You are on page 1of 7

1

Tafsir Gerakan Intelektual Profetik Oleh: Nur Afilin

PENDAHULUAN Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa organisasi memiliki ciri khas masingmasing dalam menjabarkan misinya. Implementasi misi dalam bentuk gerak langkah dan aksi sebuah organisasi ini tentulah tidak boleh bertentangan dengan visinya. Sehingga segala aktifitas organisasi memiliki kerangka berpikir yang jelas. Begitulah tafsir penulis tentang frase paradigma gerakan. Paradigma gerakan ini pun dimiliki wajihah dakwah tercinta, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Berdasarkan dokumen Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) KAMMI teranyar pasca Muktamar VII di Aceh, maka nampak bagaimana para perumus menafsirkan paradigma gerakan KAMMI. Kutipannya ialah sebagai berikut: Paradigma Gerakan KAMMI adalah cara pandang menyeluruh (holistik) KAMMI terhadap dirinya sendiri dan cara mendefinisikan perannya di dalam realitas kebangsaan dan peradaban. Paradigma Gerakan KAMMI membentuk konstruksi gerakan dan menderivasikannya dalam program dan agenda gerakan (Pasal 1 ayat 7) Kemudian, melihat Pasal 7 GBHO yang sama, kita dapati bahwa ada 4 paradigma gerakan KAMMI, yaitu: Gerakan Dakwah Tauhid, Gerakan Intelektual Profetik, Gerakan Sosial Independen, dan Gerakan Politik Ekstraparlementer. Lebih lanjut, penjabaran masing-masing gerakan di atas pun sudah tertera di GBHO. Keempat paradigma gerakan tersebut ialah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya, satu paradigma gerakan bisa mempengaruhi berjalan optimal atau tidaknya paradigma gerakan yang lain. Sebagai contoh, paradigma gerakan pertama, gerakan dakwah tauhid, akan sangat membantu terlaksananya paradigma gerakan kedua, yaitu gerakan intelektual profetik. Hasil yang didapat dalam paradigma gerakan dakwah tauhid akan menjadi bekal utama implementasi gerakan intelektual profetik. Akan tetapi, pada kesempatan kali ini, penulis akan fokus kepada paradigma gerakan kedua, yaitu Gerakan Intelektual Profetik. Mengapa? Tak lain karena sebagian

besar kader KAMMI ialah mereka yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Mereka akrab dengan dunia ilmu pengetahuan dan berbagai disiplin ilmu yang berbeda satu sama lain. Maka, mengetetahui tafsir gerakan intelektual profetik ala KAMMI menjadi hal yang penting.

ISI Definisi Gerakan Intelektual Profetik Secara etimologi, intelektual mengandung makna: Cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; (yg) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman (KBBI Daring) Sementara itu, profetik berarti: berkenaan dng kenabian atau ramalan (KBBI Daring) Adapun definisi intelektual profetik yang pertama dan paling mendasar telah dicantumkan dalam Pasal 7 ayat 2 poin a sebagai berikut: Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Oleh karena itu, penulis mendefiniskan gerakan intelektual profetik sebagai sebuah falsafah KAMMI yang mengharuskan kadernya untuk menjadikan keimanan sebagai sudut pandang dalam menilai dan bergelut menggunakan nalar untuk menguasai suatu bidang tertentu. Iman dan Pengetahuan Bicara ilmu pengetahuan dan iman, maka QS Al-Alaq: 1-5 mungkin akan terlintas di benak kita. Lima ayat yang pertama kali Allah turunkan ini mengisyaratkan hal yang agung. 1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha

Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-Alaq: 1-5) Secara tegas perintah pertama yang Allah turunkan ada di ayat pertama surat Al-Alaq, yaitu membaca. Tentu aktifitas ini amat erat kaitannya dengan dunia ilmu pengetahuan, bukan? Maka, seharusnya sampai ayat ini saja kita sudah bisa simpulkan bahwa Islam itu menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Namun, jika masih ada manusia yang belum puas dan terus menggali ayat Al-Quran lain, niscaya mereka akan menemukan jawaban yang sama: Islam menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Belum lagi banyak hadits Rasulullah SAW yang juga akan mendukung pernyataan ini. Amat aneh jika saat ini masih banyak kaum Muslimin sendiri yang tak yakin dengan Islam. Sehingga, mereka patutnya menanggalkan titel kesarjanaannya karena tak meyakini fakta tak terbantahkan ini. Mengapa? Seorang Prof. Alparslan Acikgenc telah membuktikan secara teoritis bahwa Al-Quran dan Hadits sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yg mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam (Islamia vol. III no. 4, hal. 9). Siapa yang tak mengenal ketinggian ilmu profesor yang pernah mengajar filsafat di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia ini? Seorang Herbert Spenser pun tercatat pernah mengeluarkan dua pernyataan berikut ini: Ilmu itu berlawanan dengan khurafat/ takhayul, tapi tidak berlawanan dengan agama. (Modul Tarbiyah Islamiyah, hal. 80) Seorang ilmuwan yang melihat setitik air mengetahui bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hydrogen dengan perbandingan tertentu. Sekiranya perabandingan itu berubah, niscaya zat itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air. Dengan itu ia akan meyakini kebesaran Sang Pencipta, kekuasaan, dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya, orang yang bukan ahli dalam ilmu alam akan melihatnya tidak lebih daripada setitik air (Modul Tarbiyah Islamiyah, hal. 80-81)

Lalu, sepandai apakah orang yang mengklaim bahwa Islam serta keimanan dan ilmu pengetahuan harus dipisahkan?

Konsekuensi Setelah jelas bahwa ada keterkaitan yang erat antara ilmu pengetahuan dan keimanan, maka amat tepat jika kemudian KAMMI menjadikan gerakan intelektual profetik sebagai salah satu paradigma gerakannya. Yang kemudian harus kita jaga ialah konsistensi dalam mengimplementasikan konsep ideal ini. Menurut penulis, paling sedikit ada dua domain agenda yang harus direalisasikan berkaitan dengan paradigma gerakan yang satu ini. Kedua domain aksi nyata KAMMI tersebut yaitu: pertama, penguatan keimanan kader KAMMI. Lalu,yang kedua ialah peningkatan tradisi ilmiah umum para kader KAMMI. Domain aksi atau agenda pertama, yaitu pejagaan kualitas keimanan kader KAMMI. Rasanya amat lucu jika kita mengaku membawa label profetik namun masuk ke dalam golongan kaum jablai alias jarang belaian Islam. Pun akan kurang bertenaga rasanya jika perjuangan yang berat ini harus dilalui dengan ruhani yang kering kerontang. Memang ada kalanya perjuangan sekelompok manusia tetap eksis dengan tanpa mengindahkan aspek keimanan. Namun, dapat dipastikan bahwa perjuangan tersebut tidak akan mampu meraih kemenangan yang sejati, tetapi hanya bentuk kemenangan semu. Sosok Muhammad Al-Fatih sepertinya layak kita telaah dalam hal ini. Pendidikan keimanan dan keislaman yang diterimanya benar-benar luar biasa di samping keilmuan umumnya. Menurut Felix Siauw (2012) rasa keimanan itulah yang menjadi bahan bakar terdahsyatnya. Bahan bakar inilah yang pada gilirannya sanggup menghasilkan energi terbesar yang sanggup mengalahkan segala bentuk kebatilan. Demi memenuhi agenda ini, haruslah dilakukan dengan mengkaji Islam itu sendiri. Seminar, kajian, halaqah, talkshow, mabit, diskusi, dan beragam kegiatan lain yang mengandung materi penyubur keimanan mutlak diperlukan. Seraya menambahnya ilmu keislaman penyubur keimanan itu, maka implementasi ilmu pun harus terus

ditingkatkan. Juga intensitas dalam menyampaikan ilmu. Dalam hal ini, prinsip BAA ala Aa Gym harus benar-benar dipegang, yaitu: Belajar, Amalkan, Ajarkan. Lalu, agenda kedua dalam rangka mengimplementasikan gerakan intelektual profetik ialah peningkatan tradisi ilmiah dan penguasaan bidang tertentu. Tradisi ilmiah di sini bermakna keilmuan secara umum di luar ilmu agama. Bentuk real dari tradisi ini ialah membaca, berdiskusi, dan menyampaikan gagasannya melalui tulisan dan/ atau lisan. Harapannya, dengan melakukan tiga tradisi itu, keilmuan pada bidang-bidang tertentu yang dikuasai mampu mencapai kepada derajat mahir atau dapat diandalkan. Manusia dengan penguasaan bidang-bidang ipoleksosbudhankam yang tinggi tentu akan lebih bermanfaat keberadaannya dan memiliki pengaruh di tengah masyarakatnya. Bukankah dengan pengaruh dan , kekuasaan lebih, dan kharisma diri dakwah yang kita emban ini akan lebih mudah tersampaikan kepada umat? Berbicara ilmu pengetahuan seperti ini, rasanya amat perlu untuk kembali menilik sejarah kemajuan ilmu pengetahuan di masa lalu. Zaman dimana kejayaan Islam masih berada di puncaknya. Nama-nama seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Al-Khawaritsmi, dan banyak tokoh lain menjadi bukti sangat nyata konsep intelektual profetik ini. Setelah sejak kanak-kanak mereka dididik dengan keislaman yang kuat, pendidikan keilmuan umum pun mereka peroleh. Hasilnya, perkawinan antara keimanan yang tinggi dan ilmu pengetahuan yang unggul pun tercipta.

Realita Lain idelisme lain realita. Itulah fenomena yang kerap kita jumpai di zaman akhir ini. Penulis belum berani menuding siapa saja model manusia seperti ini. Namun, di sini penulis hanya mengajak untuk bersama introspeksi sejauh mana implementasi gerakan intelektual profetik ini telah kita capai. Untuk mengetahuinya mungkin kita bisa mulai dengan memetakan persentase penggunaan waktu kita. Apakah sudah ada porsi yang adil antara mengkaji ilmu Islam dengan ilmu umum? Adil di sini tak selalu berarti 50:50. Kita bisa mengukur diri berapa persentase yang lebih sesuai keadaan juga kebutuhan kita saat ini.

Tanpa bermaksud suuzhon kepada pihak tertentu. Fenomena pohon tak berbuah sering manjadi konsumsi organisasi kepemudaan. Sepanjang pengamatan, informasi yang didapat, serta gejala yang tertangkap saat ini, maka agaknya persentase organisasi yang masih konsisten dengan nilai keislaman dan keilmiahan sekaligus amat sedikit. Organisasi yang dulu dikenal kental dengan nuansa Islam kini mulai banyak mengelupas nilai keislamannya. Bagaimana dengan KAMMI? Maka, kita pulalah yang saat ini mengisi barisan di dalamnya yang akan menentukannya. Secara kasar, bolehlah kita berkata, Biarlah mereka silau dengan kilau duniawi yang mudah melunturkan nilai Islam dan mengagungkan nilai sekular, namun kami tak rela KAMMI menjadi seperti itu. Itulah mungkin perkataan ekstremnya. Namun, upaya untuk bersama-sama mengajak harakah lain bersatu di atas kebenaran harus tetap dikedepankan. Kalimat tadi ialah pernyataan pemungkas jika dakwah antar harakah tak menghasilkan buah. Bukankah hidayah itu milik Allah?

PENUTUP Sebagai penutup, penulis akan sampaikan kutipan pernyataan Immanuel Kant (1724 1804) sebagai berikut: I felt the need to leave behind all the books I read in order to believe in God Maka, hendaknya sebagai seorang muslim plus kader KAMMI dengan paradigma gerakan intelektual profetiknya, kita harus menjawabnya dengan menyatakan kutipan berikut: Saya perlu meninggalkan semua buku yang saya baca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya pada Tuhan (Zarkasyi, 2008 dalam ISLAMIA Vol. III no. 40) Intinya, melalui makalah ini penulis ingin mengajak mari bersama-sama kita mulai mengimplementasikan paradigma gerakan intelektual profetik ini. Jika sudah bisa terimplementasi dengan baik, niscaya kejayaan Islam di tanah air dan dunia ini sudah di depan mata.

REFERENSI Garis-Garis Besar Haluan Organisasi KAMMI. Pengurus Pusat KAMMI. Jakarta. ISLAMIA Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Vol. III no. 40. 2008. Khairul Bayaan Press: Jakarta. Modul Tarbiyah Islamiyah. Tim Penulis Modul. 2009. Rabbani Press: Jakarta.

You might also like