You are on page 1of 11

PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui cara menganalisis bahan baku asetosal agar sesuai

dengan persyaratan bahan baku obat dan mengetahui kadar cemaran logam berat dalam bahan baku asetosal. Analisis terhadap bahan baku asetosal perlu dilakukan karena untuk mengetahui kelayakan bahan baku yang didapat sebelum diolah lenih lanjut menjadi suatu sediaan. Parameter kelayakan yang digunakan untuk menganalisi bahan baku asetosal ini berdasarkan dari Farmakope Indonesia. Untuk menguji bahan baku diperlukan uji pendahuluan, dan uji secara kualitatif dan kuantitatif. Pertama-tama yang dilakukan adalah melakukan uji pendahuluan yang terdiri dari uji organoleptis untuk melihat dari warna, bentuk, bau dan rasa dari sampel, uji pH, dan uji kelarutan. Dari hasil uji organoleptis yang dilakukan, menunjukan sampel berbentuk Hablur putih, seperti jarum atau lempengan tersusun, tidak berbau atau berbau lemah, stabil di udara kering. Hasil uji

organoleptis ini sesuai dengan yang dituliskan di dalam Farmakope Indonesia. Kemudian dilakukan uji pH dengan menggunakan pH universal untuk melihat apakah sampel bersifat asam atau basa. Hasilnya didapatkan hasil dengan pH 3. Hasil ini menunjukan bahwa sampel yang didapat bersifat asam karena di dalam asetosal terdapat gugus fungsi asam karboksilat yang bersifat asam. Uji selanjutnya adalah uji kelarutan, uji ini dilakukan dengan cara melarutkan 1 gram sampel ke dalam pelarut yang tertera didalam monografi yakni 10 ml etanol dan 30 ml kloroform, sementara uji kelarutan untuk pelarut eter tidak dilakukan karena tidaknya eter, dan untuk pelarut lainnya tidak dilakukan karena dibutuhkan volume pelarut yang sangat banyak. Volume tersebut berdasarkan tabel standar kelarutan yang tertera pada Farmakope Indonesia, dibawah ini : Jumlah bag.pelarut yang diperlukan untuk melarutkan 1 bag.zat Kurang dari 1 1 sampai 10

Istilah kelarutan Sangat mudah larut Mudah larut

Larut Agak sukar larut Sukar larut Sangat sukar larut Praktis tidak larut

10 sampai 30 30 sampai 100 100 sampai 1000 1000 sampai 10000 Lebih dari 10000

Dari tabel diatas dapat diperoleh hasil bahwa sampel mempunyai kelarutan yang sesuai dengan standar yang ada di Farmakope Indonesia, yaitu mudah larut dalam etanol, dan larut dalam kloroform. Selanjutnya adalah Uji Kualitatif untuk memastikan identitas dari sampel, apakah benar sampel tersebut adalah asetosal. Identifikasi yang pertama dilakukan dengan cara uji titik leleh, dimana alat yang digunakan adalah pipa kapiler dan melting point apparatus. Titik leleh sendiri adalah suhu dimana fase cair dan fase padat dalam keadaan setimbang dimana tekanan luar sama dengan 1 atm. Uji titik leleh dapat digunakan untuk menentukan kemurnian suatu senyawa, dimana senyawa senyawa murni suhunya hampir tetap selama meleleh atau disebut juga mempunyai titik leleh yang tajam, dengan interval suhu yang sempit (maksimal 1 C), sedangkan untuk senyawa yang sama tetapi tidak murni akan meleleh pada interval suhu yang lebar (di atas 1 C). Prosedur untuk uji titik leleh ini adalah sampel dimampatkan dalam pipa kapiler dengan cara diketuk-ketukan dalam pipa panjang hingga sampel mampat dan tinggi batas dalam pipa kapiler mencapai 1 cm. Setelah mampat, pipa kapiler berisi sampel dimasukkan dalam alat melting point apparatus dan dilihat jarak leleh. Sementara jarak leleh sendiri didapatkan dari suhu dimana sampel mulai terlihat meleleh hingga sampel meleleh sempurna yang ditandai dengan berubah menjadi cairan bening. Dan nilai titik leleh yang diperoleh yakni 141-150,3 C, hasil ini jauh berbeda dari yang tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi III yang dimana disebutkan jarak leleh dari asetosal adalah 141-144 C. Hal ini dapat disebabkan karena adanya pengotor pada

sampel sehingga jarak leburnya menjadi cukup jauh, selain itu juga dapat disebabkan kurang mampatnya sampel dalam pipa kapiler sehingga terdapat

rongga udara yang dapat yang membuat sampel tidak meleleh di saat yang bersamaan sehingga pada akhirnya meningkatkan suhu saat sampel meleleh sempurna. Pengotoran yang menyebabkan peningkatan titik leleh ini mungkin sekali suatu bahan berbentuk resin yang tidak diidentifikasi atau senyawa lain yang mempunyai titik leleh lebih rendah atau lebih tinggi dari senyawa utamanya. Uji Kualitatif yang selanjutnya adalah dengan melakukan reaski warna untuk memastikan identitas dari sampel, apakah benar sampel tersebut adalah asetosal. Uji reaksi warna dilakukan dengan cara melarutkan sampel dalam air lalu dipanaskan selama beberapa menit kemudian didinginkan. Tujuan dilakukan pemanasan adalah untuk menghidrolisis asetosal menjadi asam salisilat dan asam asetat seperti reaksi dibawah ini :

Kemudian tambahkan 1-2 tetes FeCl3 sehingga akan terbentuk warna merah ungu. Warna merah ungu ini terjadi karena adanya reaksi antara FeCl 3 dengan asam salisilat yang terbentuk dari hasil hidrolisis aspirin dengan reaksi di bawah ini :

Asetosal merupakan ester fenolik dari asam salisilat sehingga tidak dapat bereaksi dengan Fe3+. Gugus ester tersebut harus dipecah melalui hidrolisis terlebih dahulu dengan ion hidroksida yang diperoleh dari air sehingga terbentuk salisilat dianion selanjutnya dengan penambahan besi (III) klorida maka akan terbentuk kompleks besi-salisilat yang berwarna ungu pekat. Warna ungu pekat yang terbentuk merupakan identifikasi yang spesifik terhadap asetosal. Kemudian dilakukan identifikasi kedua dengan menggunakan

spektrometer IR. Spektrometer IR ini berguna untuk menganalisis gugus-gugus fungsi yang terdapat pada zat. Analisis identifikasi gugus fungsi dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik spektrum ikatan tertentu, mialnya spektrum IR ikatan C=O terletak pada 1700 cm-1, bentuknya runcing (tajam) atau dikatakan spektrum kuat. Spektrum vibrasi OH terletak sekitar 3500 cm-1, pada umumnya berikatan hidrogen sehingga melebar. Spektrumnya tidak tajam. Bila ada ikatan C=O dan gugus OH maka dimungkinkan senyawa adalah asam. Teknik yang digunakan adalah teknik KBr pellet, dimana padatan sampel digerus dalam mortal kecil bersama padatan dengan kristal KBr kering. Pertamatama yang dilakukan adalah membuat blanko KBr dengan menimbang dan

menggerus KBr sebanyak 250 mg. Penggerusan ini dilakukan untuk mengecilkan ukuran partikel hingga kurang lebih 1-2 m. Setelah selesai digerus, dibuatlah pellet KBr dengan alat hidrolik. Pellet dibuat dengan cara mengisi cetakan dengan rata dan kompresikan oleh alat penekan hidrolik dengan tekanan lebih kurang 60 Kn selama 5 menit. Hubungkan pula dengan pompa vakum untuk membuang sisa CO2 atau keberadaan udara pada KBr yang dapat mempengaruhi hasil. Pada saat mengeluarkan pelet dari cetakan dan memasukkannya ke dalam spektrofotometer IR harus menggunakan pinset untuk menghindari kontaminasi. Selanjutnya pelet dianalisis menggunakan spektrometer IR untuk mendapatkan spektrum blanko. Kemudian dilakukan analisis terhadap sampel. Ditimbang 5 mg sampel yang sudah dikeringkan dan 250 mg KBr. Sampel perlu dikeringkan dalam oven selama 3-4 jam untuk menghilangkan air yang terkandung dalam sampel. Sampel tidak boleh mengandung air karena akan menghasilkan spektrum yang menggganggu

hasil pembacaan analisis. Setelah sampel dan KBr selesai digerus, kemudian pelet dicetak. Pellet dibuat dengan cara mengisi cetakan dengan rata dan kompresikan oleh alat penekan hidrolik dengan tekanan lebih kurang 60 Kn selama 5 menit. Hubungkan pula dengan pompa vakum untuk membuang sisa CO2 atau keberadaan udara pada KBr yang dapat mempengaruhi hasil. Setelah itu cakram diletakkan pada spektrofotometer menggunakan pinset agar tidak terkontaminasi. Pellet cuplikan tipis tersebut kemudian dinetralkan di tempat sel spektrofotometer IR dengan lubang mengarah ke dalam radiasi. Setelah semua spektra terbentuk, spektra tersebut dianalisis dan dicocokkan dengan data dari literatur. Setiap gugus fungsi (ikatan) di dalam suatu molekul mempunyai tingkatan energi vibrasi dan rotasi yang berbeda, oleh karena itu, gugus fungsi ditentukan dari nilai bilangan gelombang yang terserap oleh ikatan tersebut. Nilai bilangan gelombang yang terserap ditentukan dari puncak yang mengidentifikasikan adanya % Transmittan yang bernilai kecil (Absorbansi bernilai cukup besar). Berikut ini adalah hasil spectrum dari sampel dan standar asetosal.

-CH3

Berdasarkan spectrum hasil spektrofotometri IR, terdapat beberapa puncak yang menunjukkan gugus fungsi yang terdapat dalam asetosal. Pada puncak yang berada di daerah sekitar 1375 cm-1 dengan intensitas sedang diduga merupakan gugus CH3. Kemudian pada daerah 1500-1600 cm-1 dengan intensitas rendahsedang diduga merupakan ikatan C=C pada cincin benzene. Untuk gugus C=O terdapat pada 2 puncak dengan intensitas kuat di daerah 1660-1820 cm-1. Untuk ester sendiri ditunjukkan pada daerah 1720-1750 cm-1dengan intensitas kuat. Sedangkan untuk gugus OH yang mengindikasikan asam karboksilat berada di daerah 2400-3400 cm-1 dengan intensitas yang kuat dan pita yang lebar. Dari hasil spektrofotometri IR yang dilakukan, didapatkan hasil kemurnian sampel sebesar 84,988 %, yang berarti kemurnian sampel jauh dibawah standar kemurnian bahan baku yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia, yaitu antara 99,5 % - 100,5%. Ketidakmurnian sampel pada

spektrofotometri IR ini dapat disebabkan oleh masih adanya zat pengotor, termasuk air pada sampel karena sampel sempat terpapar udara pada saat penimbangan dan pengerjaan sebelum analisis. Yang terakhir adalah uji kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui kadar dari bahan baku asetosal untuk menjamin kualitas bahan baku sediaaan obat. Penjaminan kualitas bahan baku obat dengan melakukan penetapan kadar asetosal dari bahan baku sangat penting untuk mendukung efek farmakologi yang optimal dari obat .Uji kuantitatif yang dilakukan untuk menentukan kadar asetosal dalam sampel adalah dengan analisis titrimetri, yaitu metode titrasi balik. Dalam analisis titrimetri dilakukan dengan mengukur volume,sejumlah zat yang dianalisis yang direaksikan dengan larutan baku (standar) yang konsentrasinya telah diketahui secara teliti dan reaksinya berlangsung secara kuantitatif. Metode titrasi dipilih karena memiliki ketelitian yang baik, serta alat dan pengerjaannya yang sederhana. Titrasi balik ini dilakukan dengan penambahan larutan reagen berlebihan yang diketahui jumlahnya ke dalam sampel sehingga menyebabkan reaksi selesai dan menentukan kelebihan larutan reagen yang tidak diperlukan oleh sampel dengan cara menitrasi kelebihan larutan reagen dengan larutan titran yang sesuai. Hal yang pertama dilakukan dalam prosedur penetapan kadar dengan metode titrasi balik adalah pembuatan larutan NaOH 0,5 N dan H2SO4 0,5 N. Larutan NaOH 0,5 N dibuat dengan menyiapkan aquadest bebas CO2 dengan memanaskan aquades hingga mendidih, lalu melarutkan 3 gram NaOH pelet ke dalam aquadest bebas CO2 sambil terus dipanaskan hingga larut. Untuk NaoH yang digunakan harus dalam bentuk pellet, bukan pengenceran dari larutan Naoh yang sudah ada karena konsentrasinya tidak akan pas 0,5 N karena NaOH bersifat higroskopis. Sementara untuk pembuatan larutan H2SO4 0,5 N, perlu dilakukan pengenceran karena H2SO4 yang berada di laboratorium adalah H2SO4 pekat dengan konsentrasi 36 N. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan rumus :

Sehingga untuk mendapatkan larutan 100 mL H2SO4 0,5 N, diperlukan 1,4 mL H2SO4 pekat. Setelah larutan NaOH 0,5 N dan H2SO4 0,5 N selesai dibuat, proses titrasi balik dapat dimulai. Pertama, ditimbang 1,5 gram sampel lalu dilarutkan dengan 50 mL NaOH 0,5 N di dalam beaker glass. Kemudian didihkan campuran secara perlahan selama 10 menit untuk mempercepat terjadinya reaksi antara NaOH dengan asetosal. Setelah dipanaskan, ke dalam larutan ditambahkan indicator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes. Indicator digunakan untuk mendeteksi titik akhir dari titrasi. Setelah ditambahkan fenolftalein Fenolftalein sendiri akan memberikan warna jika berada di pH 8,4-10,4. Karena pada larutan sampel yang telah ditambahkan NaOH terdapat kelebihan NaOH yang tidak bereaksi dengan sampel, larutannya pun berwarna ungu. Selanjutnya kelebihan NaOH dalam larutan sampel dititrasi dengan menggunakan H2SO4 0,5 N. Pada awal titrasi perubahan nilai Ph berlangsung lambat sampai menjelang titik ekivalen.Pada saat nilai ekivalen inilah nilai ph akan meningkat secara drastis sehingga untuk mengamati titik akhir titrasi digunakan indikator. Titik ekivalen adalah titik dimana bahan yang dianalisis telah bereaksi dengan senyawa baku secara kuantitatf sedangkan titik akhr titrasi adalah titik dimana titrasi berakhir ditandai dengan perubahan warna larutan. Perubahan warna ini dapat lebih mudah diamati dengan bantuan indikator. Indikator adalah suatu asam atau basa lemah yang berubah warna diantara bentuk terionisasi dan tidak terionisasi. Indikator yang digunakan adalah fenoftalien, dimana fenolftalein ini telah ditambahkan pada sampel yang ditambahkan larutan NaOH 0,5 N berlebih. Fenoftalien dipilih karena titik akhir titrasi balik ini akan berada pada pH asam, dimana perubahan warna yang terjadi adalah dari berwarna ungu sampai tidak bewarna. Kurva titrasi dengan fenoftalein adalah sebagai berikut:

Dari hasil pengamatan volume titran (H2SO4 0,5 N) yang digunakan adalah 16,9 mL. Hal ini berarti volume NaOH 0,5 N yang bereaksi dengan sampel adalah 33,1 mL, kemudian dihitung kadarnya dengan persamaan kesetaraan yang dicantumkan dalam Farmakope Indonesia Edisi IV dimana : 1 mL natrium hidroksida 0,5 N setara dengan 45,04 mg C9H8O4 sehingga, dari kesetaraan di atas diperoleh nilai kadar asetosal sebesar 99,39 %. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa sampel asetosal tidak memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia, dimana syarat kadar asetosal berada pada 99,5 % 100,5 %. Hal ini dapat terjadi karena bahan asetosal yang digunakan mungkin telah terkontaminasi zat lain selama penyimpanan. Dalam praktikum kali ini, seharusnya juga dilakukan uji batas logam berat yang terkandung di dalam sampel bahan baku. Uji batas logam berat adalah uji yang dimaksudkan untuk mengetahui bahwa cemaran logam yang direaksikan dengan ion sulfida menghasilkan warna pada kondisi penetapan dan tidak melebihi batas logam berat yang tertera pada monografi, dinyatakan dalam % (bobot) timbal dalam zat uji. Untuk pengujian batas logam berat menurut Farmakope Indonesia edisi IV dilakukan dengan cara melarutkan 2 gram asetosal ke dalam 25 ml aseton dan ditambahkan 1 ml air dan 10 ml hidrogen sulfide,

dimana kompleks warna yang terbentuk tidak lebih gelap dari pembanding yang dibuat dari dari 25 ml aseton P, 2 ml larutan baku timbal dan 10 ml hidrogen sulfida. Nilai batas logam yang dipersyaratkan dalam monografi asetosal di Farmakope Indonesia adalah tidak lebih dari 10 bpj. Namun,dalam penelitian kali ini tidak dilakukan pengujian batas logam berat karena tidak adanya alat dan bahan yang menunjang untuk uji tersebut.

KESIMPULAN 1. Praktikan dapat mengetahui cara menganalisis bahan baku asetosal agar sesuai dengan persyaratan bahan baku obat 2. Metode analisis asetosal yang dilakukan yaitu dengan menggunakan Uji pendahuluan yang meliputi pemeriksaaan organoleptis, uji kelarutan, dan uji Ph; sementara Uji kualitatif yang dilakukan yaitu dengan pengujian melting point dengan rentang suhu 141-150,3 C dan spektrofotometri IR dengan hasil kemurnian sebesar 84,988 %; Uji kuantitatif meliputi : Titrasi balik dengan kadar 99,39 %. Dari hasil praktikum dapat dikatakan bahwa sampel bahan baku yang didapat tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia, yaitu sebesar 99,5% - 100,5% .

You might also like