You are on page 1of 37

http://wicaksanamentalhealth.blogspot.com/2010/02/terapi-spiritual-untuk-pasien-psikotik.

html Selasa, 16 Februari 2010

TERAPI SPIRITUAL UNTUK PASIEN PSIKOTIK, MUNGKINKAH?

Pada acara Gebyar Ramadhan bulan September tahun 2008 ini, rekan-rekan perawat di RS Jiwa Magelang selain mengadakan pengajian-pengajian tiap Kamis juga mengadaakan acara istimewa, yaitu seminar bertajuk Pendekatan Spiritual pada pasien gangguan jiwa. Sebagai psikiater, saya diminta sebagai pembicara, lainnya adalah seorang guru keperawatan, dan seorang roghaniwan atau ustadz. Seminar ini disulut oleh, mulai tahun ini oleh bagian rehabilitasi ditawarkan perawat-perawat jiwa yang secara sukarela bergilir ke bangsal-bangsal untuk memberikan ceramah keagamaan singkat pada seluruh pasien sebangsal. Munculah pro dan kontra. Apakah upaya spiritual itu bisa diterima oleh seluruh pasien, yang praktis masih berwaham dan berhalusinasi? Apakah bukan malah kontraindikasi, atau memperburuk keadaannya? Untuk pasien-pasien nonpsikotik yang rawat jalan, hal ini tidak masalah. Tulisan ini merupakan inti makalah saya, ditambah diskusi seru yang terjadi dari para peserta seminar yang terdiri atas para perawat jiwa, psikiater, psikolog, pekerja sosial, dan para petugas lain di RSJ Magelang. Istilah spirit dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti roh, jiwa, semangat, arwah, jin, hantu. Sedang spiritual berarti bathin, rohani, bantuan bathin, dan keagamaan. Bukan berarti terapi sprititual lalu berati terapi hantu-hanyuan. Yang dimaksud terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan terapi keagamaan, relijius, atau psikorelijius, yang berarti terapi dengan menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dsb. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya, tidak selalu dengan agama formal, jadi lebih universal seperti yang kita lihat pada buku-buku teks. Yang dimaksud dalam diskusi ini adalah terapi spiritual dengan memakai agama formal yang dianut masing-masing pasien. Panitia meminta saya untuk menjelaskan apa itu jiwa, gangguan jiwa dan penggolongannya, kesadaran. Jiwa atau psychesesungguhnya sangat sulit dijelaskan. Apakah ini sama dengan roh, sukma, bathin, rochani?, tidak tepat benar. Yang jelas jiwa itu tidak bisa dilihat, yang secara obyektif bisa dilihat adalah perilakunya (behaviour). Perilaku ini meliputi ekspresi kognitif, afektif, psikomotor dalam berkomunikasi dan interaksi dengan manusia lain. Orang tak bisa dinilai jiwa atau kepribadiannya bila ia sendirian ditengah padang pasir yang luas. Pada tahun 1960an, psikosis dianggap sebagai perilaku yang menyimpang akibat proses belajar yang keliru. Dalam diagnosis psikiatri, jiwa sama sekali tidak dibicarakan, yang ada adalah kelompok-kelompok sindrom perilaku yang digolong-golongkan. Inilah pandangan dunia angkatan pertama : psikologi/psikiatri behaviorisme. Sampai sekitar 1970an, pandangan baku dalam psikiatri ialah bahwa psikosis (skizofrenia), diakibatkan oleh defek pada fungsi ego, ketidakmampuan mengendalikan dorongan dalam (inner drives),narsistik awal, ketidakmampuan beradaptasi dengan dunia luar yang menghasilkan dunia rekaan seperti waham dan halusinasi, pengalaman masa kecil yang teraumatis terutama obyek-relasi yang salah dan pengaruh ibu yang menderita kecemasan. Jiwa diperhitungkan sebagai motif-motif tak sadar, terutama yang berkaitan dengan sex. Inilah angkatan kedua : psikoanalisis Freud dan pengikut-pengikutnya. Pada 20 tahun berikutnya, konsep psikoanalisis mulai tergeser oleh penjelasan neurokimiawi. Psikosis skizofrenia adalah biologically-based brain desease. Ketidakseimbangan neurotransmiter di celah sinaptik otak yang harus dibetulkan dengan obat psikotropik sepanjang hayat. Manusia dianggap organ-organ yang digerakkan mesin yang bila rusak diberi obat jangka panjang. Jiwa tetap tak tersentuh. Pada tahun yang sama, survey psikiatris membuktikan bahwa 95% pasien psikiatrik memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap Tuhan, suatu pengalaman spiritual. Mulailah kemudian jiwa lebih jelas didekati, sebagai eksistensi manusia, harapan dan penderitaannya, makna hidup, makna Tuhan, pendekatan diri pada Tuhan. Mulailah angkatan ketiga ; humanistis-eksistensial. Jung berselisih pendapat dengan Freud karena keinginannya untuk menaikan psikoanalisis dari sekedar gejolak seksual ke pengalaman kejiwaan manusia, yaitu pengalaman spiritual. Frankl menegaskan upaya rohaniah manusia untuk mencari makna.Assaglioli menjelaskan tahap spiritual ketika manusia berhubungan dengan energi spiritual kreatif yang disebut sebagaisuprakesadaran. Jiwa manusia sekarang lebih diartikan sebagai pikiran dan alam perasaan manusia akan eksistensinya, makna hidupnya, menyerahkan dan mendekatkan diri pada Tuhannya. Maka mulailah terapi spiritual, yang dulu di jaman demonologi (gangguan jiwa karena setan) dalam sejarah psikiatri pernah menjadi terapi pokok pada gangguan mental, kembali dipertimbangkan sebagai upaya terapi selain terapi-terapi lain pada gangguan mental psikotik dan nonpsikotik. Masalahnya pada psikotik, ego dan pikiran rasional (penalaran) runtuh, timbul waham, halusinasi dan kerusakan daya nilai realitas, sehingga ini harus diperbaiki dulu dengan obat-obat antipsikotik sebelum terapi spiritual yang membutuhkan abstraksi itu bisa dijalankan. Berpikir abstrak, konseptual, menilai realitas, jelas membutuhkan kesadaran. Apakah kesadaran itu? Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima rangsang sensorik panca indra, minilai realitas dan orientasi, mengingat pengalaman yang lalu maupun sekarang. Kesadaran bisa dipandang dua hal. Kuantitatif, yaitu orientasi terhadap orang, waktu, tempat, situasi, bila baik disebut composmentis : dan kualitatif, untuk menilai realitas sekitar, yang bila terganggu nampak seperti mimpi atau berkabut. Kesadaran bisa terganggu oleh gejala-gejala psikotik seperti waham dan halusinasi. Untuk terapi spiritual gangguan mental bisa dibagi dua golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan psikotik. Untuk non psikotik banyak jenisnya, seperti gangguan cemas, gangguan somatoform, depresi,gangguan kepribadian, dll. Sedang gangguan psikotik adalah : (1) Skizofrenia (5 tipe); (2) Gangguan Afektif Berat dengan gejala psikotik ( Bipolar manik dan Depresi Berat); (3) Skizoafektif; (4) Psikosis Polimorfik Akut; (5) Gangguan Waham Menetap; (6) Psikosis Non Organik lainnya; dan (7) Gangguan Psikotik Organik. Mengapa pada gangguan psikotik (skizofrenia) terapi spiritual tidak bisa langsung dikerjakan? Bahkan merupakan kontraindikasi? Ciri gangguan psikotik adalah : ego yang collaps atau disfungsi, penalaran runtuh, adanya waham (pikiran terdistorsi), halusinasi (pendengaran, visual, penciuman, tactil) , gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), tingkah laku kacau atau katatonik, gangguan daya nilai realitas, da tidak adanya kesesuaian antara pikiran dengan perasaan dan tindakan. Karena hal itu semua maka pada psikotik, penderita tidak mampu mengarahkan kemauannya secara sadar, tidak mempunyai tilikan diri, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan secara salah karena gejala-gejala itu semua berpengaruh kuat pada proses pikirnya. Misalnya, akan timbul rasa bersalah atau berdosa dan tidak berguna, yang berlanjut ke usaha bunuh diri. Atau munculnya kembali waham paranoid karena merasa mau dijejali ide-ide agama oleh musuh-musuhnya secara terencana. Apa syarat terapi spiritual bisa dikerjakan untuk pasien-pasien psikotik (skizofrenia)? Yaitu ; (1) bila dengan pengobatan antipsikotik selama 2-4 mg, gejalagejala waham, halusinasi, inkoherensi dan tingkah laku kacau (gaduh gelisah) sudah mereda; (2) ego dan penalaran sudah mulai berfungsi kembali sehingga interpretasi terhadap ide-ide sudah tepat; (3) status mental tidak rentan/rapuh atau emosi sudah stabil; (4) bila perlu dengan skor Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) yang sudah minimal. Seperti apakah variasi pasien psikotik yang siap menerima terapi spiritual? Misalnya : (1) skizofrenia tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil keluarganya; (2) pasien masuk dengan gejala samar skizofrenia residual, pasif apatis, keluarga hanya tidak mau merawatnya di rumah dengan alasan apapun; (3) pasien psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda, tapi masih impulsif dan cenderung lari pulang;

(4) pasien depresi berat dengan gejala psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda meski harus hati-hati karena terapi spiritual bisa menyulut waham bersalah dan berdosanya; (5) psikosis polimorf akut (E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah reda gaduh gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum berani mengambil.. Terapi spiritual ada dua jenis, individual dan kelompok. Yang individual berarti suatu psikoterapi religius. Psikoterapi dengan memasukkan unsur-unsur religius. Yang kedua berbentuk kelompok. Mungkin seperti psikoterapi kelompok tapi memakai unsur keagamaan. Untuk kedua jenis ini berarti harus ada interaksi antara terapis dengan pasien. Bagi yang kelompok, saya usulkan dua model. Pertama, dalam bentuk ceramah keagamaan (religius) intensif untuk 15-20 pasien psikotik (setelah diseleksi, tidak seluruh pasien satu bangsal). Dengan memberi kesempatan pasien bertanya atau memancing pertanyaan. Model yang kedua sama dengan yang pertama tapi ditambah kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, doa, dzikir, pengkajian ayat-ayat suci. Bagaimana substansi materi keagamaan yang cocok untuk diberikan sebagai terapi spiritual bagi pasien-pasien psikotik? Sebaiknya materi yang bersifat : (1) ajaran keagamaan yang tidak terlalu dogmatis, memvonis atau menghukum, penuh larangan, ancaman siksa neraka, dll; (2) ajaran agama (firman Tuhan, sabda Nabi, hadist) yang memberi tuntunan untuk berbagai tindakan dalam kehidupan sehari-hari; (3) ajaran keagamaan yang menyejukkan, bisa menetralisir konflik, memberi solusi problematika dalam kehidupan sehari-hari; (4) ajaran keagamaan yang mendekatkan diri pada Tuhan, memasrahkan diri dengan ichlas, tabah dan tawakal, memberi harapan dan pencerahan rochani. Larson dkk (1982) dalam Dadang Hawari (2001) melaksanakan penelitian tentang terapi spiritual untuk pasien skizofrenia di RSJ. Mereka membandingkan keberhasilan terapi pada dua kelompok pasien skizofrenia. Kelompok pertama mendapat terapi konvensional (psikofaramaka) dan lain-lain tapi tidak mendapat terapi sipitual (keagamaan). Kelompok kedua mendapat terapi konvensional dan lain-lain dan mendapat terapi spiritual. Kedua kelompok tersebut dirawat di RSJ yang sama. Hasil penelitian ini cukup bermakna bahwa : (1) gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang pada kelompok kedua yang mendapat terapi spiritual; (2) pada kelompok kedua lamanya perawatan lebih pendek daripada kelompok pertama; (3) pada kelompok kedua, hendaya (impaiment) lebih cepat teratasi daripada kelompok pertama; (4) pada kelompok kedua kemampuan adaptasi lebih cepat daripada kelompok pertama. Terapi spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian pada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci. Dalam diskusi, saya usulkan penelitian ini bisa ditiru dan diulang kembali disini, dengan memakai instrumen Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) oleh para psikiater dan instrumen kesiapan pasien pulang oleh para perawat sebelum dan sesudah penelitian dikerjakan. Diambil 30 pasien skizofrenia dan 30 pasien skizofrenia untuk kontrol, yang sudah di matching, di seleksi dari sekitar 800 pasien yang tersebar di 26 bangsal RSJ Magelang. Untuk lama perawatan tidak relevan, karena di kebanyakan RSJ lama perawatan ditentukan oleh kesediaan keluarga untuk mengambil pasien pulang. Meski pasien sudah baik dan dinyatakan boleh pulang, bila keluarga tak pernah menengok dan disurati tiga kali tak pernah datang, pasien akan tetap dirawat meski sudah lebih dari setahun. Muncul kritik dari para perawat terhadap materi dari guru keperawatan yang menyamakan terapi spiritual sebagai terapi modalitas. Terapi spiritual tidak tepat bila dianggap sebagai terapi modalitas, kata para perawat yang tahu benar terapi modalitas itu. Muncul pula pertanyaan, kita ini bukan ahli agama, ulama, atau rochaniwan, bagaimana mungkin harus memberikan terapi spiritual? Ini dijawab, bahwa para ulama, rochaniwan, tidak menghadapi, merawat dan memikirkan pasien skizofrenia. Yang bergulat setiap hari merawat skizofrenia adalah para perawat dan psikiater, jadi kitalah yang harus memberikan terapi religious itu dengan mempelajari ilmu agama masing-masing. Muncul pula pendapat, bahwa menurut para kyai atau ustadz, orang sakit jiwa atau gila itu andaikan sholat, sholatnya tidak sah dan tidak akan diterima Tuhan. Ini sama dengan ibadah haji, bila orang menunaikan ibadah haji di Mekah sana dan psikotiknya kumat maka ia akan ditangkap asykar Arab dan dimasukkan asylum (RSJ) untuk dilepas lagi setelah musim haji selesai karena dianggap ibadahnya toh tidak sah. Lalu untuk apa diberi terapi spititual yang memakai sembahyang bersama dalam modelnya? Ini dijawab kakak kelas saya, dr Wildan, SpKJ yang cukup mendalam pengetahuan agamanya. Kita ini kok seperti bakulan, sholat atau sembahyang dengan perhitungan sah atau tidak, diterima Tuhan atau tidak. Sembahyang atau sholat adalah upaya untuk mendekatkan diri, memasrahkan diri pada Tuhan, memuji kebesaran Tuhan, perkara diterima aua tidak itu bukan urusan kita, itu urusan Tuhan. Alangkah tidak adilnya Tuhan, atau tidak pemurahnya Tuhan, bila orang yang sakit jiwa memuji nama Nya, menyerahkan diri padaNya, dan tidak diterimaNya. Dan apakah kita sendiri yakin, bahwa kita yang waras ini bila sholat mesti diterima Tuhan? Kata-kata psikiater senior saya ini bagai petir disiang hari bolong yang menhantam ruang seminar Sasonobudoyo membuat seluruh hadirin terdiam tak berkutik. Jadilah terapi spiritual akan dilaksanakan untuk pasien psikotik skizofrenia. Tapi dengan terlebih dahulu mengadakan penelitian untuk menilai sejauh mana manfaatnya, dan menyelenggarakan workshop model terapi dan pendalaman materi keagamaan. Pasien psikotik skizofrenia yang sudah reda gejalanya dan menunggu keluarganya menjemput pulang berhak sepenuhnya mendapat tuntunan ibadah keagamaan yang menenteramkan dan menyejukkan hati dengan mendekatkan diri pada Tuhannya.**** *) dr Inu Wicaksana, SpKJ(K)<>

Diposkan oleh inuadiksi di 02.59

http://abahayats.blogspot.com/2009/12/peranan-agama-dalam-terapipenyakit.html Minggu, 06 Desember 2009 PERANAN AGAMA DALAM TERAPI PENYAKIT JIWA
by Hadi Komara P

PENDAHULUAN Dalam Undang-undang no 23 tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan social yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara social dan ekonomi. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit dan secara klinis benar benar tidak sakit, semua organ tubuh normal dan berfungsi normal atau tidak ada gangguan fungsi tubuh. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 hal yakni pikiran, emosional dan spiritual. Pikiran yang sehat terlihat dari cara pikir seseorang yang logis, emosional yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosionalnya missal, takut sedih atau gembira, spiritual yang baik terlihat dari praktek keagamaan seseorang, yakni kita bisa melaksanakan apa yang diajarkan dan menjauhi berbagai larangan. Kesehatan social terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain secara baik, atau mampu berinteraksi seseorang atau kelompok lain tanpa melihat SARA, atau bisa terlihat dari sikap saling toleransi dan menghargai. Dengan kondisi sehat badan, jiwa dan social akan menumbuhkan terhadap sehat secara ekonomi, yakni terlihat dari produktivitas seseorang, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong hidupnya atau keluarganya secara financial. Dengan demikian tingkat kesehatan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas suatu bangsa. Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) pada Puncak Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) Tahun 2008 di halaman kantor Walikota Bogor, 20-102008.. Hadir dalam acara ini para Pejabat di lingkungan Depkes, Depdagri, Depsos, Depdiknas, Depag, Perwakilan WHO Indonesia, dan LSM. menegaskan bahwa masalah kesehatan jiwa sangat mempengaruhi produktifitas dan kualitas kesehatan perorangan maupun masyarakat yang tidak mungkin ditanggulangi oleh sektor kesehatan saja. Mutu SDM tidak dapat diperbaiki hanya dengan pemberian gizi seimbang namun juga perlu memperhatikan 3 aspek dasar yaitu fisik/jasmani (organo biologis), mentalemosional/jiwa (psikoedukatif), dan sosial-budaya/lingkungan (sosiokultural). Dalam kesempatan tersebut, Menkes menyampaikan 5 pesan mengenai kesehatan jiwa Indonesia, yaitu : 1. Kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan; tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. 2. Status kesehatan jiwa individu sangat menentukan kualitas hidup, karena status kesehatan jiwa yang buruk akan menurunkan indeks pembangunan manusia Indonesia. 3. Kesehatan jiwa harus terintegrasi ke dalam semua aspek kesehatan, kebijakan publik, perencanaan sistem kesehatan serta pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. 4. Penanggulangan masalah kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyrakat, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat serta penderita dan keluarganya. 5. Setiap warga negara harus memelihara kesehatan jiwa dan raganya agar dapat hidup dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara. Atas dasar definisi Kesehatan tersebut di atas, maka manusia selalu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Dari unsur "badan" (organobiologik), "jiwa" (psikoedukatif) dan sosial (sosio-kultural), yang tidak dititik beratkan pada penyakit tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dan "kesejahteraan" dan produktivitas sosial ekonomi. Dan definisi tersebut juga tersirat bahwa "Kesehatan Jiwa" merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari "Kesehatan" dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Menurut Undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan "Kesehatan Jiwa" adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: "Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan- memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan

dalam hubungannya dengan manusia lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain. Masalah jiwa, tentu saja masalah kerohanian atau nyawa dalam tubuh manusia. Jiwa adalah energi mental yang memiliki kekuatan untuk dapat memotivasi terjadinya proses perilaku yang menjadi bentukan aktivitas yang dilakukan sehari-hari . Tanpa jiwa, tentu manusia bukan apa-apa dan tidak disebut sebagai manusia. Karena itu mungkin jiwa adalah bagian dari manusia yang penting. Pemahaman manusia tentang sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa dari waktu ke waktu terus berkembang. Oleh karena itu, upaya penyembuhannya pun akan mengikuti perkembangan etiologinya. Pada abad ke-15 gangguan jiwa masuk dalam era demonologis yang menganggap gangguan jiwa adalah akibat guna-guna atau gangguan setan/roh jahat. Pada masa itu upaya penyembuhan dilakukan dengan mengusahakan agar setan-setan yang mengganggu manusia meninggalkan tubuh pasien, antara lain dengan dibacakan mantera, mengeluarkan darah dari tubuh pasien bahkan melubangi batok kepala (Colp R, 2001; Maramis, 1994). Sampai dengan pertengahan abad 20 persepsi para tokoh atau ahli kesehatan pada umumnya memandang agama sebagai sisi negatif terhadap kesehatan jiwa. Maklumlah para pakar kesehatan jiwa pada waktu itu sebagian besar beraliran atheis, seperti Sigmund Freud, Albert Ellis dll. Pandangan mereka terhadap agama tercermin dalam beberapa pernyataan mereka antara lain menurut Sigmund Freud: A religious man is: an infantile helplessness, a regression to primary narcissism, a borderline psychosis, a primitive infantile state dan a universal obsessional neurotic. Sementara itu, menurut Albert Ellis, pemikiran orang beragama dianggap sebagai: irrational thinking and emotional disturbance (Larson, 2000). Pada pertengahan abad ke-20 perkembangan bergeser kepada era fisikalistik, yang menganggap bahwa semua sebab penyakit adalah akibat dari ketidakseimbangan fisikbiologik, dan parameter kesakitan sudah barang tentu disandarkan pada parameter somatik dari pasien (Notosoedirdjo, 1999). Dengan demikian, upaya penyembuhan gangguan jiwa difokuskan dengan cara fisik-biologik pula. Pada fase ini perkembangan psikofarmakologi maju pesat sampai saat ini, di samping terapi kejang listrik (ECT). Namun demikian, perkembangan pesat di bidang psikofarmakologik dan terapi fisik lainnya tidak dapat menyembuhkan semua diagnosis gangguan jiwa. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan hasil terapi gangguan jiwa terus dilakukan penyempurnaannya. Mengingat bahwa hanya dengan mengandalkan aspek fisik-biologik saja banyak fenomena psikiatrik yang tidak dapat dijelaskan, maka Karen Horney mengajukan konsep holistik, yaitu terapi yang menyeluruh dalam penyembuhan gangguan jiwa. Jadi, selain memberikan terapi fisik-biologik, juga diberikan terapi psikologik dan terapi sosial. Pada era ini berkembang berbagai jenis psikoterapi, seperti psikoanalisis oleh Sigmund Freud, Existensial humanistik oleh Abraham Maslow, Client Centered oleh Carl Rogers, Terapi Gestalt oleh Fritz Perls, Analisis Transaksional oleh Eric Berne, Terapi Tingkah laku oleh Wolpe dan BF Skinner, Terapi Rasional Emotif oleh Albert Ellis, serta Terapi Realitas oleh Williams Glaser.(Corey, 1999., Maramis, 1994). Dengan kemajuan teknologi kedokteran saat ini ternyata masih belum mampu diselesaikan berbagai masalah kesehatan jiwa baik ditinjau dari faktor etiologi maupun faktor terapinya. Oleh karena itu, upaya untuk menyempurnakan penyelesaian masalah gangguan jiwa terus dilakukan, sehingga pada awal tahun 1980-an peran budaya, spiritual dan keagamaan mulai mendapat perhatian. Sejak tahun 1994 secara resmi WHO memasukkan aspek spiritual sebagai salah satu komponen dalam upaya memperoleh sehat jiwa, dan sejak itu konsep holistik dilengkapi menjadi: bio-psiko-sosio-spiritual (Hawari, 2005). Trujillo (2001) dan Kiresuk (2001) ketika membahas Cultural Psychiatry dalam Comprehensive Textbook of Psychiatry menyatakan bahwa faktor spiritualitas yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa meliputi pelbagai aspek, termasuk di dalamnya adalah aspek keagamaan. Juga dikatakan bahwa modalitas agama dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keefektifan terapi personal nonspesifik terhadap pasien dengan gangguan jiwa. Agama sangat penting dalam mengatasi masalah gangguan kejiwaan manusia karena dengan agama manusia dibimbing dalam kehidupannya. Masalah gangguan jiwa adalah akibat ketidakmapanan seseorang dalam berpersepsi dan mengeksistensikan dirinya dalam kehidupan ini. Dengan agama orang akan ber-positIve thinking, self control & self esteem yang baik, memiliki cara penyelesaian masalah yang spesifik, sehingga daya tahan mentalnya menjadi lebih baik.

Mengingat bahwa peran agama dalam peningkatan kesehatan jiwa sangat penting tetapi sampai sekarang masih termarjinalkan keberadaanyannya, maka dalam kesempatan ini penulis membahas Peranan agama dalam terapi kejiwaan. Oleh karena bagaimanapun peranan agama bagi kehidupan tidak bisa dipisahkan secara fitrah kemanusian.

MASALAH GANGGUAN JIWA Menurut American Psychiatric Association (APA, 1994), gangguan mental adalah gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang dari berhubungan dengan keadaan distres (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu. Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive terhadap stresor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu. Oleh karena itu Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (www.dinkes-dki.go.id.htm). Kesehatan jiwa meliputi: 1) Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri 2) Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain 3) Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari-hari Gejala Gangguan Jiwa (Maramis, 1995) : 1. Gangguan kesadaran a. Penurunan kesadaran (1) Apati Mengantuk dan acuh-tak-acuh terhadap rangsang yang masuk; diperlukannya rangsang yang sedikit lebih keras dai biasanya untuk menarik perhatiannya. (2) Somnolensi Jelas sudah lebih mengantuk dan rangsang yang lebih keras lagi diperlukan untuk menarik perhatiannya. (3) Sopor Hanya berespon dengan rangsang yang keras; ingatan, orientasi, dan pertimbangan sudah hilang. (4) Subkoma dan koma Tidak ada lagi respons terhadap rangsang yang keras; bila sudah dalam sekali, maka reflek pupil (yang sudah melebar) dan reflex muntah hilang lalu timbullah reflex patologik. b. Kesadaran yang meninggi Kesadaran yang meninggi adalah keadaan dengan respons yang meninggi terhadap rangsang: suara-suara terdengar lebih keras, warna-warni kelihatan lebih terang: disebabkan oleh berbagai zat yang merangsang otak. c. Tidur Gangguan tidur dapat berupa: insomnia, berjalan waktu tidur, mimpi buruk, narkolepsi, kelumpuhan tidur. d. Hipnosa Kesadaran yang sengaja diubah (menurun dan menyempit, artinya menerima rangsang hanya dari sumber tertentu saja) melalui sugesti; mirip tidur dan ditandai oleh mudahnya disugesti; setelah itu timbul amnesia. e. Disosiasi Adalah sebagian tingkah laku atau kejadian memisahkan dirinya secara psikologik dari kesadaran. Kemudian terjadi amnesia sebagian atau total. Disosiasi dapat berupa: trans, senjakala histerik, fugue, serangan histerik, sindroma ganser, menulis otomatis. f. Kesadaran yang berubah Tidak normal, tidak menurun, tidak meninggi, bukan disosiasi, tetapi kemampuan mengadakan hubungan dengan dan pembatasan terhadap dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf tidak sesuai dengan kenyataan (secara kwalitatif), seperti pada psikosa fungsional.

g. Gangguan Perhatian Tidak mampu memusatkan (memfokus) perhatian pada hanya satu hal/keadaan, atau lamanya memusatkan perhatian itu berkurang daya konsentrasi terganggu. 2. Gangguan ingatan Ingatan berdasarkan tiga proses utama, yaitu pencatatan atau registrasi, penahanan atau resistensi, dan pemanggilan kembali atau recall. Gangguan ingatan terjadi bila terdapat gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga unsur tersebut. a. Gangguan ingatan umum Gangguan ingatan tidak terbatas pada suatu waktu tertentu saja dan dapat meliputi: kejadian yang baru saja terjadi dan kejadian yang sudah lama berselang terjadi. b. Amnesia Adalah ketidakmampuan mengingat kembali pengalaman, mungkin bersifat sebagian atau total, serta retrograd atau anterograd. c. Paramnesia Adalah ingatan yang keliru karena distorsi pemanggilan kembali (recall). d. Hipermnesia Adalah penahanan dalam ingatan dan pemanggilan kembali (arecall). 3. Gangguan orientasi Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenal lingkungannya serta hubungannya dalam waktu dan ruang terhadap dirinya sendiri dan juga hubungan dirinya sendiri dengan orang lain. Disorientasi atau gangguan orientasi timbul sebagai akibat gangguan kesadaran dan dapat menyangkut waktu, tempat, atau orang. 4. Gangguan afek dan emosi Afek adalah nada perasaan, menyenangkan, atau tidak menyenangkan, yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama serta kurang disertai oleh komponen fisiologik. Emosi adalah manifestasi afek ke luar dan disertai oleh banyak komponen fisiologik, lagi pula biasanya berlangsung relatif tidak lama (misalnya: ketakutan, kecemasan, depresi dan kegembiraan). Bilamana afek dan emosi itu sudah begitu keras, sehingga fungsi individu itu terganggu, maka dikatakan telah terjadi gangguan afek atau emosi yang dapat berupa: a. Depresi Depresi dengan komponen psikologik, misalnya: rasa sedih, susah, rasa tak berguna, gagal, kehilangan, tak ada harapan, putus asa, penyesalan yang patologis; dan komponen somatik, misalnya: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan nadi menurun sedikit. b. Kecemasan dan ketakutan Kecemasan dapat dibedakan kecemasan (tidak jelas cemas terhadap apa) dari ketakutan atau fear (jelas atau tahu takut terhadap apa). Komponen psikologiknya dapat berupa: khawatir, gugup, tegang, cemas, rasa tak aman, takut, lekas terkejut, sedangkan komponen jenis somatiknya misalnya: palpitasi, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi, respons kulit terhadap aliran listrik galvanik berkurang, peristaltik bertambah, lekositosis. Kecemasan dapat berupa: (1) Kecemasan yang mengambang ( free-floating anxiety); kecemasan yang menyerap dan tidak ada hubungannya dengan suatu pemikiran; (2) Agitasi: kecemasan yang disertai kegelisahan motorik yang hebat; (3) Panik: serangan kecemasan yang hebat dengan kegelisahan, kebingungan dan hiperaktivitas yang tidak terorganisasi. c. Efori Rasa riang, gembira, senang, bahagia yang berlebihan; bila tidak sesuai dengan keadaan maka ini menunjukkan adanya gangguan jiwa; jika lebih keras lagi dinamakan elasi dan jika keras sekali dinamakan exaltasi. d. Anhedonia Ketidakmampuan merasakan kesenangan, tidak timbul perasaan senang dengan aktivitas yang biasanya menyenangkan baginya. e. Kesepian Merasa dirinya ditinggalkan. f. Kedangkalan Kemiskinan afek dan emosi secara umum (berkurang, secara kwantitatif); dapat digambarkan juga sebagai datar, tumpul, atau dingin yang sama maksudnya; istilahistilah ini tidak menunjukkan gradasi. Umpamanya kedangkalan emosi ialah tidak atau hanya sedikit merasa / kelihatan gembira atau sedih dalam keadaan atau mengenai sesuatu hal yang benar-benar menggembirakan atau menyedihkan. g. Afek atau emosi tak wajar

Tak wajar atau tak patut dalam situasi tertentu (terganggu secara kwalitatif), umpamanya ketawa terkikih-kikih waktu wawancara. Bila extrim akan menjadi inadequate, yaitu afek dan emosi yang bertentangan dengan keadaan atau isi pikiran dan dengan isi bicara. h. Afek atau emosi labil Berubah-ubah secara cepat tanpa pengawasan yang baik, umpamanya tiba-tiba marahmarah atau menangis. i. Variasi afek atau emosi sepanjang hari Perubahan afek dan emosi mulai sejak pagi sampai malam hari. Umpanya, pada psikosa manik-depresi maka jenis depresinya lebih keras pada pagi hari dan menjadi lebih ringan pada sore hari. j. Ambivalensi Emosi dan afek yang berlawanan timbul bersama-sama terhadap seorang, suatu obyek atau suatu hal. k. Apati Berkurangnya afek dan emosi terhadap sesuatu atau terhadap semua hal dengan disertai rasa terpencil dan tidak peduli. l. Amarah, kemurkaan, dan permusuhan Sering dinyatakan dalam sifat agresi. Bila ditujukkan kepada pemecahan masalah dan dipakai sebagai pembelaan terhadap suatu serangan yang yata, maka agresi itu konstruktif sifatnya. Agresi itu menjadi: patologik bila tidak realistik, menghancurkan dirinya sendiri, tidak ditujukan kepada pemecahan masalah dan jika merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. 5. Gangguan psikomotor Psikomotor adalah gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa: jadi merupakan efek bersama yang mengenai badan dan jiwa. Gangguan psikomotorik dapat berupa: a. kelambatan Secara umum gerakan dan reaksi menjadi lambat. b. Peningkatan Aktivitas dan reaksi umum meningkat. c. Tik (tic) Gerakan involunter, sekejap serta berkali-kali mengenai sekelompok otot atau bagian badan yang relatif kecil. d. Bersikap aneh Dengan sengaja mengambil sikap atau posisi badan yang tidak wajar, yang aneh atau bizar. e. Grimas Mimik yang aneh dan berulang-ulang. f. Stereotipi Gerakan salah satu anggota badan yang berkali-kali dan tidak bertujuan. g. Pelagakan (mannerism) Pergerakan atau lagak yang stereotip dan teatral (seperti sedang bermain sandiwara). h. Ekhopraxia Langsung meniru pergerakan orang lain pada saat dilihatnya; ekholalia: langsung mengulangi atau meniru apa yang dikatakan orang lain. i. Otomatisma perintah (command automatism) Menuruti sebuah perintah secara otomatis tanpa memikir dulu. j. Otomatisma Berbuat sesuatu secara otomatis sebagai pernyataan (expresi) simbolik aktivitas tak sadar. k. Negativisme Menentang nasihat atau permintaan orang lain atau melakukan yang berlawanan dengan itu. l. Kataplexia Tonus otot menghilang dengan mendadak dan sejenak, juga timbul kelemahan umum dengan atau tanpa penurunan kesadaran, yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan emosi. m. Gangguan somatomotorik pada reaksi konversi Menggambarkan secara simbolik suatu konflik emosional dan dapat berupa: (1) Kelumpuhan (2) pergerakan yang abnormal, umpamanya tremor, tik, kejang-kejang atau ataxia (3) astasia-abasia: tidak dapat duduk, berdiri dan berjalan. n. Verbigerasi Berkali-kali mengucapkan sebuah kata yang sama.

o. Berjalan Tidak tegap, kaku (rigid)atau lambat p. Gangguan motorik Yang sebenarnya bukan merupakan gangguan psikomotor, yang mungkin sekali disebabkan oleh: pemakaian obat (umpamanya: tremor, hipokinesa, diskinesa, akatisia, karena neroleptika), gangguan ortopedik atau gangguan nerologik. q. Kompulsi Suatu dorongan yang mendesak berkali-kali, biarpun tidak disukai, agar berbuat yang bertentangan dengan keinginannya sehari-hari atau dengan kebiasaan serta normanorma. r. Gagap Berbicara dengan terhenti-henti karena spasme otot-otot untuk bicara, mulai dari berbicara sangat ragu-ragu sampai dengan berbicara explosif. 6. Gangguan proses berpikir Proses berpikir meliputi proses pertimbangan (judgment), pemahaman (comprehension), ingatan, serta penalaran. a. Gangguan bentuk pikiran: Dalam kategori ini termasuk semua penyimpangan dari pemikiran rasional, logik dan terarah kepada tujuan. (1) Dereisme Titik berat pada tidak adanya sangkut paut terjadi antara proses mental individu dan pengalamannya yang sedang berjalan. Proses mentalnya tidak sesuai dengan atau tidak mengikuti kenyataan, logika atau pengalaman. (2) Pikiran otistik Menandakan bahwa penyebab distorsi arus asosiasi ialah dai dalam pasien itu sendiri dalam bentuk lamunan, fantasi, waham atau halusinasi. (3) Bentuk pikir yang non-realistik Bentuk piker yang sama sekali tidak berdasarkan kenyataan, umpamanya: menyelidiki sesuatu yang spektakuler/ revolusioner bila ditemui; mengambil kesimpulan yang aneh serta tidak masuk akal. b. Gangguan arus pikir Yaitu tentang cara dan lajunya proses asosiasi dalam pemikiran, yang timbul dalam berbagai jenis: (1) Perseverasi Berulang-ulang menceritakan suatu idea, pikiran atau tema secara berlebihan. (2) Asosiasi longgar Mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya satu sama lain. (3) Inkoherensi Gangguan dalam bentuk bicara, sehingga satu kalimatpun sudah sukar ditangkap atau diikuti maksudnya. (4) Kecepatan bicara Untuk mengutarakan pikiran mungkin lambat sekali atau sangat cepat. (5) Benturan (blocking) Jalan pikiran tiba-tiba berhenti atau berhenti ditengah sebuah kalimat. (6) Logorea Banyak bicara, kata-kata dikeluarkan bertubi-tubi tanpa kontrol, mungkin koheren ataupun incoherent. (7) Pikiran melayang (flight of ideas) Perubahan yang mendadak lagi cepat dalam pembicaraan, sehingga suatu idea yang belum selesai diceritakan sudah disusul oleh idea yang lain. (8) Asosiasi bunyi (lang association) Mengucapkan perkataan yang mempunyai persamaan bunyi, umpamanya pernah didengar. (9) Neologisme Membentuk kata-kata baru yang tidak dipahami oleh umum. (10) Irelevansi Isi pikiran atau ucapan yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan atau dengan hal yang sedang dibicarakan. (11) Pikiran berputar-putar Menuju secara tidak langsung kepada idea pokok dengan menambahkan banyak hal yang remeh-remah yang menjemukan dan yang tidak relevan. (12) Main-main dengan kata-kata Membuat sajak secara tidak wajar. (13) Afasi

Mungkin sensorik (tidak atau sukar mengerti bicara orang lain) atau motorik (tidak dapat atau sukar berbicara PERANAN AGAMA BAGI MANUSIA Orang yang mengaku beragama dan konsekuen terhadap pengakuannya memiliki keterikatan pikiran dan emosi dengan keyakinan atau agama beserta aturanaturan/syariat yang ada di dalamnya. Terdapat tiga ranah utama yang dapat diamati pada orang beragama menurut pandangan Islam, yaitu: Iman, Islam, dan Pengamalan agama yang benar dalam kehidupan sehari-hari atau Ikhsan (Hawari, 2002). Sementara itu, Lubis (2002) menjelaskan bahwa orang yang beriman akan cenderung berperilaku lebih baik karena apa yang mereka kerjakan didasari oleh kerelaan, mempunyai makna demi kemuliaan Tuhan. Selanjutnya, Lubis menyatakan bahwa agama mempunyai makna yang penting bagi manusia karena iman dapat berfungsi sebagai penghibur di kala duka, menjadi sumber kekuatan batin pada saat menghadapi kesulitan, pemicu semangat dan harapan berkat doa yang dipanjatkan, pemberi sarana aman karena merasa selalu berada dalam lindungan-Nya, penghalau rasa takut karena merasa selalu dalam pengawasan-Nya, tegar dalam menghadapi masalah karena selalu ada petunjuk melalui firman-firman-Nya, menjaga kemuliaan moral dan berperilaku baik terhadap lingkungan sebagaimana dicontohkan para rasul-Nya. Unsur utama dalam beragama adalah iman atau percaya kepada keberadaan Tuhan dengan sifat-sifatnya, antara lain: Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Pemberi, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Suci, serta nilai-nilai lebih/Maha yang lainnya. Oleh karena itu, orang yang merasa dirinya dekat dengan Tuhan, diharapkan akan timbul rasa tenang dan aman, yang merupakan salah satu ciri sehat mental. Terkait dengan manfaat kesehatan mental dari religiusitas, Abernethy sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007) mengusulkan ada beberapa mekanisme keagamaan untuk mempengaruhi kesehatan antara lain: 1. mengatur pola hidup individu dengan kebiasaan hidup sehat, 2. memperbaiki persepsi ke arah positif, 3. memiliki cara penyelesaian masalah yang spesifik, 4. mengembangkan emosi positif, 5. mendorong kepada kondisi yang lebih sehat. Menurut Culliford sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007), orang dengan komitmen agama yang tinggi akan meningkatkan kualitas ketahanan mentalnya karena memiliki self control, self esteem & confidence yang tinggi. Juga mereka mampu mempercepat penyembuhan ketika sakit karena mereka mampu meningkatkan potensi diri serta mampu bersikap tabah dan ikhlas dalam menghadapi musibah. Dervic sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007) mendapatkan bukti dalam penelitiannya, bahwa mereka yang memiliki skor religiusitas tinggi ternyata menunjukkan rasa tanggung jawab yang tinggi, dan sebaliknya skor agresivitas dan impulsivitasnya rendah. Umumnya para penganut agama akan melakukan kegiatan ibadah atau kegiatan sosial lainnya secara bersama-sama. Dan kegiatan bersama seperti ini dilakukan secara berulang-ulang, sehingga dapat menimbulkan rasa kebersamaan dan meningkatkan solidaritas antar jamaah. Oleh karena itu, Abernethy mengatakan bahwa orang yang memiliki komitmen agama yang tinggi akan mendapatkan dukungan sosial yang tinggi pula, sedangkan Dervic menyatakan bahwa orang dengan komitmen agama yang tinggi dapat diharapkan memiliki moralitas yang terpuji pula. Penelitian Kendler sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007) mendapatkan pada orang-orang yang komitmen agamanya tinggi ketaatan terhadap norma sosialnya tinggi pula. Juga terdapat korelasi negatif yang signifikan antara skor religiusitas dan skor perilaku antisosial. Menurut Culliford, orang yang tingkat religiusitasnya tinggi kualitas hidupnya diharapkan juga tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan sosial dengan masyarakat yang baik, keberadaannya dapat diterima baik oleh masyarakat di sekitarnya. Dervic mendapatkan bukti dalam penelitiannya bahwa orang dengan skor religiusitas tinggi, pada umumnya dapat membina keharmonisan keluarga, dan pada umumnya dapat membina hubungan yang baik di antara keluarga. Terdapat pertanyaan yang cukup mendasar tentang peran keagamaan terhadap perubahan fisikbiologik, sebagaimana dituntut oleh para pakar yang berorientasi fisikalistik. Namun, akhir-akhir ini telah banyak penelitian yang dapat mengungkap masalah ini. Temuan Emoto sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007) yang mendapatkan bukti bahwa dengan perkataan yang baik dan halus sebagaimana perkataan orang yang sedang berdoa dapat mengubah partikel air menjadi kristal heksagonal yang indah, dan selanjutnya bermanfaat dalam upaya kesehatan secara

umum. Sebaliknya, dengan perkataan yang kasar seperti hinaan atau cemoohan akan menyebabkan kristal-kristal air menjadi buruk. Dari informasi ini dapat diperkirakan ada kaitan antara potensi internal manusia dengan kondisi eksternal yang berada di alam semesta. Potensi internal ini diduga berada pada lobus frontalis yang oleh Ramachandran disebut sebagai God spot (Hawari, 2002). Penelitian yang lebih cermat untuk mencari lokasi God spot telah dilakukan oleh Borg melalui pencitraan otak menggunakan PET (Positron Emision Tomography-Radio ligand) untuk mengukur kepadatan reseptor 5HT1A yang diduga berperan dalam pengendalian perilaku manusia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki skor religiusitas/spiritualitas yang tinggi ternyata kepadatan reseptor 5HT1A mereka rendah di regio nukleus raphe dorsalis, hippokampus, dan neokorteks. Hal ini yang diduga bertanggungjawab atas perilaku tenang pada orang dengan komitmen agama tinggi (Fanani, 2007). Penelitian dari aspek psikoneuroimunologik yang terkait langsung dengan aktivitas peribadatan dengan kesehatan jiwa pada umumnya menunjukkan adanya korelasi positif. Beberapa hasil penelitian tersebut antara lain: Abernethy sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007) menyatakan bahwa orang-orang dengan skor religiusitas tinggi kadar CD-4 (limfosit T helper) nya tinggi pula. Hal ini menggambarkan tingginya daya tahan imunologiknya yang bagus. Penelitian yang mencari kaitan antara sholat tahajud dengan kesehatan telah dilakukan oleh Sholeh (2000), dan mendapatkan: bahwa mereka yang melaksanakan sholat tahajud secara rutin, setelah 4 minggu akan menunjukkan peningkatan kadar limfosit dan kadar imunoglobulin, dan terus meningkat sampai minggu ke delapan. Meningkatnya kadar limfosit dan imunoglobulin menggambarkan makin tingginya daya tahan tubuh secara imunologik. Pengaruh puasa Ramadhan terhadap kesehatan telah diteliti pula oleh Zainullah (2005), dengan sampel para santri suatu pondok pesantren. Penelitian dilakukan 3 minggu sebelum Ramadhan sampai dengan puasa hari ke-26. Penilaian terhadap substansi imunologik diambil pada hari -21 sebagai kontrol (tidak puasa), hari +5, +16 dan +26 sebagai kelompok perlakuan. Walaupun pada awal puasa hari +5 sebagian menunjukkan adanya stres, yang tergambar dengan meningkatnya kadar kortisol, setelah hari +16 dan +26 seluruh kelompok sudah menunjukkan respons imunologik yang sama yaitu ditandai dengan meningkatnya kadar limfosit, yang dapat diartikan meningkatnya daya tahan imunologik. Sementara itu, Qalaji telah berhasil memperkuat keyakinan atas kebenaran salah satu ayat al Quran yaitu QS Al Isra (17) ayat 82, yang artinya: Dan telah aku turunkan (Al Quran) yang di dalamnya terdapat obat dan rahmat bagi orang mukmin. Melalui penelitiannya dengan menggunakan peralatan elektromedik secara komputerisasi. Bahwasanya orang-orang yang mendengarkan ayat-ayat suci Al Quran, baik mereka yang paham maupun yang tidak paham bahasa Arab akan mengalami penurunan intensitas tegangan otot mereka. Lebih nyata secara bermakna bila dibandingkan dengan bila mendengarkan bacaan nonquraniyah dengan cara yang sama, sedangkan tegangan otot dikendalikan oleh susunan syaraf pusat. Dari informasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: Hanya dengan mendengarkan ayat-ayat suci Al Quran yang dibacakan sudah dapat menyebabkan timbulnya ketenangan hati (Albar, 1992). Bukti yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya adalah manfaat langsung aktivitas keagamaan terhadap kesehatan. Telah dilaporkan beberapa hasil penelitian klinis, baik secara umum, maupun secara khusus untuk penyakit tertentu, antara lain seperti tersebut di bawah ini. Tentang depresi, terdapat bukti bahwa terdapat korelasi negatif antara tingkat religiusitas dengan skor depresi (Dervic dkk., 2003, Kendler dkk., 2003, Kiresuk & Trachtenberg, 2001, Van Ness, 2002) sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007). Terhadap kesehatan kardiovaskuler, ada beberapa pendapat dan hasil penelitian, antara lain Larson (2000), yang mendapatkan bukti bahwa pasien dengan komitmen agama tinggi yang mengalami transplantasi jantung dalam pengamatan selama satu tahun menunjukkan survival rate nya lebih tinggi dibanding dengan mereka yang tidak ada komitmen agama. Fathoni (2006) mendapatkan bukti bahwa orang dengan komitmen agama tinggi kadar CRP (C Reactive Protein) rendah sehingga berperan terhadap pencegahan terjadinya serangan penyakit jantung koroner. Juga rendahnya CRP dan IL-6 dapat dipakai sebagai prediktor baiknya prognosis pasien infark miokard (Fanani, 2007). Peran doa terhadap penyembuhan pascaoperasi BPH (Benign Prostat Hyperttrophy)

telah diteliti oleh (Akbar, 2006), yang mendapatkan bukti bahwa peningkatan pemahaman agama dan doa dapat membantu menekan intensitas depresi pada pasien. Demikian pula Jalaluddin (2006) mendapatkan pasien BPH yang mendapatkan ceramah agama dan bimbingan doa menunjukkan skor ansietas yang secara sigifikan lebih rendah dibanding dengan mereka yang tidak mendapatkan bimbingan keagamaan, sehingga mereka menyarankan perlunya peran bantuan rohaniwan dalam mempersiapkan pasien dengan BPH yang menghadapi operasi. Kaitan tindakan bunuh diri, telah diteliti oleh Van Ness (2002), ternyata terdapat korelasi negatif antara komitmen agama dengan tindakan bunuh diri. Temuan tersebut senada dengan Puchalski (2001) sebagaimana dikutip oleh Fanani (2007) yang menyarankan menggunakan terapi spiritual termasuk religi untuk menekan perilaku bunuh diri. Penelitian keefektifan terapi ruqyah telah diteliti oleh Ambarwati (2006), yang ternyata bagi pasien dengan diagnosis pelbagai jenis Skizofrenia, Retardasi Mental tidak memberikan respons bermakna. Demikian pula penelitian Fanani (2006) bahwa mereka yang dikirim oleh para terapis ruqyah kepada penulis (resisten terhadap terapi ruqyah) ternyata menunjukkan diagnosis Gangguan Skizofrenia, Epilepsi dan Retardasi Mental. Upaya Pengendalian Jiwa Manusia bagi Karl Marx disetir oleh perutnya (ekonomi) dan bagi Sigmund Freud oleh libido seksnya alias kemaluannya. Ketika berhijrah di abad ke 7 M, Nabi sudah menyinggung temuan Marx dan Freud. Orang berhijrah itu disetir oleh tiga orientasi: seks, materi dan idealisme atau keimanan (lillah wa rasulihi). Artinya, manusia itu bisa jadi seharga dorongan perutnya, atau dorongan seksualnya dan dapat menjadi sangat idealis, meninggalkan kedua dorongan jiwa hewani dan nabati itu. Jadi semua perilaku manusia hakekatnya disetir oleh jiwa atau nafsnya. Tapi nafs mempunyai banyak anggota, yang oleh al-Ghazzali disebut tentara hati (junud alqalbi). Anggota nafs dalam al-Quran di antaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehendak) dsb. Al-Quran menyebut kata nafs sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24 kali kata taaqilun (berakal), dan 6 kali kata ruharwah. Itulah, modal manusia untuk hidup di dunia. Nabi menjelaskan peran qalb dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu hakekat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb. Gumpalan itulah yang menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad manusia (HR. Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi qalb itulah Allah hanya melihat qalb manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya. (HR. Ahmad ibn Hanbal). Sejatinya, qalb adalah wajah lain dari nafs, maka dari itu qalb atau nafs manusia itu bertingkattingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan nafs dari dalam al-Quran: Pertama, nafs alammarah bi al-su, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi. Kedua, nafs allawwamah. Ini adalah nafs yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari qalb-nya, nafs menyadari kelemah annya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya. Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika nafs ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya. Keempat, Nafs al-mutmainnah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi. Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku). Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan. Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang. Begitulah jiwa manusia. Ada pergulat an antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa yang tenang. Ada peningkatan pada jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat Nabi Sufyan al-Thawri pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih kuat dari nafsunya; terkadang nafsu itu memusuhinya dan terkadang membantunya. Ibn

Taymiyyah menggambarkan pergulatan itu bersumber dari dua bisikan: bisikan syetan (lammat asyaitan) dan bisikan malaikat (lammat al-malak). Perang melawan nafsu jahat banyak caranya. Sahabat Nabi Yahya ibn Muadh al-Razi memberikan tipsnya. Ada empat pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah sedikit, tidurlah sedikit, bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang melukaimu maka nafs atau ego itu akan menuruti jalan ketaatan, seperti penunggang kuda dalam medan perang. Memerangi nafsu jahat ini menurut Nabi adalah jihad. Sabdanya Pejuang adalah orang yang memperjuangkan nafs-nya dalam mentaati Allah (al-Mujahidu man jahadi nafsahu fi taat Allah azza wa jalla). (HR. Tirmidhi, Ibn Majah, Ibn Hibban, Tabrani, Hakim dsb). Kejahatan diri dalam al-Quran juga dianggap penyakit (QS 2:10). Sementara Nabi mengajarkan bahwa setiap penyakit ada obatnya. Para ulama pun lantas berfikir kreatif. Ayat-ayat dan ajaranajaran Nabi pun dirangkai diperkaya sehingga membentuk struktur pra-konsep. Dari situ menjadi struktur konsep dan akhirnya menjadi disiplin ilmu. Ilmu tentang jiwa atau nafs itu pun lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Il mal Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa) atau tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak heran jika penyakit gangguan jiwa diobati melalui metode kedokteran yang dikenal dengan istilah al-Ilaj al-nafs (psychoteraphy). Dalam Ilmu al-Nafs ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian pula penyakitnya. Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850934), menemukan teori bahwa penyakit raga berkaitan dengan penyakit jiwa. Alasannya, manusia tersusun dari jiwa dan raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa memiliki keserasian jiwa dan raga. Jika badan sakit, jiwa tidak mampu berfikir dan memahami, dan akan gagal menikmati kehidupan. Sebaliknya, jika nafs atau jiwa itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan kesenangan hidup. Sakit jiwa lama kelamaan dapat menjadi sakit fisik. Itulah sebabnya ia kecewa pada dokter yang hanya fokus pada sakit badan dan meremehkan sakit mental. Maka dalam bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus, ia mengenalkan istilah al-Tibb al-Ruhani (kedokteran ruhani). Jadi, hakekatnya manusia yang dikuasai oleh dorongan nafsu hewani dan nabati saja, boleh jadi sedang sakit. Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya dikuasai oleh akalnya, qalb-nya untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan kamil yang memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan ridho dan diridhoi. Itulah manusia yang selama hidupnya menjadi sinar cahaya (misykat) bagi umat manusia. PENUTUP Sebagai penutup akan saya sampaikan simpulan dan saran sebagai berikut: 1. Simpulan Terapi spiritual lebih cenderung untuk menyentuh satu sisi spiritualitas manusia, mengaktifkan titik godspot dan mengembalikan klien ke sebuah kesadaran darimana dia berasal, alasan mengapa manusia diciptakan, tugas - tugas yang harus dilakukan manusia didunia, beberapa hal yang pantas dilakukan didunia, hal - hal yang tak pantas dilakukan didunia, mengembalikan manusia ke kesucian, mengembalikan sebuah kertas yang berisikan tulisan tinta kembali menjadi selembar kertas putih. Iman adalah inti dari agama dan dengan keimanan yang kuat maka orang akan berpositIve thinking, self control & self esteem yang baik, memiliki cara penyelesaian masalah yang spesifik, sehingga daya tahan mentalnya menjadi lebih baik. Komitmen terhadap agama yang tinggi dan peribadatan rutin yang dikerjakan dengan ikhlas meningkatkan ketahanan sistem imun. Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya dikuasai oleh akalnya, qalb-nya untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan kamil yang memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan ridho dan diridhoi. 2. Saran Untuk meningkatkan keefektifan terapi psikiatri dan memperluas jangkauan pelayanan, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut. Pelayanan medic kejiwaan sangat penting sehingga perlu perhatian yang lebih dari pemerintah/dinas kesehatan dengan melengkapi sarana dan dan prasarana yang refrensentatif. Dalam pelayanan medik klinik jiwa ada baiknya diterapi bersama rohaniwan. Keefektifan terapi religi dapat ditingkatkan dengan meninggikan tingkat keimanan

pasien, antara lain dengan meningkatkan pemahaman dan penghayatan doktrin keagamaan, melaksanakan peribadatan sesuai dengan syariat dan meningkatkan kebersamaan dengan berjamaah (Fanani, 2006).
Diposkan oleh Abach Ayats Cipamokolan Minggu, Desember 06, 2009
http://imron46.blogspot.com/2009/08/memasyarakatkan-terapi-spiritual.html\ imron Thursday, August 27, 2009

MEMASYARAKATKAN TERAPI SPIRITUAL


Pengertian terapi spiritual adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari untuk pasien. Terapi spiritual berbeda dengan berdoa, doa tersebut ditiupkan disebuah gelas berisi air minum kemudian meminta klien meminum air tersebut, meskipun sama - sama menggunakan sebuah perilaku dalam sebuah agama atau kepercayaan tetapi akan sangat berbeda dengan terapi spiritual. Terapi spiritual lebih cenderung untuk menyentuh satu sisi spiritualitas manusia, mengaktifkan titik godspot dan mengembalikan klien ke sebuah kesadaran darimana dia berasal, alasan mengapa manusia diciptakan, tugas - tugas yang harus dilakukan manusia didunia, beberapa hal yang pantas dilakukan didunia, hal - hal yang tak pantas dilakukan didunia, mengembalikan manusia ke kesucian, mengembalikan sebuah kertas yang berisikan tulisan tinta kembali menjadi selembar kertas putih. Terapi spiritual dalam bentuk massal dilakukan disebuah ruangan tertentu, pembicara yang sudah menguasai komunikasi terapeutik memberikan pencerahan tentang hakekat mengapa manusia diciptakan, mengenalkan tujuan manusia diciptakan dll, pencerahan - pencerahan ini bertujuan mengurangi manusia terhadap keinginan dan memprioritaskan kebutuhan, meskipun kebutuhan bagi setiap orang itu berbeda tetapi minimal dengan mengetahui kebutuhan dasar manusia maka terapi ini akan membantu manusia kembali ke kesadaran awal. Terapi spiritual juga bisa dilakukan dalam bentuk bimbingan individu, terapi dilakukan oleh satu perawat dengan satu pasien, perawat membacakan sesuatu yang harus ditirukan oleh klien kemudian perawat meminta klien membaca bacaan tertentu sebanyak beberapa kali, selain itu membimbing klien dalam proses ibadah, meski mengalami gangguan jiwabeberapa klien masih memiliki satu kesadaran terkait dengan spiritualitas. Memasyarakatkan terapi spiritual bertujuan menreduksi lamanya waktu perawatan kliengangguan jiwa, memperkuat mentalitas dan memperkuat konsep diri klien, seorang penderita gangguan jiwa berasal dari persepsi yang salah terkait dengan dirinya, orang lain dan lingkungan, dengan terapi spiritual maka klien akan dikembalikan persepsinya terkait dengan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.

HTTP://SUSIPURWATI.BLOGSPOT.COM/2010/01/KONSEP-KESEHATAN-SPIRITUAL.HTML MINGGU, 17 JANUARI 2010

KONSEP KESEHATAN SPIRITUAL


KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah berjudul Keterampilan Berkomunikasi Pada Klien Dewasa untuk memenuhi tugas pembuatan makalah Mata Kuliah Keperawatan Dewasa III di semester ganjil tahun 2009. Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh anggota kelompok yang telah berkontribusi secara optimal sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula kami ucapkan kepada para dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini. Ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini baik secara moril maupun materil. Besar harapan kami makalah ini dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam keperawatan yang bisa bermanfaat bagi masyarakat luas nantinya. Sebagai penyusun kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan. Terima kasih

Depok, Nopermber 2009 Penyusun

ABSTRAK Kesehatan spiritual memiliki hubungan dengan dimensi lainnya (fisik, sosial, psikologis, kultural). Kesehatan fisik dapat dicapai salah satunya dengan peningkatan aspek spiritual dalam diri individu. Makalah ini membahas tentang konsep kesehatan spiritual. Kesehatan spiritual dapat dibentuk dan terbentuk dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam diri individu itu sendiri (internal) maupun yang berasal dari luar diri individu (eksternal) serta karakteristik dari spiritual itu sendiri yang harus ada pada diri individu. Selanjutnya faktorfaktor dan karakteristik tersebut mampu mempengaruhi pola pikir dan berpengaruh terhadap pola perilaku individu, sehingga mampu merubah perilaku individu kearah perilaku yang adaptif maupun maladaptif. Kata Kunci: adaptif; faktor internal; faktor eksternal; karakteristik spiritual; kesehatan spiritual; maladaptif; perubahan fungsi sipritual; perkembangan aspek spiritual; spiritual; pola normal spiritual.

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................i ABSTRAK.................................................................................................................ii DAFTAR ISI..............................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang........................................................................................iv 1.2 Tujuan......................................................................................................v 1.3 Perumusan Masalah.................................................................................v 1.4 Metode Penulisan.....................................................................................v 1.5 Sistematika Penulisan...............................................................................v BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pola Normal Spiritual.............................................................................1 2.2 Perkembangan Aspek Spiritual................................................................5 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual.....................................8 2.4 Karakteristik Spiritual..............................................................................9 2.5 Perubahan Fungsi Spiritual.....................................................................11 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan..........................................................................................17 3.2 Saran.....................................................................................................17 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Klien dalam perspektif keperawatan merupakan individu, keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah kesehatan dan membutuhkan bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan status kesehatannya dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, klien memiliki beberapa peran dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat tersebut, maka keperawatan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual. Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan dalam keperawatan bahwa pemberian asuhan keperawatan hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual klien. Sehingga, pada nantinya klien akan dapat merasakan kesejahteraan yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah suatu faktor yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki dimensi yang luas dalam kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik dari seorang perawat sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien. 1.2 Tujuan a) Untuk memenuhi kebutuhan Mata Kuliah Keperawatan Dewasa III.. b) Mengetahui konsep kesehatan spiritual secara umum c) Mengetahui pola normal spiritual

d) Mampu menganalisa hal-hal yang mampu mempengaruhi kesehatan spiritual individu e) Mengetahui perkembangan aspek spiritual berdasarkan konsep tumbuh-kembang manusia f) Mengetahui karakteristik spiritual, kemudian berdasarkan karakteristik tersebut mampu mengidentifikasi perubahan funsi spiritual apakah menuju kepada perilaku yang adaptif atau maladaptif. 1.3 Rumusan Identifikasi permasalahan berdasarkan materi yang dipelajari yaitu Konsep Kesehatan Spiritual terdiri dari: 1) Bagaimana membuat pola normal spiritual ? 2) Bagaiman menganalisa berbagai hal dan kondisi yang mampu mempengaruhi kesehatan spiritual? 3) Bagaimana menganalisa perubahan fungsi spiritual berdasarkan karakteristik spiritual? 1.4 Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan literasi buku, internet, serta melalui diskusi colaborated learning. 1.5 Sistematika Penulisan KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI Bab I. Pendahuluan Bab II. Pembahasan 2.1. Pola Normal Spiritual 2.2 Perkembangan Aspek Spiritual 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual 2.4 Karakteristik Spiritual 2.5 Perubahan Fungsi Spiritual Bab III Penutup 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA

BAB II PEMBAHASAN Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual dimana setiap dimensi harus dipenuhi kebutuhannya. Seringkali permasalahan yang mucul pada klien ketika mengalami suatu kondisi dengan penyakit tertentu (misalnya penyakit fisik) mengakibatkan terjadinya masalah psikososial dan spiritual. Ketika klien mengalami penyakit, kehilangan dan stres, kekuatan spiritual dapat membantu individu tersebut menuju penyembuhan dan terpenuhinya tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan spiritual. Dengan kata lain apabila satu dimensi terganggu, maka dimensi yang lain akan terganggu. Penelitan menyebutkan seseorang dinyatakan usianya tinggal beberapa bulan, tetapi karena ia memilki koping yang baik berdasarkan pengalaman agamanya (salah satu sumber dimensi spiritual), ia tetap bahagia menjalani hari-harinya dengan bernyanyi dan ceria, membuat puisi-puisi yang indah. Ternyata orang tersebut mampu bertahan hingga bartahun-tahun. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Pressman, dkk (1990) menunjukkan bahwa wanita lanjut usia yang menderita farktur tulang pinggul yang kuat religi dan pengalaman agamanya, ternyata lebih kuat mental dan kurang mengeluh, depresi, dan lebih cepat berjalan daripada yang tidak mempunyai komitmen agama.Dari hal-hal tersebut diatas dapat dikatakan dimensi spiritual menjadi hal penting sebagai terapi kesehatan. Berikut akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan konsep kesehatan spiritual. 2.1. Pola Normal Spiritual Dimensi spiritual adalah sesuatu yang terintegrasi dan berhubungan dengan dimensi yang lain dalam diri seorang individu. Spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang dan

berfungsi sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual. Dimensi spiritual merupakan salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada seorang klien. Makhija (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Keyakinan tersebut diketahui sebagai suatu faktor yang kuat dalam penyembuhan dan pemulihan fisik. Oleh karena itu, menjadi suatu hal penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada klien. Setiap individu memiliki definisi dan konsep yang berbeda mengenai spiritualitas. Kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan spiritualitas termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan, dan eksistensi (Emblen dalam Potter & Perry, 2005).Setiap individu memiliki pemahaman tersendiri mengenai spiritualitas karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda mengenai hal tersebur. Perbedaan definisi dan konsep spiritualitas dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup seseorang, serta persepsi mereka tentang hidup dan kehidupan. Pengaruh tersebut nantinya dapat mengubah pandangan seseorang mengenai konsep spiritulitas dalam dirinya sesuai dengan pemahaman yang ia miliki dan keyakinan yang ia pegang teguh. Konsep spiritual memiliki arti yang berbeda dengan konsep religius. Banyak perawat dalam praktiknya tidak dapat membedakan kedua konsep tersebut karena menemui kesulitan dalam memahami keduanya. Kedua hal tersebut memang sering digunakan secara bersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Konsep religius biasanya berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan atau proses melakukan suatu tindakan. Konsep religius merupakan suatu sistem penyatuan yang spesifik mengenai praktik yang berkaitan bentuk ibadah tertentu. Emblen dalam Potter dan Perry mendefinisikan religi sebagai suatu sistem keyakinan dan ibadah terorganisasi yang dipraktikan seseorang secara jelas menunjukkan spiritualitas mereka. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa religi adalah proses pelaksanaan suatu kegiatan ibadah yang berkaitan dengan keyakinan tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan spiritualitas diri mereka. Sedangkan spiritual memiliki konsep yang lebih umum mengenai keyakinan seseorang. Terlepas dari prosesi ibadah yang dilakukan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan tersebut. Konsep spiritual berkaitan berkaitan dengan nilai, keyakinan, dan kepercayaan seseorang. Kepercayaan itu sendiri memiliki cakupan mulai dari atheisme (penolakan terhadap keberadaan Tuhan) hingga agnotisme (percaya bahwa Tuhan ada dan selalu mengawasi) atau theism (Keyakinan akan Tuhan dalam bentuk personal tanpa bentuk fisik) seperti dalam Kristen dan Islam. Keyakinan merupakan hal yang lebih dalam dari suatu kepercayaan seorang individu. Keyakinan mendasari seseorang untuk bertindak atau berpikir sesuai dengan kepercayaan yang ia ikuti. Keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan biasanya dikaitkan dengan istilah agama. Di dunia ini, banyak agama yang dianut oleh masyarakat sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Tiap agama yang ada di dunia memiliki karakteristik yang berbeda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan sesuai dengan prinsip yang mereka pegang teguh. Keyakinan tersebut juga mempengaruhi seorang individu untuk menilai sesuatu yang ada sesuai dengan makna dan filosofi yang diyakininya. Sebagai contoh, persepsi seorang Muslim mengenai perawatan kesehatan dan respon penyakit tentunya berbeda dengan persepsi seorang Budhis. Semua itu tergantung konsep spiritual yang dipahami sesuai dengan keyakinan dan keimanan seorang individu. Konsep spiritual yang dianut atau dipahami oleh seorang klien dapat mempengaruhi cara pandang klien mengenai segala sesuatunya, tak terkecuali dalam bidang kesehatan. Paradigma mengenai sakit, tipe-tipe pengobatan yang dilakukan, persepsi mengenai kehidupan dan makna yang terkandung di dalamnya adalah contoh penerapan konsep spiritual secara normal pada diri seorang individu. Ada beberapa agama yang menerapkan pola normal spiritualnya dengan cara: Beberapa orang menjadi spiritual setelah usia 40 tahun. Pada satu tingkat pergi ke kuil, menghadiri wacana-wacana dan membaca buku-buku atau kitab-kitab dianggap sangat spiritual. Tingkat kedua orang memiliki seorang guru mengikuti tradisi maka mereka memiliki sadhana. Ini adalah zaman baru modern gaya Ada tingkat ketiga orang yang mempunyai dewa dan mereka upsana. Beberapa praktik seni seperti astrologi atau obat atau tari atau musik dan kemudian mereka menggunakan waktu luang ada dalam sadhana spiritual. Beberapa orang menghadiri Bhajan dan kemudian melakukan pelayanan sosial yang juga baik seperi pelayanan kesehatan. Gambar 1. Pola normal spiritual Pola normal spiritual sangat erat hubungannya dengan kesehatan, Karena dari pola

tersebut dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif ataupun maladaptif berhubungan dengan penerimaan kondisi diri (lihat gambar 1). Dimensi spiritual merupakan dimensi yang sangat penting diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua klien. Bahkan Makhija (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat (powerful) dalam penyembuhan dan pemulihan fisik, yang tidak dapat diukur. Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam penyembuhan dan pemulihan kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada semua klien. 2.2 Perkembangan Aspek Spiritual Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Berbagai cara dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Pemenuhan aspek spiritual pada klien tidak terlepas dari pandangan terhadap lima dimensi manusia yang harus dintegrasikan dalam kehidupan. Lima dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual (Rawlins, 1993). Dimensi-dimensi tersebut berada dalam suatu sistem yang saling berinterksi, interrelasi, dan interdepensi, sehingga adanya gangguan pada suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya. Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari manusia, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual klien. Tahap perkembangan klien dimulai dari lahir sampai klien meninggal dunia. Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia. Secara umum tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses perkembangan aspek spiritual dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi. Namun, berikut akan dibahas pula perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia. Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan. Manusia sebagai klien dalam keperawatan anak adalah individu yang berusia antara 0-18 bulan, yang sedang dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi. Haber (1987) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi (Widyatuti, 1999). Oleh karena itu, perawat dapat menjalin kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk membantu pembentukan nilai-nilai spiritual pada bayi. Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih merasa senang jika menerima pengalaman-pengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual. Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya. Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka.

Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja. Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa. Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual. Dewasa akhir (38-65 tahun) .Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat. Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, menurut Haber (1987) pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri. Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda. 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual Kesehatan spiritual adalah komponen penting dari seorang individu yang dimiliki dan sebuah aspek integral dari filosofi kesehatan holistik. Kesehatan spiritual pasti mengalami keadaan yang tidak selalu sehat seperti halnya kesehatan fisik. Secara langsung maupun tidak langsung ada beberapa hal yang mempengaruhi kesehatan spiritual. Spiritualitas tidak selalu berkaitan dengan agama, tetapi spiritualitas adalah bagaimana seseorang memahami keberadaannya dan hubungannya dengan alam semesta. Orang-orang mengartikan spiritualitas dengan berbagai cara dan tujuan tersendiri. Setiap agama menyatakan bahwa manusia ada dibawah kuasa Tuhan. Namun, dari semua itu setiap manusia berusaha untuk mengkontrol spiritualitasnya. Inilah yang disebut dengan menjaga kesehatan spiritual. Hal terpenting yang mempengaruhi kesehatan spiritual dan sebaiknya kita jaga adalah nutrisi spiritual. Hal ini termasuk mendengarkan hal-hal positif dan pesan-pesan penuh kasih serta memenuhi kewajiban keagaman yang dianut. Selain itu juga dengan mengamati keindahan dan keajaiban dunia ini dapat memberikan nutrisi spiritual. Menilai keindahan alam dapat menjadi makanan bagi jiwa kita. Bahkan serangga yang terlihat buruk pun adalah sebuah keajaiban untuk diamati dan dinilai. Kedamaian dengan meditasi adalah bentuk lain untuk mendapatkan nutrisi spiritual. Hal itu bukanlah meminta tuhan kita apa yang kita inginkan tetapi mencari keheningan untuk merekleksikan dan berterima kasih atas apa pun yang telah kita terima. Hal lain yang mempengaruhi kesehatan spiritual kita adalah latihan. Tidak hanya latihan dasar untuk kesehatan tubuh, tetapi juga latihan spiritual untuk menjaga spiritual. Latihan ini terdiri dari penggunaan jiwa kita. Sehingga latihan tersebut memberi sentuhan pada jiwa kita dan digunakan untuk menuntun kita untuk bertingkah-laku dengan baik, untuk menunjukan cinta kasih dan perasaan pada oaring lain untuk memahami dan untuk mencari kedamaian.

Faktor lain yang mempengaruhi kesehatan spiritual adalah lingkungan. Hal ini dikarenakan lingkungan dimana kita hidup adalah somber utama kejahatan ynag dapat mempengaruhi jiwa kita. Kita harus waspada untuk menghindari keburukan yang berasal dari lingkungan kita dan mencari hal positif yang dapat diambil. Tantangan yang dapat mengancam kesehatan spiritual kita dapat berasal dari luar maupun dari dalam dari kita. Ancaman dari luar dikarenakan setiap orang memiliki bentuk penularan spiritual yang menyebarkan penyakit spiritual kepada orang lain disekitar mereka. Beberapa orang merusak moral dan mencoba untuk menarik orang lain untuk mengikuti kepercayaannya. Beberapa agama menberikan bekal keimanan yang cukup untuk menolak kepercayaan lain. Banyak orang-orang yang melakukan hal-hal yang buruk dan jahat. Kemudian mempengaruhi orang lain untuk mengikuti hal-hal buruk yang dilakukan. Keinginan untuk melakukan hal-hal buruk tersebut timbul dari keinginan diri sendiri. Jadi, Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual adalah nutrisi, latihan dan lingkungan tempat tinggal. Selain itu, terdapat ancaman dari luar maupun dari dalam diri kita. Sehingga kita harus pandai-pandai untuk menjaga kesehatan spiritual kita. 2.4 Karakteristik Spiritual Karakteristik spiritual yang utama meliputi perasaan dari keseluruhan dan keselarasan dalam diri seorang, dengan orang lain, dan dengan Tuhan atau kekuatan tertinggi sebagai satu penetapan. Orang-orang, menurut kepada tingkat perkembangan mereka, pengalaman, memperhitungkan keamanan individu, tanda-tanda kekuatan, dan perasaan dari harapan. Hal itu tidak berarti bahwa individu adalah puas secara total dengan hidup atau jawaban yang mereka miliki. Seperti setiap hidup individu berkembang secara normal, timbul situasi yang menyebabkan kecemasan, tidak berdaya, atau kepusingan. Situasi yang susah menghasilkan pertanyaan spiritual, mengkaji klien dengan perjuangan spiritual berikut adalah aspek penting dan valid dari memelihara kesehatan dan memberikan asuhan keperawatan. 1. Holism Holism, posisi mengamati seluruh bidang sebagai suatu system yang kurang berhubungan dengan rukun daripada hubungan yang mengasingkan bagian-bagian, menggabungkan pikiran dan tubuh dan menegaskan semangat (Seller dan Haag, 1998). Sebuah pendekatan yang holistic mengakui perjuangan spiritual sebagai aspek yang valid dan penting dri kesehatan dan asuhan keperawatan (Fig. 50-1). Hal tersebut adalah menggabungkan factor dari mengadakan penggolongan sebelumnya yang dibangun dari jasmani, pemikiran rasional, jiwa emosional, dan semangat intuisi (Ruffing-rahal, 1984, p.12). 2. Kebutuhan spiritual Definisi dari kebutuhan spiritual sangat bergantung pada setiap system kepercayaan penulis. Dalam meringkaskan definisi-definisi yang bervariasi, kebutuhan spiritual menunjukkan sebuah ekspresi normal dari dalam diri seseorang yang mencari maksud dalam semua pengalaman dan sebuah hubungan yang dinamik dengan dirinya, orang lain, dan pada lainnya yang tertinggi sebagai ketetapan seseorang. Kebutuhan spiritual yang berasal melalui pengalaman afektif dari semangat, harapan, cinta, dan pengalaman positif yang menjalani sebagai katalis dari maksud dan sintesis. Karakteristik ebutuhan spiritual meliputi: Kepercayaan Pemaafan Cinta dan hubungan Keyakinan, kreativitas dan harapan maksud dan tujuan serta anugrah dan harapan Karakteristik dari kebutuhan spiritual ini menjadi dasar dalam menentukan karakteristik dari perubahan fungsi spiritual yang akan mengrahkan individu dalam berperilaku, baik itu kearah perilaku yang adaptif maupun perilaku yang adaptif. 3. Pencarian spiritual Hidup dapat digambarkan sebagai suatu pencarian spiritual, tidak hanya untuk menjawab pertanyaan filosofi kehidupan, tetapi untuk mencari level tertinggi dari kesadaran atau kesadaran paling dalam dari kehidupan spiritual. Sebagai contoh, program the twelve-step dari alcoholics anonymous mengidentifikasi kesembuhan sebagai suatu perjalanan spiritual; anggota dari grup ini memrakterkan sebuah disiplin spiritual pada kehidupan yang lebih berarti, hari demi hari. Chapman (1986) meliputi jug aide dari pencarian dalam penetapan kesehatan spiritual yang optimal. Kesehatan spiritual meliputi kemampuan kita untuk menemukan dan artikulat diri kita tujuan dasar dalam hidup, belajar bagaimana pada pengalaman cinta, kesenangan, kedamaian dan pemenuhan(p. 41). 4. Kesehatan spiritual Kesehatan spiritual adalah suatu kondisi yang ditandai oleh sebuah penguatan hidup, kedamaian, keselarasan, dan perasaan saling berhubungan dengan Tuhan, dirinya, komunitas, dan lingkungan yang pemeliharaan dan keseluruhan ternama (Greer dan Moberg, 1998). Dalam hirarki kebutuhan manusia, kesehatan spiritual tampak untuk

pemenuhan yang mengandung arti dari kebutuhan melebihi tingkat aktualisasi diri. 2.5 Perubahan Fungsi Spiritual Perilaku individu sangat dipengaruhi oleh spiritualisme dalam kehidupaannya. Perawat professional dituntut untuk mampu memahami perubahan fungsi spiritual agar dapat memberikan asuhan keperawatan pada lingkup kesehatan spiritual sebagai wujud keperawatan holistik. Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Pada laporan tugas mandiri ini, akan dibahas tentang perubahan fungsi spiritual. Laporan ini dibuat dari beberapa sumber pustaka dan mengunduh dari internet. Spirituality adalah suatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup kepercayaan dan nilai kehidupan. Spiritualitas mampu menghadirkan cinta, kepercayaan, harapan, dan melihat arti dari kehidupan dan memelihara hubungan dengan sesama. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan, memenuhi kewajiban agama, dan kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan. Perilaku dan ekspresi yang beranekaragam mungkin menjadi tanda dari klien yang mengalami kecemasan spiritual. Setiap manusia pernah mengalami masalah spiritual. Masalah spiritual ketika penyakit , kehilangan, dan nyeri menyerang seseorang. Kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. Individu selama sakit sering menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan dan dukungan. Distresss spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dari makna hidup. Orang menderita disfungsi spiritual mungkin mengucapkan antaralain distresss atau mengatakan butuh bantuan. Perwujudan verbalisasi mungkin tepat: saya merasa bersalah karena saya seharusnya memahami lebih dulu dia mempunyai serangan jantung atau mungkin berkata, saya tidak pernah melewati pelayanan di 20 tahun. Perwujudan mungkin menjadi lebih subjektif sebagai percakapan melantur dari klien tentang hidup, mati, dan nilai. Klien mungkin bertanya kepada perawat untuk berdoa untuk mereka atau memberitahukan pembimbing spiritual dari keadaan sakit mereka Perubahan perilaku mungkin menjadi perwujudan dari disfungsi spiritual. Klien yang gelisah tentang hasil tes diagnosa atau yang menunjukan kemarahan setelah mendengar hasil mungkin menjadi menderita distresss spiritual. Beberapa orang menjadi lebih merenung, berupaya untuk memperhitungkan situasi dan mencari fakta bacaan yang berlaku. Beberapa reaksi emosional, mencari informasi, dan dukungan dari teman dan keluarga. Pengenalan dari masalah, kemungkinan yang timbul tidak bisa tidur atau kekurangan konsentrasi. Kesalahan, ketakutan, keputusasaan, kekhawatiran, dan kecemasan juga mungkin menjadi indikasi perubahan fungsi spiritual Ekspresi adaptif dan malaadaptif dari kebutuhan spiritual dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Kebutuhan Pola perilaku adaptif Pola perilaku malaadaptif Kepercayaan - Kepercayaan diri dan memiliki daya tahan - Menerima yang lain agar mampu bertemu dengan kebutuhan - Kepercayaan dalam hidup - Menerima hasil dari hidup - Terbuka kepada Tuhan - Menunjukan ketidaknyamanan dengan kesadaran diri sendiri - Mudah tertipu - Merasakan hanya orang dan tempat tertentu saja yang aman - Mengharapkan orang menjadi tidak ramah dan tidak dapat dipercaya - Tidak sabar - Takut akan kehendak Tuhan Pemaafan - Menerima ketidaksempurnaan diri dan lainnya. - Tidak menghakimi - Memandang penyakit berdasarkan realitas - Mengalami pemaafan diri sendiri - Menawarkan untuk memaafkan yang lain - Menerima pemaafan dari Tuhan - Mempunyai pandangan secara realistis di masa lalu - Memandang penyakit sebagai hukuman - Percaya Tuhan menghukum - Merasa untuk memaafkan tergantung dari perilaku - Tidak bisa untuk menerima diri sendiri

- Diantara mencela diri sendiri atau mencela pekerjaan Cinta dan hubungan - Mengungkapkan rasa dicintai Tuhan dan lainnya - Menerima bantuan - Menerima diri sendiri - Mencari kebaikan lainnya - Merasa yang lain menghakimi dia - Berkelakuan diri sendiri secara deskriptif - Menolak untuk kerjasama dengan tim kesehatan - Mengkhawatirkan tentang pemisahan dari mencintai seseorang - Penolakan diri atau menunjukan salah harga diri dan sifat egois - Kekurangan hubungan cinta dengan Tuhan - Merasa ada jarak dan terpisahkan dari Tuhan Keyakinan - Menggantungkan kebijakan bersifat illahi kepada Tuhan - Motivasi terhadap pertumbuhan - Mengungkapkan kepuasan dengan keterangan dari hidup setelah mati - Mengungkapkan kebutuhan untuk masuk kedalam naungan besar dari drama cerita manusia - Mengungkapkan kebutuhan tanda, ritual - Mengungkapkan kebutuhan dari makna untuk membagi kepada komunitas seiman Mengungkapkan dua perasaan yang saling bertentangan tentang Tuhan - Kekurangan iman di luar batas kewajaran kekuatan atau Tuhan - Ketakutan mati atau hidup setelah mati - Putus asa, dan marah dengan Tuhan - Ketidakjelasan nilai, kepercayaan, dan tujuan - Konflik nilai - Kekurangan komitmen Kreativitas dan harapan - Bertanya informasi tentang kondisi - Berbicara tentang kondisi realistis - Menggunakan waktu selama sakit dengan hasil yang bermanfaat - Mencari jalan untuk menunjukan diri sendiri - Lebih suka menemukan kenyamanan di dalam diri daripada fisik diri atau kriteria duniawi - Mengungkapkan harapan dimasa depan - Terbuka terhadap kemungkinaan dari ketentraman - Mengungkapkan ketakutan dari kehilangan kontrol - Mengungkapkan kebosanan - Kekurangan visi dari kemungkinan alternatif - Ketakutan terapi - Keputusasaan - Tidak dapat membantu diri sendiri atau menerima diri - Tidak dapat menikmati apapun - Meletakkan hidup atau keputusan besar di genggaman Maksud dan tujuan - Mengungkapkan kepuasan hidup - Tinggal hidup di kesepakatan dengan sistem nilai - Menerima atau memanfaatkan penderitaan untuk mengerti diri sendiri - Mengungkapkan maksud hidup atau mati - Mengungkapkan komitmen dan tujuan akhir orientasi - Mempunyai makna jelas dari apa yang penting - Mengungkapkan tidak ada tujuan untuk hidup - Menemukan tidak ada maksud dalam penderitaan - Mempertanyakan maksud penderitaan - Mempertanyakan tujuan dari penyakit - Tidak dapat membentuk tujuan akhir atau mempunyai tujuan akhir tak bisa dicapai - Mencaci maki obat atau alkohol - Bercanda tentang hidup setelah kematian Anugrah atau Karunia - Hidup di pergerakan - Merasakan berkat dan kemewahan - Merasakan anugrah yang diberikan di akhirat kepada diri dari Tuhan - Merasakan ketentraman atau kebulatan hati - Cemas tentang masa lalu dan masa depan - Berorientasi kearah penghargaan atau hasil - Focus pada penyesalan - Berbicara tentang menjadi lebih baik atau mencoba lebih keras adalah perfeksionis Pembahasan diatas menggambarkan kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Individu selama sakit sering menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan dan dukungan. Perubahan fungsi spiritualitas sering terjadi dalam kehidupan. Oleh karena itu, perubahan fungsi spiritualitas klien perlu dipahami perawat dalam pemberian asuhan keperawatan

secara holistik.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kesehatan spiritual berkaitan erat dengan dimensi lain dan dapat dicapai jika terjadi keseimbangan dengan dimensi lain ( fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural). Kesehatan spiritual sangat berpengaruh terhadap koping yang dimiliki individu. Semakin tinggi tingkat spiritual individu, maka koping yang dimiliki oleh individu tersebut juga akan semakin meningkat. Sehingga mampu meningkatkan respon adaptif terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut. Peran perawat adalah bagaimana perawat mampu mendorong klien untuk meningkatkan spiritualitasnya dalam berbagai kondisi, Sehingga klien mampu menghadapi, menerima dan mempersiapkan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut. 3.2 Saran Peningkatan spiritualitas dalam diri setiap individu sangat penting untuk diupayakan. Upaya untuk melakukan peningkatan spiritualitas dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan latihan yoga dan melakukan meditasi. Penting juga diperhatikan pemenuhan nutrisi spiritual. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, akan lebih baik jika dilaksanakan secara berkesinambungan. Dengan meningkatkan spiritualitas dalam diri, maka koping yang kita miliki juga akan meningkat. Sehingga mampu berperilaku dan mempertahankan kesehatan dalam kondisi yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA Chapman, L. S. 1997. Spiritual health: A component missing from health promotion. American Journal of Health Promotion, 1(1), 38-41. Craven, R.F., Hirnle, C.J. 2007. Fundamental of nursing: Human health and function.Third edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Crisp, J. Taylor, C., Potter, P.A., & Perry, A. G. (2001). Fundamental of Nursing, Singapore: Mosby Danah Zohar. (2000). Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence:Great Britain Daniel G,.( 1999). Emotional Intelligence, Jakarta.: gramdia, Pustaka Utama Dombeck. 1995. Spiritual Nursing. Lowa ; University of Lowa Dorlan. (1995). Dorlands Pocket Medical Dictionary. Twenty Fifth Edition. Philadelphia : W.B Saunders Company Fortune, Karen Lee. 2003. Mental Health Nursing 5 th ed. Pearson education, inc. BAB 2. Greer, J., and Moberg, D. O. 1998. Research in the social scientific study of religion. Greenwich, CT: Jai Press. Haber j.dkk. 3 nd.(1987). Comprehensive Psychiatric Nursing. New York: Mc Graw-Hill Book Company. Hungelman. 1985. Spiritual concept nursing care. Three edition. Philadelphia : lippincot williams & wilkins Hinchliff, Sue.(1997).Kamus Keperawatan. Alih bahasa oleh dr.Andry Hartono.Jakarta: EGC Kozier, B. Erb, G Berman A.J . (1995). Fundamental of Nursing : concepts, process, and practice. Fifth Edition. California : Addison-Wesley Publishing Company. Kozier, Erb. Berman. Snyder. (2004). Fudamental of nursing: Concepts, process, and practice. Seventh Edition. New Jersey : Pearson Education. Inc. Mauk, K & Schmidt, N. (2004). Spiritual Care in Nursing Practice. Philadelpia: Lippincott. Murray, R. B., and Zentner, J. P. 1993. Nursing concepts for health promotion (5th ed). Englewood Cliffs, NJ: Preventice-Hall. New Websters Dictionary: Of the English Language.(1981). New York: Delair Publishing Company Inc. Potter, P.A & Perry, A.G.(2005). Fundamental Of Nrsing: Concepts, Process, and Practice. Eds 4. Jakarta: EGC Potter, P.A. and Perry, A.G. (2005). Fundamental of Nursing : concepts, process, and

practice. Sixth Edition. St. Louis : Mosby. Rawlins, R & Heacock. (1993). Clinical Manual of Pshyciatric Nursing. 2nd Ed. St. Louis: Mosby Year Book. Ruffling-Rahal, M. A. 1984. The spiritual dimension of well-being: Implications for the elderly. Home Health Nurse, 2, 12-16. Sellers, S. C., and Haag, B. A. 1998. Spiritual nursing interventions. Journal of Nursing, 16(3), 338-354. Taylor R, R., Lilis, C., & Lemone, P. (1997). Fundamentals of Nursing: The Art and Science of Nursing Care. Philadelphia: Lippincott. Town send, Mary C. 2000.Psychiatric Mental Nursing Concept of Care 3 th ed. Philadelphia: F.A. Devis Company. BAB 6. h.89-99 Walter. 1997. Conceptual Models of Nursing: Analysis and Application. USA: Appleton & Lange Widyatuti. Dimensi Spiritual dalam Keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia volume II, September 1999. Yani, A. (1994). Bahan kuliah Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Yetty.K dan Agustini N. (1998). Dimensi Spiritual dalam Asuhan Keperawatan. Makalah Aspek-aspek Kecerdasan Emosi, tersedia dalam.http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/30/musik_merupakan_stimulasi_terhad.htm(diakse s 26 Oktober 2009 pukul 12.10 WIB) Burry. Asuhan spiritual dalam keperawatan. http://ners.fk.unair.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=144 diperoleh tanggal 27 Oktober 2009 Daniels, Georg. Spiritual health www.rsu.edu/faculty/LAndrews/Spiritual%20Health.ppt diperoleh tanggal 27 Oktober 2009 Eko Iman, Paradigma Baru Kecerdasan Manusia, tersedia dalam http://www.mailarchive.com/formiskat@groups.plnkalbar.co.id/msg00083.html(diunduh 26 oktober 2009 11.30 WIB) Henderson, V. (2006). The concepts of nursing. Journal of advance nursing, 53, (1), 25-31. Diambil pada 28 Oktober 2009 dari jam 20.00 WIB dari http://www.journalofadvancednursing.com/docs/jan_1978.pdf. Kurtus, Ron. (2008). Factor Involved in Spiritual Health. http://www.school-forchampions.com/spiritualhealth/factors.htm diunduh tangga 28 Oktober 2009 pukul 14.09 WIB Makhija. (2002). Spiritual Nursing. Nursing journal of India. (June, 2002). Style Sheet: http://findarticles.com/p/articles/mi_qa4036/is_%20200206/ai_n9120374. (27 Oktober 2009). Natsir, Rina Pristiawati. Hubungan aspek dengan spiritual. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/ilmu-keperawatan/hubungan-penerapan-aspekspiritualitas-perawat-dengan-pemenuhan-kebut diperoleh tanggal 27 Oktober 2009 Sulaiman. Spiritual http://sulaiman.detik.com/category/spiritual/ diperoleh tanggal 26 Oktober 2009.
Diposkan oleh susi blog di 21.58

http://chugygogog.blogspot.com/2010/03/terapi-spiritual.html terapi spiritual


Dewasa ini konsep kedokteran modern mengenai pengobatan ialah dengan mempertimbangkan aspek biopisikal. Artinya pengobatan tidak hanya berusaha untuk mrngembalikan fungsi fisik seseorang tetapi juga fungsi psikis dan sosial. Pendekatan ini mnempatkan kembali pengobatan spiritual sebagai salah satu cara pengobatan dalam upaya penyembuhan penderita. Tidak sedikit orang yang bertanya tentang manfaat pengobatan spiritual dan dimana layanan pengobatan tersebut dapat diperoleh. Macam Macam Terapi Spiritual : Di indonesia pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan agama. Seorang pemeluk agama Islam cenderung untuk menjalani pengobatan spiritual yang dilksanakan sesuai ajaran Islam , misalnya berzikir, berdoa, berpuasa, sholat hajat. Berzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya, diantaranya sifat Rahman dan Rahim (Kasih Sayang). Dalam berdzikir penderita memuja kebesaran Tuhan dan berharap kasih sayang Tuhan akan menyembuhkannya. Dalam berdoa penderita dapat mengadukan penderitaannya serta memohon penyembuhan. Berpuasa diharapkan akan mendekatkan diri dengan Tuhan sehingga dirinya makin bersih dan mendapatkan ampunan serta kesembuhan. Sholat hajat adalah sholat yang khusus dilakukan untuk memohon kesembuhan penyakit. Dalam agama lain juga terdapat kegiatan ritual untuk penyembuhan baik dibimbing oleh rohaniawan maupun oleh dirinya sendiri. Respon Relaksasi : Benson memperkenalkan tehnik respon relaksasi yaitu suatu tehnik pengobatan untuk menghilangkan nyeri. Insomnia (tidak bisa tidur) atau kecemasan. Cara pengobatan ini merupakan bagian pengobatan spiritual. Pada tehnik ini pengobatan sangat feksible dapat dilakukan dengan bimbingan mentor , bersamam sama ataupun sendiri. Tehnik ini merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang- ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Tehnik ini bisa dilakukan setengah jam dua kali dalam sehari. Langkah-langkah respon relaksasi dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Pilihlah kalimat spiritual yang akan digunakan. 2. Duduklah dengan santai. 3. Tutup mata. 4. Kendurkan otot-otot. 5. Bernapaslah secara alamiah. Mulai mengucapkan kalimat spiritual yang dibaca secara berulang ulang. 6. Bila ada pikiran yang mengganggu , kembalilah fokuskan pikiran. 7. Lakukan 10 sampai 20 menit. 8. Jika sudah selesai, jangan langsung berdiri duduklah dulu dan beristirahatlah . buka pikiran kembali . Barulah berdiri dan melakukan kegiatan kembali. Penulis Dr.dr. Samsuridjal Djauzi.SpPD.KAI

http://health.kompas.com/read/2011/06/09/14575224/Agama.Sumber.Kesehatan.Jiwa-Raga
KOMPAS.com Psikiater terkemuka Prof Dr dr Dadang Hawari menyatakan, agama sangat bermanfaat untuk dijadikan terapi dan memelihara kesehatan jiwa. Agama, kata Prof Hawari, dapat dimanfaatkan para psikiater dalam mengobati pasien yang mengalami gangguan kejiwaan melalui konsep biology, psychology, social, and spiritual (BPSS). Integrasi agama ke dalam pengobatan sebenarnya sudah dikenal secara luas. Pada tahun 1984, misalnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis, dan psikososial. Seiring dengan itu, terapi-terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan. Terapi yang demikian disebut terapi holistik, artinya terapi yang melibatkan fisik, psikologis, psikososial, dan spiritual. "Integrasi ini telah disampaikan dalam berbagai konferensi internasional di bidang ilmu kedokteran jiwa(psychiatry) dan kesehatan jiwa (mental health)," ujar psikiater senior kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, itu yang kini berada di Yunani untuk bersilaturahim dengan masyarakat Indonesia di Athena. Prof Hawari juga ke Athena dalam rangkaian perjalanan menghadiri World Psychiatric Association International Congress di Turki, 9-12 Juni mendatang. Menurut Prof Hawari, setiap dokter harus mampu mengenal kondisi seseorang secara utuh, baik dari sisi raga, jiwa, dan terakhir adalah agama. Kata pria yang menekuni ilmu kedokteran sejak 1968 ini, konsep agama dalam dunia psikiatri internasional sudah menjadi bagian integral sejak 1993. Untuk itu, dalam menganalisa seorang pasien yang mengalami masalah kejiwaan, para dokter juga harus meneliti pasien dari sisi agamanya. Dalam praktiknya selama ini, konsep ini sangat membantu kesembuhan pasien-pasiennya. Semua Agama, lanjut Prof Hawari, sudah secara jelas menyiratkan perintah dan larangan bagi pengikutnya dan merupakan petunjuk hidup yang harus dijalankan secara benar. Dalam lingkup agama Islam, misalnya, rukun Islam dan rukun iman merupakan pedoman hidup dalam berumah tangga dan bermasyarakat untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan menjalankan rukun Islam dan rukun iman, seorang Muslim mampu mengendalikan diri dan tercegah dari segala perbuatan keji dan munkar. Menurut Prof Hawari, orang yang benar-benar meyakini rukun iman tersebut dapat terpelihara jiwanya dari kelima hal yang merusak jiwa atau juga dikenal dengan istilah mo-limo (5-M). Lima hal tersebut adalah madat alias narkotika, minuman keras yang dapat merusak jiwa dan raga manusia, main judi yang membawa kerugian moril maupun materiil bagi bangsa, maling termasuk di antaranya korupsi, dan madon atau main perempuan, prostitusi, pelacuran, dan penyimpangan seksual lainnya. Untuk itu, ia mengajak masyarakat menekuni ajaran dan aturan agama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kepada warga beragama Islam, mempelajari dan menjadikan Alquran sebagai rujukan bagi tiap persoalan yang dihadapi dalam berkehidupan dan bermasyarakat.
Sumber :

Antara
Editor :

Asep Candra

Terapi spiritual untuk penderita gangguan jiwa berat


Posted on May 1, 2012
TERAPI SPIRITUAL UNTUK PENDERITA GANGGUAN JIWA PSIKOTIK, MUNGKINKAH?

2012-03-29 8:47 Oleh dr Inu Wicaksana, SpKJ Pada acara Gebyar Ramadhan bulan September tahun 2008 ini, rekan-rekan perawat di RS Jiwa Magelang selain mengadakan pengajian-pengajian tiap Kamis juga mengadaakan acara istimewa, yaitu seminar bertajuk Pendekatan Spiritual pada pasien gangguan jiwa. Sebagai psikiater, saya diminta sebagai pembicara, lainnya adalah seorang guru keperawatan, dan seorang roghaniwan atau ustadz. Seminar ini disulut oleh, mulai tahun ini oleh bagian rehabilitasi ditawarkan perawat-perawat jiwa yang secara sukarela bergilir ke bangsalbangsal untuk memberikan ceramah keagamaan singkat pada seluruh pasien sebangsal. Munculah pro dan kontra. Apakah upaya spiritual itu bisa diterima oleh seluruh pasien, yang praktis masih berwaham dan berhalusinasi? Apakah bukan malah kontraindikasi, atau memperburuk keadaannya? Untuk pasienpasien nonpsikotik yang rawat jalan, hal ini tidak masalah. Tulisan ini merupakan inti makalah saya, ditambah diskusi seru yang terjadi dari para peserta seminar yang terdiri atas para perawat jiwa, psikiater, psikolog, pekerja sosial, dan para petugas lain di RSJ Magelang. Istilah spirit dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti roh, jiwa, semangat, arwah, jin, hantu. Sedang spiritual berarti bathin, rohani, bantuan bathin, dan keagamaan. Bukan berarti terapi sprititual lalu berati terapi hantu-hanyuan. Yang dimaksud terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan terapi keagamaan, relijius, atau psikorelijius, yang berarti terapi dengan menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dsb. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya, tidak

selalu dengan agama formal, jadi lebih universal seperti yang kita lihat pada buku-buku teks. Yang dimaksud dalam diskusi ini adalah terapi spiritual dengan memakai agama formal yang dianut masing-masing pasien.

Panitia meminta saya untuk menjelaskan apa itu jiwa, gangguan jiwa dan penggolongannya, kesadaran. Jiwa atau psyche sesungguhnya sangat sulit dijelaskan. Apakah ini sama dengan roh, sukma, bathin, rochani?, tidak tepat benar. Yang jelas jiwa itu tidak bisa dilihat, yang secara obyektif bisa dilihat adalah perilakunya (behaviour). Perilaku ini meliputi ekspresi kognitif, afektif, psikomotor dalam berkomunikasi dan interaksi dengan manusia lain. Orang tak bisa dinilai jiwa atau kepribadiannya bila ia sendirian ditengah padang pasir yang luas. Pada tahun 1960an, psikosis dianggap sebagai perilaku yang menyimpang akibat proses belajar yang keliru. Dalam diagnosis psikiatri, jiwa sama sekali tidak dibicarakan, yang ada adalah kelompok-kelompok sindrom perilaku yang digolong-golongkan. Inilah pandangan dunia angkatan pertama : psikologi/psikiatri behaviorisme. Sampai sekitar 1970an, pandangan baku dalam psikiatri ialah bahwa psikosis (skizofrenia), diakibatkan oleh defek pada fungsi ego, ketidakmampuan mengendalikan dorongan dalam (inner drives), narsistik awal, ketidakmampuan beradaptasi dengan dunia luar yang menghasilkan dunia rekaan seperti waham dan halusinasi, pengalaman masa kecil yang teraumatis terutama obyek-relasi yang salah dan pengaruh ibu yang menderita kecemasan. Jiwa diperhitungkan sebagai motif-motif tak sadar, terutama yang berkaitan dengan sex. Inilah angkatan kedua : psikoanalisis Freud dan pengikutpengikutnya. Pada 20 tahun berikutnya, konsep psikoanalisis mulai tergeser oleh penjelasan neurokimiawi. Psikosis skizofrenia adalah biologically-based brain desease. Ketidakseimbangan neurotransmiter di celah sinaptik otak yang harus dibetulkan dengan obat psikotropik sepanjang hayat. Manusia dianggap organorgan yang digerakkan mesin yang bila rusak diberi obat jangka panjang. Jiwa tetap tak tersentuh. Pada tahun yang sama, survey psikiatris membuktikan bahwa 95% pasien psikiatrik memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap Tuhan, suatu pengalaman spiritual. Mulailah kemudian jiwa lebih jelas didekati, sebagai eksistensi manusia, harapan dan penderitaannya, makna hidup, makna Tuhan, pendekatan diri pada Tuhan. Mulailah angkatan ketiga ; humanistiseksistensial.

Jung berselisih pendapat dengan Freud karena keinginannya untuk menaikan psikoanalisis dari sekedar gejolak seksual ke pengalaman kejiwaan manusia, yaitu pengalaman spiritual. Frankl menegaskan upaya rohaniah manusia untuk mencari makna. Assaglioli menjelaskan tahap spiritual ketika manusia berhubungan dengan energi spiritual kreatif yang disebut sebagai suprakesadaran. Jiwa manusia sekarang lebih diartikan sebagai pikiran dan alam perasaan manusia akan eksistensinya, makna hidupnya, menyerahkan dan mendekatkan diri pada Tuhannya. Maka mulailah terapi spiritual, yang dulu di jaman demonologi (gangguan jiwa karena setan) dalam sejarah psikiatri pernah menjadi terapi pokok pada gangguan mental, kembali dipertimbangkan sebagai upaya terapi selain terapi-terapi lain pada gangguan mental psikotik dan nonpsikotik. Masalahnya pada psikotik, ego dan pikiran rasional (penalaran) runtuh, timbul waham, halusinasi dan kerusakan daya nilai realitas, sehingga ini harus diperbaiki dulu dengan obat-obat antipsikotik sebelum terapi spiritual yang membutuhkan abstraksi itu bisa dijalankan. Berpikir abstrak, konseptual, menilai realitas, jelas membutuhkan kesadaran. Apakah kesadaran itu? Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima rangsang sensorik panca indra, minilai realitas dan orientasi, mengingat pengalaman yang lalu maupun sekarang. Kesadaran bisa dipandang dua hal. Kuantitatif, yaitu orientasi terhadap orang, waktu, tempat, situasi, bila baik disebut composmentis : dan kualitatif, untuk menilai realitas sekitar, yang bila terganggu nampak seperti mimpi atau berkabut. Kesadaran bisa terganggu oleh gejala-gejala psikotik seperti waham dan halusinasi. Untuk terapi spiritual gangguan mental bisa dibagi dua golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan psikotik. Untuk non psikotik banyak jenisnya, seperti gangguan cemas, gangguan somatoform, depresi,gangguan kepribadian, dll. Sedang gangguan psikotik adalah : (1) Skizofrenia (5 tipe); (2) Gangguan Afektif Berat dengan gejala psikotik ( Bipolar manik dan Depresi Berat); (3) Skizoafektif; (4) Psikosis Polimorfik Akut; (5) Gangguan Waham Menetap; (6) Psikosis Non Organik lainnya; dan (7) Gangguan Psikotik Organik. Mengapa pada gangguan psikotik (skizofrenia) terapi spiritual tidak bisa langsung dikerjakan? Bahkan merupakan kontraindikasi? Ciri gangguan psikotik adalah : ego yang collaps atau disfungsi, penalaran runtuh, adanya waham (pikiran terdistorsi), halusinasi (pendengaran, visual, penciuman, tactil) , gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), tingkah laku kacau atau katatonik, gangguan daya nilai realitas, da tidak adanya kesesuaian antara pikiran dengan perasaan dan tindakan. Karena hal itu semua maka pada psikotik, penderita tidak mampu mengarahkan kemauannya secara sadar, tidak mempunyai tilikan diri, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan secara salah karena gejala-gejala itu semua berpengaruh kuat pada proses pikirnya. Misalnya, akan timbul rasa bersalah atau berdosa dan tidak berguna, yang berlanjut ke usaha bunuh diri. Atau munculnya kembali

waham paranoid karena merasa mau dijejali ide-ide agama oleh musuhmusuhnya secara terencana. Apa syarat terapi spiritual bisa dikerjakan untuk pasien-pasien psikotik (skizofrenia)? Yaitu ; (1) bila dengan pengobatan antipsikotik selama 2-4 mg, gejala-gejala waham, halusinasi, inkoherensi dan tingkah laku kacau (gaduh gelisah) sudah mereda; (2) ego dan penalaran sudah mulai berfungsi kembali sehingga interpretasi terhadap ide-ide sudah tepat; (3) status mental tidak rentan/rapuh atau emosi sudah stabil; (4) bila perlu dengan skor Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) yang sudah minimal. Seperti apakah variasi pasien psikotik yang siap menerima terapi spiritual? Misalnya : (1) skizofrenia tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil keluarganya; (2) pasien masuk dengan gejala samar skizofrenia residual, pasif apatis, keluarga hanya tidak mau merawatnya di rumah dengan alasan apapun; (3) pasien psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda, tapi masih impulsif dan cenderung lari pulang; (4) pasien depresi berat dengan gejala psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda meski harus hati-hati karena terapi spiritual bisa menyulut waham bersalah dan berdosanya; (5) psikosis polimorf akut (E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah reda gaduh gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum berani mengambil.. Terapi spiritual ada dua jenis, individual dan kelompok. Yang individual berarti suatu psikoterapi religius. Psikoterapi dengan memasukkan unsur-unsur religius. Yang kedua berbentuk kelompok. Mungkin seperti psikoterapi kelompok tapi memakai unsur keagamaan. Untuk kedua jenis ini berarti harus ada interaksi antara terapis dengan pasien. Bagi yang kelompok, saya usulkan dua model. Pertama, dalam bentuk ceramah keagamaan (religius) intensif untuk 15-20 pasien psikotik (setelah diseleksi, tidak seluruh pasien satu bangsal). Dengan memberi kesempatan pasien bertanya atau memancing pertanyaan. Model yang kedua sama dengan yang pertama tapi ditambah kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, doa, dzikir, pengkajian ayatayat suci. Bagaimana substansi materi keagamaan yang cocok untuk diberikan sebagai terapi spiritual bagi pasien-pasien psikotik? Sebaiknya materi yang bersifat : (1) ajaran keagamaan yang tidak terlalu dogmatis, memvonis atau menghukum, penuh larangan, ancaman siksa neraka, dll; (2) ajaran agama (firman Tuhan, sabda Nabi, hadist) yang memberi tuntunan untuk berbagai tindakan dalam kehidupan sehari-hari; (3) ajaran keagamaan yang menyejukkan, bisa menetralisir konflik, memberi solusi problematika dalam kehidupan sehari-hari; (4) ajaran keagamaan yang mendekatkan diri pada Tuhan, memasrahkan diri dengan ichlas, tabah dan tawakal, memberi harapan dan pencerahan rochani. Larson dkk (1982) dalam Dadang Hawari (2001) melaksanakan penelitian tentang terapi spiritual untuk pasien skizofrenia di RSJ. Mereka membandingkan keberhasilan terapi pada dua kelompok pasien skizofrenia. Kelompok pertama mendapat terapi konvensional (psikofaramaka) dan lain-lain tapi tidak

mendapat terapi sipitual (keagamaan). Kelompok kedua mendapat terapi konvensional dan lain-lain dan mendapat terapi spiritual. Kedua kelompok tersebut dirawat di RSJ yang sama. Hasil penelitian ini cukup bermakna bahwa : (1) gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang pada kelompok kedua yang mendapat terapi spiritual; (2) pada kelompok kedua lamanya perawatan lebih pendek daripada kelompok pertama; (3) pada kelompok kedua, hendaya (impaiment) lebih cepat teratasi daripada kelompok pertama; (4) pada kelompok kedua kemampuan adaptasi lebih cepat daripada kelompok pertama. Terapi spiritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian dikutip dari http://www.inuwicaksana.com/209/terapi-spiritual-untuk-penderitagangguan-jiwa-psikotik-mungkinkah.html

http://devypardede.blogspot.com/2011/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Kamis, 21 April 2011

Konsep Kesehatan Spiritual


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Klien dalam perspektif keperawatan merupakan individu, keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah kesehatan dan membutuhkan bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan status kesehatannya dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, klien memiliki beberapa peran dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat tersebut, maka

keperawatan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, psikologis dan spiritual. Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan dalam keperawatan bahwa pemberian asuhan keperawatan hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual klien. Sehingga, pada nantinya klien akan dapat merasakan kesejahteraan yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah suatu faktor yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki dimensi yang luas dalam kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik dari seorang perawat sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien. B. Tujuan 1. Tujuan Umum

a) Untuk memenuhi tugas dari Bapak dosen pembimbing mata kuliah


Kebutuhan Dasar manusia I (KDM I). b) Untuk mengetahui dan menambah wawasan lebih banyak pengetahuan KDM I tentang Konsep Kesehatan Spiritual . 2. Tujuan Khusus

a) Mahasiswa mengetahui konsep kesehatan spiritual b) Mahasiswa mampu mengaplikasikan konsep kesehatan spiritual c) Mahasiswa memiliki landasan pengetahuan dalam melaksanakan tindakan
keperawatan yang berhubungan dengan spiritual. C. Metode Penulisan Dalam penulisan makalah ini, kami menggunakan metode kepustakaan yang kami ambil dari beberapa buku yang ada di perpustakaan akper Pemkab Kapuas. Selain menggunakan metode kepustakaan kami juga mencari materi dari internet. D. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah : BAB I PENDAHULUAN Sebagai langkah awal dalam makalah ini adalah menggunakan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan itu sendiri BAB II PEMBAHASAN Pada bab ini mengkaji tentang isi dari makalh ini, yang menjelaskan dan uraian yang berhubungan dengan konsep kesehatan spiritual. BAB III PENUTUP Dari pembahasan sebelumnya kita dapat menarik kesimpulan dan saran yang di tujukan bagi pembaca.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Konsep Kesehatan Spiritual Spirituality atau spiritual berasal dari bahasa latin spiritus yang berarti nafas atau udara. spirit memberikan hidup,menjiwai seseorang. Spirit memberikan arti penting ke hal apa saja yang sekiranya menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan seseorang( Dombeck,1995). Spiritual adalah konsep yang unik pada masing-masing individu (Farran et al, 1989). Masing-masing individu memiliki definisi yang berbeda mengenai spiritual, hal ini dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup. Spiritual menghubungkan antara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), interpersonal (hubungan antara diri sendiri dan orang lain), dan transpersonal (hubungan antara diri sendiri dengan tuhan/kekuatan gaib) . Spiritual adalah suatu kepercayaan dalam hubungan antar manusia dengan beberapa kekuatan diatasnya, kreatif, kemuliaan atau sumber energi serta spiritual juga merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem kepercayaan seseorang yang mana akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi. Dalam hirarki kebutuhan manusia, kesehatan spiritual tampak untuk pemenuhan yang mengandung arti dari kebutuhan melebihi tingkat aktualisasi diri. Kesehatan spiritual berkaitan erat dengan dimensi lain dan dapat dicapai jika terjadi keseimbangan dengan dimensi lain (fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural). Peran perawat adalah bagaimana perawat mampu mendorong klien untuk meningkatkan spiritualitasnya dalam berbagai kondisi, Sehingga klien mampu menghadapi, menerima dan mempersiapkan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut. B. Hubungan Spiritual, Sehat, dan Sakit Agama merupakan petunjuk perilaku karena di dalam agama terdapat ajaran baik dan larangan yang dapat berdampak pada kehidupan dan kesehatan seseorang, contohnya minuman beralkohol sesuatu yang dilarang agama dan akan berdampak pada kesehatan bila di konsumsi manusia. Agama sebagai sumber dukungan bagi seseorang yang mengalami kelemahan (dalam keadaan sakit) untuk membangkitkan semangat untuk sehat, atau juga dapat mempertahankan kesehatan untuk mencapai kesejahteraan. Sebagai contoh orang sakit dapat memperoleh kekuatan dengan menyerahkan diri atau memohon pertolongan dari Tuhannya. C. Hubungan Keyakinan dengan Pelayanan Kesehatan Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan dengan Tuhannya pun semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkan dari kesembuhan, kecuali Sang Pencipta. Dalam pelayanan kesehatan, perawat sebagai petugas kesehatan harus memiliki peran utama dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Perawat dituntut mampu memberikan pemenuhan yang lebih pada saat pasien kritis atau menjelang ajal. Dengan demikian, terdapat keterkaitan antara keyakinan dengan pelayanan kesehatan, di mana kebutuhan dasar manusia yang diberikan melalui pelayanan kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis, tetapi juga aspek spiritual. Aspek spiritual dapat membantu membangkitkan semangat pasien dalam proses penyembuhan.

D. Perkembangan Spiritual Perkembangan Spiritual seseorang menurut Westerhoffs di bagi ke dalam empat tingkatan berdasarkan kategori umur, yaitu : 1. Usia anak-anak, merupakan tahap perkembangan kepercayaan berdasarkan pengalaman. Perilaku yang didapat, antara lain: adanya pengalaman dari interaksi dengan orang lain dengan keyakinan atau kepercayaan yang di anut, Pada masa ini, anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan pada masa ini mungkin hanya mengikuti ritual atau meniru orang lain, seperti berdoa sebelum tidur dan makan, dan lain-lain. Pada masa prasekolh kegiatan keagamaan yang dilakukan belum bermakna pada dirinya, perkembangan spiritual mulai mencontoh aktivitas keagamaan orang seakilingnya dalam hal ini keluarga. Pada masa ini anak-anak biasanya sudah mulai bertanya tentang pencipta, arti doa, serta mencari jawaban tentang kegiatan keagamaan. 2. Usia remaja akhir, merupakan tahap perkumpulan kepercayaan yang di tandai dengan adanya partisipasi aktif pada aktivitas keagamaan. Pengalaman dan rasa takjub membuat mereka semakin merasa memiliki dan berarti akan keyakinannya. Perkembangan spiritual pada masa ini sudah mulai pada keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritual seperti keinginan melalui meminta atau berdoa kepada penciptanya, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritual tidak terpenuhi, akan timbul kekecewaan. 3. Usia awal dewasa, merupakan masa pencarian kepercayaan dini, diawali dengan proses npernyataan akan keyakinan atau kepercayaan yang dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk mempercayainya. Pada masa ini, pemikiran sudah bersifat rasional dan keyakinan atau kepercayaan terus dikaitkan dengan rasional. Segala pertanyaan tentang kepercayaan harus dapat dijawab secara rasional. Pada masa ini, timbul perasaan akan penghargaan terhadap kepercayaannya. 4. Usia pertengahan dewasa, merupakan tingkatan kepercayaan dari diri sendiri, perkembangan ini diawali dengan semakin kuatnya kepercatyaan diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan dirinya. E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual 1. Perkembangan. Usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual, karena setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan terhadap Tuhan. 2. Keluarga. Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam pemenuhan kebutuhan spiritual, karena keluarga memilki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. 3. Ras/suku. Ras/suku memiliki keyakinan/kepercayaan yang berbeda, sehungga proses pemenuhan kebutuhan spiritual pun berbeda sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. 4. Agama yang dianut. Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat menetukan arti pentingnya kebutuhan spiritual. 5. Kegiatan keagamaan. Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan keberadaan dirinya dengan Tuhan, dan selalu mendekatkan diri kepada Penciptanya. F. Beberapa orang yang membutuhkan bantuan spiritual

1.

Pasien Kesepian. Pasien dalam keadaan sepi dan tidak ada yang menemani akan membutuhkan bantuan spiritual karena mereka merasakan tidak ada kekuatan selain kekuatan Tuhan, tidak ada yang menyertainya selain Tuhan. 2. Pasien Ketakutan dan cemas. Adanya ketakutan atau kecemasan dapat menimbulkan pasien kacau, yang dapat membuat pasien membutuhkan ketenangan pada dirinya, dan ketenangan yang paling besar adalah bersama Tuhan. 3. Pasien menghadapi pembedahan. Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien selalu membutuhkan bantuan spiritual. 4. Pasien yang harus mengubah gaya hidup. Perubahan gaya hidup dapat membuat seseorang lebih membutuhkan keberadaan Tuhan (kebutuhan spiritual). Pola gaya hidup dapat membuat kekacauan keyakinan bila ke arah yang lebih buruk. Akan tetapi bila perubahan gaya hidup kea rah yang lebih baok, maka pasien akan lebih membutuhkan dukungan spiritual. G. Masalah Spiritual Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami ganguan dalam kepercayaan atau sistem yang memberikannya kekuatan, harapan, dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapakan adanya keraguan dalam system kepercayaan, adanya gangguan yang berlebih dalam mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian dan sesudah hidup, adanya keputusasaan, menolak kegiatan ritual, dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri, cemas, dan marah, kemudian ditunjang dengan tanda fisik seperti nafsu maakan terganggu, kesulitan tidur, dan tekanan darah meningkat. Distres spiritual terdiri dari atas : 1. Spiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang yang dicintai atau dari penderitaan yang berat. 2. Spiritual yang khawatir, yatitu terjadi pertentangan kepercayaan dan sistem nilai seperti adanya aborsi. 3. Spiritual yang hilang, yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan dalam kegiatan keagamaan. H. Pengkajian Spritual Pengkajian terhadap masalah kebutuhan spiritual antara lain adanya ungkapan terhadap masalh spiritual, misalnya arti kehidupan, kematian dan penderitaan, keraguan akan kepercayaan yang dianut, penolakan untuk beribadah, perasaan yang kosong, dan pengakuan akan perlunya bantuan spiritual. Beberapa faktor yang menyebabkan masalah spiritual adalah kehilangan salah satu bagian tubuh, beberapa penyakit terminal, tindakan pembedahan, prosedur invasive, dan lain-lain. 1. Ketaatan dan keyakinan klien 2. Tanggung Jawab diri dan kehidupan 3. Kepuasan hidup klien 4. Budaya 5. Hubungan dengan masyarakat 6. Praktek keagamaan 7. Pekerjaan

8. Harapan klien G. Diagnosa Keperawatan Distres spiritual berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan ritual spiritual, konflik antara keyakinan spiritual dan ketentuan aturan kesehatan dan krisis penyakit, penderitaan, atau kematian. H. Perencanaan Keperawatan Rencana yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah spiritual antara lain: 1. Memberikan ketenangan atau privasi sesuai dengan kebutuhan melalui berdoa dan beribadah secara rutin 2. Membantu individu melakukan ibadah. yang mengalami keterbatasan fisik untuk

3. Menghadirkan pemimpin spiritual untuk menjelaskan berbagai konflik keyakinan dan alternative pemecahannya. 4. Mengurangi atau menghilangkan beberapa tindakan medis yang bertentangan dengan keyakinan pasien dan mencari alternatif pemecahannya. 5. Mendorong untuk mengambil keputusan dalam melakukan ritual. 6. Membantu pasien untuk memenuhi kewajibannya I. Evaluasi Keperawatan Evaluasi terhadap masalah spiritual secara unun dapat dinilai dari perubahan untuk melakukan kegiatan spiritual, adanya kemampuan melaksanakan ibadah, adanya ungkapan atau perasaan yang tenang, dan menerima adanya kondisi atau keberadaannya, wajah yang menunjukkan rasa damai, kerukunan dengan orang lain, memilki pedoman hidup, dan rasa bersyukur.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Spiritual adalah suatu kepercayaan dalam hubungan antar manusia dengan beberapa kekuatan diatasnya, kreatif, kemuliaan atau sumber energi serta spiritual juga merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem kepercayaan seseorang yang mana akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi. Dalam hirarki kebutuhan manusia, kesehatan spiritual tampak untuk pemenuhan yang mengandung arti dari kebutuhan melebihi tingkat aktualisasi diri. Kesehatan spiritual berkaitan erat dengan dimensi lain dan dapat dicapai jika terjadi keseimbangan dengan dimensi lain (fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural). Peran perawat adalah bagaimana perawat mampu mendorong klien untuk meningkatkan spiritualitasnya dalam berbagai kondisi, Sehingga klien mampu menghadapi, menerima dan mempersiapkan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut. B. Saran Berdasarkan pembahasan makalah ini, maka kami dapat mengemukakan beberapa saran yang mungkin dapat menjadi masukan yang bersifat positif antara lain : 1. Diharapkan agar mahasiswa (i) dapat menguasai dan menerapkan konsep kesehatan Spiritual ini. Terus mengembangkan dalam tindakan nyata pada kehidupan dimasyarakat.

2.

Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai acuan tambahan pembelajaran bagi ilmu keperawatan. 3. Diharapkan makalah ini dapat dijadikan referensi tambahan diperpustakaan.

Daftar Pustaka: A. Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia I. Jakarta: Salemba Medika

Diposkan oleh Devy_Pardede di 06.29

You might also like