You are on page 1of 40

MARET - APRIL 2012

tataruang
buletin
BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Menata Kawasan Hutan dan Mempertahankan Lahan Pertanian

Kabupaten Bogor dan Pemanfaatan Ruang yang Intensif Mempertahankan Tanah Agraris Akankah Proses Penataan Ruang Berakhir? Saatnya Menepati Janji-janji
4 RTR Pulau telah diPerpreskan

Jangan Lagi Terpinggirkan

Wilayah Perbatasan:

Pedoman RDTR Sebagai Upaya Percepatan Implementasi Rencana Tata Ruang Kala Manusia Merebut Habitat
Agenda Kerja BKPRN

BARCODE

BKPRN

Bambang Soepijanto

P RO F I L

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

buletin tata ruang


Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA

PELINDUNG

Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc. DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM

PENANGGUNG JAWAB

sekapur sirih
Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh, Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi kedua di tahun 2012. Perubahan peruntukan kawasan hutan dan alih fungsi lahan pertanian menjadi isu hangat belakangan ini. Perubahan peruntukan kawasan hutan dan alih fungsi lahan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia ditengarai ikut andil dalam meyebabkan terjadinya berbagai bencana seperti bencana alam banjir dan tanah longsor. Selain itu, perubahan peruntukan dan perubahan fungsi lahan juga mengakibatkan terjadinya perubahan panen tanaman, perubahan iklim serta curah hujan tinggi. Masalah yang timbul dalam perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dan alih fungsi lahan yaitu karena perubahan dilakukan tidak melalui mekanisme yang telah diatur, serta tidak/belum diperolehnya rekomendasi tim terpadu yang menyatakan bahwa perubahan tersebut tidak mengganggu ekologis, sementara telah dilakukan pemanfaatan kawasan dan lahan yang telah berubah tersebut. Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali juga mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Selain memicu harga tanah hingga ke tingkat yang tidak rasional, perubahan ini juga mengancam kelangsungan ekonomi para petani yang terpaksa beralih mata pencaharian. Keterlibatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota yang masih terbatas dalam penetapan perubahan peruntukan kawasan hutan dan alih fungsi lahan disebutkan menjadi salah satu penyebab masalah tersebut diatas. Padahal daerahlah yang nantinya akan secara langsung mengalami dampak dari adanya perubahan tersebut. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal. Oleh karena itu, Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi salah satu instrumen dalam pengendalian perubahan peruntukan kawasan hutan dan dalam perubahan fungsi lahan pertanian. Diharapkan dengan percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota, daerah dapat segera mempunyai peraturan yang dapat membantu penataan kawasan hutan dan melindungi lahan pertanian. Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam upaya mengoptimalkan penataan kawasan hutan dan meminimalisasi alih fungsi lahan dengan penetapan pemanfaatan wilayah yang lebih rinci dalam RTRW.

DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)

PENASEHAT REDAKSI

PEMIMPIN REDAKSI

Ir. Sita Indrayani, MT

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI REDAKTUR PELAKSANA SEKRETARIS REDAKSI STAf REDAKSI

Aria Indra Purnama, ST, MUM

Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.

Indira P. Warpani, ST., MT., MSc

Ir. Agus Sutanto, MSc Ir. Dwi Hariawan, MA Ir. Kartika Listriana, MPPM Ir. Nana Apriyana, MT Wahyu Suharto, SE, MPA Ani Suryati Ningsih, SH, MH Ir. Indra Sukaryono Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST. Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Hari Khadarusno, ST

KOORDINASI PRODUKSI STAf PRODUKSI

Angger Hassanah, SH

Dhyan Purwaty, S.Kom

KOORDINASI SIRKULASI

Supriyono S.Sos

Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA, Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp. (021) 7226577, fax. (021) 7226577 Website BKPRN:http://www.bkprn.org Email:timpelaksanabkprn@yahoo.com dan redaksi _butaru@pu.go.id

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

buletin tata ruang | Maret - April 2012

dari redaksi
Salam damai untuk pembaca setia Butaru Buletin Tata Ruang 2012 telah sampai pada edisi ke-dua. Pada edisi kali ini Butaru mengangkat tema Menata Kawasan Hutan dan Mempertahankan Lahan Pertanian. Dalam Topik Utama edisi kali ini, redaksi mengangkat tema Mempertahankan Tanah Agraris. Perubahan fungsi lahan terjadi terutama terjadi pada lahan pertanian dan kawasan hutan. Terbatasnya lahan saat ini dan besarnya potensi energi dan sumber daya mineral yang terdapat di kawasan hutan, mengakibatkan terjadianya konflik dalam pemanfaatan kawasan hutan dan berujung pada perubahan fungsi kawasan hutan. Demikian juga isu yang terjadi pada lahan pertanian yaitu terbatasnya sumberdaya tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian, tidak amannya status penguasaan tanah (land tenure), Selain itu faktor penyebab alih fungsi lahan pertanian adalah peningkatan jumlah penduduk dan taraf kehidupan, lokasi lahan pertanian banyak diminati untuk kegiatan non-pertanian, menurunnya nilai ekonomi sektor pertanian, fragmentasi lahan pertanian, serta kepentingan pembangunan wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian. Profil Wilayah pada edisi ini menampilkan Kabupaten Bogor dan wilayah sekitarnya yang pemanfaatan ruangnya tidak sesuai dengan RTRW yang akhirnya menimbulkan konflik. Profil tokoh kali ini menampilkan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bambang Soepijanto yang mengungkapkan kebijakan kehutanan dan penataan kawasan hutan yang mendukung program percepatan pembangunan. Buletin ini juga mengangkat tulisan Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Kementerian Pertanian, yang menguraikan tentang kebijakan alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan dan mekanisme alih fungsi lahan. Serta hal-hal penting yang dimuat dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pada edisi ini juga akan ditampilkan artikel Kawasan perbatasan Pulau Sebatik, yang terdapat di Kabupaten Nunukan. Diharapkan pembangunan wilayah perbatasan yang unik ini, tidak hanya berdasarkan program hasil koordinasi program sektoral, tetapi adalah program pembangunan berdasarkan pemahaman tentang perbatasan seutuhnya dan mengidentifikasi kontradiksi yang terjadi sehingga dapat diwujudkan alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai halaman depan yang lebih bermakna, manusiawi dan substantif. Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan tentang alih fungsi hutan yang tidak terkendali akan mengakibatkan konflik yang cukup kompleks, tidak hanya lingkungan, akan tetapi masyarakat setempat dan semua habitat di kawasan tersebut akan terganggu. Akhir kata, tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dan dibidangnya, sehingga diharapkan dapat memperkaya wawasan pembaca.

PROFIL TOKOH

daftar isi

Bambang Soepijanto

04

PROFIL WILAYAH

Kabupaten Bogor dan Pemanfaatan Ruang yang Intensif

09

TOPIK UTAMA

Mempertahankan Tanah Agraris


Oleh: Ir. Inggul Iman Panudju, M.Sc

11

TOPIK LAIN

Akankah Proses Penataan Ruang Berakhir?


Oleh: Ir. Toeti Ariati, MPM

17

TOPIK LAIN

Saatnya Menepati Janji-janji


4 RTR Pulau telah diPerpreskan
Oleh: Redaksi Butaru

21

TOPIK LAIN

Wilayah Perbatasan:
Oleh: Redaksi Butaru

Jangan Lagi Terpinggirkan

31

TOPIK LAIN

Pedoman RDTR Sebagai Upaya Percepatan Implementasi Rencana Tata Ruang


Oleh: Redaksi Butaru

34

WACANA

Kala Manusia Merebut Habitat


Oleh: Redaksi Butaru

37

AGENDA KERJA BKPRN


Maret - April 2012

39

Selamat membaca

Redaksi

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

profil tokoh

Bambang Soepijanto
Dirjen Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Menata Kawasan Hutan Mempertahankan Lahan Pertanian

Bambang Soepijanto adalah Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan dilahirkan di Banyuwangi 55 tahun yang lalu. Bambang menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah atas di Banyuwangi, kemudian melanjutkan studi di fakultas Pertanian UPN Veteran (Perguruan Tinggi Kedinasan-DEPHANKAM) Yogyakarta. Awal karir beliau adalah bekerja pada Direktorat Proyek Perencana dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai (P3RP DAS) Gunung Kidul pada tahun 1981 hingga menjabat Kepala Balai RLKT Opak Progo di Yogyakarta pada tahun 2002. Sejak tahun 2002, beliau bergabung dengan Kementerian Kehutanan sebagai Kepala Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan Planologi, yakni sejak 21 Agustus 2002-22 Januari 2004, lalu menjabat Direktur Jenderal Planologi Kehutanan pada bulan September 2010. Beliau adalah salah satu pendorong terwujudnya RKTN 2011-2030 yang memberi arahan makro pemanfaatan ruang kawasan hutan selama 20 tahun ke depan. RKTN ini merupakan amanat UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Pola pengelolaan hutan dalam RKTN tidak hanya berbasis pada fungsi hutan, tetapi juga memberikan enam arahan pemanfaatan ruang kawasan hutan, yaitu kawasan untuk konservasi, perlindungan hutan alam dan lahan gambut, rehabilitasi, pengusahaan hutan skala besar, pengusahaan hutan skala kecil, dan non kehutanan. Ke depannya, melalui RKTN 2011-2030, diharapkan sektor kehutanan memberi jawaban terhadap tantangan berkenaan dengan upaya konservasi sumber daya hutan. upaya yang perlu dilakukan terhadap kawasan hutan yang kondisinya masih baik, termasuk lahan gambut dengan kedalaman lebih dari dua meter. Pandangan dan harapan beliau dalam pengelolaan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diuraikan di bawah ini. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dapat dikatakan merupakan Executing Agency bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan kehutanan. Dapat bapak jelaskan bagaimana tugas pokoknya? Terdapat dua tugas pokok Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan yaitu penyusunan Rencana Makro Pembangunan Kehutanan dan Pemantapan Kawasan Hutan. Dilihat dari kedua fungsi pokok tersebut, maka Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan bisa diibaratkan sebagai lokomotif dari proses pembangunan kehutanan yang harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal atau unit Eselon 1 lainnya di lingkungan Kementerian Kehutanan. Apa rencana makro pembangunan kehutanan? Rencana makro pembangunan kehutanan dalam implementasinya antara lain dituangkan dalam bentuk Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 20112030 yang isinya meliputi seluruh aspek pembangunan kehutanan dalam jangka waktu 20 tahun. Dengan demikian keberadaan RKTN dapat dipandang sebagai matahari bagi
buletin tata ruang | Maret - April 2012

Mulai dari merencanakan, membuat kesepakatan, menciptakan model-model, hingga menentukan batas. Tak ada yang boleh terlewat.
penyusunan rencana-rencana yang lebih detail dari setiap proses pembangunan kehutanan, mulai dari aspek perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan dan pengawasan. Kawasan hutan yang mantap diperlukan sebagai prasyarat dapat terselenggaranya program-program pembangunan kehutanan dalam tingkat tapak. Mantapnya kawasan hutan akan dicirikan dengan telah dikukuhkannya kawasan hutan yang meliputi tahapan penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan serta adanya institusi pengelola di tingkat tapak dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Sejauh mana keterlibatan Kementerian Kehutanan terhadap penyelesaian masalah alih fungsi lahan yang sekarang banyak terjadi? Dalam UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dikenal terminologi Perubahan Peruntukan dan fungsi Kawasan Hutan yang diatur dalam Pasal 19. Lebih lanjut tata cara tentang perubahan peruntukan dan fungsi hutan diatur di dalam PP 10 Tahun 2010. Perubahan peruntukan adalah perubahan status dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL). Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan antar fungsi pokok kawasan atau perubahan di dalam fungsi pokok kawasan hutan. Misalnya perubahan dari Hutan Lindung (HL) ke Hutan Produksi Terbatas (HPT) atau perubahan dari Cagar ALam (CA) ke Taman Nasional (TN). Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dapat ditempuh melalui perubahan di tingkat provinsi yang pelaksanaannya dilakukan bersamaan dengan proses revisi RTRWP atau dapat dilakukan secara parsial. Perubahan peruntukan secara parsial yang berasal dari kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dapat dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Sedangkan perubahan peruntukan kawasan HPT dan Hutan Produksi Tetap (HP) dilaksanakan melalui tukar-menukar kawasan hutan. Proses pelepasan kawasan HPK untuk pembangunan non kehutanan per Desember 2012 adalah seluas 5,1 juta ha. Perubahan peruntukan dan fungsi yang saat ini banyak terjadi dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan pola ruang dalam revisi RTRWP. Adapun perubahan peruntukan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan seperti halnya untuk pembangunan perkebunan yang dilakukan secara parsial tersebut dilakukan terhadap Hutan Produksi yang dapat dikonversi

untuk memenuhi pembangunan di luar sektor kehutanan. Namun, perubahan peruntukan tersebut tetap harus menjaga kecukupan luas kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan, minimal sebesar 30 % dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS), pulau dan atau provinsi. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Perubahan peruntukan seharusnya melalui perizinan yang lengkap, namun akhir-akhir ini banyak hutan konservasi justru berubah fungsi. Bagaimana pandangan bapak terhadap pernyataan tersebut ? Sebagaimana telah diuraikan di atas, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme yang diatur di dalam Pasal 19 UU Nomor 41 tahun 1999 dan PP 10 tahun 2010. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan berdasarkan kriteria tertentu sehingga tetap terjaga fungsi pokok kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan. Namun dalam praktiknya dijumpai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang tidak melalui mekanisme yang telah diatur. Perubahan kawasan hutan tersebut merupakan tindakan yang melanggar, dalam hal ini melanggar Pasal 50 dan 78 UU Nomor 41 tahun 1999. Karena itu, perubahan peruntukan atau fungsi kawasan konservasi yang tidak prosedural harus dikenakan sanksi hukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

profil tokoh

sebab itu, kebutuhan pembangunan nonkehutanan pada provinsi-provinsi yang masih memiliki HPK diprioritaskan untuk memanfaatkan HPK yang tersisa. Sedangkan kebutuhan lahan untuk keperluan nonkehutanan pada provinsiprovinsi yang tidak memiliki HPK, maka untuk kegiatan nonkehutanan yang besifat permanen dapat dilakukan melalui mekanisme tukar-menukar kawasan hutan. Sedangkan untuk kegiatan yang bersifat sementara dapat dilakukan melalui mekanisme pinjampakai kawasan hutan. Terkait dengan prediksi peningkatan kebutuhan lahan, hal tersebut telah terakomodir dalam skenario Pembangunan Kehutanan Jangka Panjang yang tertuang di dalam RKTN dengan prediksi sampai 20 tahun ke depan, kawasan hutan akan berkurang 20 % untuk mengakomodir kebutuhan pembangunan dan penyelesaian konflik kawasan hutan. Hasil konferensi dunia menyatakan Indonesia harus mempertahankan hutan sebagai paru-paru dunia. Sementara pembangunan nasional akan memerlukan lahan yang cukup luas. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap pengurangan kawasan hutan. Bagaimana menurut Bapat menindaklanjutinya? Bahwa pengurangan kawasan hutan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan pengembangan investasi adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian secara ketat. Agar kawasan hutan di Indonesia tetap berkontribusi sebagai paru-paru dunia, maka yang dapat dilakukan antara lain perbaikan kualitas tutupan kawasan hutan dan tutupan di luar kawasan hutan yang antara lain telah ditempuh melalui program penanaman satu milyar pohon yang telah kita kenal bersama. Sehingga berkurangnya luas kawasan hutan akan tertutup embanan tugas kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan oleh Areal Penggunaan Lain (APL) yang bertutupan hutan.

Pada 21 Februari 2012 terbit putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 (MK) yang menilai bahwa menunjuk suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan tersebut, sesuai dengan hukum dan undangundang, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Bagaimana menurut Bapak? Keputusan MK tanggal 21 februari 2012 mengabulkan uji materi Nomor 41 tahun 1999 khususnya terkait frasa ditunjuk dan atau pada Pasal 1 butir 3 tentang Pengertian Kawasan Hutan yang berbunyi: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dengan dikabulkannya permohonan tersebut, sejak 21 februari 2012 pengertian Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Di dalam Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 Jo UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bahwa, Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Implikasi keputusan tersebut adalah penunjukan

kawasan hutan yang telah ada sebelum tanggal tersebut tetap sah dan mengikat. Penunjukan kawasan hutan sesungguhnya dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan sesuai tahapan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 41 tahun 1999 secara konsisten. Bagaimana implikasinya terhadap bidang kehutanan? Dalam implementasinya, pengukuhan kawasan hutan yang diselenggarakan Kementerian Kehutanan selama ini selalu mengacu pada tahapan yang diatur dalam Pasal 15 UU 41 Tahun 1999. Antara lain adalah meliputi tahapan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Oleh sebab itu, maka adanya keputusan MK tersebut bagi Kementerian Kehutanan merupakan pendorong untuk percepatan pelaksanaan penetapan kawasan hutan. Program MP3EI tentunya akan memerlukan lahan yang sebagian merupakan kawasan hutan. Bagaimana tanggapan bapak? Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di luar kehutanan yang merupakan konsekuensi dari pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan investasi telah dialokasikan kawasan HPK. Oleh

buletin tata ruang | Maret - April 2012

Bagaimana Ditjen Planologi Kehutanan menyikapi isu alih fungsi lahan yang terjadi sekarang ini? Sebenarnya tidak ada konflik lahan yang terjadi, tapi yang ada klaim kawasan, yaitu merasa mempunyai hak milik dari suatu kawasan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya hak ulayat, hak adat dan lain-lain di dalam suatu kawasan hutan. Pada zaman dahulu, jika ada hutan dengan tanah yang tinggi di atas 40%, bercurah hujan tinggi, dan tanahnya rapuh, pasti sudah dikatakan hutan lindung. Hutan seperti itu mengandung banyak plasmanutfah, hewan, dan fauna yang perlu dilindungi, maka dinamakan konservasi. Itu mengapa sistem seperti ini dinamakan tata guna hutan kesepakatan (TGHK), karena hanya hasil dari suatu kesepakatan. Sehingga saat Menteri Pertanian menunjuk sebuah lahan berdasarkan kesepakatan dalam peta, kemungkinan fungsi-fungsinya tidak disetujui secara professional adjustment. Lalu setelah ditunjuk bahwa lahan itu merupakan kawasan hutan, mungkin di dalamnya terdapat hak-hak ulayat, hak adat, dan lain lain, yang sesungguhnya harus dikeluarkan dari kawasan hutan. Ini mengapa para pemangku kepentingan saat ini dengan kearifannya menyepakati perlunya sebuah sistem penyelenggaraan kehidupan yang namanya hutan. Di dalam perjalanannya, semua proses diharuskan sesuai undang-undang, dan

Mungkin akan terjadi klaim atau gugatan dari penduduk setempat karena sudah merasa tinggal lama di situ sebelum kehadiran kawasan hutan.
penobatan sebuah kawasan diharuskan melalui pengukuran kembali, pemetaan, kemudian penetapan. Akan tetapi, kawasan hutan kita sebanyak 140 juta ha, maka tidak cukup waktu untuk serta merta selesai. Disitulah mulai muncul persoalan ketika kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan sudah memiliki hakhak masyarakat di dalamnya. Maka mungkin akan terjadi klaim atau gugatan dari penduduk setempat karena sudah merasa tingal lama di situ sebelum kehadiran kawasan hutan. Klaim kawasan itu bukan konflik perebutan lahan. Hal ini karena masyarakat merasa punya hak atas lahan yang diduduki. Ada keeratan hubungan yang luar biasa antara dia dengan lahannya, tapi kemudian kita menunjuk lahan mreka sebagai kawasan hutan. Hal ini sangat berbeda dengan BPN yang urusannya memberikan title H/hutan. Kemudian ditemukan ada double title, yang akhirnya menjadi konflik (misalnya satu diberikan ke perusahan dalam bentuk HGU, sedangkan yang satunya lagi mungkin merasa hak milik). Beberapa kasus akan kita cicil melalui pengukuhan tata batas, tapi yang luar biasa bisa diselesaikan melalui review tata ruang. Pertama dengan adanya UU No. 24 tahun 1992, kemudian disempurnakan dengan UU No. 26 Tahun 2007. Kaidah yang kami bangun adalah fungsi-fungsi seperti fasilitas umum dan fasilitas sosial, dan fungsi apapun, harus kita keluarkan dari kawasankawasan hutan. Dengan bantuan review tata ruang, bupati mengusulkan apa-apa saja yang harus dikeluarkan dari kawasan hutan tersebut, tentu saja di bawah koordinasi gubernur. Kemudian gubernur menyampaikan hal tersebut pada menteri. Selanjutnya menteri menugaskan Timdu (Tim Penelitian Terpadu), yaitu sebuah tim yang mempunyai scientific authority. Dari situ baru kita bisa mengeluarkan fungsi-fungsi tadi. Apa kendala dalam proses ini? Persoalannya memang tidak sesederhana itu. Ada Bupati yang enggan mengusulkan pengeluaran fungsi-fungsi nonkehutanan tersebut karena secara tidak langsung melaporkan pelanggaran kawasan hutan di wilayahnya. Bupati ini takut akan terkena sanksi. Mungkin hal itu terjadi karena kurangnya sosialisasi terhadap peraturan perundangan terkait dan mereka juga tidak aktif mengambil peluang ketika UU No. 26/2007 diberlakukan sebagai ruhnya. Review Tata Ruang pasti memenuhi dinamika kebutuhan ruang akan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan ruang dan tak menuntup kemungkinan terhadap penyesuaian. Lalu bagaimana menyelesaikannya? Sebenarnya persoalan ini akan terus terjadi di dalam kawasan hutan dan bagi kami tidak merepotkan, tapi harus diselesaikan. Karena review tata ruang harus diselesaikan selama dua tahun, maka ketika Timdu selesai, ada kemungkinan tersisa daerahdaerah yang tidak bisa mengusulkan pengeluaran lahan garapan dari hutan. Kasus seperti ini harus diselesaikan melalui pengukuran kembali tata batas. Nah, karena tata batas tidak bisa serta merta dilakukan serentak di seluruh Indonesia, maka prosesnya berjalan pelan.

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

profil tokoh

Akan tetapi, menurut skenario optimistis dalam New Initiative Renstra Kemen Kehutanan, target tata batas telah saya ubah menjadi 63.000 km lari dari yang semula hanya 25.000 km lari. Jadi panjang tata batas kawasan hutan kita sepanjang +282.000 km, dan yang kurang adalah 63.000 km. Memang akan terjadi perubahan dalam program kami. Sekarang saya buat dalam setahun bisa selesai 16.000 km. Ini strategi manajemen untuk melakukan percepatan tersebut, maka semuanya harus ditambah. Institusi mana yang bertugas melakukan pengukuran tata batas ini? Panitia pengukuran tapal batas adalah kepala daerah. Harapan saya, mudahmudahan pada 2014 seluruh batas luar kawasan hutan dan batas fungsi dapat diselesaikan, maka kita akan mempunyai kemantapan kawasan hutan jurisdictional boundary (batas yuridiksi kawasan hutan). Persoalan klaim kawasan karena jurisdictional boundary belum selesai. Maka dengan cara tersebut, kami berharap persoalan klaim kawasan akan menjadi minimal. Menurut Bapak, sampai sejauh mana seharusnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan? Apakah mulai dari perencanaan sampai pengawasan? Apa alasannya?

Pelibatan masyarakat ke dalam kegiatan yang menjadi tugas pokok Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dimulai sejak tahap perencanaan sampai pengawasan. Sebagai contoh, dalam proses tata batas, Panitia Tata Batas beranggotakan Kepala Desa dan tokoh masyarakat. Dalam proses tata batas, saat telah dilakukan penataan batas sementara, dilakukan pengumuman kepada seluruh masyarakat sebelum dilakukan penataan batas definitive, dengan harapan hasil tata batas dapat diterima masyarakat. Dalam proses penyusunan RKTN dilakukan mekanisme konsultasi publik sejak penyiapan draft awal RKTN. Lalu setelah jadi, dilakukan sosialisasi terhadap RKTN dimaksud. Harapan Bapak tentang alih fungsi lahan? Meski jurisdictional boundary sudah selesai dan jelas, hal itu masih belum selesai. Ketika unit organisasi pengelolaan tingkat tapak tidak ada, maka hal ini akan mentah lagi. Kami juga memprakarsai terbentuknya KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Kami mau bangun 600 KPH di seluruh Indonesia. Akan tetapi KPH sebenarnya wewenang daerah. Namun jika tidak kami dorong, sepertinya daerah tidak mau membangun. Jadi, saya bangun dulu 120 KPH model sampai akhir 2012 operasional sampai dia running well.

Diharapkan pada 2014 seluruh batas luar kawasan hutan dan batas fungsi dapat diselesaikan, maka kita akan mempunyai kemantapan kawasan hutan jurisdictional boundary.
Kenapa disebut model? Karena prinsip anggaran kita berbasis kinerja (money follow function), sementara hutan produksi dan hutan lindung itu wewenangnya daerah. Maka kalau ini saya buat demonstration area/trial organization, maka saya sebut model. Kalau model masih boleh kita fasilitasi, tapi ketika running sudah tidak boleh lagi, karena sudah dikelola daerah. Kalau masalah jurisdictional boundary sudah selesai dan ada pengelola di tapak tersebut, maka tidak mungkin ada gangguan kawasan hutan atau pengrusakan hutan. Hutan dalam RKTN pada tahun 2030 akan tersisa sekitar 110 juta (dari jumlah aslinya yaitu 147 juta). Kenapa? Karena terpakai untuk penyelesaian konflik-konflik dalam memfasilitasi penggunaan nonkehutanan. Kalau daerah tidak mampu, maka pemerintah pusat akan membuat model-model baru. Artinya ada sesuatu yang mengalir dari kawasan hutan, manfaat positif, ada jasa baik dari masyarakat terhadap kawasan hutan. Konsep tersebut juga bagian dari penyelesaian tata ruang (perubahan peruntukan dan perubahan fungsi). Nah, bagian saya adalah tata batas. Selanjutnya untuk menggerakkan pengelolaan kawasan hutan di daerah ada KPH. Hal itu yang harus terjadi untuk menghadapi bagaimana konsepsi pengelolaan kawasan hutan ke depan.

buletin tata ruang | Maret - April 2012

profil wilayah

Kabupaten Bogor
RUANG MERUPAKAN WADAH atau tempat manusia hidup, memenuhi kebutuhan, dan melakukan berbagai macam aktivitasnya. Dapat kita sadari bahwa ruang di bumi ini adalah suatu pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak akan bertambah luasannya, akan tetapi seiring waktu berjalan manusia akan terus bertambah dan semakin bertambah dan tentunya diikuti dengan kebutuhan yang semakin beragam dan tentunya pada setiap kebutuhan manusia memerlukan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. Melihat perkembangan tersebut, pertanyaan yang akan muncul adalah Apakah ruang di bumi ini cukup untuk menampung semua kebutuhan dan keperluan manusia..? UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah mengamanatkan bahwa setiap RTRW Prov/Kab/Kota wajib memiliki RTH seluas 30% dari luas wilayah dengan tujuan menjaga keberlangsungan kehidupan yang berkelanjutan. Akan tetapi realitanya, khususnya di kota besar dan Megapolitan di Indonesia seperti di Pulau Jawa sangat sulit untuk merealisasikannya. Berbagai masalah lingkungan seperti banjir pada setiap musim hujan, naiknya permukaan air laut, dan masalah lingkungan lainnya, merupakan bentuk dari over capacity lahan dari suatu wilayah. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan ibukotanya adalah Cibinong. Kabupaten Bogor secara geografis terletak antara 6.19- 6.47 Lintang Selatan dan 1061-107103 Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Bogor di sebelah Utara berbatasan dengan

dan Pemanfaatan Ruang yang Intensif


Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten) dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Luas wilayah Kabupaten Bogor 2.371,21 Km2 yang terbagi menjadi 40 (empat puluh) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa/kelurahan. Kabupaten Bogor sejak tahun 2008 telah memiliki Perda RTRW No.19 Tahun 2008 yang merupakan panduan dalam pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang berlaku hingga tahun 2025. Kabupaten ini merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Perkotaan Jabodetabekpunjur yang telah ditetapkan menjadi Perpres No. 54 Tahun 2008. Muatan RTRW Kabupaten ini telah sesuai dengan muatan yang tercantum dalam UU Penataan Ruang, di antaranya adalah telah ditetapkan struktur dan pola ruang yang terdiri dari kawasan budi daya dan kawasan lindung dan pusatpusat pertumbuhan lainnya. Selain itu tujuan Penataan Ruang Kabupaten Bogor adalah menjadikan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagai tujuan pertama dan utama di dalam pembangunan Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki potensi wisata yang sangat besar. ada sembilan lokasi unggulan yang menjadi andalan pemda kabupaten, yaitu Telaga Warna (Kecamatan Megamendung),
Maret - April 2012 | buletin tata ruang

profil wilayah

Perencanaan tidak sematamata merupakan aktivitas pembangunan, melainkan juga merupakan upaya pengendalian.
Prasati Ciaruteun (Kecamatan Cibungbalang), Goa Gudawang (Kecamatan Cigudeg), Perkemahan di kawasan Gunung Salak (Kecamatan Cibungbalang), Taman Safari Indonesia (Kecamatan Cisarua), PT Perkebunan Nusantara XII Gunung Mas (Kecamatan Cisarua), rumah makan disepanjang jalan raya puncak (Kecamatan Cisarua), air panas Ciseeng (Kecamatan Parung), dan Taman Rekreasi Lido (Kecamatan Cijeruk). Kondisi inilah yang menyebabkan aktivitas pariwisata sangat meningkat pesat di wilayah ini, terutama di kawasan Puncak Cisarua dan sekitarnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan pariwisata ini menjamur dikarenakan pesona alam yaitu persawahan yang dikelilingi pegunungan dan aliran sungai yang jernih, merupakan potensi wisata yang memiliki nilai yang tinggi. Ditambah lagi dengan ketersediaan infrastruktur yang dinilai cukup memadai untuk memfasilitasi pertumbuhan kawasan pariwisata. Menanggapi persoalan tersebut, Pemda Kabupaten Bogor telah mengambil langkah pengendalian dan penertiban pembangunan khususnya di daerah kritis dengan lebih selektif di dalam memberikan izin untuk membangun. Peningkatan pembangunan membutuhkan lahan yang lebih banyak mengakibatkan terjadi perubahan atau alih fungsi lahan. Perubahan peruntukan atau alih fungsi lahan terjadi jika adanya kebutuhan yang tidak dapat dihindari, baik itu untuk kepentingan pribadi/swasata maupun kepentingan publik. Alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan strategis di kabupaten ini sering menjadi isu yang mengemuka dalam penyelenggaraan penataan ruang. Beberapa isu strategis yang tidak dapat ditangani pemerintah daerah diangkat menjadi isu nasional. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) atau Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) mempunyai peran penting dalam penanganan permasalahan ini. Melalui Kelompok Kerja (Pokja) 4 (empat) Bidang Koordinasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Penataan Ruang yang diketuai oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian, semua usulan perubahan atau alih fungsi lahan dari daerah akan dibahas melalui pertemuan Tim Teknis yang melibatkan seluruh anggota BKPRN. Melewati Pokja 4 (empat) ini penanganan dan penyelesaian masalah, diselesaikan dengan mengeluarkan rekomendasi berupa arahan pengendalian pemanfaatan ruang kepada pemerintah daerah atau pihak terkait yang mengajukan permohonan perubahan fungsi lahan.
buletin tata ruang | Maret - April 2012

RDTR (Rencana Detail Tata Ruang ) dan Peraturan Zonasi (PZ) sebagai Instrumen Pengendalian
Sangat pesatnya pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Bogor, mengharuskan RTRW Kabupaten Bogor dilengkapi dengan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dan PZ (Peraturan Zonasi), terutama di kawasan-kawasan strategis dan prioritas. RDTR sebagai rencana yang terperinci tentang tata ruang Kabupaten/Kota yang dilengkapi dengan Peraturan Zonasi, sangat dibutuhkan ketika RTRW tidak/atau belum bisa dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dan belum terdapatnya informasi terkait pemberian ijin dengan skala 1:5000. Saat ini telah disusun Konsep RDTR yang meliputi 15 Kecamatan yaitu Kecamatan Cibinong, Kecamatan Citeureup, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Gunung Putri, Kecamatan Ciawi, Kecamatan Mega Mendung, Kecamatan Cisarua, Kecamatan Jonggol, Kecamatan Cariu, Kecamatan Sukamakmur, Kecamatan Rumpin, Kecamatan Tenjo, Kecamatan Jasinga, Kecamatan Cigudek dan Kecamatan Dramaga. Diharapkan dengan tersusunnya RDTR dan PZ yang berkualitas dan operasional, pemanfaatan serta pengendaliaan pemanfaatan ruang dapat terlaksana secara lebih efektif dan efisien.

10

topik utama

Mempertahankan Tanah Agraris


Oleh: Ir. Tunggul Iman Panudju, M.Sc, Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Kementerian Pertanian

Tarik-menarik kepentingan telah banyak mengubah fungsi lahan. Keberpihakan pada ketahanan pangan bisa diwujudkan melalui penataan ruang yang melindungi lahan pertanian.
SEKTOR PERTANIAN mempunyai peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan lahan pertanian menjadi faktor produksi pertanian yang utama dan unik karena sulit digantikan dalam sebuah proses usaha pertanian. Secara filosofis, lahan memang memiliki peran dan fungsi sentral bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Ini karena di samping memiliki nilai ekonomis, lahan juga memiliki nilai sosial, bahkan religius. Akan tetapi, lahan pertanian menghadapi permasalahan konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan yang kian massif. Sementara, keberlanjutan lahan subur yang ada tidak terjamin dan pencetakan lahan sawah baru pun relatif kecil. Padahal, ketersediaan lahan dalam usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon (syarat mutlak) untuk mewujudkan peran sektor pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture), terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Hal ini tentu amat disayangkan mengingat potensi sektor pertanian Indonesia yang membanggakan. Capaian produksi komoditas pertanian tanaman pangan selama tahun 20052008 telah menunjukan prestasi yang sangat baik, antara lain peningkatan produksi padi dari 54,15 juta ton GKG tahun 2005 menjadi 60,33 juta ton GKG pada tahun 2008, atau meningkat rata-rata 3,69% per tahun. Pada tahun 2009 produksi padi (berdasarkan ARAM III Oktober 2009) telah melebihi target sebesar 100,5%, atau mencapai 63,8 ton GKC dari yang ditargetkan 63,5 juta ton GKG. Peningkatan produksi ini membuat Indonesia meraih kembali status swasembada beras sejak tahun 2007 dan terhindar dari krisis pangan seperti yang terjadi di banyak negara ketika krisis keuangan global melanda dunia. Keberhasilan swasembada ini sudah diakui dunia. Banyak negara bahkan menyatakan keinginannya mempelajari strategi yang diterapkan Indonesia. Peningkatan produksi jagung juga cukup pesat selama 20052008, yaitu mencapai rata-rata 9,98% setiap tahun. Produksi jagung meningkat dari 12,52 juta ton pipilan kering tahun 2005 menjadi 16,32 juta ton pipilan kering tahun 2008. Perhitungan sementara berdasarkan ARAM III (Oktober 2009), produksi jagung akan mencapai 17,66 juta ton pipilan kering, sementara target produksi jagung yang ditetapkan untuk tahun 2009 adalah 19,44 juta ton pipilan kering. Secara lebih lengkap, capaian produksi tanaman pangan selama 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Produksi Komoditas Tanaman Pangan, 2005-2009 No


1 2 3 4 5 6 7

Komoditas
Padi Jagung Kedele Kacang Tanah KacangHijau Ubi Kayu Ubi Jalar

2005

2006

2007 (Ribu Ton)

2008

20091)

Pertumbuhan 2005-2008 (%)


3,69 9,98 0,90 -2,67 -2,37 4,10 0,45

54.151 12.524 808 836 321 19.321 1.857

54.455 11.609 748 838 316 19.987 1.854

57.157 13.288 593 789 322 19.988 1.887

60.326 16.317 776 770 298 21.757 1.882

63.840 17.659 966 785 314 22.376 2.027

Keterangan : 1) Aram III (Oktober 2009). Keterangan : 1) Aram III (Oktober 2009). Sumber : BPS Maret - April 2012 | buletin tata ruang 11

topik utama
Alih Fungsi Lahan Pertanian Tanaman Pangan (Sawah)
Secara lebih detail, ada beberapa permasalahan yang dihadapi lahan pertanian. Yang utama adalah pertambahan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1,3 sampai dengan 1,5 % per tahun. Dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi ini, diperkirakan pada tahun 2035 penduduk Indonesia akan mencapai 440 juta jiwa. Masalah lainnya adalah kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor yang semakin ketat dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dasyat berdasarkan RTRW kabupaten/kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah menjadi permukiman, perindustrian, dan lain-lain (BPS, 2004). Meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan dukungan dinamika dan kebutuhan pembangunan di setiap daerah secara langsung atau tidak langsung memaksa terjadinya perubahan penggunaan lahan-lahan pertanian, khususnya sawah, semakin tinggi. Selain itu, lahan sawah itu sendiri memiliki masalah, yaitu tingkat produktivitas yang mendekati levelling off sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan jika tidak diimbangi dengan teknologi. Tiap tahun, terjadi intensifikasi dan kapasitas perluasan areal sawah sekitar 40.000 ha.

LUAS DARATAN INDONESIA 188 JUTA HA

94,1 JUTA (50%) LAHAN POTENSIAL/COCOK UNTUK PERTANIAN 25,4 JUTA COCOK UNTUK DIJADIKAN SAWAH

93,9 JUTA (50%) LAHAN TIDAK POTENSIAL/COCOK UNTUK PERTANIAN

Eksisting luas baku sawah : 7,8 juta ha


Potensi Lahan Pertanian

Wilayah

Konversi
*

Penambahan

Neraca

Tahun 1981-1999 ) Jawa Luar Jawa Indonesia 1.002.055 625.459 1.627.514 518.224 2.702.939 3.221.163 -483.831 2.077.480 +1.593.649

Tahun 1999-2002**)

Konversi sawah menjadi lahan nonpertanian dari tahun 1999 2002 mencapai 563.159 ha atau rata-rata 187.719,7 ha per tahun. Sebenarnya neraca pertambahan luas lahan sawah sempat naik antara tahun 1981 1999, yaitu seluas 1,6 juta ha. Namun antara tahun 1999 2002 terjadi penciutan luas lahan seluas 141.285 ha per tahun. Data dari Biro Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke nonsawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke nonpertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke nonpertanian sebesar 9.152 ha per tahun. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 1.2.

Jawa Luar Jawa Indonesia

167.150 396.009 563.159

18.024 121.278 139.302

-149.126 -273.731 -423.857

Tabel 1.2 Tren Neraca Lahan Sawah (ha)

Masalah utama adalah pertambahan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1,3 sampai dengan 1,5 % per tahun.

12

buletin tata ruang | Maret - April 2012

Konversi lahan pertanian terutama lahan sawah tidak hanya menyebabkan kapasitas produksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan menyebabkan semakin sempitnya luas garapan usahatani. Hal ini merupakan salah satu sebab turunnya kesejahteraan petani karena kegiatan usaha tani tidak lagi dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak bagi petani. Tantangan untuk menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang,
Luas Sawah Ha Sumatera Jawa Bali Kalimantan Sulawesi Nt & Maluku Papua Total 2.036.690 3.933.370 1.253.130 982.410 566.100 131.520 8.903.220 % 23,9 44,2 14,1 11,0 6,4 1,5 100,0 Nonirigasi Ha 414.780 542.120 375.200 124.270 67.050 65.060 1.588.480

meningkatkan optimalisasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk. Di lain pihak, secara sistematis pemerintah daerah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota akan merencanakan alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukan lain yang sangat dahsyat. fenomena ini terlihat di ketujuh pulau besar di Indonesia. Seluas 3 juta ha dari total luas lahan sawah yaitu 8,9 juta ha (42,4% dari total luas lahan sawah) akan diubah peruntukannya, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.3.
Irigasi Ha 1.621.910 3.391.250 877.930 858.140 499.050 66.460 7.314.740 % 22,2 44,4 12,0 11,7 6,9 0,9 82,2 Dirubah (RTRW) Ha 710.230 1.669.600 58.360 414.290 180.060 66.460 3.099.000 % 43,8 49,2 6,7 48,3 36,1 100,0 42,4

Pulau

Tabel 1.3 Luas Sawah dan Rencana Alih Fungsi Menurut RTRWKK (BPN, 2004)

Mekanisme Alih Fungsi Lahan


Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan asas penyelenggaraan penataan ruang, yaitu keterpaduan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, serta akuntabilitas. Penetapan asas tersebut tentunya dilaksanakan demi mencapai dan mewujudkan harmonisasi antara lingkungan alam dan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang, sesuai dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang, yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Diharapkan penataan ruang di kabupaten/kota selaras juga dengan Undangundang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Agar cita-cita tersebut terwujud, diperlukan lahan pertanian eksisting dan tidak dialihfungsikan untuk keperluan di luar pertanian pangan. Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian terhadap alih fungsi lahan pertanian di tingkat lapangan dan prosedur yang ada di daerah. Namun kenyataannya, dari hasil tinjauan yang diperoleh di daerah, mekanisme alih fungsi lahan tetap berjalan di kabupaten/kota. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses perizinan yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dengan anggota Tim Teknis yang dibentuk Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah yang
Maret - April 2012 | buletin tata ruang

13

topik utama
merupakan delegasi sebagian kewenangan bupati di bidang perizinan, serta Dinas Pekerjaan Umum yang diketahui dan disetujui oleh bupati daerah setempat. Oleh karena itu, di dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota peran Badan Pelayanan Perizinan Terpadu selaku instansi yang memberikan segala izin peruntukan, termasuk salah satunya Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT), sangat penting. Hal ini dikarenakan sangat pentingnya keterlibatan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di dalam proses perubahan ataupun peralihan fungsi lahan pertanian ke sektor nonpertanian. Dalam hal ini, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu diharapkan dapat menjadi the first guard yang mengamankan dan mempertahankan lahan pertanian, khususnya dengan tidak memberikan izin perubahan peruntukan tanpa keterangan detail dalam permohonannya. Salah satu contoh kasus konversi lahan sawah menjadi perumahan secara sistematis adalah perumahan di Sepatan Kab. Tangerang.

Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota peran Badan Pelayanan Perizinan Terpadu selaku instansi yang memberikan segala izin peruntukkan, termasuk Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT), sangat penting.

Strategi Penyediaan Ketersediaan Lahan


Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, tentu saja capaian-capaian yang sudah baik tersebut belum cukup. Setidaknya, keberlanjutan kondisi ini harus didukung dengan ketersediaan lahan pertanian yang memadai secara kuantitas dan kualitas. Untuk itu diperlukan strategi-strategi untuk menyediakan lahan-lahan tersebut. Secara garis besar ada tiga strategi yang diterapkan untuk menambah ketersediaan lahan pertanian. Yang pertama adalah dengan melakukan Ekstensifikasi. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan cara: (1) Pembukaan lahan baru untuk tanaman pangan secara permanen, (2) Pemanfaatan lahan HGU yang belum diusahakan untuk perkebunan komoditas pangan, (3) Pemanfaatan lahan terlantar untuk cadangan pangan sesuai amanat PP No. 11 Tahun 2010 tentang pendayagunaan dan penertiban tanah terlantar, (4) Pemanfaatan kawasan hutan yang dapat dikonversi untuk tanaman pangan dengan memperhatikan konservasi tanah dan air, dan (5) Rehabilitasi dan konservasi lahan kritis dan dimanfaatkan untuk peruntukan tanaman pangan. Strategi yang ke dua adalah intensifikasi lahan dengan meningkatkan produktivitas tanah melalui: (1) Optimalisasi lahan pertanian pangan, (2) Pengembangan pertanian pangan metode SRI, dan (3) Peningkatan kesuburan tanah melalui fasilitasi penyediaan pupuk organik. Lalu yang terakhir adalah dengan mengeluarkan Kebijakan Pengendalian Lahan yaitu Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) yang terdiri dari: (1) Penetapan KP2B Nasional yang diatur dalam PP RTRWN, (2) Penetapan KP2B provinsi yang diatur dalam Perda RTRWP, (3) Penetapan KP2B Kabupaten/Kota yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten/Kota. Sampai saat ini, langkah yang telah dilakukan adalah memasukkan substansi penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) pada 13 RTRW provinsi dan 200 RTRW Kabupaten/Kota melalui forum Persetujuan Substansi pada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).
buletin tata ruang | Maret - April 2012

Peran Tata Ruang dalam Lahan Pertanian

Kawasan pertanian termasuk ke dalam kawasan budidaya yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Berdasarkan Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian. Kawasan ini ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air. Kawasan pertanian termasuk salah satu bentuk pengembangan kawasan perdesaan yang berada di dalam wilayah kabupaten, sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan, penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan di wilayah kabupaten, dapat berbentuk kawasan agropolitan, dan diarahkan salah satunya untuk pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan. Perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi kekuatan hukum dan sebagai bentuk perhatian pemerintah khususnya Kementerian Pertanian terhadap masalah alih fungsi lahan. Dalam undang-undang tersebut diamanatkan beberapa kebijakan

14

berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang telah disusun oleh Pemerintah untuk lebih memperkuat dan mendukung UU PLPPB ini. Untuk itu, disusunlah Permentan No. 41 Tahun 2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian yang mengatur kawasan peruntukan pertanian atas amanat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menjadi empat peruntukan yaitu kawasan budidaya tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan peternakan. Nomenklatur ini seharusnya ditaati dalam penyusunan legal drafting Raperda RTRW provinsi dan kabupaten/kota. Dengan disahkannya PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 12 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan, PP No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan PP No. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sebagai amanat dari UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diharapkan lahan pertanian pangan dapat terlindungi dan luasan lahan pertanian pangan bertambah secara berkelanjutan dalam setiap RTRWP dan RTRWKK yang akan ditetapkan. Ketiga peraturan pemerintah ini baru terbit pada awal tahun 2012 sehingga perlu untuk disosialisasikan kepada kepala daerah dan SKPD, lembaga nonpemerintah, para pakar, masyarakat, dan stakeholder lainnya.

Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
UU. No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan landasan hukum bagi penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus menetapkan luasan LP2B pada setiap RTRW-nya. Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga merupakan amanat dari Pasal 20 dan 21 UU No. 41 tahun 2009 tentang Penetapan Lahan Pertanian dalam Rencana Rinci Tata Ruang Kabupaten Kota, Pasal 23 UU No. 41 tahun 2009 tentang Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelajutan dalam RTRW, dan Pasal 16, 26, 34 PP No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pemerintah sangat mendukung inisiatif-inisiatif dari pemangku kebijakan di daerah dalam rangka perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan tanggung jawab semua pihak baik di pusat maupun di daerah. Inisiatif ini, terutama yang dapat mengatur hal-hal spesifik di daerah yang bersangkutan, sangat diperlukan karena belum diatur dalam UU. Pemerintah pusat sangat berkepentingan dalam melindungi lahan pertanian pangan saat ini, khususnya lahan sawah yang mencapai 7,9 juta ha. Perlindungan lahan yang ada menjadi sangat penting mengingat kebutuhan pangan akan terus meningkat. Diprediksi pada tahun 2025, dengan asumsi alih fungsi lahan tetap sebesar 110.000 ha per tahun, maka lahan pertanian Indonesia sudah kurang dari 5 juta ha. Oleh sebab itu, selain menambah luas baku lahan, perlu juga mempertahankan lahan pertanian pangan yang sudah ada saat ini. Secara legal seluruh lahan tanaman pangan ditetapkan menjadi LP2B. Penetapan LP2B harus tetap memperhatikan kriteria penetapan LP2B yang menyangkut kriteria potensi dan kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pangan, dan memperhatikan aspek sosial ekonomi. Perhitungan kebutuhan lahan minimal di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota dapat dihitung dengan memprediksi kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga dan selanjutnya dikonversikan kepada kebutuhan lahan. Besaran kebutuhan lahan akan berbeda tergantung pada pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi pangan di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

15

topik utama
Sementara itu pemerintah dan daerah harus mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan dari alih fungsi semaksimal mungkin, mengingat sumber daya lahan untuk pertanian pangan (sawah) di Jawa sangatlah potensial dan tidak tergantikan oleh pulau manapun di Indonesia. Di sisi lain laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang pesat memerlukan lahan-lahan baru menimbulkan kompetisi penggunaan lahan. Pemerintah daerah harus tegas menangani permasalahan ini. Setiap rencana pembagunan yang membutuhkan lahan harus direncanakan secara akuntabel dan transparan serta dengan hitungan angka kebutuhan lahan dan lokasi yang jelas pada setiap periode perencanaan pembangunan. Pemerintah daerah khususnya provinsi juga harus mempertimbangkan luas minimal lahan yang diperlukan untuk memproduksi pangan bagi kemandirian pangan provinsi. Usulan penetapan luasan dari masing-masing kabupaten/kota yang diverifikasi oleh pemerintah provinsi merupakan dasar perencanaan provinsi dalam menetapkan LP2B. Selanjutnya rencana penetapan tingkat provinsi akan menjadi dasar perencanaan di tingkat kabupaten/kota. Oleh sebab itu, provinsi bisa mengintervensi luas LP2B yang diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota. apabila luas, lokasi dan sebaran lahan yang diusulkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan yang sebenarnya. Dalam hal penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan provinsi sudah diatur dalam Perda RTRW maka pemerintah kabupaten/kota harus mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam Perda RTRW provinsi tersebut. Penetapan LP2B merupakan bentuk kerjasama atau kesepakatan antara pemerintah daerah dan petani melalui kelompok tani. Karena itu, kesepakatan menjadi konsensus dalam penetapan LP2B. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman dikatakan, apabila kebebasan petani memilih jenis tanaman tidak dapat diwujudkan karena ketentuan Pemerintah maka Pemerintah berkewajiban memberi jaminan kepada petani untuk memperoleh penghasilan tertentu. Hal tersebut sudah diamanatkan oleh Undang-Undang No. 41 Tahun 2009, bahwa kepada petani yang lahannya ditetapkan sebagai LP2B akan mendapat insentif dan perlindungan serta pemberdayaan petani seperti pada Pasal 38, 67, dan 68. Prioritas insentif LP2B diberikan dengan pertimbangan tipologi LP2B, kesuburan tanah, luas tanam, irigasi, tingkat fragmentasi lahan, produktivitas usaha tani, lokasi, kolektivitas usaha pertanian dan praktek usaha tani ramah lingkungan. Bentuk-bentuk insentif yang diberikan meliputi pengembangan infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul, kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi, penyediaan sarana dan prasarana pertaniana, jaminan penerbitan sertifikat hak atas tanah pada LP2B dan penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. Karena itu, para pengambil keputusan baik gubernur dan bupati/walikota harus memahami peran RTRW sebagai landasan hukum dalam pembangunan daerah, perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Untuk itu, sebaiknya Pemda menerapkan mekanisme yang transparan, konsisten dan berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan. Pemda juga sudah saatnya mengikutsertakan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai anggota BKPRD provinsi dan kabupaten/kota. Di atas semua kebijakan dan strategi tadi, pencegahan alih fungsi lahan pertanian merupakan tanggung jawab semua pihak. Maka perlu adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya lahan pertanian demi keberlangsungan dan keberlanjutan atas ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional di masa yang akan datang.

Setiap rencana pembangunan yang membutuhkan lahan harus direncanakan secara akuntabel dan transparan serta dengan hitungan angka kebutuhan lahan dan lokasi yang jelas pada setiap periode perencanaan pembangunan.

16

buletin tata ruang | Maret - April 2012

topik lain

Akankah Proses Penataan Ruang Berakhir?

Oleh: Ir. Toeti Ariati, MPM, Widyaiswara Utama, Kementerian Pekerjaan Umum

Dari semua kota di Indonesia, belum sampai setengahnya yang RTRW-nya berhasil di-Perda-kan. Padahal ini baru awal dari seluruh proses penataan ruang yang akan diimplementasikan.
BASIS PEMBANGUNAN baik nasional maupun daerah adalah penataan ruang. Hal tersebut telah menjadi arus utama (mainstream) jauh sebelum diamanatkan kembali oleh Menteri Pekerjaan Umum pada 2006, pada saat UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang disepakati untuk disesuaikan dengan kondisi yang telah berubah. Representasi penataan ruang sebagai basis pembangunan kemudian diwujudkan dengan ditetapkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Transformasi muatan hukum bidang penataan ruang melalui revisi UU No. 24 Tahun 1992 menjadi UU No. 26 Tahun 2007, terutama berada pada aspek pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada Pasal 69 UUPR terdapat ketentuan sanksi pidana yang berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa kecuali. Dengan demikian, setiap orang baik yang bergerak pada sektor pembangunan di pusat maupun di daerah, diharapkan menjadi mawas diri terhadap berbagai bentuk perencanaan yang akan diterapkan. Terlepas dari semangat yang tersirat dalam UUPR tersebut, terdapat kondisi yang cukup mengkhawatirkan di lapangan. Tingkat produktivitas berbagai kota dalam melaksanakan penataan ruang masih cukup rendah. Representasi awal penataan ruang dalam lingkup kota yang berupa tersusunnya dokumen Rencana Tata Ruang (RTRW) sebagai dasar acuan pembangunan masih belum cukup memenuhi harapan. Berdasarkan data dari Ditjen Penataan Ruang, hingga bulan Maret tahun 2012, terdapat 34 dari 93 kota di Indonesia yang telah di-Perda-kan RTRW kotanya. Materi/substansi Raperda RTRW 93 kota tersebut telah dibahas pada forum BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional). 70 kota di antaranya telah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum. Sementara itu, dalam UUPR Pasal 78 diamanatkan bahwa semua Perda kabupaten/kota tentang RTRW harus disesuaikan dengan UU tersebut paling lambat tiga tahun sejak UUPR diundangkan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terjadi disparitas antara semangat implementasi yang diamanatkan dalam UUPR dengan produktivitas penataan ruang di daerah. Namun prestasi yang tidak kalah penting adalah telah dikeluarkannya beberapa Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Pulau sebagai amanat dari UUPR, yaitu Perpres RI No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur); Perpres RI No. 45 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Kawasan Perkotaan Sarbagita); Perpres RI No. 55 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar (Kawasan Perkotaan Mamminasata); Perpres RI No. 62 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo (Kawasan Perkotaan Mebidangro); Perpres RI no 87 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Batam, Bintang, Karimun; Perpres RI Nomor 88 Tahun 2011 tentang RTR Pulau Sulawesi; Perpres RI No. 3 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Kalimantan; serta Perpres RI No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera ; serta Perpres RI No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa Bali
Maret - April 2012 | buletin tata ruang

Peta Pola Ruang (Sumber : Penataanruang. net)

17

topik lain
Pembedahan permasalahan produktivitas penyelenggaraan penataan ruang perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap. Berdasarkan kondisi produktivitas saat ini, ada kecenderungan penilaian dari masyarakat bahwa terjadi kelambanan proses penataan ruang di daerah. Terdapat pula prasangka bahwa lambatnya proses penyusunan RTRW di daerah adalah upaya untuk menghindari pertanggungjawaban Peta Struktur Ruang (Sumber : Penataanruang. pemanfaatan ruang terkait sanksi net) yang telah terakomodasi dalam UUPR. Berbagai penilaian tersebut perlu dipahami, karena terdapat beragam bentuk hambatan yang terjadi dalam proses penyusunan RTRW Kota di daerah yang memiliki karakteristik unik dan berbeda antar satu kota dengan lainnya. Selain itu, hambatan lain yang muncul dalam mewujudkan keterpaduan ini adalah permasalahan tata batas wilayah, permasalahan alih fungsi lahan, dan permasalahan pemanfaatan kawasan hutan yang mengakibatkan adanya permukiman dalam kawasan hutan yang ditetapkan berstatus lindung.

PENGATURAN

Kekhawatiran tidak perlu terjadi karena permasalahan tersebut sebetulnya dapat diatasi. Permasalahan tata batas antar daerah yang dilatarbelakangi kekhawatiran berkurangnya PAD (mungkin) akibat pengurangan luas Perencanaan Perencanaan daerah dapat diantisipasi dengan adanya mekanisme Tata Ruang Tata Ruang pemberian insentif antar daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 UUPR. Permasalahan alih fungsi lahan yang terjadi pada kawasan budidaya dapat diterima selama tidak melampaui daya dukung dan daya tampung Perencanaan kawasan tersebut dengan landasan kajian AMDAL maupun Tata Ruang PEMBINAAN PENGAWASAN KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Permasalahan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan budidaya dapat diselesaikan dengan mekanisme sesuai PP No. 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan melalui kegiatan pinjam pakai hingga pelepasan kawasan hutan dengan berdasarkan Metode Pelaksanaan penataan ruang pada peraturan perundang-undangan sektor kehutanan. (sumber : Penataanruang.net)
RU AN
PE

NA A SA AK L

N PENATAAN

Berbagai hambatan yang terjadi bukanlah suatu bentuk kesengajaan, namun merupakan suatu proses yang dapat dikatakan wajar terjadi mengingat adanya proses transformasi muatan substansi penyelenggaraan penataan ruang dari UU No. 24 Tahun 1992 ke UU No. 26 Tahun 2007. Semangat implementasi yang merupakan salah satu bagian dari transformasi ini memerlukan suatu prasyarat mutlak seperti apa yang tercantum pada Pasal 2 UUPR yaitu asas keterpaduan. Proses perwujudan keterpaduan berlandaskan sinkronisasi antarsektor dalam rangka implementasi pembangunan di lapangan belum bisa dilaksanakan secara penuh oleh berbagai pihak yang harus berpadu dalam pembangunan.
buletin tata ruang | Maret - April 2012

Foto Udara Hutan Kalimantan, Tampak Kegundulan Hutan yang Cukup Ekstrim

18

berkelanjutan dalam suatu kota dapat diwujudkan, dan bukan semata-mata dari terbentuknya struktur dan pola ruang. Keefektifan berbagai proses dalam penataan ruang sebagai upaya mewujudkan tujuan perlu diukur untuk dapat melakukan evaluasi secara tepat pada berbagai rencana, program, dan kebijakan pembangunan yang termuat di dalamnya. Pengukuran keefektifan penataan ruang ini merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan sebagai pemenuhan aspek akuntabilitas publik demi memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance). Perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan selayaknya terpenuhi menurut ukuran yang dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan demi menjamin obyektifitas dari keefektifan pelaksanaan penataan ruang. Terwujudnya transparansi dan akuntabilitas penataan ruang di tingkat masyarakat umum akan membantu implementasi proses pengendalian dan pengawasan penataan ruang di lapangan. Kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap implementasi pembangunan dan pemanfaatan ruang di daerah akan menggerakkan seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sendiri untuk taat pada rencana tata ruang yang telah menjadi kesepakatan bersama. Proses ini terjadi karena pengawasan penataan ruang dilakukan secara langsung oleh masyarakat dalam pemanfaatan ruang.

Komitmen pemerintah kota dalam implementasi RTRW Kota merupakan sebuah awalan bagi perwujudan pembangunan yang terpadu di berbagai daerah. Dalam setiap kesempatan pembahasan RTRW Kabupaten/Kota di Pusat, tercatat selalu dihadiri oleh pimpinan daerah setingkat bupati/walikota atau setidaknya kepala dinas/badan di daerah. Tingkat kekerapan kehadiran pimpinan daerah yang cukup tinggi dalam forum pembahasan RTRW ini menunjukkan political will dan pemahaman di daerah yang sudah baik terhadap implementasi penataan ruang. Komitmen politik pemerintah daerah akan memberikan jaminan yang lebih baik terhadap penerapan pembangunan yang berjalan sesuai rencana tata ruang yang telah menjadi kesepakatan bersama. Tantangan selanjutnya dalam implementasi penataan ruang adalah perwujudan pembangunan yang harmonis. Dalam mendukung perwujudan keterpaduan dalam proses pembangunan telah diinisiasi pula perumusan dokumen pemadu pembangunan lintas sektor khususnya bidang infrastruktur yaitu Rencana Terpadu Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM). Instrumen ini pada dasarnya memandu terlaksananya pembangunan lintas sektor untuk dilakukan dalam suatu tahapan yang sama dan sistematis, saling mengisi antara sektor yang satu dengan lainnya sehingga terbangun suatu sistem infrastruktur dan turunannya yang berkesinambungan dan tidak terputus secara wilayah maupun secara sektoral. Tantangan yang dihadapi oleh setiap pemangku kepentingan dalam penataan ruang adalah akuntabilitas perwujudan pencapaian tujuan penataan ruang atau implementasi dari rencana tata ruang. Kualitas ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan merupakan suatu kondisi obyektif yang hendak dicapai oleh keseluruhan proses penataan ruang. Keefektifan proses penataan ruang hendaknya diukur dari seberapa jauh kondisi aman, nyaman, produktif, dan

Komitmen pemerintah kota dalam implementasi RTRW Kota merupakan sebuah awalan bagi perwujudan pembangunan yang terpadu di berbagai daerah.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

19

topik lain

Perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan merupakan sebuah kebutuhan semua pemangku kepentingan. Sudah selayaknya, upaya menuju perwujudannya yang direpresentasikan dalam implementasi berbagai proses penataan ruang, dapat didukung semua pihak sebagai perwujudan kebutuhan bersama. Perwujudan penataan ruang yang dapat memenuhi tujuan perlu dilakukan secara terpadu oleh setiap pemangku kepentingan dalam ruang. Perwujudan itu hanya dapat dilakukan dengan mendorong terbangunnya paradigma konstruktif antarsektor dan antarwilayah terkait penataan ruang. Hanya melalui paradigma baru yang positif dan konstruktif dalam penataan ruang, baru kemudian akan dicapai kemanfaatan penataan ruang untuk semua. Dengan demikian, proses penataan ruang akan terus bergulir seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang akan terus berkembang.

Penataan Ruang yang baik akan membuat situasi kota semakin kondusif

Perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan merupakan sebuah kebutuhan semua pemangku kepentingan.
Dalam proses penyelesaian penyusunan rencana tata ruang di daerah (khususnya di tingkat kabupaten dan kota), sering ditemui adanya kekurangpahaman akan pentingnya rencana tata ruang. Pada beberapa daerah dimana pimpinannya masih belum memprioritaskan penyusunan rencana tata ruang, yang terlihat dari masih adanya pemerintah daerah yang belum memiliki konsep yang jelas untuk rencana tata ruang kabupaten atau kotanya, maka diperlukan usaha yang lebih intensif untuk memberikan pemahaman akan pentingnya rencana tata ruang. Hal yang lebih penting dan perlu mendapat perhatian adalah bahwa proses perwujudan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan tidak berhenti pada saat rencana tata ruang sudah dimiliki oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang sejak awal sudah menyadari pentingnya rencana tata ruang sebagai acuan pelaksanaan pembangunan dalam mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan kehidupan tentu akan mengawal pelaksanaan pembangunan dengan sebaik-baiknya. Pengawasan penataan ruang yang dilakukan terhadap kinerja pengaturan penataan ruang, kinerja pembinaan penataan ruang, kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang, dan kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi serta pelaporan yang secara periodik dilakukan. Pengamatan dan pemeriksaan perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
buletin tata ruang | Maret - April 2012

20

SAATNYA MENEPATI JANJI-JANJI


Oleh: Redaksi Butaru

4 RTR Pulau telah diPerpreskan

RTR PULAU/KEPULAUAN ADALAH rencana rinci (Pasal 14 ayat 3) yang disusun sebagai penjabaran dan perangkat operasional (Pasal 14 ayat 4) RTRWN, yaitu Sistem Nasional yang digunakan untuk mewujudkan Struktur Ruang dan Pola Ruang Wilayah Nasional ke dalam perspektif ruang pulau/kepulauan, dengan skala yang lebih rinci, dan sesuai karakteristiknya. RTR ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Sistem Nasional dalam RTR Pulau meliputi: Sistem perkotaan nasional, Sistem transportasi nasional, Sistem infrastruktur wilayah lainnya (Energi, Telekomunikasi, Sumber daya Air), Kawasan Lindung Nasional, dan Kawasan Budidaya bernilai strategis nasional (Kawasan Andalan). Sebagai Penjabaran RTRWN, RTR Pulau menjabarkan struktur dan pola ruang

nasional (atau sistem nasional) ke dalam perspektif ruang pulau sesuai tujuan nasional pembangunan wilayah pulau berdasarkan isu strategis. Sebagai Perangkat Operasional, RTR Pulau merupakan bridging antara perencanaan (RTRWN) dengan tahapan pemanfaatan ruang nasional. Berdasarkan RTRWN, ada tujuh RTR Pulau yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Namun hingga pertengahan April 2012, baru empat RTR Pulau yang telah menjadi Peraturan Presiden Republik Indonesia, yaitu: - Perpres No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera - Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa Bali - Perpres No. 3 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Kalimantan - Perpres No. 88 Tahun 2011 tentang RTR Pulau Sulawesi

RTR Pulau/Kepulauan Pokok-pokok muatan Perpres RTR Pulau/Kepulauan Tujuan Penataan Ruang Pulau Kebijakan & Strategi Penataan Ruang Rencana Struktur & Pola Ruang Pulau Strategi Operasionalisasi Perwujudan (SOP)
Struktur Ruang: - Sistem Perkotaan Nias - Sistem Jar Transportasi Nias - Sistem Jar Energi, Telekom, SDA fungsional Kaw. Perkotaan fungsional Jar. Jalan Nias fungsional Jar. ASDP fungsional Pelabuhan fungsional Bandar Udara fungsional Jar. Energi fungsional Jar. Telekomunikasi fungsional Wilayah Sungai fungsional Kaw. Lindung Nias fungsional Kaw. Peruntukan fungsional Kaw. Andalan

Pola Ruang: - Kaw. Lindung Nias - Kaw. Budi Daya Nias

I N D I V I D U

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG: Indikasi Program Utama 5 tahunan, Instansi Pelaksana, Sumber Pendanaan
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

KOORDINASI DAN PENGAWASAN


PERAN MASYARAKAT

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

21

topik lain
I. PERPRES No. 13 Tahun 2012 tentang RTR PULAU SUMATERA
Kondisi Ekonomi Pulau Sumatera Isu Strategis Pulau Sumatera
Ada beberapa isu strategis yang terkait dengan Pulau Sumatera. Yang pertama dan bias dibilang paling penting adalah fakta bahwa Sumatera merupakan produsen utama produk-produk perkebunan yang strategis. Pulau Sumatera merupakan produsen utama kelapa sawit nasional, yaitu sebesar 78 % dari total produksi di Indonesia, dimana Indonesia merupakan produsen kelapa sawit no.1 di dunia. Sumatera juga penghasil utama karet nasional, yaitu 73% dari seluruh Indonesia dan kopi nasional, 72 % dari seluruh Indonesia (Sumber: Kem. Pertanian, 2008). Isu strategis yang ke dua adalah pulau ini kaya akan potensi Pertambangan Mineral. Sumatera adalah penghasil batubara, panas bumi dan migas. Namun sayangnya hal ini belum didukung industri pengolahan yang memberi nilai tambah lebih (ekspor mentah). Ekonomi Pulau Sumatera memberi kontribusi 19.2 % terhadap ekonomi nasional. Laju pertumbuhan ekonomi Sumatera, yaitu sebesar 6,35%, lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,86%. Konsentrasi ekonomi P. Sumatera terletak di Provinsi Sumatera Utara (29,8%). Sektor unggulan pulau ini adalah pertanian, pertambangan, industri, perdagangan, dan hospitality (restoran dan hotel). Semua sektor ini berkontribusi sebesar 23,79% terhadap ekspor nasional, terutama dari komoditas CPO, karet, hasil industri, dan migas. Isu yang ke tiga adalah kontribusi produksi pertanian pangan (padi) Pulau Sumatera terhadap nasional yang sebesar 23 % (tahun 2009), dan produksi padi sawah sebesar 14,696,457.00 ton (tahun 2009). Isu yang ke empat adalah potensi wisata Pulau Sumatera. Ada beberapa kawasan wisat alam yang perlu dikembangkan, antara lain Danau Toba, Maninjau, Pantai Babel, Kep. Riau dan cagar budaya bersejarah meliputi Istana Maimoon, permukiman tradisional Tomok, Candi Muara Takus, Candi Muaro Jambi, dan Benteng Marlborough.

SEKTOR UNGGULAN
ACEH Pertanian Pertambangan Industri Utilitas Bangunan Perdag, Hotel, Res Transportasi Jasa Keuangan Jasa Lainnya PERTANIAN Pertanian PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN LISTRIK DAN AIR MINUM BANGUNAN DAN KONSTRUKSI PERDAGANGAN, HOTEL, DAN RESTORAN PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN JASA-JASA SUMUT SUMBAR RIAU KEPRI BABEL JAMBI BENGKULU SUMSEL LAMPUNG

4,4% 7,3%

7,4%

24,6% 14,5%
Pertambangan Industri

Sektor unggulan pulau ini adalah pertanian, pertambangan, industri, perdagangan, dan hospitality (restoran dan hotel).

17,5%

18,8%

22

buletin tata ruang | Maret - April 2012

Di sisi lain, Sumatera juga memiliki isu lingkungan. Laju deforestasi saat ini telah mengancam Luas Tutupan Hutan Pulau Sumatera sehingga tinggal 13 juta ha (30 %). Sementara 48 % dari luas keseluruhan rusak dan terus menuju kritis akibat perubahan menjadi perkebunan. Isu lain yang juga penting adalah kesenjangan perkembangan wilayah antara Pantai Timur (79 %) dengan Pantai Barat (21 %).

Tujuan RTR Pulau Sumatera

RTR Pulau Sumatera disusun agar Pulau Sumatera mencapai visi-visinya antara lain: 1. pusat pengembangan ekonomi perkebunan, perikanan, serta pertambangan yang berkelanjutan; 2. swasembada pangan dan lumbung pangan nasional;
Provinsi (2009)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri

7. kelestarian kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati hutan tropis basah; 8. kawasan perkotaan nasional yang kompak dan berbasis mitigasi dan adaptasi bencana 9. pusat pertumbuhan baru di wilayah pesisir barat dan wilayah pesisir timur Pulau Sumatera; 10.terbangunnya jaringan transportasi antarmoda yang dapat meningkatkan keterkaitan antarwilayah, efisiensi ekonomi, serta membuka keterisolasian wilayah; dan 11.kawasan perbatasan negara sebagai beranda depan dan pintu gerbang negara yang berbatasan dengan Negara India, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam dengan memperhatikan keharmonisan aspek kedaulatan, pertahanan dan keamanan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup.

Luas Panen (Ha)


359.375 768.407 439.542 149.423 155.802 746.465 132.975 570.417 8.063 144

Produksi ton/thn (2009)


1.556.858 3.527.899 2.105.790 531.429 644.947 3.125.236 510.160 2.673.844 19.864 430

Laju deforestasi saat ini telah mengancam Luas Tutupan Hutan Pulau SUmatera sehingga tinggal 13 juta ha (30%). Sementara 48% dari luas keseluruhan rusak dan terus menuju kritis akibat perubahan menjadi perkebunan.

3. tercapainya kemandirian energi dan lumbung energi nasional untuk ketenagalistrikan; 4. pusat industri yang berdaya saing;

II. PERPRES NO. 28 TAHUN 2012 TENTANG RTR PULAU JAWA-BALI


RTR Pulau Jawa Bali disusun dengan tujuan tercapainya visivisi Pulau Jawa-Bali, antara lain: 1. lumbung pangan utama nasional; 2. kawasan perkotaan nasional yang kompak berbasis mitigasi dan adaptasi bencana; 3. pusat industri yang berdaya saing dan ramah lingkungan; 4. pemanfaatan potensi sumber daya mineral, minyak dan gas bumi, serta panas bumi secara berkelanjutan; 5. pemanfaatan potensi perikanan, perkebunan, dan kehutanan secara berkelanjutan; 6. pusat perdagangan dan jasa yang berskala internasional; 7. pusat pariwisata berdaya saing internasional berbasis cagar budaya dan ilmu pengetahuan, bahari, ekowisata, serta penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran (Meeting, Incentive, Convention & Exhibition/MICE); 8. tersedianya kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang memadai untuk pembangunan; 9. Pulau Jawa bagian selatan dan Pulau Bali bagian utara berkembang dengan memperhatikan keberadaan kawasan lindung dan kawasan rawan bencana; 10.terbangunnya jaringan transportasi antarmoda yang dapat meningkatkan daya saing.
Maret - April 2012 | buletin tata ruang

5. pusat pariwisata berdaya saing internasional berbasis ekowisata, bahari, cagar budaya dan ilmu pengetahuan, serta penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan MICE; 6. kelestarian kawasan berfungsi lindung bervegetasi hutan tetap paling sedikit 40% dari luas Pulau Sumatera sesuai dengan kondisi ekosistemnya;

23

topik lain
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Nasional Pulau Jawa dan Bali

Agar tercapai tujuan RTR di atas, dibuatlah kebijakan dan strategi, khususnya yang berkaitan dengan beberapa isu berikut ini: 1. Lumbung Pangan Utama Nasional

LUMBUNG PANGAN UTAMA NASIONAL KEBIJAKAN 1: KEBIJAKAN 1: KEBIJAKAN 1:


Pemertahanan lahan pertanian Pengembangan & pemertahanan Pengembanagan sentra pertanian untuk tanaman pangan, termasuk jaringan prasarana SDA untuk tanaman pangan melalui lahan pertanian pangan meningkatkan luasan lahan peningkatan fungsi industri berkelanjutan pertanian untuk tanaman pangan pengolahan & industri jasa hasil pertanian tanaman pangan

STRATEGI :
1. Mempertahankan luas bahan pertanian pangan berkelanjutan dengan mengendalikan kegiatan budi daya lainnya 2. Mengendalikan alih fungsi peruntukan lahan pertanian untuk tanaman pangan 3. mengendalikan perkembangan fisik kawasan perkotaan nasional untuk menjaga keutuhan lahan pertanian pangan

STRATEGI :
1. Mengembangkan & memelihara bendungan/ waduk untuk mempertahankan daya tampung air yang menjamin persediaan air baku bagi kegiatan pertanian pangan 2. memelihara dan meningkatkan jaringan irigasi teknis pada daerah irigasi meningkatkan luasan pertanian pangan

STRATEGI :
1. Mengembangkan sentra pertanian tanaman pangan untuk ketahanan pangan nasional 2. Mengembangkan kawasan perkotaannasional melalui peningkatan fungsiindustri pengolahan & industri jasa pertanian pangan 3. Mengembangkan kawasan perkotaan nasional sebagai pusat penelitian & pengembangan pertanian pangan

2. Kawasan Perkotaan Nasional yang Kompak Berbasis Mitigasi Adaptasi Bencana

KAWASAN PERKOTAAN NASIONAL YANG KOMPAK BERBASIS MITIGASI & ADAPTASI BENCANA KEBIJAKAN 1: KEBIJAKAN 1:
Pengendalian perkembangan kawasan perkotaan nasional yang menjalar (urban sprawl) Pengendalian perkembangan kawasan perkotaan nasional di kawasan rawan bencana

STRATEGI :

STRATEGI :

1. Menetapkan zona rawan bencana beserta ketentuan mengenai standar bangunan gedung yang sesuai dengan karakteristik, jenis 1. Mengendalikan perkembangan kawasan & ancaman bencana di kawasan perkotaan permukiman, perdagangan, jasa, industri di nasional kawasan perkotaan nasional sesuai dengan daya 2. Mengendalikan perkembangan kawasan budi dukung & daya tampung lingkungan hidup daya terbangun di kawasan perkotaan nasional 2. Mengendalikan perkembangan kawasan yang berpotensi terjadinya bencana perkotaan nasional yang berdekatan dengan 3. Mengembangkan prasarana & sarana perkotaan kawasan lindung yang berfungsi sebagai lokasi & jalur evakuasi bencana 4. Membangin sarana pemantauan bencana

Kebijakan dan strategi dibuat agar tercapai tujuan RTR yang sudah disebutkan khususnya yang berkaitan dengan beberapa isu yang ada.

24

buletin tata ruang | Maret - April 2012

3. Pusat Pariwisata Berdaya Saing Internasional Berbasis Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan, Bahari, Ekowisata dan Mice

PUSAT PARIWISATA BERDAYA SAING INTERNASIONAL BERBASIS CAGAR BUDAYA & ILMU PENGETAHUAN, BAHARI, EKOWISATA, DAN MICE KEBIJAKAN 1:
Rehabilitasi & pengembangan kawasan peruntukan pariwisata

KEBIJAKAN 1:
Pengembangan kawasan perkotaan nasional sebagai pusat pariwisata

KEBIJAKAN 1:
Pengembangan keterpaduan antarpusat pariwisata

STRATEGI :
1. Merehabilitasi kawasan peruntukan pariwisata 2. Mengembangkan & memantapkan prasarana & sarana pendukung kegiatan pariwisata

STRATEGI :

STRATEGI :

1. Mengembangkan pusat jasa & promosi pariwasata di kawasan perkotaan nasional 1. Meningkatkan keterkaitan 2. Memantapkan akses prasarana antarkawasan perkotaan & sarana untuk meningkatkan nasional sbg pusat pariwisata keterkaitan antara kawasan di Pulau Jawa-Bali dlm perkotaan nasional & kawasan kesatuan tujuan pariwisata pariwisata

Selain itu juga dibuat Strategi Operasional Perwujudan (SOP) yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu, yaitu di bidang Cipta Karya dan Bina Marga. 1. Bidang Cipta Karya Dalam bidang Cipta Karya, Strategi Operasional Perwujudan (SOP) dijabarkan menjadi Sistem Perkotaaan Nasional di Pulau Jawa-Bali yang bertujuan mengembangkan PKN dan PKW dengan konsep kota hijau yang hemat energi, air, lahan, dan minim limbah. SOP seperti ini dilakukan di PKN Serang, PKN Cilegon, PKN Kawasan Perkotaan Jabodetabek, PKN Kawasan Perkotaan Bandung Raya, PKN Cirebon, PKN Kawasan Perkotaan Kedungsepur, PKN Surakarta, PKN Cilacap, PKN Yogyakarta, PKN Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila, PKN Malang, PKN Kawasan Perkotaan Sarbagita, PKW Pandeglang, PKW Rangkas Bitung, PKW Sukabumi, PKW Cikampek-Cikopo, PKW Palabuhanratu, PKW Indramayu, PKW Kadipaten, PKW Tasikmalaya, PKW Pangandaran, PKW Boyolali, PKW Klaten, PKW Salatiga, PKW Tegal, PKW Pekalongan, PKW Kudus, PKW Cepu, PKW Magelang, PKW Wonosobo, PKW Kebumen, PKW Purwokerto, PKW Bantul, PKW Sleman, PKW Probolinggo, PKW Tuban, PKW Kediri, PKW Madiun, PKW Banyuwangi, PKW Jember, PKW Blitar, PKW Pamekasan, PKW Bojonegoro, PKW Pacitan, PKW Singaraja, PKW Semarapura, dan PKW Negara. 2. Bidang Bina Marga Dalam bidang Bina Marga, Strategi Operasional Perwujudan (SOP) direalisasikan dalam bentuk pemantapan jaringan jalan nasional di Pulau Jawa-Bali yang terbagi menjadi pemantapan Jaringan Jalan Arteri Primer dan pemantapan Jaringan Jalan Kolektor Primer.

Jaringan Jalan Arteri Primer yang mendapatkan pemantapan antara lain: - Jaringan Jalan Lintas Utara Pulau Jawa yang berlangsung sejak 2011 sampai 2014. - Jaringan Jalan Lintas Tengah Pulau Jawa (Bogor-CiawiCibadak-Sukabumi-Cianjur-Padalarang-BandungCileunyi-Rajapolah-Ancol-Ciamis-Banjar-Wangon, SecangBawen-Salatiga-Boyolali-Kartosuro-Surakarta-SragenNgawi-Caruban-Nganjuk-Kertosono-Jombang-MojokertoKrian-Waru, & Rawalo-Sampang-Buntu) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2019. - Jaringan Jalan Lintas Selatan Pulau Jawa (JeruklegiCilacap-Slarang-Sampang-Buntu-Kebumen-PurworejoKarangnongko-Wates-Yogyakarta) dan Jaringan Jalan Lintas Pantai Selatan Pulau Jawa (Jeruklegi-Cilacap-Slarang) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2024. - Jaringan Jalan Pengumpan Pulau Jawa (Jakarta-DepokBogor, Cikampek-Purwakarta-Padalarang, CileunyiSumedang-Kadipaten-Palimanan, Wangon-Jeruklegi, Purwokerto-Rawalo, Semarang-Ungaran-Bawen, SecangMagelang-Sleman-Yogyakarta, Yogyakarta-PrambananKlaten-Kartosuro, Gempol-Malang) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2014. - Jaringan Jalan Pulau Madura (Kamal-Bangkalan-SampangPamekasan-Sumenep-Kalianget) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2014. - Jaringan Jalan Lintas Bali Selatan (Gilimanuk-Cekik-NegaraTabanan-Mengwitani-Beringkit-Denpasar-TohpatiKusamba-Angentelu-Padangbai) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2014.

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

25

topik lain

Sementara itu, Pemantapan Jaringan Jalan Kolektor Primer dilakukan antara lain pada: - Jaringan Jalan Lintas Tengah Pulau Jawa (Cilegon-LabuanPandeglang-Rangkas Bitung-Cipanas-Bogor, WangonRawalo, Buntu-Banyumas-Banjarnegara-WonosoboTemanggung-Secang) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2019. - Jaringan Jalan Lintas Selatan Pulau Jawa (LabuanCibaliung-Simpang-Bayah-Palabuhan Ratu-BagbaganSurade-Tegalbuleud, Kelapagenep-PangandaranKalipucang-Jeruklegi, Yogyakarta-Wonosari-Rongkop (Baran)-Pacitan-Hadiwarno-Panggul-Trenggalek-Tulung Agung-Blitar-Kepanjen-Talok-Jarit-Lumajang-WonorejoJember-Glenmore-Banyuwangi dan Jaringan Jalan Lintas Pantai Selatan Pulau Jawa yang menghubungkan Rongkop (Baran)-Pacitan-Hadiwarno-Panggul) dan Jaringan Jalan Lintas Pantai Selatan Pulau Jawa (Batas Banten-

Palabuhanratu-Bagbagan-Surade-Tegalbuleud) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2024. - Jaringan Jalan Lintas Pantai Selatan Pulau Jawa (Talok-Jarit) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2027. - Jaringan Jalan Pengumpan Pulau Jawa (SerangPandeglang, Jakarta-Ciputat-Bogor, Ciawi-Puncak-Cianjur, Lohbener-Indramayu-Cirebon, Rajapolah-TasikmalayaAncol, Banjar-Kalipucang, Tegal-Slawi-Prupuk-AjibarangWangon, Ajibarang-Purwokerto-Banyumas, YogyakartaBantul-Greges-Parangtritis, Tuban-Sadang-Gresik, WidangBojonegoro-Padangan-Ngawi-Madiun-Caruban, KertosonoKediri-Tulung Agung, Mojokerto-Gempol, Malang-Kepanjen, Probolinggo-Wonorejo, Srono-Muncar) yang berlangsung sejak 2011 sampai 2014.

III. PERPRES No. 3 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG PULAU KALIMANTAN
Kondisi Ekonomi dan Lingkungan
Pulau Kalimantan memberi kontribusi 6,9% kepada ekonomi nasional dengan laju Pertumbuhan 6,95%, yang lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi nasional (5,86%). Konsentrasi kegiatan ekonomi terletak di Provinsi Kaltim (44,21%). Adapun sektor unggulan pulau ini adalah pertambangan, pertanian atau perkebunan, industri, perdagangan, pariwisata dan transportasi. Pulau ini memberi kontribusi 27,69% terhadap ekspor nasional, terutama ekspor bahan mentah atau setengah jadi, migas, batubara, kayu, CPO, industri pengolahan, dan perdagangan. Dari segi lingkungan, terjadi laju deforestasi di Pulau Kalimantan sebesar 246.020 ha/ tahun akibat alih fungsi menjadi kebun atau tani, semak belukar, dan permukiman kota dengan izin lokasi yang dikeluarkan pemerintah daerah (otonomi daerah).
Tahun No
1 2 3 4 5 6 7

Pulau Kalimantan memberi kontribusi 27,69% terhadap ekspor nasional, terutama ekspor bahan mentah atau setengah jadi, migas, batubara, kayu, CPO, industri pengolahan, dan perdagangan.

Pulau
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali dan Kep. Nusa Tenggara Kep. Maluku Papua Indonesia

20002001
259.500 118300 212.000 154.000 107.200 20.000 147.200

20012002
202.600 142100 129.700 150.400 99.600 41.400 160.500

20022003
339.000 343400 480.400 385.800 84.300 132.400 140.800

20032004
208.700 71700 173.300 41.500 28.100 10.600 100.800

20042005
335.700 37300 234.700 134.600 40.600 10.500 169.100

Total
1.345.500 712.800 1.230.100 866.300 359.800 214.900 718.400

Rata-rata per Tahun


269.100 142.560 246.020 173.260 71.960 42.980 143.680

1.018.200

926.300

1.906.100

634.700

962.500

5.447.800

1.089.560

26

buletin tata ruang | Maret - April 2012

Tujuan Penataan Ruang Pengembangan Wilayah Pulau Kalimantan


Penataan ruang pengembangan wilayah Kalimantan dilakukan agar tercapai visi-visi Pulau Kalimantan, antara lain: 1. paru-paru dunia dengan kelestarian kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan kawasan berfungsi lindung bervegetasi hutan tropis basah paling sedikit 45% luas Pulau Kalimantan; 2. kemandirian energi dan lumbung energi nasional untuk ketenagalistrikan; 3. pusat pengembangan pertambangan mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi; 4. pusat pengembangan perkebunan kelapa sawit, karet, dan hasil hutan secara berkelanjutan; 5. beranda depan dan pintu gerbang NKRI dengan Negara Malaysia; 6. pusat pengembangan kawasan perkotaan berbasis air; 7. kawasan ekowisata hutan tropis basah dan budaya Kalimantan; 8. keterpaduan sistem jaringan transportasi antarmoda yang dapat meningkatkan keterkaitan antarwilayah dan membuka keterisolasian wilayah; 9. swasembada dan lumbung pangan nasional.

PARU-PARU DUNIA DENGAN KELESTARIAN KAWASAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KAWASAN HUTAN TROPIS BASAH >= 45% LUAS KALIMANTAN

TUJUAN 1

Rencana / Target Luasan Kawasan berfungsi Lindung: 1. Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam: 5 juta ha (9%). 2. Kawasan Hutan Lindung: 7 juta ha (12%). 3. Kawasan Hutan Produksi (31%) diharapkan dengan fungsi lindung 80% yang diperkirakan equal to 24%

Mempertahankan minimal 45% luas hutan dengan tegakan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia dan konservasi keanekaragaman hayati, dengan luasan kawasan berfungsi lindung Eksisting 12juta ha (21%)

KEMANDIRIAN DAN LUMBUNG ENERGI NASIONAL UNTUK KETENAGALISTRIKAN


Jaringan Transmisi Listrik Interkoneksi Jaringan Pipa Transmisi dan Distribusi MIGAS Kawasan Andalan (KA) Batubara, Migas di: KA Tanjung Redeb dsk, KA Sangkulirang - Sangata Muara Wahau (Sasamawa) dsk, KA Tarakan - Tanjung Palas-Nunukan - Pulau Bunyu - Malinau (Tatapanbuma) dsk, KA Bontang - Samarinda - Tenggarong - Balikpapan - Penajam dan Sekitarnya (Bonsamtebajam) dsk, KA Muarateweh dsk, KA Lait Kuala Pembuang dsk, KA Laut Pulau Laut, KA Laut Bontang Tarakan dan Sekitarnya. Mengembangkan energi baru dan terbarukan, serta interkoneksi transmisi tenaga listrik untuk melayani Pulau Kalimantan dan mendukung sistem penyediaan tenaga listrik nasional

TUJUAN 2

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

27

topik lain
PUSAT PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN BERBASIS AIR
Pengembangan Waterfront City pada kota-kota yang berada di tepi tubuh air (Sungai besar atau laut): PKN Banjarmasih-Banjarbaru, PKN Palangkaraya, PKN Pontianak, PKN SamarindaTenggarong-BalikpapanBontang, PKN Tarakan, PKW Sampit, PKW Pangkalan Bun, PKW Singkawang, PKW Mempawah, PKW Sanggau, PKW Sintang, PKW Putussibau, PKW Ketapang, PKW Kuala Kapuas, PKW Buntok, PKW Muarateweh, PKW Martapura, PKW Marabahan, PKW Sangata, PKW Nunukan, PKW Tanjung Selor, PKW Tanjung Redeb, dan PKW Tanah Grogot

TUJUAN 6

Mengembangkan kawasan perkotaan sebagai kota tepi air (waterfront city) yang didukung dengan prasarana dan sarana perkotaan berbasis mitigasi bencana banjir

KETERPADUAN SISTEM JARINGAN TRANSPORTASI ANTARMODA UNTUK KETERKAITAN ANTARWILAYAH DAN MEMBUKA ISOLASI WILAYAH
Peningkatan keterkaitan transportasi antarmoda antara jaringan jalan dan transportasi sungai dengan jaringan kereta api, pelabuhan, dan bandar udara Integrasi antara jaringan jalan (lintas selatan, lintas tengah, lintas utara, jalan pengumpan) dengan jaringan transportasi sungai PKN/PKW Mempertahankan minimal 45% luas hutan dengan tegakan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia dan konservasi keanekaragaman hayati, dengan luasan kawasan berfungsi lindung Eksisting 12juta ha (21%)

TUJUAN 8

Dari semua kota di Indonesia, belum sampai setengahnya yang RTRW-nya berhasil di-Perda-kan. Padahal ini baru awal dari seluruh proses penataan ruang yang akan diimplementasikan.
28 buletin tata ruang | Maret - April 2012

IV. PERPRES NOMOR 88 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG PULAU SULAWESI
Isu Strategis Pulau Sulawesi

Ada beberapa isu strategis yang menyangkut Pulau Sulawesi. Yang pertama adalah kekayaan potensi perikanan, pertanian, pertambangan, dan pariwisatanya. Diketahui bahwa produksi perikanan tangkap di Sulawesi adalah 19,2% dari total produksi nasional, sementara produksi perikanan budidayanya adalah 33% dari total produksi nasional. Sulawesi juga dikenal sebagai produsen jagung, beras, dan kakao dalam skala besar. Dari segi pertambangan, Sulawesi merupakan penghasil nikel (sekitar 500.000 ton), cadangan minyak bumi 51,95 MMSTB dan cadangan gas bumi 2,68 TSCf, serta deposit aspal yang diperkirakan sekitar 660 juta ton (JICA, 2008). Potensi alam Sulawesi juga sangat besar. Hal ini terlihat dari adanya Taman Laut Bunaken, Takabonerate, Wakatobi, dan Tana Toraja yang menjadi tujuan wisata internasional dan nasional. Sulawesi juga terkenal memiliki fauna dan flora yang unik (Bioregion Wallacea). Hampir semua spesies utama dan endemik, mulai dari tanaman, mammalia, burung, reptil, dan amfibi, menghuni wilayah konservasi dengan luas 20% dari total pulau dan tutupan lahan hutan 53% dari luas pulau. Sulawesi juga memiliki kawasan perbatasan negara dengan 14 pulau kecil terluar dan 46 pintu gerbang internasional memiliki posisi yang strategis dengan dengan Negara filipina dan Malaysia. Selain itu Sulawesi juga memiliki akses transportasi lintas pulau yang menghubungkan kawasan budidaya dengan outlet dengan arus peti kemas sangat tinggi. Sayangnya, lebih dari 35% prasarana jalannya dalam kondisi rusak. Di sisi lain, Pulau Sulawesi merupakan kawasan rawan bencana gunung api serta rawan gempa bumi/tsunami.

Sulawesi memiliki potensi alam yang sangat besar. Dapat terlihat dari adanya taman laut, fauna dan flora yang unik terdapar dalam wilayah konservasi luas 20%.

Tujuan Penataan Ruang Pulau Sulawesi

Penataan ruang Pulau Sulawesi dilakukan agar tercapai visi Sulawesi antara lain: - pusat pengembangan ekonomi kelautan berbasis keberlanjutan pemanfaatan sumber daya kelautan dan konservasi laut; - lumbung pangan padi nasional di bagian selatan dan lumbung pangan jagung nasional di bagian utara; - pusat perkebunan kakao berbasis bisnis di bagian tengah; - pusat pertambangan mineral, aspal, panas bumi, serta minyak dan gas bumi; - pusat pariwisata cagar budaya dan ilmu pengetahuan,bahari, ekowisata, serta penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran (MICE); - kawasan perbatasan negara sebagai beranda depan dan pintu gerbang negara dengan memperhatikan keharmonisan aspek kedaulatan, pertahanan dan keamanan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup; - jaringan transportasi antarmoda yang dapat meningkatkan keterkaitan antarwilayah, efisiensi ekonomi, serta membuka keterisolasian wilayah; - kawasan perkotaan nasional yang berbasis mitigasi dan adaptasi bencana; - kelestarian kawasan berfungsi lindung yang bervegetasi hutan tetap paling sedikit 40% dari luas Pulau Sulawesi.
Maret - April 2012 | buletin tata ruang

29

topik lain
Sebagai Pusat pengembangan ekonomi kelautan berbasis keberlanjutan pemanfaatan sumber daya kelautan dan konservasi laut, terdapat strategi yaitu: 1.Kawasan minapolitan di Kawasan Andalan Laut Tomini dsk., Bunaken dsk., Batutoli dsk., Teluk Tolo-Kep. Banggai dsk., Teluk Bone dsk., Selat Makassar, Kapoposang dsk., Singkarang-Takabonerate dsk., Asera Lasolo, Kapontori-Lasalimu dsk., serta Tiworo dsk. 2. Pusat industri pengolahan hasil perikanan orientasi ekspor di PKN Kawasan Perkotaan Manado-Bitung, dan PKN Kawasan Perkotaan Mamminasata. 3. Pusat industri pengolahan hasil perikanan di PKN Kendari, PKW Tilamuta, PKW Pangkajene, PKW Jeneponto, PKW Watampone, PKW Barru, PKW Bulukumba, PKW Toli-toli dan PKW Raha. 4. Outlet ekspor: Pelabuhan Bitung dan Pelabuhan Makassar.

PUSAT PENGEMBANGAN EKONOMI KELAUTAN BERBASIS KEBERLANJUTAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN KONSERVASI LAUT

KEBIJAKAN 1:
Pengembangan kawasan perkotaan nasional sebagai pusat perikanan

KEBIJAKAN 1:
Pengembangan Kawasan minapolitan memperhatikan potensi lestari

KEBIJAKAN 1:
Pelestarian kawasan konservasi laut yang memiliki keanekaragaman hayati

STRATEGI :
1. Mengembangkan kawasan industri pengolahan hasil perikanan 2. Meningkatkan keterkaitan antara kawasan perkotaan nasional dengan sentra perikanan

STRATEGI :
1. Mengembangkan prasarana & sarana penangkapan dan budi daya 2. Mengembangkan sentra perikanan tangkap dan budidaya yang didukung teknologi dan ramah lingkungan

STRATEGI :
1. Melestarikan terumbu karang dan sumber daya hayati laut 2. Mencegah sedimentasi kawasan muara sungai 3. Mengkoservasi jalur migrasi biota laut dilindungi 4. Mengembangkan sarana bantu navigasi pelayaran 5. Mengendalikan penangkapan ikan dengan lestari

5. Lumbung pangan padi nasional di bagian selatan dan lumbung pangan jagung nasional di bagian utara
Pengembangan sentra produksi padi: di Kawasan Andalan (KA) Dumoga-Kotamobagu dsk, KA Palu dsk, KA Mamuju, KA Mamminasata dsk, KA Bulukumba-Watampone, KA Palopo dsk, KA Parepare dsk, KA Toli-toli, KA Asesolo/ Kendari, KA Mowedang/Kolaka Pengembangan Sentra Produksi Jagung di KA Manado-Bitung, KA Marisa, KA Gorontalo, KA Kolonedale dsk, KA Mamminasata dsk, KA Kapolimu-Patikala Muna-Buton, dan KA Bulukumba-Watampone Mendorong Pusat Pengembangan Ekonommi Pertanian Pangan Padi dan Jagung: - Pusat Industri pengolahan jagung yang berorientasi ekspor di PKN Gorontalo - Pusat Industri pengolahan jagung di PKW Isimu, PKW Kuandang, PKW Tilamuta, dan PKW Jeneponto - Pusat penelitian dan pengembangan pertanian tanaman pangan padi di PKW Pare-Pare dan PKW Kotamobagu Pengembangan kawasan sentra pertanian yang didukung dengan prasarana sumber daya air serta industry pengolahan dan jasa

Dari penjabaran di atas, jelas betapa pentingnya RTR Pulau sebagai pedoman dalam penyusunan rencana pembangunan di Pulau, juga menjadi pedoman dalam perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor. Lebih lanjut, RTR Pulau merupakan pedoman dalam penentuan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di pulau dan sebagai pedoman penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota di pulau. Sehingga berdasarkan semua hal di atas, diperlukan komitmen Pemerintah, Pemda, dan masyarakat dalam merealisasikan kegiatan indikasi program utama sesuai waktu pelaksanaan.
buletin tata ruang | Maret - April 2012

RTR pulau sebagai pedoman dalam penyusunan rencana pembangunan di Pulau, juga menjadi pedoman dalam perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi dan kabupaten.kota, serta keserasian antarsektor.

30

Jangan Lagi Terpinggirkan


Wilayah Perbatasan:
Oleh: Redaksi Butaru

Wilayah perbatasan seperti Pulau Sebatik harus dikembangkan sebagai halaman depan yang lebih bermakna, manusiawi dan substantif.

Selain isu strategis di atas, wilayah-wilayah seperti ini juga memiliki masalah spasial seperti terbatasnya infrastruktur yang berakibat pada keterisolasian wilayah, kondisi sosial ekonomi masyarakat perbatasan yang masih rendah, terbatasnya sarana pelayanan dasar, seperti listrik, air bersih dan lain-lain, serta ketergantungan ekonomi dengan negara tetangga. Yang menjadi penting untuk dipahami secara kritis adalah persoalan perbatasan seyogianya didekati secara pragmatis, lokal dan bisa disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Namun sayangnya kebijakan terkait kawasan perbatasan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yaitu Perencanaan dalam Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, ternyata bersifat makro karena unit analisisnya adalah pulau besar. RPJMN 2010-2014 juga belum memberikan orientasi bagi pembangunan kawasan perbatasan/PPKT secara terpadu. Pendekatan sektoral ternyata masih lebih dominan dibandingkan pendekatan regional. Akibatnya, hingga kini belum ada rencana pembangunan yang berorientasi kepada upaya pembangunan kawasan perbatasan yang terintegrasi dan rinci.
Maret - April 2012 | buletin tata ruang

DALAM DUA TAHUN TERAKHIR, ada beberapa isu Strategis Wilayah Perbatasan yang selalu mengemuka, antara lain isu pergeseran patok-patok perbatasan dan pemakaian uang ringgit di perbatasan. Dua isu ini selalu dianggap sebagai ancaman NKRI. Isu lain yang tidak kalah penting adalah tidak seimbangnya perkembangan pembangunan wilayah di perbatasan antara negara kita dengan negara tetangga. Contohnya adalah fakta bahwa pembangunan Malaysia jauh lebih maju daripada wilayah RI di perbatasan yang memungkinkan terjadinya degradasi nasionalisme. Selain itu RI juga menghadapi isu rawannya pencurian SDA (hutan dan laut) dan penyerobotan batas wilayah.

31

topik lain
Sementara masalah-masalah tersebut diatasi, sepatutnya kita mulai melihat Pulau Sebatik sebagai satu aset NKRI yang sangat penting. Sebagai beranda depan pagar budaya yang kokoh bagi persatuan dan kesatuan dalam NKRI, lokasi geografis P. Sebatik yang berdekatan dengan Tawao merupakan peluang pasar yang potensial. Pulau Nunukan yang bersebelahan dengan P. Sebatik didukung oleh wilayah mainland di Pulau Kalimantan yang masih luas dan potensi sumberdaya yang besar, sehingga berpotensi sebagai sentra industri pengolahan hasil pertanian atau perkebunan dalam arti luas. Pulau Sebatik terletak pada ALKI II yang merupakan jalur transportasi perdagangan regional dan Internasional masa depan.

Pulau Sebatik, Permasalahan dan Potensinya

Salah satu Pulau yang berada di wilayah perbatasan dan sering mengalami konflik adalah Pulau Sebatik. Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Nunukan. permasalahan yang sering membuat konflik di Pulau Sebatik adalah pulau yang mempunyai luas 247 km ini diduduki oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia. Jumlah penduduk Indonesia di pulau tersebut adalah 35.000 jiwa, dengan latar belakang etnis yang didominasi suku Bugis-Makasar (90-95%). Wilayah Indonesia di pulau ini terdiri dari lima kecamatan, 19 desa, dan di sepanjang perbatasannya terdapat tiga patok perbatasan. Pusat aktivitas ekonomi di Pulau Sebatik terkonsentrasi di Desa Sungai Nyamuk dengan indikasi terdapatnya pasar modern dan komplek ruko di Sungai Nyamuk. Sementara itu pasar-pasar tradisional yang marak aktivitas setiap harinya bisa dijumpai di Desa Sungai Nyamuk dan Desa Sungai Pancang. Selain itu masih ada pasar tradisional di desa lain tapi hanya beroperasi pada hari-hari tertentu (hari pasar). Masalahnya adalah barang-barang yang beredar di pasarpasar di Pulau Sebatik kebanyakan merupakan produksi Malaysia yang didatangkan dari Kota Tawau. Lalu yang menarik, sekaligus memprihatinkan, di wilayah ini berlaku dua mata uang, yaitu Rupiah dan Ringgit.

Zoning Plan dari Ditjen KP3K

Beberapa isu atau masalah lokal di pulau ini yang diidentifkasi oleh KKP dan Unhas (2012) antara lain nelayan di wilayah ini membeli bensin dan penduduk membeli gas dari perusahaan asal Malaysia, Petronas, karena selain lebih murah dan kualitasnya bagus sehingga mesin bisa lebih awet juga lebih gampang diperoleh. Penduduk Indonesia di pulau ini yang sakit juga lebih memilih berobat ke Tawao (Malaysia).
32 buletin tata ruang | Maret - April 2012

Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Nunukan. Konflik yang sering terjadi di Pulau Sebatik adalah pulau yang memiliki luas 247 km ini diduduki oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia.

BNPP dan Kebijakan Pengembangan Wilayah Perbatasan


Saat ini telah terbentuk Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) sebagai lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi. Tugas-tugas lembaga ini adalah menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasi pelaksanaan, melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan. Selain itu BNPP juga harus menyelenggarakan fungsinya dalam menyusun dan menetapkan rencana induk dan rencana aksi pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. BNPP juga memiliki fungsi koordinasi dalam menetapkan kebijakan dan melaksanakan pembangunan, mengelola serta memanfaatkan batas-batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Enam belas kementerian/lembaga yang menjadi anggota BNPP telah mengimplementasikan kebijakan pemerintah melalui program di kawasan perbatasan dengan dana APBN (BNPP: 2012). Anggaran 16 kementerian/lembaga ini diidentifikasi mencapai 3,8 triliun rupiah yang rencananya akan dikucurkan di lokasi prioritas yang telah ditetapkan, yaitu 12 provinsi yang memiliki wilayah perbatasan. Kabupaten Nunukan sendiri, yang di dalamnya terdapat Pulau Sebatik, mendapat anggaran sebesar 6,8 milyar rupiah. Kebijakan BNPP terkait pengembangan Pulau Sebatik adalah: (1) mewujudkan peningkatan taraf hidup masyarakat dan perekonomian di kawasan perbatasan laut melalui peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang potensial sesuai dengan daya dukungnya; (2) meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana pendukung guna mendorong pemanfaatan potensi yang ada; (3) mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM); (4) menguatkan sistem dan struktur perekonomian lokal dan regional dengan meningkatkan investasi dan mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta dan badan usaha, juga antara usaha besar, menengah dan kecil; (5) mengembangkan Pulau Sebatik sebagai pusat pertumbuhan di kawasan perbatasan melalui perwujudan struktur dan pola ruang kawasan yang berorientasi pada peningkatan perekonomian masyarakat.

Tantangan BNPP sebagai lembaga koordinasi antar kementerian/lembaga tidak hanya melakukan fungsi koordinasi terkait kebijakan, program, serta dana pembangunan pemerintah pusat (sektoral) yang diwujudkan dalam rencana induk atau rencana aksi pengembangan. Namun ke depannya, BNPP ditantang untuk memahami isu perbatasan, salah satunya bahwa orientasi ruang masyarakat perbatasan yang mengarah ke luar NKRI bukan diakibatkan lunturnya nasionalisme atau daya tarik negara tetangga yang lebih maju, tetapi justru terbentuk karena formasi alam yang menentukan keberlangsungan hidup sebuah komunitas. Memahami perbatasan adalah tentang mengidentifikasi kontradiksi inheren yang kritis dari dua realitas yang sulit dipertemukan. Realitas pertama adalah realitas kartografi yang kaku, dan realitas lainnya, yang bertolak-belakang adalah realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis. Pemahaman perbatasan yang kritis ini akan menjadi sangat penting dalam menyusun alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai halaman depan yang lebih bermakna, manusiawi dan substantif. Hal ini harus dijadikan pelajaran dalam perumusan kebijakan pembangunan, rencana induk atau rencana aksi pengembangan perbatasan ke depan. Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan menjadi dasar yang kuat bagi formulasi kebijakan perbatasan yang manusiawi dan sesuai kebutuhan masyarakat perbatasan. Demikian juga dengan kebijakan pengembangan Pulau Sebatik yang diduduki dua negara. Rencana aksi pengembangan Pulau Sebatik selayaknya tidak hanya melihat wilayah yang menjadi bagian Indonesia saja, tetapi sebagai satu kesatuan komunitas pulau.

Memahami perbatasan adalah tentang mengidentifikasi kontradiksi inheren yang kritis dari dua realitas yang sulit dipertemukan.

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

33

topik lain

Pedoman RDTR Sebagai Upaya Percepatan Implementasi Rencana Tata Ruang


Oleh: Redaksi Butaru

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ) yang disusun oleh pemerintah daerah harus berkualitas dan dapat langsung diaplikasikan dalam operasional pemanfaatan dan pengendaliaan pemanfaatan ruang. Maka dari itu, pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya membutuhkan suatu pedoman dalam menyusun rencana tata ruang tersebut. Dibuatnya Permen PU No. 20 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ Kabupaten/Kota merupakan amanat dari PP No. 15 Tahun 2010 Pasal 59 ayat 6 dan Pasal 155 ayat 2.. Pedoman Penyusunan RDTR umumnya berlaku untuk Bagian Wilayah Kota (bukan Kabupaten). Peraturan Zonasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari RDTR dimana Peta Pola Ruang Berfungsi sebagai Peta Zonasi bagi Peraturan Zonasi

Keberhasilan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/kota dimulai dari pedoman awalnya, kemudian bergantung pada komitmen dalam prosesnya.

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)


Kedudukan RDTR dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
RENCANA PEMBANGUNAN RENCANA UMUM TATA RUANG RENCANA RINCI TATA RUANG

Peraturan Zonasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari RDTR dimana Peta Pola Ruang Berfungsi sebagai Peta Zonasi bagi Peraturan Zonasi.

RPJP Nasional

RTRW Nasional

RTRW Nasional
RTR Kawasan Strategis Nasional

RPJM Nasional RTRW Provinsi RPJP Provinsi RTR Kawasan Strategis Provinsi

RPJP Provinsi RPJP Kab/Kota

RTDR Kabupaten RTRW Kabupaten


RTR Kawasan Strategis Kab.

RTDR Kota RPJP Kab/Kota RTRW Kota


RTR Kawasan Strategis Kota

34

buletin tata ruang | Maret - April 2012

Hubungan Antara RTRW Kabupaten/Kota, RDTR dan RTBL serta Wilayah Perencanaannya WILAYAH PERENCANAAN Wilayah Kabupaten/Kota

RENCANA RT/RW Kabupaten/Kota

RDTR

BWP

RTBL

Sub BWP

Dirincikan lebih lanjut menjadi Wilayah perencanaan dibagi lagi menjadi Wilayah perencanaan adalah

Kriteria Perencanaan RDTR dan PZ adalah: (1) RTRW kabupaten/kota belum dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang karena tingkat ketelitian petanya belum mencapai 1:5000; dan/atau (2) RTRW kabupaten/kota sudah mengamanatkan bagian dari wilayahnya yang perlu disusun RDTR-nya Lingkup Wilayah Perencanaan RDTR, meliputi wilayah administrasi, kawasan fungsional seperti bagian wilayah kota/ sub wilayah kota, bagian daerah wilayah kabupaten/kota yang memiliki ciri perkotaan, kawasan strategis kabupaten/ kota yang memiliki ciri kawasan perkotaan, dan/atau bagian wilayah kabupaten/kota yang berupa kawasan pedesaan dan direncanakan menjadi kawasan perkotaan. Sementara, muatan RDTR meliputi: (1) tujuan penataan BWP, (2) rencana pola ruang, (3) rencana jaringan prasarana, (4) penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya, (5) ketentuan pemanfaatan ruang, dan (6) peraturan zonasi. RDTR serta PZ berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dan ditinjau kembali setiap lima tahun. Sedangkan Wilayah Perencanaan RDTR disebut sebagai Bagian Wilayah Perkotaan (BWP).

KECAMATAN T KECAMATAN S

Kawasan Perkotaan yang di-RDRT-kan

KABUPATEN A

RTRW Kabupaten/Kota belum dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

35

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

35

topik lain
Pedoman RDTR
Pedoman RDTR memuat ketentuan umum, muatan, Peraturan Zonasi, prosedur penyusunan dan kelengkapan dokumen. Di dalam bab ketentuan umum dibahas beberapa hal, yaitu istilah dan definisi, kedudukan RDTR dan Peraturan Zonasi, fungsi dan manfaat RDTR, kriteria dan lingkup wilayah RDTR, dan masa berlaku RDTR. Selanjutnya di dalam bab muatan RDTR dibahas tentang tujuan penataan ruang, rencana pola ruang, rencana jaringan prasarana, penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya, dan ketentuan pemanfaatan ruang. Bab III tentang Peraturan Zonasi berisi tentang komponen materi Peraturan Zonasi dan pengelompokan materi. Dilanjutkan dengan bab selanjutnya, yaitu prosedur penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi yang terdiri dari proses dan jangka waktu penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi, pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi, dan penetapan RDTR dan Peraturan Zonasi. Lalu bab terakhir, kelengkapan dokumen, meliputi materi teknis RDTR dan Peraturan Zonasi, dan naskah Raperda tentang RDTR dan Peraturan Zonasi.

Selanjutnya di dalam bab muatan RDTR dibahas tentang tujuan penataan ruang, rencana pola ruang, rencana jaringan prasarana, penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya dan ketentuan pemanfaatan ruang.

Peraturan Zonasi: fungsi dan Manfaat


Peraturan Zonasi berfungsi antara lain sebagai perangkat operasional pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai acuan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang termasuk di dalamnya air right development dan pemanfaatan ruang di bawah tanah, dan rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan dan penetapan lokasi investasi. Adapun manfaat PZ antara lain: menjamin dan menjaga kualitas BWP minimal yang ditetapkan, menjaga kualitas dan karakteristik zona dengan meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik zonasi dan meminimalkan gangguan atau dampak negatif terhadap zona. Muatan Peraturan Zonasi, terdiri dari materi wajib dan materi pilihan. Materi wajib meliputi lima hal, yakni: ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan, ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata bangunan, ketentuan prasarana dan sarana minimal, dan ketentuan pelaksanaan. Sementara materi pilihan akan ditambahkan bila dibutuhkan, yakni meliputi: ketentuan tambahan, ketentuan khusus, standar teknis, dan ketentuan pengaturan zonasi. Hal terakhir yang perlu diketahui oleh pemerintah daerah dan pemangku dalam menyususn RDTR dan Peraturan Zonasi adalah prosedur penyusunannya. Ada tujuh tahapan dalam Prosedur Penyusun RDTR dan Peraturan Zonasi, berturutturut adalah: (1) Pra persiapan penyusunan; (2) Persiapan penyusunan; (3) Pengumpulan data; (4) Pengolahan dan analisis data, (5) Perumusan konsep, (6) Penyusunan Naskah Akademis, dan (7) Penyusunan naskah Raperda. Dengan adanya pedoman RDTR dan PZ, dan jika disusun sesuai dengan prosedur yang berlaku, produk RDTR danPZ pemerintah daerah akan lebih berkualitas dan memudahkan operasional pemanfaatan ruang dan pengendaliannya. Catatan:
Bahan Sosialisasi Pedoman RDTR dan PZ disusun oleh Sub Direktorat Pengaturan, Direktorat Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian PU.

36

buletin tata ruang | Maret - April 2012

wacana

KALA MANUSIA MEREBUT HABITAT


Oleh: Redaksi Butaru

Tak hanya mengubah ekosistem, alih fungsi hutan pun menuai konflik antar manusia dan hewan. Jika dibiarkan terus, siapa yang harus mengalah?
HUTAN INDONESIA sampai saat ini masih mengalami penurunan luasan secara terus menerus. Berbagai lembaga survey telah melakukan audit terhadap luasan hutan Indonesia dengan hasil masing-masing yang tidak jauh berbeda. Karena terus menerus terjadi, kita harus siap menanggalkan gelar sebagai Zamrud Khatulistiwa cepat atau lambat. Penyebabnya tidak lain adalah alih fungsi lahan dan pembalakan liar yang masih terus-menerus terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Dampak dari hal-hal tersebut sungguh sangat meresahkan karena timbulnya berbagai bencana yang melanda hampir di semua sektor. Masyarakat lokal atau masyarakat adat adalah salah satu korban yang terkena dampak langsung dari alih fungsi hutan tersebut. Bahkan beberapa suku mulai terancam keberadaannya. Hutan bagi mereka adalah segalanya, dan sudah seharusnya kita semua ikut membantu menjaga kelestarian hutan tersebut. Di samping makna pentingnya hutan sebagai penghasil oksigen bagi kehidupan, hutan juga memberikan mereka tempat tinggal, sumber makanan, obatobatan dan lain sebagainya. Hutan juga memberikan mereka mata pencaharian sehari-hari. Hak-hak masyarakat adat ini masih sering dilanggar, terutama apabila hutan tersebut memiliki potensi tambang emas, tembaga atau yang lainnya. Sampai saat ini masih terdapat beberapa kasus tumpang tindih peraturan dimana masing-masing sektor memiliki peta peruntukan yang bergesekan satu sama lain. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan juga melahirkan konflik tersendiri. Sampai saat ini hal tersebut masih sering terjadi dengan alasan telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah setempat. Kebun memang dapat dibayangkan sebagai suatu bidang tanah yang dipenuhi berbagai tumbuhan hijau di atasnya, yang mampu membantu perekonomian serta memproduksi cukup oksigen bagi manusia. Akan tetapi, tidak hanya dampak positif, beberapa komoditi perkebunan juga memberikan dampak negatif yang cukup besar. Sawit adalah salah satu komoditi perkebunan dengan nilai ekonomis yang cukup menjanjikan. Tetapi di balik potensi ekonomi yang fantastis tersebut, sawit juga berdampak buruk bagi lingkungannya. Sawit adalah jenis tumbuhan yang membutuhkan cukup banyak air agar tetap hidup. Ini mengapa kesuburan tanah pada lahan perkebunan sawit menurun atau bahkan menjadi rusak dan sangat kering begitu ditinggalkan. Masyarakat lokal mulai bersuara setelah tahu bahwa dampak atau imbas perkebunan kelapa sawit ini begitu dahsyat bagi keberlangsungan hidup. Mereka pun tergugah mulai menentang dan menolak keras adanya perkebunan sawit. Secara lantang pun pertanyaan ini muncul pada mereka yang menentang adanya pengadaan perkebunan sawit besarbesaran.

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

37

wacana
Tidak hanya Gajah Kalimantan, Harimau Sumatera atau Panthera Tigris Sumatrae juga semakin menghilang keberadaannya. Survey terakhir membuktikan bahwa populasi Harimau Sumatera sampai saat ini hanya tersisa sekitar 250-300 ekor. Dari jumlah tersebut, sekitar 125 ekor berada pada areal hutan lindung Taman Nasional Kerinci Sebelat. Meski sebagian besar berada di kawasan hutan lindung, kondisi itu tidak menjamin keberlangsungan hidup harimau Sumatra, mengingat semakin hari kawasan hutan di Jambi terus tergerus akibat alihfungsi lahan menjadi perkebunan atau perumahan. Hal ini dibuktikan oleh kejadian-kejadian sepanjang tahun 2011 yang mencatat ada lima kasus besar konflik masyarakat dengan satwa. Di antaranya adalah munculnya beberapa ekor harimau pemangsa di daerah permukiman masyarakat. Sampai kapan konflik-konflik tersebut akan terus terjadi? Kerugian demi kerugian terus kita tuai sampai saat ini. Kerja sama multisektoral harus terus dibangun dan diperkuat agar tidak ada lagi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang. Landasan hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup jelas, namun belum optimal di dalam penerapannya. Harapan ke depan, semua pihak lebih memperkuat peran masing-masing dalam berkontribusi mencegah kerugian akibat kejadian ini terus berlanjut.

Salah satu contoh Masyarakat Lokal yang bergantung pada hutan

Mungkin juga ini dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat lokal terhadap dampak perkebunan kelapa sawit. Masyarakat lokal yang hidup pada atau di sekitar areal perkebunan sering diidentikkan sebagai masyarakat yang jauh dari akses informasi dan tidak mengerti apa-apa. Hal ini yang membuat proses negosiasi menjadi lebih mudah. Sungguh ironis apabila hal ini dibiarkan terus berlanjut. Kita harus mengakui bahwa di satu sisi Indonesia adalah negara berkembang yang membutuhkan sumber-sumber alam yang potensial. Tetapi di sisi lain kita juga harus tetap menjaga stabilitas lingkungan. Yang harus dipahami adalah alih fungsi lahan secara berlebihan tidak hanya berdampak kepada manusia saja, tapi juga kepada seluruh ekosistem. Artinya, dampak tersebut dirasakan oleh manusia, alam/tumbuhan serta hewan-hewan yang membutuhkan hutan sebagai tempat tinggal. Sebagai salah satu contoh adalah kasus menurunnya jumlah populasi Gajah Kerdil Borneo. World Wildlife fun (WWf) Indonesia di dalam penelitiannya sejak tahun 2007 hingga akhir 2011 mengungkapkan bahwa saat ini hanya terdapat kurang lebih 20-80 individu dari Gajah Kerdil tersebut dan tersebar di daerah Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Sabah, Malaysia. Perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang terus terjadi menyebabkan semakin berkurangnya habitat serta wilayah jelajah gajah Borneo. Akibat dari hilangnya habitat hutan wilayah jelajah gajah Borneo, satwa yang kerap dijuluki Borneo pygmy elephant atau gajah kerdil Borneo tersebut semakin terdesak, sehingga kemudian memicu adanya konflik antara manusia dan gajah. Data WWf menunjukkan bahwa dari 2005 hingga 2007 tercatat sekitar 16.000 tanaman sawit milik masyarakat dan perusahaan perkebunan rusak dimakan gajah. Dari hasil pemantauan, tahun 2005 hingga 2009 terdapat 11 desa yang rawan konflik gajah. Semua desadesa tersebut berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
buletin tata ruang | Maret - April 2012

Gajah Kerdil Kalimantan

Harimau Sumatera yang mulai punah

38

agenda

Agenda Kerja

BKPRN

MARET - APRIL 2012


b. BKPRN merasa perlu untuk mengadakan pertemuan terlebih dahulu dalam waktu dekat dengan Pemda serta pihak terkait PLTU Batang agar diperoleh penjelasan lebih rinci mengenai lokasi dan dampaknya terhadap lingkungan. c. Akan segera dilaksanakan sebuah pertemuan BKPRN mengenai permohonan dari Menteri Pertahanan tentang pembangunan IPSC di Sentul, terutama sehubungan dengan Koefisien Dasar Bangunan di lokasi IPSC yang direncanakan akan menggunakan konsep 7in1, dimana terdapat 7 fungsi (Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Standby force, Universitas Pertahanan, Pusat Bahasa, dan Military Game) dalam satu lokasi IPSC tersebut. d. Mengenai Karst Pawonsari, BKPRN akan segera melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait. Pertemuan BKPRN dengan pihak IPSC Sentul berlangsung pada tanggal 14 Maret 2012 bertempat di Gedung Mako IPSC Sentul Kabupaten Bogor. Hasil dari pertemuan ini merupakan sebuah rekomendasi dari BKPRN yang isinya adalah : a. Rencana Perubahan Rekomendasi Penggunaan Kawasan untuk Pusat Perdamaian dan Keamanan (PKC) di Kec. Citeurep, Kab. Bogor dilakukan dengan meningkatkan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) dari 5% menjadi 20% berada pada Zona B3 berdasarkan Perpres No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. b. Rencana pembangunan kawasan PKC berada di Zona B3 yang pada prinsipnya dapat dilaksanakan dengan cara pembangunan dengan intensitas lahan terbangun rendah dengan menerapkan rekayasa teknis untuk mempertahankan fungsi resapan air. c. Sesuai hasil perhitungan, rencana penggunaan kawasan PKC dengan luas 261,712 Ha, terdiri atas kawasan konservasi seluas 147 Ha dan kawasan terbangun seluas 113 Ha. d. Disepakati Koefisien Wilayah Terbangun sebesar 20% yang diarahkan untuk pemanfaatan ruang kawasan terbangun (seluas 113 Ha). e. Terhadap Rencana Perubahan Penggunaan Kawasan PKC di Kec. Citeurep, Kab. Bogor perlu dilakukan revisi AMDAL. f. Pembangunan kawasan PKC perlu difasilitasi dalam Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bogor terutama pada kecamatan yang mencakupi kawasan PKC. g. Perubahan Rekomendasi Penggunaan Kawasan PKC di Kec. Citeurep, Kab. Bogor dapat dilakukan sesuai arahan rekomendasi. Rapat pembahasan terkait persetujuan substansi Raperda RTRW Kabupaten/Kota, pada bulan Maret-April, yaitu: No
1 2 3 4 5

KEGIATAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL (BKPRN) pada periode Maret hingga April 2012 ini diawali dengan acara pertemuan lanjutan unit Eselon II BKPRN yang diadakan sebelumnya (3/2) dengan agenda yang sama yakni peninjauan kembali Agenda BKPRN 2012-2013. Pertemuan ini membahas juga tindak lanjut kebijakan pemberlakuan Pending Zone, penguatan kelembagaan khususnya BKSP Jabodetabekjur, penetapan batas wilayah administrasi di Indonesia, dan wacana mengenai mekanisme pembahasan RDTR yang sampai saat ini belum juga ditetapkan. Hasil rapat unit Eselon II BKPRN ini kemudian dilaporkan pada unit Eselon I BKPRN melalui sebuah acara Breakfast Meeting yang diadakan pada tanggal 5 Maret 2012. Wacana pelimpahan wewenang persetujuan substansi RDTR kepada Pemerintah Daerah terkait, mengemuka mengingat akan luar biasa banyaknya persetujuan substansi yang akan dibahas oleh BKPRN apabila mekanisme persetujuan substansi RDTR tetap diberlakukan sama seperti persetujuan substansi Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Agenda pertemuan BKPRN berikutnya adalah Dinner Meeting unit Eselon II dalam rangka tindak lanjut terhadap surat-surat dari daerah yang meminta BKPRN membantu menyelesaikan konflik ruang yang terjadi pada daerah tersebut melalui surat rekomendasi. Kasuskasus tersebut antara lain adalah kasus gedung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) , PLTU Batang, Indonesian Peace and Security Center (IPSC) Sentul dan Kawasan Karst Pawonsari. Pertemuan yang berlangsung pada tanggal 12 Maret 2012 menghasilkan beberapa keputusan, antara lain adalah : a. Untuk permohonan rekomendasi terhadap kasus pembangunan PPATK di Kabupaten Cianjur, sejauh ini BKPRN masih berpegang pada surat Menko Perekonomian tertanggal 23 Mei 2011 yang menyatakan bahwa permohonan IMB PPATK tidak dapat disetujui karena tidak sesuai dengan Perpres No. 54/2008. Akan tetapi Pokja 4 BKPRN akan terus melakukan pembahasan mengenai hal ini.

Nama Daerah
Kabupaten Lumajang Kabupaten Bireun Kabupaten Aceh Utara Kota Dumai Kota Banjar

Tanggal Pelaksanaan
14 April 2012 20 April 2012 20 April 2012 25 April 2012 25 April 2012

Maret - April 2012 | buletin tata ruang

39

Whether a proposed major change in allowable land use is worth the added congestion and density it will cause.

You might also like