You are on page 1of 51

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus

SITI RUKAYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ABSTRAK

SITI RUKAYAH. Gambaran Sel Darah Putih pada Kelinci yang Divaksin dengan Ekstrak Caplak Rhipicephalus sanguineus. Dibimbing oleh RETNO WULANSARI dan TUTUK ASTYAWATI. Rhipicephalus sanguineus merupakan caplak berumah tiga. Caplak tersebut adalah vektor berbagai penyakit antara lain protozoa darah (Thelerosis, Anaplasmosis dan Babesiosis). Infestasi caplak dalam jumlah yang banyak merupakan kendala dalam pemeliharaan kelinci sebagai hewan kesayangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon sel darah putih pada kelinci akibat pemberian vaksin ekstrak caplak Rhipicephalus sanguineus. Sebanyak 8 ekor kelinci dibagi dalam 2 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor kelinci yang tidak divaksin dan 4 ekor kelinci yang divaksin. Vaksinasi dilakukan 2 kali melalui subkutan dengan interval 2 minggu. Pengambilan contoh darah dilakukan pada minggu ke-0, 2, 4, 6 dan 7 setelah vaksinasi untuk melihat diferensial leukosit pada kelinci tersebut. Uji tantang dilakukan pada minggu ke-5 dengan menanam caplak pada daun telinga kelinci. Hasil penelitian menunjukkan pemberian vaksin ekstrak caplak R. sanguineus pada hewan coba kelinci cenderung meningkatan jumlah leukosit, heterofil, eosinofil dan limfosit. Vaksinasi ekstrak caplak R. sanguineus cukup efektif dalam memberikan respon sistem imun melalui gambaran sel darah putih.

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus

SITI RUKAYAH

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Skripsi : Gambaran Sel Darah Putih pada Kelinci yang Divaksin dengan Ekstrak Caplak Rhipicephalus sanguineus Nama NRP : Siti Rukayah : B04104060

Disetujui

Drh. Retno Wulansari, MSi, PhD Pembimbing I

Drh. Tutuk Astyawati, MS Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal lulus :

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Sang Maha Agung, Maha Berkehendak, atas segala karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Gambaran Sel Darah Putih pada Kelinci yang Divaksin dengan Ekstrak Caplak Rhipicephalus sanguineus ini merupakan salah satu syarat kelulusan studi program sarjana strata 1 pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Tiada keberhasilan yang kita peroleh mutlak karena usaha dan kekuatan sendiri. Atas segala dukungan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua tercinta Bapak Suwono dan Ibu Kumiatun, Adik Heru Pranoto serta keluarga besar penulis 2. Drh. Retno Wulansari, MSi, PhD dan Drh. Tutuk Astyawati, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, didikan, perhatian, waktu serta kesabaran yang telah diberikan kepada penulis. 3. Drh. Endang Rahman, MS selaku dosen penguji atas segala masukan yang diberikan kepada penulis. 4. Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penilai atas segala masukan yang diberikan kepada penulis. 5. Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS selaku dosen pembimbing akademik 6. Staf Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit Dalam (Pak Jajat), Pak Kosasih, Pak Dahlan dan Pak Ali Rizki 7. Teman-teman satu penelitian : Arin, Eki, Hari, Budi dan Muhammad 8. Teman-teman seperjuangan Ikhwah fillah, Sakhas crew (Mbak Agil, Mbak Kiki, Mbak Pritta, Mbak Iwid, Mbak Ramlah, Mbak Elia, Mbak Lilis dan Tia), HAMAS, PJM 2008 (Burhan, Tri, Pras, Tiwi, Fauzan, Septi, Rio, April, Nur, Aprian, Riri , Nazrul dan Rifi), DKM An Nahl dan Castra Jayecwara IPA-4 2004. 9. Teman-teman Asteroidea 41, adik-adik 42, 43 dan 44.

10. Semua pihak yang turut memberikan arti penting dalam perjalanan hidup penulis termasuk penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran yang membangun agar karya penulis menjadi lebih baik sangat penulis harapkan.

Bogor, September 2008

Siti Rukayah

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Siti Rukayah. Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 25 Maret 1986. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara dari Bapak Suwono dan Ibu Kumiatun. Penulis mulai mengenyam pendidikan di SD Brati 01 hingga lulus tahun 1998. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 1 Kayen dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU), penulis selesaikan di SMUN 1 Pati hingga tahun 2004. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana dalam bidang Kedokteran Hewan yang ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004 dan menyelesaikan studi pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi seperti DKM An Nahl (2005-2008) dan Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ornithologi dan Unggas (2005/2006). Dalam bidang akademik, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Histologi Veteriner II (2007) dan asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (2008).

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................ix DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... x PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... 1 Perumusan Masalah .............................................................................. 2 Tujuan Penelitian ................................................................................... 2 Manfaat Penelitian ................................................................................. 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelinci ................................................................................................... 3 Rhipicephalus sanguineus .................................................................... 4 Klasifikasi ................................................................................ 4 Morfologi ................................................................................. 5 Siklus hidup .............................................................................. 6 Kerugian akibat infestasi caplak .............................................. 8 Darah ..................................................................................................... 9 Leukosit ................................................................................................ 10 Heterofil ............................................................................................... 11 Eosinofil ................................................................................................ 12 Basofil ................................................................................................... 13 Monosit ................................................................................................ 14 Limfosit ................................................................................................ 15 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat ................................................................................ 17 Bahan dan Alat...................................................................................... 17 Metode Penelitian ................................................................................. 17 Perlakuan kelinci....................................................................... 17 Pengambilan darah .................................................................... 18 Pembuatan preparat ulas darah.................................................. 18 Penghitungan jumlah leukosit ................................................... 18 Diferensial leukosit ................................................................... 19 Analisa data .............................................................................. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Leukosit ................................................................................................ 20 Heterofil ............................................................................................... 22

Monosit ................................................................................................ 23 Limfosit ................................................................................................ 24 Eosinofil ................................................................................................ 26 Basofil .................................................................................................. 28 KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 30 LAMPIRAN................................................................................................... 33

DAFTAR TABEL
Halaman 1. Data dasar fisiologis kelinci ....................................................................... 4 2. Nilai normal jumlah sel darah putih kelinci............................................... 11 3. Jumlah leukosit pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ....... 20 4. Jumlah heterofil pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ...... 22 5. Jumlah monosit pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ...... 23 6. Jumlah limfosit pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ....... 24 7. Jumlah eosinofil pada kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin ..... 26

DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Caplak betina .............................................................................................. 6 2. Caplak jantan .............................................................................................. 6 3. Siklus hidup caplak ..................................................................................... 7 4. Pembentukan sel darah .............................................................................. 10 5. Heterofil ..................................................................................................... 12 6. Eosinofil .................................................................................................... 13 7. Basofil ....................................................................................................... 14 8. Monosit ..................................................................................................... 15 9. Limfosit ...................................................................................................... 16 10. Neubauer hemocytometer ........................................................................ 19 11. Gambaran leukosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin .......................................................................................... 21 12. Gambaran heterofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin .......................................................................................... 22 13. Gambaran monosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin .......................................................................................... 24 14. Gambaran limfosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin .......................................................................................... 25 15. Gambaran eosinofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin .......................................................................................... 27

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-2................................................................ 34 2. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-4................................................................ 35 3. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-6................................................................ 36 4. Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-7................................................................ 37 5. Skema pembuatan vaksin ekstrak caplak R. sanguineus .......................... 39

PENDAHULUAN
Latar Belakang Kelinci sejak dahulu merupakan hewan peliharaan yang sudah dikenal oleh banyak orang dan keberadaannya cukup dekat dengan manusia. Kelinci yang dipelihara manusia dikembangkan sebagai hewan laboratorium, ternak penghasil daging, ternak penghasil kulit/fur serta sebagai hewan kesayangan (pets animal). Kelinci dijadikan sebagai hewan kesayangan karena keindahan penampilan yang dimiliki dan jinak. Di Inggris, kelinci sudah lama dijadikan sebagai pet animal. Bagi pecinta kelinci perlu diperhatikan masalah kesehatan dan kesejahteraan hewan (animal walfare). Dalam pemeliharaan kelinci sering mengalami kendala. Salah satu kendala tersebut adalah infestasi ektoparasit. Salah satu ektoparasit yang terdapat pada kelinci adalah caplak Rhipicephalus sanguineus. Caplak tersebut merupakan inang antara dari berbagai parasit darah dan virus, selain itu infestasi caplak dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan anemia pada hewan. Menurut Soulsby (1982), caplak juga dapat bertindak sebagai vektor penyakit bakterial, viral maupun protozoa darah. Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh caplak antara lain babesiosis, anaplasmosis dan theleriosis (Astyawati 2002). Penyakit tersebut merupakan suatu penyakit yang bermasalah baik pada manusia maupun hewan karena penyebaran luas dan sulit dibasmi sehingga diperlukan pengobatan serius. Salah satu upaya untuk menanggulangi adanya infestasi caplak adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi atau imunisasi merupakan pemberian antigen (vaksin) pada hewan dengan maksud merangsang tanggap kebal protektif (Tizard 1982). Pemberian antigen diperoleh dari agen menular pada hewan sehingga tanggap kebal dapat ditingkatkan dan tercapai resistensi terhadap agen menular tersebut. Untuk merangsang sistem tanggap kebal dikenal vaksinasi pasif dan vaksinasi aktif. Vaksinasi pasif akan menghasilkan resistensi sementara dengan memindahkan antibodi dari hewan yang resisten ke hewan yang peka sedangkan vaksinasi aktif meningkatkan tanggap kebal protektif berperantara antibodi atau sel. Pada vaksinasi aktif perlindungan tidak langsung

dibentuk, akan tetapi apabila sudah terbentuk akan berlangsung lama dan mampu terjadi perangsangan ulang. Pengobatan infestasi caplak dengan vaksinasi ini diharapkan mampu menanggulangi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh caplak. Selain dengan metode ini telah banyak dilakukan penelitian untuk menemukan ramuan alami (herbal) atau kimiawi (pestisida) yang mampu menghambat pertumbuhan caplak pada hewan. Akan tetapi kebaikan yang paling penting pada vaksinasi aktif ini adalah adanya perlindungan yang berlangsung lama dan peningkatan tanggap kebal oleh infeksi ulang antigen. Dalam penelitian ini digunakan kelinci sebagai inang sehingga dapat diketahui seberapa infeksius caplak bisa menginfeksi kelinci yang sudah divaksinasi dengan vaksin caplak R. sanguineus dengan melihat gambaran sel darah putih pada kelinci tersebut.

Perumusan masalah Pemberian vaksin caplak R. sanguineus pada kelinci mempengaruhi perubahan gambaran sel darah putih sebagai reaksi tanggap kebal tubuh.

Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon sel darah putih pada kelinci akibat pemberian vaksin ekstrak caplak Rhipicephalus sanguineus.

Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang respon sistem imun pada kelinci yang divaksin ekstrak caplak R. sanguineus melalui gambaran leukosit

TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci Pada awalnya kelinci adalah hewan liar yang sulit didomestikasi. Habitat asli kelinci liar berada di Afrika Utara sampai Eropa. Bangsa pertama yang melakukan penjinakan kelinci liar adalah bangsa Eropa pada tahun 1500. Dari daerah tersebut kemudian menyebar ke beberapa daerah seperti Australia, Selandia Baru, Chili, dan pulau-pulau di Pasifik dan Atlantik. Adanya penyebaran kelinci tersebut sehingga menimbulkan sebutan yang berbeda-beda pada tiap daerah, di Eropa disebut rabbit, di Indonesia disebut kelinci, dan di Jawa disebut truwelu. Kelinci memiliki kemampuan untuk hidup dalam habitat sangat bervariasi mulai dari padang pasir hingga daerah subtropis. Akan tetapi kelinci dapat berkembang biak paling baik di daerah iklim sedang (Smith dan Soesanto 1988). Perkembangan kelinci di Indonesia merupakan penyebarluasan progaram pemerintah pada tahun 1980-an yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan protein hewani. Berikut adalah klasifikasi kelinci : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus Spesies : Animalia : Vertebrata : Mammalia : Lagomorpha : Leporidae : Leporinae : Oryctolagus, Lepus : Oryctolagus spp, Lepus spp (Anonimus 2008a)

Ordo Lagomorpha memiliki dua pasang gigi seri pada rahang atas sedangkan ordo Rodensia memiliki sepasang gigi seri (Percy dan Barthold 2001; Sarwono 2005). Saat ini perkembangan kelinci telah beragam sesuai tujuan produksinya antara lain yaitu sebagai hewan percobaan laboratorium, hewan kesayangan (pets animal), ternak penghasil kulit/fur dan ternak penghasil daging. Pemanfaatan kelinci sebagai hewan kesayangan (pets animal) karena memiliki penampilan yang menarik dan

jinak. Sifat khas kelinci memiliki tabiat menarik yaitu memakan feses sendiri (coprophagy). Kelinci sangat peka terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Suhu ideal bagi kelinci berkisar 15C sampai 20C (Smith dan Soesanto 1988) . Tabel 1 Data dasar fisiologis kelinci Karakteristik Berat dewasa Jantan Betina Umur dewasa Lama hidup Suhu tubuh Pernapasan Denyut jantung Tekanan darah Konsumsi oksigen Konsumsi makanan Konsumsi air Gigi Nilai

1,5-7,0 Kg 1,4-6,5 Kg 4-10 bulan 5-10 tahun 38-40,1 C (rata-rata 39,5C) 35-56/menit 205-300/menit 90-130 sistol, 60-90 diastol 0,42-0,48 ml/g/jam 5 gr/ 100 gr/ hr 5-10 ml/ 100 gr/hr 2.033 1.023 Volume darah 45-80 ml/Kg Sel darah merah 5,0-8,0 x 106/mm3 Sel darah putih 3,0-12,5 x 103/mm3 Neutrofil 30-65% Eosinofil 0,5-5,0% Basofil 2-7% Limfosit 28-85% Monosit 2-16% (sumber: Smith dan Soesanto 1988; Malole dan Utami 1989) Rhipicephalus sanguineus Klasifikasi Menurut Williams et al. (1985) klasifikasi caplak anjing adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Subfilum Kelas : Animalia : Arthropoda : Chelicerata : Arachnida

Subkelas Ordo Subordo Superfamili Famili Genus Spesies

: Acari : Parasitiformes : Metastigmata : Ixodoidae : Ixodidae : Rhipicephalus : Rhipicephalus sanguineus

Berdasarkan ada atau tidaknya skutum pada punggung caplak diklasifikasikan menjadi 2 yaitu caplak keras dan caplak lunak. Pada famili Ixodidae terdapat skutum pada semua stadium sedangkan pada famili Argasidae tidak ada skutum pada semua stadium. Rhipicephalus sanguineus adalah caplak coklat pada anjing atau disebut brown dog tick karena berwarna coklat kemerahan. Caplak ini disebut sebagai caplak sejati dan memiliki metamorfosis yang tidak lengkap (Levine 1985).

Morfologi Tubuh caplak ditutupi oleh tegumen yang terdiri atas kutikula luar dan selapis epitel yang mensekresikan kutikula yang mengeras dan memiliki perisai. Bagian eksternal utama caplak adalah kapitulum (gnathosoma), idiosoma dan kaki. Kapitulum adalah bagian mulut keseluruhan yang terletak pada anterior dari tubuh caplak terdiri dari basis capituli yang mengadakan persendian dengan tubuh, pedipalpus, chelicerae, dan gigi hypostome. Basis kapitulum pada caplak betina berbentuk hexagonal. Pedipalpus terdiri dari empat sampai enam ruas, kadang mengalami modifikasi sebagai suatu ibu jari dan cakar. Chelicera terletak pada dorsal dari aspek kapitulum. Sepasang chelisera terdiri atas satu digit dorsal yang tidak dapat digerakkan dan satu digit ventral yang dapat digerakkan. Fungsi dari chelisera adalah untuk membuat sayatan pada jaringan induk semang pada saat menempel (Sonenshine et al. 2002 dalam Mullen dan Durden 2002). Hypostome berbentuk seperti gada yang memiliki gerigi atau kait yang berfungsi untuk memperkuat pertautan caplak pada tubuh induk semangnya. Hypostoma caplak

menonjol dan bergerigi apabila dibandingkan dengan hypostoma tungau (Noble & Noble 1989). Idiosoma merupakan bagian tubuh caplak tempat terdapatnya kaki. Masing-masing kaki dibagi kedalam enam segmen yaitu coxa, trochanter, femur, patella(genu), tibia dan tarsus. Bagian coxae sangat sedikit bisa digerakkan sedangkan bagian lain dapat digerakkan. Pada stadium larva dapat dengan mudah dikenali dengan adanya tiga pasang kaki sedangkan pada stadium nimpa dan dewasa memiliki empat pasang kaki (Sonenshine et al. 2002 dalam Mullen dan Durden 2002).

Gambar 1 caplak betina (Pereira 2001)

Gambar 2 caplak jantan (Pereira 2001)

Caplak jantan memiliki bentuk oval, berwarna coklat dan biasanya terlihat aktif diantara rambut mantel. Pada tubuh caplak betina biasanya terdapat bekas spot yang panjangnya kira-kira 12 mm dan berwarna biru keabu-abuan saat tidak makan. Warna berubah menjadi merah gelap pada saat caplak kenyang menghisap darah (Seddon 1968). Caplak betina memiliki skutum yang menutupi separuh dorsal bagian anterior dari tubuhnya, sedangkan caplak jantan skutum menutupi seluruh bagian dorsal permukaan tubuh sehingga mengakibatkan tubuh tidak elastis untuk mengembang pada saat menghisap darah (Noble & Noble 1989).

Siklus hidup Rhipicephalus sanguineus terdapat di seluruh dunia, hidup pada daerah yang terletak antara 50 LU dan 35 LS. Caplak ini tidak dapat hidup pada tempat terbuka

dengan udara dingin akan tetapi dapat tahan dalam rumah walaupun dalam musim dingin (Levine 1985). Rhipicephalus merupakan caplak yang berinduk semang tiga yaitu dalam setiap siklus hidupnya dari telur, larva, nimfa dan dewasa membutuhkan 3 induk semang. Masing-masing stadium caplak harus berada dalam tubuh induk semang, biasanya induk semangnya adalah anjing dan sering pada anjing yang sama (Lord 2001). Akan tetapi stadium larva dapat hidup pada kelinci dan stadium nimfa dapat hidup pada hewan lain yaitu domba, sapi dan anjing (Astyawati 2002).

Gambar 3 Siklus hidup caplak (Lord 2001)

Caplak betina yang sudah kenyang menghisap darah akan terlihat menggembung dan akan berjalan sampai menemukan tempat yang sesuai untuk bertelur. Dalam sekali bertelur dapat mencapai 2000-4000 butir telur. Lord (2001) menyatakan caplak betina mampu bertelur sampai 5000 butir telur. Caplak betina akan mati setelah bertelur dan tergantung pada temperatur serta kelembaban telur akan menetas pada 19-60 hari (Yates 1992). Dalam waktu 17 sampai 30 hari telur akan menetas menjadi larva. Larva akan mengalami pergantian kulit (moulting)

sebelum menjadi nimfa dan dewasa (Subronto 2006). Larva caplak dapat ditemukan pada celah-celah, dinding, lantai, tirai, kain pelapis kursi dan sebagainya. Larva yang dibebaskan akan aktif mencari induk semang dan dalam waktu 2-6 hari akan menghisap darah. Larva yang berkaki 6 sering disebut caplak biji yang menetas dari telur harus menemukan induk semang dan harus menghisap darah (Noble & Noble 1989). Kemudian larva akan jatuh dari induk semang dan berubah menjadi nimfa. Nimfa memiliki 8 kaki yang akan mencari induk semang (Sonenshine et al. 2002 dalam Mullen dan Durden 2002). Nimfa akan menempel pada induk semang dan menghisap darah dalam waktu 4-9 hari, selanjutnya akan berubah menjadi dewasa dalam waktu 11-73 hari. Caplak jantan akan berkeliaran mencari betina yang bisa dikawin sedangkan caplak betina menghisap darah sampai kenyang. Beberapa caplak dapat bertahan hidup selama beberapa tahun tanpa menghisap darah (Romoser 2004). Menurut Gunandini 2002 (dalam Hadi dan Sigit 2006), dalam kondisi yang tidak menguntungkan larva caplak yang tidak makan mampu bertahan hidup sampai lebih dari 8,5 bulan, stadium nimfa yang tidak makan dapat bertahan hidup sampai lebih dari 6 bulan, stadium dewasa tidak makan dapat bertahan hidup sampai lebih dari 19 bulan.

Kerugian akibat infestasi caplak Caplak merupakan inang antara dari berbagai parasit darah dan virus, selain itu infestasi caplak dalam jumlah banyak dapat menimbulkan anemia. Menurut Soulsby (1982), caplak dapat bertindak sebagai vektor penyakit bakterial, viral maupun protozoa darah. Infestasi caplak pada umumnya menimbulkan kerusakan mekanis pada kulit inang, dermatosis. Dermatosis merupakan peradangan pada kulit yang disertai kebengkakan. Adanya kerusakan pada kulit inang secara langsung akan mengurangi nilai estetika seekor kelinci sebagai pet animal. Tick borne disease adalah penyakit yang dipindahkan dan berkembang dalam tubuh caplak. Rhipicephalus sp, Boophilus sp, Ixodes sp, Dermacentor sp, Hyaloma sp dan Amblyoma sp merupakan caplak famili Ixodidae yang terdapat di Indonesia. Beberapa penyakit yang dapat ditimbulkan olek caplak tersebut antara lain babesiosis,

anaplasmosis dan theleriosis. Babesiosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh parasit darah yaitu Babesia sp yang ditularkan melalui gigitan caplak R. sanguineus. Menurut Lubis (2006), parasit darah ini mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel sehingga berubah kepekaannya terhadap antibodi. Parasit Babesia sp ditularkan oleh caplak berkulit keras. Babesia sp tertelan kedalam tubuh caplak saat ia menghisap darah kemudian Babesia sp memperbanyak diri didalam sel epitel saluran cerna dan menyebar kesemua tubuh caplak termasuk kelenjar saliva.

Darah Darah merupakan cairan tubuh yang sangat penting disamping cairan intertisial dan cairan intraseluler. Secara umum volume total darah mamalia berkisar 7 sampai 8 % dari berat badan. Sekitar 45 sampai 65 % dari seluruh isi darah adalah plasma darah sedangkan sisanya 35 sampai 55 % adalah sel darah atau benda darah. Unsur seluler darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit) yang tersuspensi dalam plasma (Ganong 2003). Darah dianggap sebagai jaringan khusus yang menjalani sirkulasi, terdiri dari sel-sel yang terendam dalam plasma darah (Dellman and Brown 1989). Didalam sistem sirkulasi, darah memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu: (1) transportasi gas yaitu membawa oksigen dari paru-paru menuju jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan menuju ke paru-paru. (2) mendistribusikan nutrisi yang diserap pada saluran pencernaan atau melepaskan dari cadangan jaringan lemak atau hati. (3) transportasi sisa metabolisme dari jaringan perifer untuk diekskresikan. (4) mengalirkan enzim dan hormon menuju target spesifik. (5) mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan interstisial. (6) membatasi kehilangan cairan tubuh. (7) mempertahankan tubuh

melawan toksin dan patogen. (8) membantu mengatur temperatur tubuh dengan menyerap dan mendistribusikan ulang panas (Martini et al. 1992). Sumsum tulang merupakan organ tempat dihasilkannya sel darah. Didalam sumsum tulang terdapat sel yang disebut sel stem hemopoietik pluripoten yang akan berdiferensiasi menjadi sel induk khusus. Selanjutnya sel ini akan berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel darah tertentu (Ganong 2003).

Leukosit Sel darah putih atau leukosit merupakan sel pembentuk komponen darah yang memiliki nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Sel ini membantu tubuh melawan berbagai penyaki infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Menurut Cochran (2004), leukosit dibedakan menjadi granulosit dan agranulosit. Leukosit granulosit memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma sedangkan agranulosit tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma (Dellmann and Brown 1989). Berdasarkan reaksinya terhadap pewarnaan, leukosit granulosit dibedakan menjadi tiga yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil sedangkan leukosit agranulosit dibedakan menjadi dua yaitu limfosit dan monosit. Nukleus granulosit terlihat berbagai bentuk sehingga disebut juga polimorfonuklear (PMN).

Gambar 4 Pembentukan sel darah ( Anonimus 2008b)

Sel darah putih dibentuk didalam sumsum tulang, terutama granulosit disimpan didalam sumsum tulang sampai mereka diperlukan didalam sirkulasi dan sebagian lagi dibentuk di jaringan limfe (Guyton dan Hall 1997). Hemocytoblast

merupakan cikal bakal sel darah yang kemudian akan berdiferensiasi membentuk jenis sel darah tertentu. Respon leukosit merefleksikan adanya suatu proses fisiologis dan patologis di dalam tubuh. Fluktuasi jumlah leukosit pada individu cukup besar pada kondisi stres, aktivitas fisiologis, gizi, umur dan lain sebagainya (Dellmann and Brown 1989).

Table 2 Nilai normal jumlah sel darah putih kelinci Jenis leukosit Neutrofil (x 109/L) (%) Band neutrofil (x 109/L) Eosinofil (x 109/L) (%) Basofil (x 109/L) (%) Limfosit (x 109/L) (%) Monosit (x 109/L) (%) (sumber : Meredith 2002) Heterofil Neutrofil pada kelinci sering disebut dengan heterofil. Heterofil dewasa berdiameter 10 sampai 12 m, memiliki granular halus dan bening tidak menyerap warna dan inti bergelambir. Heterofil terdiri dari dua tipe granular sitoplasmik yaitu azurophilic (primer) dan spesifik. Menurut Deldar (1998); Meyer dan John (1998), granular sitoplasmik berukuran lebih besar dan berwarna lebih merah pada bangsa unggas, reptil dan beberapa mamalia (kelinci, marmot dan dutung/manatees) yang kemudian disebut heterophils. Heterophils dapat dibedakan dengan eosinofil berdasarkan bentuk granularnya. Granular heterophil biasanya berbentuk seperti tongkat atau oval sedangkan granular eosinofil berbentuk bulat. Heterofil tua memiliki gelambir lebih banyak atau lebih jelas dari heterofil muda. Secara klinis apabila jumlah heterofil muda meningkat dalam sirkulasi disebut left shift. Kondisi ini ditemukan pada saat terjadi infeksi akut. Sedangkan apabila jumlah heterofil rata-rata 48 0,2 0,26 1 2,5 5,4 53 0,41 3 range 3-20 34-60 0-0,2 0-1,8 0-2 0-0.84 0-1 2-20 43-62 0-1,8 0-4 1,5-40 40-70

0-5 0-7 20-80 0-7

47

abnormal dengan hipersegmentasi disebut right shift yang ditemukan pada infeksi kronis atau stres (Dellmann and Brown 1989). Hampir 90% dari granulosit dalam sirkulasi terdiri atas heterofil. Letak heterofil terbanyak di perifer dalam sirkulasi dari kapiler. Apabila terjadi perlukaan maka heterofil akan termobilisasi dari posisi perifer/marginal menembus dinding kapiler di antara sel-sel yang disebut diapedesis. Masa hidup heterofil dalam aliran darah sekitar 4-8 jam tetapi dalam jaringan sel tersebut dapat hidup lebih lama (Kresno 2001). Menurut Tizard (1982), fungsi utama heterofil adalah penghancuran bahan asing melalui fagositosis yaitu menghancurkan benda asing dengan segera oleh karena itu disebut sebagai garis pertahanan pertama. Bersama dengan makrofag, heterofil menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus dalam sirkulasi. Jumlah neutrofil dalam sirkulasi darah meningkat cepat saat terjadi infeksi yang akut.

Gambar 5 Heterofil (Vanessa et al. 2005)

Eosinofil Eosinofil termasuk leukosit granulosit yang berukuran hampir sama dengan neutrofil. Jumlah eosinofil dalam sirkulasi berkisar 2 sampai 8% dari total jumlah leukosit. Diameter eosinofil 10-15m dengan granula berwarna merah didalam sitoplasmanya sehingga dapat dikenal dengan nama asidofil. Eosinofil pada bangsa unggas, reptil dan beberapa mamalia (kelinci, marmot dan dutung) dapat dibedakan dengan heterofil melalui bentuk granula sitoplasma yang bulat sedangkan granula neutrofil berbentuk tongkat atau oval (Meyer dan John 1998).

Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah bila dibandingkan heterofil. Pada saat terjadi infeksi parasit maka eosinofil akan diproduksi dalam jumlah yang tinggi kemudian akan bermigrasi menuju jaringan. Selain itu eosinofil juga ditemukan pada tempat reaksi alergi. Eosinofil bermigrasi ke arah sel sasaran karena adanya rangsangan mediator yang diproduksi oleh sel limfosit T, mastosit dan basofil yang disebut eosinophil chemotacticfactor of anaphilaxis (ECF-A) (Kresno 2001). Menurut Tizard (1982), enzim yang ada dalam eosinofil efektif menghancurkan larva cacing selain itu enzim dalam eosinofil mampu menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil oleh karena itu sel ini juga berfungsi mengendalikan atau mengurangi reaksi hipersensitivitas.

Gambar 6 Eosinofil (Vanessa et al. 2005)

Basofil Basofil merupakan sel mieloid yang jumlahnya paling sedikit didalam darah hewan piara. Jumlah basofil berkisar 0 sampai 15% dari total leukosit. Ukuran diameter basofil mencapai 10 sampai 15m dan memiliki inti bergelambir atau inti tidak teratur (Dellmann and Brown 1989). Butir basofil mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik. Antikoagulan heparin yang ada dalam basofil akan dilepaskan di daerah peradangan untuk mencegah terjadinya pembekuan serta stasis darah dan limfa (Frandson 1992).

Basofil memiliki fungsi serupa dengan sel mast yaitu pada reaksi alergi yang berkaitan erat dengan Ig E yang mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada kedua sel tersebut. Adanya rangsangan alergen yang bereaksi dengan Ig E maka basofil dan sel mast akan melepaskan berbagai mediator dan mengakibatkan reaksi anafilaktik (Kresno 2001).

Gambar 7 Basofil (Vanessa et al. 2005)

Monosit Monosit adalah leukosit terbesar yang memiliki diameter 12 sampai 18m dan jumlahnya mencapai 3 sampai 8% dari total leukosit yang ada. Sitoplasma monosit lebih banyak dari limfosit dan berinti lonjong seperti ginjal atau seperti tapal kuda yang memiliki lekuk yang dalam. Kromatin inti mengambil warna lebih pucat dari limfosit. Monosit merupakan prekursor dari makrofag jaringan dan memiliki inti pleomorphic. Monosit darah tidak pernah mencapai penuh sampai bermigrasi ke luar pembuluh darah masuk ke jaringan. Monosit meninggalkan pembuluh darah perifer dengan waktu paruh 20 sampai 40 jam dan diyakini tidak masuk kedalam sirkulasi lagi (Jubb et al. 1991). Selanjutnya monosit didalam jaringan menjadi makrofag tetap (fixed macrophag) seperti pada sinusoid hati, paru-paru, jaringan limfoid dan sumsum tulang (Dellmann and Brown 1989). Monosit dalam aliran darah maupun makrofag dalam jaringan disebut dengan sistem fagositik mononuklear (mononuclear phagocytic system/ MPS).

Gambar 8 Monosit (Vanessa et al. 2005)

Sistem fagositik mononuklear memiliki peran utama dalam fagositosis dan menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, serta mengolah bahan asing sehingga dapat membangkitkan tanggap kebal. Fagositosis yang dilakukan makrofag serupa dengan neutrofil. Makrofag mengeluarkan berbagai sekresi antara lain komplemen C2, C3, C4 dan C5 serta lisozim yang protektif sebagai antimikrobial. Faktor lain yaitu kolagenase, elastase dan aktivator plasminogen yang dikeluarkan pada waktu fagositosis (Tizard 1982).

Limfosit Limfosit termasuk dalam leukosit agranular karena didalam sitoplasma tidak ditemukan granula. Limfosit pada umumnya memilki inti bulat seperti kacang. Dalam sirkulasi sering ditemukan limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit besar merupakan bentuk limfosit yang belum dewasa, disebut sebagai prolimfosit.

Gambar 9 Limfosit (Vanessa et al. 2005)

Adanya perbedaan bentuk maupun fungsi limfosit dikarenakan sifat limfosit yang mampu menerobos jaringan atau organ lunak di dalam tubuh. Menurut Tizard (1982), fungsi utama limfosit adalah merespon terhadap antigen dengan membentuk antibodi. Menurut Dellmann and Brown (1989), limfosit di bedakan menjadi 3 tipe sel yaitu sel B, sel T dan sel null. Sel B ini jumlahnya hanya sedikit dan berperan dalam respon imunitas humoral karena sel B memproduksi antibodi. Sel T jumlahnya mencapai 70 sampai 75% dari limfosit. Sel ini diproduksi oleh timus dan berperan dalam imunitas seluler. Sel null memiliki dua tipe cell mediated-cytotoxicity yaitu sel N-K (natural killer function) dan sel K (antibody-dependent

cellularcytotoxicity).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian ini dimulai pada 3 Juli 2007 sampai Februari 2008. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit Dalam Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi; Laboratorium Protozoologi Bagian Parasitologi serta kandang Hewan Percobaan yang dikelola oleh Unit Pelayanan Teknis Hewan Laboratorium (UPT Helab) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah kandang pemeliharaan kelinci, tempat pakan dan air minum, syringe, gelas objek, mikroskop cahaya, tabung mikro, satu set hemocytometer dan label. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci jantan lokal dengan umur 6 bulan dan bobot badan mencapai 2 sampai 3 kg dan vaksin ekstrak caplak R. sanguineus. Bahan lain yang digunakan yaitu pakan kelinci dan air minum, alkohol 70%, metanol, kapas, pewarna Giemsa 10%, aquades, larutan Turk, EDTA (ethylendiamine tetraacetic acid) cair, minyak emersi dan xylol.

Metode Penelitian Perlakuan Pada Kelinci Kelinci dipersiapkan di kandang individu dan diadaptasikan selama satu minggu. Pakan kelinci berupa pelet dengan kadar protein 16% dan energi 2500 kkal. Pakan diberikan sebanyak 200 gram per ekor per hari dan pemberian air minum ad libitum. Sebanyak 8 ekor kelinci dibagi dalam 2 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor kelinci yang divaksin dan 4 ekor kelinci yang tidak divaksin. Pada minggu ke-0 dilakukan pengambilan darah untuk mengetahui keadaan normal kemudian dilakukan penghitungan dan pengamatan gambaran sel darah putih (diferensial leukosit). Pada minggu ke-2 dilakukan pemberian vaksin ekstrak R. sanguineus pada kelompok perlakuan (4 ekor kelinci) dan dilakukan pengambilan

darah serta pengamatan gambaran darah pada kedua kelompok (kontrol dan perlakuan). Pemberian vaksin dilakukan sebanyak 2 kali dengan selang waktu dua minggu. Vaksin diberikan sebanyak 1 ml (dosis 125g dan 50g oil adjuvant) secara subkutan. Satu minggu setelah pemberian vaksin (minggu ke-5) dilakukan uji tantang pada semua kelompok kelinci baik pada kelompok yang tidak divaksin maupun kelompok yang divaksin dengan menanam caplak R. sanguineus pada daun telinga serta dilakukan pengambilan dan pengamatan darah pada minggu ke-6 dan 7.

Pengambilan Darah Darah diambil melalui vena auricularis pada tepi telinga. Sebelum diambil darah, pada tempat pengambilan darah dibersihkan dulu dengan alkohol 70% kemudian darah diambil dengan syringe 1 ml yang sebelumnya telah dibasahi dengan EDTA sebagai antikoagulan.

Pembuatan Preparat Ulas darah Darah segar yang telah diberi antikoagulan diteteskan pada gelas objek kemudian dengan gelas objek yang lain diratakan dengan menempatkan salah satu sisi ujung gelas objek kedua pada permukaan gelas objek pertama dengan membentuk sudut 30-45. Gelas objek kedua ditarik samapi menyentuh tetes darah, darah dibiarkan menyebar sepanjang tepi gelas objek pertama. Sediaan dikeringkan

selanjutnya difiksasi dengan metanol selama 5 menit kemudian dimasukkan kedalam pewarna Giemsa 10% selama 60 menit. Setelah itu dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan.

Penghitungan Jumlah Leukosit Darah segar yang telah diberi EDTA dihisap dengan pipet leukosit sampai angka 0,5 kemudian dihisap larutan turk sampai angka 11 selanjutnya dikocok selama 3 menit dengan alat Dari dalam pipet 1-2 tetes dibuang dan pada kamar hitung haemocytometer diteteskan satu tetes. Jumlah sel darah putih dihitung pada keempat sudut kamar hitung.

Gambar 10 Neubauer hemocytometer (Brown 1980)


Keterangan W : daerah penghitungan leukosit R : daerah penghitungan eritrosit

Diferensial Leukosit Preparat ulas yang telah diwarnai dengan Giemsa diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 x 10 kali menggunakan minyak emersi. Penghitungan diferensial leukosit berdasarkan hasil pengamatan dengan menghitung jumlah neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit dalam 100 butir leukosit. Hasil penghitungan leukosit dinyatakan dalam persen.

Analisa Data Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji t (t-Test).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Leukosit Jumlah leukosit normal pada kelinci menurut Jain (1993) berkisar 6,30-10,06 x 103 /l. Leukosit atau sel darah putih merupakan sel pertahanan tubuh pada keadaan normal jumlahnya tidak terlalu banyak, akan tetapi dapat meningkat apabila ada invasi zat asing, parasit, alergi dan banyaknya jaringan yang mati. Leukosit memiliki dua fungsi yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (Guyton dan Hall 1997). Menurut Kresno (2001), fagosit mononuklear terdiri atas monosit dan limfosit serta polimorfonuklear yang terdiri atas neutrofil, eosinofil dan basofil.

Tabel 3 Jumlah leukosit pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok yang divaksin (x 103/l) Hewan percobaan Non vaksin Vaksin
Keterangan :

0 7.191.14 7.511.10

Waktu setelah vaksin (minggu) 2 4 6* a a 6.730.27 12.963.55 9.142.75a a a 6.790.48 11.633.81 10.362.51a

7 8.651.67a 9.871.09a

uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Dari hasil pengamatan dapat dilihat pada minggu ke-0 jumlah leukosit pada kedua kelompok kelinci masih berada pada kisaran normal. Pada minggu ke-2 jumlah leukosit pada kedua kelompok kelinci masih berada pada kisaran normal, hal ini diduga pada kelompok kelinci yang divaksin belum merespon vaksin ekstrak caplak yang diberikan. Pada minggu ke-4 terjadi peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) pada kedua kelompok kelinci. Peningkatan jumlah leukosit pada kelompok kelinci yang divaksin merupakan respon tubuh kelinci terhadap masuknya benda asing (vaksin) sedangkan pada kelompok kelinci yang tidak divaksin peningkatan jumlah leukosit diduga karena faktor stres. Leukositosis merupakan peningkatan jumlah leukosit total di dalam sirkulasi darah, biasanya sebagai akibat dari meningkatnya

jumlah total neutrofil yang bersirkulasi (Jain 1993). Leukositosis dapat bersifat fisiologis dan patologis. Leukositosis fisiologis terjadi karena adanya respon terhadap epinefrine sehingga dapat memobilisasi neutrofil dan limfosit dari pool marginal menuju sirkulasi umum. Leukositosis fisiologis dapat disebabkan karena rasa takut, aktivitas latihan, kortikosteroid dan stres. Menurut Chastain dan Ganjum (1986), kondisi stres dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon glukokortikoid sehingga meningkatkan jumlah leukosit. Kelinci merupakan hewan yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama cuaca. Kelinci sangat peka terhadap cekaman suhu lingkungan dan kelembaban yang tinggi (Smith dan Soesanto 1988).
jumlah leukosit (x1000/ul) 15 10 5 0 0 2 4 waktu (minggu) 6 7 non vaksin vaksin

Gambar 11 Gambaran leukosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin

Pada minggu ke-6 setelah uji tantang terjadi peningkatan jumlah leukosit pada kelompok yang divaksin akan tetapi peningkatan ini tidak signifikan, sedangkan pada kelompok yang tidak divaksin jumlah leukositnya masih berada pada kisaran normal. Pada minggu ke-7 jumlah leukosit kedua kelompok kelinci berada pada kisaran normal akan tetapi pada kelompok yang divaksin jumlah leukosit cenderung lebih tinggi. Hal ini dikarenakan pada kelompok yang divaksin sebelumnya telah terpapar antigen yang serupa sehingga menimbulkan respon imun sekunder yang pada umumnya lebih cepat dibanding respon primer (Kresno 2001). Adanya sel memory menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas terhadap antigen.

Heterofil Jumlah heterofil normal pada kelinci berkisar 0,85-2,61 x 103/l (Jain 1993). Netrofil atau disebut heterofil merupakan garis pertahanan seluler pertama. Dari hasil pengamatan pada minggu ke-0 dan 2 jumlah heterofil pada kedua kelompok kelinci masih berada pada kisaran normal. Pada minggu ke-2 setelah pemberian vaksin kelompok kelinci yang divaksin jumlah heterofil berada pada kisaran normal, hal ini dikarenakan kelinci belum merespon vaksin ekstrak caplak yang diberikan.

Tabel 4 Jumlah neutrofil pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok yang divaksin (x 103/l) Hewan percobaan Non vaksin Vaksin
Keterangan :

0 1.920.84 2.080.46

Waktu setelah vaksin (minggu) 2 4 6* a a 1.730.69 2.220.74 2.271.04a 1.450.45a 2.720.64a 3.140.88a

7 1.550.17a 2.580.68a

uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Pada minggu ke-4 pada kedua kelompok kelinci mengalami peningkatan jumlah heterofil. Peningkatan jumlah heterofi ini pada kelompok kelinci yang divaksin akibat respon terhadap pemberian vaksin kedua (booster) sedangkan pada kelompok yang tidak divaksin peningkatan jumlah neutrofil diduga karena faktor stres. Kondisi stres dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon glukokortikoid sehingga merangsang aktifitas sumsum tulang untuk menghasilkan neutrofil lebih banyak (Chastain dan Ganjum 1986; Jain 1993).
jumlah heterofil/ul 4000 3000 2000 1000 0 0 2 4 6 7 waktu (minggu) non vaksin vaksin

Gambar 12 Gambaran heterofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin

Setelah uji tantang pada minggu ke-6 kedua kelompok kelinci mengalami peningkatan jumlah heterofil. Peningkatan jumlah heterofil pada kedua kelompok disebabkan oleh infestasi caplak. Saliva caplak berisi antigen yang dapat menginduksi respon kekebalan tubuh (Tizard 2000). Pada minggu ke-7 jumlah heterofil kedua kelompok kelinci berada pada kisaran normal, hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme tubuh untuk menyingkirkan antigen dalam tubuh.

Monosit Jumlah monosit normal pada kelinci berkisar 0,04-0,63 x 103/l (Jain 1993). Pada minggu ke-0, 2, 4, 6 dan 7 jumlah monosit pada kedua kelompok kelinci relatif stabil hal ini dikarenakan masa edar monosit yang singkat didalam sirkulasi darah hanya 24 jam atau kurang kemudian monosit masuk kedalam jaringan menjadi makrofag (Swenson 1984; Guyton dan Hall 1997)

Tabel 5 Jumlah monosit pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok yang divaksin (x 103/l) Hewan percobaan Non vaksin Vaksin
Keterangan :

0 0.430.19 0.510.23

Waktu setelah vaksin (minggu) 2 4 6* a a 0.240.05 0.380.17 0.470.21a 0.300.06a 0.320.09a 0.360.10a

7 0.220.07a 0.270.15a

uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Monosit berperan penting dalam fagositosis. Pada saat fagositosis makrofag akan melepaskan enzim lisozim, kolagenase, elastase dan aktivator plasminogen yang berperan dalam proses persembuhan luka. Makrofag dapat mengolah antigen untuk merangsang tanggap kebal dan memberikan kontribusi langsung pada perbaikan jaringan yang rusak dengan membuang jaringan yang mati (Tizard 2000).

600 500 400 300 200 100 0 0 2 4 waktu (minggu) 6 7

jumlah monosit/ul

non vaksin vaksin

Gambar 13 Gambaran monosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin

Limfosit Jumlah limfosit normal pada kelinci berkisar 1,40-3,80 x 103/l (Jain 1993). Pada minggu ke-0 kedua kelompok kelinci memiliki jumlah limfosit berada diatas kisaran normal (limfositosis). Limfositosis ini dapat bersifat fisiologis dan patologis. Limfositosis fisiologis dapat terjadi karena pelepasan epinefrine yang disebabkan oleh stres fisik maupun emosi (Jain 1993). Limfositosis patologis dapat terjadi karena inflamasi, vaksinasi, hipoadrenocorticism, dan limfoid leukimia .

Tabel 6 Jumlah limfosit pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok yang divaksin (x 103/l) Hewan percobaan Non vaksin Vaksin
Keterangan :

0 4.380.26 4.520.74

Waktu setelah vaksin (minggu) 2 4 6* a a 5.901.72 7.490.58 5.791.97a 4.601.03a 5.931.09a 6.101.41a

7 6.221.15a 6.221.56a

uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Pada minggu ke-0, 2, 4, 6 dan 7 kedua kelompok kelinci mengalami peningkatan jumlah limfosit (limfositosis). Peningkatan jumlah limfosit minggu ke-2 dan 4 pada kelompok kelinci yang divaksin merupakan respon tubuh terhadap stimulasi antigenik dari vaksin yang diberikan sehingga mengakibatkan limfositosis patologis sedangkan pada kelompok kelinci yang tidak divaksin peningkatan jumlah

limfosit diduga karena faktor stres. Beberapa kondisi yang mengakibatkan limfositosis adalah peradangan kronis (infeksi bakteri, jamur, virus dan protozoa khususnya Babesia dan Theileria), penyuntikan katekolamin, dan limfositik leukimia (Jain 1993). Menurut Tizard (1982) fungsi utama limfosit adalah merespon terhadap antigen dengan membentuk antibodi Dalam proses tanggap kebal, limfosit dibedakan menjadi sel B dan sel T. Sel B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang berperan dalam respon imunitas humoral untuk memproduksi antibodi sedangkan sel T akan berperan dalam respon imunitas seluler (Dellmann and Brown 1989; Swenson 1984). Keberadaan jaringan rusak dan invasi mikroorganisme di dalam tubuh akan merangsang aktifitas sel makrofag untuk merubah antigen tersebut menjadi partikel imunogenik sehingga akan merangsang kerja sel T dan sel B (Jain 1993).
8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 0 2 4 waktu (minggu) 6 7

jumlah limfosit/ul

non vaksin vaksin

Gambar 14 Gambaran limfosit kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin

Pada minggu ke-6 dan 7 terjadi peningkatan jumlah limfosit pada kedua kelompok kelinci. Peningkatan jumlah limfosit pada kedua kelompok ini disebabkan karena infestasi caplak pada uji tantang yang dilakukan pada minggu ke-5. Limfosit B berkaitkan dengan kekebalan humoral dengan memproduksi antibodi untuk melawan bakteri ekstraseluler dan virus sedangkan limfosit T merespon antigen seperti jamur, sel tumor, dan organisme patogen intraseluler (Swenson 1984). Adanya Babesia sp di

dalam tubuh caplak diduga menjadi penyebab tingginya jumlah limfosit. Babesia sp yang hidup didalam tubuh caplak merupakan organisme intraseluler yang dapat hidup didalam sel darah merah. Parasit darah ini mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel sehingga berubah kepekaannya terhadap antibodi (Lubis 2006).

Eosinofil Jumlah eosinofil normal pada kelinci berkisar 0,23-0,47 x 103/l (Jain 1993). Jumlah eosinofil minggu ke-0 dan ke-2 pada kedua kelompok kelinci masih berada pada kisaran normal. Pada minggu ke-4 pada kedua kelompok kelinci terjadi peningkatan jumlah eosinofil (eosinofilia). Peningkatan jumlah eosinofil pada kelompok yang divaksin merupakan respon antigen yang telah diberikan sedangkan pada kelompok yang tidak divaksin peningkatan jumlah eosinofil disebabkan adanya infestasi parasit lain yaitu Sarcoptes scabiei. Menurut Martini et al. (1992) eosinofil merupakan sel fagosit terhadap komponen asing yang telah bereaksi dengan antibodi. Peningkatan jumlah eosinofil (eosinofilia) ini merupakan gejala klinis terhadap adanya parasit dan reaksi alergi pada tubuh kelinci.

Tabel 7 Jumlah eosinofil pada kelompok kelinci yang tidak divaksin dan kelompok yang divaksin (x 103/l) Hewan percobaan Non vaksin Vaksin
Keterangan :

0 0.450.12 0.400.05

Waktu setelah vaksin (minggu) 2 4 6* 0.290.07a 1.000.22a 0.610.31a 0.430.14a 0.790.20a 0.760.37a

7 0.670.33a 0.7980.18a

uji tantang pada minggu ke-5 Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Jumlah eosinofil akan meningkat didalam sirkulasi pada saat terjadi respon alergi atau infeksi parasit (Martini 1992, Kresno 2001). Pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil dirangsang oleh sitokin dan aktivasi sel T menyebabkan akumulasi eosinofil di tempat infestasi parasit dan reaksi alergi. Pada minggu ke-6 dan ke-7 setelah dilakukan uji tantang dengan menanam caplak pada kelinci terjadi peningkatan jumlah eosinofil pada kedua kelompok.

Peningkatan jumlah eosinofil ini disebabkan oleh infestasi parasit (caplak) dan reaksi alergi. Eosinofil efektif dalam menyingkirkan antigen yang merangsang pembentukan Ig E. Eosinofil juga terdapat dalam jumlah yang banyak pada tempat-tempat reaksi alergi, selain itu ia juga bertanggung jawab terhadap terhadap kerusangan dan inflamasi (Kresno 2001).
1200 Jumlah eosinofil/ul 1000 800 600 400 200 0 0 2 4 waktu (minggu) 6 7 non vaksin vaksin

Gambar 15 Gambaran eosinofil kelompok kelinci yang tidak divaksin dan divaksin

Eosinofil memiliki kemampuan fagositosis terhadap partikel asing akan tetapi tidak seefisien neutrofil. Dalam respon alergis, granula sel ini mengandung substansi yang dapat menghambat induksi edema pada jaringan dengan melakukan fagositosis terhadap granul sel mast dan menghambat sekresi dan aktivasi histamin sel mast (Kresno 2001 dan Tizard 1982).

Basofil Persentase jumlah basofil normal pada kelinci mencapai 0,4-1% dari total sel darah putih (Jain 1993). Persentase basofil yang kecil ini menyebabkan basofil sulit ditemukan. Menurut Swenson (1984), basofil hanya berada pada peredaran darah perifer dalam jumlah yang sangat sedikit bahkan tidak ada. Jain (1993) menambahkan jumlah basofil cenderung meningkat didalam darah perifer pada keadaan dimana terjadi juga eosinofilia.

Jumlah basofil akan meningkat apabila terjadi reaksi alergi atau hipersesitivitas. Dari hasil pengamatan basofil tidak ditemukan, hal ini

mengindikasikan tidak adanya reaksi hipersensitivitas pada kelinci. Basofil berperan sebagai reseptor imunoglobulin E (Ig E) yang dikeluarkan pada saat terjadi reaksi alergi. Kerja basofil didukung sel mast didalam jaringan, dimana sel mast memiliki komposisi, fungsi, dan morfologi yang hampir sama dengan sel basofil (Martini et al. 1992).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan 1. Pemberian vaksin ekstrak caplak R. sanguineus pada hewan coba kelinci cenderung meningkatkan jumlah leukosit, heterofil, eosinofil dan limfosit. 2. Vaksinasi ekstrak caplak R. sanguineus cukup efektif dalam memberikan respon sistem imun melalui gambaran sel darah putih.

Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran imunologis dari kelinci yang divaksinasi untuk melihat Ig E sebagai respon akibat pemberian vaksin. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai vaksinasi ekstrak caplak dengan menggunakan hewan coba yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2008a. Rabbit. http://en.wikipedia.org/wiki/Rabbit [27 Mei 2008] Anonimus. 2008b. White Blood Cell. http://en.wikipedia.org/wiki/Image:Illu_blood_cell_lineage.jpg [27 Mei 2008] Astyawati, T. 2002. Investigasi in Tick by vaccination. Pusat antar Universitas Ilmu Hayat, IPB (Laporan Penelitian). Brown BA. 1980. Hematology : Principles and Procedures.. Philadelphia : Lea&Febiger Chastain CB dan Ganjum VK. 1986. Clinical Endocrinology Companion Animals. Philadelphia : Lea & Febiger. Cochran PE. 2004. Laboratory Manual for Comparative Veterinary Anotomy and Physiology. Canada : Thomson Delmar Learn Deldar A. 1998. Textbook of Veterinary Histology, 5th edition. Editor : H. Dieter Dellmann and Joann Eurell. Lippincott Williams&Wilkins : USA. Dellmann HD dan Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner edisi ke-3. Jakarta : UI Pres Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak edisi ke-4. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi ke-20. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokeran Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. I Setiawan, LMAKA Tengadi, A Santoso, penerjemah; I Setiawan, editor. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea and Febiger. Jubb KVF, Kennedy PC dan Palmer N. 1991. Pathology of Domestic animal 4th edition, 3th vol. USA : Academic Press Inc Kresno SB. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Levine ND. 1985. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan G. Ashadi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Lord C. 2001. Brown Dog Tick-Rhipicephalus sanguineus Latreille http://creturs.ifas.ufl/urban/medical/brown_dog_tick.htm. [19 Mei 2008] Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152 : 27-29 Malole MBM dan Utami S. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Martini F, Obar WC, Garrison CW dan Wekh K. 1992. Fundamental of Anatomy and Physiologi, 2nd ed. New Jersey : A Simon and Schucter Company. Englewood Cliffs. Meredith A dan David AC. 2002.Rabbits. didalam Anna Meredith, Sharon Redrobe, editor. BSAVA Manual of Exotic Pets. Ed ke-4. Barcelona : Grafos. Meyer DJ dan John WH. 1998. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. Third Edition. USA : Saunder An Imprint of Elsevier Mullen G dan Durden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. Oxford : Academic Press An Imprint of Elsevier Noble ER dan Noble GA. 1989. Parasitolog iBiologi Parasit Hewan. Edisi ke-5. Terjemahan Wardiarto. Yogjakarta. : Gajah Mada University Press Percy DH dan Barthold SW. 2001. Pathology of Laboratory Rodents and Rabbits. Iowa.: Iowa State University Press. Hlm 284 Pereira MC. 2001. The Veterinary Parasitology Images and Gallery Arthropoda : Insecta and Acari http://icb.usp.br/~marcelp/Rhipicephalus.htm [21 Mei 2008] Romoser WS. 2004. Medical Entomology A Textbook Public Health and Veterinary Problems Caused by Arthropods. Revision Edition. Boston : Kluwer Academic Publisher Sarwono B. 2005. Kelinci Potong dan Hias. Agromedika Pustaka : Jakarta. Hlm 1-6 Seddon HR. 1968. Disease of Domestic Animals in Australia : Arthropod Infestation (Tick and Mites). Canberra : Commonwealth of Australia

Sigit SH dan Hadi UK. 2006. Hama Permukiman Indonesia. Bogor : UKPHP-IPB Smith JBBV dan Soesanto M. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Pres Soulsby EJL. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. London : Bailliere Tindall Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hlm 99-101 Swenson MJ. 1984. Dukes Physiology of Domestic Animal. 10th Edition. London : Cornell University Press Tizard I. 1982. Pengantar Imunology Veteriner. Canada : W. B. Saunder Company Tizard I. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Sixth edition. Canada W. B. Saunder Company Vanessa KL, Heathet LT, dan Kenneth SL. 2005. Small Mammal Hematology : Leucocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs. http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/lester/index.php [13 agustus 2008] Williams RE, Hall RD, Broce AB dan Scholl PJ. 1985. Livestock Entomology. New York : A Wiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. Yates JR. 1992. Rhipicephalus sanguineus Latreille. http://www.extento.hawaii.edu/kbase/urban/site/brdgtick.htm [22 Mei 2008]

Lampiran 1 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-2
Group Statistics Std. Error Mean 132.68069 237.50000 29.91958 30.71118 344.18645 226.66659 34.46528 68.69986 859.16706 515.51252

leukosit monosit heterofil eosinofil limfosit

perlakuan non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Mean 6725.0000 6787.5000 236.8388 301.0813 1731.9050 1452.9563 291.3088 434.9188 5896.4712 4598.5438

Std. Deviation 265.36139 475.00000 59.83916 61.42237 688.37289 453.33318 68.93055 137.39972 1718.33413 1031.02503

Independent Samples Test


Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means Mean Difference Std. Error Difference 272.0485 6 272.0485 6 42.87608 95% Confidence Interval of the Difference Upper Lower -728.17884 603.1788 4 650.1522 5 40.67149

F leukosit Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed 3.34 0

Sig. .117

t -.230

df 6 4.70 6 6 5.99 6 6 5.19 0 6 4.42 0 6 4.91 2

Sig. (2tailed) .826

-62.50000 62.50000 64.24250 64.24250 278.9487 5 278.9487 5 143.6100 0 143.6100 0 1297.927 50 1297.927 50

-.230

.828

-775.15225

monosit

.118

.742

-1.498

.185

-169.15649

-1.498 2.73 7

.185

42.87608 412.1189 8 412.1189 8 76.86043

-169.17382

40.68882 1287.367 56 1326.762 06 44.46071

heterofil

.149

.677

.524

-729.47006

.677 1.47 4

.527

-768.86456

eosinofil

.270

-1.868

.111

-331.68071

-1.868 1.10 5

.128

76.86043 1001.958 68 1001.958 68

-349.24250 1153.7770 7 1291.5893 8

62.02250 3749.632 07 3887.444 38

limfosit

.334

1.295

.243

1.295

.253

Lampiran 2 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-4
Group Statistics Std. Error Mean 639.45778 354.14216 85.72210 46.03540 367.59289 318.48425 111.76555 98.03672 290.10999 544.85326

leukosit monosit heterofil eosinofil limfosit

perlakuan non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Mean 11237.5000 9750.0000 384.3000 318.2125 2223.3625 2720.7963 999.9875 788.4750 7492.5025 5931.4413

Std. Deviation 1278.91556 708.28431 171.44420 92.07079 735.18578 636.96850 223.53111 196.07344 580.21997 1089.70652

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means Std. Error Sig. (2Mean Differen tailed) Difference ce t 2.035 df 6 .088 1487.500 00 1487.500 00 66.08750 730.973 95 730.973 95 97.3012 6 97.3012 6 486.371 00 486.371 00 148.669 89 148.669 89 617.275 37

F leukosit Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed .866

Sig. .388

2.035

4.682

.101

monosit

3.895

.096

.679

.522

.679 1.023 1.023 .035 .859 1.423

4.598

.530

66.08750 497.4337 5 497.4337 5 211.5125 0 211.5125 0 1561.061 25

heterofil

.017

.901

.346

5.881

.347

eosinofil

.205

1.423

5.900

.205

95% Confidence Interval of the Difference Upper Lower 3276.128 301.128 82 82 3405.565 430.565 61 61 304.1751 172.000 2 12 322.9396 190.764 9 69 692.6732 1687.54 1 071 698.5499 1693.41 2 742 575.2946 152.269 3 63 576.7974 153.772 1 41 50.6428 4 3071.479 66

limfosit

1.130

.329

2.529

.045

Equal variances not assumed

2.529

4.574

.057

1561.061 25

617.275 37

71.1330 9

3193.255 59

Lampiran 3 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-6
Group Statistics Std. Deviation 2749.65907 2513.09073 212.76378 100.55378 1039.52553 881.79816 307.46013 372.09676 1967.14228 1405.16888

leukosit monosit heterofil eosinofil limfosit

perlakuan non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Mean 9137.5000 10362.5000 470.9575 363.1250 2271.7863 3140.0000 605.8750 762.0000 5788.8800 6097.2500

Std. Error Mean 1374.82953 1256.54536 106.38189 50.27689 519.76276 440.89908 153.73006 186.04838 983.57114 702.58444

Independent Samples Test


Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means Sig. (2tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Upper Lower 5782.47 596 3332.475 96

F leukosit Equal variance s assume d Equal variance s not assume d Equal variance s assume d Equal variance s not assume d Equal variance

Sig.

df 1225.0000 0 1862.5419 5

.002

.967

-.658

.535

-.658

5.952

.535

1225.0000 0

1862.5419 5

5791.38 391

3341.383 91

monosit

.881

.384

.916

.395

107.83250

117.66424

180.081 51

395.7465 1

.916

4.276

.408

107.83250

117.66424

210.692 76 2535.96

426.3577 6 799.5417 2

heterofil

.146

.715

-1.274

.250

868.21375

681.57562

eosinofil

limfosit

s assume d Equal variance s not assume d Equal variance s assume d Equal variance s not assume d Equal variance s assume d Equal variance s not assume d

922

-1.274

5.845

.251

868.21375

681.57562

2546.78 094

810.3534 4

.224

.653

-.647

.542

156.12500

241.34401

746.672 52

434.4225 2

-.647

5.794

.542

156.12500

241.34401

751.797 89

439.5478 9

.308

.599

-.255

.807

308.37000

1208.7336 7

3266.03 474

2649.294 74

-.255

5.429

.808

308.37000

1208.7336 7

3343.08 917

2726.349 17

Lampiran 4 Hasil t-Test sel darah putih kelinci yang tidak divaksin dan yang divaksin pada minggu ke-7

Group Statistics Std. Error Mean 835.91267 545.19683 36.76863 73.89111 83.99990 340.89010 162.93360 89.34717 573.09788 778.00525

leukosit monosit heterofil eosinofil limfosit

perlakuan non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin non vaksin vaksin

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Mean 8650.0000 9862.5000 217.8750 270.7500 1545.5625 2583.7500 666.4375 788.5000 6220.1250 6224.0000

Std. Deviation 1671.82535 1090.39366 73.53726 147.78222 167.99980 681.78021 325.86720 178.69434 1146.19576 1556.01050

Independent Samples Test


Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means Sig. (2-tailed) Mean Difference Upper .270 -1212.50000 Std. Error Difference Lower 95% Confidence Interval of the Difference Upper Lower 1229.5003 3654.5003 5 5 3754.0027 4 -254.82793 1329.0027 4

F leukosit Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed 2.723

Sig. .150

t -1.215

df 6

Lower

997.99278

-1.215

5.161

.277

-1212.50000

997.99278

monosit

1.762

.233

-.641

.545

-52.87500

82.53380

149.07793

-.641

4.400

.554

-52.87500

82.53380

-274.04192 1897.2663 2 2090.2827 3 -576.75558

168.29192

heterofil

2.773

.147

-2.957

.025

-1038.18750

351.08695

-179.10868

-2.957

3.363

.052

-1038.18750

351.08695

13.90773

eosinofil

4.092

.090

-.657

.536

-122.06250

185.82324

332.63058

-.657

4.655

.542

-122.06250

185.82324

-610.59682 2368.3229 6 2419.6353 1

366.47182

limfosit

.130

.730

-.004

.997

-3.87500

966.29879

2360.5729 6 2411.8853 1

-.004

5.515

.997

-3.87500

966.29879

Lampiran 5 Skema pemuatan ekstrak caplak R. sanguineus

Caplak betina dewasa Supernatan dibuang, organ disuspensikan dalam PBS Sonifikasi (10 menit)

Diseksi

Direndam dalam larutan PBS (pH 7,4)

Organ disentrifuse 5000g (15 menit)


Sentrifuse 15000g (1jam, 4C) Disimpan

Disimpan 20C

Supernatan difiltrasi dengan miliophore (0,22 m) - 20C

Digunakan

You might also like