You are on page 1of 15

Sebelum belajar biofarmasetika, kita harus tahu apa itu bifarmasetika.

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Sedangkan bioavaibilitas sendiri menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang masuk saluran sistemik. Maksud dari pernyataan diatas bahwasanya biofarmasetika ini mempelajari tentang berbagai bentuk sediaan obat misal larutan, suspensi, tablet, intravena, intramuskular, bukal, dan lain sebagainya yang nanti dibandingkan kadar obat tersebut dalam darah. Saya ambil contoh obat x. ketika x diberikan kepada pasien misal dalam bentuk tablet dan larutan, maka dari mulai awal mula obat bekerja, jumlah total obat yang masuk ke saluran sistemik pastinya akan berbeda antara tablet dan larutan. Misal saya beri 500 mg x, maka kemungkinan dalam bentuk larutan ada sekitar 400 mg dalam tablet 300 mg. Ini yang dimaksud dengan biavaibilitas. yaitu berapa banyak obat yang masuk saluran sistemik dibanding jumlah awal. Jika dalam bentuk larutan 0,8 sedangkan bentuk tablet 0,6. Yang mempengaruhi bagaimana jumlah obat (kadar) yang berada pada pada saluran sistemik dibandingkan dengan kadar awal adalah rute pemberian obat tersebut, contoh intravena hampir 100% obat masuk ke saluran sistemik. Selain rute, yang mempengaruhi bioavaibiltas obat antara lain sifat fisika kimia dan tempat obat diabsorpsi. Dari sifat fisika kimia obat seperti kemampuan obat dalam menembus membran yang lipofil, pH obat, dan lain sebagainya akan memmpengaruhi berapa banyak obat yang bisa masuk ke saluran sistemik. Tempat oabt diabsorpsi juga mempengaruhi biavaibilitas obat, dimana boavaibilitas obat akan berbeda ketika diberikan di bawah lidah, ketika obat diabsorpsi di lambung, atau diabsorpsi di usus. Mengapa hal ini perlu dipelajari? agar kita dapat dapat memilih dengan tepat rute pemberian obat yang akan diberikan kepada pasien, apakah perlu pemberian cepat, atau mungkin lambat. Sehingga nantinya pasien mendapat obat dengan rute yang tepat.

BIOFARMASETIKA oleh: Nurul Aulia Rahmi Pharmacy'08

Dalam proses terapi, terdapat beberapa faktor yang menentukan yaitu: diagnosa penyakit secara akurat, status klinik jelas, dan penentuan obat tepat. Di sinilah pokok pentingnya biofarmasetika yang erat hubungannya dengan penentuan obat yang tepat. Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara sifat fisikokimia formulasi dengan bioavailabilitas obat (Shargel & Andrew, 2005) hal 85. Penggunaan obat untuk berbagai penyakit merupakan proses yang banyak seginya dan merupakan proses yang kompleks. Pertama: molekul aktif harus diketahui dan harus digunakan secara rasional, dalam arti keuntungan penggunaan dibandingkan kerugian bahaya/racunnya. Kedua: obat harus diformulasi dengan membuat suatu bentuk sediaan yang sesuai dan mengandung dosis yang tepat, serta diberikan dengan cara tepat pula sehingga mencapai organ/jaringan sasaran yang dituju. Ketiga: harus diperhitungkan dosis regimen sehingga obat dapat efektif dalam tubuh, yang ditentukan/disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis/patologis dan klinis (Joenoes, 2006) hal 21. Biofarmasetika adalah pengkajian faktor-faktor fisiologis dan farmasetik yang mempengaruhi pelepasan obat dan absorbansi dari bentuk sediaan. Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan penambah menetapkan laju pelepasan obat dari bentuk sediaan dan transport berikutnya melewati membran-membran biologis, sedangkan fisiologis dan kenyataan biokimia menentukan nasib obat dalam tubuh (Lachman dkk, 2007) hal 427.

Bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan mengatur pelepasan obat sedemikian sirkulasi diperoleh yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel & Andrew, 2005) hal 85. Tolok ukur fisiko-kimia dari obat dan bentuk sediaan dapat diukur dengan tepat dan teliti secara in vitro, sedangkan perkiraan kuantitatif dari absorbsi obat yang berarti dapat diperoleh hanya melalui percobaan yang tepat secara ini vivo. Teknik farmakokinetika memberikan arti dalam mengukur proses-proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi obat pada organisme yang memakannya (hewan atau manusia) (Lachman dkk, 2007) hal 427. Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorbsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorbsi yang cepat dan absorbsi lengkap menjadi lambat, kecepatan absorbsi diperlambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali (Shargel & Andrew, 2005) hal 85. Evaluasi dan interprestasi dari studi Biofarmaseutika merupakan bagian yang integral dari pengembangan obat obat, (drug-product-design). Penelitian-penelitian di bidang biofarmaseutika mencakup: - Pengaruh dan interaksi antara formulasi obat dan teknologi, pembuatannya dalam berbagai bentuk sediaan yang akhirnya sangat menentukan kerja obat sesuai dengan sifat fisiko kimianya. rupa ke agar

sistemik

pengobatan

- Pengaruh dan interaksi antara obat dan lingkungan biologik pada situs penyerapan dan cara pemberian obat yang akhirnya menentukan disposisi bahan/zat aktif dalam tubuh. - Pengaruh dan interaksi dari zat aktif dengan organisme menentukan ketersediaan obat secara biologis. (Joenoes, 2006) hal 22. Pada formulasi obat dilakukan dengan cara-cara berikut: 1. Pemilihan bahan baku zat aktif (sumbernya) yang paling baik dengan melihat kecepatan disolusinya. Kecepatan disolusi zat aktif dari sediaan dalam saluran pencernaan makanan cukup erat kaitannya dengan kecepatan absorbsi oba tersebut dalam tubuh. 2. Evaluasi sifat/kualitas sediaan dalam tahap pengembangan.Bidang formulasi dalam pengembangan dan perbaikan formula sediaan, khususnya sediaan padat (tablet, kapsul, kaplet) dengan efek sistemik yang digunakan secara oral, yaitu dengan menentukan profil disolusi zat aktif dari masing-masing formula yang dicoba. 3. Penilaian tahap akhir mutu sediaan. Sediaan- sediaan yang formulasinya sudah selesai dan siap untuk diproduksi dalam skala besar untuk mulai dipasarkan, khususnya sediaan-sediaan dalam bentuk padat yang digunakan secara oral, diperiksa mutunya dengan menilai bioavailabilitasnya. Penilaian bioavailabilitas dilakukan secara komparatif dengan

membandingkannya terhadap bioavailabilitas sediaan lain (dalam bentuk sediaan dan komposisi zat aktif yang sama), yang diproduksi oleh pabrik farmasi lain yang patut dijadikan sebagai patokan yang baik. 4. Penilaian ketepatan aturan dosis (dosage regimen). Dengan mengetahui therapeutic window dan data farmakokinetikanya, aturan dosis obat dinilai kembali, apakah dosis tidak terlalu besar sehingga pemakaian obat tidak efisien atau malah mungkin akan timbul efek-efek yang tidak diharapkan, atau mungkin terlalu kecil sehingga obat tidak akan bekerja secara efektif (Anonim2, 2010). Pelayanan informasi farmakokinetika (perjalanan obat di dalam tubuh). Pelayanan informasi farmako kinetika adalah pelayanan informasi mengenai perjalanan obat di dalam tubuh, yang meliputi : o Sistem transpor (bentuk dan cara pemberian obat) o Resorpsi (sistem penyerapan)

o Biotranformasi (sistem jaringan dalam merubah bentuk obat menjadi hidrofil di dalam hati agar metabolitnya dapat masuk ke sistem pembuluh darah/vena porta o Distribusi (sistem penyebaran obat bersama metabolitnya oleh darah keseluruh jaringan organ tubuh) o Ekskresi (sistem pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh oleh ginjal melalui air seni/urine, kulit (keringat), paru-paru, empedu dan air susu) (Anonim1,2010).

Proses Biovailabilitas Obat Bioavailabilitas obat ialah jumlah relatif obat atau zat aktif suatu produk obat yang diabsorpsi, serta kecepatan obat tersebut masuk ke dalm peredaran sistemik. Efek terapetik suatu obat sangat bergantung pada kadar obat dalam darah/plasma; dengan demikian bioavailabilitas obat dari bentuk sediaannya akan mempengaruhi respon penderita terhadap obat (Joenoes, 2006)
hal 120.

Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui serangkaian proses antara lain:

Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu: (1) jenis produk obat (misal: larutan, suspensi, supositoria); (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel & Andrew, 2005) hal 86. Faktor Farmasetik Yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Faktor-faktor yang memperngaruhi bioavailabilitas obat aktif yaitu: 1. Disintegrasi Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat. 2. Pelarutan Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal sebagai stagnant layer, berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan 3. Sifat Fisikokimia Obat Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas: luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat yang polimorf. 4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat Berbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat (bahan pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan media alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat

membentuk kompleks yang larut atau tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium karbonat membentuk kalsium tetrasiklina yang tidak larut air. (Shargel & Andrew, 2005) hal 95-98. Pertimbangan Dalam Rancangan Bentuk Sediaan Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Bahan-bahan aktif dan in-aktif harus aman bila digunakan seperti yang diharapkan. Obat yang dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek terapik yang diharapkan dapat dicapai (Shargel & Andrew, 2005). Pertimbangan berikutnya meliputi: - Pertimbangan penderita; obat yang pahit dapat dibuat berupa tablet/kapsul yang dienkapsulasi atau disalut, ukuran cukup kecil agar mudah ditelan, dan frekuensi pemberian dosis dijaga minimum. - Pertimbangan dosis; obat tersedia dalam beberapa macam kekuatan dosis dengan didasarkan luas permukaan tubuh, berat badan, dan dengan pemantauan konsentrasi obat dalam tubuh. - Pertimbangan frekuensi pemberian dosis; dikaitkan dengan waktu paruh eliminasi obat dan konsentrasi terapetik obat. - Pertimbangan terapetik; tergantung kondisi terapi yang segera atau akut. Misalnya obat penghilang rasa sakit harus diabsorbsi cepat agar rasa sakitnya cepat hilang, sedangkan obat asmatik dirancang untuk diabsorbsi lambat agar efek perlindungan dari obat berakhir setelah jangka waktu panjang. - Efek samping pada saluran cerna; untuk obat yang mengiritasi lambung dapat diatasi dengan disalut enterik atau untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dapat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan. (Shargel & Andrew, 2005) hal 113-116. Pertimbangan Rute Pemberian Obat masuk ke tubuh dengan cara intravaskuler atau ekstravaskuler. Cara intravaskulas, ialah obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik; seperti pemberian intravena (suntikan atau

infus), intraarterial, dan intrakardial. Pemberian intravascular berarti obat tidak perlu mengalami fase pertama untuk memberikan efek, yaitu absorpsi. Sebaliknya, pada cara ekstravaskular, obat harus diabsorpsi dahulu sebelum masuk ke peredaran sistemik; pemberian oral/per oral, intramuskular, subkutan, rektan, dan topical. Syarat untuk absorpsi ialah obat (atau zat berkhasiat dari obat) harus terbebaskan dahulu dari bentuk sediaannya, dan ini bergantung tidak saja pada faktor fisiko-kimia obat tetapi juga pada lingkungan dari bagian tubuh dimana obat diserap. Faktor dari teknik pembuatan (farmako-teknik) merupakan penentu untuk pembebasan obat dari bentuk sediaannya ke dalam cairan tubuh (Joenoes, 2006) hal 22. a. Produk-Produk Parenteral - Obat-obat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk ke dalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh. Hanya untuk obat yang larut dalam air. Pelarut yang digunakan adalah kombinasi propilen glikol dengan pelarut lain. - Obat-obat yang diinjeksikan secara intramuskular melibatkan penundaan absorpsi karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran darah. Formulasi intramuskular dapat untuk melepaskan obat secara cepat atau lambat dengan mengubah pembawa sediaan injeksi. Keuntungannya adalah fleksibilitas formulasi. b. Tablet Bukal Tablet ini dirancang untuk terlarut di bawah lidah dan diabsorpsi dalam rongga mulut melalui mukosa mulut, serta mengandung bahan tambahan yang cepat melarut seperti laktosa. Contoh tablet sublingual nitrogliserin. c. Aerosol Seringkali digunakan untuk obat yang diberikan ke dalam system pernapasan. Ukuran partikel dari suspense (dalam ukuran kabut) menentukan tingkat penetrasinya. Obat dengan partikel bergerak dengan cara sedimentasi atau gerak Brown ke dalam bronkhioli. Contoh isotarina dan isoproterenol. d. Sediaan Transdermal Pemberian sediaan transdermal memberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit. Obat yang diberikan secara transdermal tidak dipengaruhi oleh first pass effects. Contoh transderma-V untuk mabuk perjalanan yang melepaskan skopolamin melalui kulit telinga. e. Sediaan Oral

Keuntungan utama sediaan oral adalah kemudahan-pemakaian dan menghilangkan ketidaknyamanan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama adalah persoalan potensial dari penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas berubah-ubah yang disebabkan absorpsi tidak sempurna atau interaksi obat. f. Sediaan Rektal Sediaan rektal disukai untuk obat-obat yang menyebabkan mual. Laju pelepasan obat sediaan ini tergantung pada sifat komposisi dasar dan kelarutan obat yang terlibat, serta terhindar dari first pass effects. (Shargel & Andrew, 2005) hal 116-121.

DAFTAR PUSTAKA Anonim1.2010. Pelayanan Informasi Biofarmasi Bentuk Obat Terhadap Efek Terapi. http://www.kimiafarmaapotek.com/index.php/Info-Kesehatan/Pelayanan-informasibiofarmasi-bentuk-obat-terhadap-efek-terapinya.html

(diakses pada 7 Oktober 2010). Anonim2.2010. Sekilas Tentang Farmakokinetika http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14_SekilasTentangSubBidangFarmakokinetika.pdf/1 4_SekilasTentangSubBidangFarmakokinetika.html (diakses pada 7 Oktober 2010). Lachman, L, H.A Liebermen., Joseph L.K. 2007. Teori dan Praktek Farmasi Industri 2 Edisi Ke3. UI Press. Jakarta. Joenoes, N. Zaman. 2006. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Edisi ke-3. Airlangga University Press. Surabaya. Shargel, L. & Andrew B.C.YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press. Surabaya

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat Faktor-faktor yang mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
PENDAHULUAN Biofarmasetika mengkaji penerapan ilmu fisika, kimia, dan biologi terhadap obat, bentuk sediaan obat dan absorpsi obat. Pertimbangan biofarmasetika berperan penting dalam keberhasilan merancang bentuk sediaan obat. Evaluasi dan interpretasi studi biofarmasetika merupakan bagian integral dari pengembangan obat (drug product design). Hal-hal yang dikaji dalam bidang biofarmasetika antara lain : Pengaruh dan interaksi antara formulasi obat dan teknologi Pembuatan obat menjadi berbagai bentuk sediaan sangat menentukan kerja obat sesuai dengan sifat fisikokimianya. Pengaruh dan interaksi antara obat dan lingkungan biologik pada site absorpsi dan cara pemberian obat menentukan disposisi zat aktif dalam tubuh Pengaruh dan interaksi antara zat aktif dengan tubuh menentukan bioavailabilitas obat secara biologis Studi biofarmasetika merupakan studi interdisipliner, membuka cakrawala pandang baru bagi ilmu farmasi dan biomedik. Biofarmasetika lebih mendalami pemberian obat secara ekstravaskuler. Cara pemberian ekstravaskuler yang terpenting adalah pemberian per oral. Fase biofarmasi obat per oral meliputi : pembebasan obat dari bentuk sediaan, disintegrasi dan disolusi di dalam cairan tubuh, absorpsi obat ke dalam peredaran sistemik, sehingga obat tersedia secara biologis untuk bekerja. Cara pemberian per oral merupakan cara pemberian obat yang paling lazim, karena : Praktis, melalui saluran alamiah tubuh

Aman, tidak merusak jaringan tubuh Mudah, dapat dilakukan sendiri, tanpa bantuan tenaga medis Menyenangkan untuk anak-anak dan pemberian dalam jangka waktu lama Efektif untuk terapi penyakit saluran cerna Obat yang diberikan secara per oral dapat diabsorpsi, atau tidak diabsorpsi. Obat yang tidak diabsorpsi ditujukan untuk efek lokal di dalam saluran cerna. Contohnya adalah antasida dan laksansia. Obat yang diabsorpsi masuk ke dalam sistem sirkulasi darah melalui membran saluran cerna untuk memberikan efek sistemik. Sebagian obat dan atau metabolitnya dieksresikan melalui urine, faeces, keringat, air susu ibu (ASI), saliva, dan paru. BIOAVAILABILITAS OBAT Pada tahun 1960-an diketahui bahwa produk obat yang kandungan zat berkasiatnya sama atau setara, memberikan efek terapetik yang berbeda. Terbukti dua produk obat yang secara kimia setara (pada penilaian in vitro) dapat memberikan perbedaan jumlah kadar obar yang dicapai dalam plasma darah (penilaian in vitro). Hal ini disebabkan perbedaan jumlah zat berkhasiat yang tersedia untuk memberikan efek terapetik. Syarat terpenting suatu produk obat adalah zat aktifnya dapat mencapai bagian tubuh tempat obat itu diharapkan bekerja, serta dalam jumlah yang cukup untuk memberikan respon farmakologis. Syarat ini disebut ketersediaan obat secara biologis atau bioavailabilitas (biological availability). Biological availability (ketersediaan biologis) adalah jumlah relatif obat atau zat aktif suatu produk obat yang diabsoprsi, serta kecepatan obat itu masuk ke dalam peredaran darah sistemik. Obat dinyatakan available (tersedia) jika setelah diabsoprsi obat tersebut tersedia untuk bekerja pada jaringan yang dituju dan memberikan efek farmakologis setelah berikatan dengan reseptor di jaringan tersebut. Pharmaceutical availability (ketersediaan farmasetik) adalah ukuran untuk bagian obat yang in vitro dilepaskan dari bentuk sediaannya dan siap diabsorpsi. Dengan kata lain, kecepatan larut obat yang tersedia in vitro. Dari penelitian pharmaceutical availability sediaan tablet diketahui bahwa setelah ditelan, tablet akan pecah (terdesintegrasi) di dalam lambung menjadi granul-granul kecil. Setelah granul pecah, zat aktif terlepas dan melarut (terdisolusi) di dalam cairan lambung atau usus. Setelah melarut, obat tersedia untuk diabsorpsi. Peristiwa ini disebut fase ketersediaan farmasetik. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa obat yang diberikan dalam bentuk larutan, mencapai ketersediaan farmasetik lebih cepat dibandingkan sediaan tablet, karena tidak mengalami tahap desintegrasi. Pharmaceutical availability ditentukan secara in vitro di laboratorium dengan mengukur kecepatan melarut zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution rate). Pengukuran ini menggunakan metode dan alat yang ditetapkan oleh USP untuk meniru seakurat mungkin keadaan alami di dalam saluran cerna. Sayangnya, cara penelitian yang praktis ini jarang memberikan hasil yang berkorelasi dengan kadar obat dalam plasma in vivo, sehingga perlu dilanjutkan dengan pengukuran bioavailabilitas obat. Biovailabilitas diukur secara in vivo dengan menentukan kadar plasma obat setelah tercapai keadaan tunak (steady state). Pada keadaan ini, terjadi kesetimbangan antara kadar obat di semua jaringan tubuh dan kadar obat di plasma relatif konstan karena jumlah obat yang diabsorpsi dan dieliminasi adalah sama. Umumnya terdapat korelasi yang baik antara kadar plasma dan efek

terapetik obat. Beberapa tahun terakhir ini, dilakukan penelitian untuk menentukan kadar obat di dalam saliva (air liur), yang lebih mudah dan sederhana dibandingkan penentuan kadar dalam plasma. Ternyata, terdapat korelasi pula antara kadar obat di dalam air liur dan kadar obat di dalam plasma. Biovailabilitas obat sangat bergantung pada 2 faktor, yaitu faktor obat dan faktor pengguna obat. Terdapat kemungkinan obat yang sama diberikan pada orang yang sama, dalam keadan berbeda, memberikan kurva dosis-respon yang berbeda. Faktor obat Kelarutan obat Ukuran partikel Bentuk fisik obat Dosage form Teknik formulasi Excipient Faktor Pengguna Umur, berat badan, luas permukaan tubuh Waktu dan cara obat diberikan Kecepatan pengosongan lambung Gangguan hepar dan ginjal Interaksi obat lain Berikut akan dibahas lebih lanjut tentang pengaruh faktor obat terhadap biovailabilitas. Faktor penderita tidak disinggung lebih lanjut karena berada di luar ranah biofarmasetika PARTICLE SIZE Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan luas permukaan yang kontak dengan cairan. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil ukuran partikel, dosis obat yang diberikan dapat diperkecil pula, sehingga signifikan dari segi ekonomis. Terdapat hubungan linier antara kecepatan absorpsi obat dengan logaritma luas permukaan. Sebagai contoh, pemberian 500 mg griseofulvin bentuk mikro memberikan kadar plasma yang sama dengan 1 g griseofulvin bentuk serbuk. Bahan-bahan obat yang memberikan perbedaan absorpsi antara bentuk halus dan tidak halus antara lain, acetosal, barbiturate, calciferol, chloramphenicol, digoxin, griseofulvin, hydroxyprogesterone acetate, nitrofurantoine, spironolactone, sulfadiazine, sulfamethoxine, sulfathiazole, sulfasoxazole, tetracycline, tolbutamide DRUG SOLUBILITY Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia (atau modifikasi kimiawi obat) dan sifat fisika (atau modifikasi fisik obat) Modifikasi Kimiawi Obat a. Pembentukan Garam Obat yang terionisasi lebih mudah dalam air dari[pada bentuk tidak terionisasi. Pembentukan garam ini terutama penting dalam hal zat aktif berada dalam saluran cerna, kelarutan modifikasi sewaktu transit di dalam saluran cerna, karena perbedaan pH lambung dan usus. Peningkatan kecepatan pelarutan obat dalam bentuk garam berlaku untuk obat-obat berikut :

penicilline, barbiturate, tolbutamide, tetracycline, acetosal, dextromethorphane, asam salisilat, phenytoine, quinidine, vitamin-vitamin larut aie, sulfa, quinine b. Pembentukan Ester Daya larut dan kecepatan melarut obat dapat dimodifikasi dengan membentuk ester. Secara umum, pembentukan ester memperlambat kelarutan obat. Beberapa keuntungan bentuk ester, antara lain : 1. Menghindarkan degradasi obat di lambung Ester dari erythromycin (misalnya erythromycine succinat) memungkinkan obat tidak rusak pada suasana asam di lambung. Ini merupakan semacam pro-drug, dalam suasana lebih basa di usus, terjadi hidrolisis erythromycine ethylsuccinat. 2. Memperlama masa kerja obat Misalnya esterifikasi dari hormon steroid. 3. Menutupi rasa obat yang tidak enak Contohnya adalah ester dari kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat dan Kloramfenikol stearat dihidrolisis di usus halus untuk melepaskan kloramfenikol. Modifikasi Bentuk Fisik Obat a. Bentuk Kristal atau Amorf Bentuk amorf tidak mempunyai struktur tertentu, terdapat ketidakteraturan dalam tiga dimensinya. Secara umum, amorf lebih mudah larut daripada bentuk kristalnya. Misalnya Novobiocin, kelarutan bentuk amorf 10 x dari bentuk Kristal. b. Pengaruh Polimorfisme Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablur dalam berbagai bentuk Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi penyimpanan. Polimorfisme terjadi antara lain pada steroid, sulanilamida, barbiturat, kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat terdapat dalam bentuk polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi hanya bentuk polimorf B dan bentuk amorf yang dapat dihidrolisis oleh usus. c. Bentuk Solven dan Hidrat Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut dapat membentuk ikatan stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya dalah air, ikatan ini disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifatsifat yang berbeda dengan bentuk anhidrat, terutama kecepatan disolusi. Ampisilina anhidrat lebih mudah larut daripada Ampisilian trihidrat. FAKTOR FISIKA KIMIA LAIN a. pKa dan Derajat Ionisasi Obat berupa larutan dalam air dapat diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu : Elektrolit kuat ; seluruhnya berupa ion (contoh : Na, K, Cl) Non elektrolit ; tidak terdisosiasi (contoh : gula, steroid) Elektrolit lemah ; campuran bentuk ion & molekul Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan pH lingkungan. Kebanyakan obat dalam bentuk asam lemah atau basa lemah, yang terabsorpsi secara difusi aktif, sehingga hanya bentuk molekul (tidak terionisasi) yang terabsorpsi. Akibatnya perbandingan ion/molekul sangat menentukan absorpsi. Konsentrasi ion dari obat berupa asam lemah (misal asetosal) meningkat dengan peningkatan pH

media air. Sebaliknya Konsentrasi molekul dari obat berupa asam lemah (misal alkaloid)meningkat dengan apeningkatan pH media air. Sehingga asam lemah lebih banyak diabsorpsi pada suasana asam (di lambung, pH 1-3), sedangkan basa lemah lebih banyak diabsorpsi di usus (pH 6-8). b. Koefisien Partisi Lemak-Air Koefisien partisi menunjukkan rasio konsentrasi obat dalam 2 cairan yang tidak bercampur. Koefisien partisi merupakan indeks dari solubilitas komparatif suatu zat dalam 2 solven. Koefisien partisi lemak-air digunakan sebgai indikator penumpukan obat di dalam lemak tubuh. Normal lemak dalam tubuh adalah 10-25%, pada keadaan obesitas dapat menjadi 50% atau lebih. Pada penderita obesitas, obat dengan daya larut lemak tinggi akan menumpuk pada lemaktubuh dalam jumlah besardan menjadi depo di mana obat dilepaskan secara perlahan. Pada pemberian barbiturate, pelepasan obat diperlama dari depo, menyebabkan kondisi hang-over. TEKNIK FORMULASI Faktor-faktor manufaktur (pembuatan obat) dapat mengurangi bioavailabilitas obat, diantaranya : 1. Peningkatan kompresi (tekanan) pada waktu pembuatan meningkatkan kekerasan tablet. Hal ini menyebabkan waktu disolusi dan disintegrasi menjadi lebih lama. 2. Penambahan jumlah bahan pengikat pada formula tablet atau granul akan meningkatkan kekerasan tablet, mengakibatkan perpanjangan waktu disintegrasi dan disolusi 3. Peningkatan jumlah pelincir (lubricant) pada formula tablet akan mengurangi sifat hidrofilik tablet sehingga sulit terbasahi (wetted). Hal ini memperpanjang waktu disintegrasi dan disolusi 4. Granul yang keras dengan waktu kompresi yang cepat serta kekuatan yang tinggi akan menyebbakan peningkatan suhu kompresi, sehingga obat yang berbentuk kristal mikro akan membentuk agregat yang lebih besar. EXCIPIENT Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif. Biasanya dibuat dalam bentuk sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan tambahan (excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari bentuk bentuk sediaannya sebelum mengalami disolusi, sehingga excipients dapat mengakibatkan perubahan disolusi dan absorpsi obat. Contoh kasus pengaruh excipient pada bioavailabilitas terjadi pada tahun 1971 di Australia. Banyak pasien yang mengkonsumsi tablet fenitoin memperlihatkan gejala keracunan, meskipun kadar fenitoin tablet tersebut tepat. Ternyata bahan pengisi pada formula tablet tersebut menggunakan laktosa, sebelumnya kalsium sulfat. Penggantian Laktosa menyebabkan peningkatan bioavailabilitas sehingga terjadi efek toksis. Zat-zat aktif permukaan (seperti tween dan span) atau zat hidrofil yang mudah larut dalam air (polivinil pirolidon, carbowax), dapat meningkatkan kecepatan disolusi tablet. Sebaliknya, zatzat hidrofob yang digunakan sebagai lubricant (misal magnesium stearat) dapat menghambat disolusi. Kini lebih umum digunakan aerosol sebagai lubricant karena tidak menghambat disolusi Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (pada suspensi), seperti gom dan gelatin umumnya juga memperlambat disolusi. Sebaliknya zat penghancur seperti amilum justru mempercepat disolusi. Pemilihan basis suppositoria juga mempengaruhi kecepatan absorpsi obat. Kini lebih umum basis sintetis dibandingkan oleum cacao. Tetapi bberapa obat sukar dilepaskan dari basis ini. Sehingga indometasin dan kloralhidrat lebih baik dibuat dalam basis carbowax, sedangkan aminofilin dalam basis oleum cacao.

BENTUK SEDIAAN Kecepatan disolusi sangat dipengaruhi oleh bentuk sediaan obat. Kecepatan disolusi dari berbagai sediaan oral menurun dengan urutan berikut : Larutan < suspensi < emulsi < serbuk < kapsul < tablet < film coated (salut film) < dragee (salut gula) < enteric coated (salut selaput) < sustained release/retard Dapat dilihat bahwa tablet, meskipun murah dan praktis, lebih rendah efektivitasnya dibandingkan sediaan cair, serbuk, dan kapsul. PENUTUP Beberapa dekade lalu, Farmasis hanya memberikan sedikit perhatian terhadap evaluasi biofarmasetik obat ketika melansir produk obat baru. Di masa mendatang, perizinan produk obat baru seharusnya disertai dengan evaluasi biofarmasetika dan farmakoninetika, termasuk bioavailabilitas obat. Keharusan in telah diberlakukan oleh beberapa negara. Bioekivaensi in vivo pada manusia merupakan keharusan untuk obat-obat dengan therapeutical window sempit, yaitu perbandingan LD50/ED50 kurang dari dua.

You might also like