengan munculnya pengertian. Jika dinamika itu dijiwai oleh pengertian rasional, maka di situ dinamika itu sungguh-sungguh dinamika insani. Sebelum itu dinamika masih bersifat infrahuman, tetapi bagi manusia proses itu menuju ke tingkat human. Dinamika yang ada pada manusia dalam status anak kecil itu belum mencapai tingkat human, tetapi proses ke tingkat itu. Bilamanakah
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

107

batas infrahuman dilampaui dan human-level tercapai? Hal itu tidak bisa dikatakan seperti kita juga tidak bisa mengatakan batas antara tidak sadar dan sadar. Yang perlu diingat di sini hanyalah, bahwa dengan mencapai tingkat insani itu dinamika manusia mencapai kesatuannya. Di mana tingkat itu tidak tercapai (misalnya karena status imbesil) atau hilang (karena skizofrenia), maka di situ integrasi dinamika juga tidak ada. Dengan dicapainya tingkat human itu kesatuan dinamika belum terjamin. Manusia masih bisa berantakan karena kelemahankelemahannya, karena moralnya berantakan. Kesatuan yang lebih sempurna baru dicapai jika hidup manusia diharmoniskan, disatukan, dan diintegrasikan oleh dan dalam kepribadian, yang susila. Ini pun bukan status yang selesai. Selama hidup kesatuan dinamika berupa perjuangan yang tidak pernah selesai. Bisa maju, bisa mundur. Pengertian itu tidak hanya menjiwai perbuatan. Harus juga ditambahkan bahwa pengertian itu mempersatukan manusia dengan dunianya. Tidak mungkin pengertian menjiwai perbuatan, seandainya tidak mempersatukan kita dengan realitas. Lihatlah realitas infrahuman, seperti tumbuhan. Tumbuhan tidak bersatu dengan "tetangganya", bahkan juga tidak bersatu dengan trubusnya karena tidak mengerti. Dalam alam hewan yang lebih tinggi inteligensinya lebih tampak kesatuan dengan "sesama". Namun, kesatuan di situ hanyalah kesatuan "material", artinya bukan integrasi di mana setiap anggota berkedudukan. Kesatuan di situ hanya perkelompokan, tidak diatur oleh suatu idea. Idea tidak ada karena tidak ada pengertian. Pada hewan tidak ada idea kesatuan, tidak ada idea susunan, tidak ada idea kedudukan karena di situ tidak ada pengertian formal, tidak ada objektivisasi. Maka, hewan tidak bisa berhadapan sebagai "aku" dan "engkau" atau sebagai "aku" terhadap "barang itu". Jadi, yang ada hanya "jarak", tidak ada kesatuan. Sebaliknya dengan manusia. Dia mengerti secara formal. Dia mengadakan objektivisasi. Dia sungguh-sungguh sebagai subjek berhadapan dengan sesuatu, dan sesuatu itu diselami, di-"masuki" dan di-"masukkan" ke dalam dirinya. Lihatlah orang yang "kenal" piano. Tangan dan piano merupakan kesatuan. Pandanglah seniman yang menikmati keindahan alam. Di situ manusia dan keindahan jadi satu. Tentu saja, kesatuan antara manusia dan realitas yang dimengerti itu macammacam, ada yang kurang ada yang lebih. Di sini kita hanya melihat kesatuan pada umumnya. Maka, kita bisa berkata bahwa karena adanya pengertian, manusia itu bersatu dengan dunianya. Dalam praktek kesatuan ini tidak hanya berdasarkan pengertian. Pengertian hanya satu unsur. Dalam praktek manusia mengolah dunianya, mengubah menjadi alam kebudayaan, atau dunia manusia. Sebetulnya
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 108

kalau kita berbicara tentang dunia manusia, kesatuan sudah termasuk. Kesatuan itu berdasarkan pengolahan. Tetapi tidak mungkin ada pengolahan tanpa pengertian, tanpa penyelaman. Pengertian juga menyatukan manusia dengan sesamanya. Pengertian manusia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Demikian juga atas dasar pengertiannya dia mempunyai kesatuan yang mengatasi ruang dan waktu. Manusia mengerti nenek moyangnya, mengerti "asal usul", menghormati dan merasa bersatu dengan asal keluarganya sehingga sadar keturunan. Kesadaran sejarah tanah air itu sebetulnya suatu aspek dari kesatuan manusia yang mengatasi waktu. Berdasarkan pengertiannya, manusia juga mempunyai kesatuan dengan sesama manusia yang mengatasi ruang. Kesatuan dalam dunia hewan adalah selalu kecil, selalu terbatas pada ruang hidup bersama. Kesatuan manusia mengatasi batasan itu. Lihat saja kesatuan tanah air, kesatuan antarbenua. Bahkan, sekarang ini kita melihat kesatuan yang meliputi seluruh bangsa manusia meskipun masih ada pertentangan. Kesatuan yang berdasarkan pengertian itu bukan hanya sekadar "saling mengerti", pengertiannya itu saling memajukan. Pengertian bertambah sempurna. Akibatnya, menghasilkan teknologi. Dalam alam teknologi modern sudah tidak mungkin lagi isolasi. Sebagai fungsi yang keempat kita nyatakan bahwa pengertian menyatukan manusia dengan dirinya sendiri. Pertama ingatlah bahwa segala sesuatu yang tidak punya pengertian itu seolah-olah jauh dari dirinya sendiri. Di situ tidak ada apa yang kita sebut interioritas. Yang ada hanya eksterioritas. Interioritas artinya sadar diri, mempunyai "kedalaman". Eksterioritas artinya segi luar melulu. Nah, kayu, batu, dan semua barang yang tidak sadar itu hanya berupa eksterioritas. Hewan, terutama yang lebih tinggi inteligensinya, mempunyai semacam interioritas. Tetapi, toh tidak sungguh-sungguh interioritas sebab hewan tidak menyelami dirinya sendiri. Jadi akhir-nya, hewan pun "di luar diri sendiri", "jauh" dari diri sendiri, tidak "mendiami" diri sendiri, tidak bei sich sein, tidak in itself. Bagaimanakah manusia? Dia sadar diri, dia mempunyai interioritas, jadi "menunggui dan menjagai" dirinya sendiri; dia "menghadiri" dirinya sendiri. "Dia ada di dalamnya sendiri". Dengan demikian, dia menyatukan dirinya sendiri, dia mengalami dirinya sendiri sebagai kesatuan. Apakah dasar dari semuanya ini? Semua ini berdasarkan pengertiannya. Dengan pengertiannya dia mencakup dirinya sendiri, membedakan diri dan bukan diri. Berdasarkan kesatuan diri itu, dia juga menyatukan berbagai macam hal yang berhubungan dengan dirinya. Misalnya, dia memilih dan mengatur pakaian sehingga bersatu dengan dirinya.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

109

Akhirnya, berdasarkan pengertiannya manusia menangkap transendensinya dan bisa menyempurnakan dirinya dengan memenuhi tuntutan transendensi itu. Apakah artinya transendensi? Artinya melampaui, melebihi. Jadi, bertransendensi bagi manusia berarti bahwa dia melampaui, mengatasi keadaannya, situasinya, perbuatannya yang sedang berjalan. Dia turut! Dia meluncur dari perbuatan ke perbuatan, dari situasi ke situasi, dari keadaan ke keadaan. Tidak ada apa pun di mana dia berhenti. Dia adalah "mouvement de transcendence, kata seorang ahli pikir Prancis (Merleau-Ponty) Dengan ini tampak bahwa tidak ada sesuatu pun yang sungguh memuaskan bagi manusia, tidak ada apa pun yang memenuhi dorongannya (dinamikanya) sepenuhnya sehingga dia berhenti. Jadi dia terus mencari, terus mencari. Arti yang kedua dari transendensi ialah bahwa manusia itu untuk mencapai kesempurnaannya harus "menyeberang", artinya harus menyerahkan dirinya kepada subjek lain. Hal ini tidak berarti perbudakan. Tetapi, dia harus melakukannya dengan cinta kasih "untuk subjek" lain sepenuhnya. Hal ini tampak misalnya (untuk lebih jelasnya) dalam kehidupan wanita dan pria dalam perkawinan. Di situ wanita dan pria saling menyerahkan diri, menyatukan diri sepenuhnya, di situ yang satu "untuk yang lain" secara penuh. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup dwitunggal itu adalah pelaksanaan dari penyerahan dan kesatuan tersebut. Tetapi justru dengan saling menyerah, dengan menjadi satu itu pria tidak menjadi kurang sempurna; dengan persatuan dan penyerahan itu wanita lebih menjadi wanita. Keduanya berkembang, keduanya menemukan diri. Di situ pria menjadi berkembang sebagai pria, dan wanita lebih berkembang sebagai wanita. Semua berkat transendensi, artinya keluar dari diri sendiri, memasuki diri lain. Dalam uraian ini untuk lebih jelasnya kita tunjuk hidup perkawinan. Tetapi, tentu saja pelaksanaan transendensi itu tidak hanya dalam hidup perkawinan. Penyerahan diri dan persatuan dengan sesama manusia saja belumlah cukup. Dengan ini kita tunjuk arti yang terakhir dari transendensi manusia. Penyerahan dan pelekatan diri itu akhirnya harus terjadi terhadap Tuhan. Di atas sudah dikatakan bahwa manusia itu mencari Yang Mutlak. Memang gerak dinamikanya terutama dalam bentuk cintanya, tidak mungkin puas, tidak mungkin dipenuhi habis-habisan dengan penyerahan diri dan pelekatan diri kepada manusia meskipun dalam bentuk yang sangat dalam seperti perkawinan. Bahkan, jika manusia didewa-dewakan menjadi subjek yang terakhir yang diserahi diri (misalnya suami yang seidealidealnya atau istri yang seideal-idealnya) toh akan gagal. Sebab manusia bukan tanpa berbagai macam cacat. Dan lagi, manusia bukanlah Yang Maha Tinggi. Dalam
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

110

praktek ada banyak kekecewaan, ada (bahaya) kebosanan dan lain sebagainya. Jadi, tampak bahwa manusia tidak mungkin dijadikan pemujaan yang mutlak. Dengan ini tampak bahwa dinamika manusia itu tidak mungkin dipenuhi dengan apa atau siapa pun juga. Dinamika manusia adalah ke arah Yang Mutlak, jadi ke arah Tuhan. Jadi, semua penyerahan diri akan halal dan menyempurnakan, jika dihubungkan dengan penyerahan diri kepada Tuhan. Pada dasarnya hanya ada satu pelaksanaan transendensi, yaitu penyerahan diri dan pelekatan diri kepada Tuhan. Tetapi, ini harus dilaksanakan dalam dan dengan penyerahan dan pelekatan diri penuh cinta kasih dalam lingkungan dunia ini, misalnya dalam hubungan suami-istri. Lihatlah hal yang sangat fundamental ini bisa kita temukan dan kita uraikan berkat adanya pengertian. Bagaimanakah realitas (barang dan manusia) bersatu dengan kita dalam pengertian? Kesatuan ini terjadi karena manusia memberi dan menerima SINN atau arti. Barang an sich masih bersifat "netral. Tetapi manusia memberi arti kepadanya, yaitu menentukan fungsi dari barang itu, dari perbuatannya, bagi hidupnya. Misalnya bahan menjadi makanan, manusia menjadi kawan. Arti atau fungsi itu tidak diberikan semau-maunya. Barangnya harus mampu untuk arti itu. Maka, dikatakan bahwa kita menerima arti. Jadi, memberi dengan menerima dan menerima dengan memberi. Dengan penciptaan arti-arti itu manusia membangun dunianya. Dunia manusia adalah realitas sepanjang merupakan persekitaran arti-arti. Dunia itu seperti cangkang bagi sang keong; keong tanpa cangkang tentu mati. Manusia tanpa dunianya tidak mungkin. Dunianya berubah-ubah. Perubahan yang mendalam kerap kali membawa kesukaran. Dengan kemampuannya mengerti, manusia harus mencari arti-arti dalam dunia baru itu sehingga dia tidak menghadapi khaos.

VII. Spesialisasi dan Bahayanya Pengetahuan intelektif manusia selalu mengenai segala yang ada secara menyeluruh, namun kenyataan itu selalu didekati pula secara khusus menurut keterbatasan perspektif budi manusia yang khas. Semakin terbentuk berbagai rangkaian pengetahuan khusus, spesialisasi semakin melembut. Hubungan antarbidang pengetahuan semakin renggang karena setiap bidang pengetahuan semakin terkurung di dalam pengetahuan dan bahasa teknis sendiri-sendiri yang hampir tidak terjamahkan oleh bahasa umum ataupun bahasa pengetahuan yang lain.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

111

Berkembangnya spesialisasi dengan dampaknya yang semakin hebat pada masyarakat merupakan hasil dari perkembangan lama yang mengungkapkan ciri fungsional pengetahuan manusia. Pengetahuan terus berkembang secara terpisahpisah (divergent) sementara ide-ide selalu merupakan alat kreatif yang dipergunakan oleh pikiran untuk menata dan menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Sifat perkembangan pengetahuan tersebut bertautan erat dengan sifat eksperimentalnya dalam lingkup pengalamannya yang tidak selalu sama. Kondisi ini telah memacu berkembangnya spesialisasi dalam berbagai kemungkinan baru, tampaknya, makin terjadi unversalisasi dalam pengetahuan dan makin banyak bagian realitas yang terjangkau oleh pengetahuan manusia. Terjadilah "Saintifikasi" dan "Teknologisasi" pengetahuan secara meluas. Van Melsen menanggapi sifat agresif pengetahuan yang semakin terspesialisasi ini dengan sikapnya yang lebih terbuka. la menegaskan bahwa spesialisasi harus tumbuh supaya tendensi ilmu pengetahuan yang menguniversal dan menyatu dapat diwujudkan, dengan demikian banyak gejala yang beraneka ragam itu dapat disistematisasikan. Walaupun demikian, sikap keterbukaan ini harus pula disertai dengan sikap kritis. Sikap kritis ini perlu, karena dalam pengalamannya, spesialisasi dapat menimbulkan berbagai problem. Kenyataan ini disebabkan aspek kemajemukan dan keanekaragaman dari realitas itu dipersempit (direduksi) dalam satu dimensi yang terbatas. Spesialisasi akhirnya berkembang menjadi spesialisme yang terlepas-lepas. Spesialisme dapat memunculkan sikap pemikiran yang berbeda-beda dan sangat berlainan tanpa didasari sifat sosial pengetahuan yang saling membutuhkan. Spesialisme yang semula bersifat metodis. beralih menjadi spesialisme ideologis yang ekstrem dan akhirnya bersifat egois dan tertutup (esoteric). Setiap saat umat manusia hanya dapat merenungkan dirinya melalui lensa kehidupan yang diwarnai oleh doktrin-doktrin egois dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Alexis Carrel justru lebih bersikap kritis dalam menanggapi adanya sifat spesialisasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, la dengan tegasnya mengatakan bahwa setiap spesialisasi diikuti bias profesional yang lazim, yakni bahwa ia merasa memahami manusia secara keseluruhan. padahal kenyataannya ia hanya memahami sebagian kecil saja dari manusia. Aspek-aspek yang terpisahkan diambil secara acak, memilih salah satu dan mencampakkan yang lain yang menyertai kepribadian manusia (Carrel, 1987:41). Alexis Carrel pada bagian lain menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan yang semakin spesialis itu tidak berkembang melalui suatu rencana. Ilmu pengetahuan berkembang secara acak, kemajuannya
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

112

bergantung pada kondisi-kondisi yang kebetulan muncul seperti seorang jenius. Menurutnya, munculnya spesialisasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan tidak semata-mata diwujudkan sesuai dengan hasrat untuk memperbaiki keadaan manusia. Budi atau inteligensi semakin bergerak maju di dalam proses penetrasinya ke dalam objek yang tidak pernah lengkap dan selesai. Bahkan ilmu-ilmu positif berkembang secara mendalam (intensif) dan meluas (ekstensif) tanpa kompromi. Teori yang satu dengan teori yang lain tidak bisa ditumpuk untuk saling melengkapi. Selalu terdapat aspek yang terlepas dari genggaman pengetahuan, sementara pengetahuan terus berkembang dan tidak pernah berakhir. Pengetahuan tidak pernah sampai pada titik akhir yang pasti, ultimate dan absolut. Orang semakin dilanda kebingungan, dan tersobek-sobek ke dalam keterpilahan dan keterpisahan aneka spesialisme pengetahuan yang mendeterminasi (membatasi) kehidupan manusia ke dalam partikularisme sempit. Spesialisme telah menjadi kekuatan rasionalis yang semakin tajam dan menyempit, serta terus menciptakan keterasingan dalam hidup manusia. Herbert Marcuse secara tegas menunjukkan adanya bahaya irasionalitas dalam situasi pengetahuan modern yang demikian mencemaskan. Akhirnya, rasio menjadi rasio instrumental (rasio teknologis) yang sempit dan menenggelamkan kehidupan manusia di dalam aspek kehidupan yang bersifat one dimensional (bandingkan Sindhunata, 1982). Spesialisasi dan penganekaragaman pengetahuan yang saling terlepas dan cenderung pada sikap saling pengabaian di antara aliran-aliran epistemologi, pada prinsipnya membutuhkan pendasaran mengenai hakikat kebenaran dan kepastian. Inti pendasaran dimaksud adalah pada kebenaran dan kepastian nilai-nilai kultural yang merupakan landasan ontologis maupun orientasi pengembangan pengetahuan itu sendiri. Secara epistemologis "kebenaran" selalu bersifat probiematis dan aktual, dari sekadar sebuah rumusan logis yang berlaku.

VIII. Ikhtisar Dinamika manusia seperti manusia sendiri adalah bhinneka-tunggal. Oleh sebab itu, ada unsur-unsurnya. Maka, untuk lebih menyelaminya kita harus melihat unsurunsur itu. Salah satu dari unsur-unsur itu adalah pengertian. Sesuai dengan kodrat manusia, yaitu rohani-jasmani, maka begitu juga pengertian kita: tersusun, berupa pengertian rohani-jasmani. Kalau dipandang dari
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

113

"bawah" bisa disebut jasmani-rohani karena permulaannya pada periferia jasmani, yaitu keindraan kita. Tetapi tidak ada keindraan tersendiri tanpa kerohanian manusia. Jadi, juga tidak ada pengertian manusia yang hanya berupa pengertian sensitif. Apa yang disebut pengertian sensitif hanyalah satu sudut, satu segi, satu aspek atau momen dari seluruh pengertian insani. Mencium bau, merasakan manis, mendengar suara, semua itu jangan dianggap bahwa itu sudah bulat dahulu, lantas muncul pengertian rohani. Pandangan itu salah karena pengertian sensitif bukanlah pengertian tersendiri, juga tidak mendahului tangkapan budi (intelek). Pengertian indra adalah momen dari dan dalam keseluruhan pengertian kita. Dalam pengertian kita momen-momen itu sating memuat. Momen-momennya ialah pengertian indra, pengertian rasional, dan pengertian metafisis. Dengan pengertian rasional yang dimaksud ialah pengertian konseptual, di mana manusia membuat idea. Kita punya konsep rumah, konsep perkumpulan, dan lain sebagainya. Semua itu berasal dari pengertian rasional. Kita tidak pernah melihat segi-segi melulu, kita tidak pernah melihat bundaran melulu. Tetapi toh punya konsep bundaran dan lain sebagainya. Itu adalah dan pengertian rasional. Lebih dalam lagi (atau lebih atas!) ialah momen metafisik. Momen ini bisa disebut metakonseptual, artinya "di atas" konsep. Tetapi jangan lupa bahwa semua momen itu saling memuat. Jadi, momen yang kita sebut metakonseptual itu tidak ada tanpa konsep, tidak di luar konsep. Hanya bisa kita nyatakan dengan konsep. Bahkan, hanya bisa dikatakan dengan gambaran yang berdasarkan keindraan. Sebagai contoh akhir pengertian metakonseptual kita tunjuk pengertian kesusilaan (perbuatan ini baik, atau buruk), pengertian tentang "ada", pengertian tentang "aku", tentang persona. Di sini tampak adanya momen-momen. Anjing hanya mempunyai momen indra, dia menangkap bau tuannya. Manusia juga menangkap segi sensitif dari sesama; bersama itu dia punya konsep apakah manusia itu (misalnya konsep sosiologis). Dalam menangkap persona (atau diri sendiri), kita juga menangkap segi psikologisnya (dia berbuat, dia sedih, dan lain sebagainya). Tetapi bersama dengan semua itu, kita menangkap manusia sebagai engkau, jadi sebagai persona. Budi atau intelek sebagai fakultas manusia yang paling efektif selalu bertolak dari perspektif tertentu dari kenyataan sehingga tidak bisa menangkap kenyataan secara lengkap. Budi manusia ingin mengetahui objek manusia dengan membuat analisis mengenai unsur-unsur pembentuk objek tersebut sekaligus berusaha menangkap bagaimana unsur-unsur itu saling terjalin, sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh. Sebaliknya, secara eksternal budi ingin memperlakukan objek sebagai suatu
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

114

kesatuan di dalam interaksi dengan lingkungannya. Agar bisa mengetahui dengan jelas, budi harus bisa menangkap dengan jelas bagaimana objek tersebut dan lingkungannya saling mempengaruhi dan saling membentuk. Pengetahuan internal dan eksternal selanjutnya bersifat saling mengandaikan atau saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Keterbatasan budi yang demikian inilah yang selalu membuatnya berpusat pada perspektif tertentu. Namun, bila dihadapkan dengan objek yang bersifat kompleks dan bisa dipandang dari pelbagai perspektif secara tak terbatas, maka budi juga harus bisa selalu bergerak dari perspektif satu ke perspektif lainnya secara tak terbatas. Tambahan lagi bahwa di dalam perspektif tertentu, pengetahuan selalu bisa berkembang, maka budi rasanya tidak akan kehabisan bahan untuk mengejarnya. Dengan kata lain, budi yang terbatas itu mau mengejar sesuatu yang tak terkejar. Inilah sebabnya budi manusia tidak pernah sampai kepada suatu pengetahuan yang bersifat absolut. Budi atau intelek manusia di sisi lain walaupun bersifat terbatas, namun selalu berkembang di dalam usahanya untuk memberikan pertanggungjawaban yang semakin lengkap terhadap pengetahuan akan setiap objek. Akibatnya, bisa dimengerti kalau perkembangan pengetahuan manusia itu tidak semakin menyempit dan menyatu, tetapi justru semakin bercabang-cabang dan mendalam, terspesialisasi dalam keanekaragamannya.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

115

Kebebasan
Modul VII
Sub Materi:
Objek, Watak Kodrati, dan Keaslian Kehendak Aktualitas Ide Kebebasan Apakah Kebebasan Itu? Kebebasan Fisik, Moral, dan Psikologis Argumen-argumen yang Membenarkan Adanya Kebebasan Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Vertikal Kebebasan di Hadapan Determinismedeterminisme Determinisme dan Ketidakkoherenanny a Letak Persoalan Determinisme Dan Kebebasan Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008


Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

116

KEBEBASAN

I. Objek, Watak Kodrati, dan Keaslian Kehendak Dinamika manusia itu kompleks. Dalam modul-modul terdahulu, kita lihat dua unsur, yaitu afektivitas dan pengertian yang juga kompleks. Sekarang akan kita lihat unsur yang tidak bisa dipisahkan dengan pengertian, yaitu karsa (will) atau kehendak. Dalam bahasa kita istilah yang disebut will agak kabur. Karsa, misalnya, tidak selalu berarti will, seperti dalam kata "prakarsa" (inisiatif). Biasanya karsa berarti mau atau juga "yang dikehendaki (kersa mas, maukah mas? Kersa punapa? Punapa kersanipun? Apakah yang kamu kehendaki?). Di sini kata karsa akan digunakan: (1) dalam arti mau, menghendaki; dan (2) dalam arti kemampuan untuk mau, daya untuk mau. Kita mengerti dan mengalami karsa, baik pada diri kita sendiri maupun pada diri orang lain. Kita bisa mau atau tidak mau terhadap suatu tawaran atau daya tarik. Orang lain kita ajak menonton, dia mau atau tidak mau. Demikianlah kita mengalami adanya karsa. Dalam contoh-contoh ini tampak perbedaan antara "tertarik" dan karsa. Kalau seorang diajak menonton, mungkin dia merasa tertarik, merasa ada gerak pada dirinya untuk ikut. Tetapi, dia harus belajar untuk ujian, atau dia harus piket, maka dia menolak, tidak mau. Orang lain bisa ikut, tetapi pikir-pikir dulu. Di situ tampak bahwa adanya rasa tertarik belum berarti adanya karsa karena belum karsa! Belum muncul kata "ya". Jelaslah sekarang pengalaman karsa. Dalam uraian di atas tampak bahwa karsa berupa dinamika insani dalam bentuknya yang menentukan. Gerak yang terasa (tertarik) untuk ikut ini atau itu, untuk memenuhi keinginan, itu pun dinamika. Tetapi bukan dinamika yang menentukan. Akulah yang berkarsa dan dengan ini menentukan bentuk lain dinamika. Jadi, karena itu adalah dinamika yang menguasai. Karsa adalah dinamika insani dalam arti penuh. Dinamika yang lain itu (rasa tertarik, kemecer, dan lain sebagainya) belumlah dinamika human, meskipun pada manusia tentu saja harus dikatakan human, karena hubungannya dengan seluruh kemanusiaan kita. Tetapi lihatlah, pada binatang (ingatlah contoh anjing di ates) terdapat juga rasa terdorongdorong itu. Jadi kalau dinamika yang di bawah karsa itu sebentar kita pandang lepas dari karsa, maka di situ dinamika itu belumlah dinamika insani.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

117

Akhir dinamika manusia itu satu, meskipun terperinci dalam macam-macam bentuk konkret. Letak kesatuan bentuk-bentuk dinamika itu ialah dalam hubungannya dengan bentuk yang tertinggi itu, yaitu karsa. Bentuk-bentuk dinamika manusia itu seolah-olah seperti piramid, meruncing ke ates, ke puncak. Baru dalam puncak itulah dinamika kita betul-betul menjadi dinamika manusia. Untuk lebih menyelami hal ini, lihatlah dinamika pada status anak kecil. Semula yang ada "hanya" rangsang. Berbagai macam rangsang, itulah bentuk-bentuk dinamika pada awalnya. Di situ belum ada kesatuan karena belum ada bentuk dinamika yang kiia sebut karsa itu. Bilamana munculnya karsa? Hal ini tidak dapat dijelaskan. Janganlah munculnya karsa itu, seperti munculnya pikiran, dianggap seperti sesuatu yang tiba-tiba ada, seperti letusan mercon! Manusia itu bertumbuh dan berkembang lambat laun, tidak terdengar, tidak tampak geraknya seperti berkembangnya padi juga tidak didengar atau tampak sebagai gerak. Manusia tumbuh, demikian juga kemanusiannya. Kerohanian manusia pun mengikuti proses ini. Demikian juga munculnya karsa itu. Untuk lebih jelasnya ingatlah bahwa manusia itu rohani-jasmani. Dia tidak pernah hanya jasmani dan tidak pernah hanya rohani. Dalam pertumbuhannya, makhluk jasmani-rohani itu bangkit lambat laun; yang ada semula ialah level biologik. Lambat laun muncullah kesadaran, lambat laun pula dia merambat sampai ke level intelektif atau rohani. Dia semula hanya melekat sebagai buah, lantas setelah lahir, hanya bisa menggeletak, lambat laun bisa mengkurep, lantas bisa merangkak, lantas mulai berdiri dan berjalan. Baru setelah beberapa waktu, dia bisa berdiri di atas kaki sendiri dalam arti fisik! Dengan lambat bertumbuhlah badannya, dan dengan itu bertumbuhlah dia sebagai manusia. Hanya lambat sekali dia bangkit dari kejasmanian, dari lingkungan biologik ke lingkungan logik, dari bios ke logos, dari btosfera ke neosfera. Baru pada tingkat inilah dinamika menjadi dinamika rohani. Dinamika rohani itu tidak terus menyerudug saja, tidak terus lepas saja, seperti arus air. Dinamika ini adalah dinamika dengan kemerdekaan. Apakah sebetulnya kemerdekaan itu? Lihatlah dulu kata "bebas". Bebas artinya tidak terikat. Jadi, bebas dari ini atau itu. Bebas juga berarti bebas untuk ini atau itu. Di antara bebas berarti tidak ada ini atau itu yang mengikat, tetapi juga untuk ini atau itu, yang masih akan ditentukan. Merdeka berarti bebas. Tetapi toh isinya lebih daripada bebas. Merdeka menunjuk kedaulatan, berdiri sendiri, menguasai diri sendiri, bertakhta sendiri. Inilah arti yang pokok. Dengan sendirinya dalam alam infrahuman tidak ada kemerdekaan. Sebab di situ tidak ada diri atau sich selbst sein, tidak ada selfness. Hanya Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 118

personalah yang bersifat merdeka. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa hanya personalah yang bisa berdiri sebagai subjek dengan menentukan sikap dan pendiriannya. Pribadi manusia itu adalah pribadi rohani-jasmani. Dengan ini teriunjuklah tabiat yang tertentu dari kemerdekaannya. Ingatlah lagi bahwa yang pokok dari kemerdekaan itu bukanlah kebebasan. Yang pokok atau intinya ialah kedaulatan, mandirng pribadi; kebebasan hanyalah gejalanya ke luar. Berdasarkan kejasmaniannya (dan juga karena makhluk terbatas) pribadi manusia itu kurang berdaulat. Demikian juga kemerdekaannya mempunyai cap kekurangan ini. Manusia tidak bisa mau semau-maunya! Dia dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya dan dunianya. Lagi pula, kemerdekaannya dilaksanakan dalam aktivitas-aktivitas (perbuatan) konkret dalam dan dengan kejasmaniannya. Dengan ini kemerdekaan "menjelma" dalam bentuk konkret. Dengan demikian, muncullah suatu bentuk dinamika padanya, bentuk yang ditentukan kejasmaniannya. Maka setelah ada, bentuk itu bisa menyangkal kemerdekaan, "mau" berjalan sendiri! Dengan jalan ini muncullah berbagai macam kecenderungan (mun-cul dari perbuatan) yang sering mengganggu manusia. Bahwa kemerdekaan tidak boleh berarti keliaran, itu pun batasan. Untuk mengerti ini ingatlah lagi arah dinamika manusia. Dinamika manusia itu seperti setiap dinamika adalah diarahkan ke diri sendiri, artinya ke kesempumaan manusia; dan karena kesempurnaan ini akhirnya hanya terdapat pada pelekatan kepada Yang Mutlak, maka dinamika kita itu adalah ke arah Yang Mutlak atau Tuhan sendiri. Jadi, manusia barulah sungguh-sungguh merdeka, sungguh-sungguh berdaulat, jika dia melaksanakan arah dinamika ini. Tetapi dalam usaha ini dia dipersulit. Sebab padanyaberkat kejasmanian dan kesalahan-kesalahan sendiri dan manusia lain ada dorongan-dorongan untuk menentang arah itu. Jadi, sementara manusia mau merdeka, mau bebas dan lepas, dia tidak lepas. Dia dirintangi oleh nafsu-nafsunya. Dia cenderung untuk liar. Dia hanya bisa berdaulat dengan mengalahkan kecenderungan-kecenderungan itu. Dia hanya berdaulat jika dia mengatur nafsunafsunya. Kalau sudah begitu, maka dia bisa menentukan diri secara sungguhsungguh dan tidak ditentukan oleh nafsu-nafsunya. Tetapi ini tercapainya hanya lambat laun, dengan perjuangan. Tidak pernah akan tercapai dengan sempurna. Jadi, kemerdekaan manusia itu kemerdekaan yang selalu (harus) menjadi, kemerdekaan dalam proses penjadian. Proses kelahiran ini bisa gagal, jika manusia tidak berjuang, jika manusia tidak berani membebaskan dirinya dari berbagai macam daya tarik yang terasa pada Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 119

dirinya. Akibatnya manusia menjadi dibelenggu oleh nafsu-nafsunya. Maka dia tunduk, dia tidak berdaulat lagi. Dengan ini tampak bahwa pribadi manusia itu menyatukan dirinya dengan karsanya. Di atas telah dikatakan bahwa manusia bersatu dengan dirinya sendiri karena pengertiannya. Tetapi pengertian hanyalah satu aspek. Untuk utuhnya harus dikatakan bahwa dia menyatukan diri dengan karsanya. Dengan pengertiannya dia berhadapan dengan dirinya. Dengan karsanya dia memeluk dirinya. Dia mengerti dan mau dirinya, itulah kesatuan manusia. Tetapi ingatlah arah manusia sebagai dinamika. Berdasarkan arah ini dia tidak boleh mau dirinya semau-maunya. Dia harus mau sesuai dengan arah itu. Maka, hal ini berarti bahwa manusia hanya sungguh-sungguh bisa menjadi kesatuan dan kepribadian, jika dia mengarahkan dirinya kepada Tuhan Penciptanya. Dia hanya akan sungguh-sungguh mempunyai integrasi, jika dia berhadapan dengan Penciptanya sebagai: Ich-Du. Berhadapan ini harus dicapai dalam hidup kita meskipun bentuknya masih belum sempurna, masih laksana benih yang harus diperkembangkan. Jika manusia tidak mencari dan mencapai bentuk integrasi ini, maka dia berantakan, terjerumus; dan hal ini karena karsanya. Jadi, tampak bahwa manusia dengan karsanya bisa meninggi kepada Tuhan, tetapi bisa juga menjerumuskan dirinya.

II. Aktualitas Ide Kebebasan Kebebasan merupakan problem yang terus-menerus digeluti dan diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat mendasar. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau dalam sejarah perkembangan pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha menjawab problem tersebut. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa persoalan kebebasan manusia merupakan suatu persoalan yang masih tetap terbuka sampai dewasa ini. Mengapa? Karena titik tolak yang digunakan untuk menjawab persoalan itu bukan hanya sering kali berbeda, namun juga sering kali bertentangan. Salah satu sebab munculnya kontroversial dalam hal penjelasan dan pemberian jawaban itu adalah perbedaan latar belakang dan pengalaman hidup para pemikir. J.P Sartre yang lahir dan dibesarkan serta bergumul dalam lingkungan industri jelas memiliki pola pemikiran yang berbeda dengan Albert Camus yang hidup dalam masa revolusi Aljazair yang berusaha menuntut kebebasan dari Perancis. Pengalaman Camus berhadapan langsung dengan teror-teror dan kemiskinan membuahkan pola pemecahan yang berbeda dengan pemikiran Sartre yang lebih bersifat teoretis dan abstrak. Dalam
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

120

konteks ini kita juga dapat mengambil contoh pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Louis Leahy berpendapat bahwa kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya keakuan manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia tidak dapat tidak berkehendak. Begitu esensial dan konkrit unsur kebebasan bagi eksistensi atau adanya manusia di dunia, sehingga kebebasan dalam peziarahan hidup manusia menjadi suatu yang secara terus-menerus diperjuangkan. Kebebasan merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika ia bebas. Gagasan kebebasan semacam ini selalu aktual dalam hidup manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia, juga karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile"; kebebasan bersifat sensitif dan rapuh. Manusia adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus senantiasa memperjuangkan kebebasannya. Aktualitas ide kebebasan manusia juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti kebebasan sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno atau masyarakat pra-modern. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengangtualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini. Antara Pendewaan Kebebasan dan Situasi Teralienasi Dunia modern diwarnai oleh perkembangan pelbagai sektor kehidupan manusia. Pola pikir manusia semakin mengarah pada antroposentrisme. Sebelum jaman modern manusia percaya pada campur tangan Tuhan atau dunia supra natural dalam setiap peristiwa hidupnya, namun di jaman modern manusia lebih percaya pada kemampuan intelektualnya sendiri dalam menafsirkan kehidupan. Dalam jaman modern segala tesis yang tidak dapat diterima secara logis akan ditolak. Manusia
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

121

modern semakin tenggelam dalam pendewaan otonomi rasio. Konsekuensianya adalah kehidupan spiritul akan tidak lebih hanya sebagai pengakuan formal yang dangkal. Kesediaan manusia untuk menyerahkan diri pada kekuatan Ilahi hanya menjadi sekedar romantisme spiritual yang tidak mempunyai relevansi konkrit dengan kehidupan manusia. Sebaliknya pengakuan manusia akan kebebasan dirinya menjadi segala-galanya dalam hidupnya. Dari sisi lain kita juga bisa melihat bahwa perkembangan pemikiran manusia di jaman modern telah membuahkan kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, seperti di bidang ekonomi, komunikasi, teknologi, dan sebagainya. Caracara memproduksi barang dan jasa dalam dunia modern tidak lagi dilakukan secara manual atau tradisional, tetapi secara mekanis. Tidak dapat disangkal bahwa arus modernisasi membawa akibat yang sangat positif bagi kehidupan manusia, namun kita juga tidak bisa menutup mata pada akibat-akibat yang negatif. Di tengah-tengah arus modernisasi dan industrialisasi, semakin melebar juga jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Lebih parah lagi, dalam situasi seperti itu manusia lemah semakin teralienasi dari lingkungan sosialnya. Dalam situasi seperti inilah sering kali muncul pertanyaan tentang kebebasan manusia. Dalam situasi teralienasi seperti itu sangat mungkin kebebasan menjadi suatu yang absurd. Ide dan makna kebebasan manusia dipertanyakan kembali: Apa artinya bebas? Sejauh mana seseorang dapat dikatakan bebas? Kebebasan itu pada akhirnya ada atau tidak?

III. Apakah Kebebasan Itu? Kebebasan Fisik, Moral, dan Psikologis Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merupakan salah satu keinginan insani yang sangat mendasar. Karena itu Louis Leahy memasukan prinsip kebebasan ini dalam salah satu dimensi esensial pribadi manusia. Faktor esensial kebebasan manusia inilah yang menyebabkan dan mendorong pelbagai tokoh untuk menyoroti masalah kebebasan. Dan sebagai akibat penyelidikan yang variatif terhadap kebebasan maka muncul bermacam-macam anggapan, pendapat dan pandangan yang sering kali berbeda satu sama lain. Dalam arti tertentu adanya perbedaan konsep itu dapat dimengerti karena kebebasan itu sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebebasan mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai sesuatu yang relatif atau bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh. Namun situasi dan kondisi manusia itu pada
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

122

dasarnya bukan hanya merupakan faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga dan serentak merupakan faktor yang memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena di luar situasi yang sifatnya terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak. Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasi-situasi batas. Sebagai eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya sendiri di dunia ini. Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain. Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. Freedom is self-determination. Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebasan yang nampak secara sekilas dalam binatang-binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan dirinya. Sedang manusia mempunyai kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri. Kebebesan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

123

Pengertian kebebasan yang diuraikan di atas merujuk pada pengertian kebebasan secara umum. Dalam merenungkan arti dan makna kebebasan kita tidak akan berhenti pada arti yang paling umum dan mendasar itu. Oleh karena itu pada bagian ini kita akan memperdalam arti kebebasan dalam arti-arti yang lebih khusus. Kebebasan dalam arti khusus ini tidak berarti lepas dari pengertian bebas secara umum. Kebebasan dalam arti khusus merupakan pengkhususan arti dari kebebasan dalam pengertian umum. Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis. Kebebasan Fisik Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik. Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat. Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki. Jangkaun kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri. Jangkauan itu terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru mencirikan kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain. Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang, bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia. Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan kehendaknya. Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguhManusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

124

sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam. Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana.Namun demikian kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif. Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati. Kebebasan Psikologis Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang men-cirikhas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinankemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia. Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia bisa berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Karena itu jika orang bertindak secara bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa melakukannya. Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak. Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B. Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis. Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

125

Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu. Misalnya dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan semua uang dan harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas kehendak saya. Dalam arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya masih mempunyai kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas secara fisik, karena dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara tidak langsung bentuk paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi dengan mengkondisikan orang sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang setelah jam sekolah selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena dia tidak memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain langsung pulang setelah sekolah. Kebebasan Moral Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban. Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Contohnya suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Pikiran yang muncul saat itu adalah Saya mengambil dompet itu. Memang kemudian saya mengambil dompet itu. Namun, setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang lagi: Atau dompet ini saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya mengambil dan tidak memberikan pada pemiliknya. Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya telah mengambil barang orang lain yang bukan hak saya. Contoh lain: Seorang wanita yang disandera yang harus memilih di antara dua pilihan, yaitu atau menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis, namun ia tidak bebas
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

126

secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu memilih secara terpaksa. Ia dipaksa secara moral. Ia berhadapan dengan dua pilihan dilematis yang sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan itu menjadi tidak berdaya. Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya, jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Oleh karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau pewajiban secara moral. Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.

IV. Argumen-argumen yang Membenarkan Adanya Kebebasan Kebebasan adalah suatu keadaan atau situasi di mana manusia benar-benar merasa diri sebagai seorang pribadi yang berdiri sendiri dan tidak diasingkan dari diri sendiri. Kebebasan adalah keadaan dan cara hidup yang stabil, yaitu suatu keadaan bebas, yang olehnya manusia menjadi tuan atas hidupnya sendiri dan memiliki diri sendiri. Di dalam keadaan seperti itu diandaikan manusia bisa mengambil dan mengatur tanggung jawabnya sendiri. Kondisi ideal seperti itu dalam kenyataan ternyata belum dialami oleh manusia secara penuh. Manusia masih harus berhadapan dengan pelbagai hal yang tidak sempurna. Manusia masih harus berhadapan dengan aneka pembatasan-pembatasan yang selalu menghalangi proses pengembangan hidupnya. Manusia masih harus berusaha mendobrak segala macam rintangan yang membelenggu kebebasan dirinya. Bahwa dalam kenyataan manusia senantiasa harus berjuang melawan bentuk-bentuk rintangan dan paksaan yang membatasi kebebasannya, merupakan tanda bahwa kebebasan manusia merupakan sesuatu yang senantiasa menuntut penyempurnaan. Manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia adalah makhluk yang bertubuh. Maka pada hakekatnya kebebasan itu selalu terbatas. Manusia selalu tergantung pada lingkungan fisik dan sosial. Misalnya orang yang buta pasti tidak bisa menikmati keindahan seni lukis karena ia tidak mempunyai kemampuan visual. Seorang tuna rungu tidak bisa menikmati sebuah musik yang paling indah. Kenyataan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam hidup manusia itu pada akhirnya melahirkan pandangan yang mengatakan bahwa kebebasan hanyalah sebuah slogan-slogan kosong dan wishful thingking yang tidak mungkin dapat dicapai oleh semua orang. Maka pertanyaan-pertanyaan kritis juga muncul, yaitu: Apa manusia sungguh bebas? Benarkah manusia adalah tuan atas tindakannya
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

127

sendiri? Benarkah manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri? Bukankah dalam kenyataan kita sering berhadapan dengan pengalaman yang membuat kita berpikir bahwa kita tidak bebas? Bukankah kita sering berjumpa dengan pembatasan-pembatasan dan rintangan-rintangan yang membuat kita tidak bebas? Kalau demikian apakah kebebasan itu hanyalah sebuah teori yang sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia? Atau apakah kebebasan itu hanyalah sebuah ideal hidup manusia yang selama hidupnya harus diperjuangkan namun tak pernah akan tercapai secara penuh? Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas secara langsung mendorong orang untuk membuktikan adanya kebebasan dalam hidup manusia. Atas pelbagai cara banyak pemikir yang mencoba membuktikan kebebasan. Kita sendiri, sebagai makluk yang bereksistensi sebenarnya juga ditantang untuk meyakinkan diri kita sendiri dan orang lain, bahwa kita adalah bebas. Bagaimanapun kita menginginkan kepastian. Namun ternyata tidak mudah memulai usaha untuk membuktikan adanya kebebasan, apalagi kebebasan tidak mungkin dibuktikan secara matematis. Pembuktian selalu mengandaikan adanya jarak antara subyek yang meneliti dan obyek yang harus diteliti. Dalam hal ini kita akan menemukan kesulitan jika kita harus membuktikan kebebasan dalam diri manusia. Alasannya adalah karena antara kebebasan dan eksistensi manusia itu terdapat hubungan yang sangat erat, sehingga seakan-akan tidak mungkin manusia melepaskan diri dari padanya. Karena pembuktian secara matematis tidaklah mungkin, maka satu-satunya pembuktian yang bisa ditempuh adalah refleksi kritis. Louis Leahy dalam hal ini menempuh tiga jalan, yaitu dengan argumen persetujuan umum, argumen psikologis, dan argumen etis. Tiga jalan itu ditempuhnya terutama dalam kaitannya dengan pemikiran kritis para pemikir modern dan para ahli psikologi yang mengingkari adanya kebebasan dalam diri manusia. Sistem pemikiran mereka dikenal dengan sebutan Determinisme. Mereka berkata bahwa pada dasarnya manusia itu tidak bebas. Segala perbuatan manusia dalam hidupnya telah ditentukan. Argumen Persetujuan Umum Adanya kebebasan dalam diri manusia dapat dibuktikan berdasarkan argumen persetujuan umum. Artinya sebagian besar manusia percaya bahwa dirinya dan orang lain adalah bebas. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang sifatnya teoretis, melainkan praktis, yaitu berdasarkan pengalaman. Setiap hari manusia mengalami bahwa dirinya adalah bebas, walaupun mungkin hanya dalam batas-batas tertentu, karena manusia harus berhadapan dengan pelbagai rintangan dan halangan.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

128

Kebebasan manusia terdapat dalam pergumulan terus-menerus dalam kesulitan dan rintangan, baik yang berasal dari dalam diri manusia sendiri maupun dari luar diri manusia. Perjuangan dalam pelbagai kesulitan itu menyadarkan manusia akan kebebasannya. Seandainya manusia tidak dibenturkan pada pelbagai bentuk rintangan dan halangan, ia tidak akan menyadari kebebasannya. Sebaliknya seandainya manusia menyadari bahwa dirinya tidak bebas, maka juga tidak mungkin ia akan berusaha berjuang mengatasi kesulitan dan rintangan yang menghalangi kebebasannya. Apalagi tidak mungkin ia berjuang mengubah sesuatu dalam diri pribadinya dan dalam lingkungan sekitarnya. Justru karena benturan-benturan pada yang lain itulah manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri. Dengan demikian dimensi keterbatasan juga meniscayakan kesadaran akan kebebasan. Memang dalam kenyataan hidup sehari-hari ada begitu banyak bentuk pengalaman, serta ada pelbagai cara untuk menunjukkan bahwa manusia adalah bebas. Dengan caranya sendiri manusia dapat menunjukkan bahwa tindakannya merupakan corak asli dari ke-aku-annya dan bahwa pilihannya untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan benar-benar berasal dari dorongan internal dirinya dan tidak dapat diterangkan melulu oleh pengaruh eksternal. Misalnya orang yang mengalami kedamaian dalam batin atau suatu keadaan tenang. Dalam kondisi seperti itu ada orang yang menemukan bahwa dia berada di atas situasi yang mengelilinginya. Artinya bahwa dirinya tidak ditaklukkan oleh situasi itu dan bahwa dia mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk memilih dan menempuh jalan yang sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Dengan demikian dalam situasi terbatas pun manusia ternyata masih mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk memberi corak sendiri pada hidupnya. Hal itu membuktikan bahwa manusia pada hakekatnya mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk melihat tanda-tanda kebebasan pada dirinya sendiri dan kebebasan dalam konteks hidup sesamanya. Argumen Psikologis Bahwa dalam kenyataannya manusia adalah bebas juga dapat dibuktikan secara psikologis. Dalam pengalaman hidup sehari-hari manusia secara langsung atau tak langsung dapat menyadari hal itu. Secara langsung artinya adalah pada saat manusia melakukan suatu tindakan dia menyadari bahwa dirinya benar-benar mempunyai kehendak bebas untuk melakukan suatu tindakan. Secara tidak langsung artinya berdasarkan pelbagai keadaan yang tak dapat dipisahkan dari tindakan manusia dan yang sungguh-sungguh menuntut adanya kebebasan sebagai syarat untuk dimengertinya tindakan itu.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

129

Kesadaran Langsung akan Kebebasan Kesadaran langsung akan kebebasan artinya kesadaran manusia akan dirinya sebagai makhluk yang bebas yang muncul secara langsung pada saat dia melakukan suatu tindakan secara bebas. Kesadaran ini terjadi tatkala manusia membuat suatu pilihan atau ketika memutuskan untuk melakukan tindakan ini atau itu, atau bertindak dengan cara begini atau begitu, atau bahkan untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal penting yang harus digaris-bawahi di dalam pengertian ini adalah bahwa pilihan untuk bertindak atau tidak bertindak itu selalu mengandaikan pemikiran manusia terlebih dahulu. Pada saat itu manusia benar-benar merasakan dan menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak ditekan oleh faktor internal atau eksternal. Artinya bahwa ketika manusia memilih untuk bertindak atau tidak bertindak dirinya benar-benar tidak dikuasai oleh dorongan buta dan bahwa dia tidak diperlakukan seperti binatang yang tidak mampu berpikir atau juga seperti bendabenda lain. Contohnya ada seorang mahasiswa yang ketika pulang dari kampus melihat dompet tergeletak tanpa pemiliknya di sebuah jalan kecil. Muncul pemikiran pada waktu itu, yaitu "mengambil dompet itu". Namun pada saat pikiran itu muncul, di dalam diri mahasiswa itu juga muncul kesadaran bahwa jika ia mengambil dompet itu dan tidak mengembalikan pada pemiliknya, maka ia melakukan tindakan yang secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Setelah menimbang-nimbang, mahasiswa itu memutuskan: "Ya, saya akan mengambil dompet itu", atau sebaliknya: "Saya akan mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya". Pada saat mahasiswa itu memutuskan dengan menjawab ya atau tidak, ia sadar secara penuh bahwa dirinya telah mengambil keputusan secara bebas. Secara moral keputusan itu keluar dari "aku" mahasiswa yang terdalam atau dari kehendaknya yang bebas. Keputusan itu diambil dalam kondisi tanpa adanya pengaruh atau paksaan faktorfaktor eksternal. Keputusan itu lahir dengan dibarengi oleh kesadaran bahwa secara moral saya bebas untuk mengambil keputusan untuk melakukan tindakan. Kesadaran Tak Langsung Dalam pengalaman hidup sehari-hari yang kita sadari sering kita menemukan bahwa suatu tindakan yang kita lakukan itu sungguh-sungguh tidak bisa terjadi seandainya kita tidak bebas. Misalnya kita merundingkan sebuah persoalan. Di dalam berunding diandaikan ada kebebasan dalam diri setiap orang yang ikut di dalamnya. Karena jika tidak ada kebebasan, maka pasti juga tidak ada suatu perundingan. Mungkin yang ada justru pemaksaan kehendak. Dan pengalaman itu
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

130

mengisyaratkan bahwa kita bisa berbuat lain. Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan itu tidak dipaksa untuk melakukan tindakan secara demikian. Contoh lain misalnya kita mengagumi seorang yang sangat cemerlang dalam prestasi akademis. Atau kita memuji teman kita yang sukses dalam olah raga tinju. Prestasi-prestasi semacam itu mengandaikan adanya kemampuan dari individu untuk mengatasi semua kesulitan atau rintangan-rintangan. Dan kebebasan pada dasarnya merupakan kemampuan untuk mengatasi rintangan-rintangan itu. Di mana letak aspek ketidak-langsungan kesadaran akan kebebasan dalam tindakan-tindakan di atas? Letaknya adalah di dalam sikap mengakui akan adanya kebebasan. Di dalam sikap memuji atau mengagumi keberhasilan prestasi itu orang secara tidak langsung mengakui adanya kebebasan. Mengapa? Keberhasilan dalam prestasi mengandaikan adanya kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan. Dan penguasaan kesulitan-kesulitan itu merupakan bentuk dari kebebasan manusia. Jadi jika orang mengagumi keberhasilan prestasi maka secara tidak langsung orang juga pasti mengakui adanya kebebasan. Argumen Etik Hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab moral sangat erat. Maka tidak mengherankan kalau kedua istilah itu sering digunakan secara bersama-sama. Seandainya tidak ada kebebasan maka tidak akan ada tanggung jawab moral. Di dalam hidup manusia dikenal prinsip: Harus melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Ungkapan itu merupakan suatu yang asasi dari hati nurani manusia. Ia adalah dasar dari kewajiban moral dan di dalamnya terkandung arti sangat mendasar kebebasan berkehendak. Hal itu karena kewajiban moral selalu adalah keharusan untuk berbuat sesuatu secara bebas. Dan kewajiban moral selalu mengandaikan adanya kebebasan. Nilai-nilai moral merupakan cita-cita setiap manusia, dan jarak yang memisahkan manusia dari nilai-nilai itu dihayati oleh manusia sebagai ketidak-sempurnaan manusiawi. Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang dilingkupi oleh ketidak-sempurnaan juga termasuk dalam penghayatan akan kebebasannya. Dengan kata lain, manusia menghayati kebebasannya dalam situasi-situasi ketidak-sempurnaan moral manusiawi. Dalam sejarah perkembangan manusia hal itu terbukti bahwa justru karena kesadaran akan kekurangan atau kesalahan dan ketidak-sempurnaan moralnya, manusia mempunyai kesadaran akan kebebasannya, yaitu bahwa dirinya dapat berbuat lain dari pada apa yang ditentukan dari lingkungan di luar dirinya.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

131

V. Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Vertikal Kebebasan yang ada dalam diri manusia memperlihatkan diri sebagai suatu kemampuan yang dengannya manusia membentuk diri secara moral. Ada bentukbentuk kebebasan yang pada dasarnya tidak berkaitan dengan bidang-bidang moral, seperti kebebasan fisik. Namun keputusan-keputusan kebebasan yang sejati biasanya senantiasa berhubungan dengan tanggung jawab moral. Keputusan kebebasan sejati biasanya tidak tergantung hanya pada soal puas atau tidak puas, atau soal untung atau tidak untung secara jasmani. Artinya keputusan itu tidak didasarkan pada pemuasan aspek inferior manusia, atau tuntutan-tuntutan egoisme manusia, atau keuntungan-keuntungan pribadi yang sempit, namun lebih dalam dari itu, keputusan itu di dasarkan pada pertimbangan pemuasan kodrat spiritual, atau tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati terhadap sesama manusia. Inilah yang oleh Louis Leahy disebut kebebasan horisontal. Jadi dalam pemahaman Louis Leahy kebebasan manusia yang sejati adalah kebebasan yang senantiasa terarah kepada sesama manusia. Dengan kata lain kebebasan itu tidak dilakukan hanya demi kepentingan-kepentingan diri saya secara pribadi malainkan juga demi tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati kepada sesama manusia. Inilah yang disebut aspek horisontal kebebasan manusia. Dasar pemahaman ini adalah aspek moral dari kebebasan manusia. Manusia yang bebas tidak hanya dutuntut untuk mempertanggung-jawabkan kebebasannya kepada dirinya sendiri, malainkan juga kepada sesamanya. Aspek lain dari kebebasan adalah aspek vertikal. Louis Leahy mengartikan kebebasan vertikal sebagai keputusan yang menyangkut tingkatan di mana orang ingin membangun seluruh hidupnya; sebagai keputusan yang tidak lagi menyangkut sarana-sarana, tetapi tujuan. Tujuan manusia adalah kebahagiaan. Di sini muncul persoalan apa itu isi kebahagiaan manusia? Bisa saja orang mengartikan kebahagiaan itu dari mengejar keuntungan-keuntungan pribadi. Kebahagiaan juga dapat diartikan sebagai apa yang memberikan kesenangan terbesar padanya. Misalnya uang banyak atau harta berlimpah yang menguntungkan dirinya. Dalam semua kegiatan itu manusia memang bebas. Namun kebebasan vertikal tidak diartikan secara demikian. Kebebasan vertikal mempunyai pertimbanganpertimbangan yang lebih tinggi dari sekedar kepuasan egoisme, seksual, finansial, sosial, politik dan sebagainya. Kebebasan vertikal merupakan kebebasan yang terarah kepada kebahagiaan yang sejati. Dalam pemikiran Louis Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan. Jadi kebebasan vertikal adalah kebebasan yang tertuju pada Tuhan. Dasar pemikiran ini adalah karena hakekat manusia yang Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi. 132

terbuka baik secara horisontal maupun secara vertikal. Sebagai makhluk yang mempunyai keterbukaan vertikal secara moral manusia juga harus mengarahkan kebebasannya secara vertikal.

VI. Kebebasan di Hadapan Determinisme-determinisme

Determinisme Universal Determinisme naturalis berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Dasar pendapat itu adalah realitas bahwa manusia hidup di dalam dunia yang dikuasai oleh hukum-hukum alam semesta. Hukum-hukum itu merupakan rangkaian hukum sebab akibat. Hukum sebab akibat berarti bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini terjadi secara kausal. Atau, dapat juga dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini harus mempunyai sebab. Konsekuensinya adalah segala sesuatu itu tidak ada seandainya tidak ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Manusia merupakan bagian dari dunia. Karena itu manusia juga tidak bisa menghindarkan dirinya dari hukum sebab akibat itu. Dalam arti inilah determinisme naturalis mengartikan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Jadi gagasan dasar yang diterapkan oleh aliran determinisme naturalis untuk menyangkal kebebasan manusia bukanlah apakah sebab-sebab fisik atau hukum sebab akibat itu ada atau tidak. Dalam pandangan para determinis naturalis persoalan-persoalan itu justru tidak mendapat tempat yang cukup berarti. Mengapa? Karena dalam pandangan mereka sudah diandaikan bahwa hukum sebab akibat itu sudah ada. Yang lebih ekstim lagi hukum sebab akibat itu telah menguasai manusia sehingga manusia sama sekali tidak bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia, karena hukum sebab akibat itu, tidak lagi mempunyai kemampuan otodeterminasi. Bukti bahwa di dunia ini ada hukum sebab akibat adalah adanya peristiwa-peristiwa. Aliran determinisme naturalis yang mendahuluinya. Titik pangkal pendapat aliran determinisme untuk menyangkal kebebasan manusia adalah realitas bahwa manusia tidak bisa luput dari hukum sebab akibat itu. Postulat dasar yang mereka kedepankan adalah jika manusia memang bebas, dalam arti otodeterminasi atau menentukan dirinya sendiri, maka ia luput dari determinasi dunia fisik. Padahal manusia tidak bisa lepas dari determinasi dunia fisik itu, maka manusia tidak bebas. Jadi dalam pandangan determinisme naturalis
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

berpendapat demikian karena

menurut mereka tidak ada sesuatupun di dunia ini yang terjadi tanpa sebab-sebab

133

manusia akan dikatakan bebas jika ia, di tengah dunia yang dikuasai oleh hukum sebab akibat ini, dapat melepaskan diri dari hukum sebab akibat itu. Artinya manusia itu bebas, jika ia mempunyai kemampuan otodeterminasi di tengah-tengah hukum sebab akibat yang mengitarinya. Atau dapat juga dikatakan bahwa manusia dikatakan bebas jika ia mampu menguasai hukum-hukum alam semesta ini. Manusia itu bebas jika ia tidak terseret oleh hukum alam semesta ini. Bagaimanakah sikap Louis Leahy terhadap pemikiran determinisme ini? Kebebasan Terjadi Pada Tingkat Alasan-alasan dan Bukan Pada Tingkat Sebab Akibat Louis Leahy menolak kebenaran pandangan determinisme universal. Alasannya adalah karena determinisme universal menempatkan masalah kebebasan manusia secara salah. Di mana letak kesalahan itu? Aliran determinisme universal mengartikan kebebasan manusia sebagai yang menuntut pelanggaran terhadap hukum-hukum alam semesta. Padahal kebebasan manusia pada dasarnya tidak terletak dalam dimensi sebab-sebab fisik, melainkan terletak dalam tingkat motifmotif tindakan manusia. Dan hal itu terjadi tanpa harus melanggar prinsip kausalitas universal. Dengan berpendapatnya itu Leahy hendak mengatakan bahwa dia tetap mengakui adanya sebab-sebab fisik yang mengitari tindakan-tindakan manusia. Atau dengan kata lain dia tetap mengakui adanya hukum sebab akibat. Jadi yang ditolak oleh Louis Leahy bukanlah adanya hukum sebab akibat itu sendiri, melainkan Louis Leahy menolak pendapat bahwa adanya hukum sebab akibat itu merupakan bukti bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Manusia Mempunyai Kemampuan Mengorganisir Hukum Sebab Akibat Titik tolak argumen penyangkalan Louis Leahy terhadap determinisme universal di atas adalah pengalaman bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengorganisir dan menguasai sebab-sebab. Karena kemampuan itulah, maka sebab-sebab itu juga akan menghasilkan akibat-akibat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh manusia. Organisasi sebab-sebab itu sendiri juga sangat tergantung pada tujuan-tujuan yang ingin kita capai dan sarana-sarana yang akan kita gunakan. Contohnya kita menyodok sebuah bola bilyar, dan bola itu menyentuh bola yang lain, yang seterusnya menyentuh bola-bola yang lain lagi. Di sini kita dapat menerima bahwa sentuhan-sentuhan bola bilyar yang kita sodok itu merupakan peragaan hukum sebab akibat. Dalam hal ini berarti hukum sebab akibat itu menguasai bola-bola bilyar yang kita sodok. Akan tetapi, secara bebas, kitalah
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

134

yang mengorientasikan atau mengatur bola-bola bilyar itu ke arah hasil semacam ini atau itu. Dengan kalimat lain, kitalah yang menentukan terjadinya hukum sebab itu menurut motif-motif atau alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang ingin kita capai. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam lingkup hukum sebab akibat, manusia tetap mempunyai kebebasan. Determinisme Biologis Menurut determinisme biologis hidup manusia telah diprogram sebelumnya oleh faktor-faktor hereditas. Karena itu pada dasarnya manusia tidak memiliki kebebasan. Dasar pemahaman ini adalah pengalaman bahwa secara psikologis manusia tergantung secara mutlak pada keadaan biologis organismenya. Determinisme Biologis Hanya Merupakan Hipotesa yang Tidak Diverifikasikan Kebenarannya Louis Leahy mengakui argumen yang mengatakan bahwa aktivitas roh dan kehendak manusia tergantung pada organisme. Akan tetapi Leahy menolak bahwa sifat tergantung itu merupakan sesuatu yang absolut. Mengapa? Karena dalam aktivitas kehidupannya, manusia ternyata mempunyai kemampuan untuk menahan diri, untuk menyesuaikan diri, untuk mengontrol proses-proses organik, dan lain sebagainya. Manusia adalah makhluk yang mempunyai peradaban dan kebudayaan. Berkat kedua unsur ini manusia telah mampu melepaskan diri dari seleksi alamiah. Atau lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa berkat kedua unsur tersebut manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi makhluk yang dapat berdiri sendiri. Karena itu Leahy berpendapat bahwa pada dasarnya determinisme biologis hanyalah merupakan suatu hipotesa yang belum terbukti kebenarannya, bahkan dapat dikatakan bahwa determinisme biologis bertentangan dengan pengalaman manusia sendiri. Sebagai makhluk yang berdiri sendiri atau sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan melepaskan diri dari seleksi alamiah, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Evolusi Mengandaikan Kesadaran Para ahli biologi dalam memandang hakekat manusia cenderung menitikberatkan pendapatnya pada segi jasmani manusia dan pada segi perkembangannya. Misalnya Darwin sebagai salah seorang tokoh dalam disiplin ilmu biologi ini menitikberatkan pendapatnya tentang manusia pada segi perkembangan manusia secara evolutif. Perkembangan secara evolutif itu menyangkut tidak hanya
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

135

bentuk dan kemampuan jasmani, melainkan juga menyangkut struktur dan ragam bagian dari jasmani manusia. Dengan pola pemikiran semacam itu akhirnya para ahli biologi memandang hakekat manusia sebagai mahkluk jasmani. Makhluk jasmani itu dalam pemikiran Darwin dimengerti hanya sebagai makhluk yang tunduk pada hukum alam semesta. Pemikiran ini didasarkan pada realitas bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta. Dan alam semesta merupakan lingkungan sebagai keseluruhan di mana manusia hidup. Alam semesta itu sendiri bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau bukanlah sesuatu yang sempurna. Alam semesta merupakan suatu realitas yang bersifat dinamis, suatu proses yang terus menjadi. Alam semesta ini merupakan produk dari rangkaian peristiwa dan pengalaman hidup manusia. Dalam hubungan dengan ini manusia dilihat sebagai manusia secara utuh jika ia menyatukan diri dengan lingkungannya. Di sini ada semacam keharusan bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Mengapa? Karena manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya pasti akan musnah. Sebaliknya manusia yang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan bertahan hidup. Karena itulah Darwin mengambil kesimpulan bahwa perilaku manusia pada dasarnya merupakan bentuk respon terhadap lingkungan yang mempunyai nilai survival. Dalam arti ini perilaku manusia bukanlah bentuk ungkapan kebebasan. Louis Leahy menolak pandangan tersebut. Louis Leahy memang mengakui ide evolusi dan adaptasi dari manusia. Hal itu tercermin dalam pandangannya tentang manusia. Manusia menurut Louis Leahy adalah makhluk yang menyempurnakan diri. Aktivitas menyempurnakan diri mengandaikan adanya perubahan atau evolusi. Dalam proses ini unsur yang ada dalam diri manusia, sekaligus sebagai unsur yang membedakannya dengan benda mati dan binatang adalah kesadaran. Manusia adalah makhluk yang sadar. Manusia mempunyai kemampuan untuk memikirkan masa lampau, masa depan, mengambil keputusan, dan merencanakan. Manusia adalah pendorong aktivitas evolusi itu sendiri. Manusia dengan demikian juga mempunyai kemampuan untuk menciptakan perilaku yang baru dalam perjalanan hidupnya. Karena itulah harus dikatakan bahwa evolusi bukanlah merupakan sesuatu yang terjadi dan berkembang secara kebetulan, melainkan evolusi merupakan sesuatu yang terjadi secara terarah berdasarkan kesadaran batin dan kebebasan manusia untuk menentukan dirinya. Jadi di dalam proses evolusi hakekat manusia terutama bukan dibentuk dan ditentukan oleh lingkungannya, melainkan oleh bagaimana manusia itu menciptakan dan menyempurnakan dirinya. Dalam hal ini lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses pembentukan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

136

pribadi manusia. Meskipun demikian manusia tetap merupakan subyek utama yang berperanan besar dalam menentukan hidupnya. Inilah wujud kebebasan manusia itu. Determinisme Sosiologis Determinisme sosiologis melihat manusia sebagai hasil hubungan-hubungan sosial. Menurut pandangan determinisme sosiologis manusia tidak memiliki kebebasan karena tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya selalu ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Atau, dapat juga dikatakan bahwa tindakan dan keputusan yang dibuat oleh manusia bukanlah sesuatu yang spontan atau yang lahir dari kebebasan menentukan dirinya sendiri, melainkan selalu sebagai hasil perhitungan dengan struktur sosial. Determinisme Sosiologis Tidak Absolut Terhadap pendapat ini Leahy mengatakan bahwa determinisme sosiologis bukanlah sesuatu yang absolut. Itu berarti bahwa dalam arti tertentu argumen determinisme sosiologis mengandung kebenaran. Namun dalam arti lain pendapat itu bukanlah sesuatu yang sama sekali benar. Dengan kata lain pendapat determinisme sosiologis juga mengandung kelemahan-kelemahan. Di mana letak kelemahan argumennya? Dan di mana letak kebenaran argumennya? Kelemahan argumen aliran determinisme sosiologis terutama terletak dalam sikapnya yang memutlakkan peran sosial dalam menentukan hidup manusia. Determinisme sosiologis hanya melihat realitas kehidupan bahwa masyarakat menciptakan manusia. Sebaliknya determinisme sosiologis belum melihat bahwa manusia juga menciptakan masyarakat. Dengan demikian manusia dalam konsep determinisme sosiologi belum dilihat sebagai suatu makhluk yang utuh dan mandiri. Manusia sebagai makhluk yang utuh dan mandiri menurut Louis leahy merupakan suatu interioritas. Dalam istilah Interioritas ini terkandung arti bahwa manusia masuk di dalam dirinya sendiri, hadir di dalam dirinya sendiri. Karena manusia adalah suatu interioritas, maka manusia adalah subyek. Karena manusia adalah subyek maka dia tidak akan hanyut begitu saja dalam arus gerak masyarakat di mana dia hidup. Manusia sebagai subyek dengan demikian merupakan makhluk yang mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya. Kebebasan manusia dalam konteks hidup sosial itu terlihat misalnya dalam keleluasaannya untuk menentukan tempat tinggalnya, bebas memilih teman hidupnya, dan lain sebagainya. Tidak Ada Pertentangan Antara Manusia Sebagai Pribadi dan Masyarakat
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

137

Sekali lagi menurut Louis Leahy hakekat manusia adalah sebagai makhluk yang menyempurnakan diri. Dalam hal ini juga harus dikatakan bahwa dinamika manusia itu adalah dinamika kearah penyempurnaan sesamanya. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia selalu hidup bersama dan membentuk kesatuan dengan sesamanya. Manusia tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan menyempurnakan diri bersama-sama dengan sesamanya. Karena itu dinamika penyempurnaan diri manusia tidak bisa tidak juga merupakan penyempurnaan sesamanya. Hal itu juga berarti bahwa manusia harus menyempurnakan masyarakat sekitarnya. Maka pada dasarnya sama sekali tidak ada pertentangan antara tujuan manusia sebagai pribadi dan tujuan masyarakat di mana dia hidup dan menyempurnakan masyarakat. dirinya. pula Menyempurnakan sebaliknya, diri berarti menyempurnakan masyarakat berarti Begitu menyempurnakan

menyempurnakan diri manusia sendiri. Di sinilah terkandung makna yang sangat jelas mengenai ide kebebasan manusia. Manusia yang menyempurnakan diri adalah manusia yang bebas. Hubungan timbal balik antara manusia sebagai pribadi dan masyarakat tersebut dalam arti tegas bukan berarti mencampurkan begitu saja antara pengertian manusia sebagai pribadi dan masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini diartikan sebagai suatu asosiasi individu-individu yang mempunyai tugas menyempurnakan dirinya. Sedangkan manusia dipandang sebagai persona yang terbuka terhadap masyarakatnya. Jadi manusia merupakan bagian dari masyarakat. Jika masyarakat itu dianalogikan dengan sebuah tubuh. Maka manusia sebagai pribadi merupakan bagian-bagian tubuh itu, seperti tangan, kaki, dan semacamnya. Dalam posisinya itu, kebebasan manusia sebagai pribadi terletak dalam keterbukaannya untuk senantiasa menyempurnakan dirinya dan menyempurnakan masyarakatnya. Determinisme Teologis Determinisme teologis berpendapat bahwa manusia tidak bebas karena telah dideterminasikan oleh Tuhan. Tesis aliran ini didasarkan pada dua sifat Tuhan, yaitu Tuhan sebagai yang Maha-tahu dan Tuhan sebagai yang Maha-kuasa. Sebagai yang Maha-tahu, Tuhan telah meramalkan segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup manusia. Dan sebagai yang Maha-kuasa Tuhan adalah satu-satunya tempat manusia menggantungkan dirinya. Determinisme Teologis Meletakkan Masalah secara Salah
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

138

Louis leahy mengatakan bahwa determinisme teologis menempatkan masalah secara salah. Mereka beranggapan seakan-akan Tuhan itu merupakan lawan bersaing dari manusia. Penempatan masalah yang secara salah dilakukan oleh determinisme teologis terlihat juga dalam pola pemikirannya yang menyamakan begitu saja antara apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Tuhan dengan apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh manusia. Determinisme teologis berusaha meletakkan kehendak Allah yang berada dalam taraf transenden itu dalam taraf manusiawi. Dengan kata lain aliran determinisme teologis mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat konteks hubungan antara Tuhan dan manusia ini melulu berdasarkan kaca mata manusia. Misalnya, aliran determinisme teologis mengatakan bahwa Tuhan telah meramalkan dan menentukan segala sesuatu yang akan terjadi dan yang akan dilakukan oleh manusia. Itu berarti Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak atas hidup manusia. Apa saja yang ada dalam otak manusia dapat diwujudkan oleh Tuhan. Selanjutnya kehendak Tuhanlah yang harus direalisasikan. Dan kehendak manusia harus tunduk pada kehendak Tuhan itu. Dengan demikian pada dasarnya tidak ada kebebasan sama sekali di dalam dunia manusia karena semua sudah diramalkan dan ditentukan oleh Tuhan. Manusia dalam pandangan aliran ini sama seperti sebuah wayang yang dijalankan oleh seorang dalang. Dengan berpikir dan mengatakan bahwa Tuhan meramalkan maka determinisme teologis secara jelas telah meletakkan Tuhan dalam konteks waktu. Padahal Tuhan tidak terikat waktu. Jadi pendapat itu sama dengan menyangkal keabadian Tuhan. Terhadap tesis determinisme teologis itu Louis Leahy mengatakan bahwa Tuhan itu tidak meramalkan, Dia melihat, Dia tidak berada dalam waktu. Tuhan itu bersifat transenden. Tuhan tetap memberi kebebasan pada manusia untuk menentukan sendiri pilihan hidupnya. Dengan demikian semua tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia merupakan sesuatu yang lahir dari kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan Manusia Tidak Berarti Ketidaktergantungan pada Tuhan Determinisme teologis juga mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan karena pada kenyataannya manusia tergantung pada Tuhan. Terhadap pendapat yang kedua ini Louis Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia sama sekali tidak berarti ketidaktergantungan pada Tuhan. Sebaliknya kebebasan manusia lebih merupakan kebebasan yang diterima dari Tuhan. Kebebasan manusia merupakan bentuk partisipasi dalam kebebasan Tuhan. Partisipasi itu mengandaikan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

139

sikap terbuka terhadap Allah. Dan dalam hal ini keterbukaan manusia terhadap Allah merupakan keputusan yang bebas. Jadi meskipun tergantung pada Allah, manusia tetap memiliki kebebasan. Mengapa? Karena keputusan untuk tergantung pada Tuhan itu pun dibuat oleh manusia dengan kebebasannya. Manusia adalah Makhluk yang Berdialog Dengan Allah Kebebasan manusia di hadapan Tuhan juga bisa direfleksikan dalam kerangka teologi biblis. Dalam konteks teologi biblis manusia dilihat sebagai makhluk yang berdialog dengan Allah. Manusia adalah makhluk rohani. Realitas ini dalam hubungannya dengan antropologi filsafat dilihat sebagai bentuk keterbukaan manusia pada Tuhan. Manusia dengan kebebasannya telah memutuskan untuk percaya kepada Tuhan. Bagi manusia Tuhan adalah realitas tertinggi yang sangat dicintai dan sungguh-sungguh nyata. Keterbukaan semacam ini tentu saja tidak lahir begitu saja. Artinya bahwa manusia tidak bisa menyandarkan diri pada Tuhan jika manusia tidak yakin akan Eksistensi Allah sendiri. Maka keterbukaan semacam ini lahir pertama-tama dari keyakinan manusia bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh ada. Selain dibutuhkan pengakuan dari manusia bahwa Tuhan itu ada, juga dalam relasi yang penuh keterbukaan itu diperlukan komunikasi ekstistensial antara Allah dan Manusia. Komunikasi eksistensial artinya adalah relasi yang berdasarkan logika hati atau hubungan personal antara Tuhan dan manusia. Dalam relasi antar Tuhan dan manusia itu seringkali dijumpai fakta yang seolaholah mengatakan bahwa manusia harus taat kepada Tuhan. Dalam arti tertentu pemikiran semacam itu dapat kita terima karena memang dalam kenyataannya manusia banyak menemukan kesulitan untuk sungguh-sunguh memilih kebenaran yang sejati. Kesulitan manusia untuk memutuskan memilih sesuatu yang adalah benar itu secara teologis dilihat sebagai akibat dosa manusia sendiri. Dosa itulah yang mengekang kebebasan manusia. Dan bukan Tuhan. Dengan melihat hal ini kita bisa menyimpulkan bahwa kebebasan manusia itu pertama-tama bukan ditentukan oleh Tuhan. Melainkan kebebasan manusia merupakan sesuatu yang ditentukan oleh manusia sendiri. Determinisme Ketidaksadaran Detereminisme ketidaksadaran memandang manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki kebebasan karena seluruh aktivitasnya pada dasarnya merupakan produk dorongan kecenderungan-kecenderungan instingtif yang tidak disadarinya.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

140

Sedangkan motif-motif yang sadar hanyalah merupakan suatu penipuan. Oleh karena itu motif-motif sadar itu sebenarnya hanyalah bentuk-bentuk semu dari kebebasan. Freud juga berpendapat bahwa kaidah hukum sebab akibat yang ada dalam alam semesta ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Apapun yang terjadi pada masa sekarang ini secara teoritis dapat dimengerti dengan kembali melihat peristiwaperistiwa yang terjadi pada masa lampau. Jika pada masa sekarang seseorang membunuh yang lain, maka menurut Freud kita harus melihat masa lalu untuk mencari sebab-sebab tindakan itu. Dengan cara itu Freud hendak menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masa sekarang pasti mempunyai sebabsebab. Dan sebab-sebab itu ada di masa lampau. Dalam konteks inilah Freud berpendapat bahwa tindakan manusia pada masa sekarang sebenarnya bukan merupakan realisasi perbuatan yang bebas, melainkan hanya merupakan produk dari masa lampau. Pribadi Manusia Mengandung Unsur yang Kompleks Di sini Leahy mengakui adanya kebenaran-kebenaran yang ditemukan oleh penyelidikan psikoanalisa dan psikologi pada umumnya. Mengapa? Karena Leahy menyadari bahwa manusia adalah makhluk hidup yang mengandung unsur-unsur sangat kompleks. Kebebasan manusia pun juga bukanlah sesuatu yang lengkap dan sempurna secara total. Meskipun demikian bukan berarti bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Mengatakan bahwa manusia tidak bebas sama sekali adalah tidak tepat. Namun menurut Leahy akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa kebebasan manusia itu bukanlah sesuatu yang total. Kebebasan manusia selalu mempunyai batas-batas. Dalam konteks ini tugas manusia adalah menaklukkan kepada dirinya sendiri segala sesuatu yang bersifat irasional-instingtif dan menguasainya dengan bebas serta menurut keteraturan-keteraturannya sendiri. Sedangkan berkaitan dengan pendapat Freud mengenai hukum sebab akibat yang menguasai seluruh umat manusia, Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia tidak terdiri dari penyangkalan terhadap hukum alam semesta itu. Sebaliknya, menurut Leahy, kebebasan manusia itu terdiri dari mengorientasikan mereka (alam) dengan mempergunakan kekuatan-kekuatan mereka sendiri. Psikoanalisis Mengandaikan Kebebasan manusia Selanjutnya harus dikatakan bahwa penyangkalan kebebasan oleh dan berdasarkan psikoanalisa sebenarnya tidak mempunyai dasar-dasar yang kokoh.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

141

Mengapa demikian? Karena pada dasarnya Freud sendiri mengakui dan bahkan menuntut adanya kebebasan dalam diri manusia. Hal itu terlihat secara jelas dalam metode-metode penyembuhan bagi pasien-pasien histeria, penafsiran mimpi, dan lain sebagainya. Dalam perjuangan ini kerjasama dan keinginan yang kuat untuk sembuh dari para pasien merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan (kesembuhan). Memang, dari pihak Freud sendiri tujuan utama usaha penyembuhan itu adalah membebaskan pasien dari kecenderungankecenderungan instingtif yang menguasainya. Dengan kata lain Freud ingin mengangkat unsur-unsur ketidaksadaran manusia ke dalam kesadaran. Dan menurut Freud tujuan itu akan berhasil jika si pasien memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan. Atau dapat juga dikatakan bahwa dalam usaha penyembuhan itu Freud sangat menekankan peran kesadaran, keinginan untuk hidup secara lebih baik, dan kebebasan dari para pasien. Dengan demikian kebebasan memainkan peranan yang sangat penting dalam psikoanalisa Freud. Dan karena itulah penyangkalan kebebasan manusia dalam hal ini sebenarnya tidak mempunyai dasar-dasar yang kokoh. Unsur Ketidaksadaran Sulit Dijadikan Dasar Pendorong Tindakan Manusia Determinisme ketidak-sadaran berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia merupakan hasil dorongan unsur ketidaksadaran dalam diri manusia. Tesis semacam ini sulit diterima pertama-tama karena masih belum jelas apa dan bagaimana ketidak-sadaran itu, justru karena unsur itu merupakan unsur yang tidak disadari. Dan oleh karenanya unsur ketidak-sadaran juga tidak memberi keterangan yang berarti bagi kehendak, kesadaran dan kebebasan manusia. Alasan kedua mengapa determinisme ketidaksadaran harus ditolak adalah karena pandangannya yang terlalu mekanistis. Manusia dimengerti seperti sebuah mesin. Padahal mesin dan bagian-bagiannya bertindak tidak demi suatu tujuan. Bagian-bagian dari sebuah mesin itu memang berada dalam keseluruhan, misalnya sebuah mobil. Namun mereka berjalan menurut hukumnya masing-masing. Dengan demikian sebuah mobil dari dalam dirinya sendiri tidak mempunyai tujuan. Melainkan tujuan adanya sebuah mobil itu ditentukan oleh manusia, yang merangkainya, atau yang mengemudikannya, dan lain sebagainya. Cara berpikir secara mekanistis seperti tersebut harus ditolak. Mengapa? Karena manusia berbeda dengan sebuah mesin yang harus diprogram oleh manusia sendiri. Manusia adalah makhluk yang secara bebas dapat menentukan tujuan-tujuan hidupnya sendiri.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

142

VII. Determinisme dan Ketidakkoherenannya Pemikiran yang dikedepankan oleh aliran determinisme tidak bisa diterima. Alasannya adalah karena pemikiran para determinis mengandung banyak ketidakkoherenan. Hal itu terjadi karena para penganut aliran determinisme tidak mempertahankan pendapatnya karena pendapat itu in se adalah benar, melainkan karena para determinis hanya mewarisi pola pemikiran tertentu. Artinya para determinis itu mengungkapkan buah pemikirannya bukan karena struktur alam semesta itu bersifat begini atau begitu secara objektif, melainkan karena struktur otak para determinis yang terbentuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan pandangan-pandangan yang sifatnya deterministis. Oleh karena pemikirannya itu, akal budi para determinis akan tertutup terhadap kebenaran-kebenaran yang lain dan terhadap argumen-argumen baru yang mungkin akan terpikirkan kemudian. Pendek kata para determinis tetap mempertahankan bahwa pendapat atau argumennya adalah yang paling benar. Lebih lagi mereka menginginkan pengakuan secara ilmiah bahwa gagasan-gagasannya juga bersifat rasional dan bersifat obyektif dan bukan hanya semacam propaganda-propaganda yang sama sekali tidak mengandung kebenaran. Di sinilah terlihat dengan jelas ketidak-koherenan pola pemikiran aliran determinisme. Aliran determinisme merasa bahwa pernyataanpernyataan yang mereka kedepankan adalah satu-satunya pernyataan yang benar. Artinya mereka merasa sangat yakin bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan. Sebaliknya mereka kurang menyadari bahwa pada saat membuat pernyataan itu mereka telah mengeluarkan suatu keputusan yang kontradiktif. Suatu keputusan yang menyangkal keputusan atau argumen mereka sendiri. Mengapa? Mereka yakin bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan. Namun mereka tidak sadar bahwa argumen itu sebenarnya merupakan bentuk kebebasan manusia untuk memutuskan dan memilih yang benar daripada yang salah. Di dalam konteks inilah terlihat secara jelas letak ketidak-koherenan pemikiran kaum determinisme. Di satu pihak mereka menyangkal kebebasan. Di pihak lain mereka tidak menyadari bahwa kebebasan itu ada dalam diri mereka sendiri.

VIII. Letak Persoalan Determinisme Dan Kebebasan Tema besar modul ini adalah kebebasan manusia dan determinisme. Itu berarti kita membicarakan dua hal yang bertolak belakang satu dengan yang lain. Dikatakan saling bertolak belakang karena gagasan kedua aliran itu, yaitu aliran yang berpihak pada kebebasan dan aliran yang berpihak pada determinisme saling bertentangan.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

143

Aliran yang berpihak pada paham kebebasan mengatakan bahwa manusia itu bebas. Sebaliknya aliran yang berpihak pada paham determinisme tetap bertahan pada posisi pendapatnya bahwa manusia tidak bebas. Berikut akan kita lihat rincian pendapat dari masing-masing aliran. Kebebasan Sebagai Unsur Esensial Pribadi Manusia Aliran kebebasan, yang dalam konteks ini diwakili oleh Louis Leahy, mengatakan bahwa kebebasan merupakan unsur esensial pribadi manusia. Kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya keakuan manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itulah pada dasarnya manusia tidak dapat tidak bekehendak. Secara mutlak obyek dari kehendak manusia adalah kebaikan atau ada sebagai baik. Itu sama artinya dengan pernyataan bahwa manusia secara mutlak ingin bahagia. Kebebasan merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Mengapa demikian? Karena manusia hanya mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika manusia itu bebas. Kata kebebasan itu sendiri pada umumnya diartikan sebagai ketiadaan paksaan. Kebebasan fisik berarti ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral berarti ketiadaan paksaan moral. Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan psikologis. Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan psikologis memberi keleluasaan pada subyek untuk memilih antara pelbagai tindakan yang mungkin. Ada beberapa argumen yang menunjukkan adanya kebebasan. Yang pertama adalah argumen persetujuan umum. Artinya bahwa sebagian besar manusia percaya bahwa mereka diperlengkapi dengan kehendak bebas. Dan dengan realitas itu orang kemudian menyimpulkan baha kehendak manusia itu adalah bebas. Orang bisa mengatakan bahwa dirinya adalah bebas dan bahwa orang lain juga bebas. Argumen kedua adalah argumen psikologis. Argumen ini mengatakan bahwa manusia bisa menyadari kebebasannya secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung artinya tepat pada saat kita sedang bertindak secara bebas, secara langsung kita menyadari kebebasan itu. Kebebasan ini terjadi ketika manusia memilih atau memutuskan untuk melakukan tindakan ini atau tindakan itu, atau ketika manusia memutuskan untuk tidak melakukan tindakan ini atau tindakan itu. Sedangkan kesadaran tak langsung terlihat ketika manusia berunding untuk suatu keputusan, ketika manusia mempertimbangkan pro dan kontra, ketika manusia menyesalkan keputusan-keputusan, ketika manusia memuji keberhasilan orang lain,
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

144

dan sebagainya. Dalam semua tindakan itu terkandung suatu arti bahwa manusia bisa berbuat lain. Dan berbuat lain itu adalah wujud suatu kebebasan. Di dalam semua tindakan itu aspek ketidak-langsungan kesadaran manusia terletak dalam sikap "mengakui" adanya kebebasan. Ketika manusia memuji dan mengagumi keberhasilan orang lain, secara tidak langsung dia mengakui adanya kebebasan. Mengapa? Karena keberhasilan mengandaikan adanya kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan. Dan penguasaan kesulitan itu merupakan bentuk kebebasan manusia. Jadi orang yang mengagumi keberhasilan orang lain secara tidak langsung juga mengakui ide kebebasan. Argumen ketiga adalah argumen etik. Argumen ini mengatakan bahwa seandainya tidak ada kebebasan, maka tidak akan ada tanggung jawab moral. Mengapa? Karena tanggung jawab moral selalu mengandaikan adanya kebebasan. Akhirnya, Louis Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia mempunyai dua aspek mendasar. Pertama-tama kebebasan manusia mempunyai aspek horisontal. Artinya kebebasan manusia secara mendasar merupakan kebebasan yang tidak semata-mata terarah pada kepentingan-kenpentingan manusia secara pribadi, melainkan terutama terarah pada tuntutan-tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati kepada sesama manusia. Dengan pemikiran seperti ini Louis Leahy hendak menyampaikan gagasan bahwa manusia yang bebas tidak hanya dituntut untuk mempertanggung-jawabkan kebebasannya kepada dirinya sendiri, melainkan juga kepada sesamanya. Aspek kedua dari kebebasan manusia adalah aspek vertikal. Kebebasan vertikal merupakan kebebasan yang terarah kepada kebahagiaan sejati. Dalam pemikiran Louis Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan. Jadi kebebasan vertikal adalah kebebasan yang tertuju pada Tuhan. Absurditas Kebebasan Sepanjang sejarah perkembangan pemikiran ada pemikir yang berpendapat bahwa manusia tidak bebas. Mereka itu adalah para penganut aliran determinisme. Menurut para pemikir ini manusia hanya mengira bahwa dirinya bebas, padahal sebenarnya tidak demikian. Mereka yakin bahwa manusia tidak bisa luput dai postulat determinime universal. Dengan demikian kebebasan manusia merupakan suatu yang absurd. Postulat dasar dari determinisme adalah Kalau manusia bebas, dalam arti menentukan dirinya sendiri atau otodeterminasi, maka ia akan luput dari determinisme dunia fisik. Padahal manusia tidak luput dari determinisme dunia fisik,
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

menjadi

sesuatu yang harus dipertanyakan. Kebebasan dalam pandangan determinisme

145

maka manusia tidak bebas. Logika semacam ini muncul dari para determinis berdasarkan dua alasan yang bersifat empiris. Dikatakan bersifat empiris karena pertama-tama mereka bertolak dari fakta-fakta yang dapat ditangkap oleh panca indra. Lebih dari itu, aliran determinisme juga mengejar suatu inteligibilitas yang dapat dikontrol dan dapat diverifikasikan oleh pengalaman-pengalaman. Menurut aliran determinisme gejala-gejala tertentu dapat dikatakan benar jika bisa dibuktikan dalam kaitannya dengan gejala-gejala lainya. Hal itu sama artinya dengan mengatakan bahwa antara fenomen yang satu dengan fenomen yang lain harus ada hubungan antecedens dan consequens. Hubungan itu dapat diungkapkan dengan proposisi hipotetis ini: Jika ada fenomen X, maka pasti ada pula fenomen Y. Fenomen X adalah antecedens, sedangkan fenomen Y adalah consequens. Dalam kaca mata aliran determinisme gejala Y dikaitkan sedemikian rupa dengan fenomen Y sehingga fenomen X dianggap sebagai penyebab fenomen Y. Dan justru karena postulatnya itu kaum determinisme melihat bahwa kebebasan manusia itu merupakan sesuatu yang absurd. Menurut mereka, sama seperti segala sesuatu yang ada di dunia ini, maka manusia pun tidak bisa melepaskan diri dari determinisme-determinisme yang melingkupi dan menguasainya. Aliran determinisme sebenarnya mengakui adanya keputusan dan perbuatan yang muncul dari keinginan dan kehendak dalam diri manusia. Namun mereka tetap menyangkal bahwa keputusan dan perbuatan macam itu merupakan sesuatu yang keluar dari kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Di sini mereka mengatakan bahwa dalam melihat keputusan dan perbuatan manusia, kita tidak boleh hanya berhenti pada keinginan dan kehendak yang muncul dalam diri manusia. Melainkan kita harus berusaha menggali sebab-sebab terdalam dari keputusan dan perbuatan tersebut. Misalnya kita harus bertanya: Dari mana munculnya keinginan dan kehendak itu? Dengan kata lain dari mana asal-usulnya keinginan dan kehendak itu? Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu akhirnya kita akan menemukan jawaban bahwa semua tindakan dan keputusan yang kita lakukan pertama-tama merupakan produk perlengkapan psiko-fisik yang merupakan warisan dari pendahulu manusia. Dan yang kedua adalah merupakan pengaruh lingkungan sosial di mana manusia itu hidup. Jadi jelaslah bahwa menurut kaum determinisme manusia benar-benar dikuasai oleh sesuatu yang di luar dirinya. Karena itulah dalam pandangan kaum determinisme manusia sungguh-sungguh tidak memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya.
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

146

Komplementaritas Determinisme dan Kebebasan Kebebasan merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian kebebasan manusia bukanlah sesuatu yang absolut. Kebebasan mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai sesuatu yang relatif atau bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh. Namun situasi dan kondisi manusia semacam itu pada dasarnya bukan hanya merupakan faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga serentak merupakan faktor yang memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena di luar situasi yang sifatnya terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak. Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasi-situasi batas. Sebagai eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya sendiri di dunia ini. Oleh karena itu dalam aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain situasisituasi batas dan kebebasan merupakan dua hal yang saling mengandaikan. Dunia fisik dan kebebasan manusia merupakan dua sisi dari manusia yang tak terpisah dari pribadi manusia sendiri. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mempunyai karakter yang bersifat rohani dan bebas. Namun sebagai mahkluk jasmani, manusia termasuk bagian dari dunia dengan segala hukum-hukumnya. Dan kerena dua sifat manusia inilah, maka kebebasan dan determinisme tidak saling meniadakan. Ketidakmutlakan Determinisme dan Kebebasan Manusia berbeda dengan binatang dan benda-benda yang lain. Manusia adalah makhluk yang berbudi. Karena itulah manusia dikatakan sebagai makhluk yang berkehendak bebas. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Namun demikian harus diakui bahwa kebebasan manusia bukanlah sesuatu yang absolut. Melainkan, kebebasan manusia merupakan kebebasan yang bersituasi. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk yang hidup di dalam dunia yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Dalam konteks ini berarti harus dikatakan bahwa di samping diri manusia sendiri, juga ada faktor-faktor di luar dirinya yang ikut menentukan hidupnya. Namun faktor-faktor dari luar diri manusia ini pun pada dasarnya juga bukan merupakan sesuatu yang secara absolut mempengaruhi dan menentukan keputusan dan tindakan bebas manusia. Karena manusia ternyata mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan bebasnya, walaupun dia hidup ditengah-tengah dunia yang bersifat deterministis. Berdasarkan
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

147

realitas semacam itu maka disimpulkan bahwa antara determinisme dan kebebasan manusia merupakan dua hal yang sama-sama terbatas.

IX. Ikhtisar Manusia berbeda dengan binatang dan tumbuhan serta benda-benda mati lainnya. Manusia merupakan bagian dari alam semesta, namun ia terpisah dari alam semesta. Artinya walaupun dalam kenyataannya manusia hidup di dalam alam semesta ini, namun manusia mempunyai kemampuan untuk tidak begitu saja ikut arus gerak alam semesta ini. Manusia mempunyai kemampuan untuk menyatukan, sekaligus melepaskan diri dari semua pengaruh lingkungan alam sekitarnya. Manusia adalah makhluk yang selalu mempunyai keinginan-keinginan. Namun dengan kebebasannya manusia mampu mengekang keinginan-keinginan yang muncul dalam dirinya untuk suatu tujuan yang lebih tinggi. Demikian juga manusia mempunyai keinginan untuk hidup bahagia dan sejahtera selama hidup di dunia. Namun semua itu dapat saja dikorbankan, Allah di surga. Manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia sadar bahwa hidupnya tergantung pada kondisi-kondisi tertentu dari alam semesta. Manusia tidak bisa melawan dan menolak gejala-gejala alamiah, seperti terbit dan tenggelamnya matahari, bulan dan bintang-bintang. Meskipun demikian, tanpa harus melanggar hukum-hukum alam itu, bahkan dengan mematuhi hukum-hukum itu, manusia dengan kebebasannya mampu mengubah dunia. Manusia adalah makhluk yang bertubuh. Dalam konteks ini kebebasan manusia memang harus dipahami sebagai sesuatu yang terbatas. Kebebasan merupakan sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Namun hal tidak berarti bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bebas. Manusia tetap merupakan makhluk yang mempunyai kebebasan. Kontingensi dan keterbatasan dunia manusia ini menuntut adanya seorang Allah pencipta untuk menerangkan segala sesuatu yang tidak dapat diterangkan oleh keberadaan manusia. Dan atas nama akal budilah manusia menerima adanya sebuah eksistensi Allah Pencipta. Dia adalah yang Tak-Terbatas dan yang mengatasi segala kemampuan budi manusia. Dia tidak bisa ditangkap secara langsung oleh akal budi manusia, melainkan Dia hanya bisa ditangkap melalui suatu analogi. Dengan kata lain pada taraf konsep kita tidak pernah dapat memahami
Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

tentu saja dengan

landasan

kebebasannya, untuk mencapai kebahagiaan sejati, yaitu persatuan abadi dengan

148

bagaimana yang terbatas (manusia) dapat ber-koeksistensi dengan Yang-TakTerbatas. Bagaimana suatu kebebasan dapat tetap nyata meskipun Allah mahakuasa dan meskipun tindakan-Nya meresapi segala-galanya. Namun, menurut Louis leahy, melalui analogi manusia akan melihat bahwa Yang-Tak-terbatas itu bukannya meniadakan keaslian dari yang terbatas. Jadi Keberadaan Allah itu bukannya meniadakan kebebasan manusia. Melainkan keberadaan Allah itu merupakan sumber yang wajib dari kebebasan manusia. Leahy juga berusaha memberikan alasan-alasan yang mendasar tentang kebebasan berdasarkan pengalaman hidup manusia sendiri. Secara garis besar Louis Leahy menyodorkan tiga alasan, yaitu argumen persetujuan umum, argumen psikologis dan argumen etis.

Manusia dalam Wacana Filosofis Juneman, S.Psi.

149

Eksistensialism e

Modul VIII
Sub Materi:
Apakah Eksistensialisme Itu? Karl Jaspers Jean-Paul Sartre Sren Aabye Kierkegaard Nicholas Alexandrovitch Berdyaev Friedrich Wilhelm Nietzsche Pengaruh Fenomenologi dan Eksistensialisme Terhadap Perkembangan Psikoanalisis Eksistensial dan Daseinsanalyse

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

EKSISTENSIALISME

I. Apakah Eksistensialisme Itu? Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara-berada-di-dunia. Cara berada manusia di dunia berbeda dengan cara berada makhluk-makhluk lain. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya, tapi manusia sadar bahwa dia berada di dunia. Manusia sadar bahwa ia bereksistensi. Itulah sebabnya, segalanya mempunyai arti sejauh berkaitan dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberi arti kepada segalanya. Manusia menentukan perbuatannya sendiri. la memahami diri sebagai pribadi yang bereksistensi. Jadi, eksistensialisme berpandangan bahwa pada manusia eksistensi mendahului esensi (hakekat), sebaliknya pada benda-benda lain esensi mendahului eksistensi. Manusia berada lalu menentukan diri sendiri menurut proyeksinya sendiri. Hidupnya tidak ditentukan lebih dulu. Sebaliknya, benda-benda lain bertindak menurut esensi atau kodrat yang memang tak dapat dielakkan. Patut dicatat bahwa sebetulnya di antara para filsuf eksistensialis terdapat perbedaan. Sebagian mereka bahkan tidak mau dikelompokkan sebagai filsuf eksistensialis. Akan tetapi mereka semua mempunyai kesamaan pandangan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini mereka berpendapat bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi (Fuad Hassan, 1985: 7-8). Sebagian filsuf eksistensialis adalah ateis, seperti Jean-Paul Sartre, tetapi ada yang tetap mengakui Allah, seperti Gabriel Marcel. Jean-Paul Sartre adalah satu-satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada titik yang sangat ekstrim.

II. Karl Jaspers Karl Jaspers sering digolongkan dalam kelompok filsuf eksistensialis seperti Heidegger, Gabriel Marcel, Camus dan Sartre. Tetapi, Jaspers sendiri tidak senang dengan istilah eksistensialisme. Ia lebih suka menyebut filsafat yang digelutinya sebagai filsafat eksistensi. Eksistensialisme tidak merenungkan esensi atau hakekat abadi manusia, karena hakikat itu justru dianggap sebagai sesuatu yang belum ada. Bagi Jasper, esensi manusia ditentukan dalam eksistensi manusia. Orang yang berfilsafat harus mulai dengan elaborasi ilmu-ilmu. Jika ilmu

pengetahuan telah mencapai batas-batasnya dan jatuh pada ketidakberdayaan, saat itulah filsafat eksistensi menjalankan tugasnya: menyelidiki dasar-dasar keputusan manusia dan keyakinan yang menjadi dasar hidupnya. Karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Jaspers lantas mengajak manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Filsafatnya bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Karl Jaspers lahir di kota Oldenburg, Jerman Utara, pada 1883. Ayahnya seorang ahli hukum dan direktur bank. Sejak sekolah menengah ia sudah tertarik pada filsafat, tetapi baru pada usia 38 tahun ia dapat sepenuhnya memenuhi panggilan filosofisnya. Selama tiga semester ia belajar hukum di Universitas Heidelberg dan Mnchen, tetapi ia mengubah haluan dengan memilih studi kedokteran yang dijalankan di Berlin, Gottingen dan Heidelberg. Di Universitas Heidelberg ia mengambil spesialiasi psikiatri. Tetapi ia tetap tertarik dengan filsafat, antara lain melalui Max Weber, ahli ekonomi, sejarawan dan sosiolog terkenal yang dikaguminya. Ia menulis buku Allgemeine Psychopathologie (Psikopatologi Umum) pada 1910. Di buku ini ia tidak melukiskan penyakit-penyakit, tetapi menyoroti manusia yang sakit. Ia menggunakan metode deskripsi fenomenologis Husserl. Pada 1916 ia menjadi profesor psikologi di Heidelberg. Lalu pada 1919 ia menulis buku Psychologie der Weltanschauungen (psikologi tentang pandanganpandangan dunia). Di buku ini ia melukiskan pelbagai sikap yang diambil manusia terhadap kehidupan. Dua buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya sebagai psikiater, dan menunjukkan betapa kentalnya ketertarikan Karl Jaspers pada filsafat. Karl Jaspers mencurahkan seluruh perhatiannya pada filsafat mulai tahun 1921, setelah ia menerima profesorat filsafat di Heidelberg. Ada yang tak setuju dengan pemberian gelar ini, sebab ia dianggap bukan filsuf profesional. Namun, setelah menerima gelar penghargaan itu, ia menulis banyak sekali karya, antara lain karya besar yang terdiri dari tiga jilid, Philosophie (1932). Jilid I berjudul Weltorientierung (Orientasi dalam dunia). Jilid II: Existenzerhellung (Penerangan eksistensi) dan Jilid III: Metaphysik (Metafisika). Pada 1948 ia pindah ke Swiss dan menjadi profesor di Universitas Basel sampai 1961. Ia mendapat kewarganegaraan Swiss pada 1967 dan tetap tinggal di sana. Karl Jaspers meninggal di Basel pada 1969. Melalui karya-karyanya Jaspers memberi sumbangan besar pada khazanah filsafat. Tidak mengherankan kalau kini masih ada kelompok-kelompok pengagum

Karl Jaspers di Austria, Jepang, Jerman, Swiss dan Amerika Utara yang terus mengelaborasi karya-karyanya. Di Swiss misalnya didirikan Karl-Jaspers-Stiftung yang berperan memberi beasiswa. Filsafat Jaspers dikenal sebagai filsafat eksistensi, nama yang dipakai Jaspers sendiri sebagai judul salah satu bukunya: Existenzphilosophie (1938). Banyak orang menilai buku ini merupakan perkembangan dari gagasan Karl Jaspers yang sudah dituangkan dalam buku Philosophie. Bagian paling sentral dari buku Philosophie ini adalah Jilid II, yakni Penerangan Eksistensi. Katanya, dengan menerangi eksistensi, kita mencapai inti aku. Dengan menerangi eksistensi, si penanya dapat masuk pada dirinya sendiri. Cara pengenalan yang lain hanya membuat subyek menjadi obyek belaka dan karena itu tidak pernah mencapai aku yang sebenarnya. Pokokpokok penerangan eksistensi adalah sebagai berikut: 1. Eksistensi Jiwa dan Allah dalam bahasa filsafat disebut eksistensi dan transendensi. Eksistensi adalah kebebasan yang diisi dan termuat dalam waktu tetapi sekaligus mengisi waktu, karena keputusan-keputusan bebas eksistensi menentukan sesuatu untuk selama-lamanya. Sedangkan adanya manusia termasuk dunia empiris disebut Dasein (being there). Dasein mencapai puncaknya di dunia ini sedangkan eksistensi tidak. Eksistensi hanya dapat diterangkan melalui tanda-tanda (signa) seperti tobat, pilihan, komunikasi dan kebebasan. Manusia mengalami eksistensi sebagai sesuatu yang diberikan kepadanya (hadiah dari transendensi). Eksistensi membutuhkan komunikasi. Penerangan eksistensi mulai dengan komunikasi dengan eksistensi lain karena manusia tidak puas hanya mengandalkan Dasein saja. Bagi Jasper, keinginan ini merupakan alasan terpenting untuk menjadi seorang filsuf. Ide baru dapat disebut relevan dari segi filsafat sejauh ide tersebut memajukan komunikasi. Dasar komunikasi itu akhirnya cinta. 2. Saat Keputusan Kebebasan tidak dibutuhkan seandainya manusia mempunyai pengetahuan sempurna akan segala sesuatu dan tahu konsekuensi atas tindakan serta pilihannya. Peranan kehendak bebas mulai dimana pengetahuan tidak lagi ada/manusia memutuskan karena tidak tahu. Melalui keputusan ini eksistentis, berkembang. dan dalam ketidaktahuan ini eksistensi justru mengalami hubungan dengan transendensi. 3. Situasi-situasi Batas

Sebagai Dasein, manusia selalu dalam situasi-situasi tertentu yaitu situasi-situasi batas. Situasi batas yang paling umum adalah faktisitas dan nasib. Di samping itu ada situasi-situasi batas khusus, yaitu kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan. Semua situasi batas itu mendua karena kepada eksistensi diberikan kemungkinan berkembang atau mundur, tergantung dari keputusan manusia sendiri. Bereksistensi atau berdiri di hadapan transendensi mencapai puncaknya dalam keputusan-keputusan yang diambil dalam situasi-situasi batas. a. Faktisitas Kebebasan manusia tidak dimulai dari nol karena banyak hal sudah ditentukan oleh historisitas, latarbelakang sosial, jenis kelamin, dan banyak hal yang merupakan fakta, lepas dari pilihan manusia sendiri. Namun, dalam hal ini kehendak masih mempunyai peranan apakah faktisitas ini diterima atau ditolak. b. Nasib Situasi batas yang paling umum, yaitu faktisitas histories. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. Untung atau malang dialami manusia sebagai kehendak di luar dirinya, ini yang disebut nasib. Sikap menerima dan mencintai dari pada mencoba untuk menolak akan memberi kesempatan untuk berkembang. c. Kematian Kematian baru dapat menjadi situasi batas apabila kita kehilangan orang yang kita cintai atau kematian kita sendiri yang tak dapat dihindari. Penderitaan karena keterpisahan, komunikasi terhenti membuka retak dalam Desain yang berakibat manusia berdiri dihadapan transendensi dan sebagai eksistensi , ia dapat berkembang. Di hadapan kematiannya manusia menyadari bahwa ia unik dan kematiannya berbeda dengan orang lain. Kesadaran terhadap keunikan ini dapat membangun eksistensi. Mencintai hidup dan menilai hidup fana, takut akan kematian dan menyadari hakekat diri dihadapan kematian, tidak memahami sekaligus percaya kematian bukan sebuah kontradiksi. Kematian teman sekaligus musuh manusia. d. Penderitaan Semua bentuk penderitaan merusak Dasein sedikit demi sedikit. Tetapi penderitaan mendua karena dapat menjadi kesempatan eksistensi berkembang asal berani menerimanya. Dalam penderitaan manusia lebih mudah menjadi dirinya

sendiri dari pada dalam keberuntungan. Manusia yang selalu beruntung cenderung menjadi dangkal. e. Kesalahan Tindakan manusia mempunyai akibat-akibat entah disadari maupun tidak. Manusia dapat berkembang melalui pengalaman situasi batas yang berupa kesalahan kalau ia mau menerima akibat-akibat tindakannya juga akibat0akibat yang tidak dikehendaki. Manusia harus mau menerima tanggung jawabnya. Orang yang melarikan diri atau mengatakan bahwa tidak ada kemungkinan lain mungkin hidup dengan tenang, tapi kehilangan kesempatan untuk mengembangkan eksistensi. 4. Kekurangan-kekurangan Dunia Di dunia keutuhan kesempurnaan tidak dapat dicapai. Segala sesuatu yang termasuk Dasein penuh pertentangan, cacat, dan kekurangan dan karena itu ketentraman tidak pernah tercapai. Ketidaksempurnaan Dasein menimbulkan pertanyaan mengapa Dasein ada. Mengapa di dunia ini tidak hanya berisi hal yang baik atau sempurna saja? Pertanyaan ini menimbulkan situasi batas yang baru yang mencakup yang lain. Situasi batas ini timbul kalau eksistensi dan transendensi terikat pada historisitas Dasein. Manusia hanya dapat mengalami eksistensi dan transendensi melalui gejala-gejala dalam dunia Dasein. Tanpa itu yang ada kekosongan. 5. Kegagalan Kegagalan merupakan tempat pertemuan dengan transendensi. Dalam kegagalan manusia terdampar dalam pantai transendensi. Kegagalan dan keterbatasan memperlihatkan ada sesuatu yang tak terbatas. Pemikiran ini memperlihatkan bahwa filsafat pada hakekatnya bersifat religius. Periechontologi Karl Jaspers adalah seorang filsuf yang haus kebenaran (Jaspers: 1956, hal.3 dst.; bdk. Jaspers: 1991, hal. 453 dst.; 1949, hal. 57). Dia terus-menerus mencari kebenaran di tengah situasi jaman perang dan Nazi yang kejam, situasi kebohongan dan kejahatan politik. Secara intensif dia berkutat dengan penyelidikan ilmiah yang disebutnya Philosophische Logik logika filosofis (Jasper: 1991, hal. 3 dst.). Logika filosofis menyelidiki batas-batas, asal dan makna kebenaran. Obyek penyelidikan bukanlah ada, melainkan pertanyaan bagaimana manusia bisa dan harus berpikir mengenai ada (Jaspers: 1991: hal. 37).

Pertama-tama filsafat tidak mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu ada atau siapakah saya atau apa yang sesungguhnya saya inginkan, tetapi harus disadari dulu bahwa manusia berada dalam situasi yang tidak pasti. Dengannya, manusia terbuka bagi berbagai kemungkinan. Manusia yang sadar dalam situasi demikian ditantang untuk terus-menerus mencari ada sampai memperoleh kepastian tentang dirinya. Hasil penyelidikan Jasper tentang kebenaran dipublikasikan dalam bentuk buku pada tahun 1947 dengan judul Von der Wahrheit (mengenai kebenaran). Buku Von der Wahrheit bisa dikatakan sebagai tonggak bagi kebenaran. Dalam buku itu dengan gamblang Jaspers menjelaskan dimensi-dimensi kenyataan Yang Melingkupi manusia. Yang Melingkupi menurut Jaspers adalah das Umgreifende. Das Umgreifende atau Yang Melingkupi mengatasi polarisasi antara ada-obyek dan ada-subyek. Ada-obyek adalah ada yang hadir di depanku: semua hal yang kupikirkan, kukenal atau sesuatu yang diintensionalisasi, termasuk diriku yang kuobyekkan. Ada-subyek dapat menyatakan: akulah, karena ia adalah pengada. Manusia berbeda dengan pengada lainnya. Ia tidak dapat diobyekkan. Ia tidak dapat dikenal seperti kita mengenal apa yang kita jadikan obyek pengenalan. Ada-subyek dalam bahasa Jaspers adalah eksistensi. Karakter khas das Umgreifende adalah kegelapannya bagi kesadaran manusia, karena tidak dapat diobyekkan. Das Umgreifende hanya mengemukakan dirinya, tidak pernah dapat ditangkap sebagai obyek. Meskipun manusia hendak menangkapnya, dia tidak akan mampu mendapatkannya, karena akan terusmenerus mundur sampai ke batas cakrawala. Padahal, segala hal yang dapat kita kenal hanya mampu dikenali dalam batas cakrawala atau pemandangan kita. Dengan demikian, pengetahuan manusia sebenarnya dilingkupi suatu cakrawala atau horison. Horison yang melingkupi pengetahuan manusia ini belum menjadi das Umgreifende itu sendiri, melainkan hanya ruang di mana das Umgreifende mulai nyata (Jaspers: 1949: hal. 35). Orientasi dalam ruang tersebut tidak bersifat ontologis. Itu artinya ontologi tidak mungkin, karena yang mungkin hanyalah periechontologi: pengetahuan mengenai das Umgreifende (Yang Melingkupi). Dengan kalimat lain, periechontologi adalah ajaran mengenai transendensi Yang Melingkupi manusia (Yunani: periechein berarti melingkupi atau mengelilingi). Meskipun das Umgreifende tidak dapat dijadikan obyek, ia adalah pokok dari apa yang kita pikirkan tatkala hendak berfilsafat, karena das Umgreifende atau Yang Melingkupi menorehkan dimensi-dimensi pengetahuan manusia. Das Umgreifende merupakan horison pemikiran. Horison itu selalu hadir, tetapi selalu

tak tercapai. Das Umgreifende merupakan batas terakhir yang tidak dapat dilewati. Das Umgreifende tidak dapat dikenal, karena yang mungkin hanyalah penyelidikan dimensi-dimensinya.

Dimensi-Dimensi Das Umgreifende Karl Jaspers memaparkan das Umgreifende (Yang Melingkupi) manusia dalam tujuh dimensi, yaitu Dasein, Bewusstsein berhaupt, Geist, Existenz, Welt, Transzendenz dan Vernunft (Jaspers, K., 1991: hal. 48 dan 50; lih. Jasper K.,1956: hal. 15): Das Umgreifende, das wir sind Das Umgreifende, Dasein das das Sein selbst ist. Welt (dunia)

Bewusstsein berhaupt Das Immanentzendent e (transenden) Geist (roh) Das Transzendente (transenden) Existenz (Eksistensi) Transzendenz (Transendensi) (Kesadaran Umum)

Dasein Dasein adalah das Umgreifende. Manusia yang terus menyadari keberadaannya pada akhirnya akan sampai pada kesadaran bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai awal dan akhir (Jaspers: 1991, hal. 53). Manusia termuat dalam Dasein. Kata Dasein dalam Bahasa Jerman dimaknai sebagai ada yang nyata dalam ruang dan waktu. Ada dalam konteks itu adalah kehadiran. Manusia ada dan hadir dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki awal dan akhir. Dasein terumuskan dalam ungkapan manusia yang menyadari keberadaannya, seperti kesadaran bahwa saya ada, kita ada, manusia ada (Jaspers: 1991, hal. 53). Dasein yang melingkupi manusia sudah memuat keinginan untuk mengatasi dirinya sendiri, untuk melompat ke dimensi yang lebih tinggi. Dasein hadir dalam kesadaran (Jaspers: 1991, hal. 62). Manusia memiliki dan mengenali perasaan yang melingkupinya dan kemudian bisa mengatasinya. Kenyataan itu tidak seperti pada binatang yang hanya merasakan

dan menjauhinya, karena pada manusia ada kemampuan mengatasinya (Jaspers: 1991, hal. 63). Bewusstsein berhaupt Bewusstsein berhaupt, yang dalam Bahasa Indonesia berarti Kesadaran Umum adalah proses pengalaman (hidup batin), pemikiran obyektif (pengetahuan) dan refleksi atas dirinya sendiri (kesadaran diri). Pada dasarnya manusia memiliki kesadaran itu. Titik tolak ada adalah kesadaran subyek atau manusia. Segala yang disadari oleh manusia menjadi ada bagi manusia. Demikian pula segala yang belum disadari manusia belum ada bagi manusia. Kesadaran itu berlaku umum bagi semua manusia. Setiap manusia memiliki kemampuan menyadari dan kemudian menyadari bahwa yang dia sadari itu sebagai satu kenyataan yang ada. Kesadaran itu disebut umum karena berlaku untuk semua orang secara sama. Kesadaran umum tersebut tidak terbatas, dalam arti sejauh ia mencakup segala apa yang dapat dimengerti dan dimaksud oleh manusia (Jaspers: 1991, hal. 67). Geist Geist yang berarti roh dipahami sebagai dimensi rohani. Dimensi tersebut mengatasi tingkat Dasein dan Bewusstsein berhaupt (Jaspers: 1991, hal. 71). Roh menciptakan kesatuan dalam pemikiran, perasaan dan tindakan melalui ide-die (Jaspers: 1949, hal. 39; 1991: hal. 71). Contoh konkret kemampuan menciptakan kesatuan misalnya adalah ide tentang jiwa. Ide jiwa memberi kesatuan kepada bermacam-macam gejala psikologis. Jiwa tidak dapat ditunjukkan, tetapi ide jiwa harus diandaikan agar pemikiran psikologis mendapat struktur. Existenz Eksistensi melingkupi manusia. Eksistens itu transenden terhadap Dasein, Bewusstsein berhaupt dan Geist, karena ketiga das Umgreifende ini menciptakan ruang yang kemudian diisi dan dihayati oleh Existenz. Roh membutuhkan eksistensi sebagai dasar, tetapi eksistensi tanpa roh itu tanpa isi. Eksistensi adalah kebebasan yang diisi. Eksistensi termuat dalam waktu, tetapi sekaligus mengatasi waktu, karena keputusan-keputusan bebas eksistensi menentukan sesuatu untuk selama-lamanya. Eksistensi adalah inti dari keberadaan manusia diri manusia yang paling asli (Jaspers: 1991, hal. 76) . Diri adalah dasar tersembunyi dari kepribadian; dimensi rahasia di mana manusia menemukan dirinya sendiri dalam kebebasannya (Jaspers: 1949, hal. 42).

Welt Welt atau dunia adalah keseluruhan gejala (Jasper: 1991, hal. 85). Manusia mengenal suatu dunia tertentu dalam dunia kenyataan yang melingkupinya. Manusia adalah bagian dari dunia. Manusia hidup dalam dunia, tetapi seakan-akan manusia mendekati dunia itu dari luar. Dunia itu adalah yang lain dari kita. Meski demikian, dunia bukanlah obyek. Dunia melingkupi manusia. Manusia bebas dalam dunia, dan juga bebas terhadap dunia. Dunia memiliki karakter dasar untuk dapat dipahami. Dunia harus dapat dipikirkan. Itu berarti bahwa manusia memiliki kemampuan menemukan kemungkinan jawaban-jawaban atas persoalan dunia dalam elaborasi dunia (Jaspers: 1991, hal. 99). Transzendenz Di satu sisi eksistensi manusia dibatasi oleh Welt (dunia), dan di sisi lainnya manusia secara tak terbantahkan juga dibatasi oleh Transzendenz. Transzendenz adalah das Umgreifende alles Umgreifende (Jaspers: 1991, hal 110). Pernyataan itu berarti bahwa Transendensi adalah Yang Melingkupi segala sesuatu Yang Melingkupi. Karakter dasar dari transendensi yaitu bahwa transendensi akan menghilang kalau manusia mencoba untuk memahaminya (Jaspers: 1991, hal. 110). Dalam koridor pemikiran manusia transendensi adalah ada (das Sein), tetapi sejauh manusia manusia hidup bersama transendensi, transendensi adalah kenyataan asli. Kalau kenyataan itu kemudian dimengerti sebagai kekuatan yang menuntun manusia, kenyataan yang berbicara kepada manusia dan memberikan perintah-perintah, maka ia bisa disebut keilahan dan sebagai pribadi transendensi pada saat tertentu boleh diberi nama Allah. Menurut Jaspers, Allah adalah chiffer untuk kenyataan yang tak ternamai. Chiffer adalah sandi atau simbol yang menjadi medium antara eksistensi dan transendensi. Chiffer-chiffer (sandi-sandi) merupakan suatu teks yang ditulis oleh transendensi dan dibaca oleh eksistensi (Jaspers: 1957, hal. 93). Vernunft Vernunft atau rasio merupakan ikatan semua bentuk dari Yang Melingkupi. Rasio tidak hanya menjelaskan pengertian-pengertian dalam dimensidimensi das Umgreifende, tetapi juga menjadi pengikat di antara mereka (Jaspers: 1991, hal. 114). Rasio memiliki kemampuan menyatukan kembali segala hal yang tercerai-berai maupun segala hal yang tidak memiliki kesatuan, karena rasio memiliki kemauan dan kekuatan untuk menyatukan. Rasio membuka jalan untuk penyatuan,

karena dengan rasio manusia menemukan kehendaknya untuk mengutamakan kesatuan (Jaspers: 1991, hal. 118). Kemampuan rasio tentu saja memungkinkan penyatuan, karena rasio adalah sumber dari logika filosofis (Jaspers: 1991, hal. 119). Rasio tidak bisa dipisahkan dari pengertian-pemikiran segala pengetahuan. Rasio mengelaborasi segala sesuatu dengan nalar yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan (Jaspers: 1991, hal. 120). Ketujuh dimensi dari das Umgreifende merupakan satu-kesatuan dalam periechontologi. Periechontologi tidak memutlakkan salah satu dimensi saja. Periechontologi tidak dimaksudkan sebagai suatu sistem yang bulat, tetapi hanya merupakan ruang di mana segala sesuatu yang hakiki mendapat tempatnya. Periechontologi mau melindungi ruang di mana keilahian dapat berbicara. Hal itu tentu saja berbeda dengan banyak bentuk ontologi yang hanya memilih salah satu dimensi dari ketujuh dimensi tersebut dan kemudian memutlakkannya. Rasionalisme pada kenyataannya Dasein memutlakkan dan Vernunft, idealisme memutlakkan Geist, eksistensialisme memutlakkan Existenz, positivisme memutlakkan Welt, naturalisme memutlakkan Transzendenz. Kebenaran pada jelajah periechontologi adalah sesuatu yang tumbuh dari bentuk-bentuk yang das Umgreifende. Pada tataran Dasein kebenaran ditemukan dalam tindakan-tindakan yang sejati. Pada tataran Bewusstsein berhaupt kebenaran ada dalam ketepatan keputusan. Pada tataran Geist kebenaran ditemukan dalam keyakinan. Pada tataran eksistensi ada iman. Pada tataran transendensi ada kebenaran chiffer-chiffer yang merupakan simbol -simbol yang sesuai dari ada sendiri. Periechontologi tidak memberikan kebenaran obyektif. Periechontologi hanya memberi ruang dan jalan agar kesadaran tentang adanya transendensi berkembang melalui bacaan bahasa chiffer-chiffer. Filsafat dalam konteks itu adalah cinta akan kebenaran. Cinta hadir dalam semua bentuk dari das Umgreifende. Kebenaran tumbuh dalam komunikasi. Dasar komunikasi itu adalah cinta. Cinta itu sama luasnya dengan rasio, dan menjadi jiwa rasio. Akoisme (panteisme Spinoza) memutlakkan

III. Jean-Paul Sartre Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari publik intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan Ltre et le nant. Essai dontologie phnomenologique (1943). Dengan buku ini segera Sartre menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai

salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Meskipun buku ini mengorbitkan nama Sartre namun toh harus diakui bahwa tidak begitu banyak orang yang memahami pemikirannya yang memang rumit, khususnya yang berbicara tentang kesadaran. Untuk mempopulerkan idenya itu, maka tiga tahun kemudian Sartre mengeluarkan buku kecil berjudul Lexistentialisme est un humanisme (1946). Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu. Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme, bahkan filsafat keputusasaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois. Dari pihak Katolik, seperti Mlle Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai. Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam keterisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni---seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya---karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang solidaritas. Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah eksistensialisme dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda dan radikal, sehingga istilah eksistensialisme nyaris tidak

punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini? Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi. Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya. Contoh lain: Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampaui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi (tre-en-soi). Contoh lain lagi: panah. Pertama panah muncul atau eksis karena sudah dipikirkan terlebih dahulu ide tentang panah. Nilai dari benda itu tergantung pada kesesuaian benda dengan idenya, esensinya. Panah yang tidak dapat dipakai untuk memanah adalah buruk. Nilai suatu benda ada patokan secara jelas oleh penciptanya. Lebih jauh lagi, suatu panah bisa dikatakan bukanlah panah jika tidak dapat untuk memanah. Sifat kodrati panah muncul dahulu sebelum eksistensi panah. Contoh lain lagi: binatang. Esensi mendahului eksistensi. Mereka memiliki sifat-sifat tertentu sejak lahir dan alur hidup yang jelas di alam. Burung berkicau dan makan biji, macan hidup menyendiri sedangkan jerapah mengelompok. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan pada-Nya kualitas seorang supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala

Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu, tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx). Justru pandangan di mana esensi manusia mendahului eksistensinya seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia. Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan eksistensi mendahului esensi (trepour-soi) eksis adalah (ada, bahwa hadir), pertama-tama manusia itu menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mntas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya manusia eksistensialis itu siapa. Jika sebagai melihat

bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Misalnya, seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati. Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda-benda: mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak

punya kaitan dengan cara ber-Ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain. Dari konsepsi inilah Sartre kemudian mendapatkan pendasaran logis terhadap ateismenya. Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya? Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis----bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian? Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua.

Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Dalam karya eksistensialismenya yang utama Being and Nothingness Sartre mendasarkan ide kebebasan dengan tiada dan ada. Ada ketiadaan di tengah ada. Sebagai contoh saat dia mencari temannya Piere di kaf. Dia memusatkan perhatian pada orang-orang tersebut satu demi satu. Saat dia memperhatikan salah satu orang maka keadaan lingkungan dan orang yang lainya menjadi dasar. Orang yang ia perhatikan menjadi gambar sedangkan dasar yang tidak diperhatikan jatuh menuju ketiadaan. Jika ditilik lebih lanjut dasar dan gambar merupakan ciptaan dari kita. Ketiadaan inilah ruang kosong yang memungkinkan adanya tindakan bebas. Ketiadaan seperti lubang-lubang di tengah kepenuhan ada. Jika tanpa lubang ketiadaan itu berati kita seperti terperangkap dalam jerat dan terikat. Ada dan tiada ini juga menjadi pilihan mengambil keputusan. Setelah tidak bertemu Piere apa yang akan dilakukan, apa yang akan dilakukan jika bertemu Piere. Kebebasan bagi Sartre adalah kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan modus keberadaannya yang bersifat tre-pour-soi, manusia bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Namun, kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Mengapa? Kebebasan ini membawa tanggung jawab. Kita dipaksa menerima konsekuensi atas pilihan kita dan kita dipaksa memilih (tidak memilih sendiri merupakan suatu pilihan untuk tidak memilih). Sartre mengatakan ciri aneh dari realitas manusia adalah tanpa alasan. Karena itu, filsuf yang juga aktivis kemanusiaan ini pernah berkata dengan sebuah kalimat yang provokatif; "Manusia dikutuk dengan kebebasannya!" [We are condemned to be free. Condemn, because he did not create himself, yet, in other respect is free; because, once thrown into the world, he is responsible for everything he does]. Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri,

apakah akan terjun, atau mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya tergantung keputusan saya. Satu tema yang paling menarik dalam lika-liku pemikiran Sartre adalah tentang relasi antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran dari para kritikusnya. "Dosa asal saya," kata Sartre, "adalah adanya orang lain". Demikian kira- menyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Bagi filsuf yang mengagumi ide-idenya Karl Marx ini, hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik. Untuk membahas masalah ini kita harus mengingat kembali dua istilah yang diciptakan oleh Sartre untuk menggambarkan modus ber-Ada; tre-en-soi, dan tre-pour-soi, karena dari sini muasalnya asumsi Sartre. Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala sesuatu. Sekarang, bayangkanlah jika "Aku", bertemu dengan "Aku-Aku" yang lain, kesadaran yang me-negasi, bertemu dengan jenis yang sama. Dalam hal ini, Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal: Saya sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi objek, dan sayalah subjeknya. Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang ngintip, mau tahu urusan orang, dll). Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang didasarkan atas sikap saling memperdaya. "Aku berpura-pura menjadi objek cinta pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya akulah yang mengobjekkan ia dan akulah subjeknya." Ada juga kemungkinan lain, misalnya ketika si A, B, dan C saling berselisih. Bisa jadi si A, akan melupakan konfliknya dengan B untuk sementara, dan bersama-sama menjadikan C sebagai objek. Begitulah filsuf ini menjelaskan bagaimana sebuah perkumpulan atau organisasi bisa terbentuk.

IV. Sren Aabye Kierkegaard

Latar Belakang dan Sikap Kritis Kierkegaard

Kierkegaard hidup antara tahun 1813 1855. Ini berarti ia hidup dalam abad ke19 di mana budaya intelektual sangat mewarnai kehidupan dan masyarakat berada dalam era teknokratik. Dalam kondisi dunia semacam ini, Kierkegaard membangun filsafat dan sikap kritisnya. Menurutnya, budaya intelektual dan masyarakat teknokratik yang dianung-agungkan saat itu menyimpan konsekuensi-konsekuensi negatif. Salah satu konsekuensi negatif yang menjadi pusat perhatian Kierkegaard adalah kemampuan abstraksi. Artinya ada trend umum saat itu di mana kenyataan-kenyataan konkrit dilepaskan dari ciri-ciri khusus kekonkretannya untuk dilihat sifat-sifat umumnya. Dengan cara itu ditemukan hukum-hukum umum di balik kenyataan. Konsekuensinya semakin berlaku umum, semakin obyektiflah kualitas dan semakin obyektif berarti semakin benar. Menurut Kierkegaard, cara pandang ini menyulut persoalan baru. Mengapa? Karena bagi dia, obyektifitas lebih kerap berarti disetujui umum. Ini berarti ukuran kebenaran adalah pendapat umum. Apa yang tidak sesuai dengan consensus umum berarti tidak obyektif dan tidak benar. Pada titik ini, menurut Kierkegaard, masyarakat jatuh dalam bahaya budaya massa yang kemudian dipengaruhi atau dipupuk oleh berkembangnya media massa yang dengan mudah, murah, dan efektif membentuk opini-opini publik. Ia menilai, budaya massa semacam ini pertama-tama berpengaruh negatif bagi moral manusia sebagai individu. Budaya massa mengakibatkan demoralisasi. Artinya, budaya massa cenderung menyeragamkan suara hati dan mengurangi tanggungjawab individu. Budaya massa sekaligus memiliki karakteristik publik. Pada hal figure publik adalah sesuatu yang kabur, garang. Ia adalah segala hal sekaligus bukan apapun juga. Ia adalah kekuatan yang paling berbahaya serentak sesuatu yang paling tak bermakna. Kierkegaard menegaskan, orang bisa saja bicara atas nama publik tapi publik itu tetap bukan sosok nyata siapapun. Publik itu identitas semu, konsep abstrak, tak berwajah dan tak bernama. Publik bukanlah suatu generasi, bangsa, paguyuban atau pun masyarakat karena dlam publik tidak ada seorang pun yang mempunyai komitmen sungguhan. Dalam masyarakat modern, kata Kierkegaard, wajah publik yang paling konkrit itu adalah Pers. Pengaruh negatif kedua dari budaya massa adalah menghilangkan interioritas individu sebagai subyek. Pengaruh budaya massa membuat orang tidak berani

mengikuti suara hatinya sendiri. Kenyataan particular dan subyektif seakan-akan merupakan suatu anomali. Tidak ikut trend umum adalah kebodohan. Maka, yang terpenting bagi individu adalah berusaha supaya pola pikir dan perilakunya sesuai dengan tuntutan umum. Konsekuensinya, orang menjadi dangkal. Hidup adalah rangkaian fakta-fakta belaka. Hidup adalah rangkaian peristiwa yang berserakan tanpa nilai dan makna. Padahal, seharusnya hidup adalah sebuah perjalanan nilai, rangkaian keputusan dan komitmen pribadi pada nilai-nilai yang semakin tinggi. Hidup adalah sebuah tugas. Pengaruh negatif ketiga dari budaya massa adalah berubahnya pola berkumpul individu dari pola kekeluargaan ke pola asosiasi. Bagi Kierkegaard, asosiasi yang terdiri dari individu-individu yang lemah dan tak berkepribadian itu menjijikkan bagai perkawinan anak di bawah usia. Pengaruh negatif keempat dari budaya massa adalah berubahnya hakekat heroisme. Mengapa? Karena dalam budaya intelektual, tidak ada tempat untuk passi (gairah, nafsu). Tidak ada tempat untuk keberanian dan antuasiasme moral. Semua itu diganti oleh ketrampilan atau skill. Orang sering kagum terhadap tokoh yang berketrampilan tinggi. Namun, kekaguman itu tanpa passi karena sering juga pahlawan itu canggih dalam bidang-bidang yang sebenarnya tidak penting. Misalnya, kekaguman terhadap orang yang berjalan mundur sekian ribu kilometer. Dengan ini mau ditekankan bahwa pahlawan dalam dunia modern tidak lagi merupakan symbol kesungguhan moral dan heroisme eksistensial, melainkan sekedar symbol prestasi. Anehnya, pahlawan jenis inilah yang lebih popular. Kenyataan ini menurut Kierkegaard menunjukkan kedangkalan hidup manusia modern. Pengaruh negatif kelima dari budaya massa berkaitan dengan implikasi dari ideal persamaan derajat manusia. Dalam ideal itu, diyakini bahwa semua orang memiliki hak yang sama. Akibatnya, semua orang harus memberi andil bagi hidup bersama; misalnya dalam pemerintahan. Ini, sangat dimungkinkan dalam dunia modern oleh perkembangan pers. Pers menjadikan suara publik menentukan sesuatu secara efektif, meski pada taraf non formal. Pers memungkinkan massa menjadi konsep abstrak, menjadi publik yang berisikan individu-individu yang tidak real dan tak bisa diorganisasikan. Ironisnya, publik memiliki kekuatan pengaruh yang sangat mutlak. Individu sangat diagungkan dalam imajinasi, tapi dalam kenyataan konkret, ia tak punya arti. Dalam konteks budaya modern semacam inilah Kierkegaard membangun filsafat khasnya. Ia menghimbau individu untuk hidup berdasarkan eksistensi yang lebih bertanggungjawab dan tidak larut dalam budaya massa. Ia ingin agar individu menjadi subyek yang otentik. Persisnya, menurut dia, untuk mencapai subyek yang

otentik itu tidak hanya dengan cara menguasai realitas secara rasional dan konseptual, tidak juga sekedar refleksi intelektual, tapi harus melalui pilihan, keputusan, dan komitmen yang dilandasi oleh passi, antusiasme, rasa, dan kehendak bebas. Filsafat Kierkegaard: Tiga Tahap Eksistensi Manusia. Menurut Kierkegaard, dalam haru biru, simpang siur budaya modern, manusia harus kembali mendarat pada keadaannya atau eksistensinya sendiri. Namun, keadaan atau eksistensi diri yang dinamis yang selalu berpindah dari kemungkinan ke kenyataan di mana hal itu terjadi karena perbuatan bebas pilihan manusia. Jadi, eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi dalam arti berada dalam suatu perbuatan yang wajib dilakukan setiap orang bagi dirinya sendiri. Bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Maka, orang yang tidak berani mengambil keputusan, itu berarti ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Bereksistensi berarti berupaya untuk semakin mewujudkan diri, semakin menjadi individu yang otentik. Semakin otentik berarti semakin menjadi makhluk rohani. Proses ini, menurut Kierkegaard dilalui lewat tiga tahap; Estetik, Etik, dan Religius di mana masing-masingnya memiliki ciri serta warna dan tuntutan yang khas. Masing-masing tahap itu membawa manusia untuk tegas pada posisi eksistensi dirinya sendiri. Kekhasan-kekhasan tiap tahap itulah yang mewarnai isi tulisan ini. Tahap Estetik Orang-orang yang hidup pada tahap eksistensi ini setidaknya memiliki tiga ciri. Ciri pertama, mereka lebih mengutamakan kepuasan (pleasure) baik fisik maupun batin. Maka, motivasi dasar perilaku mereka adalah mencari kepuasan. Mereka cenderung membiarkan dirinya dikuasai oleh naluri-naluri sensual dan mood. Apa yang baik baginya adalah yang sesuai dengan mood hidupnya saat itu. Konsekuensinya, segala bentuk realitas, bagi mereka, hanya menjadi medan kemungkinan. Artinya, realitas yang hadir dan ditawarkan di hadapannya hanya menjadi berarti sejauh realitas itu berguna mendatangkan kepuasan bagi dirinya. Dengan kata lain, hidup mereka sangat tergantung pada kenyataan akan kemungkinan di luar dirinya. Tanpa itu, mereka tak berdaya, tanpa arti. Hidup menjadi sesuatu yang bisa sangat membosankan. Sosok manusia dengan cirri dasar ini, oleh Kierkegaard diibaratkan seperti kumbang yang kerjanya menghisap madu

dari bunga ke bunga. Lelaki hidung belang yang cenderung hanya mencari nikmat ragawi. Ciri kedua, mereka tidak memiliki komitmen pada realitas konkret. Artinya, mereka cenderung melihat kenyataan selalu dalam jarak dan imajinasi. Maka, tidak heran hidup mereka sarat dengan refleksi tentang tata nilai, soal nasib buruk yang menimpa umat manusia, perihal hidup bersama yang harmonis dalam keberbedaan, dan sebagainya. Dengan ini, terpatri kesan sepintas lalu seolah-olah mereka demikian menghayati dan bahkan ikut menanggung tragedy umat manusia. Padahal sesungguhnya semua itu mereka hayati hanya dalam imajinasi. Hidup mereka sungguh-sungguh tidak realistis. Mereka punya inteligensi tapi tak punya intensitas pengalaman. Mereka berbicara banyak tapi tidak atas dasar pengalaman langsung. Mereka Cuma memunguti dan mengolah pengalaman-pengalaman second-hand, bukan pengalaman-pengalaman primer atau asli. Oleh karena itu, ungkapanungkapan tertinggi mereka paling banter berupa ungkapan verbal atau simbol-simbol seni. Boleh jadi juga, ungkapan mereka merupakan teori-teori ilmiah yang canggih dan mencengangkan atau pun karya seni yang bermutu tinggi tapi sebenarnya tanpa jiwa, kosong, dan kering. Ciri ketiga, mereka cenderung mengelak dari antuasiasme yang lebih mendalam. Mereka takut terlibat pada sesuatu yang menuntut lebih seperti menikah atau loyalitas pada organisasi tertentu. Dengan menikah, mereka takut dituntut mengikatkan diri pada institusi perkawinan. Dengan berorganisasi, mereka tak mau dituntut untuk mengikuti aturan main yang ada dalam organisasi bersangkutan. Ini berarti mereka tidak mau mengikatkan diri pada standar moral tertentu. Mereka lebih senang hidup tanpa ikatan, hidup sendirian dan bagi dirinya sendiri saja. Bahkan pola hidup semacam ini menurut Kierkegaard adalah pola hidup statis tanpa evolusi khas manusia. Pola hidup mereka yang demikian bisa dinilai tidak lebih dari tanaman dan binatang. Ironi tapi fakta. Cepat atau lambat, sejauh mereka masih tetap manusia, pola hidup semacam ini akan berakhir dalam keputusasaan yang mendalam, karena hidup tanpa standar moral yang mengikat berarti hidup tanpa kerangka makna, hidup yang luluh-lantak berantakan. Pada titik inilah, orang baru akan sadar untuk mengikatkan diri pada standar moral tertentu. Mereka baru akan sadar untuk memiliki komitmen pada realitas konkret. Keberanian untuk masuk dalam kawasan ini mengandaikan bahwa mereka telah memilih masuk ke dalam suatu tahap baru yang lebih dewasa, yakni tahap etik. Tahap Etik

Orang-orang yang masuk dalam tahap etik ini setidaknya memiliki tiga ciri khas juga. Ciri pertama, mereka mulai terarah pada keutamaan-keutamaan moral. Hidup mereka tidak lagi seenaknya demi diri sendiri tapi mulai terarah pada suatu patokan moral yang harus diraih. Oleh karena itu, motivasi dasar perilaku mereka adalah bagaimana mengubah dan mengarahkan kepribadiannya supaya sesuai dengan cita-cita moral itu. Ego diarahkan untuk keluar melihat keutamaan-keutamaan lain yang lebih luhur dan bersahaja. Tahap ini dengan sendirinya mengandaikan adanya transformasi hidup semacam pertobatan atau rekonsiliasi. Suatu loncatan orientasi dari ego menuju others. Ciri kedua, hidup mereka mulai diisi oleh komitmen, oleh perbuatan-perbuatan konkret --yang sering penuh resiko-- untuk mewujudkan nilai-nilai etis. Wujud ungkapan mereka tidak hanya verbal tapi mulai nyata dalam perbuatan konkret yang selanjutnya bisa berdampak pada perubahan social atau masyarakat, bisa juga berupa hubungan pribadi yang semakin mendalam. Isyarat paling sederhana menuju tahap etis ini adalah keberanian untuk menikah. Bagi Kierkegaard, pernikahan adalah simbol institusi etis ini. Pernikahan adalah simbol komitmen yang paling sederhana. Di dalam institusi pernikahan atau perkawinan, orang mulai belajar untuk masuk dalam hidup yang nyata, untuk hidup tidak hanya untuk diri sendiri. Ciri ketiga, hidup mereka tidak lagi tergantung pada realitas di luar dirinya. Kehidupan orang yang masuk dalam tahap ini mulai lebih dikendalikan dari dalam pribadinya sendiri. Bahkan kalau perlu, mereka akan menentang arus umum dan menjadi tragic hero bagi nilai-nilai etis. Mereka menganggap bahwa suatu kemungkinan itu baru menjadi berarti bila telah menjadi kenyataan. Mereka tidak lagi banyak peduli pada spekulasi-spekulasi teoretik karena yang lebih dihargai adalah wujud usaha nyata. Kalau sudah sampai pada tingkat ini, kepribadian mereka boleh dikatakan telah mencapai integritasnya. Sayangnya, bagi Kierkegaard, orang-orang seperti ini, dalam perspektif sebuah pentas memang telah mengambil peran, namun masih berada pada taraf penonton, belum menjadi pemain. Kierkegaard berkeinginan peran ini suatu ketika harus bergeser dari peran penonton ke peran pemain dalam kehidupan yang sesungguhnya, dalam hidup nyata. Untuk sampai ke peran pemain itu, menurut Kierkegaard orang harus masuk ke dalam sebuah tahapan baru, tahap religius. Tahap Religius Setiap orang yang masuk dalam tahap ini setidaknya memiliki tiga ciri khas juga. Ciri pertama, pada tahap ini orang mulai hidup sepenuhnya dalam iman. Kesadaran untuk melangkah dalam situasi iman ini biasanya diawali oleh rasa bersalah pada

tahap etis di mana pada tahap itu orang merasa tidak sempurna menjalankan norma etis secara ajeg dan berkesinambungan. Rasa bersalah itu dalam konteks religius berkembang menjadi dosa. Mengapa? Karena pada tahap ini, ada keyakinan dasar bahwa rasa bersalah itu tumbuh oleh adanya inisiatif Allah. Ini berarti juga bahwa masuk dalam tahap religius kita sudah bicara soal Rahmat, soal Panggilan yang berarti di sana ada peran mutlak Tuhan. Maka, motivasi dasar orang-orang yang hidup dalam tahap ini adalah bagaimana menjalankan kehendak Tuhan. Bagi Kierkegaard, beriman atau berelasi dengan Tuhan merupakan puncak perealisasian diri sebagai makhluk rohani. Oleh karena itu, yang penting bagi Kierkegaard bukan agama sebagai institusi melainkan sikap praksis individu itu sendiri. Ciri kedua, pada tahap ini, orang meyakini bahwa iman adalah juga sebuah komitmen, namun komitmen pada sesuatu yang tidak jelas. Komitmen pada suatu paradoks. Beriman berarti orang dituntut untuk percaya pada dua hal yang bertentangan pada saat yang sama. Dengan beriman, orang dituntut untuk, misalnya percaya bahwa Allah itu jauh sekaligus dekat, Allah itu Mahabaik sekaligus hakim yang siap mengganjar segala perbuatan manusia. Atau, misalnya lagi komitmen bahwa untuk menemukan inti diri, orang harus kehilangan dirinya sendiri, dalam suasana pekat perjalanan hidup yang menyesakkan, orang justru diminta untuk bersikap enteng, pada saat orang sedang dalam suasana sedih, justru ia harus diajak untuk bergembira. Pokoknya, iman menuntut kita melawan arus manusiawi yang kadang terjal dan tajam. Singkatnya, dapat paradoks-paradoks bahwa ini seringkali itu selalu menjungkirbalikkan nilai-nilai dalam kehidupan. Oleh karena itu, beriman, kadangmenakutkan. Bahkan, dikatakan beriman mengandung suatu perasaan was-was. Beriman berarti bertualang, bahkan berarti meloncat ke dalam suatu kenyataan gelap penuh paradoks. Ironisnya, lompatan itu didasari oleh keyakinan bahwa Allah itu mutlak baik meskipun juga mutlak misterius. Tuntutan dan paradoks Allah demikian mutlak hingga memang bisa saja terasa brutal seperti ketika Ia menuntut Abraham untuk menyembelih anaknya. Maka, symbol tahap religius ini memang Abraham itu. Ia menjadi symbol petualangan religius yang berani dan tulus. Ciri ketiga, orang yang sudah masuk dalam tahap ini ditandai oleh kesanggupan untuk menderita. Maka, hidup religius yang sejati adalah hidup yang tersenyum dalam duka, damai dalam aneka ketegangan, melangkah ringan dalam saat-saat berat dan menyesakkan. Pada tahap ini, orang melihat kenyataan hidup secara baru sama sekali. Orang mulai hidup pada taraf yang sangat sublim dan spiritual. Mereka menjadi sangat trampil menghargai hal-hal yang paling kecil dan sederhana dalam hidup. Bagi mereka, hidup betapa pun bopengnya selalu merupakan perayaan yang

tak berkesudahan. Hidup menjadi suatu anugerah yang tiada taranya. Dengan demikian, bagi Kierkegaard, mereka telah menjadi pendekar iman, mereka telah menjadi manusia sejati, manusia idaman sepanjang masa.

V. Nicholas Alexandrovitch Berdyaev Berdyaev dilahirkan di Kiev dalam suatu keluarga militer aristokrat. Ia hidup sendirian di masa kanak-kanaknya di rumah, dan perpustakaan ayahnya memungkinkannya bahasa asing. Berdyaev kariernya memutuskan intelektual di untuk dan menempuh masuk ke para sebagai banyak membaca. Ia membaca karya-karya Hegel, Schopenhauer, dan Kant ketika usianya baru 14 tahun dan ia menguasai berbagai

Universitas Kiev pada 1894. Waktu itu semangat revolusioner mahasiswa menjadi dan berkembang dan kaum antara inteligensia. Berdyaev

seorang Marxis dari

dan pada 1898 ia Universitas dalam tersebut. kegiatan-

ditangkap dalam sebuah demonstrasi mahasiswa dikeluarkan Belakangan keterlibatannya

kegiatan ilegal menyebabkan ia dibuang ke Rusia tengah selama tiga tahun - sebuah hukuman ringan dibandingkan apa yang harus dialami oleh banyak tokoh revolusioner lainnya. Pada 1904 Berdyaev menikah dengan Lydia Trusheff dan pasangan itu kemudian pindah ke St. Petersburg, ibu kota Rusia dan pusat intelektual serta aktivitas revolusioner. Berdyaev ikut serta sepenuhnya dalam perdebatan intelektual dan rohani, dan akhirnya meninggalkan Marxisme radikal dan memusatkan perhatiannya pada filsafat dan spiritualitas. Berdyaev dan Trusheff tetap saling sangat mencintai hingga Trusheff meninggal pada 1945. Berdyaev adalah seorang Kristen yang saleh, namun ia seringkali kritis terhadap gereja yang mapan. Sebuah artikel pada 1913 mengecam Sinode Kudus dari Gereja Ortodoks Rusia menyebabkan ia dituduh menghujat, dan hukumannya adalah pembuangan ke Siberia seumur hidup. Perang Dunia dan Revolusi Bolshevik membuat ia tidak pernah diajukan ke pengadilan. Berdyaev tidak dapat menerima rezim Bolshevik, karena sifatnya yang otoriter dan dominasi negara terhadap kebebasan individu. Namun ia menerima beratnya

masa revolusi, karena ia diizinkan untuk sementara waktu untuk tetap memberikan kuliah dan menulis. Filsafatnya dicirikan sebagai eksistensialis Kristen. Ia sangat memperhatikan kreativitas dan khususnya kemerdekaan dari segala sesuatu yang menghalangi kreativitas. Karena itu ia menentang "masyarakat mekanis yang dikolektifkan". Pada 1922, pemerintahan Bolshevik mengusir sekitar 160 intelektual terkemuka, antara lain Berdyaev. Secara keseluruhan, mereka bukanlah pendukung rezim Czar ataupun kaum Bolshevik, karena mereka lebih suka akan bentuk pemerintahan yang tidak begitu otokratis. Di antara mereka termasuk orang-orang yang menuntut kebebasan pribadi, perkembangan rohani, etika Kristen, dan jalan yang dibimbing oleh nalar dan dipimpin oleh iman. Mulanya Berdyaev dan para emigran lainnya pergi ke Berlin, namun kondisi ekonomi dan politik di Jerman menyebabkan dia dan istrinya pindah ke Paris pada 1923. Di sana ia mendirikan sebuah Akademi, mengajar, berceramah, bertukar pikiran dengan komunitas intelektual Prancis. Pada masa pendudukan Prancis oleh Jerman, Berdyaev terus menulis bukubuku yang kemudian diterbitkan setelah perang - sebagian setelah kematiannya. Pada tahun-tahun yang dilewatninya di prancis, Berdyaev menulis 15 buku, termasuk sebagian dari karya-karyanya yang paling penting. Ia meninggal di meja tulisnya di rumahnya di Clamart, dekat Paris, pada Maret 1948. Bagi Berdyaev, pertanyaannya tidak terletak pada kebebasan kehendak sebagaimana biasanya terdapat pada pendapat-pendapat tradisional (sebagaimana yang dikatakan oleh para naturalis, psikologi, atau moralitas-pedagogi). Disitu terdapat kesulitan karena argumen-argumen tradisional mencoba untuk mengobjektivikasi kebebasan atau dengan menjadikan kebebasan suatu obyek yang bisa dirasakan, diselidiki, dan juga dibuktikan atau disangkal dari luar. Bagi kaum eksistensialis, kebebasan tidak untuk dibuktikan, tetapi lebih merupakan sebuah postulat dari aksi. Kebebasan telah ada disana sebagai sebuah kondisi dari keberadaan kita (termasuk pikiran kita). Kebebasan ada disana bahkan sebelum kita berpikir mengenai dunia. Pembahasaan Berdyaev dalam kebebasan sendiri menjadi metafisis dan bahkan mistik. Berdyaev melihat kebebasan sebagai sebuah misteri itu sendiri. Dia sering mengatakan bahwa kebebasan memiliki kelebihan yang melampaui ada. Dia juga mengatakan bahwa kebebasan beralih dari suatu yang tak terbatas yang mendahului ada. Secara ontologis, kebebasan adalah baseless. Tindakan kebebasan adalah primordial dan sepenuhnya irasional. Kebebasan memang meontic sesuatu yang nothing daripada something, sesuatu yang tak ada dibandingkan sebagai sesuatu

yang ada karena lebih sebagai sebuah kemungkinan daripada sebuah keadaan aktualitas yang sebenarnya. Kebebasan tidak dapat direngkuh melalui pikiran tetapi hanya diketahui melalui serangkaian latihan kebebasan (exercise of freedom). Dengan menyodorkan konsep libertas major-libertas minor Agustinus, Berdyaev menyatakan dua arti kebebasan: kebebasan adalah baik kebebasan irasional purba (primordial irrational freedom) yang mendahului kebaikan dan kejahatan, dan yang menentukan pilihan di antara keduanya; maupun kebebasan yang final dan beralasan (final and reasonable freedom), kebebasan dalam kebaikan dan kebenaran - yang ingin mengatakan bahwa kebebasan dipahami sebagai titik awal (starting point) dan cara, sekaligus akhir dan tujuan. Kebebasan (dalam dua bentuknya) diliputi dialektik dimana kebebasan mudah berpindah menjadi musuh (sisi berlawanan). Kebebasan primordial dapat berpindah menjadi anarki. Bentuk yang kedua dari kebebasan, reasonable freedom, juga dapat menuju kepada sebuah organisasi tirani dari kehidupan manusia. Kebebasan menyimpan dalam dirinya sebuah bibit pembinasaan, maka misteri dari kebebasan sejati berjalan bersama dengan misteri kejahatan sejati. Walaupun kebebasan memiliki resikonya yang tak terelakkan, Berdyaev dan para eksistensialis lainnya selalu mengatakan bahwa kebebasan adalah untuk dipertahankan dan ditingkatkan dengan alasan bahwa kebebasan identik dengan eksistensi, tak ada manusia tanpa kebebasan, maka resiko dari kebebasan harus tetap ditanggung secara konstan. Berdyaev menghubungkan kebebasan dengan kreativitas. Humanisasi tertinggi adalah kreativitas (creativity) yang merupakan suatu pemberian dari Tuhan Sang Pencipta (Creator). Kreativitas adalah misteri kebebasan. Walaupun berisiko, kreativitas harus diberi keleluasaan. Kebebasan manusia bukan hanya dari sesuatu, tapi juga untuk sesuatu, dan kata untuk menunjuk pada kreativitas manusia. Kebebasan, seperti halnya kecemasan, dapat dihubungkan dengan dosa dan kejahatan karena kebebasan pada dirinya adalah fenomena yang ambigu. Kebebasan ada dalam dialektika di mana kebebasan dapat menjadi kebalikannya. Dalam dirinya, kebebasan memiliki benih penghancuran sehingga misteri asal usul kebebasan berjalan beriringan dengan misteri asal usul kejahatan. Walaupun kebebasan memiliki resiko dan tragedinya, Berdyaev dan para eksistensialis lain menekankan bahwa kebebasan adalah untuk dilindungi dan dikembangkan. Alasannya, jika kebenaran hampir identik dengan eksistensi, maka tidak ada kemanusiaan tanpa kebebasan. Bila demikian, meski kebebasan itu berbahaya; demi martabat manusia, kebebasan (termasuk di dalamnya kreativitas sebagai misteri kebebasan) tetap harus dikembangkan dan risiko yang ada mesti diambil.

Berdyaev menyebut penghayatan manusia atas waktu ada dalam berbagai dimensi. Dimensi pertama adalah waktu kosmis, yakni waktu yang dihayati manusia sehubungan dengan gejala alam, semacam terbit dan tenggelamnya matahari. Dimensi kedua, adalah waktu kesejarahan, yaitu suatu penghayatan berkait dengan masa lampau dan masa depan. Dimensi yang ketiga adalah waktu eksistensial yang secara puitis disebut Berdyaev sebagai waktu dari alam subyektivitas. Dapat dipertanyakan, apakah ketiga dimensi itu akan dihayati manusia dalam posisi yang selalu seimbang. Berdyaev tidak menjelaskan hal itu, walaupun sekalipun penghayatan tadi merupakan sesuatu yang pada awalnya seimbang, ia sangat mungkin goyah suatu saat. Manusia modern kebanyakan yang sibuk, misalnya. Ia memang masih punya penghayatan terhadap keseluruhan dimensi itu, tapi akan sangat mungkin ia lebih menghayati dimensi yang pertama. Bersamaan dengan perkembangan rasionalitas yang oleh Habermas disebut sebagai rasionalitas instrumental-bertujuan, kesadaran manusia akan lebih banyak tertuju pada hal-hal obyektif yang berdaya guna. Kesadaran demikian menuntut pengabaian pada hal-hal yang tak obyektif dan tak berdaya guna. Maka, penghayatan waktu oleh manusia yang sangat memperhitungkan efisiensi waktu akan terarah pada waktu kosmis: mereka barangkali hanya akan peduli apakah hari sudah siang atau masih pagi, apakah ini bulan Januari atau Desember. Dimensi waktu kesejarahan dan waktu eksistensial hanya akan muncul sesaat, terutama saat mereka mengalami kondisi-kondisi tertentu atau momen-momen penting dalam waktu. Demikianlah, kita kemudian melihat banyak manusia sibuk yang akhirnya berhenti sesaat untuk merenung tiap tahun baru atau saat ulang tahun. Pada kondisi demikian, manusia baru menyadari dirinya sendirimengambil kata-kata Drijarkarasebagai kehausan akan bahagia. Pada sisi yang lain, manusia yang mengidap semacam obsesi pada waktu adalah mereka yang menaruh kesadarannya lebih banyak pada dimensi ketiga. Ia memang masih menyadari waktu kosmis dan kesejarahan yang tak bakal bisa ditinggalkannya, tapi waktu eksistensial memiliki peranan penting dalam pembentukan kesadarannya. Pada titik itu, waktu yang reguler beserta penanda waktu yang fisikseperti jam dan kalenderhampir selalu dilihat dalam kerangka eksistensial.

VI. Friedrich Wilhelm Nietzsche Latar Belakang Tokoh Friedrich Nietzsche lahir di Rocken pada tanggal 15 oktober 1844. Kakeknya, Friedrich August Ludwig adalah seorang pendeta. Tahun 1796, kakek Nietzsche dianugerahi gelar doktor kehormatan atas pembelaannya terhadap agama Kristen. Ayah Nietzsche, Karl Ludwig juga seorang pendeta. Awalnya, Nietzsche adalah seorang mahasiswa fakultas Teologi. Namun, pada akhirnya ia keluar karena lebih tertarik pada filsafat. Ia memulai dengan membaca filsafat Schopenhauer. Berawal dari ketertarikannya terhadap Schopenhauer, ia mulai menciptakan karya-karya filologis. Beberapa tahun kemudian ia meluncurkan buku pertamanya, The Birth of Tragedy, yang berisi tentang tragedy Yunani. Setelah buku pertamanya ini, Nietzsche mulai banyak memunculkan pemikiran pemikiran baru dan juga bukubuku baru. Pemikiran-pemikirannya juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang sempat ia temui dalam hidupnya, seperti Richard Wagner, Bismarck, Freud dan Darwin. Buku-buku yang telah ditulis oleh Nietzsche, antara lain The Birth of Tragedy, Human All-Too-Human, The Wanderer and his Shadow, The Gay Science, Thus Spoke Zarathustra, The Good and Evil . Latar Belakang filsafat Filsafat Nietzsche banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang ia kagumi dan para filsuf sebelum dirinya. Selain itu, filsafatnya juga dipengaruhi oleh unsur filologis yang berisi tentang Yunani. Hal ini dikarenakan oleh ketertarikannya terhadap filologi yang bercerita tentang legenda-legenda Yunani. Dalam filsafat Nietzsche dijelaskan bahwa hidup adalah penderitaan dan untuk menghadapinya kita memerlukan seni. Seni yang dimaksud oleh Nietzsche ada dua jenis, yaitu Apolline dan Dionysian. Sehingga Nietzsche mengagumi Richard Wagner yang ikut mempengaruhi gaya filsafatnya. Nietzsche mengenalkan metode

genealogi melalui karyanya Genealogy of

Moral. Menurut Deleuze, sasaran akhir genealogi adalah membuat filsafat jadi bergerak, dengan cara mengantarkan konsep tentang arti dan nilai dalam filsafat. (lebih lanjut Deleuze; Filsafat Nietzsche). Bagi Nietzsche filsafat tentang arti dan nilai haruslah menjadi sebuah kritik. Apakah filsuf sebelum Nietzsche belum melakukannya? Tidak cukupkan Emmanual Kant menyusun kritik, untuk mengatasi Rasionalisme Prancis, Empirisme dan Skeptisisme Inggris (Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, Critique of Judgement)? Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche menggarisbawahi, rahasia yang terdapat dalam seorang Kant adalah das ding an sich (benda dalam dirinya sendiri) seperti halnya rahasia filsafat kaum Stoic yang terdapat pada tesis kembali ke alam ( yang disebut Nietzsche sebagai alam-nya Kaum Stoic). (Nietzsche; Prasangka Para Filsuf, Aphorisma 9).Rene Descartes dan para pendahulu Kant mengatasi pertanyaan tentang bagaimana kita dapat hidup bebas di dunia ini dengan pemisahan diri dengan alam. Menurut Kant, manusia adalah bagian dari dunia fenomenal dan sanggup membuat pilihan-pilihan moral karena manusia mempunyai eksistensi nomenal. Moralitas-lah, bagi Kant, yang menghendaki kita menghormati rasionalitas yang ada pada orang lain. Dasar bagi hukum moral tersebut disebut sebagai Imperatif Kategoris; orang harus bertindak hanya berdasar suatu maksim yang bisa diinginkannya menjadi hukum universal. (lebih lanjut Solomon & Higgins; Sejarah Filsafat). Dalam Prasangka Para Filsuf, Aphorisma 5, Nietzsche menyatakan Kita selayaknya tersenyum pada tontonan kemunafikan Kant yang kaku dan dikatakan murni, saat dia membujuk kita menuju jalan rahasia dialektika yang mengarahkan (atau lebih tepatnya salah mengarahkan) kita pada perintah kategoris. Bagi Nietzsche, imperatif kategoris inilah yang membuat filsafat tidak bergerak, atau dalam pengertian Deleuze, memunculkan bentuk-bentuk konformisme dan kepatuhan-kepatuhan baru. Dengan demikian Kant belum dapat menyelesaikan pertanyaan bagaimana hidup bebas di dunia, karena ia sendiri kemudian menciptakan kepatuhan filsafat (dan manusia) pada sesuatu yang dinamakannya imperatif kategoris. Nietzsche, yang melihat bahasa rapuh terhadap realitas, mengkritik

universalisme yang ada dalam pendapat Kant sebagai penderitaan atas jarak dimana term universalisme/persamaan memang menafikan jarak. Dari persoalan tentang penderitaan atas jarak inilah, mereka pertama kali memperoleh hak untuk menciptakan nilai dan membuatkan namanya.

Konsep-konsep Kunci Filsafat Nietzsche Filsafat Nietzsche terutama ditulis dalam bentuk aforisme dan tidak dilakukan dengan gaya metodis. Sikapnya secara umum tetap saja konsisten, tetapi pemikirannya secara terus menerus berkembang ke berbagai arah. Hal ini berarti bahwa Nietzsche seringkali tampak bertentangan dengan dirinya sendiri, atau membiarkan dirinya terbuka terhadap berbagai interpretasi yang saling bertentangan. Filsafatnya adalah sebuah filsafat yang memiliki wawasan yang berdaya tembus, dan bukan suatu sistem. Namun demikian, sejumlah kata dan konsep tertentu selalu muncul berulang-ulang di dalam karyanya. Oleh karena itu kita dapat mendeteksi adanya suatu sistem di dalam karyanya. Will to Power Ini merupakan konsep terpenting di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengembangkan konsep ini dari dua sumber utama: Schopenhauer dan kehidupan Yunani kuno. Schopenhauer mengadopsinya dari gagasan timur dan berkesimpulan bahwa alam semesta dikendalikan oleh suatu kehendak buta. Nietzsche mengenali adanya kekuatan di dalam gagasan ini, dan menerapkannya dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan-gagasan Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong di dalam peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan untuk mencari sesuatu yang lebih berguna atau yang memberikan manfaat segera. Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power). Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak ini. Seringkali kehendak untuk berkuasa ini di ubah dari ekspresinya yang semula, atau bahkan dialihkan ke bentuk lain, tetapi tidak dapat dihindari semua itu selalu bermata air di tempat yang sama. Ajaran beragama mengkhotbahkan sesuatu yang tampaknya sangat bertentangan dengan Will to Power, melalui gagasan-gagasannya akan kerendahan hati, cinta antar saudara, dan kewelasasihan. Tetapi, fakta yang sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yang cerdik dari Will to Power. Ajaran Kristiani sendiri adalah suatu agama yang dilahirkan di tengah-tengah perbudakan di zaman Romawi, dan sama sekali tak bisa membebaskan dirinya dari mentalitas budak. Ini tentu saja adalah suatu bentuk Will to Power dari para budak, dan bukan dari mereka yang memiliki kuasa. Will to Power yang dicanangkan oleh Nietzsche terbukti merupakan suatu alat yang ampuh ketika

di gunakan oleh Nietzsche untuk menganalisis motif umat manusia. Tindakantindakan yang sebelumnya tampak mulia atau terhormat, kini tampak sebagai sesuatu yang dekaden bahkan memuakkan. Namun demikian, Nietzsche gagal untuk memberikan jawaban bagi dua hal penting. Jika Will to Power merupakan satu-satunya ukuran, lalu bagaimana halnya dengan tindakan-tindakan yang sejak semula memang sama sekali tidak memiliki Will to Power di dalamnya? Ambillah sebagai contohnya kehidupan seorang santo atau seorang filsuf pertapa seperti Spinoza (filsuf yang dikagumi Nietzsche sendiri). Orang-orang ini jelas-jelas berkeinginan untuk meredam kehendak untuk berkuasa dalam diri mereka. Mengatakan bahwa santo dan filsuf pertapa itu menerapkan Will to Power atas diri mereka sendiri jelas-jelas akan memperlakukan konsep ini sedemikian rupa luwesnya, hingga hampir bisa dikatakan bahwa konsep ini sama sekali tidak bermakna. Yang kedua, konsep Will to Power ternyata adalah sesuatu yang bersifat sirkular: apabila upaya kita untuk memahami segala sesuatunya di alam semesta ini adalah sebuah upaya yang diilhami oleh kehendak untuk berkuasa, maka tentunya konsep kehendak untuk berkuasa itu sendiri diilhami oleh upaya Nietzsche untuk memahami segala sesuatunya. Lepas dari semua itu, sebagai kata akhir dari konsep yang memiliki daya tembus luar biasa tapi berbahaya ini, konsep itu seharusnya dikembalikan pada pernyataan Nietzsche sendiri, Sikap mengidam-idamkan kekuasaan telah mengalami berbagai perubahan selama berabad-abad, tetapi sumbernya tetap saja kawah yang sama.. Sesuatu yang pada zaman dahulu dilakukan orang demi Tuhan, sekarang ini kita lakukan demi uang.. Inilah yang saat ini menciptakan kepuasan terutama atas kekuasaan. (Die Morgenrote [The Dawn], 204) Eternal Reccurence Menurut Nietzsche, kita seharusnya bertindak seakan-akan hidup yang kita jalani ini akan terus berlanjut dalam satu pengulangan yang abadi. Setiap momen yang telah kita jalani dalam kehidupan ini akan dijalani berulang-ulang untuk selamalamanya. Ini tentu saja tak lebih dari sebuah dongeng moral metafisika. Tetapi Nietzsche tetap ngeyel untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa dipercaya. Ia melukiskan hal ini sebagai sebuah formula bagi keagungan umat manusia. Penegasan romantik yang luar biasa sekaligus mustahil akan pentingnya setiap momen dalam hidup kita, adalah nasihat Nietzsche agar kita menikmati hidup ini sampai pada kepenuhannya. Sebagai sebuah suguhan gagasan puitik, ada kekuatan

di dalamnya. Sedangkan sebagai suatu gagasan moral atau filosofis, gagasan ini secara hakiki merupakan suatu yang dangkal. Gagasan ini benar-benar tidak mengandung pemikiran yang mendalam. Ungkapan klise menjalani hidup sepenuhnya paling tidak cukup bermakna, betapapun kaburnya makna tersebut. Setelah ditinjau bolak-balik, gagasan tentang Eternal Reccurence tampaknya tak mempunyai makna. Adakah di antara kita yang memang mengingat setiap kehidupan pengulangan kita masing-masing? Jika kita betul mengingatnya, maka niscaya kita akan sanggup melakukan perubahan dalam hidup kita. Jika kita tidak dapat mengingatnya, maka tak ada gunanya membicarakan hal itu. Sesungguhnya, bahkan bila gagasan Nietzsche ini ingin di anggap memiliki sebuah citra puitik, gagasan ini seharusnya memiliki lebih banyak substansi di dalamnya agar dapat dipandang sebagai sesuatu yang bukan semata-mata puisi kacangan. Gagasan ini terlalu buram untuk bisa di terapkan sebagai sebuah prinsip seperti yang dimaksudkan Nietzsche. Superman (bermensch) Tentu saja gagasan Superman Nietzsche ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tokoh komik Superman yang bisa terbang mengarungi angkasa. Walau mungkin akan lebih baik jika tokoh ciptaan Nietzsche juga mempunyai ciri-ciri yang dimiliki tokoh komik tersebut. Paling tidak, Clark Kent memiliki moralitas naif yang ia coba laksanakan untuk membela kebenaran dan membasmi kejahatan. Di sisi lain, Superman ciptaan Nietzsche sama sekali tak mengenal moralitas. Satusatunya moralitas yang dimilikinya hanyalah Will to Power. Namun, satu hal yang mengundang tanda tanya ialah deskripsinya tentang Superman menunjukkan bahwa Nietzsche justru sadar jika ia tinggal di sebuah dunia yang dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki kenaifan, seperti halnya yang terdapat dalam komik-komik. Prototipe Superman ciptaan Nietzsche itu adalah tokoh rekaannya sendiri, Zarathustra. Ia adalah seorang tokoh yang penuh

kesungguhan. Perilakunya memperlihatkan gejala-gejala kegagalan mental yang berbahaya. Harus diakui bahwa dongeng tentang Zarathustra itu adalah sebuah kisah perumpamaan. Namun, perumpamaan mengenai apa? Suatu perumpamaan tentang perilakukah? Perumpamaan yang diungkapkan para nabi tampaknya sederhana dan kekanak-kanakan, akan tetapi refleksi yang dipantulkannya sama sekali bukan sesuatu yang sederhana, apalagi kekanak-kanakan. Perumpamaan macam itu adalah sesuatu yang sangat mendalam. Di pihak lain, perumpamaanperumpamaan Zarathustra sangat kekanak-kanakan, begitu pula dengan refleksi yang dipantulkannya. Namun demikian, pesan yang disampaikan Zarathustra sangatlah mendalam. Superman ciptaan Nietzsche ini berkembang menjadi tokoh yang jauh lebih sakti daripada tokoh Superman yang ada di komik. Di dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menyatakan (melalui mulut tokoh ciptaannya ini) bahwa, Apa artinya monyet bagi manusia? Sebuah figur yang menyenangkan atau sesuatu yang memalukan? Manusia akan tampil persis seperti monyet di depan Superman. [Thus Spoke Zarathustra, bagian pertama, Prolog Zarathustra, Bagian 3] Ditempat lain ia menyatakan, Sasaran kemanusiaan tidak dapat dicapai di akhir kehidupannya, melainkan pada jenis manusia yang paling unggul. [Genealogy of Morals, Meditasi Kedua, Bagian 9] Dalam konteks inilah Nietzsche mulai secara serampangan dan tanpa juntrungan menghubungkan Superman dengan maksud-maksud seperti kemuliaan dan asal keturunan. Meskipun begitu, ia tidak berbicara tentang ras dan kebangsawanan. Pada suatu bahasan, ia merujuk ke the Almanac de Gotha: an enclosure for asses [Will to Power, 942-edisi revisi 1906 atau 1911; di dalam edisi Hrtle, catatan ini dibuang tanpa penjelasan] dan menyatakan dalam bagian lain, Ketika aku berbicara tentang Plato, Pascal, dan Goethe, aku tahu bahwa darah mereka mengalir dalam tubuhku [Edisi Musarion (1920-1929) diambil dari Collected Works, XXI, 98]

Dalam pandangan Nietzsche, darah orang Yunani, Prancis, Yahudi dan Jerman itu adalah darah leluhur yang mengalir dalam tubuh Superman yang ia ciptakan.

VII. Pengaruh Fenomenologi dan Eksistensialisme Terhadap Perkembangan Psikoanalisis Eksistensial dan Daseinsanalyse Sejarah psikologi bisa dianggap sangat tua jika dihitung sejak para filsuf Yunani kuno berspekulasi tentang ihwal kejiwaan) atau masih muda sekali (jika diukur dengan didirikannya laboratorium psikologi pertama oleh Wilhelm Wundt di Leipzig). Filsuf Demokritos (460-370 SM) sudah mulai dengan spekulasi bahwa jiwa terdiri atas atom-atom dan dalam gerakannya atom-atom itu saling bersentuhan atau berbenturan sehingga menimbulkan kualitas penghayatan tertentu. Aristoteles (384322 SM) yang sering dianggap sebagai peletak dasar pemikiran ilmiah juga pernah menyatakan pendapatnya tentang kejiwaan dan baginya psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan, tanpa merinci apa yang dimaksud dengan gejala kejiwaan. Pada umumnya apa yang dikemukakan oleh para filsuf Yunani kuno itu memang masih bersifat spekulatif belaka, namun demikian, perhatian terhadap ihwal kejiwaan sudah mulai menjadi pusat perhatian mereka. Kata psyche pun tidak tunggal artinya: rob, nafas, udara, warna-warni; sama sulitnya dengan usaha membatasinya dalam bahasa Indonesia: roh, jiwa, sukma, nyawa. Namun dari berbagai arti yang sering dipertautkan antara kata-kata itu dengan kata psyche terkesanlah betapa sulitnya membatasi muatan kata-kata tersebut Baru sejak Rene Descartes (1596-1650) psikologi lebih jelas batasannya, yaitu ilmu yang mempelajari gejala kesadaran. Dibanding dengan apa yang dikemukakan oleh Aristoteles jelaslah bahwa definisi psikologi menurut Descartes lebih terbatas lingkupnya. Kesadaran tentu lebih terbatas daripada kejiwaan. Fenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampilnya (asal kata bahasa Yunani, phenomenon, berarti penampilan. Meskipun kata fenomen telah digunakan oleh sejumlah filsuf sebelumnya, sejak Edmund Husserl (1859-1938), kata itu menjadi istilah dengan batasan yang jelas. Bagi Husserl fenomen ialah sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran kita. Maka fenomenologi menurut Husserl ialah cara pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu (objek)

sebagaimana tampilnya dan menjadi pengalaman kesadaran kita. Metode yang digunakan dalam pendekatan fenomenologi terdiri atas tahap intuisi, analisis serta deskripsi dan yang hasil keseluruhannya berupa deskripsi fenomenologis. Intuisi timbul secara langsung (direct) dan tanpa-antara (immediate) dari pemusatan perhatian terhadap fenomena dan analisis dilakukan terhadap unsur-unsur fenomena yang bersangkutan, sedangkan deskripsi ialah penjabaran dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Melalui intuisi juga terjadi reduksi gambaran (eidetic reduction) mengenai esensi (wesen) tentang sesuatu yang kita ketahui atau pelajari. Husserl menambahkan perlunya kita membebaskan diri dari segala praduga (prejudice, pre-judgment) sebelum melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin kita ketahui atau pelajari; maka objek yang bersangkutan harus seolah-olah dikurung (einklammerung, bracketing), sehingga segala praduga dan pra anggapan mengenai objek itu tidak mempengaruhi yang akan kita peroleh tentang objek itu. Proses ini oleh Husserl disebut e poche, yang artinya 'membisukan suara' yang mungkin pernah mempengaruhi pengetahuan kita terhadap pengetahuan kita terhadap objek yang bersangkutan. Berbeda dengan dualisme Descartes tentang manusia dan dunianya sebagai dikotomi subjek-objek, Husserl memanfaatkan konsep intensionalitas yang diajarkan oleh gurunya, Franz Brentano, yaitu bahwa 'semua tindakan mental bersifat intensional' (terarah, tertuju pada sesuatu). Artinya ada keterarahan atau ketertujuan tertentu pada setiap tindakan mental. Bagi Husserl rumus ini kemudian diperluas dengan menyatakan bahwa 'semua kesadaran bersifat intensional'; maka tidak ada 'kesadaran' selalu tertuju pada objek yang mengisinya. Demikian tidak mungkin ada kesadaran tentang 'takut' tanpa diisi oleh sesuatu yang tampil menakutkan, kesadaran 'takut' merupakan pengalaman yang menyatu dengan objek yang tampil menakutkan itu. Bagi orang lain boleh jadi objek yang sama tidak tampil menakutkan sehingga tidak mungkin menimbulkan kesadaran 'takut'. Kesadaran manusia adalah kesadaran yang terjalin dengan kesadarannya tentang berbagai hal (dated) dan keberadaannya dalam berbagai situasi (situated). Dunia manusia bukanlah sekedar kenyataan objektif melainkan merupakan lebenswelt, yaitu dunia sebagaimana dialami dan dihayatinya secara subjektif. Fenomenologi yang diajarkan Husserl ini berpengaruh terhadap perkembangan psikologi pada zamannya. Husserl tidak bertujuan menciptakan aliran atau mazhab baru dalam lingkungan psikologi, melainkan ingin menyempurnakan pendekatan yang digunakan oleh berbagai disiplin ilmu yang tergolong dalam humaniora, termasuk psikologi sebagai ilmu

yang mempelajari tingkah laku manusia dalam dunianya. Salah seorang eksponen fenomenologi di Belanda ialah F.J.J. Buytendijk, guru besar fisiologi dan psikologi membangkitkan minatnya untuk lebih mendalami studi tentang perilaku manusia sebagaimana tampil melalui tingkah laku manusia; namun demikian, tingkah laku itu tidak bisa direduksikan sekedar sebagai proses fisiologis atau sejumlah refleks belaka. Tidak ada gejala 'kepucatan' kecuali melalui penampilan seseorang yang sedang 'sakit gigi'. Begitulah ketubuhan adalah kenyataan fisik yang menunggal dengan penghayatan psikologik, kemanunggalan yang bisa dibedakan (distinct) tapi tak terpisahkan (inseparable). Karya Buytendijk yang terkenal berjudul "Algemene theorie der menselijke houding en beweging" (1948), disusul karya murid-muridnya yang dihimpun J.J Linschoten (1925-1964) dalam "Person en Wereld" (E.J Bijleveld, Ultrech, 1953) berdampak luas terhadap perkembangan psikologi fenomenologi di negeri Belanda. Di Perancis terkenal pandangan filsuf Maurice Merleau-Ponty (19081961). Karya utamanya "La phenomenologie de la perception" (1945) yang terjemahannya dalam bahasa (1962) dan Inggris of berjudul perception" du yang "Phenomenology comportemen"

"Structure (1942)

terjemahannya dalam bahasa Inggris berjudul "The Structure of Behaviour" 1963), sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi fenomenologi. Menurut pendapatnya, tingkah laku tampil melalui tiga taraf yang berbeda, yaitu masing-masing taraf fisik, vital dan psikis, tingkah laku pada taraf psikis memang terjalin pada kedua taraf lainnya namun tidak dapat dijelaskan semata-mata sebagai kelanjutan dari berbagai proses pada taraf fisik dan vital belaka. Misalnya, kalau 'melihat' diuraikan melulu sebagai proses fisik-biologis dimulai dengan rangsangan terhadap retina hingga ke pusat visual melalui penyampaian masukan yang majemuk dan seterusnya. Maka penjelasan itu secara empiris dapat dibenarkan, namun tidak mungkin uraian itu menjelaskan kenyataan fundamental bahwa 'saya melihat'. Mata belaka tidak melihat; 'saya melihat' dengan segala kelanjutannya. Sebaliknya, tidak mungkin tingkah laku psikis dilepaskan kaitannya dengan kedua taraf lainnya, karena sebagai proses melibatkan kedua taraf

itu, demikianlah tidak mungkin berfikir atau berkhayal berlangsung tanpa keterlibatan taraf fisik-biologis. Uraian Merleau-Ponty tentang manusia dan dunianya, serta melalui persepsi pula dapat dipahami dialektik antara keduanya. Dialektik tersebut berlangsung sebagai proses perseptual. Melalui persepsi terjadi keterjalinan antara manusia dan dunianya serta saling mempengaruhi antara keduanya. Perlu ditambahkan bahwa Merleau Ponty juga menerima konsep lebenswelt sebagaimana diartikan oleh Husserl. Pengaruh fenomenologi terhadap psikologi semakin menguat sejak berjalan seiring dengan berkembangnya eksistensialisme sebagai filsafat yang menempatkan manusia sebagai pusat orientasi dan menjadikan perikehidupan manusia sebagai tema utama. Seperti halnya ada sejumlah filsuf dengan batasan masing-masing mengenai kata fenomena, maka eksistensialisme juga merupakan sebutan bagi serumpun filsuf dengan ragam pemikirannya masing-masing . Narnun demikian, filsafat yang mereka kembangkan beranjak dari cara pandang yang sama, yaitu bahwa filsafat tentang manusia harus menjadikan manusia sebagai pusat orientasinya. sebagaimana Dalam filsafat ini oleh manusia Martin dirumuskan

Heidegger (1988-1976), dipandang sebagai keberadaan dalam dunia (in der welt sein); dunia manusia merupakan dunia bersama (mit-welt) karena dia barus berbagi dengan manusia lain untuk menghuni dunianya itu. Heidegger sering dijuluki sebagai filsuf yang' gelap" karena rumitnya uraiannya serta banyaknya pemikirannya yang diandalkan pada kata-kata yang khas diangkat dari bahasa Jerman. Karya utamanya "Sein und Zeit" (1927) baru berhasil diterbitkan terjemahannya dalam bahasa Inggris pada tahun 1962. Dibandingkan dengan Heidegger atau filsuf eksistensialis lainnya, jauh lebih terkenal nama Jean-Paul Sartre (1905-1980). Disamping "L'etre et Ie neant" (1943) dan "L'imaginaire; psychologie phenomenomologique de l'imagination" (1940), masing-masing diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul "Being and Nothingness" (1956) dan "The psychology of imagination" (1948). Satu bab dari "Being and Nothingness" kemudian diterbitkan secara terpisah dengan judul

"Existential Psychoanalysis" yang menyajikan pendekatan berbeda sekali dengan psikoanalis gaya Freud Seperti halnya Merleau-Ponty, Sartre pun memberikan perhatian besar pada kenyataan bahwa eksistensial manusia merupakan keberadaan secara bertubuh. Kita hadir sebagai ketubuhan dan melalui kenyataan bertubuh itu kita juga hadir bagi orang lain, terpandang oleh orang lain, bahkan tidak bisa menghindar dari pengamatan orang lain. Ketubuhan itu juga menjadi sasaran pandangan orang lain yang seringkali bersifat distortif dan degradatif terhadap keberadaan saya sebagai pribadi, karena oleh kehadiran bertubuh itu saya cenderung diperlukan sebagai objek oleh orang lain. Sartre cenderung menganggap pandangan orang lain menutup kemungkinan bagi perkembangan sebagai pribadi yang bebas. Banyak pernyataan Sartre yang menggambarkan pandangan pesimistik mengenai kehadiran orang lain. Dari "Being and Nothingness" dapat diangkat kutipan-kutipan seperti: "My original fall is the existence of the other"; atau ... "the other is the hidden death of my possibilities", atau lainnya lagi "My being-for-theother is a fall through absolute emptiness towards being an object". Sedangkan salah satu drama gubahannya (No exit) diakhiri dengan pernyataan "Hell is other people", semua itu menggambarkan pesimisme Sartre tentang orang lain sebagai sumber reduksi dan objektifikasi terhadap dirinya. Berbagai penghayatan tersebut erat kaitannya dengan eksistensi atau yang menunggal dengan ketubuhan. Segala yang menggejala melalui tubuh kita tidak mungkin diperlakukan sebagai kenyataan objektif belaka dan dipisahkan dari penghayatan kita sebagai keseluruhan subjektif. Apa yang terungkap melalui tubuh saya adalah saya, dan melalui tubuh pula saya mestinya ditemui orang lain sebagai kehadiran subjektif, lebih dari kenyataan objektif belaka yang tertangkap oleh pandangan orang lain. Dalam bukunya "Existentialism and Humanism" (terjemahan bahasa Inggris pertama terbit tahun 1948) dijelaskan apa arti 'subjektivitas'. Baginya eksistensialisme bertolak dari asas pertama, yaitu: Man is nothing else but that which he makes of himself". "Thus, the first effect of existentialism is that it puts every man in possession of himself as he is, and places the entire responsibility for his existence squarely upon his own shoulders dan sebagai kelanjutannya ..man cannot pass beyond human subjectivity. Kalimat terakhir ini menegaskan betapa subjektivitas tak terpisahkan dari eksistensi manusia; peragaan manusia bukanlah sekedar penampilannya sebagai badan yang objektif belaka, melainkan sebagai tubuh yang dihayatinya secara subjektif. Saya tidak menyambut uluran tangan seseorang menjabat sebuah tangan belaka tanpa menyadari bahwa yang saya sambut seseorang dan jabatan tangan itu disertai oleh penghayatan subjektif kita masing-masing.

Di samping sebagai filsuf dengan berbagai karya utamanya, Sartre juga seseorang sastrawan yang produktif menulis novel dan mengubah drama tentang berbagai masalah manusiawi, sehingga alam pikirannya lebih mudah ditangkap dan difahami oleh khalayak yang lebih luas. Ketajamannya menguraikan perilaku manusia dalam berbagai situasi atau; manusia dalam dunia yang dihuninya melalui nobel dan dramanya menunjukkan keberhasilan untuk secara konsisten memadukan metode fenomenologi dengan cara pandangnya sebagai eksistensialis. Maka dibandingkan dengan berpikir eksistensialis lainnya, pengaruh alam pikiran Sartre lebih kentara dan meresapi berbagai bidang studi yang berurusan dengan perilaku dan penghayatan manusiawi. Pengaruh eksistensialisme dalam psikoterapi menonjol melalui pendekatan Daseinsanalyse yang diajarkan oleh Ludwig Binswanger (18811966) berbagai konsep Heidegger dimanfaatkan oleh Binswager untuk mengembankan pemahaman mengenai Daseinsanalyse. Bertolak dari formula Heidegger bahwa Mensch sein istder-weltsein dan Mensch sein istder-mit-sein sehingga dunia manusia niscaya merupakan Mit welt maka Biswanger merinci dunia manusia lebih lanjut berbagai Umwelt, yaitu dunia fisik dan alamiahnya, Mitwelt, yaitu dunia yang dihuninya bersama orang lain, dan Eigenwelt, yaitu dunia yang menjadi hunian bagi dirinya sendiri. Umwelt merupakan kenyataan sebagai lingkungan yang turut berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Kebersamaan beberapa orang dalam sesuatu Umwelt belum tentu berarti terjadinya transformasi dunia itu sebagai Mitwelt; transformasi itu terjadi manakala mereka menghayatinya sebagai dunia bersama (shared world). Dalam psikoterapi upaya terpenting ialah memahami Eigenwelt seseorang yaitu dia sebagai dasein dalam dialog dengan dunianya sendiri. Betapapun juga setiap orang merupakan pusat bagi dunianya sendiri, dan dari pusat itulah dia menjalin dirinya dengan orang lain; dari pusat itulah dia membangun suatu Mitwelt sebagai dunia bersama orang lain; dirinya menjadi pusat semua dialog yang dikembangkannya. Kesadaran diri sebagai dasein menjadi dasar bagi kesadaran identitas diri untuk selanjutnya berkembang sebagai pribadi yang unik (being oneself in order become a unique person) setiap pribadi sadar akan kemampuannya berkembang untuk menjadi dirinya sendiri; namun kemampuan itu terbuka keleluasaan baginya untuk mengembangkan diri sendiri sejatinya; kesejatian dirinya makin tersembunyi apabila arah perkembangannya dipaksakan terhadap dirinya. Kalau dasein diartikan sebagai keberadaan (being) dalam arti luas maka terdapat modalitas keberadaan yang perlu diadakan, masing-masing being-able-to-be, being-allowed-to-be dan having-to-be, kalau yang pertama berlangsung dalam kebebasan manusia untuk menentukan sendiri apa yang menjadi pilihannya, maka yang ketiga dipaksakan sebagai imperatif

dan mengingkari kebebasannya untuk membuat pilihan sendiri. Karena keberadaan sebagai manusia adalah keberadaan dalam kebersamaan, maka yang paling sering dihadapi seseorang ialah modalitas kedua, yaitu sebagai pengalamannya dalam kebersamaan dengan orang lain, sejauh kesertaan segenap subjek dalam kebersamaan itu tidak saling mengekang kebebasan masing-masing untuk tampil dengan kesejatian dirinya. Tepat sekali apa yang dilukiskan oleh filsuf Feuerbach bahwa manusia menjadi manusia karena bersatunya Aku dan Kau (die einheit von Ich und Du). Tidak semua modus kebersamaan memberikan keleluasaan bagi tampilnya kesejatian diri pribadi; hanya kebersamaan yang tidak mengingkari setiap subjek sebagai konstituennya merupakan kebersamaan yang kondusif bagi menjelmanya kesejatian diri pribadi; demikian itulah kebersamaan yang bertahan justru karena masing-masing subjek yang terlibat di dalamnya merasa berada dalam Suasana saling meleluasakan (in an atmosphere of mutual letting-be) untuk tampil dengan kesejatiannya sendiri-sendiri. Kebersamaan ini tepat sekali diwakili oleh kata 'Kita'; ke-Kita-an tidak menyangkal kehadiran masing-masing subjek sebagai 'aku', yang dalam keterlibatan itu mengada bersama dengan subjek lainnya sebagai 'kau'. Dalam 'ke-Kita-an' tidak terjadi kekangan terhadap 'Aku' sebagai akibat keterlibatannya dengan 'kau'. Kebersamaan dalam modus 'kita' tidak meniadakan kesadaran yang membedakan antara kehadiran 'Kau' dengan 'Aku' kendatipun keduanya saling terlibat. Sebagaimana diutarakan oleh Laing: "The fact that the other in his own actuality maintains his otherness by remaining to be the other is set against the equally real fact that may attachment to him makes him part of me". Ini berarti bahwa dalam modus 'Kita', 'Aku' dan 'Kau' bertahan sebagai pribadi dengan identitas diri masing-masing, tanpa adanya tuntutan 'Kau' dan menjadi 'Aku' atau sebaliknya. Andaikata pun keterlibatan dalam ke-Kita-an menimbulkan momenmomen sengketa, maka cirinya ialah sebagaimana yang oleh Jaspers disebut "lie bender struggle". Lain halnya modus kebersamaan yang kita sebut 'kami', yaitu kebersamaan yang hanya bisa dihayati sebagai kebersamaan yang eksklusif, yaitu kebersamaan yang secara sadar, 'menyingkirkan' mereka yang tidak termasuk di dalamnya. Modus 'Kami' selalu disertai kesadaran tentang adanya "Dia" atau "Mereka". Inilah perbedaan utama antar modus 'Kita' dan 'Kami' yang pertama sebagai konfigurasi 'Aku' dan 'Kau' bertahan tanpa perlu disertai kesadaran adanya 'orang ketiga' di luarnya, sedang yang kedua justru terbentuk dengan kesadaran eksklusif terhadap 'orang ketiga' ('Dia' atau 'Mereka'). Pada analisa akhirnya, kebersamaan dalam modus 'Kami' di luarnya justru oleh saling objektifikasi, mereka yang tergabung

dalam 'Kami' menghayati kebersamaannya sebagai objek dalam pandangan pihak di luarnya, dan sebaliknya merekapun memperlakukan pihak di luarnya dengan kecenderungan objektivikasi. Keberadaan dalam modus 'Kami' memaksa subjeknya masing-masing untuk berbagi kebersamaan yang diobjektivikasikan dan dengan demikian juga direduksikan kesejatiannya sebagai subjek. Keterlibatan dalam 'Kami' menuntut kesediaan subjeknya masing-masing untuk berada dalam suasana anonim dan tanpa keleluasaan untuk aktualisasi-diri. Keberadaan dalam 'Kami' menempatkan subjeknya dalam kondisi imperatif "having-to-be" bukan dalam keleluasaan "being-allowed-to-be', kendatipun masing-masing subjek yang terlibat di dalamnya tidak kehilangan kesadaran "being-able-to-be". Keberadaan individu dalam modus 'Kami' menjadikannya sebagai 'orang lain' seperti apa yang oleh Ortega Y Gasset disebut 'otheration' yang tentunya tidak dapat dipertahankan terlalu lama. Misalnya : suatu massa merupakan kebersamaan dengan modus 'Kami', karena semua orang di dalamnya dikenai oleh proses massivikasi, maka dalam suatu demonstrasi massa seseorang cenderung berkelakuan seperti anggota massa lainnya, bahkan mungkin dia akan melakukan tindakan yang sangat boleh jadi pantang baginya jika dia seorang diri saja, dalam massa dia (sementara) tidak berpedoman pada norma perilakunya sendiri melainkan harus menyesuaikan diri dengan perilaku orang lain dalam massa itu. Perhatikan juga misalnya perilaku seseorang dalam suatu kampanye politik, bukankah dia harus berkelakuan sesuai dengan tuntutan golongannya sebagai suatu wujud 'Kami' yang berbeda dengan semua 'Mereka' di luarnya. Demikianlah dalam modus 'Kami', 'Aku' terpasung dalam kebersamaan dengan orang-orang lain dan cenderung menyesuaikan perilakunya dengan apa yang menjadi tuntutan dalam kebersamaan itu. Oleh karenanya keberadaan dalam 'Kami' hanya bersifat sementara, setiap saat bisa timbul kecenderungan individu untuk 'melepaskan diri' dari jeratan 'Kami' , agar pulih keleluasaannya untuk tampil dengan kesejatian pribadinya sendiri. Penghayatan tenggelamnya diri sendiri dalam kebersamaan dengan 'orang banyak' (Heidegger: Das Man) dan terhanyutnya 'Aku' menjadi seperti orang lain (Ortega Y Gasset: otheration) tentu bukan kondisi yang nyaman, dan pada kesempatan pertama niscaya cenderung ditinggalkan. Kesempatan itu tergantung pertama-tama dari kesiapan 'Aku' untuk meninggalkan ketenggelamannya dalam massa dan pembebasannya dari jeratan orang lain agar dapat memulihkan kesejatiannya sebagai eksistensi subjektif. Adanya dua modus kebersamaan tersebut justru menguatkan pendapat beberapa filsuf (Nietzsche: "The You is older than the I", Heidegger: "Mensch-sein is Mit-sein", Buber: Through the Thou a man becomes I, bahwa keberadaan sebagai

manusia hanyalah mungkin dalam kebersamaan dengan manusia sesamanya, apakah modus kebersamaan itu 'Kita' atau 'Kami'. Sebab keberadaan dalam 'Kami' pun ada nilainya yang pada waktunya dapat dimanfaatkan oleh individu. 'Kami' bisa menjadi tempat individu berlindung dalam anonimitas, sehingga dia terbebaskan dari keharusan untuk memikul tanggung jawab sendiri; 'Kami' bisa menjadi suaka yang memberikan rasa aman pada saat individu untuk melakukan refleksi dan mengalami metamorphosis guna menemukan kembali kesejatian diri pribadinya. 'Kami' bisa merupakan kebersamaan sementara bagi 'Aku' yang sedang mengalami kekaburan identifikasi diri untuk tampil dengan kesejatiannya sendiri. Pada analisis akhirnya dapat disimpulkan bahwa 'Aku' sadar diri oleh hadirnya 'Kau'. Demikianlah rumus dasar eksistensialisme yang diutarakan Heidegger "Mensch-sein ist Mit-sein" dan 'Mensch-welt ist Mit-welt" sesuai dengan kondisi manusia dalam dunianya.

VIII. Ikhtisar Eksistensialisme adalah sebuah aliran filsafat dewasa ini yang pengaruhnya sangat luas. Aliran ini berhasil meninggalkan menara gading filsafat sendiri dan meresapi banyak bidang di luar filsafat, seperti: psikologi, seni lukis, sastra, drama, dan sebagainya. Eksistensialisme muncul sesudah Perang Dunia II. Di antara para eksistensialis, masih dapat kita beda-bedakan macam-macam eksistensialisme (religius humanis, kristiani, ateis, dll). Pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret, lokal, dan bukan abstrak, konseptual, universal, sebagaimana dimengerti oleh filsafat abad-bad yang silam. Perang Dunia membenarkan permenungan filosofis pada kenyataan konkret. Oleh karena itu, permenungan rasionalistis Descartes yang menegaskan, Saya berpikir, maka saya ada segera dibalikkan oleh para eksistensialis dengan pernyataan, Saya ada, maka saya berpikir. Hampir dalam kurun waktu yang sama, muncul pula aliran fenomenologi yang juga bereaksi terhadap idealisme. Edmund Husserl, dengan karya pokoknya, Logical Investigations, mau mengembalikan pengenalan ke sesuatu yang lebih objektif, lebih logis, yaitu dengan analisis hubungan antara subjek-objek dengan kembali ke hal-hal itu sendiri, ke gejala yang menampakkan diri dan ditangkap oleh intensionalitas subjek. Sementara itu, muncul juga aliran filsafat bahasa yang menguraikan struktur dan pola pengetahuan. Aliran ini mau menghindari bahasa metafisis dan mengoreksi Descartes dengan mengatakan abhwa istilah pikiran itu menunjuk pada kata kerja yang dipakai untuk kata benda.

Ketiga aliran ini (eksistensialisme, fenomenologi, filsafat bahasa) dipandang sebagai suatu keseluruhan, memberi sumbangan khas bagi refleksi filosofis abad ini. Fenomenologi meminati hubungan subjek dan objek pengetahuan, sedangkan filsafat bahasa menyoroti objek. Eksistensialisme justru memusatkan perhatiannya pada subjek. Sementara fenomenologi menjelaskan hubungan subjek-objek dengan intensionalitas dan filsafat bahasa memberi batas-batas pada kecenderungan spekulatif, eksistensialisme menandaskan pentingnya keterlibatan eksistensial dalam pengalaman manusiawi.

Permainan
Modul IX

Sub Materi:
Apakah Permainan Itu? Fungsi Permainan Permainan dan Perlombaan Permainan dan Kebudayaan Kritik atas Kebudayaan Modern Permainan dan Pembebasan Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

PERM AI N AN
Sekarang ini tidak sedikit kita bisa menemukan buku yang berbicara tentang permainan dari pelbagai sudut pandang. Salah satu buku yang mulai menyoroti tema ini dan sekarang sudah dianggap sebagai karya klasik adalah Homo Ludens. Juga Proeve eener bepalinguon hetspel-element der cultuur (1938), karangan sejarawan Belanda terkenal yang mendapat pengakuan internasional, Prof. Johan Huizinga. Manusia sapiens, sudah manusia lama disebut homo arif yang memiliki akal budi sehingga dengan semua hidup Nama manusia homo demikian makhluk yang Iain lain. untuk adalah faber, mengungguli

menunjukkan

manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan malah menciptakan alat-alatnya sendiri. Huizinga ingin mempelajari manusia sebagai homo ludens, manusia yang bermain. Khususnya ia ingin menyelidiki kaitan antara permainan dan kebudayaan. Untuk itu ia dapat mempergunakan pengetahuannya yang sangat luas. Ia berbicara tentang berbagai aspek sejarah kebudayaan Eropa, tapi juga tentang kebudayaan Tiongkok, Jepang, India, dan Arab, dilengkapi dengan banyak data antropologi budaya. Berikut ini disampaikan garis-garis besar pemikirannya dan hanya satu dua kali menunjuk kepada material historis dan etnologis yang amat kaya itu.

I. Apakah Permainan Itu? Huizinga tidak mengajukan teori khusus tentang permainan. Malah ia menyisihkan teori-teori yang pernah diberikan dari sudut pandang biologis dan psikologis karena dianggap tidak memadai. Pengertian kita yang biasa tentang permainan lebih kaya daripada yang dikatakan oleh teori-teori itu. Tapi tentu ia harus

mengeksplisitkan pengertian biasa tersebut. Apa yang kita maksudkan dengan "permainan"? Apa ciri-ciri khasnya? Ternyata tidak gampang menganalisis pengertian itu. Banyak pertentangan yang sering kita pakai di sini tidak pada tempatnya. Misalnya, sebagai salah satu ciri khasnya, dapat kita katakan bahwa permainan adalah fun. Huizinga menganggap kata lnggris itu paling tepat, meski sukar diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia, barangkali dapat kita katakan bahwa fun menunjukkan semacam kombinasi dari "lucu" dan "menyenangkan". Tapi tidak dapat dikatakan bahwa main itu tidak bisa serius. Anak-anak yang main, pemain-pemain sepakbola atau pemain-pemain catur sering kali sangat serius. Permainan melebihi pertentangan antara "lucu" dan "serius", seperti permainan melebihi juga pertentangan antara "benar" serta "tidak benar" dan "baik" serta "jelek". Permainan itu sendiri tidak berkualifikasi etis. Bila kita coba menganalisis arti "permainan", kita sampai pada ciri-ciri berikut ini:

a. Bermain selalu terjadi secara spontan. Permainan yang sesungguhnya tidak


mungkin diperintahkan. Permainan termasuk suasana waktu luang. Permainan adalah "bebas", bukan suatu tugas dan karena itu setiap saat dapat ditangguhkan atau dibatalkan.

b. Dengan bermain, orang seolah-olah keluar dari kehidupan yang biasa atau
kehidupan yang sebenarnya. Anak kecil sudah tahu bahwa permainan itu "cuma permainan" dan tidak sungguhan. Permainan tidak mengejar kepentingan yang berada di luar permainan itu sendiri. Permainan melengkapi dan memperhiasi kehidupan yang nyata dan karena itu memang perlu, tapi keperluan itu termasuk tahap lebih tinggi ketimbang kebutuhan material apa pun. Permainan tidak mempunyai "kegunaan".

c. Permainan mempunyai batas-batasnya sendiri, baik menurut waktu maupun


menurut ruang. Keterbatasan itu mengakibatkan permainan berdiri sendiri, terlepas dari kegiatan-kegiatan lain. Keterbatasan menurut waktu tampak, karena permainan mulai pada saat tertentu dan selesai pada saat tertentu. Antara awal dan akhir tersebut, permainan berlangsung sebagai gerak timbal balik antara beberapa kutub. Gerak tersebut menuju puncak dan akhirnya selesai. Permainan mengisi semacam selingan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih mencolok lagi adalah keterbatasan menurut tempat. Permainan berlangsung dalam ruang lingkup yang dipatoki menjadi suatu wilayah tersendiri, entah secara riil atau secara imajiner. Yang terakhir sering dapat kita saksikan bila yang bermain

adalah sekelompok anak. Yang pertama tampak misalnya dalam teater, panggung sandiwara, bioskop, layar putih, stadion, dan sebagainya.

d. Ciri lain adalah bahwa permainan menciptakan orde atau keteraturan. Permainan
mewujudkan kesempurnaan terbatas dalam dunia yang serba tak sempurna dan penuh kekacauan ini. Permainan cenderung ke arah estetis: mau menjadi indah. Irama dan harmoni merupakan dua sifatnya yang paling luhur. Di sini secara khusus kita teringat akan tarian. Di samping itu, permainan ditandai juga ketegangan, bahkan ketegangan merupakan salah satu faktor penting dalam kebanyakan permainan. Ketegangan itu meliputi ketidakpastian dan peluang. Hal itu tampak jelas dalam perjudian dan pertandingan olahraga.

e. Ini semua mengantar kita ke ciri berikut: setiap permainan mempunyai aturanaturannya. Aturan-aturan itulah yang menentukan apa yang akan berlaku saat berlangsung permainan. Aturan-aturan itu mengikat sama sekali dan tidak mungkin ditawar-tawar. Melanggar aturan-aturan itu berarti seluruh dunia permainan akan ambruk. Utamanya, karena adanya aturan-aturan itu, permainan cenderung membentuk suatu "masyarakat bermain" yang melampaui waktu permainan saja. Dalam konteks permainan, mudah tercipta klub-klub atau juga kelompok-kelompok yang tidak begitu formal. Kerap kali kelompok-kelompok itu diikat oleh suatu rahasia. Terjadi juga bahwa mereka dengan memakai topeng atau pakaian seragam melepaskan diri dari dunia biasa.

II. Fungsi Permainan Dalam bentuknya yang lebih tinggi, permainan terutama mempunyai dua fungsi. Permainan adalah pertandingan yang diadakan untuk merebutkan sesuatu atau permainan adalah pertunjukan yang diadakan untuk memperlihatkan sesuatu. Dua fungsi ini mudah digabungkan. Pertandingan bisa menjadi pertunjukan dan pertunjukan bisa menjadi perlombaan. Dalam konteks ini, Huizinga berbicara tentang kultus dalam kebudayaankebudayaan arkais. Kultus atau upacara-upacara suci sebagai pertunjukan jelas mempunyai ciri-ciri permainan. Pertunjukan tersebut menunjukkan sesuatu yang mistis. Yang mengambil bagian dalam kultus akan meyakini dapat memperoleh keselamatan. Tentang hal itu dapat dikemukakan contoh-contoh yang berasal dari segala penjuru dunia. Menurut ajaran Tionghoa kuno, misalnya, tarian dan musik bertujuan untuk mempertahankan dunia dan menaklukkan alam kepada manusia. Pertandingan-pertandingan yang menyertai pesta-pesta musim baru, berfungsi untuk menjamin panen yang baik. Menurut Plato (Nomoi, VIII), manusia dijadikan sebagai

mainan para dewa dan dengan persembahan. nyanyian serta tarian, ia harus bermain untuk memikat hati dewa-dewa. Menurut beberapa seginya, upacara suci selalu telah dianggap sebagai permainan, namun dengan itu sifat kudusnya tidak ditiadakan.

III. Permainan dan Perlombaan Pengertian "permainan' yang dianalisis di atas, dalam semua bahasa tidak ditunjukkan dengan satu kata. Kadang-kadang terdapat pelbagai kata yang menunjukkan pelbagai aspek dari "permainan". Bahasa Inggris, misalnya, mempunyai play dan game. Huizinga menyelidiki cukup banyak bahasa dari sudut pandang ini. Bahasa Yunani kuno mengenal tiga kata. Yang paling penting adalah paidia (yang berkaitan dengan kata
u

anak", tapi tidak hanya menunjukkan

permainan-permainan anak, sebab dipakai juga untuk permainan-permainan sakral umpamanya; rupanya nada umum kata ini adalah kegembiraan dan kesenangan) dan agon yang berarti lomba atau pertandingan. Untuk dua kata itu, bahasa Latin hanya memakai satu kata, yaitu ludus. Ada sementara kritisi yang menandaskan bahwa dua kata Yunani tersebut menunjukkan dua hal yang tidak boleh dicampuradukkan. Huizinga menolak kritik itu: lomba adalah permainan, di Yunani kuno, tapi juga di semua tempat lain. Di Yunani, lomba mempunyai fungsi kultural yang tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan: permainanpestasakralitas. Menurut Huizinga, dalam masyarakat Yunani, sudah dini sekali lomba memperoleh tempat yang amat sakral dan umum sehingga dianggap biasa saja dan tidak lagi disadari sebagai "permainan". Tidak jarang dikatakan bahwa semangat berlomba adalah ciri khas kebudayaan Yunani kuno. Menurut pendapat itu, kebudayaan Yunani adalah kebudayaan pertama di dunia yang ditandai semangat berlomba dan tidak pernah terdapat kebudayaan di mana perlombaan menentukan semua aspek kehidupan seperti di Yunani. "Menjadi yang paling baik dan mengungguli semua orang lain"seperti dikatakan Homeros dalam Mas VI, 208merupakan cita-cita orang Yunani selama banyak abad. Di antara mereka yang menganggap semangat berlomba sebagai ciri kebudayaan Yunani yang paling penting termasuk juga sejarawan Swiss tersohor, Jacob Burckhardt (1818-1897), terutama dalam bukunya Griechische Kulturgeschichte yang terbit sesudah ia meninggal. Dan memang benar, dalam masyarakat Yunani kuno, perlombaan merupakan ciri yang sangat mencolok, seperti dalam zaman kita sekarang masih diingatkan kembali setiap kali diadakan Olympic Games. Tapi Burckhardt belum mengenal data-data etnologis tentang kebudayaan-

kebudayaan arkais lainnya yang dikumpulkan dan disistematisasi oleh ilmu seperti antropologi budaya. Dengan pengetahuan yang kita miliki, sekarang tidak dapat disangkal lagi bahwa perlombaan adalah salah satu unsur dalam hampir semua kebudayaan. Apa yang oleh para antropolog disebut sebagai potlatch membuktikan bahwa dalam masyarakat-masyarakat arkais pun semangat berlomba memegang peranan penting. Potlatch adalah nama yang dipakai antropologi budaya untuk menunjukkan adat kebiasaan yang terdapat pada suku-suku Indian di Kolombia Inggris dalam pelbagai variasi. Dalam bentuk yang terdapat pada suku Kwakiutl, potlatch adalah pesta meriah di mana satu kelompok dengan cara besar-besaran memberikan hadiah-hadiah kepada kelompok lain dengan maksud memperlihatkan keunggulannya. Satu-satunya kewajiban ialah bahwa kelompok kedua dalam jangka waktu tertentu harus membalasnya dengan pesta sejenis dankalau mungkin berusaha mengungguli kelompok pertama. Pesta itu mempunyai kedudukan sentral dalam kehidupan suku dan disertai rupa-rupa upacara, tapi pemberian hadiah dengan cara besar-besaran itu selalu merupakan unsurnya yang paling penting. Kelompok yang tidak membalas dengan kemurahan setimpal ataukalau bisa lebih besar lagi akan kehilangan nama baiknya bersama dengan semua haknya. Dengan cara demikian, barang milik suku terus-menerus beredar di antara klan-klan yang terkemuka. Variasi lain adalah bahwa satu kelompok menghancurkan sebagian harta bendanya, sehingga kelompok lain terpaksa harus menghancurkan bagian lebih besar lagi. Antropolog Prancis, Marcel Mauss, dalam bukunya Essai sur le don (1923) telah memperlihatkan bahwa kebiasaan-kebiasaan sejenis membekas dalam kebudayaan-kebudayaan yang tersebar di seluruh dunia. Epos India Mahabharata, misalnya, ditafsirkannya sebagai "kisah tentang potlatch raksasa."

IV. Permainan dan Kebudayaan Permainan tidak merupakan monopoli manusia. Binatang pun bermain, bukan saja sendiri melainkan juga dalam bentuk sosial. Cukuplah kita mengobservasi dua anjing muda yang sedang bermain, untuk dapat menentukan semua ciri hakiki permainan. Tidak dapat disangkal, permainan lebih tua dari kebudayaan, karena sudah ditemukan pada taraf bawah-manusiawi. Tesis yang dikemukakan Huizinga dalam bukunya adalah bahwa kebudayaan timbul dan berkembang dalam suasana permainan. Juga kegiatan-kegiatan manusia yang langsung ditujukan pada pemenuhan kebutuhan hidup, seperti perburuan umpamanya, pada awal mulanya timbul sebagai permainan. Dalam masyarakat-

masyarakat arkais, kegiatan-kegiatan seperti itu "dimainkan". Jadi, Huizinga tidak bermaksud mempelajari permainan sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan manusiawi di antara sekian banyak unsur lain. Ia juga tidak bermaksud mengatakan bahwa pada suatu saat permainan menjadi kebudayaan atau bahwa kebudayaan merupakan buah hasil permainan. Maksudnya adalah bahwa kebudayaan tumbuh dalam permainan dansetidak-tidaknya pada mulanyatetap tinggal dalam suasana permainan. Permainan dan kebudayaan membentuk keadaan dwi-tunggal. Apa yang dari perspektif historis kita menilai sebagai kebudayaan secara konkret merupakan permainan. Dalam masyarakat-masyarakat arkais, kenyataan itu tampak dengan cara paling jelas dan paling menarik. Tapi sepanjang perkembangan kebudayaan, keadaannya berubah. Pada umumnya dapat dikatakan, makin maju suatu kebudayaan makin lemah peranan permainan di dalamnya. Tendensi umum suatu kebudayaan adalah menjadi semakin "serius". Dengan perkembangan kebudayaan, permainan "melarut" ke dalam bentuk-bentuk kultural yang sudah menjadi mantap seperti agama, kesenian, ilmu pengetahuan, tata susunan kehakiman, dan kenegaraan. Dengan demikian, unsur permainan hampir seluruhnya terpendam dalam gejala-gejala kultural tersebut. Tetapi juga dalam kebudayaan tingkat tinggi selalu bisa terjadi bahwa permainan tampil lagi dengan hebatnya, sampai menyeret pribadi-pribadi maupun massa. Patut ditambahkan lagi bahwa permainan yang menandai permulaan kebudayaan hampir selalu berlangsung secara antitesis, artinya antara dua kelompok. Dalam hal ini, "antitesis" tidak perlu sinonim dengan "antagonistis", artinya pertentangan yang berbentuk persaingan dalam usaha meraih kemenangan. Tarian dan nyanyian, misalnya, umumnya tidak bersifat antagonistis dalam arti bahwa yang satu hendak mengungguli yang lain, namun demikian umumnya dilakukan juga dalam bentuk "dialog" antara dua kelompok. Tapi tentu saja, keadaan antitesis itu paling kentara bila menjadi antagonistis, seperti halnya dalam perlombaan. Masyarakat primitif sering mengenal semacam dualisme sosial: suku terdiri dari dua kelompok atau klan yang di segala bidang memainkan peranan yang bertentangan. Dualisme ini bisa juga diperluas sampai dalam ranah kosmis, seperti halnya dengan prinsip Yin dan Yang dalam kebudayaan Tionghoa. Sebagian besar isi buku Huizinga menguraikan bagaimana fungsi-fungsi kultural yang terpenting timbul dalam suasana permainan. la memperlihatkan bahwa dalam proses terbentuknya kehidupan kemasyarakatan menurut segala seginya, permainan adalah suatu faktor yang sangat produktif. Untuk itu, ia mengemukakan dokumentasi etnologis dan historis yang sungguh mengesankan. Permainan seolah-

olah merupakan ragi yang mengakibatkan pelbagai bentuk kebudayaan arkais dapat tumbuh. Kultus keagamaan, misalnya, terbentuk dalam konteks permainan sakral. Puisi lahir dalam cakrawala permainan dan Huizinga mencatat bahwaberbeda dengan kebanyakan fungsi kultural lainpuisilah yang paling jelas masih mempertahankan sifatnya sebagai permainan sampai sekarang. Musik dan tarian pada awal mula tidak lain dari permainan. Dan dalam bidang ini pun, di zaman modern masih terlihat kecenderungan mempertahankan sifat permainan itu. Seperti halnya dalam banyak bahasa lain, dalam bahasa Indonesia juga kita mengatakan bahwa seseorang "main" piano atau gitar. Kebijaksanaan dan pengetahuan banyak bangsa dirumuskan pertama kali dalam permainan tanya jawab. Sebagai contoh yang tentu sudah tidak arkais lagi, Huizinga merujuk pada para Sofis di Yunani kuno dan dialog-dialog yang ditulis Plato. Hukum berasal dari permainan sosial, di mana dengan membuang dadu, umpamanya, nasib seseorang ditentukan. Pada awal mula, perang pun berlangsung dalam suasana permainan. Macam-macam aturan menguasai pertempuran antara dua kelompok. Kebanyakan fungsi sosial itu dibahas Huizinga dalam bab tersendiri. Dan ia sampai pada kesimpulan yang sama setiap kali: pada tahap-tahapnya yang pertama, kebudayaan "dimainkan".

V. Kritik atas Kebudayaan Modern Pada akhir bukunya, Huizinga membahas seluruh sejarah Eropa secara singkat dari periode Romawi hingga zaman modernsub specie ludi (dari sudut pandang permainan). Sebagai sejarawan yang berpandangan luas, ia tentu berbekal cukup untuk dapat menyingkatkan pemikirannya tentang periode modern sekarang ini. Hanya perlu diinsafi bahwa dengan sekarang ini di sini dimaksudkan untuk tahun 30-an, sebab bukunya terbit pada tahun 1938. Tidak bisa diragukan lagi, pandangan Huizinga tentang zaman modern sangatlah pesimistis. Dalam hal ini, situasi di Eropa menjelang pecah Perang Dunia II pasti memainkan peranannya. Unsur permainan semakin menghilang dari kebudayaan kita. Dalam sejarah Eropa, abad ke-18 masih merupakan zaman di mana permainan menempati kedudukan penting. Tapi sesudah itu, kebudayaan menjadi semakin serius. Permainan hampir tidak lagi menjalankan fungsi kreatifnya. Dipandang sepintas lalu, rupanya dalam masyarakat modern sekurangkurangnya ada satu bidang unsur permainan sangat menonjol, yaitu olahraga. Fungsi sosial olahraga sekarang sangat diperluas dan menyangkut banyak aspek kehidupan modem. Setiap zaman mengenal berbagai perlombaan, tetapi cara diselenggarakannya dengan klub-klub adalah hal baru. Permainan-permainan bola

yang besar, seperti sepakbola, yang memerlukan tim-tim yang dilatih baik dan mempraktekkan kerja sama yang optimal, baru berasal dari akhir abad ke-19 dan untuk pertama kalinya mulai berkembang di Inggris. Aturan-aturan menjadi semakin ketat dan prestasi-prestasi semakin ditingkatkan. Menurut Huizinga, dengan sistematisasi olahraga dan peningkatan prestasi, suasana permainan menghilang dari olahraga modem. Olahraga menjadi sangat serius. Hal itu tampak antara Iain dengan munculnya pemain-pemain profesional di samping amatir. Faktor kegunaan yang sebenarnya asing dari setiap permainan semakin kuat menguasai olahraga modem. Dan keterkaitan dengan dimensi sakral, yang menandai perlombaanperlombaan dalam masyarakat-masyarakat kuno, sama sekali tidak ada lagi. Semuanya ini berlaku juga untuk permainan-permainan kartu, di mana unsur "kebetulan" tidak pernah absen, dan permainan papan. Di sini, bridge dan catur adalah contoh-contoh yang mencolok. Lebih sulit untuk menentukan unsur permainan dalam kesenian modem. Di satu pihak kesenian kehilangan sifat spontannya, karena telah dijadikan unsur kebudayaan yang paling istimewa. Kesenian diatur dari luar: menjadi obyek kebijakan pemerintah atau mangsa media massa. Di lain pihak kesenian semakin ditandai esoterisme. Puisi, misalnya, diminati kelompok kecil yang agak tertutup. Dalam seni rupa, perkembangan rumit, di mana pelbagai-isme silih berganti, diikuti oleh sekelompok kecil peminat saja, walaupun sering diusahakan untuk "memasyarakatkan" kesenian. Di sini letaknya paralel dengan kekompakan "masyarakat bermain" yang merupakan syarat bagi setiap permainan. Dan bagaimana halnya dengan ilmu pengetahuan? Permainankita lihat pada permulaanberlangsung dalam lingkup permainan yang terbatas dan mengikuti aturan-aturan. Dilihat dari segi itu, praktek ilmiah yang modem mempunyai ciri-ciri permainan. Tetapi permainan juga terbatas dalam waktu, pada saat tertentu berakhir dan tidak mempunyai tujuan di luar dirinya sendiri. Dan semua ciri itu pasti tidak berlaku untuk ilmu pengetahuan. Apalagi, aturan-aturan bagi permainan tidak dapat diubah (meskipun dapat divariasi), sedangkan aturan-aturan ilmu pengetahuan senantiasa harus disesuaikan. Kita lihat juga bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya sangat serius. Karena semua alasan itu, ilmu pengetahuan modem jauh dari sikap bermain yang sejati.

VI. Permainan dan Pembebasan Inti dan arti permainan menurut Driyarkara adalah (penikmatan) kebebasan karena dan dalam pembebasan. Lihatlah lain-lain kesibukan manusia. Di situ

manusia menghendaki, menuju sesuatu dan aktivitas menjadi media. Aktivitas tidak dikehendaki sebagai aktivitas, melainkan karena tujuannya, karena pamrihnya. Sebab itu di situ manusia mengikat diri dengan dan oleh pamrih itu. Tak demikianlah halnya dalam permainan. Dalam permainan (selama tidak dirusak) manusia tidak menghendaki suatu pamrih, tidak menghendaki sesuatu di luar kesibukannya. Di situ manusia menghendaki aktivitasnya itu sendiri. Itulah yang membahagiakan. Lihatlah kalau anak-anak bermain sepak bola. Mereka hanya memerlukan permainan. Kalau menang tidak dihitung. Atau lihatlah anak-anak yang berlari-lari dalam hujan. Di situ anak-anak itu senang dengan aktivitasnya. Manusia itu tidak dengan sendirinya bebas dari pamrih. Dia harus membebaskan diri. Maka dikatakan bahwa permainan itu pembebasan, artinya pembebasan dari pamrih, dari suatu tujuan di luar aktivitas itu sendiri. Hasilnya adalah kebebasan. Dalam permainan yang murni, manusia bebas, merdeka. Tetapi, kebebasan itu tidak mutlak. Manusia hanya bebas sepanjang dia membebaskan dirinya. Setiap saat dia diancam "kejatuhan", dia bisa kehilangan pembebasannya itu. Membebaskan din adalah suatu usaha yang berat karena manusia selalu cenderung untuk mencari pamrih. Usaha ini bisa patah dan selalu cenderung untuk patah. Misalnya, manusia bisa "tergoda" oleh rasa tidak mau mengakui kekalahannya meskipun temyata kalah. Maka, akibatnya dia merasa jengkel. Sepanjang dia bebas (karena membebaskan diri), maka dalam permainan manusia menemukan dirinya dengan cara yang sewajarnya, artinya yang diperlukan bagi manusia dan sesuai dengan kodratnya. Dengan kata lain, dalam bermain manusia mengalami diri secara utuh (karena tidak dibagi-bagi oleh kepentingan ini atau itu), secara integral, secara total, tidak terpecah-pecah. Dia menjadi diri sendiri. Sebabnya justru karena dia menerima dan mengakui objektivitas: objektivitas dari permainan. Dia dalam suatu arti menyerahkan diri kepada objektivitas. Dia tidak membelokkan objektivitas ke arah kepentingannya. Akibatnya, dia bebas-merdeka. Pun dirinya sendiri dalam bermain diterima, diakui seperti apa adanya dan diserahkan sebagai objektivitas. Bandingkan dengan situasi lain, misalnya di mana manusia mencari kehormatan. Di situ manusia menjadi subjektif, pun dirinya sendiri tidak diterima dan diakui sebagai apa adanya, sebagai objektivitas. Pandangannya menjadi dikabuti oleh pamrih yang berupa kehormatan itu. Sebaliknya, dalam permainan, at least selama murni, di situ manusia melucuti diri dari nafsu, dari rasa yang mengganggu, yang menyebabkan disharmoni. Tampak di sini bagaimana sebenamya manusia itu. Dia mengalami bahagia, mengalami gembira justru karena menyerah kepada objektivitas. Dengan menyerah,

dia direbut sendiri. Dengan menyerah, dia menjadi kuasa. Dalam bermain, manusia menjadi manusia. Dalam arti inilah harus kita terima pernyataan bahwa permainan itu merupakan awal dari kebudayaan.

VII. Ikhtisar Fenomen insani permainan dibahas sekurang-kurangnya karena dua alasan penting. Pertama, karena oleh banyak ahli pikir permainan itu disebut permulaan kebudayaan; kedua, karena permainan mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Permainan adalah gejala umum dalam kehidupan manusia. Hal ini tampak dalam sejarah dan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita menengok sejarah, maka ingatlah kita pada Olimpiade Yunani, yang sekarang hidup kembali dalam olimpiade internasional, dalam Asian Games, dalam Ganefo, dan lain sebagainya. Sebetulnya dalam bentuk-bentuk permainan, seperti yang kita lihat dalam Olympiad, permainan sudah dikultivir, dibudayakan sehingga sulit dilihat bahwa permainan merupakan awal kebudayaan. Gagasan ini tidak berarti bahwa permainan berkembang menjadi kebudayaan (meskipun ini terjadi juga, seperti misalnya dalam sandiwara). Yang dimaksud ialah bahwa dengan bermain, jiwa manusia menjadi bangkit, bahwa unsur permainan dalam hidup kita merupakan syarat kebudayaan karena dengan dan dalam unsur itu manusia mengalami diri sebagai totalitas dan bebas, yang menjadi syarat munculnya kebudayaan. Dalam masyarakat kita ada banyak macam permainan. Jika terang bulan, anakanak di pedesaan (dahulu) berkumpul dan bermain-main bersama sampai jauh malam. Tetapi lepas dari zaman dahulu, sekarang pun kita masih melihat banyak permainan, seperti berbagai macam permainan dengan bola, dengan kartu, dan alat yang lain. Manusia tidak hanya bermain dengan gerak badan, tetapi juga dengan kata-kata (pantun), dengan logika (dagelan kerap kali untuk melihatkan kelucuan karena tidak ada logika); orang juga bermain dengan senyuman, mata, dan dengan fantasi. (Main mata dan main tahu sama tahu bukanlah permainan.) Setelah melihat gejala permainan, kita harus melihat problemnya. Di manakah letak inti dan arti permainan? Lihatlah, permainan adalah suatu human fenomen. Jadi, mengenai hal ini kita harus mempunyai pandangan yang mendalam dan sehat. Seperti kekayaan yang lain, begitu juga permainan kerap kali disalahgunakan, direndahkan, dan didevaluasikan. Bersama dengan itu, permainan tidak bisa dihindarkan. Maka, untuk menanggulangi devaluasi dan untuk memberi evaluasi

yang sewajarnya, kita memerlukan pandangan yang benar tentang permainan. Hanya kebenaranlah yang mampu membuat kita bebas dan merdeka. Untuk menyelami tabiat permainan, kita harus melihat dua unsur pokok yang ada di dalamnya yang menyebabkan permainan menjadi permainan dan mengurangi/menghilangkan kemurnian permainan, jika dua unsur itu dilebih-lebihkan atau dihilangkan. Dua unsur ini kita sebut Eros dan Agon. Eros (kata Yunani) artinya cinta. Agon artinya perjuangan, mengalahkan perlawanan, dan keperwiraan. Lihatlah manusia yang sedang asyik bermain (misalnya catur). Di situ pemain itu bersatu dengan permainannya, dia melekatkan diri pada permainannya, dan dia merasa bahagia dalam kesatuan yang erat itu. Nah, itulah peranan eros. Eros-lah yang menyatukan manusia dengan permainannya, membahagiakan karena penikmatan. Eros tidak pernah terpisah dari kebesarannya, yaitu agon. Tanpa agon tidak ada permainan, eros-pun tidak mungkin ada. Agon adalah dinamika untuk mengalahkan perlawanan, untuk mencapai keagungan ksatria-pahlawan. Hal ini sangat tampak dalam permainan, di mana manusia berkelahi dengan banteng. Di situ unsur agon sangat mencolok. Unsur agon inilah juga yang menyebabkan sepak bola sangat digemari. Di situ manusia bisa ikut serta dan menikmati pertandingan dengan bahaya yang hanya fiktif. Jadi, agon adalah unsur "peperangan", unsur perjuangan dalam permainan, tetapi unsur yang luhur. Berdasarkan agon, maka setiap permainan berarti usaha mengalahkan perlawanan (resistance). Juga dalam permainan yang dilakukan sendiri, tanpa lawan, unsur ini ada. Tanpa agon tidak ada permainan. Agon-lah juga yang menjadi prinsip pembelahan para pemain menjadi dua partai. Agon menuntut juga supaya lawan bisa melawan. Makin seimbang kekuatan lawan makin baiklah permainan. Berdasarkan agon pulalah, jika dalam permainan, orang membuat nilai-nilai fiktif untuk mengukur kemenangan. An sich tidak ada nilainya, apakah bola masuk gawang atau tidak. Tetapi masuknya bola dalam gawang itu dalam sepak bola dinyatakan sebagai nilai sehingga dikejar dengan mati-matian. Berdasarkan agon, maka orang main dengan sungguh-sungguh, orang mengejar nilai-nilai fiktif, jadi ... toh tidak sungguh juga! Berdasarkan uraian di atas, maka kita bisa menentukan pedoman bagaimana seharusnya permainan itu supaya tetap permainan dan sungguh-sungguh bernilai. Dalam permainan manusia harus tetap membebaskan diri. Di mana manusia mencari pamrih di situ rusaklah permainan. Jadi, permainan yang digunakan untuk judi bukan permainan lagi. Nilai permainan tidak terletak di luar permainan. menyatukan bersama dengan

Permainan akan membantu manusia dalam mencari dan melaksanakan yang lain asal bernilai sebagai permainan. Adanya eros adalah niscaya. Tetapi manusia tidak boleh tenggelam dalam eros. Di mana ketenggelaman itu terjadi di situ rusaklah permainan eros. Eros harus seimbang dengan permainan. Eros yang dilebih-lebihkan bukan lagi eros dari permainan yang murni. Demikian juga agon tidak boleh dibesar-besarkan menjadi kekerasan. Agon adalah untuk memperkembangkan permainan; orang boleh dan harus menggunakan kekuatan, bahkan dengan hebat, tetapi selamanya dalam permainan, untuk permainan, dan tidak untuk nafsu. Nilai fiktif dalam permainan harus dipertahankan. Jangan dijadikan kesungguhan. Di mana dua poin sama dengan dua ratus ribu rupiah di situ hilanglah permainan. Maka, demikianlah pedomannya:

Bermainlah dalam permainan, tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidak-sungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh, tidaklah sungguh lagi Mainlah dengan eros, tetapi janganlah mau dipermainkan eros. Mainlah dengan agon, tetapi janganlah mau dipermainkan agon. Barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan. Bermainlah untuk bahagia, tetapi janganlah mempermainkan bahagia. Selanjutnya, kesimpulan umum Huizinga adalah, peranan permainan dalam periode modern adalah sangat kecil. Kebudayaan tidak lagi "dimainkan". Padahal, kebudayaan sejati berakar dalam permainan dan untuk dapat berkembang sampai kualitas yang tinggi dan luhur harus tetap bertautan dengan permainan. Memang masih terdapat sisa-sisa dari suasana permainan dulu. Di bidang politik dalam negeri, umpamanya, Huizinga masih melihat unsur-unsur permainan dalam sistem parlementer Inggris dan sistem dua partai di Amerika Serikat. Tapi dalam politik internasional, suasana permainan telah hilang sama sekali, sampai titik yang sangat menggelisahkan. Bukan karena agresi yang dilihat di mana-mana, sebab permainan bisa juga kejam dan berdarah, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah. Tapi, bagaimanapun, masyarakat internasional haruslah suatu "masyarakat bermain". Sistem hukum internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip dan ketetapanketetapan yang berfungsi sebagai aturan-aturan permainan. Salah satu yang terpenting adalah pacta sunt servanda (perjanjian-perjanjian harus ditepati). Tapi dalam perang modem, ciri-ciri permainan sudah tidak ada lagi. Perang tidak lagi dinyatakan dulu. Penduduk sipil turut menjadi korban juga. Propaganda dikerahkan untuk menyesatkan dan menipu bangsanya sendiri. Dan bangsa-bangsa

berkebudayaan tinggi menarik diri dari masyarakat bangsa-bangsa dan tanpa tahu malu bertindak menurut prinsip pacta non sunt servanda (perjanjian-perjanjian tidak perlu ditepati). Di sini, penulis tentu memaksudkan nasional-sosialisme Jerman. "Seperti akan diakui setiap orang, menghilangnya unsur permainan dalam perang berarti bahwa mutu kebudayaan sangat menurun dan serentak juga berarti pelarian ke arah jurang kebinasaan". Seandainya Huizinga pada waktu itu dapat menduga terjadinya perlombaan persenjataan nuklir yang timbul beberapa tahun kemudian dan cenderung meluas sampai mencakup angkasa luar, analisisnya pasti akan berakhir dengan nada lebih pesimistis lagi.

Sosialitas
Modul X

Sub Materi:
Manusia Bekorelasi dengan "Yang-Lain" Aku Diadakan oleh Yang-Lain Aku Mengadakan Yang-Lain Korelasi Permasalahan & Pandanganpandangan Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

S O S I AL I TAS M A N U S I A

I. Manusia Bekorelasi dengan "Yang-Lain" Istilah sosial perlu ditepatkan artinya. Di dalam bahasa Indonesia, kata sosial hampir sama artinya dengan baik, berkorban, jujur dan terbuka, dll. Namun, sebenarnya di dalam bahasa-bahasa asing artinya netral saja. Sosial berarti: melibatkan yang-lain. Istilah itu hanya menerangkan struktur hakiki saja, tanpa terikat pada penghayatan baik atau jahat. Sesuai dengan pengartian strukturalnetral itu juga kejahatan bersifat sosial sebab melibatkan yang-lain; dan penyakit pun disebut sosial sebab selalu mempengaruhi dunia sekitar. Manusia di dalam kebaikan dan keburukan secara hakiki bersifat sosial. Tidak dapat disangkal bahwa menurut hakikatnya manusia adalah pribadi, makhluk individu. Tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa ia berhubungan dengan makhluk-makhluk lainnya, termasuk manusia lainnya. Ia tidak tinggal dan hidup sendirian saja. Sebaliknya selalu berada bersama dan berhubungan dengan makhluk-makhluk serta orang-orang lainnya. Hal ini sejalan dengan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang multidimensional (monopluralis) dan memiliki taraf yang bertingkat atau berjenjang, yaitu fisis-kemis; biotis; psyke, human (Bakker, 1992: 114). Hubungan keempat taraf di dalam manusia ini dari satu pihak memiliki kesesuaian relatif (berkegiatan sendiri, menurut hukum dan mekanisme sendiri); dari lain pihak mereka juga berhubungan erat satu sama lain untuk mewujudkan satu manusia yang utuh. Mereka merupakan bagian tinggi dan rendah. Yang rendah mendasari yang tinggi dan mengarahkannya. Namun juga memberikan ruang gerak dan kuasa penentuan bagi yang lebih tinggi. Sedangkan yang tinggi mewarnai dan menatar yang rendah, sehingga dalam manusia sendiri taraf rendah itu sudah lain daripada bahan pembangunan, atau daripada pohon dan hewan. Namun yang tinggi tidak dapat mengabaikan yang rendah begitu saja. Ia akan atau diperingati oleh taraf yang lebih rendah. Keempat taraf itu semuanya mengambil bagian dalam kerohanian-kejasmanian manusia. Semua taraf itu berupa dimensi-dimensi yang digayakan dan diorganisasi dari dalam; atau sebaliknya: berupa gaya/intensitas yang menghayati diri dalam wujud tertentu. Manusia sebagai realitas di samping sebagai makhluk yang multidimensional dan memiliki taraf yang bertingkat juga berstruktur bipolaritas, artinya mempunyai dua aspek realitas yang tidak dapat diekstrimkan, yang tidak dilihat secara sektoral dalam

salah satu aspek kehidupannya, tetapi secara integral dengan mengikutsertakan dan memperhatikan segala segi yang membentuk pribadi manusia dan yang mempengaruhinya, yaitu materialitas-spiritualitas; transendensi-imanensi;

individualitas-sosialitas; eksteriorisasi-interiorisasi (Soerjanto, 1989:55-56). Sosialitas manusia merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Sosialitas manusia itu suatu unsur yang tidak dapat tidak ada pada kodrat manusia. Adapun ciri-ciri dasar sosialitas manusia oleh Sudiarja dalam Filsafat Sosial (1995: 4-5) itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, sosialitas manusia atau hubungan antarmanusia mempunyai dimensi yang sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak mungkin hidup sendirian, no man is an island kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon, makhluk sosial, sedang para filsuf eksistensialis pun menegaskan kembali secara baru eksistensi manusia sebagai Mitsein (Heidegger) atau Coexistence (Gabriel Marcel). Inilah hakikat sejati dari sosialitas manusia. Manusia tidak dapat disebut sebagai manusia selain berkat kehidupan sosialnya, kebersamaannya dengan yang lain. Sosialitas merupakan ciri hakiki yang tak teringkari, bukan ciri yang ditambahkan pada manusia atau kondisi yang ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahirnya . Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat manusia mengarah pada kemanusiaan yang lebih luas, penuh dan lebih sempurna. Sosialitas manusia adalah sosialitas yang terbuka, yang prospektif, yang dapat berkembang ke arah yang baik, sejauh anggota-anggota masyarakat menyadari prospek dan bertanggungjawab atasnya. Meskipun demikian sebagaimana penjelasan di atas perlu diketahui bahwa hubungan sosial itu sangat kompleks dan meliputi taraf-taraf yang berbeda. Contoh: hubungan yang dialami anak-anak berlainan dengan orang dewasa, demikian juga pengalaman sosial orang-orang primitif berlainan dengan orang-orang modern. Yang menjadi pertanyaan di sini: Apakah ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara keduanya? Apakah masyarakat berkembang secara evolutif dari yang sederhana menuju yang kompleks? Sampai saat ini terdapat beberapa teori yang sulit didamaikan. Hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan filsafat sosial yang penting. Ketiga, hubungan sosial yang terjadi ada dua sebab, yaitu : (1) hubungan sosial terjadi karena ikatan yang akrab entah karena kesamaan kelas, etnis, religi atau budaya lainnya. Hubungan sosial ini terjadi lebih karena naluri primordial, alami. Oleh karena itu hubungan sosial ini lebih bersifat emosional; ikatan yang terjadi bersifat

dari dalam anggota-anggota kelompok sosial itu. (2) Hubungan sosial terjadi karena saling berkebutuhan satu terhadap yang lain. Hubungan sosial ini lebih bersifat rasional dan menghasilkan pembagian sosial dalam fungsi-fungsi yang teratur; ikatan yang terjadi bersifat dari luar. Dalam sosiologi kelompok sosial yang pertama disebut Paguyuban dan kelompok sosial yang kedua disebut Patembayan. Keempat, kodrat sosial manusia sebagai kenyataan kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka otonomi dan kebebasan manusia, yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk hubungan sosial.

II. Aku Diadakan oleh Yang-Lain Aku tidak lepas dari yang lain. Semua fenomen konkret yang saya sadari (nyata atau khayalan) menghubungkan saya dengan yang-lain. Pada umumnya, kesadaranku tentang diriku sebagai substansi dan subjek tertentu juga menuntut sebagai syarat mutlak (untuk kesadaran itu) adanya yang-lain yang tertentu pula. Aku memahami diri sebagai mahasiswa, pelayan, tukang becak, pedagang, diplomat, guru, pencuri, penakut, orang baik. Semua aspek itu menghubungkan saya dengan lingkungan yang lebih luas. Juga kegiatanku, misalnya melihat, mendengar, menyentuh, menikmati, merasa itu semua mengarahkan saya kepada yang-lain, dan melibatkan yang-lain orang, hewan, atau barang benda. Andaikata saya hanya memikirkan diri sendiri, toh saya pikirkan menurut aspek, sikap, kegiatan konkret, yang mengandaikan yang-lain itu. Tidak ada aku yang murni. Sebentar saja memikirkan diri lepas atu tersekat dari yang-lain itu tidak mungkin. Semua kesadaranku adalah kesadaran-bersama-dengan-yang-lain. Bukan aku berada dulu dan menjadi manusia dulu baru kemudian aku masuk dunia, dan mengadakan hubungan. Bukan. Aku selalu di dalam situasi tertentu; selalu merupakan bagian dari dunia-dunia tertentu. Memang aku dapat mengundurkan diri dari salah satu dunia tertentu, misalnya dari dunia mahasiswa. Namun, seketika itu juga saya ditampung oleh dunia lain, misalnya dunia karyawan. Aku diartikan oleh yang-lain. Pemahamanku akan artiku tergantung pada yang-lain. Baru di dalam situasi dan dalam relasi dengan yang-lain, aku mendapat kedudukan dan arti dan peranan. Hanya karena mempunyai arti untuk yang-lain, aku dapat memahami diri dan mengakui diri, misalnya sebagai mahasiswa, rohaniwan, anggota keluarga, tukang kayu; hanya karena saya masuk suatu kalangan atau dunia tertentu. Aku hanya memahami diri begini-begitu di dalam konfrontasi dengan yang-lain. Jadi, hanya sejauh saya mengakui dan mengamini yang lain, dan menerima mereka menurut arti khusus yang-lain itu, maka saya juga (dapat)

mengakui diri. Saya seluruhnya dicap oleh pengakuan terhadap yang-lain dan oleh pengakuan yang-lain terhadap aku. Jikalau saya sebagai mahasiswa tidak mengakui dosen, atau dosen tidak mengakui saya sebagai mahasiswa, maka saya juga tidak dapat memberi diri gelar mahasiswa; saya tidak sadar akan diriku sebagai mahasiswa. Hanya dengan menerima ketertentuan di dalam yang-lain, menurut arti tepat dan menurut kelainannya, aku juga menerima ketertentuan. Tanpa itu, pengakuan akan aku atau identitasku mengabur dan kehilangan batas-batasnya yang jelas dan yang dapat ditangkap. Jikalau aku bukan mahasiswa dan/atau pelayan dan/atau penonton dan/atau pekerja jadi jika saya bukan apa-apa maka saya tidak ada. Hanya sejauh saya mengakui orangtua, dosen, rumah, teman, negara, maka saya ada. Kalau tidak, saya menjadi nol. Sebaliknya, pengakuan mereka memberikan kepadaku aku ada. Adaku saya terima dari adanya yang-lain itu, sebagai pemberian dan karunia, atau sebagai hukuman dan kutukan. Sevav mereka memberikan nama dan tempat kepadaku; memberikan penghargaan dan fungsi. Mengakui itu ialah sifat rendah hati (antropologis); saya tahu ketergantunganku itu. Saya ada, sejauh saya menerima manusia dan semua sekitar saya justru sebagai yang-lain; mereka tidak keluar dari diri saya; mereka mendekati saya dari luar saya; mereka tidak saya kuasai. Mereka seakan-akan menciptakan aku dengan pengakuan mereka yang otonom.

III. Aku Mengadakan Yang-Lain Tanpa aku tidak ada yang-lain. Yang-lain tergantung pada aku menurut adanya yang konkret. Mereka memiliki diri sesuai dengan tempat dan peranan yang saya berikan kepadanya; mereka menerima kesendiriannya dan pengakuan-diri dari saya. Andaikata aku tidak ada, maka seluruh duniaku tidak ada juga. Satu kesan pun tidak ada, sebab seluruhnya diwarnai dan diresapi oleh kehadiranku, dan oleh respons dari yang-lain terhadap saya ini. Andaikata aku tidak ada, maka orangtuaku tidak ada, suasana rumah seperti sekarang tidak ada; dibayangkan saja keadaan seperti itu, sudah mustahil. The world exists in the measure in which I have relations with it (Einckelmans de Cletu, The world of persons). Heidegger mengatakan, Wenn kein Dasein existiert, ist keine Welt da; tanpa manusia, dunia tidak tampak. Adanya dunia saya tentukan. Dapat diajukan keberatan kalau aku tidak ada, lalu toh ada dunia? Hipotesis ini tanpa guna dan terarah pada die naturliche Einstellung. Aku berada dengan mutlak; aku justru yang bertanya kini-sini (hic et nunc). Andaikata aku tidak ada, pertanyaan ini tidak saya pedulikan. Aku berusaha memahami beradaku; dan janganlah

membayangkan aku tidak ada. Misalnya aku tidak ada, maka apakah yang saya ketahui tentang suatu dunia? Tidak terdapat dunia umum, yang tetap ada pula, walaupun aku tidak pernah ada. Bertanya pun mengenai dunia itu, sudah mustahil. Tidak ada suatu dunia an-sich, yang tertutup pada diri sendiri. Tidak ada dunia yang dapat berfungsi sebagai wasit netral dan serba objektif, yang dapat dipakai sebagai patokan mutlak untuk segala macam pengertian dan penghargaan. Yanglain selalu telah ada-untuk-aku, memiliki arti dan nilai untuk-aku, dan menerima itu dari saya. Fakta yang sungguh-sungguh ada, juga memuat arti dan nilai bagiku.

IV. Korelasi Aku dan yang-lain (entah manusia entah bukan), sejauh merupakan substansi yang berdikari, begitu jauh pula berhubungan timbal balik, dengan saling memberikan arti dan nilai, dan saling mengadakan. Bersama-sama merupakan keseluruhan pusat-pusat yang berotonomi-di-dalam-korelasi dan berkorelasi-didalam-otonomi. Atau dengan mengungkapkannya secara lebih radikal lagi: yang identik-di-dalam-distingsi dan disting-di-dalam-identitas.

V. Permasalahan & Pandangan-pandangan Berdasarkan pengalaman konkrit yang dapat kita lihat dan alami sebagai manusia, perjumpaan manusia satu dengan manusia yang lain terjadi berkat adanya perantara atau medium. Terdapat 2 (dua) medium perjumpaan manusia: (1) medium tubuh/dunia fisik; (2) Yang Transenden (Sudiarja, 1995: 5-6). Medium pertama merupakan medium yang teraih langsung oleh manusia. Tubuh manusia merupakan medium awal, paling primitif. Tanpa tubuh, manusia tidak mungkin berjumpa dan berkomunikasi dengan yang lain. Namun tubuh itu dapat diperluas menjadi dunia, yakni kondisi-kondisi fisik di sekitar dan yang ada dalam jangkauan manusia. Dalam pengertian ini sosialitas manusia tidak terpisahkan dari kerangka dunia, atau alamnya dimana manusia hidup dan bergaul. Sosialitas manusia dalam pengertian kerangka medium kedua dapat dijelaskan sebagai berikut. Keterbukaan sosialitas manusia sejalan dengan ciri-ciri sosialitas sebagaimana tersebut di atas sebenarnya juga mengundang persoalan mengenai kemungkinan adanya sesuatu di luar dunia ini, bukan hanya sebagai yang lain (dari dunia ini) melainkan sebagai sesuatu Yang Lain sama sekali yang tak teraih oleh persepsi inderawi atau kemampuan fisik manusia, yaitu sesuatu yang merangkum dunia ini, sebagai Yang Lebih Besar dari dunia; Yang Transenden. Kerangka ini

menempatkan manusia dalam kekecilan dan keterbatasannya. Sosialitas sebagaimana diterangkan di atas menggambarkan bahwa secara hakiki manusia selalu hidup dalam kebersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Namun bagaimanakah sifat kebersamaan itu? Dalam sejarah pemikiran filsafat terdapat pelbagai jawaban yang diberikan oleh para pemikir (filsuf) dan jawaban itu tak jarang terjadi kontroversi antara yang satu dengan yang lain oleh karena titik tolak dan anggapan yang sangat berbeda. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya berbagai aliran. Aliran-aliran itu antara lain: Eksistensialisme, individualisme, liberalisme, personalisme, kolektivisme, sosialisme, totalitarisme, dan lain sebagainya. Dalam uraian berikut secara khusus dibahas sosialitas manusia itu dari tinjauan eksistensialisme. Eksistensialisme adalah paham atau aliran yang menegaskan bahwa tidak ada alam, selain alam manusia, alam dari subjektivitas manusia. Aliran ini memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni kesadarannya yang langsung dan subjektif. Inti kehidupan manusia itu mencakup keadaan hati, kekhawatiran dan keputusannya. Untuk itu aliran ini menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang yang mengenai manusia, yaitu sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri (Dwi Siswanto, 2001: 32). Aliran ini merumuskan hubungan manusia secara radikal. Di antara para filsuf eksistensialis pun dalam merumuskan juga tak jarang terjadi kontroversi. Filsuf eksistensialis yang secara menonjol berbicara masalah sosialitas (hubungan antar manusia), antara lain: Martin Buber, Gabriel Marcel, Emmanuel Levinas, Jean-Paul Sartre. Martin Buber (1878-1965): Titik pangkal hubungan dengan orang lain adalah dua kata dasar aku-engkau dan aku-itu. Berdasarkan dua kata itu muncullah dua bentuk hubungan, yaitu hubungan subjek-subjek dan hubungan subjek-objek. Hubungan yang sejati adalah hubungan aku-engkau (subjek-subjek). Kedua hubungan itu timbal-balik, aktif dan saling membantu mewujudkan suasana hubungan tersebut. Di dalam hubungan yang sejati itu engkau hadir. Namun kehadirannya seolah-olah berada di luar kekuasaanku. Karena engkau hadir, maka terbinalah hubungan aku-engkau. Perjumpaan, pertemuan merupakan permulaan, awal hubungan yang sejati. kehadiran engkau menandai hubungan aku-engkau. Engkau itu nyata dan dinamis. Engkau yang demikian mengacu kepada engkau yang abadi, yang mendasari, membaharui serta mengabdikan hubungan akuengkau di antara manusia (Lanur, 1993: 36-37). Gabriel Marcel (1889-1973): Titik pangkal pemikirannya, ia menempatkan hubungan dengan orang lain dalam situasi konkrit. Gabriel Marcel menegaskan,

dengan menerima situasi konkrit itu pemikiran filsafati tidak boleh dilepaskan dari pengalaman dasar manusia. Pengalaman dasar yang dapat menjadi titik pangkal ajaran tentang hubungan dengan orang lain ialah berada di dunia ini. Lebih lanjut ia mengatakan, hidup di dunia adalah hidup bersama. Hidup bersama itu mempunyai dua ciri, yaitu: (1) eksistensi manusia sendiri, dan (2) cinta. Ciri eksistensi manusia ialah kenyataan bahwa manusia bertubuh. Namun eksistensi itu lebih dari sekedar pengalaman bertubuh saja. Eksistensi merupakan suatu bentuk keadaan berdiri sendiri. Eksistensi yang demikian memungkinkan adanya hubungan. Tetapi hubungan itu tidak bersifat badani belaka. Sebaliknya hubungan tersebut lebih dari itu. Hubungan itu harus ada dasar yang lebih dalam. Dasar yang lebih dalam itu adalah cinta. Jadi, cinta dalam pandangan Gabriel Marcel ini mengkonstitusikan hubungan yang sejati antara dua pribadi. Pelaksanaan cinta juga merupakan perwujudan eksistensi manusia sendiri. Artinya, apabila manusia sampai pada cinta itu, maka eksistensinya mencapai puncaknya (Lanur, 1993: 36). Pandangan antara Martin Buber dan Gabriel Marcel di atas pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Mereka dalam pandangannya menggambarkan bahwa hubungan AkuEngkau yang akrab dan saling percaya merupakan dasar sosialitas yang sejati. Hubungan manusia yang sejati itu dilukiskan sebagai perjumpaan antara dua pribadi yang terbuka , tanpa syarat dan bebas, yang digerakkan oleh cinta. Pendekatan pandangan kedua filsuf tersebut lebih bersifat metafisik dengan kepentingan pada sifat keterbukaan sosialitas manusia, bahkan merangkum hubungan dengan alam dan Allah. Emmanuel Lvinas: Pandangan Lvinas tentang sosialitas atau hubungan antar manusia berdasarkan pada keaslian filsafatnya wajah yang terletak wajah. pada doktrinnya tentang situasi etis, dalam dengan Hubungan dengan Yang lain adalah hubungan etis. Hubungan ini bersifat asimetris. Artinya, hanya terarah kepada yang lain saja dan bukan timbal-balik (Lanur, 1993: 37). Dalam hal ini, Lvinas memberikan pandangan khas

tentang orang lain sebagai suatu fenomen sui generis; suatu fenomen yang sama sekali unik, yang tidak dapat diasalkan dari totalitas, selalu tinggal tersendiri mempertahankan otonomi dan kepadatan yang tak terselami. Pada orang lain, tampaklah suatu Transendental. Kedudukan orang tidak dapat lepas dari yang lain, dengan demikian hubungan antar manusia merupakan interface; ialah hubungan antar wajah dengan wajah yang saling bertatapan, yang merupakan dua pangkal. Lvinas menolak segala sesuatu yang berbau menguasai orang lain, terlebih-lebih anggapan yang menganggap orang lain sebagai objek yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan diri sendiri. Ia juga menolak usaha merangkum orang lain dalam bentuk keseluruhan, sebagai suatu totalitas. Lebih lanjut Lvinas menyatakan, bahwa hubungan dengan orang lain sekaligus adalah peristiwa pewahyuan dari dia yang sama sekali lain, yaitu Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980). Ia berpendapat kebersamaan dan hubungan dengan orang lain merupakan unsur mutlak dalam hidup manusia. Sartre dalam bukunya Being and Nothingness, an Essay on Phenomenological Ontology (1956) menegaskan, bahwa manusia dalam kesadaran dan kebebasannya senantiasa (mau tak mau tetap) akan berhadapan dengan orang lain sesamanya. Kita hanyalah kita karena hubungan kita dengan orang lain. Kita memerlukan orang lain untuk mengerti sepenuhnya struktur dan cara kita berada terhadap orang lain (Sartre, 1956: 222). Dengan kata lain, manusia dapat merealisasikan dirinya sebagai manusia, hanya dengan mengalami kebersamaan dengan manusia lain. Singkatnya, manusia pun ada untuk yang lain (Being-for-others). Atau berdiri sebagai subjek berarti berada terhadap orang lain. Jadi ada berarti ada bersama. Namun, bagi Sartre dasar, hakikat bersama, pergaulan dengan orang lain itu adalah konflik, permusuhan, pertarungan yang terus-menerus. Artinya, setiap pergaulan dan pertemuan dengan orang lain, manusia selalu (berusaha) merendahkan orang lain. Setiap subjek berusaha hendak menjadikan yang lain sebagai objek (benda-yang-tak-sadar). Namun masing-masing subjek berusaha mempertahankan diri tetap tidak mau menjadi objek. Konflik adalah inti setiap relasi intersubjektif (Bertens, 1985: 322). Bagi Sartre sarana terjadinya konflik adalah tatapan (le regard). Manusia yang sedang menghayati kesadaran dan kebebasannya sebagai subjek sekaligus objek bagi orang lain. Ia serta merta merasakan kejatuhannya dalam tatapan orang lain yang tampil di depannya; mengobjektivikasikan dirinya ke dalam pandangan subjek yang menatapnya, karena bagi Sartre komunikasi atau setiap pertemuan dengan orang lain itu merupakan ancaman bagi eksistensinya. Dalam semua kebersamaan, manusia senantiasa berusaha menciptakan orang lain sebagai objek bagi dirinya, mau menjadikan benda demi kepentingan dan kepuasannya sendiri. Pendekatan

pandangan Sartre tersebut lebih bersifat empiris-positif dan memberatkan pada kenyataan sosialitas yang dirasakan tetapi lebih menyempit pada hubungan manusia belaka. Manusia dan masyarakatnya bukan merupakan dua realitas yang asing satu sama lain, yang saling mempengaruhi dari luar, melainkan membentuk horison dinamis dalam hubungan yang dialektis. Keduanya merupakan lapangan kerjasama dengan dorongan dialektis, saling memajukan dan saling memperkembangkan . Untuk itu kemajuan manusia merupakan hasil kerjasama antarmanusia bukan hasil seseorang. Sebagai konsekuensinya, manusia dan masyarakatnya merupakan dua momen itu saling melengkapi atau komplementer. Manusia itu pada dasarnya tidak hanya ko-eksistens, melainkan juga kooperans. Konkritnya, dalam kehidupan bersama (masyarakat) harus terdapat keteraturan antara anggota masyarakat. Keteraturan itu diatur dengan prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Solidaritas adalah prinsip yang menggambarkan sikap adanya kepedulian setiap pribadi individu (keluarga wajib) untuk memberikan sumbangan kepada kelompok (masyarakat). Sumbangan itu berwujud tanggung jawab bagi kesejahteraan bersama (umum), seperti rasa memiliki kelompok, rasa wajib berpartisipasi di dalamnya, kesediaan membela kehormatan masyarakat. Dengan kata lain, manusia hanya menjadi diri sejauh ia dalam korelasi dengan yang-lain, terutama dengan manusia lain. Dalam korelasi itu, setiap pribadi individu harus mempromosikan kemanusiaan orang lain, untuk menjadi manusia seoptimal mungkin. Setiap manusia menjadi bertanggung jawab bagi sesama. Solidaritas dirumuskan sebagai keadilan sosial. Subsidiaritas adalah prinsip yang menggambarkan sikap adanya rasa wajib bagi kelompok (masyarakat) untuk mengakui dan memberikan tempat dan fungsi kepada masing-masing anggota (pribadi-individu), dan atau keluarga. Fungsi itu wajar dan sebaik mungkin (moral), masing-masing anggota menurut kemampuan dan kesanggupannya, yang dapat dilaksanakannya dengan tanggung jawab dan inisiatif (Suseno, 1988: 307-308; Bakker, 1993: 8). Jadi otonomi dari masing-masing pribadi individu (keluarga) yang merupakan bagian dari masyarakat tidak akan hilang. Subsidiaritas dirumuskan sebagai keadilan distributif. Pelaksanaan prinsip solidaritas dan subsidiaritas itu akan menjadikan seluruh warga dalam masyarakat mencapai kesejahteraan umum, kesejahteraan seluruh warga hidup bersama. Pelaksanaan prinsip-prinsip itu, berarti pengembangan persona-individu (keluarga) dan kelompok (masyarakat). Kesejahteraan umum itu merupakan aspek formal dari setiap kehidupan sosial. Kesejahteraan umum merupakan aspirasi dan inspirasi persona-individu dan kelompok yang selalu diusahakan dalam masyarakat.

VI. Ikhtisar Berdasarkan paparan di atas dapatlah ditunjuk hakikat dan dasar yang terdalam dari sosialitas. Pertama, apakah sosialitas itu? Sosialitas dapat dibedakan menjadi dua, yakni sosialitas transendental dan sosialitas fenomenal. Sosialitas transendental adalah di atas segala fenomen, akan tetapi terlaksana dalam tiap-tiap realisasi dialektis. Sosialitas fenomenal adalah bentuk-bentuk konkrit, dengan mana kita menjalankan sosialitas transendental. Sosialitas transendental jangan dipandang seolah-olah di samping sosialitas fenomenal. Istilah transendental tidak berarti, bahwa sosialitas transendental itu ada tersendiri, terpisah. Seperti persona tidak ada di samping badan, akan tetapi mem-badan, demikianlah juga sosialitas transendental itu tidak ada di luar atau di samping fenomen atau konkritisasinya. Akan tetapi tidak pernahlah akan habis dengan seribu satu realisasi, seperti persona juga tidak terbatas dalam caranya menampakkan diri. Hal ini dapat disamakan dengan cintakasih manusia. Yang juga immanent (artinya terlaksana) dalam tiap-tiap ekspresinya, akan tetapi juga trancendent, artinya tidak mungkin dihabiskan dengan ekspresi mana atau berapapun juga. Dengan kata lain dapat dikatakan sosialitas transendental adalah persona atau pribadi sendiri dipandang menurut hubungannya dengan sesama pribadi. Sosialitas transendental adalah persona-sebagai-peng-ada-bersama, atau sepanjang bersatu dengan lain-lain pribadi. Sedangkan sosialitas fenomenal adalah pengejawantahan dari sosialitas transendental. Sosialitas fenomenal atau sosialitas-sebagai-fenomen itu adalah dialektik dari sosialitas transendental. Kedua, kesosialan yang secara kodrati melekat pada setiap manusia menggambarkan bahwa pada saat yang sama manusia adalah makhluk yang berada dalam jaringan hubungan dengan manusia lain. Tetapi dalam pelaksanaan yang konkrit setiap manusia (orang) memiliki keunikan sendiri sebagai individu: ia memiliki kemampuan, potensialitas dan keterbatasan. Semuanya ini menjadikannya khas. Ia mempunyai nama sendiri-sendiri. Kesosialan manusia mewujudkan diri dalam kebudayaan: bahasa sebagai alat komunikasi dan ekspresi; pranata-pranata sosial; organisasi sosial (masyarakat, negara dan berbagai bentuk kerjasama). Manusia mampu mengetahui dirinya lewat manusia lain; dan hanya dapat mewujudkan dirinya dengan bekerjasama dengan manusia lain. Ketiga, sejalan dengan paparan kedua dan tujuan hidup manusia dalam masyarakat-negara dapatlah disimpulkan, bahwa prinsip dasar yang ideal dalam sosialitas (hubungan antarmanusia) adalah cinta-kasih, solidaritas dan subsidiaritas.

Perlu dicatat di sini bahwa Driyarkara menyoroti eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesamanya sebagai homo homini socius: Manusia adalah kawan bagi sesamanya, kawan yang membantu menjadi semakin manusiawi dan kawan yang ikut mengantarkan menuju ke pusat hidup manusia, yaitu Tuhan. Sosialitas manusia ini oleh Driyarkara dicantumkan sebagai koreksi dan kritik terhadap sosialitas yang saling memakan, yang saling membenci, sebuah sosialitas homo homini lupus: Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Karena manusia dalam eksistensinya merupakan titik sentral pemikiran Driyarkara, pemanusiaannya menjadi proses yang penting. Baginya, pendidikan memang merupakan proses pemanusiaan manusia muda agar bisa bertumbuh menjadi subjek paripurna. Hal ini hanya mungkin kalau bersumberkan pada "cinta mendidik", yaitu cinta yang mau turun ke bawah dari pendidik ke pendidik (Driyarkara tidak memakai istilah "terdidik") untuk mengangkat pendidik yang muda (yang sedang menjadi) itu menjadi subjek dewasa.

Historisitas
Modul XI

Sub Materi:
"Histori" dan "Historisitas" Melawan "Nasib" dan "Fatalisme" Arti Modern Istilah "Historisitas" Segi-segi dan Implikasi-Implikasi Historisitas Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

H I S TO R I S I TAS M A N U S I A
Kata sejarah ternyata mempunyai sejarah juga. Sepanjang diketahui, sejarah itu belum dituliskan secara mendalam dan lengkap untuk kata Indonesia sejarah, tapi untuk kata Inggris history (dan kata-kata yang berkaitan dengannya seperti histoire dalam bahasa Prancis atau storia dalam bahasa Italia) sejarah itu sudah sering dilukiskan. History berasal dari bahasa Yunani historein, artinya menyelidiki, dan historia, artinya penyelidikan atau pemeriksaan. Dari situ berkembang sebagai arti berikut pengetahuan. Demikian pada Plato, umpamanya. Aristoteles menggunakan historia dalam judul salah satu bukunya dalam arti kumpulan bahanbahan tentang tema tertentu. Bertentangan dengan uraian yang memberi penjelasan sistematis. Filsuf Inggris, Francis Bacon, yang hidup akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, masih melanjutkan pengertian Aristoteles itu dengan mengatakan bahwa historia (ia menulis dalam bahasa Latin) menyangkut pengetahuan tentang yang individual, berbeda dengan philosophia (filsafat) yang berbicara tentang yang umum. Ia membedakan antara historia naturalis yang mempelajari data-data alamiah seperti yang menyangkut tumbuhan serta binatang dan historia civilis yang membahas tentang masyarakat dan negara. Dalam abad ke18 arti yang sama masih dapat ditemukan, tapi di situ sudah tampak tekanan lebih jelas pada sifat kronologis dari data-data yang dipelajari. Dan tendensi terakhir ini menjadi semakin kuat, sehingga kata history dalam zaman modern secara umum dikaitkan dengan pengetahuan mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di masa silam. Informasi tentang perkembangan yang dilukiskan secara singkat ini diperoleh dari sebuah kamus filsafat berbahasa Prancis yang kenamaan. Tapi dalam kamus yang sama istilah historisitas belum dicantumkan. Ini sudah pertanda bahwa di sini kita berjumpa dengan sebuah pengertian yang masih agak baru. Dan memang demikian. Paham ini diintroduksi dalam filsafat oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan dikembangkan lebih lanjut terutama oleh Martin Heidegger (1889-1976). Bagi filsuffilsuf seperti mereka historisitas merupakan salah satu ciri khas eksistensi manusia. Dalam modul ini, hendak diperkenalkan paham yang khas modern ini.

I. "Histori" dan "Historisitas" Melawan "Nasib" dan "Fatalisme" Mari kita mulai dengan menjelaskan bahwa historisitas (Inggris: historicity) merupakan prerogatif manusia. Hanya eksistensi manusialah yang ditandai oleh

historisitas. Hanya manusia merupakan suatu makhluk historis. Hanya tentang manusia dilukiskan suatu sejarah, karena hanya dialah yang mengadakan sejarah. Perlu diperhatikan, dalam kalimat terakhir kata sejarah dipakai dalam dua arti. Di satu pihak kata itu menunjuk kepada sejarah yang dicatat atau sejarah yang tersurat. Untuk itu dipakai juga istilah historiografi. Sejarah dalam arti ini adalah pencatatan atau studi tentang peristiwa-peristiwa yang telah berlangsung dalam waktu lampau. Ilmu sejarah merupakan pengolahan metodis dan sistematis dari sejarah dalam arti ini. Arti ini dimaksudkan bila dalam toko buku atau perpustakaan kita melihat rak-rak buku dengan papan sejarah, di samping sastra, teknologi, dan sebagainya. Di lain pihak kata yang sama menunjuk kepada peristiwa-peristiwa yang telah berlangsung itu sendiri. Dalam peribahasa Prancis, lhistorie se rpte (sejarah terulang kembali) kata sejarah jelas tidak berarti ilmu sejarah. Yang dimaksudkan dengannya ialah bahwa kejadian-kejadian dari masa silam sering terulang kembali menurut pola-pola yang sama. Arti kedua ini lebih fundamental daripada arti pertama. Ilmu sejarah hanya mungkin, bila ada kejadian-kejadian yang pernah berlangsung. Buku-buku tentang sejarah Indonesia hanya mungkin karena bangsa Indonesia telah mengalami sejarah yang kemudian dapat dituliskan. Manusia bukan saja obyek sejarah, melainkan juga subyeknya. Ia bukan saja produk peredaran waktu, tapi ia juga mengadakan sejarah. Kalau dalam filsafat modern banyak dibicarakan tentang historisitas manusia, maka yang dimaksudkan adalah unsur subyektif ini. Manusia tidak hidup pasif di tengah peristiwa-peristiwa bersejarah, ia berperanan sebagai pelaku dan pejuang dalam sejarah. Dalam sejarah tentu juga terdapat banyak faktor yang tidak bergantung pada kehendak manusia, namun akhirnya sejarah adalah buah hasil proyek-proyek dan rancanganrancangan manusia. Dan justru karena manusia adalah subyek sejarah, ia dapat menjadi juga obyek sejarah. Hanya tentang manusia sejarah dituliskan. Tentang binatang atau alam jasmani tidak ada sejarah. Lebah sudah ribuan tahun lamanya membangun sarangnya dengan cara yang selalu sama. Mustahillah mengadakan studi sejarah tentang cara lebah atau burung membuat sarangnya di abad-abad silam. Tapi sama sekali tidak mustahil untuk mempelajari sejarah arsitektur. Manusia tidak selalu membangun rumahnya dengan cara yang sama. Tentang cara manusia membuat tempat tinggalnya, kita melihat perkembangan-perkembangan yang mencolok, bila tema ini ditelusuri sepanjang sejarah. Mengapa tidak mungkin sejarah tentang binatang atau alam jasmani? Karena dalam bidang infrahuman atau bawah-manusiawi sebenarnya tidak ada sesuatu yang terjadi. Di situ tidak ada peristiwa-peristiwa menurut arti sepenuhnya. Atau dengan kata lain lagi, pada bidang infrahuman tidak pernah terjadi sesuatu yang

baru. Dalam dunia binatang dan dunia jasmani pada umumnya segalanya bereaksi dengan cara yang sama. Di situ segalanya berlangsung secara deterministis. Air selalu mendidih bila dipanaskan sampai 100 derajat; pada waktu tertentu matahari terbit; pada musim tertentu burung-burung bersarang. Hal-hal semacam itu ditandai suatu keajekan yang dapat dipastikan. Dalam bidang ini kita dapat mengabstraksikan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu depan. Air pasti akan mendidih pada 100 derajat, besok dan lusa dan selama-lamanya. Tentang hal serupa itu bisa diadakan ramalan yang tidak pernah meleset. Sekarang mungkin ada yang menyatakan: Tetapi bagaimana halnya dengan evolusi dalam alam? Kalau dipandang dari segi evolusi, bukankah harus diakui bahwa juga di bidang infrahuman betul-betul terjadi sesuatu yang baru? Sebagaimana telah diperlihatkan oleh teori evolusi, pernah tidak ada makhluk hidup dan pada saat tertentu makhluk hidup timbul. Jadi, sudah jelas dalam alam infrahuman pun terjadi sesuatu yang baru. Disangka, kesimpulan ini tidak benar. Tentu saja, bukan bermaksud menolak teori evolusi, teori yang dalam ilmu pengetahuan sudah diterima secara umum (kendatipun tidak boleh dilupakan bahwa teori itu sendiri masih dalam proses evolusi). Evolusi itu tidak lain daripada bertumbuh dan berkembang dari sesuatu yang sudah ada secara virtual, seperti bunga sudah mengandung buah yang akan datang atau dalam biji sudah terkandung pohon mangga yang akan tumbuh daripadanya. Hal-hal infrahuman tidak merupakan obyek dari ilmu sejarah, hanya obyek dari penyelidikan ilmu alam saja. Karena, di bidang infrahuman tidak ada historisitas, hanya ada perkembangan. Manusia ditandai historisitas. Dia satu-satunya makhluk yang sanggup menghasilkan sesuatu yang baru. Manusia bisa mengambil sikap otonom terhadap dunia sekitarnya dan situasi di mana ia berada. Kiranya sudah jelas bahwa kebebasan adalah kunci untuk memahami keistimewaan manusia itu. Historisitas berkaitan erat dengan kreativitas dan inventivitas. Tentu saja, historisitas selalu sudah merupakan ciri khas eksistensi manusiawi. Ini bukan sesuatu yang khusus bagi zaman kita saja. Kendati demikian, historisitas tidak selalu dialami dengan cara yang sama dalam setiap periode sejarah. Tidak dapat disangkal, pada zaman kita sekarang manusia lebih insaf akan historisitas itu daripada di masa silam. Malah dapat dikatakan, belum pernah manusia begitu peka untuk dimensi historis dalam eksistensinya seperti sekarang ini. Hal itu dapat menjadi lebih jelas, bila menyoroti meski dengan selayang pandang saja beberapa periode yang berkaitan dengan sejarah filsafat Barat:

a. Pada masa Yunani kuno keinsafan akan historisitas belum dapat tampil ke
permukaan, karena kepercayaan akan Moira (Suratan Nasib) begitu kuat. Segala sesuatu yang terjadi ditakdirkan bagi manusia dengan suatu keharusan mutlak. Tinggal saja ia menerima nasibnya dengan hati yang tenang dan tabah. Yang terjadi harus terjadi demikian dan tidak ada orang yang dapat meloloskan diri dari Suratan Nasib. Keyakinan itu meresapi seluruh masyarakat dan kebudayaan Yunani kuno. Misalnya, salah satu tujuan drama targedi, yang banyak digemari orang Yunani, adalah mendamaikan dia dengan nasibnya. Setelah pertunjukkan tragedi selesai, diharapkan para penonton telah mencapai catharsis (pembersihan batin) dengan menerima nasib mereka tanpa memberontak, sebagaimana telah mereka saksikan mengenai pahlawan-pahlawan mitologi di pentas. Untuk Oidipus, umpamanya, ditakdirkan begitu saja nasib malang yang telah menimpa dirinya. Para penonton harus sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain daripada menerima nasib serupa itu dengan ketenangan hati. Di bidang filsafat, kepercayaan Yunani kuno akan Suratan Nasib itu diungkapkan paling jelas dalam aliran Stoa. Mereka menarik konsekuensi etis dari kepercayaan itu. Menurut pendapat Mazhab Stoa, manusia adalah bijaksana, bila melepaskan diri dari emosi serta nafsu dan mengakui bahwa segala-galanya berlangsung dengan keharusan mutlak. Karena itu tidak ada alasan untuk menakuti kematian, umpamanya. Orang bijaksana akan menghadapi maut dengan sikap tak acuh. Seluruh panadangan kuno itu agaknya dilatarbelakangi kecenderungan spontan manusia untuk menerapkan pada masa depan yang berlaku pada masa lampau. Peristiwa-peristiwa dari masa lampau tidak dapat dihindarkan lagi. Apa yang telah terjadi, ya, telah terjadi. Tidak ada orang yang dapat mengubah hal itu. Itu semua tentu benar. Tapi salahnya ialah bahwa hal yang sama tidak berlaku bagi kejadian-kejadian yang akan datang.

b. Walaupun dalam Abad Pertengahan perspektif tentang sejarah sudah menjadi


lain sama sekali, namun historisitas belum tampil ke muka. Pandangan siklis tentang sejarah yang menandai semua kebudayaan kuno (termasuk juga kebudayaan Yunani), pada waktu itu sudah diganti dengan konsepsi linear: sejarah mempunyai titik tolak (penciptaan) dan titik akhir (hari kaiamat). Pandangan Yahudi tentang sejarah itu disebarluaskan oleh kebudayaan Kristiani dan dalam Abad Pertengahan sudah mendarah daging. Namun demikian, manusia tidak diberi peranan betul-betul aktif dalam sejarah. Paham Suratan nasib yang kafir itu pada waktu itu sudah diganti oleh Penyelenggaraan Ilahi (Providentia Divina), namun paham kedua ini masih sering memperlihatkan ciri-

ciri yang berasal dari paham pertama. Manusia Abad Pertengahan sering mengatakan: Itulah kehendak Tuhan dan dengan demikian ia pasrah. Apa yang dialami manusia tidak jarang langsung ditafsirkan sebagai hukuman atau pahala dari Tuhan. Mungkin sikap pasif itu disebabkan, karena manusia Abad Pertengahan pun hampir tidak dapat mempengaruhi alam. Berulang kali ia menjadi korban bencana alam: banjir, kelaparan, wabah, dan sebagainya. Karena tidak berdaya, terpaksa ia menerima saja keadaan seperti itu. Dalam hal ini ia masih senasib dengan manusia dari zaman kuno.

c. Salah satu ciri

khas zaman modern ialah diakuinya otonomi tahap profan

terhadap tahap sakral. Keyakinan itu tentu tidak tercapai dalam satu dua hari, tapi merupakan buah hasil suatu proses lama yang sudah berlangsung sejak Renaissance (abad ke-15 dan ke-16). Proses itu tampak pada segala bidang. Salah satu bidang yang sangat mencolok adalah ilmu alam yang modern. Kalau pada Abad Pertengahan masih terdapat kepercayaan bahwa gerak badan-badan jagat raya diatur oleh malaikat, maka pada zaman modern timbul keyakinan bahwa gerak planet-planet dan badan-badan jagat raya lainnya terjadi menurut hukum-hukum tetap. Dan apa yag berlaku bagi planet-planet berlaku juga bagi seluruh alam, sehingga astronomi modern menjadi model bagi seluruh ilmu alam baru. Tentu saja, contoh termasyhur adalah kasus Galileo Galilei (1564-1642). Ilmuwan Italia itu mengalami kesulitan-kesulitan dengan Gereja karena pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi pusat jagat raya dan bukan bumi. Perlu tempo cukup lama, hingga akhirnya diakui secara umum (juga oleh agama) bahwa ilmu pengetahuan mempunyai otonomi sendiri yang tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Suatu bidang lain adalah filasafat. Dengan berpikir secara mandiri Descartes (abad ke-17) menciptakan filsafat baru untuk menggantikan filsafat lama yang sangat mengutamakan otoritas (otoritas Aristoteles umpamanya atau pemikir besar lainnya). Filsafat baru ciptaan Descartes adalah langkah penting dalam memperjuangkan otonomi rasio. Suatu bidang lain lagi adalah hukum. Hugo Grotius (abad ke-17) merancang hukum internasional yang didasarkan atas kodrat manusia. Ia menegaskan bahwa hukum berlaku etsi Deus non daretur (seakan Allah tidak ada). Maksudnya, hukum tidak mengikat bangsa-bangsa karena dianggap berasal dari Tuhan. Hukum harus mengikat terlepas dari setiap kepercayaan religius, karena dasarnya adalah kodrat yang dimiliki setiap manusia. Kesadaran akan otonomi rasio manusiawi dan otonomi bidang profan pada umumnya membuka kemungkinan untuk mengatasi fatalisme yang selama itu

menandai pandangan dunia. Sekarang manusia dapat memperbaiki nasibnya sendiri. Manusia dapat memainkan peranan aktif. Ia dapat membebaskan dirinya dari macam-macam ketidakberesan, misalnya penyakit. Tidak kebetulan bahwa pada akhir uraiannya dalam Discours de la methode, buku kecil yang menjelaskan metode filsafat dan ilmu penegtahuan baru, Descartes menyebut secara eksplisit ilmu kedokteran sebagai salah satu lapangan di mana ia mengharapkan banyak manfaat dari ilmu pengetahuan yang baru. Dan tidak kebetulan pula, bila dalam buku yang sama ia mengucapkan harapan bahwa berkat pendekatan ilmiah yang baru kita manusia dapat menjadi maitres et possesseurs du monde (tuan dan pemilik dunia).

d. Tapi kita harus menunggu sampai abad ke-19 untuk dapat menyaksikan
bagaimana kesadaran historis sungguh-sungguh merebut dunia intelektual. Abad ke-19 oleh beberapa komentator telah diberi nama abad sejarah. Belum pernah terdapat begitu banyak sejarawan berkaliber besar seperti pada abad itu. Dan filsafat juga sebagian besar menjadi filsafat sejarah. Untuk itu cukup kita ingat saja nama-nama seperti Hegel, Comte, dan Marx. Filsuf terakhir itu menekankan perlunya praksis. Praksis justru menunjukkan peran aktif umat manusia dalam sejarah. Juga filsafat tidak merupakan teori belaka tapi harus melaksanakan sesuatu, harus menjadi praktis. Para filsuf dulu hanya menginterpretasikan dunia dengan cara berbeda-beda; yang penting ialah mengubah dunia, kata Marx. Tapi Hegel dan Marx memandang sejarah sebgai buah hasil dialektika yang berlangsung dengan mutlak perlu. Dan Comte mendasarkan pandangannya atas pengetahuan positif tentang kemajuan umat manusia. Pada mereka semua manusia adalah umat manusia yang dianggap sebagai subyek umum. Mereka mengabaikan manusia sebagai individu. Bagi mereka sejarah adalah realitas yang melebihi manusia-manusia perorangan. Hal itu antara lain mengakibatkan bahwa filsafat mereka berakhir dengan konsepsi totaliter tentang negara (Hegel dan Marx) atau tentang ilmu pengetahuan (Comte, yang melukiskan ilmu pengetahuan sebagai agama baru). Dalam abad ke-20 kita melihat pelbagai reaksi terhadap pandangan abad ke-19 mengenai sejarah itu. Bagi tema kita di sini tidaklah berguna menyoroti semua reaksi itu. Bagi kita yang penting ialah reaksi yang menunjukkan historisitas sebagai unsur dan struktur eksistensi manusia. Sejarah mempunyai arti karena manusia perorangan adalah makhluk historis. Dalam struktur eksistensinya sendiri terdapat orientasi ke masa lampau dan masa depan. Manusia adalah pelaku sejarah. Pada Sartre pendirian itu bahkan dirumuskan ekstrem sekali: manusia menciptakan dirinya sendiri. Dengan demikian fatalisme yang menandai zaman kuno akhirnya sampai

dijungkirbalikkan. Tentu saja, tidak semua filsuf yang menekankan historisitas manusia, menarik kesimpulan begitu ekstrem.

II. Arti Modern Istilah "Historisitas" Mengapa justru dalam masa modern historisitas begitu diutamakan? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Memang tidak dapat disangkal, keinsafan akan historisitas manusia merupakan sesuatu yang baru, bila dibandingkan dengan periode-periode lain. Pasti mesti ada sebabnya. Tetapi untuk mencari sebab-sebab itu, perlu diadakan semacam anatomi mendalam dan lengkap tentang zaman kita yang tidak munkin diusahakan di sini. Kita membatasi diri pada satu aspek saja yang jelas berbeda bagi manusia sekarang, bila dibandingkan dengan teman-temannya di zaman dulu, yaitu pengalaman manusia tentang waktu. Pengalaman itu menyangkut hubungan manusia dengan masa lampau maupun dengan masa depan. Mari kita memandang beberapa detail:

a. Dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, pengetahuan kita sekarang


tentang masa lampau jauh lebih luas. Hal itu adalah hasil nyata dari ilmu pengetahuan. Pada Abad Pertengahan orang berpikir bahwa dunia berumur kirakira 6000 tahun. Seorang sarjana Inggris, Toulmin telah menandaskan bahwa sampai pada abad ke-18 orang mempunyai anggapan yang hampir sama dengan abad ke-4 (Augustinus) tentang kurun waktu yang mencakup sejarah manusia dan perkembangan semesta alam. Katanya: The overall time-span embracing all that had happened since the creation covered some 5.000, 6.000 or 10.000 years at the outside. Ahli fisika termasyhur, Isaac Newton (1642-1727), mengadakan eksperimen dengan bola-bola besi pijar untuk dapat menyimpulkan berapa waktu yang diperlukan bumi hingga menjadi dingin. Ia sampai pada 50.000 tahun, tapi segera ia berkesimpulan bahwa dalam perhitungannya pasti terjadi kesalahan tersembunyi, karena angka itu dianggap terlalu tinggi. Menurut perhitungan Kepler (1571-1630), ahli astronomi yang ternama, permulaan penciptaan berlangsung pada hari Minggu tanggal 24-44977 sebelum Masehi. Uskup Bossuet (1627-1704) menulis sebuah buku sejarah bagi Pangeran Louis XV dari Prancis, di mana ia mengatakan bahwa dunia diciptakan pada tahun 4004 sebelum Masehi. Menurut ilmu pengetahuan modern umur bumi mesti ditaksir sekitar 4 miliar (4.000.000.000) tahun dan merupakan hasil perkembangan yang meliputi banyak

miliar tahun lagi. Juga umur manusia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan dulu. Sekitar tahun 1950 para ilmuwan menyangka bahwa manusia pertama berumur kira-kira 900.000 tahun. Sejak waktu itu ada perkembangan baru lagi. Sesudah Zinyanthropos (homo habilis) ditemukan oleh Louis Leaky di Tanzania tanggal 17 Juli 1959, dapat ditentukan dengan metode yang cukup safe bahwa manusia pertama hidup sekitar 1.860.000 tahun lalu. Timbulnya homo sapiens dari Cro-Magnon (Prancis Selatan) ditaksir pada 100.000 tahun sebelum tarikh kita. Angka-angka ini hampir tidak mungkin dibayangkan. Kiranya sudah jelas bahwa luas waktu lampau sekarang ini dipandang dengan cara yang sama sekali berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Dan dengan demikian seluruh pandangan dunia berbeda pula. Sejarah hanya goresan kecil yang ditarik manusia dalam lautan waktu yang mendahuluinya.

b. Bila dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, pada manusia sekarang


terdapat sikap lain juga terhadap waktu depan. Sikap manusia terhadap waktu depan itu sekarang sekali-kali bukan sikap menanti saja. Kita sudah jauh dari fatalisme yang menandai zaman kuno. Manusia modern insaf bahwa masa depannya sebagian besar terletak dalam tangannya sendiri. Hari esok tidak otomatis lagi sama dengan hari ini atau hari kemarin. Wajah hari esok untuk sebagian ditentukan oleh manusia sekarang. Dia sendirilah bertanggungjawab atas masa depannya. Keadaan itu disebabkan karena peranan dominan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat modern. Menggunakan teknologi yang canggih hanya mungkin dengan melihat jauh ke depan. Lagi pula, penggunaan teknologi sering kali mempunyai efek-efek yang harus ditangani oleh teknologi juga. Masalah polusi lingkungan merupakan contoh yang jelas. Dengan industrialisasi besar-besaran dan banyaknya kendaraan bermotor, lingkungan di negara-negara yang sudah maju mencapai titik rawan dan hanya ada satu jalan untuk mengatasi efek-efek negatif teknologi, yaitu dengan teknologi itu sendiri. Contoh lain adalah masalah kependudukan. Bila jumlah penduduk di bumi kita bertambah terus dan tidak ada usaha mengendalikan laju pertumbuhannya, tidak dapat dihindarkan kita akan menuju ke suatu keadaan yang sangat gawat. Hal yang sejenis berlaku juga tentang eksploitasi sumbersumber daya alam. Minyak bumi misalnya jauh lebih banyak digunakan manusia daripada dapat bertambah melalui proses alamiah. Sumber-sumber daya alam itu terbatas dan kalau dipakai terus sesudah sekian waktu akan habis. Di samping menjaga agar persediaan yang masih ada akan digunakan seefisien mungkin, manusia harus memikirkan juga sumber-sumber energi baru. Laporan

Klub Roma yang termasyhur itu merupakan contoh jelas tentang cara pendekatan yang khusus bagi zaman dewasa ini. Keterarahan ke masa depan belum pernah begitu besar seperti sekarang. Planning atau perencanaan merupakan fenomena modern yang khas, seperti juga ilmu baru yang disebut planologi. Memang benar yang sudah dikatakan A. Comte: savoir cest prvoir, menjalankan ilmu pengetahuan berarti melihat ke depan.

III. Segi-segi dan Implikasi-Implikasi Historisitas Historisitas termasuk struktur eksistensi manusia sendiri, kita lihat tadi. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk historis menurut kodratnya. Maka dari itu menganalisis historisitas adalah suatu cara untuk mempelajari manusia. Bila kita mempunyai penegertian lebih konkret tentang historisitas, kita juga akan mengerti lebih baik apa itu hidup sebagai manusia. Dalam bagian terakhir ini kita akan melihat bahwa historisitas sebagai paham modern sekurang-kurangnya membawa empat implikasi. Perlu diperhatikan dengan baik bahwa empat implikasi itu tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Dengan menyebut yang satu orang sebenarnya turut menyebut yang lain juga. Karena namanya implikasi, empat hal itu merupakan aspek-aspek dari realitas yang tak terpisahkan. Empat impliksi itu adalah berturutturut inkarnasi, kebebasan, temporalitas, dan intersubyektivitas. a. Inkarnasi Historisitas tidak mungkin, seandainya manusia itu atau roh murni atau materi belaka. Manusia bukan binatang dan bukan malaikat, kata Pascal. Hal itu tentu selalu diketahui, tapi para filsuf tidak selalu berhasil untuk mengungkapkan kebenaran itu secara refleksif dan sintesis filosofis yang mereka ciptakan. Dan tidak dapat disangkal, pada permulaan filsafat modern pemikiran tentang manusia amat didominasi oleh konsepsi dualistis, pandangan yang tidak sanggup mempersatukan secara harmonis segi rohani dan segi jasmani dalam diri manusia. Yang dimaksudkan adalah filsafat Descartes. Tentu saja, filsuf Prancis itu tahu bahwa manusia buka malaikat. Tapi dalam sintesis filosofisnya, manusia muncul sebagai Cogito (kesadaran atau roh) yang terisolasi, sehingga memang ada benarnya bila orang di kemudian hari berbicara tentang angelisme dalam pemikiran Descartes. Dualisme Descartes itu merupakan suatu hipotek berat yang cukup lama membebani pemikiran tentang manusia. Seluruh filsafat modern sesudahnya bergumul untuk dapat mengatasi pandangan dualisitis tentang manusia itu. Dan mungkin baru

zaman kita sekarang mulai berhasil. Tidak kebetulan bahwa dalam perspektif filsafat Descartes sama sekali belum ada tempat untuk historisitas. Bagi dia manusia sebetulnya semacam makhluk ahistoris, seperti binatang (dan malaikat). Mengakui historisitas dalam eksistensi manusia dengan sendirinya berarti juga mengakui manusia sebagai roh-yang-diinkarnasi, sebagai roh yang menjelma dalam materi. Kejasmanian tidak merupakan rintangan bagi roh manusiawi. Sebaliknya, materialitas adalah satu-satunya jalan bagi roh manusiawi untuk mengekspresikan diri. Pada manusia, aktivitas yang paling rohani pun tidak mungkin tanpa materi (misalnya proses-proses dalam otak). Hal itu perlu diakui kepada materialisme, walaupun tidak perlu kita setujui semua kesimpulan yang mereka tarik dari kenyataan itu. Ciptaan manusia yang paling luhur seperti kesenian, tidak mungkin dikerjakan tanpa bahan tertentu. Puisi tidak mungkin tanpa kata-kata, lisan atau tulisan, jadi materi pula (meski bahasa barangkali dapat dianggap sebagai materi yang paling halus). Pendeknya, seluruh kebudayaan baru menjadi mungkin, bila manusia adalah roh-yang-diinkarnasi. Karena, kebudayaan itu tidak lain dari manusia yang mengungkapkan diri dalam alam, dalam materi yang kasar. Kultur atau kebudayaan adalah materi yang dihumanisasikan. b. Kebebasan Historisitas tidak mungkin juga, jika manusia tidak bebas. Hal ini berkaitan erat dengan yang dibahas tadi. Jika memang benar bahwa manusia selalu merealisasikan diri dalam materi dan dengan materi, maka sudah diandaikan bahwa manusia itu bebas. Sebuah batu adalah batu belaka, tidak lebih dan tidak kurang. Di sini harus dikatakan: it just is what it is. Tapi manusia tidak pernah merupakan suatu data begitu saja , tapi juga tugas. Dalam arti itu dapat dikatakan tentangnya: he never is what he is. Manusia itu tidak pernah merupakan suatu data alamiah. Seorang manusia bukanlah seniman, umpamanya, sebagaimana batu adalah berat. Bila Picasso adalah seorang seniman, itu berarti bahwa ia merealisasikan diri sebagai seniman. Dalam kaitannya dengan kebudayaan dan khususnya dalam hubungan dengan kesenian sering diapakai kata menciptakan. Seniman menciptakan karya seninya. Seniman dan setiap orang yang menyumbangkan untuk memajukan kebudayaan adalah kreatif. Tentu saja, manusia sepatutnya merasa segan menggunakan kata-kata itu tentang dirinya sendiri. Hanya Tuhan adalah pencipta dalam arti sepenuhnya. Namun benar juga, manusia diciptakan sebagai seorang pencipta, seperti pernah dikatakan filsuf Prancis. Manusia adalah pencipta, walau bakat itu diberikan kepadanya. Ia sendiri tidak merupakan sumber

mutlak dari bakat itu. Bakat itu sendiri tidak diciptakan olehnya. Kebebasannya adalah kebebasan-yang-disituasikan. Hal itu harus dipertahankan melawan pandangan-pandangan ekstrem mengenai kebebasan, seperti misalnya pada Sartre. Namun demikian, manusia betul-betul kreatif, karena ia dapat menghasilkan sesuatu yang baru. Pada tahap binatang tidak pernah terjadi sesuatu yang baru. Binatang tidak jarang memiliki bakat istimewa, sampai-sampai manusia sering kalah terhadap mereka. Namun mereka tidak pernah mengemukakan sesuatu yang baru. Sedangkan manusia, kata Hegel, adalah ein krankes Tier, binatang yang sakit. Maksudnya, manusia tidak pernah puas dengan keaadaan alamiahnya. Manusia selalu ingin melampaui keadaan yang disajikan kepadanya oleh alam. Ia menjalankan kemungkinan-kemungkinannya terus-menerus. Eksistensinya tidak pernah selesai dan ia insaf akan hal itu. Selalu ia mempunyai aspirasi untuk maju. Manusia, kata Merleau-Ponty, adalah un mouvement de transcendance, gerak yang senantiasa mengatasi dirinya sendiri. c. Temporalitas Historisitas tidak mungkin juga, seandainya manusia itu makhluk abadi yang terangkat di atas peredaran waktu. Historisitas mengandaikan bahwa eksistensi manusia dijalankan dalam waktu. Atau dirumuskan dengan cara lain, eksistensi manusia menurut kodratnya mempunyai struktur temporal. Sepanjang sejarah filsafat banyak sekali dibahas tentang waktu. Pada Aristoteles dan Augustinus sudah terdapat uraian-uraian tentang masalah waktu yang masih sempat merangsang pemikiran sampai pada hari ini. Bagi kita tidak mungkin mendalami bagian sejarah filsafat itu. Yang penting bagi tema kita ialah bahwa pada zaman modern konsepsi tentang waktu cukup lama didominasi oleh pandangan fisika. Isaac Newton yang menulis sintesis besar tentang ilmu alam baru, mendefinisikan waktu sebagai berikut: Tempus absolutum, verum et mathematicum in se natura sua sine relatione ad externum quodvis aequabiliter fluit alioque nomine dicitur duration (Waktu yang absolut, benar dan matematis, menurut kodratnya mengalir terus dengan cara yang sama tanpa hubungan apa pun dengan sesuatu di luar dan dengan nama lain disebut durasi). Kalau begitu, waktu dimengerti sebagai semacam rentetan saat-saat yang lewat secara kontinyu: ada saat-saat yang sudah lewat dan karena itu tidak riil lagi (waktu lampau), ada saat-saat yang belum lewat dan karena itu belum riil (waktu depan) dan di antaranya terdapat saat sekarang sebagai semacam titik potong antara waktu lampau dan waktu depan. Hanya saat sekarang itu dianggap riil, tapi segera hilang pula, jatuh ke dalam ketiadaan dan

diganti dengan saat lain. Dirumuskan sedikit karikatural, waktu lewat bagaikan kereta api kilat dan setiap saat kita berhadapan dengan satu gerbong saja yang terusmenerus diganti. Konsepsi tentang waktu serupa itu berlaku bagi waktu fisis atau waktu matematis, sebagaimana dikatakan oleh Newton sendiri. Itulah waktu yang ditunjukkan oleh jam, arloji atau kalender. Tapi itu bukan waktu dalam arti yang asali. Itu bukan waktu yang benar, sebagaimana diandaikan oleh Newton. Waktu fisis adalah waktu artifisial yang diturunkan dari waktu yang dihayati manusia, waktu antropologis. Bagaimana waktu dihayati secara asali? Waktu lampau, waktu sekarang dan waktu mendatang tidak merupakan tiga bagian waktu yang homogen. Di antara tiga bagian waktu itu waktu sekarang menduduki tempat istimewa. Waktu pada dasarnya adalah waktu sekarang, tapi tidak dalam arti titik potong yang timbul lalu segera hilang ke dalam ketiadaan. Waktu sekarang adalah kehadiran (presence). Dengan kata lain, waktu mengambil asalnya dari dalam manusia (bandingkan dengan Newton: tanpa hubungan apa pun dengan sesuatu di luar). Waktu lampau hanya bisa menjadi lampau bagi saya, karena saya dapat mengakuinya sebagai lampau. Waktu lampau adalah hadir bagi saya dalam bentuk tidak lagi. Bila saya seorang dewasa, maka masa muda masih hadir bagi saya, bukan saja sejauh saya mengingatnya, tapi juga sejauh masa muda saya membentuk, membatasi, dan mengorientasi keadaan saya sekarang. Dalam konteks ini Husserl dan pengikutpengikutnya menggunakan istilah Retention. Hal yang sejenis harus dikatakan tentang waktu mendatang. Waktu mendatang adalah hadir bagi saya dalam bentuk belum. Jadi, dengan salah satu cara hadir juga. Bila saya seorang muda, maka masa dewasa saya sudah hadir bagi saya sejauh saya rencanakan, takuti atau nantikan. Masa depan mengorientasi dan mempengaruhi keadaan saya sekarang. Para eksistensialis memang benar dengan menekankan bahwa pada setiap saat kematian sudah hadir dalam eksistensi seorang manusia, meski dalam bentuk yang akan datang. Kematian yang tak terelakkan mempengaruhi dan mengorientasi eksistensi saya sekarang. Dalam konteks waktu mendatang ini Husserl berbicara tentang Protention. Dengan demikian tiga dimensi waktu (lampau, mendatang, sekarang) kehadiran. d. Intersubyektivitas Temporalitas tadi masih harus dilengkapi dengan implikasi lain lagi. Karena, bila dikatakan bahwa eksistensi mempunyai struktur temporal, hal itu masih dapat mengambil asalnya dari subyek dan dipersatukan berdasarkan

dimengerti tentang eksistensi perorangan saja. Tapi historisitas mengandaikan juga bahwa manusia hidup dan berkarya bersama dengan manusia lain. Seandainya manusia seorang Robinson Crusoe yang hidup seorang diri di pulau terpencil, tidak mungkin lagi dia makhluk historis. Manusia adalah makhluk historis, karena ia merealisasikan dirinya dan menghumanisasikan dunia bersama dengan orang lain, bukan saja kawan-kawan sewaktu melainkan juga generasi-generasi sebelumnya. Kita hidup dalam dunia yang telah dihumanisasikan oleh jerih payah banyak angkatan sebelum kita. Hidup sebagai manusia berarti hidup sebagai ahli waris: memanfaatkan pekerjaan dan pemikiran banyak sekali orang dari masa silam. Hal itu harus dipahami dengan cara seluas munkin: juga di bidang kesenian, etika, dan agama. Manusia adalah makhluk historis, karena selalu ia meneruskan. Historisitas menjadi mustahil, seandainya setiap generasi (apalagi, setiap individu!) harus menemukan segalanya bagi dirinya sendiri. Tapi dengan cara yang sama kita sekarang juga merealisasikan dunia di mana kita hidup, bukan saja bagi kita sendiri melainkan juga bagi generasi-generasi yang akan datang sesudah kita. Misalnya, sebagian besar tergantung pada kesigapan kita sekarang, bagaimana keadaan lingkungan hidup sesudah satu atau dua abad lagi.

IV. Ikhtisar Paham historisitas ini mengizinkan kita untuk mencapai posisi yang cukup seimbang tentang hubungan manusia dengan sejarah. Tentang hubungan itu terdapat dua pandangan ekstrem. Di satu pihak terdapat apa yang boleh disebut naturalisme. Menurut pandangan ini manusia dianggap sebagai substansi yang tak terubahkan. Manusia dianggap selalu sama dalam setiap periode perkembangan historisnya. Manusia mempunyai kodrat yang tidak pernah berubah. Di lain pihak terdapat historisisme (historicism). Perlu diakui, istilah ini (dan sebenarnya hal yang sama berlaku juga untuk naturalisme) kerap kali kurang jelas karena digunakan dalam pelbagai arti. Dengan historisisme di sini dimaksudkan usaha untuk mengerti sesuatu dengan mengasalkannya kepada perkembangan historisnya. Misalnya, norma-norma etis dianggap semata-mata sebagai produk perkembangan historis sehingga norma-norma itu tidak pernah mungkin berlaku secara mutlak. Historisisme dalam arti ini menganggap juga manusia sendiri sebagai produk perkembangan historis. J. Ortega Y Gasset pernah mengatakan, Manusia tidak mempunyai kodrat, ia hanya mempunyai sejarah. Bila ucapan ini harus dipahami secara harfiah dan bukan sebagai paradoks saja, di sini secara jelas kita berjumpa dengan konsepsi historisistis tentang manusia.

Bila dua pandangan tentang pokok yang sama berlawanan secara ekstrem, kerap kali kedua-duanya mengandung unsur kebenaran. Demikian halnya juga di sini. Dan paham historisitas dapat membantu untuk mencarikan jalan tengah antara dua posisi ekstrem tadi dan dengan demikian mensintesis kebenaran yang terdapat dalam kedua-duanya. Manusia adalah subyek dan serentak juga obyek sejarah. Bila ia subyek atau pelaku sejarah, itu berarti bahwa naturalisme untuk sebagian benar. Seandainya manusia tidak mempunyai identitas yang jelas, tidak mungkin ia memainkan peranan kreatif dengan menjadi pelaku sejarah. Manusia mengubah atau mentransformasi dunia dan sejarah adalah justru proses transformasi itu. Karena itu perlu diakui bahwa manusia mempunyai kodrat tertentu. Itulah kebenaran yang terpendam dalam naturalisme. Tapi manusia tidak mempunyai kodrat yang masif dan monolitis. Ia tidak sama dalam setiap periode dalam sejarah. Ia juga dipengaruhi dan dibentuk oleh sejarah. Itulah kebenaran historisisme. Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa hubungan antara manusia dan sejarah bersifat dialektis. Artinya, terdapat perkaitan timbal balik antara manusia dan sejarah. Manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan serentak juga ia dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah. Kenyataan itu tidak lagi merupakan kontradiksi, bila kita mengerti historisitas sebagai struktur fundamental dalam eksistensi manusia.

Kematian
Modul XII
Sub Materi:
Dunia Akhirat: Persoalan yang Konstan dan Umum bagi Umat Manusia Lahirnya Manusia Jiwa Manusia Tidak Dapat Direduksikan kepada Badan (Jiwa Manusia Bersifat Spiritual dan Sederhana; Jiwa Manusia Bersifat Kekal) Argumen-argumen Pokok mengenai Hidup Sesudah Mati Hidup Sesudah Mati: Masalah "Caranya" Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

K E M AT I A N M A N U S I A

I. Dunia Akhirat: Persoalan yang Konstan dan Umum bagi Umat Manusia Karena filsafat adalah pertanyaan, makadalam kaitannya dengan tema yang sedang kita bahas sekarang inihendak didiskusikan beberapa pertanyaan pokok ini: Pertanyaan pertama: Mengapa kita berbicara tentang kematian? Apa alasan epistemologis kita harus berbicara tentang kematian? Juga, apa relevansi eksistensialnya bagi kita? Atas pertanyaan-pertanyaan ini, mungkin kita akan mengajukan jawaban berikut:

1. Karena kematian adalah tema yang relatif jarang diangkat dan dikaji secara
filosofis. Dalam setiap ranah pemikiran, gagasan terbagi ke dalam tiga wilayah: yang terpikirkan (the thought), yang tak terpikirkan (the unthought), yang tak boleh dipikirkan (the unthinkable). Tema kematian barangkali termasuk dalam wilayah yang tak terpikirkan, sehingga tugas kita menjadikannya sesuatu yang terpikirkan. Hal ini terungkap dari fakta bahwa tema kematian, walaupun sudah dikaji sejak ribuan abad lampau oleh Epicurus dan para pemikir Stoa, baru mendapat perhatian serius secara sistematis pada era Eksistensialisme modern (via Heidegger, Sartre, Jaspers, dan lain-lain).

2. Karena kematian sering kali dimaknai secara dangkaldan ini yang


terpenting. Kematian bukan lagi sesuatu yang menggetarkan hati dan pikiran manusia. Karena pengaruh teknologi media mutakhir, kematian tercerabut dari konteksnya sebagai pengalaman manusiawi yang unik dan khas, dan menjadi sekadar data. Pendek kata, kematian menjadi fakta; ia menjadi faktualitas, tetapi kehilangan maknanya sebagai faktisitas, pengalaman manusiawi yang human dan riil. Setelah sedikit mengerti alasan kenapa kita bicara tentang kematian, pertanyaan kedua adalah: Mungkinkah kita bicara tentang kematian? Di sini ada dua aporia (keganjilan, paradoks) menggetarkan yang harus kita hadapi:

a. Kita, dalam hal ini, membicarakan kematian secara a priori. Aporia paling muskil
adalah fakta bahwa kini kita bicara tentang kematian, padahal kita belum mengalaminya. Bagaimana kita bicara ihwal kematian, sementara kita belum

mengalaminya? Bagaimana kita bicara kematian secara a priori, jika secara a posteriori kita belum mengetahuinya? (Aporia I) b. (Aporia II): Kita adalah makhluk mengada, dan sedang dalam proses mengada dan meng-ada. Sementara kematian adalah meniada, atau bahkan mungkin ketiadaan itu sendiri, sehingga bagaimana kita bicara tentang ketiadaan dalam kemengadaan kita? Mungkin, membicarakan kematianmewacanakannya dalam batas-batas

pemikiran yang diskursiftidak sepenuhnya mungkin. Namun, setidaknya filsafat bisa mendekatkan kita pada kemungkinan itu. Pertanyaan selanjutnya, metode filosofis apa yang paling dekat pada kemungkinan untuk memikirkan kematian? Ada beragam perspektif, namun metode yang paling dekat pada kemungkinan (dan sekaligus ketidakmungkinan) untuk memikirkan kematian dan menghayatinya adalah dengan filsafat eksistensial (Existenzphilosophie, yang dalam beberapa literatur disebut juga Lebenphilosophie, filsafat hayat, filsafat-kehidupan)-yang berangkat dari ontologi. Filsafat eksistensial, seperti diketahui, muncul karena kegelisahan para filsuf melihat dominasi struktural ilmu-ilmu alam terhadap pengalaman manusia. Dominasi sains dan biologi dalam membicarakan persoalan-persoalan kematian sangatlah kuat mewarnai kehidupan modern secara umum. Karena itu, sebagai akibatnya pengalaman-pengalaman manusiawi yang terkait dengan kehidupan sering kali menderita reduksi yang tidak sepatutnya akibat dominasi paradigma saintifik tersebut. Inilah yang oleh Husserl ditengarai sebagai krisis pengetahuan dalam kesadaran modern. Krisis itu coba dipulihkan kembali (direstorasi) oleh filsafat eksistensial. Mode filosofis yang dikemukakan oleh filsafat eksistensial ingin melihat pengalamanpengalaman hayati yang unik seperti kehidupan dan kematian sebagai pengalaman yang tak cukup didekati dengan ilmu, tetapi perlu melibatkan pengalaman. Kuncinya adalah pada penghayatan, atau intesionalitas yang terlibat (engaged) dalam objek yang diteliti. Ini adalah mode filsafat yang terlibat dalam realitas, yang tidak berjarak secara hermeneutis dari apa yang dibacanya, tetapi menghanyutkan diri dalam realitas yang dia baca untuk mendapatkan intisari dari pengalaman-pengalaman manusiawi tersebut. Hal ini tidak kita peroleh dari pengetahuan saintifik-medis yang mungkin melihat kehidupan dan kematian seseorang dari sisi biologis-fisikalnya saja.

Wacana mengenai kematian akan sangat menarik bila mengontraskan berbagai paradigma yang bertentangan. Tak ada paradoks yang paling membuat dahi berkernyit dan perasaan kita bergetar hebat selain fakta bahwa kita semua akan mati, tetapi kita tidak tahu bagaimana kita akan mati. Kematian barangkali adalah misteridan filsafat mungkin adalah secercah lilin yang bisa menerangi kegelapan misteri itu.

II. Lahirnya Manusia Filsafat manusia hanya mencari hakikat manusia pada taraf horizontal. Maka diselidiki ialah (kemungkinan) penyebaban terhadap manusia baru hanya pada taraf manusiawi saja. Pengaruh Tuhan didiamkan dulu; baru dipersoalkan sebagai penciptaan pada filsafat ketuhanan. Rupanya kelahiran manusia dapat dijelaskan dengan pengertian akan kelahiran substansi-substansi infrahuman yang dianggap materiil: hewan atau pohon. Diandaikan bahwa substansi infrahuman itu (sebab hanya jasmani) dengan lebih mudah dipahami daripada manusia, sebab dibutuhkan keterangan tambahan bagi kerohanian manusia. Tetapi dualisme dalam hal asal-usul materiil dan spiritual demikian menjadi mustahil oleh karena kesatuan jiwa-badan di dalam manusia; dan itu berlaku baik bagi kegiatan orangtua, maupun bagi anak yang mereka lahirkan. Tidak ada segi yang mempunyai prioritas. Bahkan, lahirnya hewan atau pohon justru menimbulkan soal metafisis pokok yang sama seperti berlaku bagi manusia, yaitu lahirnya substansi otonom baru. Bagaimana itu dapat dipahami? Bukan lahirnya substansi infrahuman yang dapat memberikan insight hakiki mengenai soal itu. Hanya pemahaman akan hakikat manusia dapat membuka jalan bagi pengertian kelahiran yang fundamental. Berikut ini adalah pendapat-pendapat filosofis yang ada mengenai kelahiran manusia: (1) Dua ekstrem. Menurut materialisme, seluruh manusia itu melulu materi; dan seluruhnya ia dilahirkan oleh orangtuanya, menurut proses alamiah. Sedangkan menurut spiritualisme panteistis, jiwa manusia diemanasikan dari substansi ilahi, entah dengan telah berada sebelum kehidupan duniawi (pre eksistensi) atau belum. Jiwa itu merupakan suatu modifikasi, suatu bagian, atau suatu fase dari substansi ilahi. Badan itu hanya epifenomena saja; (2) Dualisme. Jiwa telah diciptakan sebagai substansi utuh sebelum kehidupan duniawi (pre eksistensi). Kemudian, jiwa itu dipersatukan dengan badan, dengan alasan

berwarna-warna (Kant, Schelling); (3) Usaha sintesis, yang meliputi tradusianisme, kreasionisme, dan hominisasi. Tradusianisme berasal dari kata Latin traducere yang berarti: menyerahkan, atau memberi-alih. Baik badan maupun jiwa dilahirkan oleh orangtua, atau diberi-alih dari substansi mereka. Menurut tradusianisme materiil, jiwa dikembangbiakkan langsung melalui mani badaniah, dan lahir dari substansi badaniah orangtua. Menurut tradusianisme spiritual; atau mani badaniah hanya merupakan semacam alat pengantara untuk mencurahkan jiwa orangtua kepada manusia baru, atau jiwa itu lahir dari semacam mani spiritual yang dihasilkan oleh jiwa orangtua. Kreasionisme adalah ajaran skolastik yang tradisional, mulai abad-abad pertengahan. Jiwa itu dipersatukan secara substansial dengan badan, tetapi pada ketika itu juga baru diciptakan oleh Tuhan secara langsung. Dengan demikian, Tuhan menjadi sumber satu-satunya bagi adanya jiwa. Menurut Thomas, jiwa manusia baru tidak dapat dengan langsung berasal (dilahirkan oleh) orangtua. Jiwa itu subsisten, dan transenden terhadap materi; sedangkan kegiatan orangtua pada kelahiran hanya terbatas pada bidang materiil saja. Maka orangtua menyediakan materi bagi manusia baru; pada saat persiapan itu sudah cukup, maka jiwa dengan diciptakan sekaligus dimasukkan ke dalam materi sebagai prinsip formal (forma) manusiawi. Hominisasi, menurut teori Teilhard de Chardin mengenai kesatuan kompleksifikasi dan interiorisasi di dalam satu substansi sepanjang seluruh evolusi, kiranya juga dalam kelahiran manusia unik, baik badan maupun jiwa dihasilkan oleh orangtua. Teilhard berpendapat bahwa ajaran skolastik mengenai penciptaan jiwa yang langsung dapat disesuaikan dengan teorinya tentang evolusi itu. Karl Rahner menolak ajaran skolastik klasik itu. Orangtua menghasilkan seluruh manusia baru, badan dan jiwa. Dengan demikian, mereka mengatasi diri sendiri pula (Selbstuberbietung). Kelebihan itu hanya mungkin sebagai partisipasi akan kegiatan kreatif yang tak terbatas: Tuhan. Suatu pertanyaan penting yang harus dijawab ialah: sejauh mana manusia dapat melahirkan manusia. Struktur hakiki, yang termuat di dalam antarkomunikasi manusia selama proses perkembangannya, juga menentukan permulaan proses itu. Jikalau manusia (dapat) mengadakan manusia lain menurut keunikannya dan sekadar manusia, maka ia juga dapat melahirkan manusia baru. Dari segi ontologis, permulaan proses itu lebih sederhana dan lebih mudah daripada perlangsungannya. Seperti manusia hanya berkembang di dalam komunikasi, begitu juga manusia baru lahir hanya di dalam dan karena komunikasi. Sambil berkomunikasi satu sama lain dan sambil saling memanusiakan, orangtua mengkomunikasikan kemanusiaan

kepada anaknya pula. Seperti orangtua saling membuat lebih manusia, demikian pula anak menerima diri seluruhnya dari orangtua sebagai manusia yang utuh, di dalam penyebaban manusia yang langsung. Jadi, kelahiran manusia bukan suatu penyebaban serba luar biasa, melainkan merupakan permulaan normal dari suatu proses manusiawi yang normal. Perlu dicatat bahwa pengandungan pertama (conceptio) tidak boleh dilepaskan dari perkembangan pertama selama sembilan bulan sampai pada kelahiran anak; dan juga harus terus dilihat dalam hubungan dengan seluruh pendidikan sesudah kelahiran. Bukan permulaan itu yang paling penting, melainkan sebaliknya. Penciptaan anak baru mempunyai arti bagi orangtua sejauh itu sekaligus mengandung kesediaan untuk melahirkannya dan mendidiknya. Pembentukan pribadi anak di dalam antarkomunikasi pendidikan itu jauh lebih penting daripada saat kelahiran aktual. Kelahiran sendiri memuat janji dan tekad untuk bertanggungjawab bagi seluruh perkembangan anak.

III. Jiwa Manusia Tidak Dapat Direduksikan kepada Badan (Jiwa Manusia Bersifat Spiritual dan Sederhana; Jiwa Manusia Bersifat Kekal) Oleh karena jiwa spiritual berbeda secara radikal dengan semua yang berbentuk material, ia juga mempunyai suatu sifat lain yang dekat dengan transendensi. Semua benda material bernasib sama: bertahan sementara saja, bersifat fana, dan akhirnya busuk dan mati. Mengapa? Karena mereka terdiri dari bagian-bagian yang pelepasannya satu dari yang lain memuat degradasi dan kebusukan. Semua ada material, apakah mineral atau hidup (seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang) mengalami dekomposisi, destrukturisasi. Bunga menjadi pudar; hewan mati kena kebusukan karena jiwa mereka ini (yang menstruktur adanya) secara intrinsik tergantung dari tubuhnya, yaitu sama sekali terserap oleh fungsi-fungsi material dan perasaannya. Maka, biarpun bukan jiwa sendiri dari hewan yang busuk, namun dia musnah bila tubuh hewan itu direduksi sampai hancur. Hewan terbatas pada dunia sensitif dan panca indera. Dia tidak masuk dunia abstraksi. Nasib manusia akan sama seandainya seluruh fungsinya tidak melampaui fungsi pertama itu. Tidak bisa diragukan bahwa banyak jenis binatang menunjukkan semacam afektivitas, tetapi yang ini tinggal di derajat sensorial; tidak melampaui dunia material. Jadi afektivitas seekor anjing terhadap tuannya tidak sejenis afektivitas manusiawi. Itu tidak berarti bahwa binatang dapat diperlakukan seperti benda-benda saja, terutama karena banyak binatang yang hidup dengan manusia dan dipelihara dengan perhatian memang dimanusiakan sampai batas tertentu, justru bukan

karena kehewanannya, tetapi karena kontaknya dengan sesuatu yang lebih tinggi, yaitu dunia manusiawi. Tanpa keluar dari dunia material, binatang sampai batas tertentu bisa masuk ke dalam dunia manusiawi. Adapun mengenai prestasi-prestasi yang disebut inteligen pada beberapa jenis binatang, dapat dipahami pendapat kebanyakan ahli psikologi binatang yang mengakui practical intelligence pada dunia hewani, yang lebih daripada insting tetapi sama sekali di bawah inteligensi yang khas bagi manusia, dengan abstraksi, ilmu-ilmu, seluruh dunia kebudayaan dan agama, dan lain-lain. Sampai di sini, jiwa manusia dibicarakan di luar perspektif dualistis yang melawankannya dengan badan. Namun dibedakan dari badan, karena jiwa merupakan realitas spiritual yang dinamis, tanpa keluasan dan kuantitas; jadi tidak terdiri dari bagian-bagian dan karenanya tidak bisa kena pembusukan (dekomposisi). Dia lepas dari semua bentuk perceraian; dia tidak dapat menjadi korban dari korupsi, degradasi, kematian, karena jiwa itu bersifat sederhana, tanpa bagian-bagian yang bisa diceraikan satu dari yang lain, seperti halnya dengan semua benda material. Karena spiritualitasnya, jiwa lepas dari hukum-hukum materi. Pengakuan tersebut sama dengan pengakuan bahwa jiwa manusia hidup terus sesudah korupsi badan, tidak ikut pembusukan badan yang dijiwainya dan yang dikuasai oleh determinisme biologis yang nampak dalam penyakit, usia lanjut dan berhentinya fungsi-fungsi fisiologis esensial. Kepercayaan akan kekekalan jiwa mengucapkan keyakinan bahwa dimensi spiritual kepribadian manusiawi hidup lagi sesudah kematian. Kepercayaan universal akan hidup sesudah mati merupakan semacam protes dari kuburan-kuburan dan peti mati yang menyatakan betapa kuat keyakinan ini. Paham materialis mencoba menghancurkannya, tetapi dewasa ini kepercayaan ini muncul lagi secara besar-besaran dalam berbagai bentuk yang sering mengherankan sekali. Misalnya, Ernst Bloch, seorang filsuf neo-Marxis dari aliran yang disebut Mazhab Frankfurt berlainan dengan paham Marxisme resmi dan banyak teolog yang melihat dalam kematian penghapusan total dari manusia menegaskan dengan keras kepercayaannya akan suatu realitas spiritual di dalam manusia, meskipun dia tinggal dalam perspektif utopia sosialis. Beliau mengucapkan pendapatnya tentang keinginan akan hidup sesudah mati, sebagai berikut, Tidak akan mungkin bahwa kita menderita demikian untuk sesuatu yang bersifat fana saja, seandainya tidak berdenyut di dalam kita sesuatu yang terus-menerus berkembang, sesuatu yang bergema di dalam kebatinan kita yang paling dalam, yang mendorong kita untuk pergi lebih jauh dan membawa kita ke atas semua yang material saja. Kepada mereka yang berkeberatan dan menyatakan bahwa kematian adalah akhir

definitif dari semua, Bloch menjawab: itu merupakan suatu pernyataan tanpa basis, yang bisa dipertentangkan dengan sebuah hipotesis yang sebaliknya, ialah kepribadian sebagai ada yang tak terbinasakan. Dan apa pun yang bisa dikatakan oleh para sarjana dari sientisme tetap tinggal suatu fakta bahwa benih dari transendensi tidak dapat diletakkan dalam debu laboratorium. Kita merasa bahwa kita bukan tamu saja dalam badan kita. Itulah sebabnya mengapa kita dapat diamputasi dari sebuah kaki, sebuah lengan, tanpa mengalami bahwa keakuan kita kehilangan satu butir pun dari diri kita sendiri. Lalu beliau menggarisbawahi superioritas psikis, aspek tak tersaingi dan akhirnya tak tersentuh dari ada spiritual, yaitu apa yang tetap tinggal identik dalam intinya sebelum dan sesudah kematian. Bukankah aneh bahwa seorang Marxis mengingatkan kepada kita kekayaan dan relevansi paham tradisional itu, yang disangkal oleh beberapa aliran filosofis dan teologis aktual? Perlu disinyalir di sini bahwa alergi terhadap gagasan jiwa, apalagi terhadap ide kekekalan struktural (kodrati) terbatas pada teologi Eropa Kontinenatal (terutama Jerman dan tiruan Perancisnya). Pada umumnya fobia tersebut tidak masuk negara-negara berbahasa Inggris. Sesungguhnya, diskusi tradisional di Inggris dan Amerika Serikat mengenai hidup sesudah mati atau dunia akhirat terus asyik dilukan, di samping penelitian cermat tentang kematian dan aspek-aspek sosialnya. Pembicaraan-pembicaraan mengenai identitas pribadi, artinya apa yang esensial dalam kepribadian, apakah seseorang bisa berada di luar badannya, menghadiri pemakamannya sendiri. Pengarang Inggris H.D. Lewis menganalisis dengan baik diskusi-diskusi itu. Menurutnya, terdapat suatu titik yang tak bisa direduksikan, suatu kutub oposisi yang mutlak, self keakuannya. Pun pula dalam amnesia total, si subjek tidak berhenti berkata aku; ia tahu bahwa ia adalah ia, kesadaran yang kosong itu, ingatan yang rusak itu. Dalam beberapa riset yang lain, yang diorientasikan ke arah analogi antara kematian dan tidur, N.H. Price sebagai komentator dan kritikus yang paling termasyur menulis bahwa analogi yang kuno antara kematian dan tidur tetap bermanfaat. Kematian adalah tidur yang terakhir dan istirahat tidur adalah gambar dari kematian. Batas antara keadaan jaga dan tidur tidak tertangkap seperti halnya dengan batas antara kehidupan dan kematian.

IV. Argumen-argumen Pokok mengenai Hidup Sesudah Mati

Argumen Kesepakatan Umum

Manusia

secara

umum

mempunyai

suatu

kepercayaan

spontan

akan

kelangsungan hidup sesudah kematian. Kepercayaan itu terdapat pada semua bangsa, bahkan yang paling kuno. Hanya manusialah yang membuat persembahan kepada yang mati dan menguburnya dengan cara khusus. Beberapa suku tertentu bahkan menyediakan alat-alat dan makanan bagi orang yang meninggal karena percaya bahwa mereka dapat menggunakannya. Kepercayaan itu mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan akan suatu pahala atau suatu hukuman, sesuai dengan perilaku orang yang telah meninggal itu. Evaluasi terhadap argumen ini: Jika kehidupan mempunyai arti, sulitlah untuk menganggap bahwa sebagian terbesar umat manusia itu keliru dalam kepercayaan akan kehidupan terus. Tentu saja, bagi mereka yang mengira bahwa hidup ini tidak berarti apa-apa, bahkan bersifat absurd, argumen ini tidak berlaku. Itulah batas argumen ini: ia mengandaikan kepercayaan akan nilai dan signifikasi positif dari dunia ini, sehingga mengenai kebenaran-kebenaran dengan dampak eksistensial sebesar nasib terakhir manusia, manusia tidak bisa keliru secara universal. Suatu batas lain dari argumen ini adalah bahwa, strito sensu (dalam arti ketat) ia hanya mencerminkan kepercayaan akan suatu hidup terus, tetapi tidak mesti kehidupan terus tanpa akhir. Jadi dari dirinya sendiri, jika argumen itu tidak dilengkapi dengan refleksi tentang struktur ontologis manusia, maka tidak mesti mengandung kekekalan. Argumen yang Disimpulkan dari Etika Argumen ini mulai dengan kenyataan bahwa orang yang jujur dan baik sering kali mengalami kemalangan dalam hidup ini. Mereka tertimpa kesusahan dan hambatanhambatan, sedangkan begitu banyak orang jahat, tak jujur, terkadang menikmati kesehatan, kesuksesan, hormat dan kemakmuran. Dalam inti hati manusia, seolaholah muncul suatu protes terhadap ide bahwa keadaan tidak adil ini tidak akan diperbaiki. Seharusnya ada suatu sanksi terhadap hukum moral, tetapi ini tidak mungkin jika tidak ada suatu kehidupan lain setelah kematiansuatu kehidupan di mana pahala dan hukuman diberikan kepada semua orang sesuai dengan tindakan moral mereka, sebab tuntutan dari etika itu hampir tidak pernah direalisasikan dalam dunia ini. Suatu dunia yang teratur untuk mengakibatkan dan mencerminkan nilainilai moral akan kurang koheren-konsisten, seandainya nilai moral itu tidak bertahan sesudah kematian individual. Jika alam semesta diarahkan ke adanya mahlukmakhluk yang bermoral, Spirit yang bertanggungjawab akan target ini tak mau bahwa hidup orang-orang kudus dipotong begitu saja. Sekali lagi suatu teleologi (finalitas) kosmis yang memproduksikan cinta menunjuk lebih jauh dari dirinya sendiri ke arah penyempurnaan/perwujudan cinta. Evaluasi terhadap argumen ini: Di sini

pun argumen ini hanya berlaku bagi mereka yang mengakui bahwa hidup itu koheren, teratur, pendeknya mempunyai arti positif dengan nilai-nilai moral terutama dalam bentuk cinta, sebagai targetnya. Tetapi argumen ini kurang kuat bagi mereka yang berpendapat bahwa kebaikan moral, kebajikan, kejujuran itu sendiri sudah merupakan pahalanya. Lagi pula argumen ini tidak menuntut suatu hidup tanpa akhir (kekal), melainkan hanya suatu kehidupan lain yang mungkin akan berakhir bila keseimbangan keadilan telah dipulihkan dan puncak cinta dicapai. Akan tetapi, kalau ditambahkan struktur ontologis manusia sebagai basisnya, terutama aspek cintakasih sejati, argumen moral ini berbobot sekali. Argumen Teilhard de Chardin Argumen yang relatif baru itu berpangkal pada evolusi. Biarpun terdapat banyak sekali halangan, evolusi itu terus maju selama berjuta-juta tahun. Maka kita dapat menduga bahwa evolusi itu tetap akan mengatasi kesulitan-kesulitan di kemudian hari. Nah, salah satu kesulitan ini, dan yang paling berat di antara semua yang ada, berasal dari kenyataan bahwa di dalam manusia, evolusi itu telah menjadi sadar akan dirinya sendiri dan akan bisa berlangsung hanya dalam dan melalui aktivitas bebas dari manusia. Tugas ini amat berat bagi manusia, dan hanya suatu motivasi yang kuat sekali dapat membuatnya mampu untuk menyelesaikannya. Akan tetapi, ia akan kehilangan segala motivasi untuk melaksanakan usaha raksasa tersebut jika ia yakin bahwa setelah jangka waktu tertentu, tiada bekas apa pun dari usahausahanya yang tersisa. Ada sesuatu yang harus hidup terus, dan sesuatu itu hanya dapat berupa hasil yang paling berharga, yang paling luhur dari semua daya evolusi, yakni pribadi manusia, keakuan pribadi. Sebagai akibatnya, evolusi menuntut kekekalan jiwa manusia. Evaluasi terhadap argumen ini: Argumen ini punya pengaruh yang kuat, tetapi tidak akan meyakinkan mereka yang menolak ide bahwa evolusi harus berhasil. Namun apakah memang mungkin mempertahankan hipotesis bahwa alam semesta bersifat absurd? Dunia akan absurd jika alam semesta bernasib kembali ke kegelapan dari materi sesudah diterangi oleh kesadaran manusiawi sebagai puncak bermiliar-miliar tahun evolusi. Pierre Teilhard de Chardin selalu melihat dalam pendapat pesimis tersebut semacam visi yang tidak sesuai dengan pengalaman. Prof. J.J.van de Casteele setuju dengan beliau, Berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh pelbagai pemikir yang terlepas dari realitas, para ahli sains (terutama ilmu-ilmu fisika, astronomi, dan biologi) yang sejak lama menyelidiki secara konkret dan pribadi semua dimensi spasial dan temporal dari alam semesta, tahu bahwa hipotesis absurditas hanya omong kosong saja. Mereka pikir dengan sebenarnya bahwa justru orang yang menyatakan pendapat itulah yang

harus membuktikannya. Para ilmuwan yakin bahwa dunia, dalam keseluruhannya merupakan suatu mesin yang tersusun dengan baik dan maju ke suatu arah tertentu. Koherensi waktu lampau adalah jaminan koherensi waktu yang akan datang. Alam semesta sanggup merealisasikan takdir yang tergores dalam kodratnya. Dan takdir itu menyangkut semua dinamisme manusia yang diarahkan kepada kekekalan. Argumen berdasarkan Hasrat akan Kehidupan Argumen ini merupakan suatu konsekuensi yang perlu dari struktur jiwa. Tidak mungkin bahwa struktur manusiawi kita yang cemerlang itu yang dasarnya tak lain dan tak bukan adalah jiwa disia-siakan saja dalam kependekan suatu hidup (hidup di atas bumi ini) yang begitu tak sesuai dengan kemampuan-kemampuannya. Sebenarnya, hanya struktur itulah yang bisa menjelaskan bahwa manusia meskipun ia hidup di dalam suatu alam raya di mana semua makhluk lahir, berkembang dan mati tidak pernah mau menerima kematian dirinya sendiri sebagai suatu kejadian normal. Mengapa ia menolak siklus perputaran hidup tertutup itu, yang mulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kehancuran? Mengapa, bagi makhluk manusia itu, di mana-mana dan di segala zaman hidup itu selalu nampak terlalu singkat? Mengapa kematian tak pernah diterima sebagai sesuatu yang normal dan biasa saja? Jika seorang fisikawan atau seorang penyelidik alam semesta mengakui bahwa kematian itu normal, ia betul. Tidak ada sesuatu pun yang lebih biasa daripada kematian, bagi semua makhluk yang bersifat kompleks dan berevolusi, bagi individu-individu yang merupakan anggota-anggota dari suatu spesies biologis yang memerlukan materi mereka untuk menciptakan anggotaanggota baru. Tetapi apakah kita memang hanya itu? Seandainya begini, hasrat natural manusia untuk hidup akan merasa puas sesudah sekian banyak tahun, dan setuju dengan kematian sebagai nasib yang tak perlu menimbulkan masalah. Tetapi kita tahu bahwa kenyataannya memang lain. Proses kelahiran dan kematian menyangkut manusia sendiri. Tetapi ternyata dan inilah suatu fakta pengalaman lain lagi fakta ini selalu datang dengan mengejutkan. Hal itu tidak dapat luput dari perhatian pikiran, karena bagi pikiran hal itu bukan sesuatu yang bersifat normal saja. Di dalam diri kita terdapat sesuatu yang tidak dapat menerima nasib itu, dengan suatu firasat bahwa hal itu semestinya tidak perlu dialaminya. Hasrat untuk tetap hidup, keinginan untuk menyelamatkan suatu kasih yang dalam ataupun suatu saat keindahan yang istimewa dari amukan badai waktu, juga merupakan bagian dari pengalaman kita. Keterbatasan sendiri merupakan sesuatu yang problematik.

Evaluasi terhadap argumen di atas. Jika kematian adalah semacam skandal bagi kita, itu karena pengarahan (impuls) yang kita terima dan yang bersifat fisik dari segi badan, tetapi spiritual dari segi jiwa rohani kita, tidak dapat dihilangkan oleh suatu pukulan material. Walaupun kita berjalan terus-menerus dalam hidup ini, namun kita tak pernah merasa seakan-akan kita sudah melewati jalan sehingga sudah tiba waktu untuk meninggalkannya. Dalam diri kita, seolah-olah kita merasa kekal. Kita tahu pada apakah fenomen itu tergantung. Analisis kita tentang dinamisme spiritual manusia telah menerangkan hal itu. Sekarang bisa ditarik dari hal tersebut suatu makna yang berarti banyak. Hasrat yang bersifat natural dan kodrati itu harus dapat dipuaskan. Karena, kalau tidak, harus diakui di dalam penciptaan suatu kekeliruan radikal yang pertanggungjawabannya akan jatuh pada Tuhan sendiri sebagai pencipta. Seandainya hasrat untuk hidup kekal itu tidak dapat dipuaskan, Tuhan bukan Tuhan lagi; sebaliknya, Dia akan lebih mirip dengan semacam raja lalim yang sadis. Pendeknya, tanpa kekekalan pribadi, hasrat kepada hidup akan kehilangan seluruh artinya. Argumen berdasarkan Hasrat akan Kebahagiaan Kesimpulan yang sama dengan yang baru dibicarakan harus ditarik dari hasrat manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa dipenuhi oleh apa pun yang terbatas. Cita-cita itu hanya dapat tercapai melalui kebaikan sempurna. Seandainya manusia tidak bersifat kekal, kebahagiaan menjadi tak mungkin. Juga kalau manusia merasa bahagia sekali, pada kesempatan-kesempatan tertentu yang menerangi secara intensif hidup di atas bumi ini, perspektif bahwa saat-saat yang begitu berharga dan istimewa itu tidak akan bertahan, sudah cukup untuk menghancurkan integritas atau kesempurnaannya. Jadi, kemungkinan adanya kebahagiaan total yang dirindukan oleh semua orang menuntut kekekalannya. Jika tidak, situasi akan sama dengan yang dikatakan tadi: kebijaksanaan dan kebaikan Tuhan Penciptalah yang akan dipersalahkan, dengan akibat bahwa Tuhan bukan Tuhan lagi. Evaluasi terhadap argumen ini: Nilai dan arti argumen ini mirip sekali dengan argumen yang langsung mendahuluinya (hasrat akan kehidupan). Secara formal, argumentasi ini hanya membuktikan bahwa jiwa harus diperlengkapi dengan kemungkinan hidup lagi sesudah mati; dan bukan bahwa ia bersifat kekal dalam kodratnya. Tuhan akan bisa menganugerahkan kebahagiaan total (jadi kekal juga) hanya kepada mereka yang patut memperolehnya saja, dan bukan kepada orang lain. Namun argumen ini tidak kena lagi pembatasan itu jika ia terikat dengan yang lain, di mana struktur manusialah yang menimbulkan hasrat-hasrat tak terbatas itu di dalam inteligensi dan hati manusia.

Argumen berdasarkan Tuntutan Cinta Kasih Dimensi manusia yang disebut cinta-kasih itu jangan dianggap sebagai sesuatu yang sentimental dan emosional saja. Sebaliknya, cinta kasih merupakan dimensi eksistensial yang tak dapat diragukan. Mencintai seseorang berarti mengharapkan dia kekal. Gabriel Marcel menulis, Tidak ada dan tidak mungkin ada keselamatan dalam suatu dunia yang berdasarkan strukturnya sendiri terhamba kepada kematian. Apa pun maknanya yang terdalam, alam semesta ke mana kita telah dilemparkan tidak mampu memuaskan kita. Jika pengalaman membuktikan bahwa manusia memang berlaku sebagai manusia hanya dalam dan melalui hubungan erat dengan sesamanya, dalam kesatuan kita; jika hanya cinta-kasihlah yang dapat menjelaskan mengapa kita berada dan bukannya tidak berada, karena Sang Pencipta yang sempurna dan berbahagia total tak memerlukan apa pun dan siapa pun untuk memperlengkapi Diri-Nya, maka kekekalan kita nampak sebagai hasil dari kebaikan dan kebijaksanaan ilahi. Karena Tuhan tidak bisa menciptakan apa pun kecuali berdasarkan cinta kasih dan untuk cinta kasih, maka Tuhan tidak bisa menciptakan kita tanpa kekekalan. Evaluasi terhadap argumen ini: Argumen tersebut amat kuat bagi mereka yang telah mengalami hubungan spiritual erat dan otentik dengan sesama. Pengalaman itu dapat dianggap sebagai semacam prafigurasi dan keinginan dari satu-satunya hubungan yang dapat sempurna, yaitu hubungan dengan Yang Mutlak, yang di dalam-Nya semua subjek diperbolehkan bereksistensi dalam keakraban maksimal. Kita bisa menarik kesimpulan sesuai dengan pernyataan Prof. Van de Casteele, Kepercayaan akan cinta kasih Tuhan merupakan fundamen yang paling kuat dari kepercayaan manusia akan kekekalannya. Karena itu, bisa dimengerti bahwa mereka yang menghayatinya tidak peduli untuk mencari alasan yang lebih baik.

V. Hidup Sesudah Mati: Masalah "Caranya" Bila kematian terjadi, hubungan biasa antara jiwa dan badan tentu saja tidak bertahan. Kalau begini, bagaimana situasi jiwa tanpa badan bisa dibayangkan atau dimengerti sebelum kebangkitan daging? Kita dapat menemukan suatu solusi yang dengan caranya sendiri menerangkan bagaimana aktivitas jiwa masih dilaksanakan. Solusi ini dinamakan solusi kosmis (Teilhard de Chardin, Karl Rahner, Ladislas Boros). Dalam perspektif ini, pemisahan jiwa dari badan hanya berarti suatu pemisahan dari badan kuantitatif ini, the here and now quantified body. Perpisahan dalam arti ini akhirnya terjadi terus-menerus sepanjang hidup biologis

kita. Jadi, pada saat kematian biologis, ketika materi badan yaitu materi yang lebih bersifat individual itu dipisahkan secara total dan sekaligus, maka jiwa kita masih tidak akan kehilangan relasinya dengan materi, karena jiwa tidak bisa kehilangan relasi itu. Rahner berkata, bahwa pada saat kematian, antara jiwa dan kosmos akan muncul suatu ikatan jauh lebih erat daripada ikatan sebagai hasil dari asimilasi makanan, yaitu suatu ikatan dengan kosmos dalam koneksi-koneksinya yang paling fundamental dan krusial yang merupakan dasar dari organisasi rasional dari materi, organisasi yang nampak dalam pikiran manusiawi dalam bentuk hukum-hukum. Mungkin seluruh paham mengenai apa yang terjadi waktu kematian itu bisa disejajarkan dengan apa yang terjadi pada saat kelahiran. Pada saat kelahiran, bayi terpaksa dikeluarkan dari batas-batas rahim ibunya dan dengan demikian ia harus meninggalkan sesuatu yang baginya bersifat protektif, akrab dan enak. Ia tak terlindung lagi dan terancam hancur. Tetapi pada saat yang sama, suatu dunia baru yang luas menampakkan diri di depannya dengan suatu relasi baru dengan dunia cahaya, warna-warna, makna-makna, persaudaraan, dan cinta manusiawi. Sesuatu yang sama terjadi pada saat kematian. Manusia dirampas dengan paksa dari ikatanikatan sempit hasil dari hubungan-hubungan sebelumnya dengan dunia ini. Dalam waktu yang sama, ia mencapai sebuah relasi baru dan esensial dengan dunia yang mengikatkannya dengan seluruh keluasan dari realitas kosmis. Sesudah dirampas dari realitas jasmaniahnya, manusia dimasukkan ke dalam akar-akat dunia itu sendiri dan dengan demikian ia memperoleh suatu relasi kosmis dengan realitas, suatu kehadiran pan-kosmis.

VI. Ikhtisar Dari seluruh uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hidup di atas bumi ini menuju ke arah hidup kekal. Namun, kepercayaan akan dunia akhirat itu tidak merampas kematian dari sifat gawat dan dramatisnya. Meninggalkan dunia ini, satu-satunya yang kita hayati, berarti merasa ditinggalkan oleh semua yang penting bagi kita; berarti merasa direnggut dari orang-orang yang kita cintai dan kita andalkan, dan yang mencintai kita maupun merupakan bagian dari keakuan kita; seakan-akan kita diamputasi dari semua yang memberikan otentisitas kepada diri kita, untuk dilemparkan ke dalam kegelapan dan kesunyian. Keberangkatan yang definitif ini dilaksanakan tanpa bagasi dan tanpa teman. Bagi orang dewasa, ketakutan akan kehilangan relasi-relasinya dengan orang-prang yang penting baginya lebih besar daripada ketakutan akan kehilangan hidupnya sendiri. Manusia

adalah suatu makhluk yang tidak bisa menjadi sadar tentang martabat dan kekayaan keakuannya kecuali lewat kegiatan-kegiatan tukar-menukar dengan orang lain. Tetapi rasa spontan yang mewarnai afektivitas atau subjektivitas kita, tiap kali kita mengantisipasi kematian kita itu, harus dilangkahi karena tidak mencerminkan realitas objektif yang menanti kita di seberang kematian; dan juga sama sekali tidak cocok dengan rasa kegembiraan dan semangat yang membanjiri hati orang-orang yang melewati NDE (near death experience) dan OBE (out of the body experience). Kematian bukan suatu tragedi, atau suatu konflik tanpa jalan keluar, melainkan sebuah drama, artinya peralihan jiwa dari dunia spasio-temporal seperti dihayati dalam ikatan dengan badan ini, kepada suatu hidup baru yang bentuk konkretnya tak bisa dibayangkan. Mungkin itulah faktor yang paling mengkhawatirkan kita: konfrontasi dengan yang tak dikenal. Namun seluruh analisis kita, semua saksi yang kita bicarakan, pendeknya semua garis yang diuraikan di atas menuju ke arah yang sama: hidup sesudah mati nampak penuh dengan damai, kebahagiaan, cinta kasih dan harmoni di mana semua kecenderungan dan aspirasi eksistensial kita, pribadi maupun sosial, akan dipenuhi.

Feminisme
Modul XIII

Sub Materi:
Feminismus: Kelahiran "Universalisme Perempuan" yang Timpang Tubuh, Identitas, Penindasan, Perjuangan, dan Pembebasan Tubuh Perempuan Feminismus: Menuju Kesadaran Subyek Perempuan Indonesia: Perempuan Jawa? Ikhtisar

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

F I L S A F AT F E M I N I S M E

I. Feminismus: Kelahiran Universalisme Perempuan yang Timpang Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah

kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg , sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan-putih di Eropa. Simone de Beauvoir dalam Le Deuxieme Sexe (1949), the Second Sex, memunculkan eksistensi perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa (baca: perempuan kulit putih) memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837 (baca: lebih awal tahun 1808). Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negaranegara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya membongkar glass-ceiling logophalos dengan ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (Yahudi kelahiran Algeria kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (Bulgaria kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di

Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana posstrukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis-putih-barat, meskipun tidak semua, banyak mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga; meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya (baca: tidak semua feminis Barat menjadikan perempuan dunia ketiga sebagai objek per se). Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya. Dalam wacana ini, banyak kasus (baca: meskipun tidak semua kasus), menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks all women. Dengan apropiasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki nya saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Senyampang dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial. Dalam melihat peran perempuan dalam urusan domestik, para feminis ini gagal melihat bahwa domestikasi perempuan kadangkala bukan bentuk penindasan. Dalam berbagai diskursus, banyak perempuan kulit hitam mengajukan protes bahwa tinggal di rumah dan tidak bekerja, bagi perempuan kulit hitam, adalah kemewahan. Karena perempuan kulit

hitam dari lapis kelas bawah harus bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Di sini terlihat bahwa posisi ekonomi yang tidak paralel membuat universalisme penjajahan domestik menjadi tidak bisa diaplikasikan begitu saja tanpa menimbang aspek-aspek lain. Di sini ada ambivalensi persoalan yang bertolak belakang antara masalah perempuan kulit putih kelas menengah dan perempuan kulit hitam. Dalam persoalan pertama, domestikasi dianggap sebagai bentuk opresi. Perempuan dilarang bekerja di luar rumah, dan lain-lain yang non-domestik. Sedang untuk persoalan kulit hitam, mereka kebanyakan harus berada di luar rumah, bekerja keras, dan melingkupi pekerjaan kasar dan tidak terdidik. Domestikasi bagi perempuan kulit hitam adalah kemewahan yang kadang tidak terbeli. Ada paradoks dalam istilah domestikasi sebagai alat propaganda. Disputasi konsep yang diajukan dalam gelombang kedua ini terutama dalam aktualisasi universal sisterhood dalam objektifikasi. Dalam banyak kasus perempuan dunia ketiga dianggap sebagai yang terbelakang dan perlu mendapatkan pendidikan a la Barat tanpa ada prekonsepsi bahwa di dunia ketiga, para perempuan, juga memiliki pujangga-pujangga yang mengajarkan bagaimana bisa beradab. Misi peradaban berubah menjadi misi developmentalis, dimana perempuan dunia ketiga menjadi obyek pemuasan nafsu ingin tahu a la ilmu ilmiah Barat. Dalam ranah antropologi, banyak studi diarahkan pada dunia ketiga yang Obyek. Di sini ada pengaruh kuat untuk memenuhi tuntutan ilmu tentang yang lain. Yang lain sebagai yang berbeda dengan pusat adalah sumber penelitian yang digunakan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Lagi-lagi, di sini, perempuan dunia ketiga mengalami objektifikasi ganda dalam relasi ekonomi-sosial yang tidak simetris. Penelitianpenelitian ini lebih jauh diaplikasikan oleh para elit-nasionalis (baca: pemerintahan developmentalis dunia ketiga) dalam kebijakan-kebijakan menangani perempuan. Walhasil perempuan melengkapi perannya sebagai sekelompok kelas marjinal yang menjadi obyek pelaksanaan kebijakan tanpa adanya proses prekonsepsi tentang Subyek. Dalam banyak kasus, perempuan dunia ketiga mengalami efek dramatis dari penyebaran alat kontrasepsi. Perempuan dunia ketiga, sekali lagi, diam, bisu, dan menerima begitu saja. Ini adalah proses konsepsi objektifikasi yang membiarkan mereka sebagai manusia yang tidak perlu diberi ruang untuk berbicara. Dalam konsep objektifikasi ini, perempuan diletakkan dalam sebuah ruang tanpa nama. Mereka adalah padang tempat benih disemaikan. Mereka mengambil bentuk rahim yang siap menampung orok. Di sini kuasa perempuan dimutilasi sedemikian rupa hanya dalam tataran obyek. Pengetahuan obyek ini berangkat dari konsepsi bahwa mereka tidak berpendidikan dan tidak beradab, maka perlu diberi pendidikan dan diperadabkan dengan kontrasepsi dan lain-lain. Hampir seluruh kasus penelitian

reproduksi, usaha semua diupayakan untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, yang rela tidak rela harus menjalani peran kontrasepsi. Dalam penelitian psikologi, seorang feminis Giligan dalam penelitian menentang riset Kohlberg sebelumnya yang menganggap bahwa anak perempuan hanya mencapai nilai rendah dibanding anak laki-laki dalam perkembangan moral. Menurutnya hasil itu bias karena kebanyakan partisipannya adalah anak laki-laki, dan hasil penilaian sangat dipengaruhi oleh nilai maskulin. Lebih jauh dia mengkritik persoalan etika hukum dan mengusulkan etika perhatian.

II. Tubuh, Identitas, Penindasan, Perjuangan, dan Pembebasan Tubuh Perempuan Bagi filsuf perempuan Simone de Beauvoir, konsep tubuh sangat penting untuk memahami penindasan yang terjadi dalam ketidaksetaraan jender. Sebab, melalui fungsi tubuhlah identitas jender diciptakan. Mitos yang diciptakan oleh budaya

patriarkat membuat banyak perempuan percaya bahwa dirinya tidak berdaya karena kelemahan tubuhnya. De Beauvoir menegaskan "Jika seseorang tidak memiliki keyakinan pada tubuhnya sendiri, dia akan segera kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. [Pemutlakan] kelemahan fisik perempuan ini meluas menjadi kerentanan perempuan secara umum; perempuan tidak punya keyakinan pada kekuatan yang tidak dialaminya sendiri dengan tubuhnya; perempuan tidak berani bereksplorasi, melakukan revolusi, mencipta; dia terkurung dalam sikap pasif dan

tidak berdaya. Dia hanya bisa menempati tempat yang sudah ditentukan masyarakat baginya. Baginya, segala sesuatu dalam hidupnya sudah ditentukan, sudah tetap, dan pasti." Dikonstruksikan bahwa menjadi perempuan berarti menjadi makhluk yang berpusat pada fungsi tubuhnya, dalam hal ini rahim. Perempuan terutama dihargai karena perempuanlah satu-satunya yang bisa melahirkan kehidupan baru melalui fungsi reproduksi. Melalui fungsi tersebut, keberlangsungan eksistensi manusia dapat dipertahankan. Namun, melalui fungsi tersebut pula, perempuan dibelenggu dalam sebuah 'kodrat'. Perempuan diakui 'ada' dan berguna dalam kehidupan sebatas sebagai penyedia rahim dan penjaga keberlanjutan keturunan. Ketiadaan fungsi rahim menjadikan seorang perempuan berkurang nilainya, bahkan tidak 'dianggap'. Budaya patriarkat memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata dalam fungsi biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara. Dalam kerangka penjelasan seperti inilah maka perempuan kemudian diposisikan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex) dalam struktur masyarakat. Akibatnya, perempuan tak dapat mengolah kebebasan dan identitas kediriannya dalam kegiatan-kegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam situasi yang demikian ini, pola relasi kaum laki-laki dan perempuan menjadi tak ramah lagi. Kaum laki-laki tak menghendaki adanya ketegangan relasi subjek-objek, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf-filsuf eksistensial, dengan menyangkal subjektivitas perempuan dan menjadikannya sebagai pengada lain absolut. Pada titik inilah pemikiran Beauvoir tentang etika ambiguitas menjadi penting dikemukakan. Dengan etika ambiguitas, Beauvoir menolak sikap yang ingin mengelak dari ketegangan relasi tersebut. Menurut Beauvoir, ketegangan antara kebutuhan akan orang lain dan kekhawatiran dikuasai orang lain (diobjekkan) merupakan situasi yang harus diterima apa adanya dan ditransendensikan ke dalam situasi yang lebih proporsional dan manusiawi.

Peradaban mengajarkan perempuan sebuah kewajiban, yaitu mengabdi kepada orang lain. Pengabdian itu ia lakukan melalui fungsionalitas tubuhnya. Padahal, ketika tubuh tak lain sekadar merupakan instrumen alam, itulah penyangkalan paling kuat terhadap kemanusiaan manusia. Kehadiran perempuan sebagai manusia, sebagai subjek hidup yang berkehendak dan berakal budi, digerus begitu saja. Perempuan tidak berhak untuk berpikir neko-neko dan turut campur dalam urusan yang berat-berat karena tanggung jawab sebagai pengabdi pada orang lain sudah cukup memberatkan. Identitas perempuan tidak dianggap penting, kecuali yang dirujukkan pada hubungannya dengan laki-laki. Otonomi perempuan menjadi tidak layak untuk diperhitungkan. Oleh karena itu, adalah sebuah prestasi besar jika perempuan mampu mengetahui apa yang diinginkan oleh-nya dan mengaktualisasikan diri secara utuh dan apa adanya. Perempuan yang berhasil menyandang peran yang menunjukkan keberdayaannya disebut sebagai individu yang berani dan mandiri (independent woman). Permasalahannya, perjuangan jender tidak bisa berhenti pada level individu. Menurut de Beauvoir, kaum perempuan sendiri bertanggung jawab terhadap penindasan yang dilakukan kepadanya. Melalui sikap diam dan pasrah, perempuan melanggengkan upaya peminggiran terhadap kaumnya. Tak heran, diskriminasi jender terus lestari. Sebenarnya, peran perempuan mempertahankan dominasi lakilaki menunjukkan gejala ketidakdewasaan. Perempuan takut memperoleh kebebasan sebagai hakikat manusia dewasa, dan berusaha menghindar dari tanggung jawab dan resiko yang menyertai kebebasan tersebut. Jalan pembebasan kaum perempuan ditempuh dari dua jalur utama, yakni level pemikiran dan praktik. Pada tataran pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkat yang membuatnya tak leluasa melakukan proses transendensi. Selain menempatkan konsep subjek dengan tubuh yang berbeda dan ambigu, Beauvoir juga menyerukan untuk mengubah pola relasi antara kaum laki-laki dan perempuan dari ikatan biologis dan fungsional menjadi ikatan manusiawi dan etis, yang terangkum dalam semangat persahabatan dan kemurahan hati. Di level praktik, Beauvoir mengusulkan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah sosial, budaya, dan politik, yang dicapai melalui revolusi sosial. De Beauvoir menyerukan kepada kaum perempuan: hiduplah secara otentik! Tidak ada salahnya perempuan menunjukkan nilai dan cara hidup yang orisinal, sesuai dengan eksistensinya sebagai perempuan. Perempuan bisa memaknai tubuhnya sebagai belenggu, namun bisa juga sebaliknya: keistimewaan

tubuh

perempuan

menjadikannya

sebagai

surga,

menuju

keotentikan

dan

pembebasan. Perlu ditambahkan pula bahwa ketika tubuh perempuan mengalami perbedaan makna dalam ruang episteme berbeda-beda, interpretasi terhadap perempuan juga tidak monolitik. Perempuan sendiri mengidentifikasikan dirinya bergantung pada episteme di mana dia berada. Perempuan dalam episteme Islam akan mengetahui apa itu arti aurat. Dan makna dari jilbab juga mengalami transformasi dari kreator asalnya, Arab, sehingga jilbab sendiri sebagai sistem penutup aurat juga mengambil bentuk cukup beraneka ragam, bentuk purdah, jubah hitam panjang, jilbab panjang, jilbab pendek dan warna-warni ala Muslim Indonesia. Perempuan dalam episteme agama Katolik, misalnya, juga menerjemahkan tubuh perempuan dengan penanda berbeda. Perempuan Bali dalam episteme Hindu-Bali juga mengejawantahkan teks-teks dan kode etik keagamaan dengan cara transformatif dibandingkan dengan asal agama itu di India. Demikian juga perempuan dalam ranah episteme berbagai suku dan etnis budaya di seluruh Indonesia. Perempuan Indonesia adalah perempuan dengan penjelasan nonmonolitik. Perempuan Indonesia adalah perempuan yang berada dalam kompleksitas dan kemajemukan ruang episteme yang sangat berbeda dan bahkan paradoksal satu sama lain. Berangkat dari realitas dasar being Indonesian women, UU Antipornografi dan Pornoaksi (UU APP) adalah bentuk simplifikasi tubuh perempuan Indonesia. UU itu hanya terbatas pada ruang episteme salah satu penggagas ide UU yang tidak memerhatikan kemajemukan realitas tubuh perempuan Indonesia yang lain. Maksud dan niat baik UU itu seyogianya berfokus pada perlindungan terhadap tubuh perempuan yang dieksploitasi dalam tindakan pornografi dan pornoaksi, meskipun kedua istilah itu juga sulit diidentifikasikan atau dijelaskan dalam satu paragraf penjelasan. Dalam hubungannya dengan pornografi, penulis menyebutkan bahwa para feminis membedakan antara pornografi dengan erotika. Untuk para feminis, antara lain disuarakan oleh Andrea Dworkin dan Catharine MacKinnon, pornografi adalah grafis berbentuk gambar atau kata-kata yang eksplisit secara seksual menyubordinasi perempuan. Eilen ONeill mencoba mendefinisikan erotika menurut garis- garis moral dan sampai pada definisi "erotika mengandung muatan yang lebih bersifat seksual, bukan cabul, dan condong membangkitkan minat seksual pihak penatap". Sedangkan "pornografi lebih cenderung merupakan representasi yang merangsang birahi melalui ketidakabsahan seksual dari apa yang direpresentasikan". Feminis yang lain, Maria Marcus, menggolongkan pornografi

menurut selera seks penggunanya sebab inilah yang mendorong pornografi ke dunia industri karena konsumen pornografi berkepentingan memenuhi kebutuhan seksnya. Menurut Marcus, tidak ada pornografi yang terlepas dari sikap masyarakat terhadap perempuan. Gambar pornografis seolah menyampaikan pesan bahwa seksualitas tidak lebih dari sekadar barang, dan dengan demikian perempuan juga dianggap hanya sebagai barang. Pandangan penting lain dari feminis adalah apa yang disampaikan Susanne Kappeler. Melalui pemahaman mengenai representasi subyek tentang obyek, maka pornografi bukan sekadar grafis praktik seks perempuan yang dilacurkan, khayalan tentang seks yang berfungsi sebagai barang hiburan, batu loncatan masuk ke dunia selebriti yang gemerlap, atau lapangan kerja berbayaran menggiurkan untuk modelnya. Bagi Kappeler, pornografi adalah representasi kekuasaan yang implisit menyatakan pemegang kekuasaan adalah subyek representasi, yaitu para produsen, konsumen, penulis skenario, dan pembaca/penonton pornografi. Di sisi lain, ada ketidak-kuasaan yang dimunculkan pada kelas atau jender yang direpresentasikan tanpa akses terhadap sarana produksi barang pornografis itu. Unsur yang diperlukan untuk citra atau representasi pornografis menurut Kappeler bukan seks maupun kekerasan, melainkan obyek yang sebenarnya adalah korban. Di dalam masyarakat patriarkhi, tubuh perempuan merupakan fokus tatapan mata dan di dalam pandangan penatapnya tubuh atau bagian tubuh diberi makna tertentu secara kultural hanya sebagai seks. Dengan demikian, adegan pornografis tidak tidak selalu membutuhkan praktik seks eksplisit, seks dengan kekerasan, seks yang terang-terangan menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan menggunakan cara berpikir Sartre, objektivikasi perempuan dalam representasi pornografi merupakan peruntuhan status epistemologi perempuan karena cara dia mengada dalam dunia sama sekali tidak benda. Pun di Barat, yang tersohor dengan liberalismenya, masih membatasi pornografi dan pornoaksi. Bisa dipahami keresahan sebagian masyarakat yang idenya naik menjadi UU ini. Yang sebenarnya menjadi prioritas utama bangsa ini adalah good governance dan penegakan hukum. Tanpa kedua hal itu, UU macam apa pun hanya akan tersimpan dengan baik di lemari dokumentasi. Keresahan UU itu lahir karena adjektif yang disematkan pada tubuh perempuan. Tubuh Perempuan yang seksi, cantik, gemulai. Adjektif itu menjadi penanda absolut bagi tubuh perempuan. Dengan adjektif itu, tubuh perempuan bisa menjadi obyek per se. merujuk pada "ada-bagi-dirinya-sendiri" (manusia), tetapi dijadikan "perempuannya laki-laki" atau "ada-dalam-dirinya-sendiri" atau dipandang sebagai

Kategori adjektif juga bergantung di mana dia berada dalam ruang episteme. Dalam ruang episteme negara Barat liberal, kaki perempuan mungkin tidak membuat laki-laki terangsang. Namun, dalam ruang episteme negara di Arab yang mewajibkan perempuan menutup tubuh dan rambutnya, bisa jadi kaki perempuan adalah sesuatu yang sangat menarik. Apa yang disebut sebagai cantik dan seksi, atau apa yang disebut sebagai merangsang atau tidak merangsang, menjadi tidak menentu dan terperangkap pada ruang waktu dan tempat berbeda. Dengan kategori relativitas adjektif, UU ini telah menyederhanakan ruang adjektif bagi tubuh perempuan. Penyebutan paha, pusar, serta payudara perempuan sebagai sesuatu yang seksi dan perlu dilarang untuk dipertontonkan adalah masih terperangkap dalam salah satu ruang episteme. UU itu tidak memiliki kemampuan mengakomodasi kemajemukan ruang episteme adjektif yang berkisar dari Sabang sampai Merauke. Perempuan Indonesia adalah perempuan yang tidak bisa hanya diidentifikasikan dalam salah satu ruang episteme. Misalnya ruang episteme Islam: bahwa perempuan harus menutup auratnya. Atau hanya dalam episteme dari salah satu agama. Perempuan Indonesia memiliki penjelasan sangat kompleks, beragam, dan nonlinear. Sifat untuk perempuan Indonesia sangat kontekstual. Satu penggeneralisasian atau satu adjektif untuk tubuh perempuan Indonesia tidak cukup. Bila satu adjektif ini dipaksakan dalam bentuk UU, yang akan terjadi hanyalah kolonisasi internal antara satu hegemoni episteme terhadap minoritas partikular episteme lain yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia. UU itu telah berangkat dari logika ilmiah bahwa tubuh perempuan adalah bahan atau obyek. UU itu berbicara tentang (speak about) perempuan. Seharusnya UU itu berbicara kepada (speak to) perempuan. Kerangka filosofis yang melahirkan UU itu terbukti gagal melihat perempuan sebagai subyek dan paradigmanya dibangun untuk memenjarakan tubuh perempuan. Metodenya telah terperangkap pada obyektivikasi perempuan. Sekali lagi, UU itu telah menjadikan perempuan Indonesia masih di kelas kedua. Perempuan hanya sebagai subordinat. Perempuan Indonesia hanyalah cantolan bagi tubuh perempuan sendiri. Tubuh perempuan digambarkan dengan adjektif-adjektif yang minor dan negatif. Tubuh perempuan seolah sumber keresahan. Perempuan seolah sebagai gangguan. Apa yang disebut santun, baik, sopan, dan tidak porno telah diambil alih salah satu pihak yang mengangkangi ranah episteme tertentu. Perempuan hanya dipenjara dalam salah satu ruang episteme itu. Jika UU itu ingin akomodatif, UU itu hendaknya berbicara kepada perempuan Indonesia.

III. Feminismus: Menuju Kesadaran Subyek Pada tahun 1978, Said menulis Orientalism. Tulisannya menandai kelahiran gerakan poskolonialisme. Ide dasarnya adalah bahwa telah ada kesalahan interpretasi terhadap Timur oleh Barat. Timur sebagai yang oriental, eksotik, perempuan, irrational, traditional, yang Lain (baca: Other), Subaltern, tidak beradab. Barat sebagai yang occidental, maskulin, rational, Center dan beradab. Meskipun sebelum usaha Said ini dilakukan, telah banyak aktivis-theorist-praktisi poskolonial lain seperti Aime Cesaire, Kwame Nkrumah, Frantz Fanon, Albert Memi, dan Homi Bhabha. Yang kemudian berkembang lebih lanjut sampai sekarang berkat usahausaha Bill Ashcroft, Robert J.C. Young, Achille Mbembe, Ranajit Guha, AijazAhmad, JanMuhammad, dll. Ini adalah proses dekonstruksi terhadap bagaimana Barat melihat Timur, dan adalah usaha untuk menentang white mans burden to civilize Others. Gerakan ini mendapatkan re-dekonstruksi lebih lanjut dari para feminisnya, feminisme poskolonial atau feminisme dunia ketiga, seperti Gayatri Spivak, Trinh T Minh-ha, Chandra Talpade Mohanty, Uma Narayan, Anne McClintock, bell hooks, dll. Gerakan ini mengalami quadruple hermeneutics karena harus melawan dari arus postcolonial-male-contemporary dan white-feminist-contemporary. Melawan whiteman-burden; colored-man-burden; dan terakhir white-female-burden. Dekonstruksi ini adalah perjuangan untuk menjadi subyek. Selama peralihan dari masa terjajah dan merdeka, perempuan dari dunia ketiga telah lama menjadi obyek dari penjajahan. Dalam era kolonialisasi, perempuan-perempuan ini banyak yang menjadi budak dan konkubin. Pada awal abad 17, VOC telah berhasil menjadikan Batavia (baca: Jakarta) sebagai pusat perdagangan. Dan sejak itu setidaknya 2000 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak dari Bali diperjualbelikan di pasar budak setiap tahunnya . Pada kasus Jawa, budak-budak Jawa diekspor untuk membangun Suriname. Pada tahun 1890 (baca: lebih dari 115 tahun yang lalu) buruh kontrak Jawa (baca: budak) pertama tiba di Suriname yang merupakan daerah kekuasaan Belanda. Sekarang terdapat sekitar 80 ribu orang Jawa di Suriname di samping dari Hindustan, Cina, Kreol India dan Eropa. Perempuan-perempuan Jawa pada waktu itu juga tidak luput dari praktik konkubinase dari penjajah Belanda. Masih dalam penelitian Kraan disebutkan bahwa perempuan Bali sangat diminati karena mereka bisa makan daging babi. Sedangkan perempuan Jawa yang kebanyakan Muslim tidak bisa makan babi. Dan secara kuliner, perempuan Bali juga dianggap lebih pintar memasak. Sejak tahun 1920, Bali

diproyeksikan sebagai pusat pariwisata sampai dengan sekarang, di mana Bali berada dalam posisi sebagai obyek dalam jaringan turisme dunia. Dan perempuanperempuan dunia ketiga secara massal bekerja sebagai penjaja seksual. Fenomena ini sama dengan dibentuknya Thailand, khususnya pantai Pattaya, sebagai pusat prostitusi di Thailand (baca: proses ini dibentuk oleh penjajah Inggris mulai awal abad 19 bersamaan dengan Bali). Proses ini menjerat perempuan Asia dalam industri transnasional prostitusi. Hal ini tidak lepas dari pembentukan image yang telah dibangun dua ratus tahun sebelumnya sebagai konkubinasi bagi penjajah Eropa yang datang ke Asia Tenggara. Ini adalah proses akumulasi politik yang asimetris dan tidak diskursif. Di Indonesia, diperkirakan 100.000 anak diperjualbelikan setiap tahun-nya sebagai pekerja seks. Sepertiga dari jumlah itu adalah remaja di bawah 18 tahun. Penyebab trafficking itu adalah kemiskinan, status sosial rendah, buruh murah, seks komersial, lemahnya penegakan hukum, diskriminasi, daerah bencana dan daerah konflik. Salah satu NGO yang gigih bergerak melindungi anak-anak adalah KAKAK yang bekerjasama dengan UNICEF dan berpusat di Surakarta. Perjalanan dari dunia teori ke praxis ini adalah perjalanan panjang yang tidak hanya melibatkan kesadaran politik global tetapi juga sejarah kolonialisme yang melanda dunia ketiga. Fakta teori dalam poskolonial adalah fakta praxis atas diperjualbelikannya perempuan-perempuan dunia ketiga dalam pasar seks transnasional. Dengan perbedaan geografis, budaya, ras, dan relasi sosial tersebut, universal sisterhood menjadi problematis. Definisi perempuan sebagai semua perempuan adalah sama, penderitaan perempuan adalah sama, penindasan terhadap perempuan adalah sama, penjajahan terhadap perempuan adalah sama, sekali lagi perlu dipertanyakan kembali. Universalisme ini di satu sisi telah melibas adanya partikularisasi dan difference yang melekat pada tubuh. Persoalan auxiliary/adjective yang berbeda posisi-nya. Subyek dalam banyak diskursus merujuk pada berbagai rasionalisasi dalam diskursus pengetahuan yang beretika. Ketika suara peneliti hilang dalam obyektifitas ilmiah, hal ini akan menggeret kepada situasi hilangnya tanggung jawab. Dalam wacana dekonstruksi sangat diperlukan pengetahuan tentang dekonstruksi esensi. Esensi ini berkaitan erat dengan jenis kelamin, ras, agama, budaya, kelas, relasi sosial, Negara dan bangsa. Penemuan terhadap esensi, terkadang, membuat si pencari terpenjara dalam esensi tersebut tanpa mampu merekonstruksi kembali dengan menggunakan perspektif yang berkeadilan jender. Terperangkap dalam tubuh perempuan dan esensi-nya sebagai makhluk kedua tanpa bisa melihat konsepsi lebih inti dari maksud menemukan esensi. Kehadiran esensi adalah

kelahiran kesadaran. Kelahiran esensi bukanlah kelahiran perbedaan. Perbedaan diakui sebagai sebuah perbedaan tanpa terjerembab dalam perbedaan per se. Di sini penemuan terhadap esensi mengacu pada politik identitas. Politik identitas membimbing seseorang untuk memiliki politik agensi. Perempuan dunia pertama adalah perempuan terdidik a la barat dengan kesadaran akan politik identitas dan politik agensi. Hal ini membuat mereka memiliki kemampuan menerobos akses hegemoni yang menindas. Tetapi perempuan dunia ketiga adalah perempuan yang tidak terdidik a la barat dan kesadaran politik identitas-nya, dalam konteks sekarang, telah dirampas dengan daya global, dengan sebutan globalisasi. Banyak perempuan dunia ketiga menjadi terserap daya global ini dan tercerabut dari akarnya. Banyak intelektual perempuan dunia ketiga adalah produk pencerabutan ini. Len Ang (Feminis asal Indonesia yang menetap di Belanda kemudian di Australia) menyebutnya sebagai identity panics . Jadi politik identitas mereka menjadi kabur dan semu (baca: tidak semua intelektual perempuan dunia ketiga). Sebenarnya, di sini memang terletak kelemahannya tapi juga kekuatannya, bahwa resistensi yang dialami perempuan dunia ketiga adalah jenis resistensi yang jauh berbeda dengan resistensi yang dialami perempuan dunia pertama. Perempuan dunia ketiga harus mencari role model yang ditampilkan dalam banyak tabung kaca yang berpusat pada diskursus barat. Perempuan dunia ketiga adalah perempuan yang mengalami krisis politik identitas yang akhirnya membimbing mereka mengalami kesulitan dalam meng-aktual-kan daya agensi-nya. Dengan asumsi ini, universalisme perempuan menjadi sangat problematis dan harus dipertanyakan kembali. Perempuan harus dikaitkan dengan partikular yang melekat dalam dirinya sebelum dia memasuki wacana diskursus.

IV. Perempuan Indonesia: Perempuan Jawa? Dalam banyak kancah pertunjukkan feminisme a la Indonesia, kebanyakan aktivis adalah perempuan Jawa yang berdiam di Jawa, terutama di pusat-pusat peradaban seperti Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Bandung, Semarang. Meski ada banyak usaha dari perempuan luar jawa untuk dapat masuk ke dalam center, la parole / Jakarta, representasi mereka tidak mampu mewakili luasnya aras persoalan yang masih membebani mereka. Dalam banyak kasus, Jawa memang telah menjadi pusat bagi Indonesia. Jawa menjadi tempat kelahiran dialektika feminisme. Usahausaha ini dipelopori oleh banyak perempuan Jawa dan banyak dipimpin oleh perempuan Jawa. Jawa-sentrisme dalam gerakan feminisme Indonesia.

Dalam konteks media, perempuan Jawa identik dengan image perempuan Indonesia. Dalam berbagai tayangan media, perempuan Indonesia digambarkan sebagai perempuan Jawa yang halus/lembut, submisif/tunduk, kelas kedua, ibu yang baik, saudara perempuan yang mengalah pada saudara laki-lakinya, anak perempuan yang kelas kedua. Semua dikontekskan dalam situasi ke-Jawa-an. Dalam banyak kasus urusan kosmetika, merujuk ke budaya keraton Jawa atau Jogjakarta. Penayangan iklan-iklan juga hanya berbasis pada budaya konsumerisme. Dalam pembentukan image dan stereotyping beauty adalah stereotyping a la Barat yang putih. Ini adalah perpaduan Barat-Jawa. Bahwa perempuan yang cantik adalah yang putih (baca: Barat) dan lembut (baca: Jawa). Perempuan bukan-Jawa mengalami kolonialisasi ganda dengan harus menjadi Barat dan menjadi Jawa. Hal ini bisa dilihat dalam keseharian melalui kehadiran iklan dalam televisi. Tidak dipungkiri, semua stasiun televisi di Indonesian berpusat di Jawa, terutama Jakarta. Pada titik ini, persoalan desentralisasi pusat kekuasaan dalam ranah image-setting dan bidang lain adalah proses langsung dikte Jawa ke luar Jawa. Meskipun usaha desentralisasi ini telah dilakukan dengan hadirnya otonomi daerah, peran Jakarta sebagai la parole Indonesia belum bergeser. La parole ini harus dipertanyakan dan dipersoalkan selama dia masih bertendensi untuk memusatkan dan men-generalisasikan partikularisme melalui politik identitas yang menuju politik agensi melalui resistensi. Dalam politik identitas, perlu dilakukan penelanjangan esensi. Penelanjangan esensi adalah proses pembukaan kembali arsip sejarah bangsa. Sejarah etnis. Sejarah ras. Sejarah tubuh. Dan sejarah sastra budaya. Dalam khasanah pembentukan hegemoni politik resistensi tumbuh karena adanya hegemoni. Hegemoni pusat (baca Jakarta) ke pada partikular-nya (luar Jawa). Ini membawa proses negoisasi menjadi tersumbat. Persoalan ketersumbatan ini adalah persoalan mutilasi. Dalam berbagai sektor, jelas terlihat, dalam upaya generalisasi dan developmentalisasi, telah terjadi mutilasi terhadap para partikular, baik itu bersifat tubuh/etnis dan bahasa/budaya. Sebagai lambang pakaian kebangsaan Indonesian pada waktu itu juga hanya mempromosikan baju kebaya (baju perempuan Jawa). Lebih jauh ada usaha akomodasi dari berbagai etnis untuk bisa menjadi satu dalam satu tubuh. Tapi ini adalah sebenarnya mutilasi dari aspek lain yang lebih penting. Penampilan Indonesia telah direkayasa bagaimana bisa merepresentasikan semuanya, tapi secara mutilatif. Aspek ini sebenarnya mewarisi kebijakan struktur sosial dari penjajahan Belanda yang masih hidup terpelihara dengan bagus sampai sekarang. Sebagai Indonesia adalah penting sebagai Jawa. Motto para penjajah

pada waktu itu sebagai pecah dan jajah. Apabila politik identitas setiap etnis telah berhasil dipecah, maka mereka akan mudah dijajah. Seperti yang terjadi sekarang, bahwa representasi Jawa masih dominan dalam berbagai aspek. Hal ini menggeser posisi Belanda oleh elit Jawa. Dengan pengetahuan politik esensi melahirkan kembali kesadaran kritis. Kesadaran kritis ini adalah sikap reflektif bagaimana rasanya menjadi: perempuan Jawa kamu dan perempuan bukan Jawa kamu. Ini mengandung implikasi yang jauh berbeda. Menjadi Jawa kamu sangat berbeda dengan bukan Jawa kamu dalam konteks ke-Indonesia-an. Elit-elite strategis harus mampu melihat persoalan ini tidak sekadar persoalan pemerataan. Tetapi bagaimana pengetahuan Subyek bisa membiarkan politik agensi berperan dalam aktualisasi politik identitas. Dalam politik dekonstruksi, dekonstruksi bukan menjadi akhir dari perjalanan. Menjadi titik dan selesai. Tetapi perlu ada rekonstruksi yang memiliki kesadaran esensi, ras, identitas, sejarah dan agensi. Dengan konstruksi, semangat dekonstruksi bukan semangat nihilisme dan pesimisme. Semangat dekonstruksi adalah semangat optimisme. Yang menjadi pusat perhatian adalah penolakan terhadap identifikasi monolitik terhadap Perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia perlu melakukan penolakan terhadap politik mutilasi dalam proses identifikasi ini. Tulisan ini sangat terbatas dan tidak terbebas dari politik mutilasi dalam politik identifikasi. Rekonstruksi ini berangkat dari politik tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap Subyek. Keberangkatan Subyek adalah keberangkatan dari dalam diri sendiri. Permberdayaan diri lebih penting dari segala proses identifikasi tersebut. Karena proses identifikasi sendiri tidak lepas dari politik mutilasi.

V. Ikhtisar Uraian di atas membongkar gerakan feminisme gelombang pertama pada era penjajahan Eropa dan gelombang feminisme kedua pada era setelah bangsa-bangsa terjajah memperjuangkan kemerdekaannya. Kelahiran post-strukturalisme dan postmodernisme, ditandai dengan kelahiran gerakan poskolonialisme yang melahirkan feminisme gelombang ketiga. Gelombang ini menentang universalisme perempuan. Pada lingkar terkini ini perempuan dunia ketiga menyuarakan suara mereka yang telah dijadikan sebagai obyek oleh feminis-individualis-Barat. Gerakan ini dipelopori oleh feminis poskolonial. Dengan kerangka feminisme dunia ketiga, uraian di atas lebih lanjut, membongkar identifikasi perempuan Indonesia sebagai perempuan Jawa. Mengeksplorasi kehadiran perempuan Indonesia sebagai Obyek

(baca: Perempuan selain Jawa) bagi perempuan Jawa. Sebagai konklusi adalah proses rekonstruksi. Patut ditambahkan di sini bahwa para tokoh feminis telah menawarkan metode penelitian feminis, yang berangkat dari keprihatinan atas banyaknya penelitian tentang hubungan jender yang pada akhirnya bias jenderdan ini memang sangat berkaitan dengan pandangan ilmu sosial yang seksis. Meski banyak kaum positivis, terutama laki-laki, sulit menerima metodologi ini, para tokoh feminis tetap sepakat bahwa metodologi feminis akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan. Intinya, metode baru ini harus mengizinkan subjektivitas di mana perempuan mempelajari perempuan dalam proses interaktif tanpa kesenjangan subjek / objek yang dimunculkan antara peneliti dan yang diteliti. Judith Lorber menekankan bahwa metodologi feminis lalu menjadi satu-satunya cara untuk mengetuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami perempuan, dan dengan ini kaum feminis memberikan kontribusi unik pada ilmu sosial tentang pola keterkaitan antar sebab dan akibat dari pertanyaan-pertanyaan yang belum terlihat oleh peneliti nonfeminis.

Filsafat Timur
M

Modul IX

Sub Materi:
Pemikiran Timur: Filsafat atau Kepercayaan? Pemikiran Timur sebagai Filsafat Filsafat Timur Selangkah Lebih Maju Dari Filsafat Barat?

Juneman, S.Psi., C.W.P.


juneman@gmail.com

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, 2008

F I L S A F AT T I M U R

I. Pemikiran Timur: Filsafat atau Kepercayaan?

Pemikiran Timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Ini yang menyebabkan pemikiran Timur dianggap bukan filsafat. Sifat-sifat pengetahuan yang secara konvensional dipandang harus ada dalam filsafat, seringkali dinilai tidak terkandung dalam pemikiran Timur. Pemikiranpemikiran tersebut lebih dianggap sebagai agama ketimbang filsafat. Memang banyak dari para penganutnya yang memperlakukan pemikiran Timur sebagai agama, sehingga cukup bukti bahwa apa yang sering disebut sebagai filsafat Timur adalah kepercayaan religius atau agama. Jika pemikiran Timur dianggap sebagai agama, maka pemikiran itu tidak dapat disebut filsafat, mengingat keduanya memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang. Meskipun sama-sama bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Agama mengajarkan kepatuhan; filsafat mengandalkan kemampuan berpikir kritis yang sering tampil dalam perilaku meragukan, mempertanyakan, dan membongkar sampai ke akar-akarnya. Pengetahuan yang oleh agama wajib diterima, dalam filsafat seringkali (hampir selalu) diragukan, dipertanyakan, dan dibongkar sampai ke akar-akarnya, untuk kemudian dikonstruksi menjadi pemikiran baru yang dianggap lebih masuk akal. Memang ada pemikir yang melihat agama dan filsafat sebagai dua bidang yang sejalan. Santo Agustinus dan Thomas Aquinas sebagai filsuf dan agamawan Kristiani, misalnya, berpendapat bahwa agama dan filsafat adalah dua hal yang sejalan. Dari khasanah Islam, Iqbal menegaskan bahwa agama Islam dan filsafat semestinya beriringan untuk mencapai kebenaran. Tetapi, pada praktiknya sangat sulit untuk mempersandingkan keduanya. Selalu ada yang mesti dikorbankan, yang satu harus menjadi subordinat yang lain. Di Abad Pertengahan misalnya, filsafat adalah hamba bagi iman. Filsafat dimanfaatkan untuk membantu menjelaskan permasalahan teologi. Semboyan faith over reason (iman melampaui nalar) merupakan contoh bagi ketidaksejajaran agama dan filsafat dalam kehidupan konkret. Dalam khasanah pemikiran Islam pun, pertentangan agama dengan filsafat masih berlangsung hingga akhir penghujung abad ke-21. Dalam pemikiran Eropa, agama dan filsafat lebih sering dibedakan. Filsafat juga sering dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan (science). Bertrand Russell

memberikan pengertian metaforis terhadap filsafat sebagai . . .the no-mans land between science and theology. Exposed to attack from both sides. Filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan di antara ilmu dan teologi yang siap diserang oleh keduanya. Di sisi lain, filsafat juga memiliki kemungkinan untuk menyerang ilmu dan teologi. Jadi, jika pemikiran Timur dianggap agama, maka wajar saja pemikiran itu digolongkan sebagai bukan filsafat. Dalam pandangan lain, filsafat juga dapat diibaratkan padang Kurusetra dalam cerita Mahabharata, tempat Pandawa dan Kurawa berperang. Sebuah tempat tak bertuan yang jadi ajang pertempuran sekaligus pertemuan yang mengharukan antara dua pihak yang bertikai. Filsafat dimanfaatkan oleh banyak bidang yang bertikai, seperti ilmu pengetahuan dengan agama, pertikaian antar-agama dan pertikaian antar-ilmu. Di pihak lain, tidak sedikit pula yang memperlakukan pemikiran Timur sebagai suatu pisau bedah bagi banyak permasalahan filosofis, bahkan mereka mengembangkannya dengan menggunakan sistematika berpikir yang filosofis. Pemikiran filosofis ditegaskan bukan hanya monopoli Barat, tetapi juga menjadi bahan pergulatan manusia Timur dalam hidupnya. Pemikiran etis dari Confucius, contohnya, banyak membahas bagaimana hidup yang baik bagi manusia dan bagaimana manusia mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Pemikiran semacam itu juga menjadi topik etika yang hangat dalam pemikiran Barat. Sejak Socrates, Plato, dan Aristoteles, contohnya, mengemukakan bahwa kebahagiaan harus merupakan tujuan pada dirinya sendiri yang dapat tercapai apabila seseorang menjalankan fungsi khasnya sebagai makhluk rasional. Manusia akan bahagia apabila ia menjalankan hidup dengan keutamaan. Hidup, dengan keutamaan pada praktiknya, adalah hidup di mana manusia bias mengatur perbuatannya dengan rasio yang selalu mengambil kendali atas dorongan-dorongan instingtif yang menyesatkan (MacIntyre, 1996). Confucius pun mengajukan berbagai keutamaan manusia dalam hidupnya agar mencapai kebahagiaan. Jika kita memandang ajaran Confucius lebih sebagai satu kepercayaan yang menyerupai agama karena pengikutnya menganggap demikian, maka hal yang sama juga dapat kita kenakan bagi ajaran Socrates, Plato, dan Aristoteles mengingat tidak sedikit orang yang percaya buta pada ajaran filsuf-filsuf Yunani ini. Hal yang sama juga dapat kita kenakan pada pemikiran Hindu, Buddha, dan Islam. Penentuan apakah serangkaian pemikiran adalah agama atau filsafat bukan didasarkan pada apakah pengikutnya memandangnya sebagai agama atau bukan. Ada faktor-faktor lain yang lebih menentukan. (Faktor-faktor itu akan dibahas kemudian).

Ada satu pendapat yang menarik dari filsuf eksistensialis Karl Jaspers. Ia menyimpulkan bahwa dalam sejarah peradaban manusia ada empat orang yang menciptakan dan mendemonstrasikan cara hidup yang kemudian dijalankan oleh para pengikut mereka yang tak terhitung jumlahnya. Empat orang yang oleh Jaspers disebut: four paradigmatic individuals adalah Buddha, Confucius, Socrates, dan Jesus. Masing-masing memiliki keunikan dan berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, yaitu India, Cina, Yunani Kuno, dan Israel. Namun, bagi Jaspers, keempatnya memiliki kesamaan dalam besarnya pengaruh mereka pada pemikiran manusia. Sebagai tambahan bagi Jaspers, dapat kita temukan nama Muhammad saw. dari Timur Tengah yang juga memiliki pengaruh besar dan menjadi pelopor bagi agama, peradaban, dan kebudayaan Islam yang saat ini merupakan agama dengan penganut terbanyak di dunia. Ungkapan Jaspers tersebut menunjukkan satu pengakuan bahwa pemikiran Timur juga merupakan bagian dari khasanah filsafat. Pengakuan semacam itu diungkapkan pula oleh Sanderson Beck dalam karyanya Confucius and Socrates; The Teaching of Wisdom. Ia membandingkan Confucius dengan Socrates dan memberikan penghargaan sangat besar bagi pemikir Cina itu. Beck menuliskan: That both Confucius and Socrates pre-eminently represent rationality and a concentration on educational pursuits was recognized by Carl G. Jung when he wrote, Confucius and Socrates compete for first place as reasonableness and a pedagogic attitude to life are concerned. Appeared at key transitional periods in the evolution of culture when their fellow humans were ready for educational methods of self-improvement and discussions on ethical questions. Confucius is credited with being the first professional teacher of higher education in China, and their first and greatest ethical philosopher. In Greece the professional sophists sprang up during Socratess lifetime, but though he remained an amateur or informal teacher, it was Socrates who was recognized by Aristotle for introducing the study of ethics in addition to the use of inductive logic and universal definitions. Oleh Beck, Confucius disejajarkan dengan Socrates. Ia juga menunjukkan betapa Carl Gustav Jung, seorang pemikir psikologi besar, menghargai Confusius sebagai pemikir besar dari Timur. Beck bahkan menyatakan sulit membayangkan bagaimana sejarah dunia Timur tanpa pemikiran Confusius, sebagaimana halnya sulit membayangkan Barat tanpa Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Meskipun cukup banyak pihak mengakui pemikiran Timur sebagai filsafat yang penting, tetap saja ada yang memandangnya sebgai kepercayaan. Perdebatanperdebatan yang mempertanyakan apakah pemikiran Timur dapat disebut filsafat atau hanya kepercayaan religius, masih terus berlangsung hingga di akhir abad 20, dan tampaknya akan terus berlanjut. Dalam bagian ini kita mencoba menjawabnya dengan terlebih dahulu membahas pengertian filsafat. Apa itu filsafat? Ada banyak sekali definisi filsafat yang satu dengan lainnya cukup bertentangan. Kalau dilihat dari asal katanya dalam bahasa Yunani Kuno yaitu philos dan sophia maka artinya adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Pengertian ini belum jelas karena pengertian kebenaran atau kebijaksanaan sangat kabur. Dalam khasanah filsafat Barat, secara umum kita mengetahui pengertian filsafat yaitu upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Dari definisi tersebut kita menyimpulkan bahwa filsafat adalah sebuah upaya. Sebuah upaya adalah sebuah proses, bukan produk. Dengan demikian, yang memiliki sifat rasional, sistematis, radikal, dan kritis adalah proses perolehan pengetahuan bukan produk pengetahuan. Sebagai produk, filsafat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah selesai. Kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak, hingga menjadi makanan yang siap santap. Sedang sebagai proses, filsafat adalah sesuatu yang terus-menerus berlangsung, tak ada kata putus, tak ada ujung. Jika filsafat dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin merupakan barang yang jadi. Pengertian kritis di sini, secara kasar dapat dikatakan tidak menerima sesuatu begitu saja. Secara lebih spesifik lagi, kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru, dialektis, tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai segala kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga melakukan berpikir kritis. Yang dimaksud dengan berpikir kritis di sini adalah: usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti prinsip-prinsip logika1 untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu dapat diterima, ditolak, atau ditangguhkan vonisnya. (Disarikan dari

Moore & Parker, 1986; Mayer & Goodchild 1990; Feldman & Schwartzberg, 1990). Dengan begitu, sangat mungkin apa yang sudah diperoleh dan diketahui oleh filsafat akan berubah dan terus berubah sampai satu titik yang tak tertentu. Dalam pemikiran Barat konvensional, pengertian sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pada satu pengertian yang ketat. Setiap kriteria dibuat sedemikian sempitnya sehingga menutup kemungkinan masuknya berbagai pemikiran penting, namun tidak memiliki kriteria yang ditetapkan. Selain itu ada pula tambahantambahan kriteria misalnya filsafat harus mengandung kebenaran logis. Sebagai contoh, para filsuf dari empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran yang dianggap filosofis harus mengandung kebenaran korespondensi dan koherensi. Kriteria kebenaran korespondensi memiliki pengertian bahwa sebuah pernyataan (pengetahuan) dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Contoh: pernyataan saat ini hujan turun adalah benar jika indra kita juga menangkap kenyataan bahwa saat ini hujan turun. Jika kenyataan saat ini tidak hujan, maka pernyataan itu salah. Kriteria kebenaran koherensi memiliki pengertian bahwa sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu menunjukkan adanya koherensi logis. Dengan kata lain, pernyataan itu dapat diuji dengan menggunakan logika barat (di antaranya logika tradisional dan logika formal yang dirintis oleh Aristoteles dan logika modern yang dikemukakan tokoh seperti Leibniz dan Bertrand Russell). Padahal kalau kita melihat sejarah filsafat, pengertian filsafat tidak sesempit dan seketat yang dikemukakan oleh Barat. Dari definisi filsafat yang secara umum disetujui, dapat dianalisis bahwa masing-masing kriteria memiliki kemungkinan yang lebih luas dari sekedar yang diajukan para filsuf empirik, positivistik, dan filsafat analitik. Di atas sudah dikemukakan pengertian kritis. Dengan pengertian kritis, sudah jelas bahwa keterbukaan terhadap berbagai hal baru dan upaya menghindari kebekuan pemikiran merupakan sifat filsafat. Pembatasan kaum empiris, positivistik, dan filsafat analitik terkesan membekukan satu kriteria kebenaran dan menutup kemungkinan kebenaran yang lain. Sifat filsafat berikutnya adalah sistematis. Sistematis disini memiliki pengertian bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut, dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Filsafat biasanya secara sistematis terbagi menjadi 3 bagian besar:

1) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being);

2) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistemologi dalam arti luas); dan

3) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya
dilakukan manusia (aksiologi). Sistematika filsafat ini seringkali dibakukan sebagai satu patokan yang menentukan dalam menilai satu sistem pemikiran. Pemikiran yang sistematikanya tidak memenuhi kriteria ini cenderung dianggap bukan filsafat. Sifat yang tidak bisa tidak harus ada dalam filsafat adalah radikal. Radikal di sini berasal dari kata radix yang berarti akar. Radikal berarti mendalam sampai ke akarakarnya (mengakar). Pemahaman yang ingin diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Sifat-sifat yang seyogyanya dimiliki filsafat itu juga menjadi kriteria yang digunakan untuk menentukan apa suatu pemikiran dapat disebut filsafat atau tidak. Jika kita ingin membedakan antara filsafat dan agama maka jawaban paling sering kita temukan adalah: filsafat diperoleh melalui aktivitas berpikir atau aktivitas rasional sedangkan agama diperoleh melalui aktivitas suprarasional. Keduanya dibedakan dari mitos yang diperoleh melalui aktivitas irasional. Sifat rasional dari filsafat mengindikasikan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang terangkum di dalamnya merupakan hasil dari kegiatan berpikir manusia. Filsafat memanfaatkan sepenuhnya kemampuan berpikir manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan. Filsafat menghindari sumber-sumber pengetahuan selain kegiatan berpikir. Ilmu pengetahuan diperoleh dari kegiatan berpikir yang disertai dengan pembuktian-pembuktian empirik. Kegiatan berpikir dalam ilmu pengetahuan menggunakan objek-objek material berupa gejala-gejala konkret yang dapat diamati secara langsung, setidaknya dalam aktivitas berpikir itu objek yang dipikirkan berinteraksi secara langsung dengan subjek yang berpikir. Sedangkan filsafat tidak membutuhkan objek material yang langsung bersinggungan secara jasmaniah dengan subjek yang berpikir. Dalam filsafat, kegiatan berpikir yang dilakukan bersifat reflektif dan caranya bersifat spekulatif dalam arti materi-materi yang dijadikan objek berpikir hanya berupa konsep. Berbeda dengan filsafat, agama tidak hanya menggunakan kegiatan berpikir manusia. Agama juga melibatkan sumber pengetahuan lain berupa wahyu, baik wahyu yang dipercaya diturunkan langsung oleh Tuhan maupun wahyu kosmik yang diperoleh dari tanda-tanda keagungan Tuhan yang tersebar di alam semesta. Menggunakan hasil-hasil dari kegiatan berpikir saja tidak memadai bagi agama karena manusia dianggap memiliki keterbatasan pikiran. Dalam agama, wahyu adalah pelengkap pengetahuan manusia, sebuah bocoran atau contekan dari

Tuhan tentang rahasia semesta, tentang yang benar dan yang salah, tentang yang baik dan yang buruk. Agama berbeda dengan mitos yang sifatnya irasional. Mitos hanya membutuhkan kepercayaan. Kegiatan berpikir tidak diperkenankan terlibat untuk memperoleh pengetahuan mistik. Cukup percaya saja, itu sudah sangat memadai bagi mitos.

II. Pemikiran Timur sebagai Filsafat Memang kalau kita beranggapan bahwa filsafat adalah pemikiran yang harus memenuhi kriteria yang dipakai oleh kebanyakan sistem filsafat Barat, maka sulit diterima untuk menggolongkan pemikiran Timur adalah filsafat. Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran Timur tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat, seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Selain itu pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa satu kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim pemikiran Timur sebagai agama. Beberapa kajian terhadap pemikiran Timur juga menunjukkan kurangnya telaah kritis terhadap pemikiran Timur yang dilakukan oleh mereka yang mendalaminya. Mereka lebih sering menafsirkan, berusaha memahaminya, kemudian mengamalkannya. Dari sini terkesan pemikiran Timur haya seperangkat tuntunan praktis untuk menjalani hidup, atau sebagai serangkaian aturan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan. Itu semua bukanlah patokan yang menentukan apakah pemikiran Timur dapat digolongkan sebagai filsafat atau tidak. Di Barat sendiri pengertian filsafat sudah makin bergeser. Kalau kita bicara tentang sistematika, filsafat Barat mutakhir, seperti filsafat yang ditampilkan oleh Richart Rorty, Quinne, dan Derrida sudah tidak berbicara soal pembagian bidang kajian filsafat lagi. Rorty bahkan menyatakan epistemologi bidang filsafat yang mengkaji seluruh pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia mulai dari asalusulnya, bagaimana cara mendapatkannya, sampai pengujian benar-salahnya sudah mati. Sampai di sini terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat Barat. Dalam mempertanyakan kriteria Barat dalam penilaian kualitas sebuah pemikiran filosofis, Foucault mengajukan tesis yang menarik tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Foucault melihat bahwa suatu patokan keilmuan atau filosofis

tertentu sangat dipengaruhi (kalau tidak bisa disebut ditentukan) oleh kekuasaan yang dimiliki pihak-pihak penyampai patokan-patokan itu. Tesis Foucault ini dapat membantu kita memahami mengapa Barat cenderung menolak filsafat Timur. Dalam penentuan apakah pemikiran Timur merupakan filsafat atau bukan filsafat, selama ini Barat-lah yang berperan secara dominan. Kita tahu bahwa dominasi Barat atas Timur sangat besar, apalagi dalam ilmu dan filsafat. Penentuan pemikiran Timur sebagai bukan filsafat tak lepas dari pengaruh kekuasaan Barat yang menjejalkan kriteria-kriteria mereka kepada pemikiran Timur. Memang secara etimologis (asalusul kata) istilah filsafat muncul di Barat, namun filsafat bukanlah monopoli Barat. Timur juga punya begitu banyak pemikiran yang tak kalah dalam, dan bahkan beberapa lebih mendalam, lebih analitis dan kritis daripada pemikiran Barat. Fung Yu Lan menunjukkan bahwa pengertian filsafat tidak selalu seperti pengertian yang digunakan oleh filsafat Barat. Mengingat asal kata filsafat (philosophy) adalah philos dan sophis, dengan arti cinta kepada kebenaran, maka pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat. Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat. Pendapat Fung Yu lan ini jauh-jauh hari sudah dikemukakan Socrates yang kemudian dikutip Plato dalam Phaedrus: those whose ideas are based on the knowledge of the truth and who can defend or prove them, when they are put to the test by spoken arguments, are to be called not merely poets, orators, or legislators, but are worthy of a higher name, befitting the serious pursuit of their life. However, we cannot give them the name of wise, since only God is worthy to be called wise. Therefore we call these lovers of wisdom philosophers. Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pencinta kebijaksanaan atau wisdom. Dengan dasar ini pemikir-pemikir Timur seperti Confucius, Lao Tze, dan Sidharta Gautama layak disebut filsuf. Dengan demikian buah pikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran filosofis. Batasan yang dikemukakan Fung Yu Lan yang sejalan dengan Socrates dan Plato ini sering dianggap masih terlalu umum. Pengertian kebenaran atau

kebijaksanaan di sini masih belum jelas. Pengertian kebijaksanaan atau wisdom perlu kita perjelas di sini. Kata wisdom, yang kadang diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan kadang sebagai kebenaran, menurut Brand Blanshard dalam The Encyclopedia of Philosophy (Vol. 8, hal:322-324) diartikan sebagai: a practical knowledge based on reflection and judgment concerned with the art of living. Wisdom sebagai pengetahuan praktis yang didasari oleh refleksi dan penilaian disertai dengan kepedulian terhadap seni kehidupan tampil pula dalam pemikiran para pemikir Timur seperti Sidharta Gautama dan Confucius. Batasan pengertian wisdom memang masih sangat luas dan umum. Blanshard menilai banyak filsuf modern mengabaikan pencapaian kebijaksanaan dengan dua kemungkinan alasan: pertama karena merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari oleh perasaan (feelings) dan keinginan/nafsu/gairah (desires atau passion) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis. Namun, menurut Sanderson Beck penggunaan perasaan, gairah dan intuisi dalam proses memahami sesuatu bukanlah hal yang buruk. Perasaan, gairah, dan intuisi merupakan sesuatu yang manusiawi. Manusia diperkaya oleh kemampuankemampuan nonrasional itu untuk menjalani hidupnya. Justru manusia akan jadi timpang jika hanya menggunakan rasio saja. Intuisi, informasi-informasi yang diperoleh lewat perasaan dan gairah merupakan modal awal manusia untuk memahami lingkungannya. Rasio kemudian membantu memperjelas dan mempertajam pemahaman itu. Beck menunjukkan hal itu dengan percobaannya menemukan pengertian wisdom secara intuitif, kemudian mengkajinya secara rasional. Berikut ini batasan pengertian wisdom yang ia peroleh secara intuitif: Wisdom is the awareness used by the self to relate successfully to the environment; to be practical in acting upon the environment it must include both knowledge and action. We have described awareness as the consciousness of life. By self is meant our subjective identity as an individual, and we might describe environment as the field of experience for the self. Kemudian ia mengevaluasi pengertian tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap batasan pengertian tersebut, Beck menyimpulkan:

Wisdom is the knowledge of and action for the highest good of all concerned. Dalam pandangan Beck, kebijaksanaan atau wisdom adalah pengetahuan tentang dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi dalam segala aspek. Ada dua kondisi yang niscaya (necessary conditions) yang harus ada dalam pengertian kebijaksanaan dan keduanya tak bisa berdiri sendiri:

1) pengetahuan tentang kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good); dan 2) tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi (action for the highest good).
Mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar saja bukanlah kebijaksanaan. Begitu pula mengerjakan sesuatu yang benar tanpa tahu bahwa itu benar. Untuk dapat menilai seseorang sebagai orang bijaksana, keduanya harus tampil sekaligus pada diri orang itu. Perolehan pengetahuan tentang kebaikan tertinggi dan tindakan untuk mencapainya melibatkan keseluruhan manusia, bukan hanya rasio. Keseluruhan sistem psikofisik manusia terlibat di sini. Pelibatan keseluruhan diri manusia inilah yang terlihat kental dalam pemikiran-pemikiran Timur. Dua kondisi niscaya yang terkandung dalam kebijaksanaan inilah yang kemungkinan luput dari pemahaman para pengikut pemikir Timur. Mereka yang mengamalkan saja ajaran-ajaran pemikir Timur, seperti Confucius dan Sidharta Gautama, dalam tindakan tanpa mengetahui secara mendasar kebaikan tertinggi, tidak akan mencapai kebijaksanaan. Pembahasan yang hanya membicarakan pengetahuan tertinggi tanpa menjalankannya dalam tindakan juga tidak akan membawa kita kepada kebijaksanaan. Untuk mencapai kebijaksanaan, mereka harus melibatkan keseluruhan dirinya. Pikiran dan perbuatan perlu terlibat secara intensif dalam pencapaian kebijaksanaan. Inilah filsafat dalam pengertian para pemikir Timur seperti Lao Tze, Confucius, Sidharta Gautama, para filsuf Hindu dan Islam. Selain batasan yang dikemukakan Fung Yu Lan, kriteria-kriteria yang tercakup dalam pengertian filsafat sebagai upaya memahami segala sesuatu secara kritis, sistematis, dan radikal tetap perlu dipenuhi oleh pemikiran Timur agar pemikiran Timur terbuka pada pengembangan yang lebih luas lagi. Dengan begitu juga dapat dihindari terjadinya pembekuan pemikiran Timur menjadi ajaran dogmatis. Hanya batasan pengertiannya perlu diklarifikasi dan dilepaskan dari wacana filsafat Barat. Di sisi lain pemikiran timur sendiri perlu mawas diri dan membuka diri pada berbagai

modifikasi. Pendapat Iqbal dapat dijadikan bahan introspeksi diri bagi pemikiran Timur. Iqbal mengajak orang-orang Timur untuk menilai secara objektif isi dari pemikiran Barat, menilai baik-buruk pemikiran itu berdasarkan kualitas isinya, bukan berdasarkan siapa yang menyampaikannya. Iqbal secara kritis menilai pemikiran Barat memiliki banyak keunggulan dan di sisi lain menentang pengagungan rasionalisme Barat dengan argumentasi-argumentasi tajam dan masuk akal. Apa yang dilakukan Iqbal perlu dilakukan oleh para pengembang pemikiran Timur. Untuk mempertegas kehadirannya sebagai filsafat, belakangan pengkajian pemikiran Timur menyertakan juga pemenuhan kriteria-kriteria yang umumnya diterakan pada filsafat. Yang pertama kali perlu dijadikan patokan adalah kriteria filsafat sebagai usaha yang kritis. Ini merupakan pengertian yang paling penting bagi berkembangnya pemikiran filsafat. Perkembangan pemikiran filsafat membutuhkan adanya dialog, diskusi, adu argumentasi, dan kesiapan membuka diri terhadap berbagai pemikiran. Untuk itu kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan. Pemikiran Timur yang sudah ada merupakan bahan material yang perlu diolah sedemikian rupa secara kritis dan terbuka terhadap berbagai modifikasi. Pengolahan yang kritis dan sifat terbuka terhadap perbaikan akan memberikan kualitas filosofis yang kental pada pemikiran Timur. Pada praktiknya, kajian-kajian kritis terhadap pemikiran Timur sudah banyak dilakukan. Perbandingan-perbandingan pemikiran dari para pemikir Timur juga sudah banyak yang diperbandingkan. Sebagai contoh perbandingan antara pemikiran Confucius dan Socrates yang dilakukan oleh Sanderson Beck dalam karyanya Confucius and Socrates; The Teaching of Wisdom. Kriteria sistematis bukan berarti filsafat Timur harus memiliki bagian-bagian seperti yang dimiliki filsafat Barat yang secara umum mencakup metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Pemenuhan kriteria sistematis bagi pemikiran Timur bisa berbeda-beda antara satu sistem pemikiran dengan lainnya. Dalam pemikiran Cina misalnya, sistematikanya bisa berdasarkan pada konstruksi kronologis, mulai dari proses penciptaan alam hingga meninggalnya manusia yang dijalin secara runut. Yang penting ada alur yang runut dalam setiap sistem pemikiran, ada masalah yang jelas, ada proses pengolahan informasi sebagai upaya penyelesaian masalah, dan ada solusi bagi masalah itu. Sifat radikal dalam arti mendalam sampai ke akar-akarnya pada filsafat Timur sudah tampak sejak para pemikir Timur mengemukakan buah pikirannya. Apa yang dilakukan Sidharta Gautama adalah sesuatu yang sangat radikal pada masanya. Ia mencoba menggali hakikat hidup sampai sedalam-dalamnya. Ia bahkan mencabut akar-akar kehidupan yang lama di India waktu itu dan mengembangkan sistem

pemikiran baru yang kini kita kenal dengan Budhisme. Sifat radikal dari pemikiran Timur mungkin tidak banyak ditampilkan oleh para pengikut pemikir-pemikir besar seperti Buddha dan Confucius sehingga terkesan dogmatis dan tidak mendalam. Tetapi di akhir abad ke-20, pengkajian Budhisme dan Confucianisme sudah menampilkan sifat-sifat radikal. Budhisme dan Confucianisme siap untuk membedah dan dibedah habis-habisan, terbuka kepada berbagai kemungkinan modifikasi sampai ke akar-akarnya. Pengertian ketiga kriteria yang diajukan di atas menjadi dasar kategorisasi terhadap pemikiran Timur. Pengertian-pengertian itu memungkinkan berbagai pemikiran lain di luar pemikiran filsafat Barat masuk dalam kategori filsafat. Dengan mendasarkan pada pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur, seperti Hinduisme, Budhisme, Daoisme, Budhisme Chan, dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai filsafat.

III. Filsafat Timur Selangkah Lebih Maju Dari Filsafat Barat?

Max Mler suatu saat pernah mengungkapkan: Jika saya ditanya, di bawah langit manakah pikiran manusia telah merenungkan sangat masalah-masalah dan telah

terbesar dalam kehidupan ini secara mendalam, mengenai menemukan jawaban yang pantas diperhatikan beberapa masalah terbesar tersebut, bahkan oleh mereka yang telah mempelajari Plato dan Kant, saya harus menunjuk ke India. Dan jika saya menanyakan kepada diri saya sendiri, dari sumber tulisan manakah, kita yang hampir secara khusus dibesarkan dalam pemikiran orang Yunani dan Romawi serta dalam alam pikiran ras Semit, yaitu orang Yahudi, dapat memperoleh dasar-dasar perbaikan yang amat diperlukan untuk membuat kehidupan rohani kita lebih sempurna, lebih menyeluruh, lebih universal, bahkan lebih merupakan hidup yang sungguh-sungguh manusiawi,

bukan banya untuk hidup sekarang ini saja, tetapi juga untuk hidup abadi dan yang telah diubah, sekali lagi saya harus menunjuk ke India. Pernyataan yang diungkapkan Muller di atas bukan ungkapan klise yang utopis. Ia tidak mengada-ada ataupun membesar-besarkan tradisi India yang selama ini diabaikan dan kurang begitu diperhitungkan dalam percaturan pemikiran modern. Muller berkata demikian karena mendapati bahwa nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pemikiran India sangat anggun dan luhur. Jadi wajar jika Max Muller bukan satu-satunya orang yang terkesima di depan kearifan dan kebijaksanaan negeri yang dalam setahun mampu memproduksi seribu judul film tersebut. Arthur Schopenhauer misalnya, ketika mengulas mengenai kitab-kitab suci utama agama Hindu, dia menulis sebagai berikut; Di seluruh dunia, tidak ada naskah yang demikian indah dan demikian luhurnya daripada Upanishad. Kitab tersebut merupakan hiburan kehidupanku, dan akan menjadi hiburan dalam kematianku. Syair karangan T.S. Elliot yang berjudul The Waste Land, salah satu syair yang paling banyak dipuji dalam generasi kita sekarang ini, berakhir dengan kalimat pemberkatan Hindu yang klasik yaitu; Shantih..., shantih..., shantih..., yang berarti Damai..., damai..., damai... Heinrich Zimmer dari Universitas Columbia menulis buku Philosophies of India, suatu buku yang membahas gemuruh rimba kearifan India yang menggetarkan dunia. Buku itu dimulai dengan keyakinan yang sungguh menarik bahwa Kita di Barat baru akan mencapai persimpangan jalan, yang telah dilalui oleh para pemikir India kira-kira tujuh ratus ratus sebelum masehi. Dalam sebuah ceramah yang disampaikan Arnold Toynbee di Universitas Edinburg tahun 1952, ia berkata bahwa dalam 50 tahun dunia akan dikuasai oleh Amerika Serikat, namun dalam abad ke-21, sewaktu agama menggantikan tempat teknologi, mungkin India yang telah ditaklukkan, akan menaklukkan para penakluknya. Keyakinan Toynbee sekarang sudah mulai terasa, pada abad ini, trend pemikiran Barat sudah mulai mengalami pergeseran dari yang bercorak modern menjadi postmodern yang corak khasnya adalah egelitarianisme budaya; tidak ada budaya yang lebih tinggi dan tidak ada budaya yang lebih rendah. Barat kini mengakui bahwa kebudayan mereka bukanlah kebudayaan yang paling baik. Benar bahwa Barat saat ini masih menempati peringkat teratas dalam hal ekonomi dan teknologi, tapi dalam hal kebijaksanaan belum tentu demikian. Dengan berkiblat kepada Barat, Budiono boleh mengatakan bahwa hanya negara yang penduduknya berpenghasilan 6 ribu US dollar perbulan yang bisa berdemokrasi. Tapi coba cermati India. Kendati penghasilan penduduknya tidak mencapai angga 6 ribu US dollarbahkan mungkin tidak sampai separuhnyatapi demokrasi berhasil ditegakkan di negara itu. Dengan

kata lain, prestasi di bidang tekonologi tidak secara otomatis menandakan prestasi di bidang pemikiran. Di samping itu, belakangan ini kita lihat masyarakat Barat sudah mulai merasakan kejenuhan terhadap kemajuan ilmu dan teknologi yang ternyata berdampak pada teraliniasinya manusia dari dirinya sendiri. Makanya, tidak heran kalau akhir-akhir ini ajaran Hindu dan Budha menjadi trend yang sangat digemari oleh masyarakat Barat. dari Yoga, Semedi, hingga seni kontemplasi sufistik mulai banyak diminati di negara-negara maju. Fenomena ini terjadi karena peradaban Barat saat ini secara serampangan telah mereduksi manusia sebagai moral and religious being menjadi sekadar makhluk-makhluk dengan sejuta profesi dan ambisi. Kegandrungan terhadap kebijaksanaan Timur semakin menjadi setelah corak pemikiran filsafat Barat kontemporer kerap menggunakan terminologi kematian sebagai ikonnya. Misalnya, kematian kebenaran universal, kematian cita humanisme universal, kematian metafisika. Kendati bukan pelopor, akan tetapi Frederich Nietzsche adalah orang yang memiliki peranan besar dalam mempopulerkan istilah ini dalam ranah filsafat. Sebab, pernyataan bahwa dirinya telah membunuh Tuhan juga dimaksudkan sebagai bentuk pemberontakan terhadap nilai-nilai universal yang saat itu masih dipegang secara kukuh oleh para pemikir. Makanya, tidak heran kalau ada anekdot yang menyatakan bahwa filsafat Barat adalah filsafat kuburan yang berbau kematian. Pada titik-titik tertentu, plesetan terhadap filsafat Barat ini bisa dibenarkan. Mengapa? Karena pada kenyataanya banyak masalah-masalah besar yang sangat vital nan krusial yang tidak bisa diselesaikan oleh pemikiran Barat. Lucunya lagi, pemikiran Timur klasik sudah mengulas semua masalah itu secara indah dan elegan ratusan tahun sebelum pemikiran Barat berkembang pesat seperti sekarang ini. Salah satu contohnya adalah dalam bidang filsafat manusia yang menjadi bahasan utama tulisan ini. Sudah banyak literatur Barat yang coba untuk membahas mengenai manusia, tapi tak satu pun yang mampu untuk menerangkan hakikat manusia secara utuh dan menyeluruh. Padahal jika diruntut ke belakang, kajian mengenai manusia sudah dimulai sejak masa Yunani. Plato mendefinsikan manusia sebagai suatu makhluk Ilahi. Aristoteles, mendefinisikan manusia sebagai logos ezzoz (hewan yang berpikir). Epikuros memandang manusia sebagai makhluk yang berumur pendek, lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama sekali lenyap. Seiring dengan perkembangan zaman, kajian tentang manusia juga semakin beragam dan semakin spesifik berdasarkan sudut pandang tertentu. Hasilnya, kita hanya mendapatkan

kosa kata baru yang diklaim sebagai definisi manusia yang paling tepat. Ada Homo Faber, Homo Economicus, Homo Homini Lupus, dan lain sebagainya. Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu ilmu pengetahuan dan berkembangnya diferensiasi profesi dalam kehidupan, praktis, konsep tentang realitas manusia semakin terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit untuk dihadirkan secara komprehensif. Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi, dan lain sebagainya menjadikan manusia sebagai objek kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. Spesialisasi metodologis setiap ilmu, meskipun objek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu. Manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir modern untuk berlomba menjawabnya. Semakin seorang pemikir mendalmi satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman utuh tentang manusia. Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan oleh Ernst Cassirer, misalnya: Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the sexual instinct, and Marx enthrones the economic instinct. Each theory become a Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this development our theory of man lost its intellectual center. We acquired instead a complete anarchy of thought. Pernyataan Cessirer ini menyiratkan bahwa untuk mendefinisikan manusia tidaklah semudah mendefinisikan organisme lain yang turut meramaikan planet bumi ini. Bahkan kalau dicermati secara mendalam, para pemikir Baratsejak era modernisme hingga post modernismetelah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan landasan filosofis tentang hakikat manusia. Sayangnya, teori-teori mereka berbeda jauh satu sama lain sehingga sulit untuk ditenun menjadi satu kain utuh yang mampu menyelimuti pengertian manusia. Descartes misalnya, meyakini bahwa kebebasan manusia mirip dengan kebebasan Tuhan, padahal Voltaire yakin bahwa manusia itu tidak berbeda secara esensial dengan binatang-binatang yang paling tinggi. Hobbes yang memang hidup dalam pergolakan zaman berpendapat bahwa manusia itu dalam geraknya bersifat agresif dan jahat, sedangkan Rousseau menganggapnya sebagai baik dalam kodratnya. Pada abad kita ini, Buber, Marcel,

Lvinas, dan Mounier menegaskan dengan kuat bahwa setiap otang merupakan suati nilai unik, sedangkan para ahli pikir lainnya mengatakan bahwa manusia adalah suatu makhluk yang tidak berarti atau suatu keinginan yang sia-sia. Berdasarkan potret sekilas ide tokoh-tokoh di atas tentang manusia, kita semua pasti menginsafi betapa ide-ide itu bukan hanya berbeda, tapi malah paradoks! Kalau sudah demikian, seberapa pun hebatnya kita melakukan akrobat intelektual untuk mendamaikan ide-ide tersebut dalam sebuah simphoni yang indah dan saling melengkapi akan sia-sia. Ironi memang, ketika pada zaman ini manusia sudah menikmati indahnya kemajuan ilmu pengetahuan sehingga nyaris tak satu pun fenomena alam yang belum bisa diterangkan secara detil dan ilmiah, tapi tidak bisa menerangkan hakikat dirinya sendiri. Saat ini, manusia sudah mengetahui kedalaman samudera atlantik, ketinggian puncak everest, serta jarak tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai planet terjauh; Pluto, tapi tidak bisa mengetahui kedalaman pribadi, ketinggian potensi, serta waktu yang diperlukan untuk bisa mendefinisikan dirinya secara utuh dan menyeluruh. Viktor E. Frankl, seorang psikiater terkenal asal Austria mencoba untuk menasihati para peminat filsafat manusia sebagai berikut; Tantangan adalah bagaimana mencapai, mempertahankan, dan membangun kembali suatu konsep yang menyatukan tentang manusia di hadapan data-data dan penemuan-penemuan yang terpencar-pencar yang disajikan kepada kita oleh suatu ilmu manusia yang begitu digolong-golongkan. Sedangkan Y. Ledure, seorang pemikir Perancis modern melampiaskan kekecewaannya terhadap hasil kajian filsafat manusia yang dikemukakan oleh para filsuf besar sebagai berikut; Tugas dan fungsi fisafat tidaklah tunduk kepada pengolongan-penggolongan serta pengkhusus-khususan yang merupakan ciri khas setiap ilmu. Tugas filsafat adalah mempelajari manusia dalam kebulatan aslinya, serta menghadapinya sebagaii suatu keseluruhan yang bukanlah himpunan dari cabang-cabang ilmu yang berbeda-beda itu. Ketidakmampuan pemikiran Barat dalam mengulas filsafat manusia sudah disadari oleh Kierkegaard seorang tokoh eksistensialis yang hidup pada abad ke-19. dengan rendah hati dia berkata; Memang, ditinjau secara logis, orang dapat memberikan definisi mengenai apakah manusia itu. Tetapi apabila orang melakukan definisi semacam itu, berarti ia telah menutup-nutupi kenyataan yang jika dia ketahui dengan benar, dia pasti terkejut.

Mengapa pemikiran Barat yang selama ini dianggap kaya itu demikian miskin dan tak berdaya ketika dihadapkan pada kajian filsafat manusia? Dengan melihat fakta ini, masih relevankah kita mendengarkan dengan kepercayaan yang utuh semua teori dan gagasan tentang manusia yang dikatakan para filsuf Barat? Apabila kebijaksaan (baca: filsafat) Barat terbukti tidak mampu untuk memetakan manusia secara utuh dan menyeluruh, mengapa kita tidak berpaling dan coba menelusuri koridor-koridor kebijaksanaan Timur? Sejenak, mari kita tinggalkan semua konsepsi pemikiran Barat yang mungkin sudah berurat akar dalam benak kita. Kita lupakan metode-metode Barat yang materialistik, mendewakan pendekatan ilmiah, dan hanya membenarkan sesuatu yang dapat diindra atau dapat diamati gejalanya. Metode yang langsung percaya pada hasil analisi laboratorium dan penelitian empiris dalam memecahkan masalah, dan enggan menerima pendekatan yang bersifat mistis keruhanianciri khas ilmu pengetahuan yang berkembang di Timur. Mengapa? Karena metode Barat yang positivistik itu kerapkali mereduksi kompleksitas manusia secara sederhana. Sartre misalnya, salah satu tokoh eksistensialis ini secara angkuh menolak adanya unsur ruhani atau jiwa dalam diri manusia, dan menganggapnya sebagai sifat materi belaka!? Timur tidaklah demikian. Dalam tradisi yang berkembang dalam Hindu India misalnya, unsur mistik berikut keruhanian tetap diterima dan diyakini mampu memperkaya dimensi ilmu pengetahuan. Bahkan, Hindu bukan hanya menerima keruhanian sebagai salah satu intrumen ilmu pengetahuan, lebih dari itu, keruhanuan juga diyakini bisa ditelaah melalui pengalamansama seperti masalah alamiah lainnya. Dalam memotret sosok yang bernama manusia; dalam tradisi pemikiran Barat bisa digolongkan pada dua aliran. Pertama, para pemikir yang setuju dengan pendapat Deskartes bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua dimensi; jiwa dan materi. Kedua, para pemikir aliran ampiris-materialis yang menolak adanya ruh dalam diri manusia dan menganggai manusia semata-mata terdiri dari materi. Para penganut aliran pertama termasuk juga Deskartes terbentur pada kesukaran yang besar untuk menjawab pertanyaan; bagaimana mungkin jiwa yang bersifat imateri dapat menggerakkan raga yang bersifat materi. Benar, menurut pengalaman dapat juga kita terlebih dahulu mengambil suatu keputusan secara batiniah untuk mengangkat tangan, dan baru kemudian kita benar-benar menggerakkan tangan ke atas atau ke bawah. Tapi apabila demikian kenyataannya, apakah keputusan yang kita ambil tersebut benar-benar secara murni bersifat ruhani; artinya terlepas dari keadaan yang bersangkutan dengan raga kita (umpamanya terlepas dari kinerja

otak, atau terlepas dari hasil-hasil pengalaman yang merupakan akibat dari proses kimiawi yang berhubungan dengan syaraf kita?). Sedangkan kelompk kedua terbentur pada kenyataan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita acapkali sedih, senang, gembira. Mungkin mereka masih bisa beralasan dengan menyatakan bahwa hal itu merupakan akibat dari interaksi dengan benda-benda materi yang ada di sekitar kita. Masalahnya, perasaan-perasaan itu kadang datang saat kita sedang sendiri dan menyepi dan tidak sedang berinteraksi dengan apa pun dan siapa pun. Ketika menghayalkan kesuksesan misalnya; mendadak kita bahagia. Atau kala membayangkan kepiluan, kita tiba-tiba berduka. Siapakah yang berhayal dan membahayngkan itu? Bukankah hayalan atau bayangan itu bersifat imateri? Ketika tubuh terluka, secara fisis-bilogis memang dapat dijelaskan secara ilmiah, tapi bagaimana menjelaskan rasa sakit akibat luka itu? Secara klinis, apa perbedaan antara orang yang dibius ketika dioperasi dengan tidak? Bukankah organ-organ tubuhnya sama-sama bekerja secara mekanis? Tapi mengapa orang yang pertama merasa sakit dan orang yang kedua tidak? Untuk lebih jelasnya lagi, bagaimana kalangan empiris-materialis dan para pengikut Deskartes menjelaskan fenomena Ramakrishna ketika penyakitnya didiagnosa oleh seorang dokter bedah tanpa dibius terlebih dahulu. Seperti kita ketahui, Ramakrishnaorang suci agama Hindu abad ke-19 tersebut meninggal karena kangker kerongkongan. Seorang dokter yang memeriksanya menjelang tahap-tahap terakhir dari penyakit yang menakutkan itu meneliti jaringan yang sudah mulai merusak sehingga Ramakrishna merasa kesakitan. Sejurus kemudian, dia berkata, Tunggu sebentar, kemudian Teruskan. Setelah itu, dokter yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya tanpa reaksi lagi. Konsep manusia dalam agama Hindu dilandaskan pada tesis dasar bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari lapisan-lapisan. Dalam tulisan ini, tidak akan dibahas lapisan-lapisan itu secara terperinci. Ditinjau dari segi ilmu pengetahuan yang sedang berkembang, uraian itu lebih bersifat teknis sekali, berbelit-belit, dan ternyata lebih bersifat kiasan daripada bersifat ilmiah secara harfiah. Untuk kepentingan kita, cukuplah kiranya jika hipotesis tentang adanya lapisan-lapisan pokok tersebut kita ringkas menjadi empat saja. Lapisan pertama dan yang paling jelas adalah, manusia mempunyai suatu tubuh jasmani. Berikutnya adalah bagian alam pikiran serta pengalaman yang disadarinya, yaitu pribadinya yang sadar. Mendasari kedua lapisan ini adalah lapisan ketiga, yaitu kawasan bawah sadar pribadi. Lapisan ini terdiri dari pengalaman pribadi di masa lampau, yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Walaupun lapisan tersebut secara mendasar

membentuk kehidupan orang yang bersangkutan. Hal itu mulai dibahas oleh psikoanalisa dewasa ini. Tiga bagian manusia ini sejajar dengan pandangan orang Barat sekarang ini. Hal yang khusus pada pandangan Hindu adalah dalilnya tentang bagian yang keempat. Bagian ini adalah hakikat-hakikat itu sendiri, yang tak berhingga, tidak dapat dibatasi, dan abadi. Ia mendasari tiga lapisan lainnya., dan lebih tidak terlihat lagi oleh pikiran sadar dibanding dengan alam bawah sadar pribadinya sendiri, walaupun keduanya sama-sama berhubungan erat dengan alam bawah sadar tersebut. Aku lebih kecil dari atom yang paling kecil, namun lebih besar dari yang terbesar. Aku adalah ketuntasan, jagad raya yang beragam warna-warni, indah, dan aneh. Aku adalah Sang Purba. Aku adalah Manusia, Sang Penguasa. Aku adalah Emasnya Kehidupan Aku adalah hakikat dari keindahan Ilahi. Agama Hindu sepakat dengan psikoanalisa, bahwa seandainya kita bisa memanfaatkan sebagian kecil saja dari keseluruhan pribadi kita yang hilang itu, yaitu bagian ketiga dari diri kita, akan kita alami suatu perluasan kekuatan diri yang luar biasa, yakni suatu penyegaran hidup yang amat menyolok. Namun, ini baru awal dari hipotesis Hindu tersebut. Seandainya kita bisa membangkitkan kembali sesuatu yang telah terlupakan oleh semua manusia secara keseluruhan, yang bukan saja akan memberikan petunjuk untuk menerangkan sifat-sifat pribadi serta kekhususan kita, melainkan juga akan menerangkan watak seluruh kehidupan serta semua yang ada. Dengan pemetaan substansi manusia semacam ini, filsafat Timur (baca: kebijaksanaan Hindu) bisa menerangkan ihwal kehebatan Ramakrishna yang tidak bergeming kendati sejumlah peralatan medis menari-nari di tenggorokannya yang dioperasi. Ramakrishna berhasil menemukan lapisan keempat sekaligus yang paling dalam nan esensial pada manusia. Itulah inti dari Aku yang ada dalam diri manusia. Setelah menemukan hakikat yang terdalam ini, Ramakrishna bisa menempatkan diri-nya pada posisi yang takkan bisa dijelaskan oleh semua ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat. Ia mampu menempatkan dirinya pada suatu tahap kesadaran di mana perasaan urat-urat syarafnya sama sekali tidak dapat menerobos kesadarannya, ataupun sedikit sekali menerobos kesadarannya. Wal hasil, semua hukum kausalitas saling mempengaruhi antara jiwa dan raga atau teori reaksi simultan karena adanya eksternal stimulus benar-benar mentah. Ramakrishna benar-benar tidak merasa sakit ketika dioperasi.

LAMPIRAN I: SOAL-SOAL
Modul I: Pendahuluan
1. Mengapa istilah "filsafat manusia" lebih baik daripada "psikologi rasional"?

2. Bilamanakah pertentangan-pertentangan pemikiran dalam kegiatan berfilsafat


tentang manusia dapat bermanfaat? 3. Jelaskanlah perbedaan antara filsafat manusia dengan ilmu-ilmu tentang manusia yang lain, seperti misalnya psikologi, yang juga menyelidiki manusia.

4. Gambarkanlah satu fakta yang akan Anda selidiki dengan filsafat manusia.
Terangkanlah pula metode filsafat manusia yang bagaimanakah yang Anda gunakan beserta alasan menggunakannya.

5. Di antara semua sifat yang merupakan metode yang khas bagi filsafat,
ringkaskanlah sifat dialektiknya.

Modul II: Bahasa


1. Di antara alasan-alasan mengapa kita mulai filsafat manusia dengan kegiatan berbicara, jelaskanlah alasan yang berikut: Perbuatan berbicara memperlihatkan keseluruhan manusia dalam kesatuan dinamiknya. 2. Apakah yang digarisbawahi psikoanalis Jacques Lacan tentang bahasa?

3. Apakah terminologi homo semioticus dapat dibandingkan dengan animal


simbolicum? Jelaskanlah nuansa-nuansa perbedaannya, meskipun samasama menunjuk kepada manusia. 4. Mengapa dikatakan bahwa bahasa manusia berbeda samasekali dengan bahasa binatang?

5. Di antara metode filsafat yang digunakan Ludwig Wittgenstein adalah


"Jangan katakan kalau hal itu tidak dapat dikatakan." Apakah implikasinya?

6. Apakah Alfred Jules Ayer berposisi bahwa ucapan teologis merupakan


omong kosong saja? Terangkanlah.

Modul III: Kehidupan 1. Manusia itu adalah makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri. Apakah
arti penting pernyataan ini dalam konteks kodratnya sebagai manusia? 2. Jika kita mengingat psikoanalisis, maka tampak bahwa dalam menghadapi manusia sakit, yang dilihat bukan badannya saja, juga bukan hanya berbagai macam fungsinya. Lalu, apakah yang diminati? Mengapa hal itu diminati?

3. Jelaskanlah kendala epistemologis dalam pernyataan mens sana in corpore


sano.

4. Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power.


Terangkanlah pernyataan ini dalam kerangka pemikiran Michel Foucault! 5. Jelaskanlah argumen-argumen filsofis yang hendak mencoba menunjukkan bahwa jiwa itu merupakan sesuatu yang tidak real atau real.

6. Gagasan apakah yang mampu menyatakan dengan baik perluasan terusmenerus menjauh ketika orang mengira sedang mendekatinya? Berikanlah contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari Anda.

Modul IV: Pengetahuan 1. Perbedaan apakah yang ada antara pengetahuan diskursif dan pengetahuan
intuitif? Jelaskanlah pula arti dari sifat otoperfektif pengetahuan.

2. Terangkanlah bagaimana nominalisme dan konseptualisme sangat tegas


mengakui tetapi sekaligus juga membedakan sifat interaksi subjek-objek dalam pengetahuan.

3. Analisislah lebih lanjut: dalam pengetahuan sekaligus terdapat aktivitas dari


subjek maupun dari objek, dan sebaliknya ada pula pasivitas subjek maupun pasivitas objek.

4. Keinginan manusia untuk tahu bukan saja merupakan masalah yang bersifat
dorongan akademis untuk mencapai suatu kebenaran formal, karena dorongan ini lebih merupakan suatu keprihatinan eksistensial. Mengapa? Tunjukkanlah concreto-nya dalam pengalaman hidup sehari-hari Anda! 5. Kapankah epistemologi itu mati? Bagaimanakah Anda menyikapinya, dengan mempertimbangkan "nalar puitis" yang diberikan fondasinya oleh Martin Heidegger?

Modul V: Afektivitas
1. Manakah bentuk-bentuk konkret atau peruncingan dari dinamika kita dalam bidang apetitif atau yang berupa rasa?

2. Perpanjangan suatu situasi, terutama jika akhirnya tidak tampak, bagi


manusia merupakan penderitaan. Bagaimanakah manusia mungkin menjalaninya bahkan dengan penikmatan?

3. Dorongan seksual adalah suatu momen dari dinamika manusia. Apakah


maksudnya dalam konteks peluhuran diri manusia?

4. Untuk mencapai afektivitas, subjek harus berada dalam kondisi dimana


subjek akan melahirkan kegiatan afektif. Sebutkanlah dan jelaskanlah, apa sajakah itu? 5. Apakah psikologi membenarkan pendapat bahwa ada perlawanan antara cinta akan diri sendiri dan cinta akan sesama?

Modul VI: Pengertian 1. Jelaskanlah kesulitan epistemologis dari hal pengetahuan inderawi yang
sifatnya deterministik. Bagaiamanakah status kebenaran pengetahuan inderawi di mata para filsuf?

2. Jelaskanlah arti dari "menjadi inteligen" ditinjau dari etimologi kata


"inteligensi" itu sendiri.

3. Bandingkanlah pengetahuan diskursif dengan insight. Dalam hal ini, apakah


mereka saling mengandaikan?

4. Mungkinkah

pengertian

menjiwai

perbuatan,

seandainya

tidak

mempersatukan kita dengan realitas? Jelaskanlah.

5. Dalam memadang fungsi inteligensi dalam konteks dinamika manusia, kita


ingat ungkapan "mouvement de transcendence" dari filsuf Merleau-Ponty. Jelaskanlah arti pentingnya bagi penyempurnaan diri manusia. 6. Apakah kritik Alexis Carrel terhadap sifat spesialisasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern?

Modul VII: Kebebasan


1. Fakta-fakta pengalaman sehari-hari manakah yang dapat membuktikan adanya kehendak (sebagai kemampuan yang tak bisa direduksikan kepada kecenderungan-kecenderungan lain)?

2. Berikanlah contoh-contoh bilamana kebebasan psikologis tidak senatiasa


berarti kebebasan moral.

3. Jelaskanlah argumen psikologis berdasarkan kesadaran tak langsung akan


kebebasan. Dalam arti apakah nilai argumen itu juga terbatas?

4. Terangkanlah arti dan batas dari argumen yang disebut persetujuan umum
tentang adanya kebebasan.

5. Mengapa istilah "kebebasan yang bertanggungjawab" memiliki kendala


epistemologis dalam filsafat manusia?

6. Mengapa,

menurut

Louis

Leahy,

kebebasan

manusia

tidak

berarti

ketidaktergantungan pada Tuhan?

Modul VIII: Eksistensialisme


1. Tunjukkanlah fakta-fakta bahwa eksistensialisme berhasil meninggalkan "menara gading" filsafat sendiri dan meresapi banyak bidang di luar filsafat, seperti psikologi.

2. Jelaskanlah masing-masing ketujuh dimensi das Umgreifende (Yang


Melingkupi) manusia dari Karl Jaspers, beserta contoh-contohnya dalam dinamika manusia. 3. Mengapa, menurut Jean-Paul Sartre, eksistensialisme nyaris tidak punya arti apa-apa lagi? Bagaimanakah jalan keluar Sartre terhadap problem ini. 4. Apabila manusia adalah kebebasan itu sendiri (Sartre), mengapakah manusia merasakan kegelisahan? Apakah manusia memang "dikutuk" dengan kebebasannya?

5. Kierkegaard mengingatkan bahwa orang seringkali berusaha untuk


diperhitungkan dengan jalan menggabungkan diri dalam kelompok-kelompok atau menggalang kekuatan dengan mengumpulkan tandatangan. Jelaskanlah mengapa, menurut Kierkegaard, hal ini adalah bukti bahwa orang yang demikian itu tidak mampu untuk tampil sendiri secara berarti.

6. Berdyaev sangat memperhatikan kreativitas dan khususnya kemerdekaan


dari segala sesuatu yang menghalangi kreativitas. Jelaskanlah hubungan kebebasan dengan kreativitas menurut Berdyaev.

7. Kita melihat banyak manusia sibuk yang akhirnya berhenti sesaat untuk
merenung tiap tahun baru atau saat ulang tahun. Jelaskanlah fenomen ini dalam kerangka pemikiran Berdyaev mengenai penghayatan manusia atas waktu-ada.

8. Nietzsche adalah pewarta kematian Tuhan. Menurut penyelidikan Anda,


Tuhan yang bagaimanakah yang dibenci dan dimatikan oleh Nietzsche?

9. Penegasan romantik yang luar biasa sekaligus mustahil akan pentingnya


setiap momen dalam hidup kita merupakan nasihat Nietzsche agar kita menikmati hidup ini sampai pada kepenuhannya. Tunjukkanlah bahwa sebagai suatu gagasan moral atau filosofis, gagasan ini secara hakiki merupakan suatu yang dangkal.

10.

Bandingkanlah konsep dualisme Descartes tentang manusia dan

dunianya sebagai dikotomi subjek-objek dengan konsep intensionalitas Franz Brentano. Terapkanlah dalam satu persoalan kehidupan sehari-hari Anda!

Modul IX: Permainan 1. Permainan


Jelaskanlah. 2. Dalam permainan manusia menyerah pada objektivitas. Apakah maksudnya? adalah suatu pembebasan. Apakah yang dibebaskan?

3. Apakah arti agn dan eros sebagai dua unsur pokok permainan manusia
sebagai homo ludens? Tunjukkanlah eksisnya unsur-unsur itu dalam salah satu permainan yang Anda mainkan dalam kehidupan sehari-hari Anda. 4. Jelaskanlah mengapa peranan permainan dalam periode modern sangatlah kecil, dalam hal mana kebudayaan tidak lagi "dimainkan" (Huizinga). Berikanlah contoh-contoh.

5. "Barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan


permainan." Berikanlah refleksi kritis Anda terhadap pernyataan ini.

Modul X: Sosialitas Manusia


1. Sosialitas manusia itu suatu unsur yang tidak dapat tidak ada pada kodrat manusia. Verifikasikanlah pernyataan ini. 2. Terangkanlah hakikat sejati dari sosialitas manusia menurut Gabriel Marcel. 3. Aku selalu berada di dalam situasi tertentu. Apakah implikasinya jika aku mengundurkan diri dari salah satu "dunia" tertentu?

4. Kalau "aku" tidak ada, lalu toh tetap ada dunia. Bukankah ini kontradiktif
dengan tesis bahwa "Aku Mengadakan Yang-Lain". Berikanlah persetujuan atau penolakan Anda beserta argumentasinya. 5. Bagaimanakah "sosialitas yang memakan" dapat ditransformasi menjadi "sosialitas yang bersahabat" apabila dihubungkan dengan upaya pendidikan, menurut Driyarkara?

Modul XI: Historisitas Manusia 1. Mengapa hanya manusialah yang bersejarah, berlainan dengan semua jenis
makhluk yang lain?

2. Jikalau historisitas memang menegaskan cara bereksistensi manusia, di


manakah perbedaan antara "manusia dahulu" dan "manusia masa kini" terhadap sejarah? 3. Karena apakah historisitas tidak mungkin juga, jika manusia tidak bebas?

4. Bandingkanlah

"waktu

fisis"

dengan

"waktu

antropologis"

dengan

menggunakan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari Anda.

5. Seandainya manusia seorang Robinson Crusoe yang hidup seorang diri di


pulau terpencil, apakah dia menjadi "makhluk ahistoris"?

Modul XII: Kematian Manusia


1. Jelaskanlah argumen filsofis dari evolusionis Teilhard de Chardin mengenai hidup sesudah mati. Mengapa argumen ini masih kurang memuaskan?

2. Berikanlah sejumlah keberatan terhadap argumen reinkarnasi, utamanya


yang mendasari bahwa reinkarnasi merupakan solusi semu terhadap persoalan kematian. 3. Jelaskanlah mengapa jiwa manusia tidak dapat terkena pembusukan.

4. Hasrat akan kebahagiaan total dan definitif termasuk kodrat manusia; namun
di lain pihak, cita-cita itu tidak bisa dicapai di dunia ini. Apakah implikasi argumen ini terhadap kekekalan manusia? Sertakan pula evaluasi terhadap argumen ini!

5. Menurut Anda, apakah yang paling menarik dalam pendekatan-pendekatan


empiris kontemporer tentang transendensi pikiran terhadap materi ("mindbody" relation) dan tentang perspektif hidup baru sesudah mati? 6. Dalam konteks tersebut (no. 5), disinyalir ada semacam "kembalinya dualisme". Apakah "dualisme" itu sama dengan platonisme?

7. Sebagai daya kebebasan, bagaimanakah kehendak kita tampak sebagai


kemampuan yang melampaui keinginan-keinginan badaniah? Kaitkan tema Kematian ini dengan tema Kehidupan (Modul III).

Modul XIII: Filsafat Feminisme 1. Mengapakah jenis feminisme yang diperjuangkan oleh para feminis Barat
masih kurang memuaskan, khususnya bagi perempuan Indonesia? Apakah kekurangannya?

2. Jelaskanlah-dalam pandangan Simone de Beauvoir-sejumlah argumen yang


menunjukkan bahwa perempuan telah "dimandulkan" untuk menjadi subjek

dalam budaya patriarkat. Mengapa tubuh perempuan dalam hal ini mesti dibebaskan?

3. Fakta teori dalam poskolonial adalah fakta praxis atas diperjualbelikannya


perempuan-perempuan dunia ketiga dalam pasar seks transnasional. Bagaimanakah redekonstruksi perjuangan feminisme dapat berupaya mengatasi fakta ini?

4. Apa arti dari "identity panics" menurut Len Ang? Berikanlah contoh-contohnya
dalam pengalaman sehari-hari kehidupan Anda.

5. Dalam politik identitas, perlu dilakukan penelanjangan esensi. Apakah yang


dimaksudkan dengan pernyataan ini?

Modul XIV: Filsafat Timur


1. Bilamanakah pemikiran Timur memungkinkan untuk dipandang sebagai suatu filsafat daripada suatu kepercayaan/agama?

2. Terangkanlah pernyataan Sanderson Beck bahwa penggunaan perasaan,


gairah, dan intuisi dalam proses memahami sesuatu bukanlah hal yang buruk. 3. Ahli psikologi, Carl Gustav Jung, menghargai Confusius sebagai pemikir besar dari Timur. Apa arti penting dari kenyataan ini dalam perkembangan filsafat manusia dan psikologi itu sendiri? 4. Fung Yu Lan menunjukkan bahwa pengertian filsafat tidak selalu seperti pengertian yang digunakan oleh filsafat Barat. Jelaskanlah argumen Fung Yu Lan ini.

5. Prestasi di bidang tekonologi tidak secara otomatis menandakan prestasi di


bidang pemikiran. Apakah implikasi pernyataan ini terhadap pencarian Timur dan Barat terhadap "kebijaksanaan/kebenaran" sebagaimana terkandung dalam etimologi perkataan "philosophia" itu sendiri?

6. Filsafat Barat menghasilkan: Homo Faber, Homo Economicus, Homo Homini


Lupus, .... (dan kita masih dapat mendaftar lebih banyak homo ...) lagi. Di manakah batasnya? Selanjutnya, apakah insight yang dapat kita ambil dari cara pemikir-pemikir Barat tersebut memandang manusia?

7. Ramakrishna tidak bergeming kendati sejumlah peralatan medis "menarinari" di tenggorokannya yang dioperasi. Mengapakah ilmu pengetahuan Barat tidak mampu menerangkan hal ini?

You might also like