You are on page 1of 24

Resume Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)

Kelompok IV, PKD 2 Kelas G 1. Fandiar Nur Isdiaty, 0906510810 2. Maria Lidya Algriana, 0906564132 3. Sri Mauliani, 0906629706 4. Titin Noviatiningsih, 0906629725 5. Yuli Pramita Sari, 0906629782

Pengertian Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang terletak persis dibawah kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa normal kira-kira 20 gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan panjangnya 2,5 3 cm. Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal.

Pembesaran prostat jinak (BPH) merupakan penyakit pada laki-laki usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Benigna Prostat Hyperplasia adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra). Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan dai sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal. Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hiperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona periurethra.

Gambar 1. Perbedaan aliran urin dari buli-buli pada prostat normal dan prostat yang mengalami pembesaran

Etiologi BPH biasanya ditemukan pada umur kira-kira 50 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga di atas umur 80 tahun kira-kira 80% menderita penyakit ini. Etiologi sekarang dianggap ketidakseimbangan endokrin testosteron dianggap mempengaruhi akan tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal mempengaruhi tengah prostat). Beberapa hipotesis yang diduga penyebab timbulnya Hiperplasia Prostat: Teori dihidrotestosteron

Terjadinya BPH merupakan akibat dari ketidakseimbangan hormonal oleh karena proses penuaan. Salah satu teori ialah teori Testosteron (T) yaitu Testosteron bebas yang diubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 a reduktase yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein. Teori yang disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase (Rahardjo,1997). Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron Ketika usia semakin tua kadar testosteron terus menurun sedangkan kadar estrogen di dalam relatif tetap. Seperti diketahui, fungsi estrogen di dalam prostat dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat, dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan apoptosis. Hasil akhir dari keadaan ini adalah meskiun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang ada mempunyai umr yang lebih panjang sehingga massa prsotat menjadi lebih besar. Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel amplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal. Teori growth factors Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor- (TGF - ), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

Patofisiologi BPH terjadi pada laki-laki yang berumur di atas 50 tahun di mana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan atau pembesaran prostat. Ukuran makroskopik dapat mencapai 60100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi sehingga 200 gram atau lebih. Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagao lobus posterior, yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma (Moore). Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah, atau menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen uretra. Pada penampang, tonjolan itu jelas dapat dibedakan dengan jaringan prostat yang masih baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada unsur yang bertambah. Apabila yang bertambah terutama unsur kelenjar, maka warnanya kuning kemerahan, berkonsistensi lunak dan terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang berwarna putih keabu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan makan akan keluar cairan seperti susu. Apabila unsur fibromuskuler, yang bertambah, makan tonjolan berwarna abu-abu padan dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang terdesal sehingga batasnya tidak jelas. Gambaran mikroskopik juga bermacam-macam tergantung pada unsur yang berproliferasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi ialah unsur kelenjar sehingga terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista yang dilapisi epitel torak/koboid selapis yang pada beberapa tempat membentuk papil-papil ke dalam lemen. Membran basalis masih utuh. Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga menyerupai dengan karsinoma. Dalam kelenjar sering terdapat sekret granuler, epitel yang terlepas dan corpora anylcea. Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, makan terjadi gambatan yang terjadi atas jaringan ikat atau jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya saling berjauhan.

Testosteron

Testosteron >> estrogen N

NADPH+aktivitas 5--reduktase
DHT>> -1aRA Sel hidup lbh lama Sintesa GF>> Pertumbuhan sel>> Sensitivitas RA>> Jml RA>> Apoptosis <<

Stroma (autokrin/parakrin)

Epitel (parakrin)

Proliferasi sel >> Multiple fibroadenomatous nodules

Hyperplasia sel

Ukuran prostat membesar, tetapi kapsulnya tidak Kompresi uretra (UTO)

Kompresi uretra (UTO)

Resistensi thd aliran urin >>

Tekanan urinasi/tekanan VU >>

Tonus otot polos uretra >>

Compliance VU<<

Ddg VU menebal (hipertrofi , bertrabekula, irritable, divertikuli

Kekuatan kontraksi >>

Destrusor instability

LUTS

Komplikasi: hernia, hemorrhoid, hematuria

Incomplete bladder emptying Retensi urin dlm VU

Overflow incontinence (dribbling, nocturia)

Massa suprapubik (kistik, nyeri) Hockey stick ureter Hemodilusi

Stasis urin

Hidronefrosis

Gangguan elektrolit

Metabolic wastes tidak terbuang

Hb, Ht<<

Hiponatremia relatif

Urosepsis

Aktivasi SRAA BP & HR >>

Tanda dan gejala Gejala klinis Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok: Gejala iritatif, infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena akan menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan oedem Gejala obstruksi Penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran urine, oleh karena lumen urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra meningkat, sehingga kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan urine. Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra-vesika yang cukup tinggi. Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, aliran dapat berhenti dan dribbling (urine menetes setelah berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan valvasa menauver sewaktu berkemih. Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan sering berkemih malam hari (nocturia). Residual urine juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih. Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh. Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis. Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure) dan gejalagejala uremia berupa mual, muntah, somnolen atau disorientasi, mudah lelah dan penurunan berat badan

Tanda klinis Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konstipasi kenyal. Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai suatu karsinoma. Franks pada tahun 1954 mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam kelenjar yang mengelilingi urethra prostatika sedangkan karsinoma terjadi di bagian luar pada lobus posterior (Jonhson,1988; Burkit,1990)

Komplikasi Urinary traktus infection Retensi urine akut Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis

Bila operasi bisa terjadi: Impotensia (kerusakan nevron pudendes) Hemoragic paska bedah Struktur paska bedah Inkontinensia urine

Pemeriksaan 1. Colok dubur Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat 2. Pemeriksaan urinalisis Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:

karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu pada kecuri-gaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi 3. Pemeriksaan fungsi ginjal Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum 4. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen) PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific18. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA, makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah: o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml o 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml o 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml 5. Catatan Harian Miksi Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat ber-guna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. 6. Uroflometri Uroflowmetri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat

diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. 7. Pemeriksaan Residual Urin Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL

Skoring BPH

International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor 0-7: bergejala ringan, Skor 8-19: bergejala sedang, Skor 20-35: bergejala berat

Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan medis pada pasien dengan BPH bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Menurut Smeltzer (2001), berikut adalah penatalaksanaan medis pada pasien dengan BPH: 1. Kateterisasi Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena tidak dapat berkemih, maka tindakan kateterisasi harus segera dilakukan. Kateter yang lazim digunakan mungkin terlalu lunak dan lemas untuk dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih. Apabila seperti ini, kabel kecil bernama stylet dimasukkin (oleh ahli urologi) ke dalam kateter untuk mencegah kateter kolaps ketika dimasukkan. Pada kasus yang berat, mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatic 2. Penyekat reseptor alfa-1-adrenergik (mis. Terazosin) Penyekat ini berfungsi untuk melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan prostat. Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-1, dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor 1a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (sign and symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya 3. Penghambat 5-Reduktase (5-Reductase inhibitors) Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dihidratestosteron sehingga prostat yang membesaar akan mengecil. Namun obat ini berkerja lebih lambat dari pada golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada pembesaran prostat yang besar. Efektivitasnya masih diperdebatkan karena baru menunjukkan perbaikan sedikit dari pasien setelah 6 12 bulan pengobatan bila dimakan terus menerus. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan PSA (masking effect). Finasteride adalah penghambat 5-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala.

4. Pembedahan Prosedur pembedahan pada BPH meliputi reseksi transurethral prostat, prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal, dan prostatektomi retropubik a) Reseksi transurethral prostat (TUR atau TURP) adalah prosedur yang paling umum yang dapat dilakukan melalui endoskopi. Instrument bedah dan optikal dimasukkan secara langsung melalui ureta ke dalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar akan diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur ini tidak memerlukan insisi, dan digunakan untuk kelenjar dalam ukurang yang beragam dan ideal bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil dan yang dipertimbangkan mempunyai risiko bedah yang buruk. Keuntungan prosedur iniadntara lain luka insisi tidak ada, lama perawatan lebih pendek, morbiditas dan mortalitas rendah, prostat fibrous mudah diangkat, perdarahan mudah dilihat dan dikontrol. Sedangkan kerugiannya antara lain teknik sulit, resiko merusak uretra, intoksikasi cairan, trauma spingter eksterna dan trigonum, dan tidak dianjurkan untuk BPH yang besar.

b) Trans urethral incision of prostate (TUIP) Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli- buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secaraendoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muaraureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai

tampak kapsul prostat.Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadianejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR c) Prostatektomi suprapubis Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat klenjar melalui insisi abdomen. Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan beberapa komplikasi terjadi, meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak dibandingkan dengan metode lainnya

d) Prostatektomi perineal Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.

e) Prostatektomi retropubik

Prostatektomi retropubik adalah teknik lain dan lebih umum dibanding pendekatan suprapubik. Dokter bedah membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang hilang lebih dapat terkontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. f) Stent Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 636 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria

Analisa Kasus Tn. D mengeluh nyeri dan merasa kesulitan ketika BAK sejak 4 bulan yang lalu. Ia juga mengeluh BAK yang tidak dapat ditahan (inkontinensia) yang umumnya sering terjadi pada usia lanjut dan bisa disebabkan oleh BPH itu sendiri. Pada pemeriksaan USG ginjal, kandung kemih, dan prostat, Tn. D akhirnya didiagnosa mengalami pembesaran kelenjar prostat. Selain itu, Tn. D juga mempunyai riwayat gangguan prostat, penyakit DM, dan riwayat infeksi saluran kemih. Seseorang dapat berkemih jika otot kandung kemih kuat untuk merangsang berkemih dan saluran dibawahnya tidak terdapat hambatan. Kualitas otot kandung kemih yang tidak baik contohnya pada kandung kemih yang terdapat banyak jaringan parut bekas luka ataupun adanya divertikel (yaitu suatu tonjolan di kandung kencing yang tidak memiliki lapisan otot). Seandainya kualitas otot kandung kemih tidak baik, maka sebaik apapun saraf yang menuju kandung kemih tidak akan mampu menggerakkan kandung kemih untuk mengosongkannya dengan baik. Perintah berkemih berasal dari otak, menuju kandung kemih melalui saraf. Kandung kemih disarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari thorakal 11 - lumbal 2, dan serabut para

simpatis yang berasal dari sakral 2-4. Serabut simpatis eferen mensarafi otot polos bladder neck dan spingter eksterna, dimana stimulasinya menyebabkan bladder outlet menutup sewaktu terjadi ejakulasi. Sedangkan serabut simpatis aferen yang berasal dari fundus kandung kemih adalah untuk membawa rangsang nyeri. Serabut para simpatis eferen adalah saraf kandung kemih yang paling penting, bertanggung jawab terhadap kontraksi otot-otot detrusor kandung kemih, saraf ini sering mengalami cedera pada penderita trauma tulang belakang yang menyebabkan retensi urine. Serabut para simpatis aferen membawa rangsang distensi (Bahnson,1992; Turek,1993). Klien yang mempunyai kadar gula darah puasa 126 mg% atau lebih yang diperoleh setelah puasa kurang lebih 12 jam digolongkan sebagai penderita DM. Dari suatu penelitian, meningkatnya kadar gula darah puasa pada pria menyebabkan meningkatnya 3 kali risiko menderita BPH dibandingkan dengan pria dengan kadar gula darah yang normal (kurang dari 110 mg%). Pada seseorang yang mengalami riwayat diabetes mellitus, seperti klien pada kasus, dapat mengalami tidak dapat berkemih. Hal ini karena saraf yang membawa perintah berkemih dari otak mungkin putus atau terganggu. Diabetes mellitus dapat menyebabkan kerusakan yang parah dan beraneka pada tubuh penderitanya. Kadar gula yang tinggi dapat merusak saraf (yang dalam bahasa medis disebut neuropati diabetik). Kerusakan saraf dapat mengakibatkan saraf tidak dapat menghantarkan pesan dari otak dengan baik. Jika saraf yang terkena adalah saraf pembawa pesan untuk berkemih, maka pesan itu tidak sampai, sehingga otot tidak dapat menindak lanjuti perintah tersebut. BPH atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu contoh gangguan saluran dibawah kandung kemih. Jika terjadi pembesaran maka aliran urin terhambat. Tersumbat atupun tidaknya aliran urin tergantung dari besar kekuatan memeras kandung kemih dikurangi hambatan saluran dibawahnya. Contohnya jika kandung kemih memiliki kemampuan memeras 100 dan hambatan dibawahnya 80 maka pasien dapat berkemih tetapi dengan aliran yang lambat. Contoh lainnya, jika kekuatan pompa kandung kemih 100 dan hambatan dibawahnya 110 maka pasien tidak dapat kemih sebelum sumbatan dibawahnya dikurangi atau dihilangkan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya

pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktur urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Hal inilah yang ditemukan pada Tn. D. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria juga bisa terjadi, tetapi pada Tn. D, hematuria tidak terjadi. . Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

Penuaan dan perubahan hormon Penurunan testosteron Peningkatan androgen Terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda

Merangsang pertumbuhan jaringan prostat di bagian periuretral

Pembesaran bagian perineal prostat

Gg. rasa nyaman: Nyeri

Obs. Uretra pars prostatika

Obs. Leher kandung kemih

Retensi urin

Statis urin

Refluks urine Sebagian urin tetap berada di kandung kemih Dilatasi ureter /hidroureter Sebagai media perkembangbiakan mikroba patogen

Penurunan aliran urin

Dilatasi ginjal/hidronefrosis Disfungsi ginjal

Sering berkemih, nokturia, urgensi dgn inkontinensia urine

Resti Infeksi

9090

90

Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dan pembesaran prostat Tujuan : Pasien tidak mengalami retensi urin Kriteria hasil: klien mampu mengosongkan kandung kemih setiap 2 4 jam dan klien buang air kecil 1500 cc/24 jam. Intervensi : a. Lakukan pemasangan kateter Rasioanal: membantu pengeluaran urin b. Kaji haluaran urin dan sistem kateter atau kesterilan sistem drainase rasional: retensi dapat terjadi karena spasme kandung kemih. c. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup rasional: mempermudah aliran urin ke urin bag dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah d. Ukur intake output cairan. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasi. rasional: mempertahankan keseimbangan cairan e. Ajarkan dan motivasi klien untuk melakukan latihan otot dasar panggul (kegel exercise) Rasional: latihan ini dapat membantu meningkatkan kembali kekuatan otot dasar panggul

2. Nyeri berhubungan dengan spasme otot kandung kemih Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari nyeri hilang/terkontrol, pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat. Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang, Klien menunjukkan ketrampilan relaksasi Ekspresi wajah klien tenang. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.

Tanda tanda vital dalam batas normal. Kaji nyeri, intensitas (1 10), monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri. rasional: nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih atau pasase urine sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih.

Intervensi: a.

b. Kaji tanda-tanda vital dan observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi) rasional: mengetahui keadaan umum c. Pertahankan potensi kateter dan sistem kateter rasional: mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi atau spasme kandung kemih. d. Berikan tindakan kenyamanan (relaksasi, napas dalam, kompres hangat) rasional: menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping. e. Kolaborasi medis dengan pemberian analgesic atau antispasmodic rasional: merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan nyeri.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Tujuan intoleransi aktivitas klien berkurang

Kriteria Hasil klien mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan toleran aktivitas klien melaporkan penurunan gejala-gejala intoleransi aktivitas.

Intervensi: a. Kaji tanda-tanda vital rasional: mengetahui keadaan umum pasien b. Kaji respon individu terhadap aktivitas rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas seharihari.

c. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas kebutuhan sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien. rasional: pengeluaran energi agar lebih optimal d. Jelaskan pentingnya pembatasan energi rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh. e. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien rasional: klien dapat dukungan psikologi dari keluarga.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. Tujuan Klien tidak menunjukkan tandatanda infeksi . Kriteria hasil Klien tidak mengalami infeksi Tanda-tanda vital dalam batas normal Tidak ada bengkak, eritema, nyeri Luka insisi semakin sembuh dengan baik.

Intervensi: a. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril. Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi b. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi. Rasional: meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal. c. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup Rasioanal: menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih. d. Observasi tanda tanda vital, laporkan tanda tanda shock dan demam. Rasional: mencegah sebelum terjadi shock. e. Observasi urine: warna, jumlah, bau Rasioanal: mengidentifikasi adanya infeksi.

f. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik. Rasional: untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.

5. Resiko gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri/efek pembedahan Tujuan Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi. Kriteria hasil: Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup. Klien mengungkapan sudah bisa tidur Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .

Intervesnsi: a. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari. Rasional: meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan . b. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan. Rasional: suasana tenang akan mendukung istirahat c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur Rasional: menentukan rencana mengatasi gangguan d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri (analgesik). Rasioanal: mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup . Perawat melakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. Dengan proses keperawatan, perawat memakai latar belakang, pengetahuan yang komprehensif untuk mengkaji ststus kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa merencanakan intervensi, mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi intervensi keperawatan. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Dalam kasus dijelaskan bahwa klien telah menjalani operasi TURP, maka pengkajian yang dilakukan pada klien pada saat ini adalah pengkajian post operasi TURP. Perawat perlu terus memantau keadaan klien selama masa post operasi. Berikut ini hal yang perlu dipantau: A. Kumpulan gejala pada BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) antara lain:

1) Nyeri pada daerah tindakan operasi 2) Perubahan frekuensi berkemih 3) Urgensi 4) Luka tindakan operasi pada daerah prostat 5) Retensi, kandung kemih penuh 6) Inkontinensia 7) Terdapat luka insisi 8) Terpasang kateter B. Pengkajian Fisik 1) Keluhan utama Keluhan pada klien berbeda beda antara klien yang satu dengan yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi TUR-P adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri. 2) Keadaan umum Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara. 3) Sistem respirasi Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan perut. Tanda tanda cyanosis ada atau tidak. 4) Sistem sirkulasi Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh, monitor jantung ( EKG ). 5) Sistem gastrointestinal Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan muntah. 6) Sistem neurologi Hal yang dikaji: keadaan atau kesan umum, GCS, adanya nyeri kepala.

7) Sistem muskuloskleletal Bagaimana aktifitas klien sehari hari setelah operasi? Bagaimana memenuhi kebutuhannya? Apakah terpasang infus dan dibagian mana dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang infus? Bagaimana keadaan ekstrimitas? 8) Sistem eliminasi Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh? Masihkah ada gangguan miksi seperti retensi? Kaji apakah ada tanda-tanda infeksi. Memakai kateter jenis apa? Irigasi kandung kemih. Bagaimana warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari? Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter? 9) Terapi yang diberikan setelah operasi Infus yang terpasang, obat-obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih. C. Pemeriksaan Radiologi 1) Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang kadang dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. 2) Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis, dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter berkelok kelok di vesikula) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urine atau filling defect divesikula. 3) Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau trasrektal (trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan USG dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. 4) Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan cystoscop. Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat juga memberi keterangan mengenahi besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjalan prostat kedalam uretra. D. Flowmetri

Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan ml/detik. Penderita dengan sindroma protalisme perlu diperiksa dengan flowmetri sebelum dan sesudah terapi. Penilaian : 1) Fmak <10ml/detik --------obstruktif 2) Fmak 10-15 ml/detik-----borderline 3) Fmak >15 ml/detik-------nonobstruktif

REFERENSI

Anonim. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. http://iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. diakses pada 17 April 2012, pukul 10:02 WIB Carpenito J.Lynda. ( 2008). Nursing Diagnosis: Application to Clinical practice 8th ed. USA: Lippincott Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC. Furqan. (2003). Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita Bph Setelah Pemasangan Kateter Menetap: Pertama Kali Dan Berulang. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-furqan.pdf. diakses pada 17 April 2012, pukul 12:33 Hardjowidjoto S. (1999). Benigna Prostat Hiperplasia. Surabaya: Airlangga University Press. Kumpulan Kuliah. (2010). Modul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Cirebon. NANDA International. (2009). Nursing Diagnosis: Definition & Classification. USA: WilleyBlackwel. Price, S.A. dan Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed 6. Terj: Brahm U Pendit, dkk. Jakarta: EGC Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Terj. Agung Waluyo, dkk. Jakarta: EGC

You might also like