You are on page 1of 18

Pelatihan: PERHITUNGAN UNIT COST DAN INA-DRG/CASEMIX

Posted on February 20, 2009 by bumimadani

PENDAHULUAN Usaha untuk mencapai efesiensi yang tinggi di Rumah Sakit hanya bisa dilaksanakan apabila pihak manajemen benar-benar melakukan pengendalian terhadap biaya dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan. Pengendalian bisa dilakukan, apabila didukung dengan informasi biaya yang baik untuk setiap pelayanan yang ada di Rumah Sakit. Melalui informasi ini diharapkan akan tercipta suatu kesadaran biaya (Cost Culture) diantara semua pihak yang bekerja di Rumah Sakit. Informasi biaya ini secara berkala diberikan ke semua unit/Instalasi yang bertujuan agar segala tindakan semua pihak di Rumah Sakit dilakukan dengan memikirkan biaya yang terjadi. Namun, untuk mencapai tujuan yang diharapkan harus didahului dengan adanya informasi biaya per pelayanan (unit cost). Karena itu proses penghitungan unit cost, terutama metode yang dipilih, harus benar-benar tepat dan meminimalisasi unsur bias, agar kebijakan efesiensi atau penetapan tarif yang dilakukan manajemen dapat berjalan dengan efektif. Meningkatkan kemampuan SDM dalam melakukan proses perhitungan unit cost dan pemilihan metode yang tepat merupakan solusi yang jitu untuk meminimalisasi kesalahan dalam proses penghitungan. Berdasarkan latar belakang di atas, pelatihan ini bertujuan untuk membantu peserta dalam memahami konsep dan implementasi akuntansi biaya di Rumah Sakit serta sedikit mengkorelasikannya dengan perkembangan terkini mengenai Casemix. Pelatihan ini akan membantu manajemen Rumah Sakit dalam melakukan perhitungan unit cost per pelayanan. Peserta dianjurkan membawa data biaya di rumah-sakitnya masing-masing untuk dibahas dalam sesi pelatihan ini. Tujuan Setelah mengikuti pelatihan ini peserta diharapkan: 1. Memahami dan mampu mengidentifikasi berbagai implementasi strategi tarif di Rumah Sakit 2. Mampu melakukan komparasi terhadap perhitungan tarif berdasarkan perhitungan unit cost dan berdasarkan casemix 3. Memahami dan mampu mengaplikasikan pendekatan Real Cost dalam menghitung unit cost di Rumah Sakit untuk setiap jasa layanan dan mampu mengidentifikasi jenis-jenis biaya yang terjadi di Rumah Sakit. 4. Mampu menyiapkan draft laporan analisis unit cost tiap-tiap pelayanan yang ada di Rumah Sakit Materi Materi-materi yang akan dibahas dalam pelatihan ini: 1. Pola Penentuan Tarif di Rumah Sakit 2. Sistem INA-DRG/Casemix dalam Penentuan Tarif di Rumah Sakit 3. Positioning Rumah Sakit dalam Penentuan Kebijakan Tarif 4. Konsep dan Implementasi Akuntansi Biaya di Rumah Sakit 5. Pendekatan Real Cost dalam Analisis Biaya Perpelayanan dan Tahap Tahap Perhitungan Unit Cost dan Alokasi Biaya Tidak Langsung 6. Praktek Menghitung Unit Cost. Kasus 1: Analisis Biaya Di Instalasi Rawat Inap 7. Praktek Menghitung Unit Cost. Kasus 2: Analisis Biaya di Instalasi Radiologi 8. Praktek Menghitung Unit Cost. Kasus 3: Analisis Biaya

http://bumimadani.wordpress.com/2009/02/20/pelatihan-2/
TUESDAY, APRIL 19, 2011

PELAKSANAAN INA-DRG/INA-CBG DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MASIH BERKENDALA


Penerapan INA-DRG yang kemudian digantikan oleh INA-CBG di Rumah sakit Umum di Daerah dilaksanakan dalam rangkaian

pelaksanaan Program Jamkesmas untuk pasien tidak mampu. Adapun pelaksanaannya masih banyak menghadapi kendala, di antaranya adalah sebagai berikut : 1. SUMBER DAYA MANUSIA Penerapan INA-DRG/INA-CBG dilaksanakan oleh pengelola di rumah sakit dengan pelaksananya 1 (satu) orang petugas di Catatan Medik, 2(dua) orang petugas di pelayanan dan 3(orang) petugas keuangan. Sehingga untuk pelaksanaannya di RS relatif tidak ada hambatan. Hambatan muncul pada verifikator, dimana jumlah verifikator yang hanya dua orang dirasa kurang mencukupi untuk menyelesaikan tugasnya melakukan verifikasi terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh RS. Hal ini menyebabkan lamanya penyelesaian administrasi untuk klaim biaya oleh RS ke bendahara Jamkesmas. Menurut pihak RS, idealnya jumlah verifikator minimal tiga orang. Ini terlihat dari administrasi yang sudah diselesaikan oleh RS untuk mendapatkan verifikasi dan bisa diklaimkan baru sampai bulan Oktober 2010, padahal pihak RS sudah menyelesaikan sampai bulan Maret 2011. 2. SARANA PRASARANA Untuk sarana prasarana cukup memadai. Software yang dibuat oleh Pusat relatif mudah dan bisa dikerjakan oleh pihak RS. Dibandingkan IRNA-DRG, untuk IRNA-CPG lebih banyak jenis penyakit yang masuk, yang sebelumnya tidak ada di IRNA-DRG. Codding juga cukup mudah ditemukan dan diterapkan.

3. KLAIM PEMBIAYAAN Klaim pembiayaan dari Bendahara jamkesmas juga relatif lancar dan tidak ada kendala. Uang yang ada di bendahara Jamkesmas diklaimkan oleh pihak RS, kemudian masuk sebagai pendapatan RS. Ratarata tiap bulan mencapai Rp 650.000.000,- (enamratuslimapuluh juta rupiah) Untuk besaran penggantian biaya perawatan, bila dijumlah total keseluruhan, pihak RS tidak mengalami kerugian. Beberapa kasus ada yang di atas tarif RS, beberapa ada yang di bawah RS. Kasus yang besarannya di bawah tarif RS, biasanya yang berhubungan dengan perawatan di ruang rawat inap. Permasalahan yang muncul dalam penggantian biaya operasional RS, berkisar pada paket yang di bawah tarif RS, diantaranya : a. Kasus penyakit tetanus dewasa yang beberapa kali terjadi di berbagi RS di Banjarnegara. Plafon paket untuk perawatan kasus tetanus adalah Rp 1.300.000,00 (satu juta tiga ratus ribu rupiah), termasuk untuk perawatan rawat inap. Ini tidak mencukupi, karena untuk Anti Tetanus Serum (ATS) saja mencapai Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah). Belum termasuk obat-obat lain. Ditambah biaya perawatan, jauh dari cukup karena biaya total yang dibutuhkan mencapai lima juta rupiah lebih. b. Semua kasus persalinan dengan seksio sesaria. Paket yang disediakan plafonnya Rp 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah), sementara tarif RS mencapai Rp 2.300.000,00 (dua juta tiga ratus ribu rupiah). Dalam paket ini sudah termasuk tranfusi darah dan pengadaan darah bila membutuhkan. Tarif RS belum termasuk tranfusi darah. Karena kasus rujukan yang harus diakhiri dengan seksio cukup banyak, maka pihak RS tombok cukup banyak.

c. Paket apendiktomi tanpa komplikasi. Plafon paket yang disediakan adalah Rp 1.700.000,00 (satu juta tujuh ratus ribu rupiah) termasuk perawatan di bangsal. Tarif RS mencapai Rp 2.500.000,00 dan belum termasuk rawat inap. d. Perawatan luka bakar dengan paket di Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) tidak mencukupi untuk perawatan luka bakar dengan luas lebih dari 30%. Karena obat dan lama perawatan. Agar bisa disesuaikan dengan paket terbagi. e. Kasus Diabetes mellitus (IDDM) di mana pasien sudah bergantung pada insulin yang diberikan secara injeksi. Pasien berobat jalan kontrol sebulan sekali dan sekali kontrol mendapatkan R/ untuk insulin injeksinya mencapai tiga flakon yang tiap flakon harganya Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Sehingga sekali kontrol untuk insulin saja dibutuhkan Rp 450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah), belum obat lainnya. Padahal paket yang disediakan untuk sekali kontrol hanya Rp 125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah). Ada kekurangan yang cukup besar yang harus ditambah oleh RS. f. Pengadaan darah untuk tranfusi. Pada INA-CPG, darah untuk tranfusi sudah termasuk di dalam paket biaya tindakan (operasi, seksio sesaria) dan tidak dipisahkan untuk diklaimkan tersendiri seperti sebelumnya. Ini menyulitkan, terutama pada kasus seksio sesaria yang hampir selalu membutuhkan darah. Paket yang disediakan di bawah tarif RS, sehingga darah tidak mendapatkan penggantian biaya. Ini menyebabkan tagihan PMI terhadap RS untuk darah menjadi besar. Tiap bulannya mencapai rata-rata antara Rp 40.000.000,00 Rp 50.000.000,00 (empat puluh hingga lima puluh juta rupiah).

Untuk ini pihak RS mengharapkan agar pengadaan darah untuk tranfusi dapat diklaimkan terpisah. Jangan dijadikan satu paket, karena tidak semua tindakan membutuhkan tranfusi darah. g. Untuk mengatasi kekurangan ini pihak RS melakukan subsidi silang, sehingga semua biaya operasional bisa tertutup. h. Secara keseluruhan pihak RS masih mendapatkan sisa pembayaran dari jamkesmas untuk operasional. Untuk menutup operasional ini, agar bebepata paket dapat dipertimbangkan untuk dinaikkan plafonnya. 4. TIM CLINICAL PATHWAY RS Sampai saat ini RS tidak memiliki Tim Clinical Pathway (CP) yang menyusun CP milik rumah sakit sendiri. Tarif RS masih belum berdasarkan CP yang disusun RS. Tarif masih disusun mengikuti tarif sebelumnya dan penyesuaian dengan menggunakan persentase dari tarif sebelumnya. Pihak manajemen RS menghendaki tidak perlu ada Tim CP tersendiri dan penyusunan CP sudah termasuk tuposi dari Komite Medik (Komed). Tapi sampai sekarang, Komed yang diketuai oleh dokter spesialis penyakit dalam ini tidak berfungsi untuk menyusun CP. Masih ada keengganan di antara anggota Komed untuk menyusun CP. Tapi Komed telah menyusun Protap pelayanan sesuai yang distandarkan dalam akreditasi RS. Tapi baru sebatas pada pelayanan klinik saja. Pihak RS mengharapkan ada aturan yang jelas dari pusat mengenai Komed ini dan termasuk dalam penyusunan CP. http://langkahkecil-junita.blogspot.com/2011/04/pelaksanaan-ina-drgina-cpg-dirumah.html

abby-4my-true-love

Papers
Home Articles Article Love & Care My Poem It is me about Favorite Links Contact Me Friends & party My Pets Vacation album My Resume

ASKESKIN DAN PAKET INA-DRG VERSI DEPKES

INA-DRG adalah panduan tarif pelayanan kesehatan di rumah sakit yang besarnya ditentukan berdasarkan klasifikasi jenis penyakit dan prosedur atau tindakan pelayanan di rumah sakit sesuai dengan tipe rumah sakit dan kelas perawatan. Standar tarif baku pelayanan rumah sakit yang disusun oleh Depkes Cq Direktorat Pelayanan Medik selama 1,5 tahun , dibuat dengan mengacu pada standar penyusunan tarif pelayanan rumah sakit internasional atau International Refined Diagnosis Related Groups (IR-DRG). Ina-DRG merupakan pola pembayaran yang bersifat prospektif dan suatu terobosan dalam sistem pembayaran atas pelayanan kesehatan di RS dalam kaitan dengan mekanisme jaminan kesehatan. Diharapkan dengan demikian, tarif di semua RS pemerintah akan disamakan. Penyamarataan ini akan menjadi acuan untuk melakukan verifikasi klaim. Standar tarif baku itu dibuat berdasarkan kumpulan data biaya pelayanan rumah berbasis layanan di 15 rumah sakit vertical. Ke-15 rumah sakit tersebut berturut-turut RSU H.Adam Malik (Medan), RSUP Dr. M. Djamil

(Padang), RSUP Dr.M.Hoesin (Palembang), RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati, RSUP Persahabatan, RS Anak dan Bunda Harapan Kita, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RS Kanker Dharmais (Jakarta), RSUP Dr. Hasan Sadikin (Bandung), RSUP Dr.Sardjito (Yogyakarta), RSUP Dr.Kariadi (Semarang), RSUP Sanglah (Denpasar), RSUP Dr.Wahidin Sudiro Husodo (Makassar) dan RSUP Dr.R.Kandow (Manado). Berbagai penelitian/tesis mahasiswa Pascasarjana UI Peminatan Ekonomi dan Asuransi Kesehatan tentang cost of treatment dan clinical pathway suatu penyakit berdasarkan diagnosis related group telah dibuat dengan cara mengeksplorasi, membandingkan dan merumuskan clinical pathway walaupun masih dalam bentuk studi kasus di rumah sakit-rumah sakit. Penelitian-penelitian tersebut meliputi abortus, craniotomy, malaria, apendisitis, typhoid, diare, section caesaria, stroke, demam berdarah dan HIV/AIDS. Penelitian tersebut membuktikan bahwa Ina-DRG dapat diterapkan di Indonesia. IR-DRG yang merupakan induk INADRG, dikembangkan oleh 3M HIS untuk merespon keinginan negara-negara yang belum mengembangkan spesikasi pengelompokkan paket pelayanan penyakitnya sendiri. System ini menggunakan pengkodean dan struktur yang sama dengan AP-DRG dan APR-DRG System. Perbedaannya terletak pada pembagian pelayanan penyakit. IR-DRG hanya mempunyai 3 sub bagian yaitu, pengelompokan berdasarkan pelayanan penyakit, yaitu (1) tidak ada kesulitan dan

komorbiditas (without complication and comorbidities), (2) terdapat kesulitan dan komorbiditas, dan (3) mempunyai kesulitan dan komorbiditas yang tinggi. Berikut ini, hasil pengelompokkan pelayanan penyakit yang disusun berdasarkan IR-DRG:
MDC1 Nervous System . MDC2 Eye . MDC3 Ear, Nose, Mouth and Throat . MDC4 Respiratory System . MDC5 Circulatory System . MDC6 Digestive System . MDC7 Hepatobiliary Sys/Pancreas . MDC8 Musculoskeletal Sys & Conn Tissue . MDC9 Skin, Subcutaneous Tissue & Breast . MDC10 Endocrine & Metabolic . MDC11 Kidney and Urinary Tract . MDC12 Male Reproductive System . MDC13 Female Reproductive System incl. Pre- & Postpartum . MDC14 Childbirth . MDC15 Newborns & other Neonates . MDC16 Blood & Blood Forming Organs & Immunol Disrds . MDC17 Neoplastic Disorders (Haematological & Solid Neoplasms) . MDC18 Infectious and Parasitic Diseases & HIV Infections . MDC19 Mental Diseases and isorders . MDC20 Alcohol/Drug Use . MDC21Injuries, Poisoning and Toxic Effects of Drugs & Burns . MDC22 Factors Influencing Health Status & Other Contacts w Health Service . MDC23 Medical Outpatient Visit

Catatan : MDC = Major Diagnostics Classification Beberapa negara, tidak menciptakan pengelompokan DRG sendiri, tetapi secara sederhana mengadopsi system DRG yang sudah berkembang. Hal ini terkait dengan pembiayaan yang dikeluarkan untuk satu paket pelayanan penyakit. Berikut ini

negara-negara yang telah mengadopsi system DRG, metode yang ditempuh dan pembiayaan paket yang dilakukan. Bagaimana dengan INA-DRG askeskin yang digagas Depkes? untuk

Pada dasarnya paket INA-DRG di kategorisasikan berdasarkan: (1) data klinik (mis: diagonis, prosedur), (2) data demograpi (mis: umur, jender), (3) data sumber pembiayaan (mis: biaya-biaya yang dikeluarkan, lama tinggal). Dengan system paket, pelayanan askeskin diharapkan akan mengendalikan biaya di rumah sakit dengan menghitung pembiayaan askeskin yang disedikan pemerintah kedalam paket INADRG tersebut diatas. Pengalaman selama ini menunjukan, sejak digulirkannya program askeskin ini, pada awal tahun 2005 sasaran program berjumlah 36,1 juta jiwa penduduk miskin di seluruh Indonesia. Sejalan dengan usulan Pemerintah Daerah dan bersamaan dengan program PKPS-BBM, mulai pertengahan tahun 2005 sampai tahun 2006 sasaran diperluas menjadi 60 juta jiwa penduduk miskin dan mendekati miskin. Pada tahun 2007 sasaran disesuaikan dengan jumlah rumah tangga miskin (RTM) penerima subsidi tunai langsung (SLT) yaitu 19,1 juta RTM atau sekitar 76,4 juta jiwa. Maskin memperoleh pelayanan kesehatan secara berjenjang mulai dari rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas, sampai rujukan rawat jalan spesialistik dan rawat inap di kelas tiga RS. Dalam pelayanan kesehatan termasuk pemenuhan kebutuhan obat dan kebutuhan medis lainnya sesuai dengan standar pelayanan yang rasional. Sejalan dengan semakin bertambahnya peserta maka kebutuhan anggaran setiap tahun semakin meningkat. Kebutuhan anggaran untuk program ini dihitung Rp.

5.000,-/orang/bulan. Pada tahun 2005 kebutuhan anggaran sebesar Rp. 2,1 trilyun, pada tahun 2006 meningkat menjadi Rp. 3,6 trilyun dan pada tahun 2007 menjadi Rp. 4,6 trilyun. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan sejak tahun 2005 sampai pertengahan 2007 telah menunjukkan adanya peningkatan yang cukup besar pada pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh Maskin. Ini menunjukkan bahwa program Askeskin telah dikenal dan dimengerti oleh Maskin yang memerlukan pelayanan kesehatan tanpa harus mengeluarkan biaya apapun. Sebagai contoh pemanfaatan RS untuk rawat jalan meningkat hampir lima kali lipat, yaitu dari 1,4 juta kunjungan pada tahun 2005 menjadi 6,9 juta kunjungan pada tahun 2006. Sedangkan untuk rawat inap meningkat hampir tiga kali lipat, yaitu dari 562.167 kasus menjadi 1,6 juta kasus pada tahun 2006. Sementara itu pada semester pertama tahun 2007, rawat jalan di RS sudah mencapai 2,6 juta kunjungan, dan rawat inap sudah mencapai 831.139 kasus. Diperkirakan pada semester kedua pemanfaatan RS akan meningkat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pemanfaatan RS juga tampak mulai dari kasus biasa sampai dengan kasus-kasus khusus (katastropik) yang membutuhkan biaya besar seperti operasi jantung, operasi kanker, hemodialisa, operasi cesar dan sebagainya. Sebagai contoh tindakan operasi jantung meningkat hampir delapan kali lipat, dari 380 orang pada tahun 2005 menjadi 2.950 orang pada tahun 2006, dan hemodialisa meningkat dari 4.862 orang pada tahun 2005 menjadi 5.418 orang pada tahun 2006. Secara sederhana, INA-DRG, berdasarkan data-data yang ada, tentu dapat dengan mudah dibuat, apalagi dengan menggunakan perangkat software

yang sesuai, namun beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: 1. Hampir semua negara yang menerapkan system DRG, melalui mekanisme asuransi. Jerman, Belanda, Belgia dengan Global Budget. Amerika Serikat, dengan Medicare dan Medicaid, bagaimana dengan INA-DRG? siapa perusahaan asuransinya? Bagaimana cara kerja lembaganya. Apabila bukan untuk profit, bagaimana keberlangsungannya? Bagaimana system informasi managementnya, ruang lingkup, batasan-batasan penggunaan data pribadi, kerahasiaan pasien (kartu elektronik menyimpan data-data pasien yang bersifat rahasia, riwayat penyakit, dsb) 2. System paket yang ada pada INA-DRG memformulasikan total biaya yang akan dikeluarkan oleh setiap rumah sakit, sehingga setiap rumah sakit, berdasarkan pengalaman tahun lalu dapat memperkirakan total biaya yang dikeluarkan tahun ini. Dengan askeskin, dana yang tersedia, dalam rangka pengendalian biaya rumah sakit, tentu dilakukan dengan memberikan kuota masingmasing kepada 15 rumah sakit yang sudah ditunjuk. Mekanisme ini disebut global budget untuk rumah sakit-rumah sakit. Pada umumnya mekanisme pembiayaan dengan global budget sangat dipengaruhi oleh tingginya kepesertaan. Semakin tinggi jumlah kepesertaan, semakin tinggi pemanfaatan

pelayanan kesehatan. Tentu akan semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan pelayanan rumah sakit. Hal ini semakin lama akan membebani rumah sakit, karena harga obat yang berada diluar INA-DRG. Apabila perusahaan farmasi belum bergabung, maka akan timpang sistemnya. Demikian pula halnya dengan klinik-klinik, dokter praktek-dokter praktek, mereka akan kehilangan mata pencaharian, karena klien-klien mereka akan memanfaatkan pelayanan rumah sakit.

ASKESKIN : Verifikator Independen & Persoalan Yang Menyertainya Pemerintah saat ini mulai menempatkan tim verifikator independen untuk mendukung penyelenggaraan program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) di rumah sakit. Namun sekelumit pertanyaan masih akan menyisakan persoalan baru, masihkah masyarakat miskin akan memperoleh pelayanan kesehatan gratis mengingat begitu beratnya beban biaya yang dikeluarkan pemerintah? Masihkan pelayanan dapat memenuhi semua jenis pelayanan kesehatan (universal coverage), terkait biaya yang besar untuk penyakit tertentu (cuci darah, operasi jantung, dst)? Masihkah pelayanan rumah sakit-rumah sakit dapat terus melanjutkan melayani masyarakat miskin sementara setiap keputusan medis, (diagnosa, prosedur, dan tindakan) akan di verifikasi oleh verifikator yang belum ada

lembaga yang menaunginya (Depkes, Rumah Sakit atau PT, Askes) Baru-baru ini Departemen Kesehatan mengeluarkan kebijakan baru dalam program pelayanan kesehatan masyarakat miskin (Askeskin) 2008. Kebijakan baru itu antara lain penyaluran dana langsung dari Kantor Perbendaharaan Kas Negara (KPKN) Departemen Keuangan langsung ke rumah sakit melalui bank yang ditunjuk. dari situs depkes, diketahui bahwa mulai Februari 2008 ini pemerintah menyalurkan dana Askeskin sebesar Rp 540 milyar. Dana tersebut sebagai uang muka pelayanan kesehatan peserta Askeskin di rumah sakit untuk bulan Januari dan Februari 2008. Alokasi dana Askeskin 2008 sebesar Rp 4,6 triliun diharapkan cukup untuk menjamin kesehatan 76,4 juta jiwa masyarakat miskin (www.depkes.go.id). Kebijakan ini diharapkan dapat menanggulangi masalah tunggakan PT.Askes terhadap klaim yang dilakukan oleh pihak RS dimana sering mengalami keterlambatan pembayaran kepada pihak RS sehingga kegiatan operasional RS sehari-harinya terhambat dan ujung-ujungnya dapat merugikan pasien. Kebijakan ini mengakibatkan tagihan rumah sakit tidak lagi melalui PT Askes yang masih mempunyai tunggakan klaim Askeskin sekitar Rp 1,2 milyar. Permasalahan yang dihadapi PT. ASKES adalah pembayaran klaim yang selama ini dilakukan di Askes daerah, yang menurut menteri kesehatan seharusnya oleh kantor Askes pusat. Namun masalahnya, sistem ini mengharuskan seluruh dokumen klaim dikirim ke Jakarta. Rentan waktu yang dibutuhkan cukup lama. Akibatnya, verifikasi akan lebih lama. Disamping itu, tidak mungkin bagi PT.

ASLKES pusat mampu memverifikasi semua klaim dari 1.570 unit kesehatan (rumah sakit, apotek, dan laboratorium) seluruh Indonesi dalam waktu singkat. Permasalahan lain, rekening bank unit-unit kesehatan itupun tidak seragam sehingga transaksi pembayaran butuh waktu lebih lama. Rekening rumah sakit daerah umumnya ada di Bank Pembangunan Daerah, sedangkan PT Askes menggunakan Bank Mandiri. Transfer antar bank juga menambah daftar panjang penyeselesain tagihan rumah sakit. Dalam hal sistem informasi, perubahan pembayaran dari kantor cabang ke pusat juga harus disertai perubahan sistem imformasi Askes, hal ini juga butuh biaya. Data-data menunjukkan bahwa kinerja PT. Askes terhadap rumah sakit rendah, Dilihat dari data kunjungan, pada tahun 2005 kunjungan rawat jalan di rumah sakit sebesar 1,45 juta kunjungan, terjadi peningkatan pada tahun 2006 yaitu 6,92 juta kunjungan dan sampai September 2007 mencapai 4,9 juta kunjungan. Sementara itu kunjungan rawat inap tingkat lanjut di rumah sakit juga mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu 562 ribu kunjungan pada tahun 2005, meningkat menjadi 1,58 juta kunjungan pada tahun 2006 dan sampai September 2007 sebanyak 1,53 juta kunjungan. Hal ini tidak diimbangi dengan kinerja yang optimal. Hingga saat ini, tagihan ke rumah sakit masih belum terbayar. Lima RS milik pemprov dililit krisis keuangan. Mereka memiliki utang kepada pihak ketiga mencapai Rp 84 miliar. Pihak ketiga itu supplier obat dan peralatan kesehatan serta para karyawan yang insentifnya belum dibayar. Lilitan utang tersebut menimpa karena klaim asuransi masyarakat miskin (Askeskin) yang diajukan ke PT Askes belum dibayar.

Kelima RS tersebut adalah RSU Dr Soetomo (Rp 33 miliar), RSU Haji (Rp 3 miliar), RSJ Menur (Rp 1 miliar), RSU dr Syaiful Anwar Malang (Rp 36 miliar, Rp 8 miliar di antaranya belum diklaim ke PT Askes), serta RSU dr Soedono Madiun (Rp 11 miliar). Saat ini sejumlah rumah sakit daerah hampir kolaps lantaran klaim mereka belum dibayar Askes. Tagihan klaim untuk rumah sakit di Bengkulu mencapai Rp 4 miliar, di Karawang Rp 10 miliar, dan di Garut Rp 6 miliar. Total tunggakan klaim hingga akhir Juli lalu mencapai Rp 1,6 triliun. Di sisi lain perusahaan farmasi juga hingga akhir Juli 2007 belum ada pelunasan. PT Askes belum mengucurkan dana yang menjadi hak kelima RS itu. Imbas berikutnya, karena RS tidak bisa melayani, masyarakat miskin juga tidak bisa menebus obat di luar RS karena harganya tidak terjangkau di wilayah tersebut. Kinerja PT. Askes patut dinilai, Pertama, bahwa secara faktual, ternyata PT Askes tidak selalu memiliki cabang atau perwakilan di seluruh kabupaten, apalagi di tingkat kecamatan atau desa. Keterbatasan jaringan ini tidak bisa menjangkau seluruh rumah sakit di pelosok Indonesia, Kedua, berdasar hasil verifikasi Depkes terhadap semua klaim rumah sakit, PT Askes menunggak Rp 545 miliar, padahal, dana Askeskin 2006 masih tersisa Rp 126 miliar diluar management fee lima persen dari total anggaran Rp 3,6 triliun (APBN 2006). Seharusnya klaim Askeskin dari rumah sakit mestinya dibayar pada bulan yang sama. Ketiga, kebijakan penurunan harga obat oleh Menkes berdasar SK Nomor 720/2006, guna mendukung program Askeskin, mengakibatkan farmasi membatasi produksinya tak lebih dari 46 item obat generik. Hal ini dikarenakan harga jual obat generik yang ditetapkan Menkes lebih rendah daripada harga bahan bakunya.

Akibatnya, BUMN farmasi tidak dapat memproduksi obat-obatan generik secara terus menerus. Hal ini juga meningkatkan jumlah tagihan PT. Askes. Keempat, jika dibandingkan dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), hanya dengan anggaran Rp 900 miliar (2004) masih dapat disisakan dana cukup besar, sedangkan program Askeskin, meski anggarannya lima kali lipat, ternyata tidak cukup. Fakta ini menegaskan bahwa SK Menkes No 417/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM) tidak efektif. PT Askes regional hanya menjadi juru bayar sedangkan proses verifikasi klaim dari Askes pusat dan departemen kesehatan. Hal ini tidak dapat menyelesaikan mekanisme pembayaran tepat waktu. Terkait dengan pengalihan tersebut, untuk menjamin kelancaran pelayanan Askeskin 2008, Menkes menerbitkan Surat Edaran No.115/Menkes/II/2008 tanggal 4 Februari 2008 yang ditujukan kepada seluruh kepala dinas kesehatan propinsi, kabupaten/kota, dan para direktur rumah sakit di seluruh Indonesia, yang menyatakan bahwa program pelayanan kesehatan masyarakat miskin di rumah sakit tahun 2008 tetap dilaksanakan dan dibiayai dari dana bantuan sosial yang bersumber dari pemerintah dan bukan merupakan dana retribusi pelayanan kesehatan. Pemerintah secara bertahap akan menyalurkan secara langsung dana Askeskin Tahun 2008 yang besarnya Rp4,6 triliun ke rekening penyedia pelayanan kesehatan melalui bank-bank yang ditunjuk pemerintah. Untuk program baru ini Departemen Kesehatan telah membentuk tim verifikasi independen di setiap rumah sakit yang melayani masyarakat

miskin. model yang dilakukan untuk tim verifikasi ini adalah Tim verifikasi tersebut diusulkan dinas kesehatan kabupaten/kota kemudian diangkat oleh Kepala Dinas Kesehatan propinsi atas nama Menteri Kesehatan dan sebagai alat kontrol terhadap tim ini maka tim verifikasi independen secara berkala akan diaudit oleh aparat pengawas internal (BPKP dan Inspektorat Jenderal Depkes) maupun aparat pengawasan eksternal (BPK). Kegiatan verifikasi yang sebelumnya dikerjakan oleh PT Askes, juga dialihkan ke tim verifikator independen yang akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya langsung ke Departemen Kesehatan. Verifikator yang ada sekarang adalah kader Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) yang jumlahnya 7.000 di seluruh Indonesia. Mereka dilatih lalu ditempatkan di rumah sakit. Disamping itu menteri kesehatan juga mengatakan pihaknya akan merekrut 2.644 tenaga verifikator independen yang akan ditempatkan di setiap rumah sakit rujukan Askeskin guna melakukan verifikasi tagihan biaya pelayanan kesehatan melalui Askeskin. Sementara PT Askes dalam hal ini hanya ditugasi mengatur pengelolaan termasuk identifikasi sasaran yang telah ditetapkan oleh Pemerintah daerah dan pembagian kartu, membuat sistem pencatatan laporan, melakukan monitoring dan membuat pelaporan keuangan. Dengan beban pekerjaan baru tersebut, PT Askes kini hanya menerima ongkos pengelolaan (management fee) sebesar 2,5 persen dari total dana Askeskin 2008 dari pemerintah. Dasar hukum pengalihan dari mekanisme asuransi menjadi hanya semata-mata bantuan sosial ini tidak dapat di dasarkan pada Undang-Undang SJSN. Meskipun ada putusan Mahkamah Konstitusi yang

membatalkan pasal 5 ayat (2),(3) dan (4) Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, namun pasal 52 ayat (1) yang tidak diputus oleh MK, tetap berlaku. Pasal ini menyatakan bahwa JAMSOSTEK (Persero), TASPEN (Persero), ASABRI (Persero) dan AKES (Persero) masih tetap berlaku sepanjang belum dibentuk badan jaminan sosial nasional seperti yang dimaksud dalam undang-undang SJSN ini. http://abby-4my-true-love.tripod.com/id20.html

You might also like