You are on page 1of 99

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia, sejak tahun 1997 sampai

saat ini telah berakibat buruk yang berkepanjangan. Berdasarkan data BPS pada

maret tahun 2008, angka kemiskinan berjumlah 34,96 juta jiwa (15 persen dari

total penduduk Indonesia yang berjumlah 37,17 juta orang pada tahun 2007).

Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada februari 2007 masih

mencapai 9,75% dari angkatan kerja sebesar 10,55 juta jiwa.1 Oleh karena itu

Pemerintah harus bertindak tegas untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya

pembangunan di segala bidang yang sedang dilaksanakan bangsa Indonesia

diantaranya adalah pembangunan di bidang industri.

Industrialisasi merupakan kebutuhan mendasar bagi negara yang ingin

lebih maju. Industri memegang peranan cukup penting dalam pembangunan di

Indonesia dan kenyataannya pembangunan industri di Indonesia cukup pesat. Di

kota- kota terutama di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatra di bangun industri-

industri yang memproduksi berbagai macam produk, selain untuk kebutuhan di

dalam negeri juga menjadi sumber devisa bagi negara.2

Namun banyak industrialisasi yang tidak sejalan dengan bidang


1 Http:www.datastatistik_indonesia.com/compenent/option,com-tabel/kat,1/idtabel,111/itemid,165,
September 2008, 13.00.
2 Anang Suherman, Dampak Pembangunan Kawasan Industri Jabeka terhadap Tingkat Pendidikan
Anak (Jakarta, Ilmu Sosial Politik Universias Negeri Jakarta, 2006, Hlm.1).
2

pendidikan, karena banyakya anak-anak usia sekolah telah bekerja di pabrik-

pabrik. pekerja anak sampai saat ini masih menunjukan jumlah yang

memprihatinkan. Berdasarkan hasil Survey Angkatan Kerja Nasional tahun 2003,

terdapat 566,526 ribu pekerja anak di Indonesia. Anak-anak yang bekerja rata-rata

berpendidikan rendah (SD atau SMP). Dari data ILO-IPEC tahun 2005, terdapat

52,47% pekerja di Indonesia yang berusia antara 15-19 tahun (termasuk pekerja

anak), tidak pernah bersekolah atau tidak lulus sekolah dasar. Dan 47,46% yang

berpendidikan SMP dan SMA (lulus dan tidak ulus). Anak-anak berusia di bawah

15 tahun kemudian paling banyak dipilih sebagai pekerja dengan alasan upah yang

lebih murah, biaya produksi lebih sedikit, usia mereka relatif muda sehingga sangat

mudah diatur dan tidak banyak menuntut seperti pekerja dewasa. Pekerja anak ini

tidak hanya berasal dari daerah setempat tapi juga dari luar daerah. Anak-anak

pedesaan selain bekerja di desanya, terutama di sektor pertanian, juga banyak yang

datang ke kota-kota. Mereka sengaja ke luar daerahnya untuk mencari pengasilan

tambahan untuk kebutuhan sehari-hari.3

Pada prinsipnya anak-anak itu dilarang bekerja, tetapi apabila dalam

terpaksa karena ekonomi dan sosial dari anak itu tidak menguntungkan. Anak itu

boleh bekerja, tetapi tidak boleh menyimpang dari ketentuan dalam UU yang diatur

dalam UU No 13 tahun 2003. Dalam UU tersebut disebutkan usia tidak boleh

kurang dai 15 tahun dan hanya boleh bekerja pada jenis-jenis pekerjaan ringan

3 Http://www.sekitarkita.com/more.php?id:637_0_1_0_m, Pemenuhan Hak Pendidikan Para Pekerja


Anak, 21 april 2008, 13.30.
3

yang tidak membahayakan fisik, mental dan moral anak, syaratnya tidak boleh

lebih dari 3 jam dan harus seizin orang tua. Disamping itu, anak juga harus tetap

bersekolah.4 Akan tetapi, pada kenyataannya negara masih belum mampu

memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak karena masih banyak

keberadaan pekerja anak di Indonesia. Keberadaan pekerja anak bukan hanya

melanggar hak-hak anak, tetapi bekerja pada usia dini juga membawa dampak

buruk bagi anak-anak, baik fisik maupun psikis serta dapat menggangu masa depan

anak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi5.

Kabupaten Malang dengan buruh linting rokoknya adalah salah satu

contoh kasus pekerja anak. Sebut saja namanya Narini umurnya 14 tahun, mengaku

tidak ingin bekerja. Ia ingin tetap bersekolah seperti anak-anak sebayanya. Namun,

keadaan memaksanya putus sekolah. Ia harus bekerja di pabrik rokok keretek di

kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Setiap pagi, ketika teman-

teman sebayanya mengenakan seragam dan berangkat sekolah, Narini berangkat ke

pabrik. “Awalnya malu jika bertemu teman-teman, sekarang sudah terbiasa.

Mereka berangkat sekolah, saya berangkat ke pabrik,” tuturnya.6

Perkembangan industrialisasi yang menjamur dewasa ini baik diperkotaan

maupun dipedesaan dengan tidak segan-segan untuk memanfaatkan dan merekrut

tenaga kerja anak-anak. Memperkerjakan anak merupakan salah satu strategi

4 Http://www.indosiar.com/new/anda-perlu-tahu/60083_pekerja-anak-dominasi-ekonomi-keluarga,
Pekerja anak, Dominasi Ekonomi Keluarga, 5 september 2008, 13.00.
5 Hardius Usman, Pekerja anak di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004,
hlm.1).
6 Kompas, Malangnya Buruh Anak-Anak Malang, 21 April 2008.
4

perusahaan untuk mencari keuntungan. Kondisi perusahaan penerima sub kontrak

yang pada umumnya hanya mengerjakan salah satu bagian dari proses produksi

menjadikan perusahaan dapat menerima anak-anak untuk bekerja karena

perusahaan tersebut tidak memerlukan keterampilan khusus. Anak-anak ini banyak

dicari karena mereka dapat dibayar lebih murah, mereka pun patuh dan tidak

membantah, mau ditempatkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan mau

bekerja dengan jam kerja panjang.7

Fenomena pekerja anak selalu berkaitan erat dengan alasan ekonomi

keluarga (kemiskinan) dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Buruknya

perekonomian keluarga sampai saat ini masih menjadi salah satu penyebab anak

bekerja. Khususnya bagi keluarga miskin, menyekolahkan anak berarti akan

menambah beban keluarga, sebab harus menyisihkan anggaran keluarga untuk

keperluan sekolah, oleh karena itu banyak anak yang terpaksa

berhenti sekolah pada tingkat pendidikan rendah atau tidak

mengecap pendidikan sama sekali. Di lain pihak biaya pendidikan relatif

tinggi ikut memperkecil kesempatan anak untuk mengikuti pendidikan.

Penurunan kesempatan kerja di pedesaan yang semakin sempit

mengakibatkan jumlah pengangguran yang semakin meningkat.

Oleh karena itu orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya

7 Tiurma Junita Veronica, Pekerja Anak Sektor Industri (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 1999,
Hlm.10).
5

sehingga tidak ada alternatif lain bagi orang tua selain

mengharapkan anak-anaknya untuk bekerja. Keluarga miskin

sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak mereka, baik untuk

membantu perekonomian keluarga maupun melangsungkan

kehidupannya.8

Permasalahan besar yang dihadapi pekerja anak adalah berpotensi

terhadap eksploitasi anak. Banyak para pengusaha atau majikan yang masih

memperlakukan anak-anak dengan buruk, menempatkan anak-anak pada pekerjaan

yang tidak sesuai dengan kondisi fisik anak dan bahkan berbahaya bagi

keselamatan jiwanya.9 Seperti contoh kasus pekerja anak Narini tersebut, ia tidak

bisa bercanda ria seperti teman-teman sebayanya karena harus berkonsentrasi

menyelesaikan pekerjaannya. Bila mengobrol apalagi bercanda saat bekerja,

mandornya sudah pasti memarahinya. Perlakuan yang seharusnya diterima oleh

buruh dewasa, terpaksa harus ia terima.10

Jam kerja yang panjang menyebabkan anak tidak memiliki waktu lagi

untuk bermain, apalagi mengeyam pendidikan karena waktu mereka habis untuk

bekerja bahkan ada pembagian jam kerja pada malam hari sehingga mereka baru

sampai di rumah pada pagi harinya. Upah yang rendah bagi pekerja anak-anak ini

telah menjadi perjanjian tidak tertulis dari para pemakai buruh anak ini. Kondisi

8 Tiurma Junita Veronica, I.Bid. Hlm 2.


9 Hardius Usman, Op.Cit.Hlm.5.
10 Kompas, Malangnya Buruh Anak-Anak Malang, Op.Cit.
6

demikian membuat anak-anak ini kehilangan hak-haknya untuk mendapatkan kasih

sayang, bermain dan pendidikan.11 Sama halnya seperti anak-anak yang bekerja di

pabrik rokok keretek tersebut, mereka bekerja penuh selama tujuh jam dalam

sehari dan upahnya sebagai pelinting rokok keretek dihitung secara borongan

berdasarkan hasil produksi harian. Narini dan pekerja lainnya hanya bisa

menyeleseikan sekitar 1.000 batang perhari dengan upah Rp. 6.000 selama tujuh

jam bekerja.12

Kampung Bojong Nangka yang letaknya di kecamatan Pondok Gede kota

Bekasi ini merupakan kabupaten yang saat ini menjadi salah satu kota penyangga

Jakarta dan juga menjadi pusat pembangunan industri. Semakin bertambahnya

jumlah pabrik di kampung tersebut tidak menutup kemungkinan bagi terbukanya

peluang anak-anak untuk bekerja bahkan mendatangkan tenaga kerja dari daerah

lain. Adanya pabrik-pabrik tersebut juga jelas membawa dampak perubahan pada

berbagai aspek kehidupan di masyarakat sekitarnya, khususnya di kawasan

industri. Dampak perubahan tersebut tidak hanya dari aspek pola pikir masyarakat

tetapi juga pandangan masyarakat terhadap bidang ekonomi, sosial, budaya dan

lain-lain.

Khususnya dampak dalam bidang pendidikan, bagi masyarakat di wilayah

Bojong Nangka sekitar pabrik tersebut, karena banyaknya anak-anak yang

semestinya berada di bangku sekolah ternyata banyak anak usia sekolah telah

11 Tiurma Junita Veronica, Op.Cit.Hlm.14.


12 Kompas, Malangnya Buruh Anak-Anak Malang, Loc.Cit.
7

bekerja di konveksi pakaian dan ternyata lowongan kerja bagi mereka cukup

terbuka dan terdapat banyak orang tua yang semestinya menyekolahkan anak-

anaknya justru lebih cenderung mengharapkan anak-anaknya bisa cepat bekerja.

Untuk itu, semua pihak perlu menyadarkan masyarakat untuk membangun

motivasi para orang tua dan anak dalam mendapatkan pendidikan. Hal inilah yang

membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di pabrik-pabrik daerah

kampung Bojong Nangka Pondok Gede Bekasi ini, dimana terdapat pekerja anak

yang bekerja di konveksi tersebut.

1.2 Permasalahan Penelitian

Permasalahan utama yang peneliti angkat dalam penelitian ini yaitu tentang pekerja

anak di sektor industri yang letaknya di kampung Bojong Nangka Pondok Gede

Bekasi. Di mana sebagian besar anak-anak dari keluarga miskin lebih memilih

bekerja dari pada melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk

itu, dalam penelitian empiris di lapangan, peneliti akan memusatkan perhatian pada

pekerja anak dari usia 12 sampai 15 tahun yang bekerja di konveksi Pakaian atau

mereka yang tidak mengeyam pendidikan sama sekali sampai yang hanya lulusan

SMP saja yang telah bekerja di konveksi tersebut. Untuk lebih memfokuskan

permasalahan, maka pernyataan masalah dalam penelitian ini dijabarkan dalam

pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut ini:

1) Bagaimana dilema keberlanjutan pendidikan yang dialami pekerja anak?

2) Apa makna sosial pendidikan bagi pekerja anak yang bekerja di konveksi
8

pakaian?

3) Apa saja bentuk eksploitasi yang didapatkan pekerja anak di konveksi

pakaian?

1.3 Tujuan dan Signifikasi Penelitian

Penelitian ini bermaksud ingin mengkaji tentang pekerja anak di sektor

industri. Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan, bagaimana dilema

keberlanjutan pendidikan yang dialami pekerja anak dan pandangan seorang

pekerja anak memaknai arti pendidikan sehingga mereka lebih memilih bekerja

dari pada melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu

juga peneliti akan memberikan gambaran tentang tereksploitasinya pekerja anak

yang bekerja di konveksi pakaian tersebut.

Signifikasi penelitian ini ada dua, antara lain:

1). Signifikasi akademis

Memberikan masukan kepada pakar-pakar pendidikan agar dapat memberikan

jalan terbaik bagi pertumbuhan pendidikan anak, sehingga terciptanya tenaga

kerja profesional yang dapat mendudukung industrialisasi.

2) Signifikasi Praktis

a. Departemen Perindustrian sebagai informasi dalam memberikan

kebijaksanaan pembangunan industri sehingga mampu

menciptakan kawasan industri yang mendukung proses

pendidikan.
9

b. Departemen Tenaga Kerja untuk meninjau kembali pelaksanaan

batas usia yang diperbolehkan untuk memasuki lingkungan kerja,

sehingga tidak adanya lagi pekerja anak yang tereksploitasi.

c. Dapat digunakan sebagai sumbangan awal bagi penelitian-

penelitian selanjutnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Peneliti akan memaparkan dua tinjauan pustaka dengan penelitian yang akan

peneliti angkat, yaitu:

1) Penelitian I yang di susun oleh Tiurma Junita Veronica dari jurusan


Pendidikan Ekonomi, FPIP, IKIP, tahun 1997. Ia berasal dari daerah
Tanggerang, jawa Barat. Ia menyusun penelitian dengan judul Pekerja anak
Sektor Industri: Study Korelasi Persepsi Pekerja Anak terhadap Industri
dengan Minat Bersekolah di Daerah Tangerang. Waktu dan lokasi
penelitiannya pada awal bulan Agustus-akhir Desember 1996 dan lokasi
penelitian pun tidak jauh dari tempat tinggal rumahnya yaitu pada Industri di
Desa Priuk, Kecamatan Rajeg Tanggerang Jawa Barat, Tanggerang.Unit
Analisisnya pekerja anak di Permulaan Industri berumur 15 tahun ke bawah
di kawasan industri tersebut. Menggunakan metode korelasional, yang ingin
melihat hubungan dari dua variabel yaitu variabel persepsi pekerja anak
terhadap industri sebagai variabel X dan variabel minat bersekolah sebagai
variabel Y, penelitian ini bersifat deskriptif yaitu data di dapatkan pada
pengalaman empirik di lapangan. Teknik pengumpulan data menggunakan
riset perpustakaan, observasi partisipasi, angket dan wawancara mendalam.
Teknik Pengambilan sampel menggunakan incidental sampling, yatu sampel
dipilih karena mereka tersedia sesuai dengan karakteristik yang telah
ditetapkan setiap subjek pekerja anak di permulaan industri beruur 15 tahun
10

kebawah yang tersedia di lapangan dan sesuai dengan karakteristik sampel


bagi penelitian serta bersdia untuk dijadikan sampel bagi penelitian ini.
Secara empiris telah berhasil diuji, bahwa terdapat hubungan positif
signifikan antara persepsi terhadap industri dengan minat sekolah. Hasil
perhitungan statistik menunjukan adanya korelasi yang cukup kuat antara
persepsi terhadap industri dengan minat bersekolah. Kesimpulan ini
diperoleh berdasarkan perhitungan statistik dengan menggunakan Chi
Kuadrat dengan jumlah sampel sebanyak 50 orang pekerja anak, diperoleh
nilai Chi kuadrat sebesar 9,145.
2) Penelitian II, disusun oleh Rika Mahardhika dari Program Studi PPKN,
jurusan ISP, FIS, UNJ, tahun 2003. Ia berasal dari daerah Pluit, Jakarta
Utara. Ia menyusun penelitian dengan judul Eksploitasi terhadap Pekerja
Anak Nelayan (Sudi di Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara). Waktu dan lokasi
penelitiannya pada awal bulan Agustus-bulan Desember 2002 dan lokasi
penelitian pun tidak jauh dari tempat tinggal rumahnya yaitu di Muara
Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara. Unit Analisisnya antara lain Key
informannya yaitu pekerja anak yang berada di daerah Muara Angke, Pluit
Jakarta Utara. sebanyak 4 orang serta orang tua dari anak yang bersangkutan
yang bekerja sebagai buruh Nelayan sebanyak 2 orang. Sedangkan informan
lainnya terdiri dari orang-orang yang dianggap mengetahui secara mendalam
permasalahannya. Menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif yaitu untuk menjelaskan secara terperinci permasalahan yang ada
yaitu tentang bentuk dan faktor penyebab eksploitasi yang dilakukan
terhadap pekerja anak yang masih belia ini. Teknik Pengumpulan data
dengan melakukan observasi terlibat, wawancara mendalam dan Studi
Dokumentasi. Sedangkan untuk keabsahan data, Peneliti melakukan
kecukupan referensial, melakukan diskusi dengan informan, melakukan
triangulasi dan ketekunan dalam melakukan pengamatan. Penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa eksploitasi terhadap pekerja anak adalah pemerasan
11

tenaga kerja anak dibawah umur dengan bekerja dalam bidang yang
didominasi oleh orang dewasa dengan tingkat upah yang rendah di Muara
angke. Eksploitasi tersebut terjadi karena alasan yaitu kemiskinan
(Rendahnya ekonomi keluarga menyebabkan anak-anak terdorong untuk
bekerja), kebiasaan (Orang tua memiliki kebiasaan yang telah dilakukan
secara turun menurun yaitu bekerja dalam usia yang muda), kesempatan
yang besar atau waktu luang yang banyak karena tidak bersekolah, Alasan
saling membantu yang dipopulerkan oleh pemilik usaha dan tidak adanya
kontrol dari pemerintah terhadap anak-anak yang melakukan pekerjaan di
pinggir laut ini.

Dari kedua penelitian tersebut sangatlah berbeda dengan topik yang akan peneliti

angkat, dimana peneliti mengambil topik “Dilema Keberlanjutan Pendidikan Pekerja

Anak di Konveksi Pakaian Kampung Bojong Nangka Pondok Melati Bekasi Jawa

Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan teknik

pengumpulan data primer berupa wawancara mendalam kepada 5 pekerja anak dari

usia 12 sampai 15 tahun atau mereka yang tidak mengeyam pendidikan sama sekali

sampai yang hanya lulusan SMP sebagai key informan yang telah bekerja di konveksi

pakaian dan melakukan observasi terlibat. Selain itu juga menggunakan data sekunder

dari berbagai sumber. Dari data yang diperoleh dapat dikontruksikan bahwa sebagian

besar pendidikan bagi pekerja anak sangatlah penting karena pendidikan merupakan

proses belajar mengajar untuk menggapai cita-cita dan harapannya ingin merubah

status sosialnya lebih tinggi dari orang tuanya agar kehidupannya kelak bisa lebih

baik lagi. Namun kemiskinan orang tua merupakan salah satu faktor penghambat
12

kelancaran pendidikan anak-anak mereka. Karena sebagian besar informan berasal

dari keluarga yang memiliki ekonomi rendah telah menghambat pekerja anak untuk

mendapatkan pendidikan formal. Pihak konveksi pakaian memperkerjakan anak

karena pekerjaan yang hendak dilakukan memang cocok dikerjakan oleh anak-anak.

Karena sifatnya yang sederhana dan tidak terlalu menuntut keterampilan atau

kekuatan fisik. Selain itu dengan memperkerjakan anak, pihak konveksi akan dapat

menghemat biaya karena upah pekerja anak yang rendah dan mudah untuk diaturnya.

Namun karena sebagian besar orang tua informan tidak memiliki pekerjaan tetap,

maka mereka pun kemudian hanya bisa pasrah dan akibatnya pendidikan anak

terpaksa dikorbankan. Akhirnya si anak lebih memilih bekerja daripada melanjutkan

pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tereksplotasinya pekerja anak

karena sistem mekanisme kerja yang disamakan dengan pekerja dewasa dengan

jumlah jam kerja yang panjang serta upah yang rendah.

1.5 Kerangka Konsep

A. Pekerja Anak

Fenomena anak bekerja pada usia dini ini tersebar luas di segala sektor,

baik sektor formal maupun informal. Anak-anak yang bekerja di sektor informal

adalah mereka yang menghabiskan waktunya di jalanan atau yang di sebut

sebagai Street Children. Contoh dari Street Children yaitu pengamen, pengemis

dan lain-lain. Sedangkan anak-anak yang bekerja di sektor formal yaitu mereka

yang bekerja di sektor industri atau disebut juga sebagai buruh anak (Child
13

Labour).13

Dalam UU no 13 tahun 2003, disebutkan usia tidak boleh kurang dai 15

tahun dan hanya boleh bekerja pada jenis-jenis pekerjaan ringan yang tidak

membahayakan fisik, mental dan moral anak, syaratnya tidak boleh lebih dari 3

jam dan harus seizin orang tua. Disamping itu, anak juga harus tetap bersekolah.

Selain itu, menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah No 5

tahun 2001 tentang penanggulangan pekerja anak pasal 1, dalam keputusan ini

yang dimaksud dengan:

1) Pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang

membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh

kembang.

2) Pekerjaan berat dan berbahaya bagi pekerja anak adalah kegiatan yang

dilakukan oleh pekerja anak yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang

anak, baik fisik maupun non fisik dan membahayakan kesehatan.

3) Tumbuh kembang anak adalah tumbuh dalam arti bertambahnya ukuran dan

masa yaitu tinggi, berat badan, tulang dan panca indra tumbuh sesuai dengan

usia dan kembang daam arti bertambahnya dalam kematangan fungsi tubuh

yaitu pendengaran, penglihatan, kecerdasan dan tanggung jawab.

4) Penanggulangan Pekerja anak atau di sebut PPA adalah suatu kegiatan yang

dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak

berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat

13 Tiurma Junita Veronica, Loc.Cit. Hlm.8.


14

dan berbahaya.

5) Pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya bagi pekerja anak adalah

dampak negatif dari pekerjaan yang dilakukan anak sehingga mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral dan intelektual.14

Menurut Encylopedia International disebutkan bahwa :

“Labour Child is term denotes work done by children with


over take their strength and stunts their physical and mental
growth.”15

Dengan demikian dapat disimpukan bahwa pekerja anak sektor industri adalah

anak-anak yang menjual tenaganya untuk mendapatkan upah, dimana kerja yang

mereka lakukan ini sering kali mengganggu perkembangan fisik dan mentalnya.

Melihat keadaan dimana semakin terabaikannya kehidupan anak-anak

diseluruh dunia, maka persatuan bangsa-bangsa (PBB) membuat konvensi tentang

hak-hak anak (Child Rigt Convention) yang ditandatangani dan diratifikasi oleh

negara-negara dunia termasuk Indonesia. Salah satu pasal dari konvensi tersebut

yang mengatur tentang pekerja anak yang berbunyi:

“Negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi


dari eksploitasi akonomi dan dari segala pekerjaan yang kiranya
berbahaya atau mengganggu pendidikan anak, atau
membahayakan kesehatan atau perkembangan fisik, mental
spiritual, moral atau sosial anak (Konvensi PBB tentang hak-
hak anak, pasal 32:1).”

14 Http://www.depperin.go.id/asp/otda/regulasi/kmdn5.htm, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan


Otonomi Daerah tentang Penanggulangan Pekerja Anak, 5 September 2008, 13.30.
15 Grolirt Incorporation, Ancyclopedia International (New York: Grolier Inc, 1968, Hlm. 1156).
15

PBB sebagai organisasi bangsa-bangsa tidak luput dalam memperhatikan masalah

pekerja anak. Dalam sidangnya pada tahun 1959, disahkannya Deklarasi Hak-hak

anak. Deklarasi tersebut mengatur perlindungan khusus bagi anak-anak untuk

perkembangan fisik dan mentalnya. Anak harus dapat menikmati hidup masa

kanak-kanaknya yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan

wajar.

Hak-hak anak tersebut antara lain :

1) Hak atas kelangsungan hidup

2) Hak atas perlindungan

3) Hak untuk tumbuh berkembang optimal

4) Hak untuk berpartisipasi (dengan catatan bukan untuk berpartisipasi secara

legal dalam dunia kerja sebelum waktunya).16

Batasan umur anak dalam berbagai perundangan di Indonesia sangat bervariasi.

Konvensi Hak anak yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia menyebutkan

bahwa anak sebagai manusia yang berada di bawah 18 tahun. Sedangkan

konvensi ILO 1973/138/artikel 3/paragraf 1 yang diratifikasi dalam UU No. 20

tahun 1999 menetapkan batas usia minimum diperbolehkan bekerja adalah 15

tahun keatas.17

B. Eksploitasi Pekerja Anak

16 Hadi Setia Tunggal, Konvensi Hak-Hak anak (Jakarta: Harvarindo, 2000, Hlm.6.)
17 Hardius Usman, Op.Cit. Hlm. 9-10.
16

Secara lebih rinci, dalam Konveksi ILO No. 128 dijelaskan pengertian

bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah:

1) Segala bentuk perbudakan atau praktek jenis perbudakan seperti penjualan

dan perdagangan anak, kerja ijon, dan penghambat serta kerja paksa atau

wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk

dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.

2) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk

produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno.

3) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang,

khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur

dalam perjanjian internasional yang relevan.

4) Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat dimana pekerjaan itu dilakukan

dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.18

Sama halnya dengan Unicef yang menetapkan beberapa kriteria pekerja anak

yang tereksploitatif, yaitu apabila:

1) Kerja penuh waktu (Full time) pada umur yang terlalu dini

2) Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja

3) Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis

4) Upah yang tidak mencukupi

5) Tanggung jawab yang terlalu besar

18 Bagong Suyanto, Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya ( Surabaya: Airlangga


University Press, 2003, Hlm.123-124).
17

6) Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan

7) Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak seperti perbudakan

atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual

8) Pekerjaan yang merusak perkembangan sosial dan psikologis yang penuh.19

C. Industrialisasi

Industri dapat diartikan sebagai bagian dari proses produksi yang tidak

secara langsung mengambil atau mendapatkan bagian dari bahan bumi, akan

tetapi mengolah bahan dasar/bahan baku tersebut secara mekanisme maupun

kimiawi sehingga menjadi lebih berharga untuk dipakai manusia, selain

dibedakan antara pengubahan dan pengolahan bahan juga diperhitungkan suatu

kriteria lain, kompleksitas dari peralatan yang dipakai, perusahaan yang

mengambil bahan dasar dari dalam kemudian langsung mengolah melalui

peralatan mekanik yang komplek.20

Menurut DEPERNAS, bahwa industri adalah suatu unit produksi yang

membuat atau memproduksi sesuatu barang atau bahan di tempat tertentu untuk

keperluan masyarakat (tukang sepatu atau pembuat kue yang selalu berpindah-

pindah tempat, tidak termasuk usaha industri).21

Penggolongan industri berdasarkan besar investasi, yaitu:

1) Industri berat. Industri hulu yang menghasilkan barang jadi atau bahan baku

untuk industri hilir. Jenis usaha yang termasuk dalam industri berat yaitu:

19 Hardius Usman, Loc.Cit. Hlm. 174.


20 Ensiklopedia Indonesia, Volume 3 (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1982), Hlm. 1442-1443).
21 Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia (Bandung: ITB, 2000, Hlm. 362).
18

a. Industri Pertambangan

b. Industri logam dan pengolahan logam

c. Industri peralatan dan mesin

d. Industri pengangkutan

e. Industri semen

f. Industri tenaga listrik

g. Industri kimia dasar

2) Industri Ringan. Suatu unit produksi yang menghasilkan barang konsumsi

seperti tekstil, bahan makanan, obat-obatan, barang keperluan rumah tangga

dan sejenisnya. Klasifikasi industri ringan berdasarkan jumlah karyawan yang

diperkerjakan yaitu:

a. Perusahaan industri ringan besar, yaitu

suatu unit produksi yang memperkerjakan

lebih dari 300 orang karyawan

b. Perusahaan industri sedang, yaitu suatu

unit produksi yang memperkerjakan

antara 100 sampai 299 orang

c. Perusahaan industri kecil, yaitu suatu unit

produksi yang memperkerjakan kurang

dari 100 orang.

3) Industri kerajinan rakyat. Unit produksi yang tidak menggunakan mesin

melainkan tenaga manusia dengan bantuan dibagi dalam 3 tingkatan, yaitu:


19

a. Kerajinan sambilan, ciri-cirinya yaitu:

a) Tidak merupakan usaha sebagai mata pencaharian pokok

b) Tidak terikat pada waktu dan orang lain.

c) Mengandung unsur seni

b. Kerajinan rumah, ciri-cirinya yaitu:

b) Merupakan usaha sebagai mata pencaharian pokok

c) Dikerjakan dengan bantuan keluarga

c. Perusahaan kerajinan, ciri-cirinya yaitu:

a) Perusahaan dikerjakan sebagai mata pencaharian pokok

b) Memperkerjakan karyawan diluar anggota keluarga.22

Berdasarkan lokasi, industri kerajinan rakyat dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu:

1) Industri kerajinan rakyat di kota-kota besar

2) Industri kerajinan rakyat di pedesaan.23

Klasifikasi industri berdasarkan kesepakatan tahun 1930, dibedakan dalam 3 jenis

kelompok usaha industri berdasarkan jumlah perusahaan dan tenaga kerja , yaitu:

1) Industri kerajinan dan rumah tangga, ini pada umumnya mengelola hasil

pertanian untuk dijadikan barang jadi seperti tikar, anyaman bahkan makanan

dan minuman.

2) Industri Kecil, sesuatu perusahaan yang memperkerjakan buruh kurang dari 50

orang.

22 Bisuk Siahaan, I.Bid. Hlm. 362-363.


23 Bisuk Siahaan, I.Bid. Hlm. 395.
20

3) Industri sedang dan besar, proses pengolahannya telah menggunakan mesin

dan peralatan mekanis, memperkerjakan karyawan lebih dari 50 orang.24

Pemerintahan membagi lapangan usaha industri menjadi 4 kategori, yaitu

1) Industri yang tertutup untuk swasta. Industri ini langsung mengangkat

kehidupan masyarakat seperti minum listrik, prasarana umum serta industri

pertahanan. Industri tersebut tertutup untuk usaha swasta dan hanya ditangani

pemerintah.

2) Industri yang dibuka khusus untuk swasta nasional. Khusus diperuntukan bagi

swasta nasional. Jenis usaha yang termasuk dalam kelompok ini antara lain

industri kelompok usaha rumah tangga dan usaha tradisional.

3) Industri kunci, seperti industri semen, kimia, pupuk dan sejenisnya pada

dasarnya dikuasai pemerintah.

4) Industri yang terbuka untuk swasta, semua indistri lain yang tidak termasuk

dalam kategori 1, 2 dan 3 terbuka untuk swasta nasional maupun asing.

Klasifikasi industri didasarkan atas jumlah karyawan yang diperkerjakan serta

ukuran mesin yang digunakan, antara lain:

1) Industri Kecil, yaitu usaha industri yang memperkerjakan karyawan kurang

dari 10 orang dan tidak menggunakan mesin.

2) Industri sedang, yaitu usaha yang memperkerjakan karyawan kurang dari 50

orang dan menggunakan mesin dan kapasitas antara 1-5 daya.

3) Industri besar, yaitu usaha industri yang memperkerjakan karyawan lebih dari

24 Bisuk Siahaan, I.Bid. Hlm. 87.


21

50 orang atau menggunakan mesin lebih besar dari 5 daya.25

Berdasarkan eksistensi dinamisnya industri kecil (kerajinan rumah tangga),

Indonesia dapat dibagi kedalam 3 kelompok kategori, yaitu:

1) Industri lokal yaitu kelompok jenis industri yang menggantungkan

kelangsungan hidupnya kepada pasar setempat yang terbatas, serta relatif

tersebar dari segi lokasinya.

2) Industri sentral yaitu kelompok jenis industri yang dari segi satuan usaha

mempunyi skala kecil, tetapi membentuk suatu pengelompokan atau kawasan

produksi yang terdiri dari kumpulan unit usaha menghasilkan barang sejenis.

3) Industri mandiri, yaitu pada dasarnya dapat dideskripsikan sebagai kelompok

jenis industri yang masih mempunyai sifat-sifat industri kecil, namun telah

berkemampuan mengadoptasi teknologi produksi yang cukup canggih.26

Menurut Departemen perindustrian, membedakan kategori-kategori industri kecil

yaitu:

1) Industri kecil modern, ciri-cirinya yaitu:

a. Menggunakan teknologi proses madya

b. Mempunyai skala produksi yang terbatas

c. Tergantung pada dukungan Litbang dan usaha-usaha kerekayasaan (industri

besar)

d. Dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah dan dengan

25 Bisuk Siahaan, I.Bid. Hlm.192-193.


26 Irsan Azhary, Industri kecil: sebuah tinjauan dan perbandingan (Jakarta: LP3 ES, 1986, Hlm. 50-
51).
22

sistem pemasaran domestik dan ekspor.

e. Menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya.

2) Industri kecil tradisional, ciri-cirinya yaitu:

a. Teknologi proses yang digunakan secara sederhana

b. Teknologi pada bantuan unit pelayanan teknis (IPT) yang disediakan oleh

deparemen perindustrian sebagai bagain dari program bantuan teknisnya

pada industri kecil.

c. Mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif

sederhana.

d. Lokasinya di daerah pedesaan

e. Akses untuk menjangkau pasar diluar lingkungan langsung yang berdekatan

terbatas

3) Industri Kerajinan kecil yaitu menggunakan teknologi proses yang sederhana

sampai industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan

teknologi proses yang maju.27

D. Pendidikan

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa. Untuk merealisasikan amanat tersebut pemerintah

menyelenggarakan pendidikan. Dalam buku besar pendidikan Moeslichatoen

27 Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, mei 1996,
Hlm. 106-112).
23

Rasjidan mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses belajar mengajar

yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan segera

setelah anak-anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak. Dan

hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuakan diri dengan lingkungan

dan pemenuhan kebutuhan. Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung

secara berbaya guna dan berhasil guna.28

Pendidikan pada intinya merupakan proses belajar mengajar untuk

membiasakan manusia sedini mungkin menggali, memahami, menguasai,

menghayati dan menerapkan semua nilai yang kita sepakati dan harus diketahui

anak-anak guna kehidupannya di masa mendatang.

Di sini pendidikan dibedakan kedalam 3 jenis, antara lain:

a. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang dilakukan benar-benar secara

sistematik, sadar dan terarah melalui pendidikan persekolahan.

b. Pendidikan Informal yaitu pendidikan yang dialami oleh manusia sadar atau

tidak sadar kontak dengan manusia lainnya di masyarakat dalam kehidupan

sehari-hari.

c. Pendidikan non formal yaitu pendidikan yang diadakan bagi anak-anak untuk

menguasai suatu keterampilan spesifik yang sifatnya tidak formal juga tidak

informal, misalnya pendidikan bagi anak-anak putus sekolah.29

Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 jalur yaitu Pendidikan

28 Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1986,
Hlm.120).
29 Daoed Joesoef, Pengantar Umum Pendidikan (Surabaya: Aksara Baru, 1982, Hlm. 92).
24

sekolah. Dan Pendidikan luar sekolah.30 Pendidikan sekolah merupakan

pendidikan yang diselenggarakan di Sekolah melalui kegiatan belajar mengajar

secara jenjang dan berkesinambungan yang ditetapkan berdasarkan tingkat

perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman bahan pengajaran serta

cara penyajian bahan pengajaran. Pendidikan sekolah bisa disebut pendidikan

formal. Pengertian pendidikan formal menurut A. Muri Yusuf adalah pendidikan

yang berstruktur, mempunyai jenjang atau tingkatan dalam periode waktu

tertentu, berlangsung dari sekolah dasar sampai dengan universitas. Sekolah

sebagai pusat pendidikan formal yang merupakan perangkat masyarakat yang

diserahi kewajiban pemberian pendidikan. Perangkat ini ditata dan dikelola

secara formal mengikuti haluan yang pasti dan diberlakukan di masyarakat yang

bersangkutan.

E. Teori Nilai Lebih

Menurut Marx bahwa nilai lebih merupakan diferensi antara nilai pekerjaan dengan

nilai tenaga kerja. Teori nilai pekerjaan yang artinya nilai tukar segenap barang

yang ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang masuk ke dalam produksinya. Jenis

pertukaran yang terjadi dalam sistem pasar yang bersifat impersonal, dimana

komoditi ditukar dengan uang atau uang ditukar dengan komoditi. Perbedaan

dalam pertukaran terletak dalam distingsi Marx, antara lain:

1) Nilai pakai adalah nilai barang diukur dari kegunaannya untuk memenuhi

30 A. Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indinesia, 1986, Hlm. 62).
25

kebutuhan tertentu. Keuntungan timbal balik yang diterima oleh

pasangan penukar dari suatu transaksi paling jelas dalam hubungannya

dengan pertukaran nilai pakai. Syarat-syarat pertukaran seperti itu

cenderung dirancang atas dasar tujuan tertentu yang ditentukan oleh

kebutuhan-kebutuhan sumber-sumber tertentu dari pasangan penukar itu.

Pekerja anak dapat dipandang sebagai sumber nilai pakai, dimana

Pekerja anak merupakan sumber kegiatan yang dipakai untuk produksi

suatu barang tertentu untuk digunakan.

2) Nilai tukar adalah nilai barang kalau dijualbelikan di Pasar. Nilai tukar

ditentukan tidak atas dasar tujuan tertentu, melainkan atas dasar jumlah tenaga

kerja yang terkandung didalamnya. Pekerja anak dapat dipadang sebagai

sumber nilai tukar, dimana pekerja anak dilihat sebagai masukan umum untuk

proses produksi komoditi-komoditi yang dihasilkan, tidak untuk kegunaan

pribadi pekerja anak itu sendiri ataupun untuk kegunaan majikan, melainkan

untuk dijual dalam sistem pasar yang bersifatnya impersonal untuk ditukarkan

dengan uang. Meskipun uang merupakan alat tukar yang umum digunakan

untuk mempermudah pertukaran komoditi pasar, nilai keuangannya itu

sebenarnya mencerminkan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk

produksikan komoditi itu.

Sedangkan nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai semua komoditi yang perlu

dibeli agar ia dapat hidup. Artinya agar ia dapat memulihkan tenaga kerjanya serta

memperbaruinya dan menggantikannya kalau ia sudah tidak dapat bekerja lagi.


26

Jadi teori nilai tenaga kerja ini merupakan upah yang wajar atau pekerja anak

mendapat upah yang senilai dengan apa yang diberikannya jadi sesuai dengan

hukum yang secara resmi atau umum berlaku di pasar.31

Jadi nilai lebih adalah diferensi antara nilai yang diproduksikan selama

satu hari oleh seorang pekerja dengan biaya pemulihan tenaga kerjanya. Pekerja

anak mampu untuk memproduksikan nilai lebih banyak dari pada yang diminta

untuk mempertahankan nilai tukarnya itu, artinya seorang pekerja mampu

memproduksikan jumlah komoditi dengan nilai tukar yang jauh lebih besar dari

pada nilai tukar makanan, pakaian, perumahan dll yang perlu untuk

mempertahankan hidup dan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih banyak

lagi.

Dalam teori nilai lebih bahwa untuk menciptakan nilai yang seimbang

dengan upahnya, sebenarnya pekerja anak hanya perlu bekerja selama 4 jam,

tetapi karena ia sudah menjual seluruh tenaga kerja kepada majikan, ia harus

menghabiskan seluruhnya artinya ia harus bekerja 8 jam atau lebih. Pekerjaan 4

jam melebihi apa yang perlu untuk menggantikan tenaga kerja anak itu adalah

nilai lebih.

Sistem kapitalis adalah suatu sistem yang menghasilkan keuntungan

karena nilai lebih yang diciptakan oleh pekerja anak dengan pekerjaan yang tidak

dibayarkan kepadanya. Oleh karena itu Menurut Karl Marx bahwa para pekerja

31 Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis Keperselisihan Revisionisme. (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, Hlm.181-184)
27

dalam sistem kapitalis dipaksa melaksanakan pekerja yang tidak memungkinkan

perkembangan pribadi mereka sebagai manusia dan dapat merendahkan martabat

mereka.32

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan dan Tipe Penelitian


Penelitian ini dengan judul “Pekerja Anak di Sektor Industri (Studi

Kasus tentang Pekerja Anak Konveksi Pakaian di Kampung Bojong Nangka

Pondok Gede Bekasi)” dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif. Dimana pendekatan tersebut dipandang lebih relevan untuk

digunakan dalam mengamati atau menyajikan gambaran gejala-gejala sosial

suatu masyarakat.

Menurut Bogdan dan Tylor, penelitian kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sementara itu, Kirk

dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam

ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada

pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan

dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristiwanya.33

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk

mengangkat dan menggali secara lebih mendalam tentang fenomena sosial


32 Franz Magnis, I.Bid. Hlm. 186-187.
33 Drs. S Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hlm. 36.
28

yang ada di masyarakat, yang berkaitan dengan topik. Selama penelitian

berlangsung peneliti lebih menekankan kepada pandangan pekerja anak

memaknai arti pendidikan sehingga mereka lebih memilih bekerja dari pada

melanjutkan pendidikannya. Selain itu juga peneliti akan memberikan

gambaran tentang tereksploitasinya pekerja anak yang bekerja di konveksi

pakaian tersebut.

Biasanya dalam suatu penelitian kualitatif akan menghasilkan suatu

data deskriftif, dimana tipe deskriftif sendiri berupa kata-kata tertulis atau

lisan serta gambaran dari para informan yang kita amati. Maka hal tersebut

pun sesuai yang dijelaskan Moleong bahwa penelitian dengan jenis atau tipe

deskriftif ini memerlukan sejumlah data baik berupa kata-kata, gambar, video

tape, dokumen pribadi maupun dokumen resmi lainnya.34

1.6.2 Subjek Penelitian

Untuk memudahkan dilakukannya penelitian serta mendapatkan data yang

lebih mendalam dan akurat, maka informan penelitian yang terpilih adalah

Pekerja anak ke dalam kelompok key informan yang telah yang telah bekerja

di konveksi Pakaian. Diantaranya 5 anak yang telah bekerja di pabrik

konveksi tersebut dari usia 12 sampai 15 tahun atau mereka yang tidak

mengeyam pendidikan sama sekali sampai yang hanya lulusan SMP saja.

34 Lexy Moleong, Metodologi Pendekatan Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), Hlm.
6.
29

Sedangkan informan lainnya yaitu 5orang tua dari pekerja anak yang

bersangkutan, Pemilik Pabrik konveksi Pakaian, dan Ketua RW setempat.

1.6.3 Peran Peneliti

Peneliti menggunakan teknik non partisipan, dimana peneliti akan datang ke

tempat konveksi pakaian dan mewawancarainya ketika pekerja anak sedang

istirahat serta mengamati pekerja anak yang sedang bekerja dari jarak dekat.

Dengan demikian dapat lebih jelas terlihat realitas dari permasalahan yang

sedang diteliti di dalam observasi ini serta selalu di catat gejala-gejala yang

berhubungan dan mendukung penelitian ini.

1.6.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

1) Waktu : Awal bulan Juni sampai akhir Desember tahun 2008.

2) Lokasi : Konveksi pakain di Kampung Bojong Nangka, Pondok Gede,

Bekasi, Jawa Barat.

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data

1) Data Primer

a. Wawancara mendalam.

Peneliti akan melakukan wawancara mendalam secara langsung

kepada pekerja anak yang tergolong ke dalam kelompok key informan


30

yang telah yang telah bekerja di konveksi pakaian. Diantaranya 5 anak

yang telah bekerja di konveksi tersebut dari usia 12 sampai 15 tahun

atau mereka yang tidak mengeyam pendidikan sama sekali sampai

yang hanya lulusan SMP saja. Sedangkan informan lainnya yaitu 5

orang tua dari pekerja anak yang bersangkutan, pemilik konveksi

pakaian, dan ketua RW setempat agar mendapatkan data yang lebih

akurat dan mendalam sesuai dengan kehidupan informan terkait erat

dengan topik penelitian.

b. Observasi Terlibat

Observasi terlibat adalah teknik pengamatan langsung. Jadi peneliti

akan terjun langsung masuk ke dalam konveksi pakaian tersebut serta

ke lingkungan masyarakat yang letaknya di kawasan konveksi

tersebut. Tujuannya untuk melihat dan mengamati sendiri, kemudian

mencatat perilaku, dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada

keadaan sebelumnya. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat

peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan yang

secara langsung diperoleh dari data.

2) Data Sekunder

Peneliti menambah datanya dengan mengambil literatur atau data

sekunder dari berbagai sumber, seperti studi pustaka, internet, data BPS

dan koran, yang sesuai dengan topik yang peneliti angka


31

1.6.6 Etika Penelitian

Etika dalam suatu penelitian adalah hal yang sangat penting untuk

diperhatikan. Sebab etika penelitian dapat membantu peneliti berinteraksi

dengan informan. Informan akan merasa nyaman, tidak terganggu, dan dapat

berkomunikasi tanpa jarak, serta memiliki rapport yang baik dengan peneliti.

Dengan demikian informan dengan terbuka, mendalam dan jujur pada saat

menjawab berbagai pertanyaan penelitian.

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan penelitian ini dan agar lebih sistematis,

maka skripsi ini dibagi dalam 5 bab yaitu:

BAB 1 Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

permasalahan penelitian, tujuan dan signifikasi penelitian, tinjauan

pustaka, kerangka konsep, metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II Bab ini menyajikan deskripsi lokasi penelitian yang meliputi gambaran

umum kampung Bojong Nangka, yang terdiri dari sejarah dan

demografi kampung Bojong Nangka. Bab ini juga menguraikan tentang

anatomi sosial konveksi pakaian di kampung Bojong Nangka.Gambaran

umum konveksi pakaian, yang dimulai dari mekanisme kerja, peranan

ekonomis pekerja anak dan kontribusi sosial ekonomi konveksi pakaian

terhadap kampung Bojong Nangka.

BAB III Bab ini menyajikan temuan hasil penelitian tentang dilema
32

keberlanjutan pendidikan pekerja anak di kampung Bojong Nangka.

Dalam bab ini terdiri dari tiga sub pokok bahasan yaitu latar belakang

ekonomi sosial pekerja anak, faktor penghambat dan pendukung

pendidikan serta antara belajar dan bekerja: sulitnya mengatur alokasi

waktu.

BAB IV Bab ini menguraikan tentang makna pendidikan dan eksploitasi

pekerja anak di konveksi pakaian kampung Bojong Nangka, yang

terdiri dari tiga sub pokok bahasan yaitu konstruksi sosial pekerja anak

tentang pendidikan dan eksploitasi pekerja anak

BAB V Bab ini berisi kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian.

Selain itu juga peneliti mengajukan saran yang mungkin dapat

digunakan oleh pemerintah agar lebih memperbanyak seminar-seminar

pendidikan agar semakin memperluas wawasan para orang tua terhadap

pendidikan anak untuk masa depan anak mereka.


33

BAB II

Gambaran Umum Kampung Bojong Nangka dan Konveksi Pakaian

Pada pokok bahasan ini, peneliti akan menguraikan sejarah terbentuknya kampung

Bojong Nangka dan demografi kampung tersebut sampai saat ini. Peneliti pun juga

akan menguraikan tentang gambaran umum berdirinya konveksi pakaian yang

letaknya di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Keberadaan pekerja anak

mempunyai nilai ekonomis baik untuk konveksi pakaian maupun untuk

keluarganya. Berlakunya mekanisme kerja untuk pekerja dewasa yang disamakan

dengan mekanisme kerja untuk pekerja anak di konveksi tersebut. Adanya

konstribusi sosial ekonomi konveksi pakaian terhadap perubahan kampung Bojong

Nangka.

2.1 Sejarah dan Demografi Kampung Bojong Nangka

Berdasarkan data yang peneliti dapat telah mendapatkan dari ketua RW 7

bahwa pada tahun 1940’an, kampung Bojong Nangka hanya sebuah hutan yang

dipenuhi dengan pepohonan besar, khususnya pohon nangka, oleh karena itu pohon

nangka tersebut menjadi identitas kampung Bojong Nangka. Jarang sekali

penduduk yang menetap di sana, paling hanya beberapa keluarga saja yang
34

menetap disana. Kondisi rumah yang mereka tempati pun sangat sederhana. Atap

rumah beserta dindingnya masih berupa triplek serta alas rumahnya pun masih

berupa tanah. Belum ada listrik yang menerangi perkampungan tersebut sehingga

warga setempat masih memakai lampu tempel untuk menerangi rumahnya. Jalan

setapak di kampung tersebut pun masih berupa tanah yang dipenuhi oleh bebatuan.

Kampung Bojong Nangka pun terkenal dengan mistiknya, karena di tengah-tengah

Kampung tersebut ada suatu makam keramat yang dibangun sudah ratusan tahun

kata orang dulu dsana.

Seiring berjalannya waktu satu-persatu warga pendatang dari berbagai

daerah membeli tanah baik oleh warga asli pribumi maupun pemda Bekasi.

Sehingga jumlah penduduk yang menetap di kampung Bojong Nangka semakin

padat.

Demografi Kampung Bojong Nangka

1) Keadaan Geografis Kampung Bojong Nangka

Secara geografis kampung Bojong Nangka terletak pada posisi 1060

bujung timur dan 670-6150 derajat lintang selatan dengan ketinggian 19 m diatas

ketinggian laut dan luas wilayahnya sekitar 2.96 km2.

Batas-batas wilayah kampung Bojong Nangka yaitu sebelah utara kabupaten

Bekasi, sebelah selatan kabupaten Bogor, sebelah barat kota Jakarta Timur dan

sebelah timur kabupaten Bekasi. Kampung Bojong Nangka letaknya berada di

kecamatan Pondok Melati dan kelurahan Jatirahayu. Kampung Bojong Nangka


35

letaknya sangat strategis karena letaknya berada ditengah-tengah DKI Jakarta

dengan Jawa Barat.

Iklim kota Bekasi cenderung panas dengan curah hujan yang cukup tinggi

khususnya di bulan Januari, biasanya curah hujan tertinggi terjadi dibagian utara.

Dengan kemiringan yang dapat menyebabkan banjir menjadi permasalahan

utama selain kemacetan.

2) Data Penduduk Kampung Bojong Nangka Tahun 2008

Di kecamatan Pondok Melati terdapat 4 kelurahan yaitu kelurahan

Jatirahayu, kelurahan Jatiwarna, kelurahan Jatimelati dan kelurahan Jatimurni.

Di kelurahan Jatirahayu terdapat 146 RT dan 23 RW serta 10.907 KK. Jumlah

penduduknya ada 52.157 jiwa diantaranya jumlah penduduk laki-laki ada 25.473

jiwa dan jumlah penduduk perempuannya ada 26.684 jiwa.

Gambar 1. Kampung Bojong Nangka


36

Kampung Bojong Nangka letaknya ada di RW 6, RW 7 dan RW 8.

Masing-masing RW terdiri dari 8 RT. Jadi Kampung Bojong Nangka terdapat 24

RT dan terdapat 5.280 KK. Kampung Bojong Nangka sendiri di bagi menjadi 4

bagian yaitu Kampung Bojong Nangka I, II, III dan IV.

Walaupun kampung Bojong Nangka ini letaknya di kota Bekasi Jawa

Barat, namun sebagaian besar penduduk asli pribumi ini merupakan penduduk

asli Betawi. Hal ini dikarenakan kampung Bojong Nangka letaknya berbatasan

dengan kota Jakarta Timur. Bahasa yang sering digunakan masayarakat

kampung Bojong Nangka adalah bahasa Indonesia. Sedangkan penduduk

pendatangnya berasal dari berbagai daerah. Penduduk kampung Bojong Nangka

terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat serta kebiasaan yang beragam dapat

mempengaruhi interaksi kehidupan sehari-hari, namun tidak menjadi hambatan

dalam kegiatan sosial masyarakat kebersamaan warga sangat menonjol sekali.

Dalam hal ini dapat tercermin dari kegiatan sosial warga yang saling membantu

bergotong royong satu sama lainnya, seperti kegiatan kerja bakti yang

dilaksanakan setiap silaturahmi hari minggu pagi dan dalam pertemuan-

pertemuan warga, baik di lingkungan RT maupun tingkat RW, serta segala

permasalahan yang timbul dapat diatasi dengan musyawarah untuk mufakat.

Kondisi ekonomi penduduk kampung Bojong Nangka tergolong ekonomi

menengah kebawah dengan mata pencaharian sebagian besar pedagang dan

buruh. Dampak krisis ekonomi sangat berpengaruh sekali terhadap warga

masyarakat yang terkena PHK. Penanggulangan dampak krisis ekonomi yang


37

tergulirkan pemerintah sangat tepat sekali, dengan bantuan dana PDM-DKE,

P2KP dan UPK-PPMK sementara ini dapat membatu meringankan beban warga

masyarakat, walaupun belum sepenuhnya dapat mengatasi kesulitan warga

masyarakat. Dalam hal ini disebabkan bantuan yang diberikan sangat terbatas,

sedangkan warga masyarakat yang memohon bantuan sangat banyak sehingga

modal diberikan tidak sesuai dengan proposal yang diajukan.

Gambar 2. Rumah Warga Kampung Bojong Nangka

Agama yang dianut oleh masyarakat kampung Bojong Nangka yaitu

agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha. Tetapi mayoritas penduduk

kampung Bojong Nangka beragama Islam. Dalam upaya melestarikan antar

umat beragama di wilayah kampung Bojong Nangka selalu bekerja sama dengan

Alim ulama dan tokoh masyarakat, baik dalam kegiatan keagamaan maupun

dalam melaksankan pembangunan tempat-tempat ibadah keagamaan kehidupan

masyarakat adanya toleransi dalam melaksanakan ibadah untuk mendapatkan


38

barokah sesuai dengan keyakinan masing-masing selama ini tidak ada beda

agama yang menimbulkan gejolak kesenjangan antara umat beragama.

Pendidikan di kampung Bojong Nangka ini umumnya masih rendah, hal

ini dikarenakan sebagai besar warga kampung tersebut perekonomian masih

rendah, sehingga tidak heran kalau masih ada anak di usia sekolah yang lebih

memilih untuk bekerja. Sarana Pendidikan SD (Sekolah Dasar) di kecamatan

Pondok Melati cukup memadai hanya lokasinya yang kurang menyebar atau

kurang merata disetiap lingkungan RW, sehingga cukup merepotkan para orang

tua karena harus mengantarkan anaknya ke sekolah, sedangkan untuk sarana

pendidikan tingkat SLTP dan SLTA belum memadai, sehingga masyarakat yang

menginginkan anaknya sekolah harus mengeluarkan biaya transport karena

letaknya diluar cukup jauh/diluar wilayah Kecamatan Pondok Melati.

Sebagiam besar mata pencaharian masyarakat kampung Bojong Nangka

bekerja di pabrik, khususnya pabrik yang berada di tengah-tengah

perkampungan Bojong Nangka, namun ada juga yang sebagai buruh bangunan

dan pedagang.

Sarana dan prasarana umum yang ada di kampung Bojong Nangka sudah

memadai karena sudah dibangunnya listrik, telpon umum, lapangan bola,

masjid, puskesmas, sekolah SD, koperasi, jalananya pun sudah diaspal,

transportasi pun sudah memadai dan lain-lain.


39

2.2 Anatomi Sosial Konveksi Pakaian di Kampung Bojong Nangka

Konveksi pakaian letaknya berada di tengah-tengah perkampungan

penduduk RW 7 RT 1 Bojong Nangka 1. Menurut ketua RW 7 bahwa konveksi

pakaian sudah lama berdiri sekitar tahun 1990. Gedung konveksi ini dulunya

merupakan tempat persembunyian senjata milik tentara Jepang. Karena pada

waktu zaman penjajahan Jepang, kampung Bojong Nangka ini masih berupa

hutan dengan pepohonan yang lebat. Sehingga para militer Jepang membangun

sebuah gudang seluas 300 hektar di tengah-tengah hutan tersebut untuk

menyembunyikan senjata mereka dari kawasan penduduk pribumi. Namun setelah

Indonesia merdeka dan semua tentara militer Jepang meninggalkan tanah air

Indonesia, sarana dan prasarana milik tentara Jepang termasuk gudang

persenjataan tersebut dikuasai oleh Pemerintah Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, Pemda Bekasi menyewakan gudang bekas

persenjataan militer Jepang kepada pengusaha asing untuk membangun sebuah

industri di sana. Tentu saja adanya pengusaha asing tersebut dapat memberi

keuntungan baik kepada pemda setempat maupun masyarakat yang berada di

kawasan industri tersebut. Pemda Bekasi merasakan keuntungannya dengan

adanya investor asing yang akan membangun sebuah konveksi pakaian yang akan

di import ke luar negeri. Sedangkan keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat

yang berada di kawasan konveksi tersebut, bahwa dengan berdirinya konveksi


40

Ganeca maka daya serap tenaga kerja akan semakin besar sehingga jumlah

pengangguran di kampung Bojong Nangka akan semakin berkurang.

Gambar 3. Konveksi Pakaian

Peneliti pun berhasil masuk ke dalam konveksi pakaian dan bertemu

dengan sekretaris konveksi tersebut. Berdasarkan data yang peneliti dapat dari

sekretaris tersebut bahwa lokasi konveksi tersebut berada di tengah-tengah

perkampungan masyarakat. Bangunan konveksi tersebut dipagari oleh tembok-

tembok tinggi, sehingga tertutup dari pemukiman masyarakat yang ada di

sekelilingnya. Konveksi tersebut dalam seminggu (6 hari) melakukan kegiatan

dan di dalam sehari 24 jam konveksi tersebut melakukan aktifitasnya

(memproduksi barang), bahkan sering kali terlihat hari minggu pun konveksi

masih jalan dengan memakai tenaga kerja yang lembur dan mendapat bayaran di

luar gaji. Gedung konveksi pakaian tersebut terdiri dari 4 ruangan, diantaranya

ruangan paling depan terdapat meja pemilik konveksi pakaian, meja sekretaris

dan meja personalia, ruangan ke dua tempat untuk menjahit pakaian dan
41

memotong pakaian, ruangan ketiga tempat untuk membuang benang, memasang

kancing, memasang payet dan memasang ukuran. Ruangan keempat untuk

menggosok pakaian dan memeriksa hasil akhir pakaian. Sedangkan tempat

tinggal untuk pegawai konveksi tersebut berada di depan gedung konveksi.

Gambar 4. Satpam Penjaga Konveksi Pakaian

Pegawai yang bekerja di konveksi pakaian sebanyak 142 jiwa, dengan

komposisi pegawai laki-laki 68 jiwa dan jumlah pegawai perempuan 74 jiwa.

Penduduk setempat umumnya masih berpendidikan rendah dan miskin, sehingga

pengusaha asing tersebut sengaja mencari pegawainya dari penduduk asli

setempat karena mereka mau dibayar murah dan mau bekerja dengan jam kerja

yang panjang. Pegawai konveksi ini tidak hanya berasal dari penduduk setempat

saja namun bertambah dari berbagai daerah.


42

Berdasarkan data yang saya peroleh dari pihak konveksi pakaian tahun 2008

bahwa:

Tabel 1. Jumlah Pegawai Berdasarkan usianya tahun 2008

No. Usia Jumlah


1. Di bawah 15 tahun 28 orang
2. 16 – 18 tahun 54 orang
3. 19 tahun keatas 60 orang
Jumah 142 orang
Sumber: Data Kepegawaian Konveksi Pakaian Tahun 2008

Tabel 2. Jumlah pegawai berdasarkan akhir pendidikannya tahun 2008

No. Pendidikan Akhir Jumlah


1. Tidak lulus SD 8 orang
2. Lulus SD 12 orang
3. Lulus SMP 8 orang
4. Lulus SMA 98 orang
5. Perguruan Tinggi 16 orang
Jumlah 142 orang
Sumber: Data Kepegawaian Konveksi Pakaian Tahun 2008

Berdasarkan data yang ada bahwa di konveksi pakaian ini memang ada pekerja

anak. Pihak konveksi ini masih memperkerjakan anak yang berusia di bawah 15

tahun sejumlah 28 orang dengan pendidikan yang rendah.

“Kami memperkerjakan anak karena pekerjaan ini memang


cocok dikerjakan oleh anak-anak. Lagi pula pekerjaannya
mudah tidak terlalu sulit. Pekerja anak kan upahnya rendah dan
mudah diaturnya jadi pengeluaran kami tidak terlalu banyak.”
Tutur kata pemilik konveksi pakaian.
43

Pihak konveksi pakaian memperkerjakan anak-anak di usia sekolah dengan alasan

karena upah yang lebih murah, biaya produksi lebih sedikit, usia mereka yang

relatif muda sehingga sangat mudah diatur dan tidak banyak menuntut seperti

pekerja dewasa.

2.3 Mekanisme kerja Konveksi Pakaian

Berdasarkan informasi yang peneliti dapat baik dari pemilik konveksi tersebut

maupun dari pekerja anak sendiri, mekanisme kerja tersebut antara lain:

1) Strategi Rekrutmen dan seleksi kepegawaian

a. Metode Prekrutan Pegawai Baru

Konveksi ini memiliki metode perekrutan yang dapat dikatakan

tradisional. Karena media-media dan juga cara yang digunakan sangat

sederhana tanpa mengikutsertakan media masa seperti koran apalagi internet,

pihak ketiga seperti universitas atau sekolah dalam proses perekrutan terutama

untuk perekrutan di level menengah ke bawah. Begitu pula dalam penyeleksian

calon pegawai, perusahaan tidak memberikan sebuah kualifikasi khusus dalam

penerimaan pekerja. Pelatihan yang diberika tentunya tidak terlalu sulit dan

lama.

Di konveksi ini biasanya informasi lowongan pekerjaannya beredar

dari mulut ke mulit. Jaringan yang dimiliki ini biasanya melalui hubungan

sosial antara pekerja dengan salah satu kerabatnya yang sudah lebih dahulu

bekerja di konveksi tersebut. Jika metode ini tidak memberikan hasil yang baik,
44

biasanya pihak konveksi akan membuka lowongan dengan memasang atau

menempel pengumuman di depan gerbang konveksi. Beberapa kriteria yang

ditetapkan dan dipasang dalam iklan lowongan tersebut yaitu:

a) Pendidikan SD sederajat.

b) Jenis kelaminnya laki-laki dan perempuan bisa masuk

kerja

c) Usianya minimal 15 tahun ke atas

d) Tidak terlalu membutuhkan keterampilan khusus

e) Sehat jasmani dan rohani, terutama penglihatannya normal

f) Harus tekun dan mau bertanggung jawab

b. Proses seleksi calon pegawai baru

Setelah rekrutmen, maka proses dilanjutkan dengan proses dimana

untuk mengikuti seleksi ini ada beberapa hal yang harus dipatuhi oleh calon

pekerja yaitu ia harus membawa surat lamaran kerja, melampirkan ijasah

terakhir, foto dan mencantumkan pengalaman kerja. Jika kta melihat kriteris

yang ditentukan, terlihat bahwa tidak ada kritera khusus yang meminta keahlian

khusus seseorang untuk bekerja di konveksi ini, yang penting calon pegawai

tersebut bersekolah.

Setelah direkrut, maka calon pegawai tersebut akan memasuki tahap

seleksi. Tahap seleksi dalam konveksi ini hanya diberikan tes wawancara saja.

Bagian personalia akan menanyakan latar belakang keluarganya, alasan dan


45

motivasi kerjanya serta calon pegawai baru tersebut nantinya akan ditempatkan

dibagian apa. Mereka tidak memberikan tes tertulis karena mereka tidak

membutuhkan keterampilan khusus. Bagian personalia akan langsung menilai

dengan mendengarkan dan mengamati setiap jawaban dari pertanyaan yang

diberikan, kalau jawabannya bisa meyakinkan personalia maka ia bisa bekerja

di konveksi ini. Pengetesan tersebut hanya memerlukan waktu 2 jam saja.

c. Bagaimana proses penerimaan pegawai baru

Setiap pegawai baru tidak bisa langsung menjadi pegawai tetap namun

dikontrak dahulu selama 10 bulan. Sebelum bekerja biasanya pegawai baru

diberikan kontaknya dan harus ditandatangi oleh pegawai baru tersebut.tanda

tangan kontraknya. Di dalam kontraknya ada perjanjian jam kerja dan upahnya

serta keterangan hak dan kewajiban pegawai baik secara tertulis maupun tidak

tertulis.

Aturan-aturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua pegawai yaitu:

1) Datangnya tidak boleh terlambat dari waktu yang sudah ditentukan.

2) Pada saat bekerja pegawai dilarang merokok, bercanda dan makan.

3) Menggunakan seragam yang diberikan oleh pabrik pada saat bekerja.

4) Tidak boleh merusak benda kerja termasuk baju yang digunakan.


46

Sanksi (hukuman) yang akan diterima pegawai apabila melanggar aturan atau

melakukan kesalahan saat bekerja mungkin awalnya hanya ditegur saja oleh

atasannya. Apabila pegawai tidak masuk kerja maka gajinya akan dipotong dan

apabila kesalahannya besar ada kemungkinan pegawai tersebut diberhentikan

dari pekerjaannya.

2) Sistem Pelatihan Kepegawaian

Pelatihan bagi pekerja anak hanya dilakukan pada saat awal mereka

bekerja. Hal ini lebih dilandasi kebutuhan, karena pada saat masuk ke pasar kerja,

dapat dikatakan tenaga kerja anak tersebut belum punya keterampilan apa-apa.

Biasanya pegawai baru diwaibkan untuk mengikuti pelatihan singkat suapa

mereka mengenal pekerjaan mereka yang baru. Pelatihan tersebut akan dilakukan

selama 3 hari. Pegawai baru akan melihat dan mengamati pegawai lama dalam

melakukan pekerjaan. Apabila dia sudah paham dan bisa melakukannnya sendiri

baru dia bisa memulai bekerja. Pelatihan-pelatihan untuk pegawai baru antara lain

bagaimana caranya menjahit pakaian dan memotong pakaian, membuang benang,

memasang kancing, memasang payet dan memasang ukuran dan menggosok

pakaian. Namun semua itu sesuai bagian apa yang akan dia kerjakan.

Proses latihannya tidak berpindah-pindah tempat tapi sesuai dengan

bagiannya masing-masing. Setelah melakukan latihan selama 3 hari pegawai baru

bisa langsung melakukan pekerjaannya sendiri. Namun dalam waktu seminggu

sekali atau dua kali pengawas akan melakukan evaluasi terhadap pegawai baru
47

tersebut. pengawas tersebut akan melihat dan dan memeriksa semua pekerja baik

dari hasil pekerjaannya, perilaku dan sebagainya, sebagai pertimbangannya

apakah mereka layak mendapatkan pengembangan atau tidak.

3) Fasilitas-fasilitas di dalam konveksi pakaian

Konveksi ini telah memberikan fasilitas-fasilitas sebagai bentuk kewajiban

kepada pegawainya, fasilitas tersebut antara lain:

a) Tunjangan kesehatan.

Setiap pegawai boleh mendatangi rumah sakit mana saja ketika ia sakit,

kemudian pihak konveksi akan menggantikan biaya yang telah ia keluarkan

dengan cara menunjukan kwitansi ada. Pihak konveksi saat itu juga telah

menjalin kerja sama dengan beberapa rumah sakit, sehingga kalau ada

pegawainya yang sakit ia dapat menuju rumah sakit tersebut yang mana

biayanya akan ditanggung pihak konveksi 100%.

b) Asuransi. Asuransi yang akan diberikan oleh pihak konveksi jika pegawainya

mengalami kecelakaan diluar jam kerja.

c) Bonus.

Umumnya bonus ini diberikan kepada pegawai berdasarkan kriteria-kriteria

tertentu. Pihak konveksi akan memberikan bonus tersebut berdasarkan

performa konveksi. Jadi kalau untung perusahaan lagi besar, tentunya jumlah

bonusnya akan lebih besar. Namun ada juga Reward yang akan diberikan pihak

konveksi apabila pekerja tersebut dapat melebihi target barat yang telah
48

diproduksi. Besar bonusnya sekitar 15 % dari gajinya.

d) THR. Tunjangan hari raya jumlahnya minimal 1 bulan gaji dan syaratnya

pekerja tersebut sudah bekerja minimal 1 tahun.

e) Fasilitas keamanan kerja.

Untuk tempat-tempat tertentu di dalam konveksi semua pekerja

diharuskan memakai pakaian keselamatan kerja dengan lengkat beserta

perlengkapannya seperti sepatu, masker, topi, sarung tangan dan lain-lain.

Perengkapan ini bervariasi tergantung dari bagiannya masing-masing.

Pihak konveksi akan memberikan masa cuti selama 2 hari untuk semua

pegawai di sini. Pihak konveksi juga memberikan uang shift kepada pegawai

yang telah kebagaian kerja shif malam Namun persyaratan agar pegawai bisa

mendapatkan fasilitas kesejahteraan tersebut apabila pegawai sudah menjadi

pegawai tetap di sini itu pun juga kalau dia giat kerja dengan hasil yang bagus.

4) Sistem kerja konveksi pakaian

Adanya perbedaan sistem kerja berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan

wanita. Biasanya sistem kerja laki-laki ditambah jam leburnya sedangkan

pegawai perempuan biasanya lebih ringan hanya 9 jam perhari. Ada berbagai

sistem kerja yang berlaku di konvesi ini, antara lain:

a) Sistem kerja borongan

Dalam sistem kerja borongan, misalnya memproduksi pada waktu hari raya

biasanya tinggi, sehingga kebutuhan pekerja yang mau bekerja borongan makin
49

tinggi. Melakukan pekerjaannya terserah pihak konveksi, kapan mereka mau dan

sampai berapa lama itu terserah pihak konveksi.

b) Sistem kerja paruh waktu

Dalam sistem kerja paruh waktu tergantung pada waktu luang yang tersedia bagi

si pekerja, misalnya pada waktu jam 8 pagi sampai jam 12 siang atau dari jam 12

siang sampai jam 5 sore.

c) Sistem kerja penuh. Dalam sistem kerja penuh misalnya dari jam 8 pagi sampai

jam 5 sore.

d) Sistem kerja secara bergantian (shift)

Dalam sistem kerja secara bergantian dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang, dari

jm 1 siang sampai jan 5 sore, dari jam 8 malam sampai jam 12 malam, dan dari

jam 1 mala sampai jam 5 pagi.

e) Sistem kerja lembur di malam hari biasanya dari jam 8 malam sampai jam 5

pagi.

f) Sistem kerja musiman

Sedangkan sistem kerja musiman, ketika konveksi sedang mendapatkan pesanan

dari jumlah output yang besar, biasanya pekerja musiman ini disewa untuk

mengejar waktu yang ditetapkan oleh konsumen konveksi. Pekerja musiman ini

tentunya akan berakhir masa kerjanya di perusahaan ketika perusahaan tidak

membutuhkannya lagi.

5) Mekanisme jam kerja dan Upah yang berlaku di konveksi ini:


50

Berikut Besarnya upah pegawai berdasarkan jam kerjanya yaitu:

a) Jumlah jam kerja perharinya selama 9 jam dengan upah Rp. 15.000

b) Jumlah jam kerja perminggunya selama 54 jam dengan upah Rp. 90.000

c) Jumlah jam kerja perbulannya selama 216 jam dengan besar upahnya sekitar

Rp. 450.000

Konveksi ini juga membuat kriteria besarnya upah yang diterima pegawai

berdasarkan produktifitas yaitu:

a) Pekerja yang kerjanya hanya buang benang, memotong pakaian, memasang

kancing, memasang payet dan memasang ukuran upahnya sekitar Rp. 5000

perharinya.

b) Pekerja yang kerjanya hanya menjahit pakian upahnya Rp. 15.000 perharinya,

c) Pekerja yang kerjanya hanya menggosok baju upahnya Rp. 10.000 perharinya.

d) Pekerja yang kerjanya hanya buruh angkut upahnya Rp 10.000 perharinya.

Di konveksi memberlakukan kenaikkan upah berkalanya. Namun

kenaikan upah tersebut harus berdasarkan hasil promosi, apakah kinerja seorang

pekerja memang baik dan bisa melampau target produksi. Biasanya terjadinya

penaikkan upah setiap tahunnya. Proses pengambilan upahnya menggunakan slip

gaji pegawai

Di dalam konveksi pakaian ada 4 tingkatan kerja yaitu pegawai,

pengawas, sekretaris dan manajer. Semua pegawai akan ada pengangkatan kerja.

Namun persyaratannya agar agar terjadi peningkatan posisi seorang pegawai dari

tingkat yang satu ketingkat yang lain yang lebih tinggi posisinya juga sekaligus
51

memberikan kenaikan gaji atau pemberian bonus sesuai dengan kinerja yang

dicapai oleh seorang pegawai selama 5 tahun, pegawai tersebut harus melakukan

promosi selama ia bekerja. Proses promosi tentunya berkaitan dengan kegiatan

evaluasi ini dilakukan oleh pihak konveksi setiap tahun. Hal ini menunjukan bahwa

jika kinerja seorang pekerja memang baik dan bisa melampaui target yang

ditetapkan oleh pihak konveksi, maka pekerja tersebut bisa memperoleh

peningkatan jabatan pada setiap tahunnya. Tentu saja peningkatan tersebut harus

melalui beberapa proses evaluasi yang tidak mudah untuk melihat prestasi pekerja.

Kenaikan posisi atau jabatan itu sendiri dapat diberikan kepada seorang pekerja

jika memang ada posisi kosong diatasnya. Atau dengan kata lain, promosi baru

dilakukan apabila ada pegawai yang pensiun atau keluar dari konveksi ini.

Dalam hal evaluasi, proses ini dilakukan secara kontinyu kepada semua

pekerja baik dengan menilai kedisiplinannya, pengetahuan teknisnya

pekerjaannya, tanggung jawab, kerja sama dan hasil kerjanya. Sistem penilaian

promosi tersebut secara administratif atau individual dimana ada form khusus

yang dipersiapkan oleh bagian HRD yang harus diisi oleh masing-masing manajer

dan bawahannya.

2.4 Peranan Ekonomis Pekerja Anak

Berdasarkan data dari berbagai informan yang ada bahwa pekerja anak

menjadi komoditi dalam tenaga kerjanya dalam memproduksi suatu pakaian serta

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik dari konveksi tersebut.


52

Sedangkan nilai ekonomis pekerja anak bagi keluarga mereka hanya untuk

membantu perekonomian keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup

keluarganya.

1) Peranan Ekonomis Pekerja Anak terhadap Konveksi Pakaian

Pihak konveksi pakaian telah menyatakan beberapa alasan mengapa mereka

memperkerjakan pekerja anak, diantaranya :

a. Pekerjaan yang dilakukan memang cocok dikerjakan oleh anak-anak, karena

sifatnya yang sederhana dan tidak terlalu menuntut keterampilan atau

kekuatan fisik. Dalam konveksi ini, pekerjaan yang dimaksud adalah

pekerjaan menyetrika pakaian, memeriksa dan membuang benang serta

membungkus pakaian.

b. Dengan memperkerjakan anak, Pihak konveksi akan dapat menghemat biaya

karena upah pekerja anak tidak tinggi dan mudah untuk diaturnya

Akan banyak hal yang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran tenaga

kerja anak diantaranya:

a. Dari sisi permintaan.

Kebutuhan akan pekerja anak berbanding lurus dengan fluktuasi produksi.

Pada konveksi ini, produksi pada waktu sekitar hari raya biasanya sangat

tinggi, sehingga kebutuhan pekerja yang mau bekerja borongan atau paruh

waktu sangat tinggi. Pekerja paruh waktu ini diminati karena tidak

membebani konveksi ketika terjadi penurunan permintaan terhadap output.

Banyak pengusaha yang memanfaatkan kemiskinan dan memperkerjakan


53

anak-anak karena dianggap penurut, patuh, bersedia melakuan pekerjaan

dengan upah yang rendah dan tidak dapat membela hak-hak mereka.

b. Dari sisi Penawaran.

Tersedianya tenaga kerja anak juga sangat berpengaruh dalam hal ini, antara

lain:

a) Tenaga kerja untuk pekerjaan penuh, tersedianya tenaga kerja anak

sangat bergantung pada partisipasi anak di sekolah, karena mereka

masih dalam usia sekolah.

b) Tenaga kerja untuk pekerjaan paruh waktu, tersedianya tenaga kerja

anak sangat tergantung pada waktu luang yang tersedianya bagi anak

(terutama libur sekolah).

2) Peranan Ekonomis Pekerja Anak dalam Keluarga

Di kampung Bojong Nangka, sebagian besar dari keluarga miskin,

kebiasaan untuk melibatkan anak dalam kegiatan kerja, baik di rumah atau di

luar rumah bukanlah hal yang baru. Bahkan ada kesan kuat melibatkan dan

melatih anak untuk bekerja sejak dini dipandang sebagai sebuah keharusan dan

proses yang mesti dilalui anak sebelum mereka beranjak dewasa memasuki

kehidupan rumah tangga kelak.

“Saya harus membiasakan anak-anak saya bekerja sejak kecil


54

di rumah, soalnya di jaman sekarang ini anak-anak itu banyak


yang manja dan mudah terpengaruh teman-temannya dan
kerjanya Cuma minta uang ke orang tuanya saja, makanya
saya membiasaan diri anak saya untuk membantu saya
mengerjakan pekerjaan dirumah” Tutur kata Orang tua
Informan V.

Di rumah biasanya anak mula-mula diperkenalkan pada pekerjaan domestik

seperti menyapu, mencuci pakaian, membersihkan rumah atau mengasuh adik-

adiknya yang masih kecil. Pada saat ayah dan ibunya bekerja, anak yang sudah

berusaha 10 tahun apalagi yang sudah mencapai usia belasan tahun, biasanya

mereka diserahi kewajiban untuk mengasuh adik-adiknya yang berusia balita.

Umumnya di daerah perkampungan, dengan mudah dijumpai seorang anak

yang semestinya memanfaatkan waktu luangnya untuk bermain bersama

teman-teman sebayanya terpaksa mengasuh, menggendong, menyuapi

makanan, adiknya. Tidak jarang pula terjadi seorang anak yang terpaksa

mengasuh anak kerabatnya atau anak tetangganya yang masih kecil dengan

upah atau imbalan dan tidak selalu berupa uang sebagai balas jasa mereka yang

telah bersedia menemani dan mengasuh anaknya. Anak perempuan pada

umumnya lebih dibebani kewajiban semacam ini dari pada laki-laki.

Pada saat mulai dirasa cukup kuat dan ini batasannya sangat relatif

sekali, selain pekerjaan domestik rumah tangga, beban lain yang biasanya mesti

dilakukan anak-anak keluargan miskin adalah bekerja membantu orang tua

dalam kegiatan produktif, entah itu sebagai pekerja keluarga atau bekerja di

orang lain dengan imbalan upah tertentu.


55

“Sebenarnya saya juga tidak menginginkan anak saya bekerja


di usia muda tapi kaera keadaan yang membuatnya harus
bekerja, kalau anak saya bekerja kan beban saya jadi
berkurang mbak, bisa bantu-bantu saya memenuhi kebutuhan
sehari-hari.” Tutur kata Informan II.

Bagi keluarga miskin informan II, anak pada dasarnya memang memiliki

fungsi ekonomi yang cukup penting dan bahkan tidak jarang terjadi anak

menjadi salah satu tiang penyangga ekonomi keluarga yang sangat strategis.

Anak-anak yang bekerja di sektor industri kecil dengan upah harian, diakui

sangat fungsional untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah

tangga dari keluarga miskin.

2.5 Kontribusi Sosial Ekonomi Konveksi Pakaian

Masyarakat kampung Bojong Nangka merasakan pengaruh yang besar di dalam

kehidupannya dengan hadirnya konveksi pakaian. Menurut Ketua RW 6 bahwa

perubahan sosial kampung Bojong Nangka dengan berdirinya konveksi tersebut

antara lain:

1) Dampak positif, pengaruh positif yang dirasakan oleh masyarakat dalam

kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari:

a. Lingkungan fisik
56

Bentuk partisipasi konveksi ini terhadap kehidupan masyarakat Bojong

Nangka dapat berupa partisipasi yang bersifat langsung maupun tidak

langsung. Sebagian besar masyarakat kampung Bojong Nangka

merasakan partisipasinya dalam bentuk pemberian fasilitas-fasilitas yang

diberikan oleh pihak konveksi tersebut, antara lain:

a) Pembuatan jalan yang menghubungkan jalur konveksi pakaian ke jalan

raya besar.

b) Pemberikan bantuan dana untuk pembangunan masjid Al-Qariah.

Gambar 5. Masjid Al-Qariah


c) Pemberian dana dalam pembuatan lapangan bola.

Gambar 6. Lapangan Bola di Kampung Bojong Nangka


57

d) Pembuatan jalur komunikasi yang modern dan listrik penerangan di

sepanjang jalan.

b. Di bidang ekonomi.

Di dalam segi ekonomi perubahan yang terjadi pada masyarakat Bojong

Nangka dalam bentuk pekerjaan, yang mulanya bekerja sebagai petani

berubah menjadi pegawai di pabrik, dari segi pemberian jasa seperti

tukang ojek atau tukang becak, Munculnya berbagai warung yang

menyediakan makanan, minuman maupun keperluan pribadi yang lainnya.

Dengan demikian pendapatan masyarakat kampung Bojong Nangka akan

semakin meningkat.

Gambar 7. Warung Nasi di Kawasan Konveksi pakaian

c. Di bidang Sosial.

Dengan bermunculannya berbagai lapangan kerja sehingga dapat

menyerap tenaga kerja yang lebih besar lagi sehingga dapat mengurangi
58

jumlah pengangguran yang ada di kampung Bojong Nangka.

2) Dampak negatif yang masyarakat Bojong Nangka rasakan selama berdirinya

pabrik konveksi pakaian, yaitu:

a. Lingkungan fisik

Pengaruh yang negatif dilihat dari adanya polusi udara, air dan suara

bising yang dapat menggangu aktivitas kehidupan masyarakat.

“Tidak hanya konveksi pakaian saja ya mbak, tapi pabrik-


pabrik yang lain juga memberikan pengaruh yang negatif,
dapat dilihat dari adanya polusi udara akibatnya banyaknya
truk-truk besar yang masuk keluar pabrik dan suara bising
yang dapat menggangu aktivitas kehidupan masyarakat.”
Tutur Kata Kerua RW 6.

Misalnya udara di daerah kampung Bojong Nangka menjadi panas akibat

asap yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik maupun asap kendaraan mobil

yang sering keluar masuk konveksi dan bisingnya suara mesin yang

menyebabkan ketenangan masyarakat terganggu.

Gambar 9. Kendaraan Truk Pengangkut Pakaian


59

b. Lingkungan sosialnya.

Dalam segi pendidikan di kampung Bojong Nangka, sebagian besar

masyarakat di kampung tersebut hanya memiliki tingkat pendidikan yang

rendah dan SDM yang kurang hal ini dikarenakan banyakya anak-anak

usia sekolah yang lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik dari melanjutkan

sekolahnya. Hal ini dikarena orang tua mereka yang sudah tidak mampu

lagi membiayai sekolahnya. Selain itu juga padatnya jumlah penduduk

kampung Bojong Nangka yang semakin padat akibat banyaknya para

pendatang yang menetap dari luar daerah.

BAB III

Dilema Keberlanjutan Pendidikan Pekerja Anak di Kampung Bojong Nangka

Pada pokok bahasan ini, peneliti akan memberikan gambaran dilemanya

keberlanjutan pendidikan pekerja anak di kampung Bojong Nangka di karenakan latar

belakang dan motivasi yang berbeda, salah satu motivasi anak untuk bekerja karena

tekanan kondisi ekonomi sosial orang tuanya yang tidak cukup untuk biaya

kebutuhan sehari-hari. Adanya berbagai faktor yang menyebabkan pekerja anak tidak

dapat melanjutkan sekolahnya lagi dan Sulitnya pekerja anak dalam mengatur alokasi

waktu antara belajar dengan bekerja.

3.1 Latar Belakang Ekonomi Sosial Pekerja Anak


60

Dari hasil data yang peneliti dapat di lapangan, bahwa sebagian besar

pekerja anak berasal dari keluarga miskin dengan kondisi perekonomian yang

terpuruk. latar belakang sosial ekonomi pada keluarga informan I contohnya,

orang tua informan 1 sudah berusia 40 tahun dan pendidikannya sangat rendah

yang hanya lulusan SD saja, namun ia tetap semangat bekerja walaupun hanya

sebagai penjual nasi uduk saja dan penghasilan perbulannya hanya sekitar Rp

500.000 sebulan, sedangkan suaminya sudah lama meninggal.

Gambar 10. Profil Informan I

Keluarga Informan I mempunyai 3 anak. Anak yang pertama usianya 14

tahun dan sudah bekerja di konveksi pakaian yang penghasilannya sekitar

Rp.450.000 sebulan, namun sekolahnya tidak sampai lulus SMP, sedangkan anak

yang ke dua usinya 9 tahun dan masih sekolah SD kelas 3 dan anak yang

terakhir masih 4 tahun usianya. Orang tua informan 1 tidak mampu lagi

membiayai sekolah anaknya yang pertama karena semenjak ia ditinggalkan

suaminya, ia bekerja seorang diri untuk memenuhi kebutuhan ketiga anaknya.


61

Latar belakang sosial ekonomi pada keluarga informan II sebenarnya tidak

jauh beda dengan kondisi ekonomi keluarga informan 1. Orangtua Informan II

sudah berusia 44 tahun dan pendidikan hanya lulusan SD saja, sedangkan

pekerjaannya hanya sebagai buruh bangunan saja yang penghasilan sekitar Rp

800.000 sebulan, sedangkan istrinya hanya sebagai ibu rumah tangga saja.

Gambar 11. Profil Informan II

Keluarga Informan II mempunyai 4 anak. Anak yang pertama laki-laki

usianya 17 tahun dan ia lulusan SMP namun ia sudah kerja di bengkel dan

penghasilannya hanya Rp 300.000 bulan, anak kedua laki-laki usia 15 tahun dan

sudah kerja di konveksi pakaian yang penghasilannya hanya sekitar Rp 500.000

sebulan, namun ia sekolahnya tidak sampa lulus SMP, sedangkan anak yang

ketiga masih sekolah SD kelas 6 dan anak yang terakhir masih SD juga kelas 3.

Latar belakang sosial ekonomi pada keluarga informan III tak kalah

minimnya, Orang tua informan III berusia 46 tahun dan ia hanya lulusan SD saja.

Profesinya sebagai pedagang makanan goreng-gorengan dan penghasilan sekitar

Rp. 500.000 sebulan contohnya, orangtua Informan V sudah berusia 40 tahun dan
62

pendidikan ia sangat rendah yang hanya lulusan SD saja. Istrinya sudah lama sakit

keras dan dirawat di rumah. Istrinya sudah hampir 3 tahun merasakan sakit namun

mereka tidak mampu membawa istrinya kerumah sakit untuk berobat dan dirawat

disana. Mereka hanya menggunakan obat tradisional dan merawat sendiri di

rumah.

Gambar 12. Profil Informan III

Keluarga Informan III mempunyai 5 anak. Anak bapak yang pertama

usianya sudah 18 tahun dan lulusan SMP namun ia tidak bekerja karena susahnya

mendapatkan pekerjaan saat ini, Anaknya yang kedua usianya 16 tahun dan lulusan

SMP namun ia sudah kerja di konveksi pakaian dan penghasilannya sekitar RP

450.000 sebulan. Sama halnya seperti anaknya yang ketiga usianya baru 14 tahun,

namun sekolahnya hanya sampai kelas 2 SMP saja karena ia tidak mau meneruskan

sekolahnya lagi, ia lebih memilih bekerja di konveksi pakaian yang penghasilannya

hanya Rp 450.000 sebulan. Anak yang keempat usianya 10 tahun dan masih

sekolah kelas 4 SD. Sedangkan yang terakhir masih berusia 3 tahun.

Latar belakang sosial ekonomi pada keluarga informan IV sebenarnya


63

lebih baik dari ketiga informan di atas. Orang tua informan IV usianya 45 tahun

dan pendidikan akhirnya hanya SD. Ia bekerja sebagai satpam di sekolah dan

penghasilan sekitar Rp. 800.000 sebulan. Istrinya berjualan minuman di sekolah

tempat suaminya bekerja dan penghasilannya sekitar RP 400.000 sebulan.

Gambar 13. Profil Informan IV

Keluarga informan IV mempunyai 4 anak, anak yang pertama umurnya

masih 14 tahun dan ia hanya lulusan SD saja, namun ia sudah kerja di konveksi

pakaian dan penghasilannya sekitar Rp 450.000 sebulan, anak yang kedua masih

10 tahun, ia juga berhenti sekolah di kelas 4 SD, anak yang ketiga baru masuk

kelas 1 SD sedangkan anak yang keempat masih kecil usianya baru 3 tahun.

Kalau peneliti amati bahwa kedua orang tua informan IV sudah bekerja ditambah

lagi informan IV juga sudah bekerja di konveksi, Seharusnya keluarga mereka

termasuk kedalam ekonomi lapisan menengah yang mampu menyekolahkan

semua anaknya, tapi kenapa anaknya yang kedua malah berhenti di tengah jalan.
64

Orang tua mereka malah sengaja memperkerjakan anak-anaknya guna menopang

kehidupan ekonomi keluarga. Di usia yang masih produktif mereka sudah harus

bekerja membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Faktor utama penyebab anak putus sekolah adalah kesulitan ekonomi atau

karena orang tua tidak mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak-anaknya.

Hal ini tidak berlaku untuk informan V, walaupun peneliti menggolongkan

keluarga informan V masuk ke dalam ekonomi lapisan bawah karena menurut

observasi peneliti di lapangan bahwa kondisi ekonomi dan sosial pada keluarga

informan V sangat minim sekali. Orang tua informan V sudah berusia 47 tahun

dan pendidikan ia sangat rendah yang hanya lulusan SD saja, namun ia tetap

semangat bekerja walaupun hanya sebagai supir angkot saja dan penghasilan

perbulannya hanya sekitar Rp 600.000 sebulan. Informan V termasuk keluarga

beruntung, sebab ia mempunyai anak-anak yang memiliki tekad dan semangat

tinggi untuk bersekolah.

Gambar 14. Profil Informan V

Informan V mempunyai 4 anak. Anak yang pertama laki-laki lulusan SMP

usianya 17 tahun dan sudah bekerja di konveksi pakaian serta penghasilannya Rp.
65

450.000 sebulan, anak yang kedua masih berusia 14 tahun dan sekarang ia masih

sekolah kelas 2 SMP namun ia juga bekerja di konveksi pakaian dan

penghasilannya Rp. 168.000, anaknya ketiga usianya 12 tahun dan masih kelas 6

SD dan anak usianya masih 9 tahun dan kelas 3 SD. Istri beliau bekerja sebagai

pembantu rumah tangga yang penghasilannya Rp 300.000 sebulan

Tabel 3. Latar Belakang Ekonomi Sosial Informan


No. Nama Usia Pendidikan Pekerjaan Penghasilan
Informan Terakhir
1. Informan.I
Ayah(Wafat) - - - -
Ibu 40 thn Lulusan SD Pedagang Nasi Uduk Rp. 500.000
Anak 1 14 thn Tidak lulus SMP Kerja Di Konveksi Rp. 450.000
Anak 2 9 thn Kelas 3 SD _ _
Anak 3 4 thn _ _ _

2. Informan.II
Ayah 44 thn Lulusan SD Buruh Bangunan Rp. 800.000
Ibu - - Ibu Rumah Tangga -
Anak 1 17 thn Lulusan SMP Bekerja di Bengkel Rp. 300.000
Anak 2 15 thn Tidak lulus SMP Bekerja di Konveksi Rp. 500.000
Anak 3 12 thn Kelas 6 SD _ _
Anak 4 9 thn Kelas 3 SD _ _

3. Informan.III
Ayah 46 thn Lulusan SD Pedagang Makanan Rp.500.000
Ibu (Sakit) - - Ibu Rumah Tangga -
Anak 1 18 thn Lulusan SMP Pengangguran -
Anak 2 16 thn Lulusan SMP Bekerja di Konveksi Rp. 450.000
Anak 3 14 thn Tidak lulus SMP Bekerja di Konveksi Rp. 450.000
Anak 4 10 thn Kelas 4 SD _ _
Anak 5 3 thn - _ _

4. Informan.IV
Ayah 45 thn Lulusan SD Satpam di Sekolah Rp. 800.000
Ibu - - Pedagang Minuman Rp. 400.000
Anak 1 14 thn Lulusan SD Bekerja di Konveksi Rp. 450.000
Anak 2 10 thn Tidak Lulus SD _ -
66

Anak 3 7 thn Kelas 1 SD _ -


Anak 4 3 thn - - -
5. Informan.V
Ayah 47 thn Lulusan SD Supir Angkot Rp. 600.000
Ibu - - Pembantu RT Rp. 300.000
Anak 1 17 thn Lulusan SMP Bekerja di Konveksi Rp. 450.000
Anak 2 14 thn Kelas 2 SMP Bekerja di Konveksi Rp. 168.000
Anak 3 12 thn Kelas 6 SD - -
Anak 4 9 thn Kelas 3 SD - -

3.2 Faktor Penghambat dan Pendukung Pendidikan untuk Pekerja Anak

a. Faktor Penghambat Pendidikan untuk Pekerja Anak

1) Bidang Ekonomi

a) Kemiskinan

Kemiskinan orang tua adalah merupakan salah satu faktor yang sering

menghalangi dan menghambat kelancaran pendidikan anak-anak mereka,

sehingga kebanyakan dari anak-anak terjun di dunia kerja. Buruknya

perekonomian keluarga sampai saat ini masih. menjadi alasan anak untuk

bekerja bekerja khususnya bagi keluarga miskin. Penurunan kesempatan kerja

di pedesaan yang semakin sempit, mengakibatkan jumlah PHK yang semakin

meningkat dan jumlah pengangguran pun ikut meningkat yang pada akhirnya

mengakibatkan kemampuan orang tua untuk menyumbang ekonomi keluarga

semakin rendah.

“Saya berhenti sekolah karena orangtua saya gak punya uang lagi
untuk membiayai sekolah saya yang mahal, saya kan dari kluarga
miskin mbak, makanya saya lebih baik bekerja untuk membantu
perekonoman keluarga.” Ujar informan I.
67

Dengan kondisi yang demikian jelaslah bahwa kemiskinan orang tua akan

mempengaruhi kelancaran pendidikan anak mereka. Dalam kasus seperti ini,

tidak ada alternatif lain bagi orang tua selain mengharapkan anak-anaknya

untuk ikut bekerja.

b) Biaya pendidikan yang tinggi.

Biaya pendidikan yang tinggi relatif tinggi ikut memperkecil kesempatan

anak untuk mengikuti pendidikan. Mayoritas orang tua informan yang

peneliti wawancarai menjawab karena tidak mampu membiayai sekolah

sebagai alasan utama. Bayaran sekolah merupakan beban yang terus

meningkat dan hampir tak terpikul di pundak orang tua dari golongan bawah,

sehingga beberapa mungkin tak sanggup sama sekali mengirimkan anaknya

ke sekolah dan banyak lagi yang harus berhenti sekolah. Di samping itu juga

biaya pendidikan yang cukup besar, tidak seimbang dengan uang yang

mungkin mereka terima sebagai pekerja. Sehingga anak tersebut lebih

memilih bekerja dari pada melanjutkan sekolahnya.

2). Bidang Sosial

a) Kurangnya kesadaran orangtua akan pendidikan anak

Kurangnya kesadaran orang tua akan pendidikan anak dikarenakan latar

belakang pendidikan orang tua yang relatif rendah atau bahkan sama sekali

tidak pernah sekolah menyebabkan orang tua si anak biasanya bersikap

acuh tak acuh pada urusan sekolah anaknya. Orang tua memang sulit
68

berharap untuk bersikap responsif dan apresiatif terhadap kegiatan belajar

anak-anak. Sehingga mereka lebih memilih anaknya untuk bekerja dari

pada sekolah. Karena bagi mereka sekolah hanyalah membuang waktu dan

uang saja. Sehingga si anak sendiri kemudian tidak pernah merasakan

bahwa sekolah itu memang penting bagi masa depannya.

“Emang sih pendidikan itu penting tapi, ngapain juga sekolah


tinggi-tinggi mbak ya akhirnya kerja-kerja juga kan, lagian
belum tentu kalau kita sekolah tinggi dapat kerjaan, sekarang saja
yang lulusan S1 banyak yang nganggur. Jadi anak saya lulusan
SD juga cukup, bapaknya saja hanya lulusan SD, dari pada
sekolah menghabiskan uang lebih baik kerja bantuin bapaknya
menyekolahkan adik-adiknya yang masih sekolah SD dan buat
bantu prekonomian keluarga juga.” Ujar orang tua informan VI.

Orang tua selalu berpikir dan menimbang untung ruginya daripada sekolah itu.

Orang tua yang ekonominya tidak mampu ditambah lagi dengan pendidikan

yang kurang, tidak mendorong anak-anaknya untuk lebih lama tetap tinggal di

sekolah. Mereka lebih cenderung anak mereka untuk membantu bekerja di

konveksi pakaian. Mereka tidak pernah meramalkan pendidikan anak mereka

yang lebih baik dari mereka, karena mereka sendiri tidak punya kesempatan

dalam hal itu. Sehingga anak dengan terpaksa bekerja di konveksi pakaian

tersebut.

b) Tidak meratanya penyediaan sarana dan prasarana sekolah.

Dari segi pemerataan dan kesempatan pendidikan bagi anak-anak Indonesia

memang cukup luas, tetapi pengadaan sekolah masih terbatas di kota-kota saja

sehingga anak-anak yang jauh dari kota menjadi penyebab terhambatnya ia


69

untuk mendapatkan pendidikan. Suatu sekolah karena alasan tertentu terpaksa

pula dibangun pada daerah tertentu, dengan demikian sebagian anak-anak tidak

dapat memasuki sekolah itu, karena jaraknya jauh dan akibatnya anak tersebut

jadi malas untuk ke sekolah.

“Duh mbak jujur saja, saya malas mbak belajar habisnya susah
banget pelajarannya, apalagi jarak dari rumah saya ke sekolah
jauh banget, makanya saya lebih memilih bekerja dan punya
uang sendiri.” Ujar Informan III.

Apabila jarak tempat tinggal murid dari sekolah jauh, murid-murid kadang-

kadang tidak teratur datang ke Sekolah. Orang tua pun jadi enggan untuk

melepas anaknya pergi ke sekolah, mereka takut dengan keadaan di jalan yang

tidak terjamin, akibatnya anak sering absen akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

Si anak akhirnya lebih memilih bekerja.

c) Rendahnya penerimaan kembali terhadap hasil pendidikan.

Pendidikan di satu pihak adalah merupakan pemindahan dan penyempurnaan

kebudayaan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, tetap di lain pihak

adalah merupakan penanaman modal. Enam tahun belajar di sekolah dasar, tiga

tahun di sekolah menengah tingkat pertama dan tiga tahun pula di sekolah

menengah tingkat atas serta empat tahun pula di penguruan tinggi. Seandainya

tidak ada tinggal kelas, minimal delapan belas tahun lamanya untuk menuntut

ilmu pengatahuan dan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk itu? berapa

banyak pula uang yang hilang karena kita bersekolah namun tidak dapat
70

bekerja?

“Emang sih pendidikan itu penting tapi, ngapain juga sekolah


tinggi-tinggi mbak ya akhirnya kerja-kerja juga kan, lagian
belum tentu kalau kita sekolah tinggi dapat kerjaan, sekarang saja
yang lulusan S1 banyak yang nganggur. Jadi anak saya lulusan
SD juga cukup, bapaknya saja hanya lulusan SD, dari pada
sekolah menghabiskan uang lebih baik kerja bantuin bapaknya
menyekolahkan adik-adiknya yang masih sekolah SD dan buat
bantu prekonomian keluarga juga.” Ujar orang tua informan VI.
Kenyataan sekarang setelah mereka tamat suatu lembaga pendidikan, mereka

tidak dapat langsung bekerja baik karena lowongan yang tidak ada maupun

karena keengganan suatu lembaga menerima lulusan tersebut, disebabkan

ketidakmampuan para lulusan tersebut. Akhirnya mereka kembali menjadi

beban orang tua, walaupun sudah mengeluarkan biaya cukup besar untuk

menyekolahkan mereka.

3) Bidang Budaya

Pekerja anak di pedesaan selalu berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu

orang tua. Orang tua pun meyakini bahwa memberi pekerjaan kepada anak

mereka merupakan proses belajar untuk menghargai pekerjaan dan belajar

bertanggung jawab. Bekerja di usia dini di pedesaan sebagai sebuah keharusan

dan proses yang harus dilalui agar ia bisa lebih mandiri sebelum mereka

beranjak dewasa memasuki kehidupan rumah tangga kelak.

Berdasatkan informasi diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pekerja anak

mempunyai beragam alasan sehingga ia lebih memilih bekerja dari pada

melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Tabel 6. Alasan Anak Bekerja di Konveksi Pakaian


71

No. Nama Alasan Anak Bekerja


Informan
1. Informan 1 Membantu Ekonomi Keluarga dan Membiayai Sekolah adiknya
2. Informan 2 Membantu Ekonomi Keluarga
3. Informan 3 Malas Belajar dan Mengikuti Temananya Bekerja
4. Informan 4 Di paksa Orang tua
5. Informan 5 Membantu Ekonomi Keluarga dan Membiayai Sekolahnya
Sendiri.
b. Faktor pendukung pendidikan bagi pekerja anak

Sebagai faktor penyebab utama timbulnya pekerja anak, maka

kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera dibenahi. Dalam

konteks ini, berbagai langkah dapat dilakukan, seperti memberi kredit lunak

bagi pengusaha kecil, membenahi sistem pemasaran produk pertanian atau

industri kecil, penggalakan agrobisnis dan agroindustri, terutama di kalangan

petani kecil, dan memberikan berbagai bantuan lainnya kepada masyarakat

miskin.

“Biaya sekolah yang murah mbak, mungkin saya bisa sekolah


lagi tapi itu juga tergantung dari orangtua say, mau membiayai
sekolah saya lagi apa gak.” Ujar Informan IV.

Membebaskan uang sekolah bagi anak-anak terutama yang berasal dari keluarga

miskin, kiranya tidaklah cukup untuk merangsang atau mempertahankan mereka

sekolah. Tetapi harus pula disertai dengan memberikan berbagai keperluan lain,

seperti seragam, buku dan sebagainya. Khusus pekerja anak yang merupakan

sumber penghasilan keluarga, maka perlu pula dipikirkan untuk mengganti

pendapatannya yang hilang akibat bekerja. Jenis pendidikan pun tidak harus
72

pendidikan formal, terutama bagi pekerja anak yang telah putus sekolah, tetapi

dapat berbentuk keterampilan seperti kursusu menjahit, mesin dan sebagainya.

Disamping itu, kualitas pendidikan juga harus mendapat perhatian,

sehingga yang diterima antar tamatan tingkat pendidikan yang rendah dan tinggi

jelas berbeda. Dengan demikian, ada rangsangan bagi orang tua untuk berupaya

menyekolahkan anak-anaknya. Pendidikan tidak hanya ditujukan bagi anak-

anak, tetapi juga bagi orang tua. Sebab, berdasarkan penelitian ini, pandangan

kepala rumah tangga berdasarkan pendidikannya mempunyai pengaruh terhadap

timbulnya pekerja anak. Meminta kepala rumah tangga yang umumnya telah

dewasa untuk duduk kembali ke bangku sekolah tentunya sangat sulit. Oleh

karena itu, pendidikan terhadap mereka dapat dilakukan dengan memberikan

informasi-informasi melalui lembaga-lembaga di lingkungannya, dengan

melibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat. Adanya pemerataan sarana dan

prasarana Sekolah di pelosok perkampungan masyarakat. Sekolah yang baik

adalah berada pada pusat perkampungan penduduk atau berada dalam daerah

jangkauan, sehingga anak-anak umur sekolah yang berada pada jarak terentu

dapat datang sekolah dengan teratur dan aman.

Tabel 7. Faktor Penghambat dan Faktor Pendorong Pendidikan


Bagi Pekerja Anak
No. Nama Faktor Penghambat Faktor Pendorong
Informan Pendidikan Pendidikan
1. Informan 1 Tidak punya uang dan Pekerjaan tetap
biaya sekolah mahal
73

2. Informan 2 Tidak punya uang Bantuan dari Pemerintah


3. Informan 3 Biaya sekolah mahal Biaya sekolah yang rendah
4. Informan 4 Biaya sekolah mahal Biaya sekolah rendah
5. Informan 5 Tidak punya uang dan Biaya sekolah rendah
biaya sekolah mahal

3.3 Antara Belajar dan Bekerja: Sulitnya Mengatur Alokasi Waktu

Selain karena kesulitan dari keluarga miskin yang tidak mampu

menyediakan biaya sekolah untuk anak-anaknya, sehingga kebanyakan anak dari

keluarga miskin lebih memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikannya

kejenjang yang lebih tinggi. Namun faktor penyebab putusnya sekolah anak di

tengah jalan juga karena kesibukan anak dengan bekerja. Oleh karena itu pola

pembagian antara belajar di sekolah dengan bekerja di konveksi pakaian

sangatlah penting.

Pekerja anak harus dapat mengatur waktu baik untuk belajar di sekolah

maupun untuk bekerja di konveksi tersebut. Hampir setiap hari jam 5 pagi pekerja

anak bangun dari tempat tidurnya, sebelum ia berangkat sekolah, ia harus

membantu ibunya membereskan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci

piring dan memasak makanan untuk sarapan pagi. Setelah jam 6.30 pagi pekerja

anak akhirnya berangkat sekolah. Ia lebih memilih berjalan kaki dari rumah

menuju ke sekolah yang jaraknya bisa mencapai puluhan kilometer. Ia sudah

terbiasa dengan cara seperti itu. Ia hanya bermodal semangat yang tinggi dan

hanya memegang uang sekedarnya saja untuk membeli buku. Ia membawa bekal

makanan dan minuman dari rumah, semua itu ia lakukan untuk mengirit biaya.
74

“Jarak dari rumah saya ke Sekolah ya lumayan jauh mbak.


Namun setiap hari saya berjalan kaki lewat perkampungan, ya
kira-kira sejam sampenya mbak. Jadi waktu belajar kami
belum di mulai, saya sudah capek duluan karena saya sangat
lelah berjalan kaki dari rumah ke Sekolah”. (Ujar informan V).

Sesampainya di sekolah ia bermain bersama teman-temannya sambil menunggu

jam masuk sekolah. Jam 7.30 pelajaran pertama dimulai, dengan tenang dan

penuh semangat ia menyimak pelajaran yang diterangkan oleh ibu guru di depan

kelas. Pada saat jam istirahat tepatnya jam 9.00 semua siswa tergesa-gesa ke

kantin untuk makan siang, namun karena ia membawa bekal makanan siang dari

rumah jadi ia tidak ikut bersama teman-teman ke kantin, ia lebih baik tetap berada

di dalam kelas untuk memakan makanan bekal yang dibawa dari rumah. Setelah

jam 10.00, pelajaran dilanjutkan lagi di dalam kelas.

Informan V merupakan siswa yang teuladan dan paling pintar diantara

teman-teman lainnya di sekolah. Ia sangat ramah oleh siapa pun, sehingga ia

sangat disayangi oleh teman-teman dan gurunya di sekolah. Sehingga ia mendapat

keringanan biaya dari pihak sekolah.

“Anak bapak sangat rajin belajar, baik di Sekolah maupun di


Rumah sehingga anak bapak selalu mendapatkan nilai bagus
sehingga mendapatkan keringanan biaya sekolahnya”. Ujar
Orang tua informanV.

Akhirnya bel pulang sekolah telah berbunyi tepatnya jam 12 siang, ia pun

bergegas pulang kerumah dengan berjalan kaki, ketika sesampainya dirumah ia


75

langsung mengganti baju dan menaruh tas yang berisi buku pelajaran sekolah, Ia

sempatkan diri untuk makan siang walau hanya sesuap atau dua suap agar punya

tenaga untuk bekerja. Setelah makan siang ia langsung pergi ke konveksi pakaian

yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Jam 1 ia tiba di konveks pakaian dan

langsung bekerja. Pekerjaannya mudah hanya membuang benang saja. Ia bekerja

hanya separuh waktu saja dari jam 1 siang sampai jam 6 sore. Namun

pekerjaannya ini hanya bersifat sementara saja, kalau kontraknya habis atau

barang produksinya habis berarti pekerjaannya selesai sudah. Penentuan waktu

kerja tergantung dari penghasilannya pun lumayan sekitar Rp 168.000 sebulan,

gajinya akan digunakan unuk biaya sekolahnya dan untuk uang jajan adik-

adiknya.

“Ya tadinya saya gak setuju mbak kalau anak saya bekerja, habisnya
saya takut sekolahnya terganggu trus berhenti deh sekolahnya, kan sia-
sia saja perjuangan saya selama ini membanting tulang hanya untuk
kelanjutan sekolahnya, Siapapun orang tua pasti menginginkan anak-
anaknya sekolah sampai keperguruan tinggi tapi karena anak saya sudah
berjanji tidak akan meninggalkan sekolahnya ya akhirnya saya
mengijinkannya juga untuk bekerja sambil sekolah.” Tutur kata orang
tua informan V.

Awalnya orang tuanya tidak setuju kalau ia bekerja dikonveksi ini, karena

mereka takut menggangu konsentrasi sekolahnya tapi karena niat dan tekad

informan sudah bulat untuk memperjuangkan kedua-duanya antara sekolah dan

bekerja, akhirnya orang tuanya mengijinkannya untuk sekolah sambil bekerja

denngan catatan sekolahnya tidak boleh tertinggal. Ia bekerja sudah 3 bulan di


76

konveksi ini dan teman-teman kerjanya selalu bersikap baik kepadanya.

Setelah selesai bekerja tepatnya jam 6.00 sore, ia langsung pulang ke

rumah, walau secara fisik ia merasa lelah namun secara batin ia bahagia karena ia

bisa membantu orang tua membiayai sekolahnya sendiri tanpa membebani orang

tua. Sesampainya di rumah ia langsung mandi dan makan malam bersama orang

tua dan adik-adiknya, walaupun orang tuanya dan ia selalu disibukkan sehari-

harinya dengan bekerja namun hal yang paling membahagiakan di saat makan

malam bersama karena mereka bisa berkumpul sambil menceritakan

pengalamannya masing-masing sambil bercanda ria. Jadi ia bisa merasakan kasih

sayang dari kedua orang tuanya.

Orang tua informan V sadar bahwa memperkerjakan anak tentu bukan

merupakan satu-satunya cara yang dilakukan untuk bertahan hidup. Selain

mendayagunakan tenaga kerja produktif keluarga untuk mencari uang, baik

dengan mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja kerja, upaya lain

yang basanya dilakukan adalah berusaha bersikap lebih hemat dalam kehidupan

sehari-hari, entah itu mengurangi frekuensi makanan atau menurunkan mutu

makanan yang dikonsumsi sehari-hari.

“Saya jadi sedih mbak kalau melihat anak-anak saya cuma


makan seadanya saja paling cuma makan sama nasi, tempe
dan tahu saja, beda dengan anak-anak yang lain makannya
serba enak dan bergiji, habis saya harus hidup hemat untuk
mengurangi pengeluaran ekonomi rumah tangga saja.” Tutur
kata orang tua informan V.

Selesai makan malam, ia langsung belajar di kamar dan mengerjakan PR yang


77

diberikan guru di sekolah. Orang tuanya selalu membantu mengerjakan tugas

PRnya, selesai belajar ia langsung tidur di kamar untuk beristirahat agar esoknya

ia bangun lebih segar dan bisa mengawali pagi yang cerah. Setiap hari aktifitas Ia

seperti itu. Semua itu Ia lakukan agar keinginannya untuk mendapatkan

pendidikan dapat tercapai sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Berdasarkan informasi dari informan V diatas bahwa tidak selamanya

sekolah sambil bekerja dapat mengakibatkan kita berhenti sekolah di tengah jalan

karena kesibukan bekerjanya, tetapi apabila kita dapat mengatur waktu antara

belajar di sekolah dengan bekerja pasti semuanya dapat berjalan dengan

beriringan jadi tidak ada yang ditinggalkan. Ia lebih mengutamakan belajar dari

pada bermain. Pagi-pagi ia berangkat ke sekolah, setelah pulang sekolah ia

langsung bekerja di konveksi pakaian dan malamnya ia habiskan waktunya untuk

belajar di rumah dan tentu saja ia pun tidak lupa membantu orang tuanya di

rumah. Prestasinya patut dibanggakan dan akhirnya ia mendapatkan keringanan

biaya sekolah. Tentu saja Ia sangat senang mendapatkan keringanan biaya

sekolahnya tersebut dan orang tuanya pun sangat bangga kepadanya.


78

BAB IV

Konstruksi Sosial Pendidikan anakdan Eksploitasi Pekerja Anak di Konveksi

Pakaian Kampung Bojong Nangka

Pada pokok bahasan ini saya ingin menggambarkan perbedaan pandangan orang tua

dan anak dalam memaknai arti pendidikan sehingga pekerja anak lebih memilih

bekerja dari pada melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Selain

itu juga saya ingin menggambarkn bentuk-bentuk eksploitasi yang didapatkan pekerja

anak selama bekerja dikonveksi pakaian tersebut dan dampak-dampak dari eksploitasi

tersebut yang telah melanggar hak-hak anak.

4.1 Makna Sosial Pendidikan Anak bagi Orang Tua

Masyarakat dinamis merupakan bukti ketidakpuasan manusia dengan

lingkungannya. Setiap anak, pendidikan sangat diperlukan mengingat taraf

kehidupan masyarakat sekarang yang heterogen sementara kebutuhan setiap

orang akan pendidikan mengalami perbedaan dan kemajuan dibandingkan dengan

kebutuhan pendidikan masyarakat yang terdahulu. Fenomena tersebut diwujudkan

dalam suatu pola tindakan, ingin bertindak ke arah yang lebih baik dan mapan.

Dinamika dalam masyarakat timbul dan ada karena individu sebagai anggota
79

masyarakat tidak puas dengan apa yang ada. Mereka ingin selalu bergerak maju

dan menguasai lama dengan teknologi mutakhir. Mereka ingin bertindak lebih

efisien dan efektif, tepat guna dan berdaya guna. Menurut masyarakat dinamis

bahwa pendidikan adalah alat utama dan menentukan demi perkembangan masa

depan bangsa atau masyarakat tertentu. Masyarakat dinamis adalah masyarakat

maju atau berkembang atau sedang berkembang. Fungsi pendidikan adalah

membimbing individu agar dapat mengembangkan diri sendiri dan mampu hidup

lebih baik dalam masyarakat, sesuai dengan keadaan dan lingkunganya masing-

masing.

”Pendidikan buat anak saya sangat penting sih mbak, karena


dengan pendidikan kita dapat merubah kehidupan, tapi karna
saya orang miskin jadinya gak bisa membiayai anak saya
yang pertama. Tutur kata orang tua 1nforman I.

Berdasarkan data yang peneliti peroleh bahwa pada dasarnya setiap orang tua

ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya agar anak-anak mereka

kelak mempunyai masa depan yang cerah. Namun semua hal itu tetap terkait

dengan latar belakang ekonomi sosial orang tua yang dimilikinya. Pandangan

orang tua terhadap pendidikan anaknya mempengaruhi cara mereka mengasuh

dan membimbing anaknya dirumah serta menyelenggarakan pendidikan untuk

anaknya, cara mereka mendorong, mempertahankan dan mengarahkan pendidikan

anaknya

“Pendidikan itu sangat penting neng, karena bisa memperbaiki


kehidupan kita agar lebih baik lagi Tapi ini semua karena
terpaksa neng, Dulu bapak bekerja di pabrik juga dan gajinya
lumayan besar namun bapak di PHK dari pabrik tersebut,
80

makanya sekarang bapak hanya bekerja sebagai buruh


bangunan saja, bapak jadi gak punya uang untuk membiayai
sekolah semua anak saya, makanya anak bapak yang pertama
dan kedua berhenti sekolah dan bekerja saja. Bapak hanya
sanggup menyekolahkan anak bapak yang ketiga dan keempat
saja itu juga dengan fasilitas seadanya.” Ujar orang tua
informan II.
Seperti halnya pada informan II yang berasal dari keluarga miskin. Orang tua

informan II hanya sebagai buruh bangunan dengan penghasilan yang rendah

sehingga tidak punya uang lagi untuk membiayai sekolah semua anaknya. Ia

menganggap bahwa pendidikan itu penting untuk masa depan anaknya, karena

dengan pendidikan bisa memperbaiki kehidupannya kelak. Namun ia hanya

mampu menyekolahkan anaknya yang ketiga dan anak kempat saja dengan

fasilitas belajar yang pas-pasan, buku tulis yang kumal, tas yang sederhana,

namun anak-anaknya masih tetap semangat untuk berangkat sekolah.

”Pendidikan itu sangat penting ya mbak, bisa merubah


kehidupan kita lebih baik lagi jangan seperti bapak SD saja
tidak lulus. Duh kalau semuanya yang disekolahin mah
bapak gak sanggup, ini saja anak bapak ketiga dan keempat
belum bayaran mbak” Ujar orang tua informan III.

Sepanjang orang tua masih memiliki sumber pendapatan yang bisa diandalkan

untuk hidup, sebenarnya mereka mengakui tidak memiliki keinginan sama sekali

untuk meminta anaknya putus sekolah ditengah jalan, minimal sampai lulusan

SD. Namun karena sebagian besar orang tua responden tidak memiliki pekerjaan

tetap atau hanya bersifat temporer saja, maka mereka pun kemudian hanya bisa

pasrah dan akibatnya pendidikan anak terpaksa dikorbankan.


81

“Menurut saya pendidikan itu penting untuk menuntut ilmu


sampai ke tingkat perguruan tinggi. Saya sangat
mengharapkan anak saya semuanya tetap sekolah mbak, tapi
saya gak mampu untung saja anak-anak saya sudah pada
bekerja, jadi mereka bisa bantu saya untuk meringankan biaya
sekolahnya.” Tutur kata orang tua informan V.

Rendahnya pendidikan dan wawasan orang tua, dalam banyak hal akan

mempengaruhi cara orang tua tersebut memperlakukan anak-anaknya. Anak yang

dibesarkan dalam keluarga yang orang tuanya tidak berpendidikan dan ditambah

lagi dengan dukungan faktor lingkungan sosial yang kontra-produktif bagi

pengembangan pendidikan, maka hampir bisa dipastikan bahwa anak-anak itu

akan ikut apatis terhadap arti penting sekolah. Keluarga-keluarga yang tak

berpendidikan di desa untuk segera mengeluarkan anaknya dari sekolah atau

minimal tidak memperkenalkan anaknya melanjutkan ke jenjang yang lebih

tinggi, karena tidak dianggap sebagai prioritas yang penting.

“Emang sih pendidikan itu penting tapi, ngapain juga


sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya jadi penganggur juga
mbak. Ya mendingan kerja dari sekarang aja, lulusan SD
juga cukup, bapaknya saja hanya lulusan SD, dari pada
sekolah menghabiskan uang lebih baik kerja bantuin
bapaknya menyekolahkan adiknya yang masih sekolah SD.”
Tutur kata orang tua informan IV.

Latar belakang tingkat pendidikan orang tua yang relatif rendah atau bahkan sama

sekali tidak pernah sekolah, memang sulit berharap orang tua responden mau dan

mampu bersikap responsif dan apresiatif terhadap kegiatan belajar anak-anak,


82

maka proses pendidikan yang dilangsungkan pun kemudian sekadar menjadi

formalitas saja. Pandangan dan harapan orang tua informan IV yang sempit

seperti ini menyebabkan orang tua si anak biasanya bersikap acuh tak acuh pada

urusan sekolah anaknya. Sehingga mereka lebih memilih anaknya untuk bekerja

dari pada sekolah. Karena bagi mereka sekolah hanyalah membuang waktu dan

uang saja.

Tabel 4. Makna Sosial Pendidikan Bagi Orang Tua

No. Nama Makna Pendidikan Menurut Orang Tua


Informan
1. Informan 1 Penting, karena dengan pendidikan dapat
merubah kehidupan lebih baik lagi.
2. Informan 2 Penting, karena dengan pendidikan dapat
merubah kehidupan lebih baik lagi.
3. Informan 3 Penting, karena dengan pendidikan dapat
merubah kehidupan lebih baik lagi.
4. Informan 4 Kurang penting, karena pendidikan hanya
formalitas saja dan menghabiskan banyak
uang.
5. Informan 5 Penting, karena untuk menuntut ilmu sampai
ke tingkat perguruan tinggi.

4.2 Makna Sosial Pendidikan bagi Pekerja Anak

Setiap anak menginginkan pendidikan, pendidikan yang dimaksud adalah

pendidikan formal. Apabila pendidikan yang diperoleh semakin tinggi, berarti

pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya semakin banyak dan mendalam.

Pendidikan hendaklah mampu mengembangkan dan membina kepribadian yang


83

harmonis pada tiap diri anak sesuai dengan keberadaannya masing-masing,

sehingga ia mampu hidup dan melanjutkan kehidupan pendidikan dalam arti yang

hakiki adalah mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan

melanjutkan kehidupan.

“Pendidikan itu sangat penting sekali bagi saya, sebab dengan


pendidikan seorang anak akan dibentuk kepribadiannya
dengan menanamkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan
sikap agar anak menjadi manusia yang berguna”. (Ujar
informan I).

Pendidikan akan membentuk kepribadian seorang anak, misalnya watak

karakternya, tutur bahasanya, pola pikirnya, tingkah lakunya dan lain-lain.

Pendidikan juga akan memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan

yang berguna bagi kehidupannya kelak, misalnya karya-karya hasil ciptaannya

sendiri sehingga seorang anak bisa lebih kreatif dan terampil.

Sertiap anak mempunyai bermacam-macam tujuan pendidikan yaitu

melihat kepada cita-cita, kebutuhan dan keinginannnya, ada yang mengharapkan

supaya menjadi orang besar yang berjasa kepada nusa dan bangsa, menjadi

dokter, insinyur dan lain-lain. Semua itu tergantung kepada keinginan seorang

anak.

“Menurut saya pendidikan itu sangat penting karena dengan


pendidikan saya dapat mewujudkan cita-cita dan harapan-
harapan saya terhadap masa depan saya sendiri”. (Ujar
informan II)
84

Manusia mempunyai kebutuhan hidup agar kelangsungan hidupnya dapat

terjamin dengan baik. Seorang anak selalu mempunyai keinginan untuk

mempertahankan hidup. Kebutuhan hidup mereka penuh dari usaha yang mereka

lakukan dengan didorong oleh keinginan dan cita-cita yang dimilikinya.

“Duh mbak jujur saja, saya malas mbak belajar udah jauh
sekolahnya dan susah banget pelajarannya, makanya saya
lebih memilih bekerja dan punya uang sendiri. Lagian juga
orangtua saja tidak mampu membiayai sekolah saya lagi.
Kasihan bapak saya uangnya sudah habis untuk membeli obat
ibu saya.” Tutur kata informan III.

Kondisi ekonomi sosial keluarga telah mempengaruhi minat sang anak untuk

berhenti sekolah. Seperti yang dirasakan informan III ini, ia merasa prihatin

melihat kondisi ekonomi keluarganya yang serba kekurangan dan kondisi

kesehatan ibunya yang sedang sakit-sakitan dan membutuhkan banyak biaya.

Ayahnya yang sibuk berdagang dari pagi sampai sore dan ibunya yang sedang

terbaring sakit menyebabkan ia kekurangan kasih sayang dan perhatian dari kedua

orang tuanya. Sehingga si anak sendiri kemudian tidak pernah merasakan bahwa

sekolah itu memang penting bagi masa depannya Hal ini menyebabkan si anak

menjadi malas untuk belajar baik di rumah maupun di sekolah, karena ia melihat

teman-temannya yang sudah bekerja dan punya uang sendiri, sehingga ia pun ikut-

ikutan berhenti sekolah dan lebih memilih bekerja.

Bagi pekerja anak yang putus sekolah, mereka bisa mendapatkan

pendidikan diluar sekolah yang secara potensial dapat membantu dan

menggantikan pendidikan formal dalam aspek-aspek tertentu, seperti


85

keterampilan kejuruan khusus.

“Pendidikan menurut saya sangat penting kak, tapi saya sudah


tidak sekolah lagi, tapi saya belajar menjahit pakaian dengan
tetangga saya. Kalau saya bisa menjahit kan saya jadi bisa
membuka lapangan keja sendiri dirumah dan lumayan
penghasilannya buat biaya kehidupan saya sehari-hari.” Ujar
informan IV.

Walaupun Informan IV sudah tidak belajar di sekolah lagi, namun ia dapat belajar

menjahit di rumahnya. Tujuannya untuk melatih keterampilannya dalam menjahit

pakaian agar dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Pendidikan bukanlah

semata-mata diorientasikan dengan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan yang

tersedia dalam masyarakat, karena perkembangan teknologi dan akan membuka

kehidupan baru dengan spesialisasi yang baru pula. Pendidikan yang baik adalah

pendidikan yang mampu menciptakan lapangan kerja baru setelah mereka

dibekali dengan ilmu, keterampilan dan nilai-nilai dalam masyarakat.

“Menurut saya pendidikan itu menuntut ilmu sampai ke


tingkat perguruan tinggi. Saya ingin tetap terus sekolah mbak
biar pintar, karena bagi saya pendidikan itu sangat penting
untuk masa depan saya. Makanya walaupun saya masih kecil
sudah bekerja, namun saya harus tetap sekolah juga.” Tutur
kata informan V.

Tidak selamanya sekolah sambil bekerja dapat mengakibatkan anak berhenti

sekolah di tengah jalan karena kesibukan bekerjanya. Seperti yang dialami

informan V tersebut, tetapi apabila ia dapat mengatur waktu antara belajar di

sekolah dengan bekerja pasti semuanya dapat berjalan dengan beriringan. Adapun
86

tujuan akhir dari pendidikan ialah memberikan pengetahuan dan keterampilan

kepada anak untuk bekal hidupnya setelah ia tamat dan sekaligus merupakan

dasar persiapan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Memberikan pengetahuan serta pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak

selama di sekolah yang berguna bagi anak untuk kehidupannya di masa

mendatang.

Tabel 5. Makna Sosial Pendidikan bagi Pekerja Anak

No. Nama Makna Pendidikan bagi Pekerja anak


Informan
1. Informan 1 Penting, karena dengan pendidikan seorang anak
akan dibentuk kepribadiannya.
2. Informan 2 Penting, karena dengan pendidikan saya dapat
mewujudkan cita-cita.
3. Informan 3 Kurang penting, malas belajar karena jauh
sekolahnya dan susah banget pelajarannya
4. Informan 4 Penting, karena dengan pendidikan bisa
membuka lapangan keja sendiri dirumah
5. Informan 5 Penting, karena pendidikan itu menuntut ilmu
sampai ke tingkat perguruan tinggi, biar pintar
dan untuk masa depannya

4.3 Eksploitasi Pekerja Anak di Konveksi Pakaian

Pekerja anak mempunyai alasan yang kuat sehingga ia lebih memilih

bekerja dari pada melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Pekerja

anak ingin mempertahankan hidup dengan bekerja dalam jumlah jam yang panjang

dan upah yang rendah. Semua itu ia lakukan karena mereka tidak mempunyai

pilihan lain karena tidak memiliki alat produksi. Jadi satu-satunya pilihan mereka
87

adalah menawarkan tenaga mereka dengan upah dan jam kerja yang ditentukan

oleh majikannya itu supaya dapat bertahan hidup.

Khususnya status ekonomi dari keluarga miskin demikian

memperihatinkan, sehingga istri dan anak-anak terpaksa bekerja berjam-jam

lamanya di dalam pabrik untuk mencukupi pendapatan demi kelangsungan

keluarga mereka. Para suami atau ayah dipaksa memperlakukan anggota keluarga

sebagai sumber pendapatan keluarga.

Teori nilai lebih menurut Marx merupakan diferensi antara nilai pekerjaan

dengan nilai tenaga kerja. Pekerja anak mampu memproduksikan suatu barang

dengan jumlah yang banyak dan jam kerja yang panjang, namun upah yang

diterima pekerja anak sangat rendah tidak sesuai dengan pengorbanannya dalam

memproduksi suatu barang tersebut.

Dalam nilai pekerjaan bahwa pekerja anak di dalam konveksi pakaian

tersebut memberlakukan mekanisme sistem kerja dewasa yang disamakan dengan

mekanisme sistem kerja anak. Dimana jumlah jam kerja pegawai laki-laki 9 jam ke

atas sedangkan pegawai perempuan jumlah 9 jam. Sedangkan jam kerja

perminggunya selama 54 jam dan jam kerja perbulannya selama 216 jam.

Panjangnya jam kerja ini tentu saja sangat menyiksa pekerja anak yang umurnya

masih terlalu dini. Anak yang seharusnya dapat menikmati hidup masa kanak-

kanaknya dengan hak-hak dasar mereka yang ingin berkembang secara sehat dan

wajar.

Menurut teori nilai lebih Kalr Marx bahwa untuk menciptakan nilai yang
88

seimbang dengan upahnya, sebenarnya pekerja anak hanya perlu bekerja selama 4

jam, tetapi karena ia sudah menjual seluruh tenaga kerja kepada majikan, ia harus

menghabiskan seluruhnya artinya ia harus bekerja 9 jam atau lebih. Pekerjaan 5

jam melebihi apa yang perlu untuk menggantikan tenaga kerja anak itu adalah nilai

lebih.

Dalam nilai tenaga kerja bahwa pekerja anak di dalam konveksi pakaian

tersebut masih rendah. Dimana sebagian besar pekerja anak yang bekerja

dikonveksi ini khususnya yang bekerja dibagian buang benang, memotong,

memasang kancing, memasang payet dan memasang ukuran baju dalam waktu 9

jam dengan upah perharinya hanya Rp 15.000 saja atau perbulannya hanya Rp.

450.000. Upah ini tentunya sangat kecil bagi pekerja anak. Sebagian besar

informan mengaku bahwa upahnya itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya

sehari-hari. Belum lagi di konveksi ini pernah terjadi penunggakan gaji yang tidak

dibayar selama 3 bulan.

“Waktu itu pernah mabk ada sebagian pegawai yang belum


digaji selama 3 bulan. Akhirnya sebagian pegawai melakukan
protes dah mogok bekerja kepada pemilik konveksi. Kita
menuntut untuk diberikannya gaji selama 3 bulan tampa
dipotong apapun dan tidak mau dicicil bayarnya. Dan akhirnya
pihak konveksi mau membayarnya tapi mereka pinta waktu
sedikit untuk mengurusi pembayarannya.” Ujar Informan IV.

Sistem kapitalis merupakan suatu sistem yang menghasilkan keuntungan karena

nilai lebih yang diciptakan oleh pekerja anak dengan pekerjaan yang panjang jam

kerjanya serta upah yang rendah. Oleh karena itu Menurut Karl Marx bahwa para
89

pekerja anak dalam sistem kapitalis dipaksa melaksanakan pekerja yang tidak

memungkinkan perkembangan pribadi mereka sebagai manusia dan dapat

merendahkan martabat mereka

Hubungan sosial dapat tercipta diantara pekerja anak dan lingkungannya

baik hubungannya dengan atasan, teman-temannya dan masyarakat yang berada di

kawasan konveksi tersebut. Hubungan pekerja anak dengan atasannya terjalin

sangat baik meskipun diantara pekerja anak pernah dimarahi oleh atasannya.

Kemarahan atasan tidak menyebabkan hubungan keduanya menjadi buruk.

Kemungkinan kemarahan tersebut diakibatkan karena kesalahan anak dalam

bekerja.

“Waktu saya disuru mengangkut pakaian kan ada yang jatuh


pakaiannya, terus saya dicaci maki oleh mandor saya. Ya saya
jadi merasa gak bebas dan takut kalau bertemu dengan mandor
saya lagi. Ya udah saya diam saja, nant kalau dilawan saya
malah dipecat lagi kak.” Tutur kata Informan II.

Namun ada juga pernyataan dari Informan III bahwa kemarahan atasan bekenaan

dengan kualitas produk yang dihasilkan, maka dapat dikatakan bahwa umumnya

kualitas pekerja anak-anak telah cukup memuaskan atasannya. Sedangkan

hubungan pekerja anak dengan teman-teman kerjanya ternyata cukup baik, karena

sesuai dengan pernyataan semua informan bahwa mereka tidak pernah bertengkar

dengan rekan kerjanya. Sedangkan hubungan pekerja anak dengan masyarakat

yang berada dikawasan konveksi juga terjalin dengan baik karena sebagian besar

pekerja anak tinggal di kawasan konveksi tersebut sehinga mereka saling


90

mengenal.

Kondisi lingkungan fisik di dalam konveksi pakaian, suasananya pengap

sangat terasa. Ruangan yang tidak cukup luas di penuhi dengan bahan-bahan dan

peralatan yang memakan banyak tempat. Meskipun demikian, para pekerja anak

tetap jauh dari bahan dan alat yang berbahaya. Semua informan peneliti

menyatakan pernah mengalami gangguan berkaitan dengan kondisi lingkungan

pekerjaan. Yang dimaksud gangguan dalam hal ini meliputi suara bising, asap,

udara panas dan bau amis.

“Udaranya di tempat kerja saya panas, pengap dan berisik


baget karena suara mesin jahitnya. Walaupun tempat ruangan
kerja saya sempit namun gak ada bahan dan alat-ala yang
berbahaya disini.” Ujar informan IV.

Lepas dari risiko yang memang melekat pada suatu jenis pekerjaan, bahwa pada

informan I dan II pernah terluka akibat kecelakaan kerja. Untungnya hanya luka

ringan sehingga tidak memerlukan perawatan khusus.

“Waktu itu saya pernah kecelakaan di tempat kamar mandi


tempat saya bekerja, memang sih kondisi kamar mandinya
tidak terawat jadi ketika saya hendak masuk kedalam kamar
mandi saya jatuh kepeleset mbak, dan terluka:” Tutur Kata
informan VI.

Dalam hal fasilitas kesejahteraan, mereka mendapatkan apa yang didapatkan oleh

pekerja dewasa pada tingkatan yang sama. Jika pekerja anak mengalami

kecelakaan dan merasakan sakit di tempat kerja mereka akan dibawa ke


91

Puskermas.

Tabel 8. Bentuk-Bentuk Eksploitasi terhadap Pekerja Anak

No Nama Bentuk-Bentuk Eksploitasi


Informan
Jam Upah Kerja Perlakuan Kecelakaan
Majikan
1. Informan 1 9 jam Rp .450.000 Memotong Baik Jarinya
Bahan Kepotong
2. Informan 2 9 jam Rp. 500.000 Mengangkut Sering Tidak
Pakaian Dimarahi Pernah
3. Informan 3 9 jam Rp. 450.000 Membuang Sering Tidak
Benang Dimarahi Pernah
4. Informan 4 9 jam Rp. 450.000 Memasang Tidak Jatuh di
Kancing Digaji Kamar
selama 3 Mandi
bulan
5. Informan 5 6 jam Rp. 168.000 Membuang Baik Tidak
Benang Pernah

Panjangnya jam kerja tentu saja membawa berbagai dampak buruk bagi

pekerja anak baik secara fisik maupun mentalnya. Bekerja dalam jangka waktu

yang panjang, selain tidak sesuai dengan kondisi fisik anak-anak, juga mempunyai

dampak sosial lainnya. Dampak tersebut telah mengakibatkan anak-anak

kehilangan empat hak dasarnya yaitu :

a. Pendidikan: Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan. Jam kerja yang

panjang menyebabkan anak tidak memiliki waktu lagi untuk mengeyam

pendidikan karena waktu mereka habis untuk bekerja bahkan ada pembagian

jam kerja pada malam hari sehingga mereka baru sampai di rumah pada pagi

harinya. Jam kerja yang panjang tersebut menyebabkan sang anak disibukkan
92

hari-harinya dengan bekerja sehingga kebanyakan dari mereka yang berhenti

sekolah dan lebih memilih untuk bekerja.

b. Kasih sayang: Kasih sayang kedua orang tuanya pun agak berkurang karena

mereka selalu disibukan dengan bekerja.

c. Waktu bermain: Waktu bermain dengan teman-temannya dirumah pun jadi

terbatas.

Tabel 9. Dampak Eksplotasi terhadap Pekerja Anak

No. Nama Dampak Eksploitasi


Informan
Pendidikan Kasih sayang Waktu
Orang tua Bermain
1. Informan 1 Berhenti Sekolah Berkurang Terbatas
2. Informan 2 Berhenti Sekolah Berkurang Terbatas
3. Informan 3 Berhenti Sekolah Berkurang Terbatas
4. Informan 4 Tidak dapat Melanjutkan Berkurang Terbatas
Sekolah
5. Informan 5 Masih Sekolah Kelas 2 SMP Berkurang Terbatas
93

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Sebagian besar pendidikan bagi pekerja anak sangatlah penting karena

pendidikan di sekolah merupakan proses belajar mengajar untuk menggapai cita-

cita dan harapannya agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi.

Pendidikan yang baik adalah yang mampu menciptakan lapangan kerja baru

setelah mereka dibekali dengan ilmu, keterampilan dan nilai-nilai dalam

masyarakat. Pendidikan akan membentuk kepribadian seorang anak. Namun

pekerja anak juga memperoleh sikap, nilai, keterampilan dan pengetahuan dari

pengalaman-pengalaman sehari-hari dan pengaruh lingkungannya baik dari

keluarga, pekerjaan dan teman bermainnya.

Kemiskinan orang tua adalah merupakan salah satu faktor yang sering

menghalangi dan menghambat kelancaran pendidikan anak-anak mereka. Karena

sebagian besar Informan berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi rendah.

Disamping itu juga biaya pendidikan yang cukup besar, tidak seimbang dengan

uang yang mungkin mereka terima sebagai pekerja. Selaion itu juga terjadinya

keterbatasan kesadaran orangtua terhadap pendidikan dan tidak meratanya

penyediaan sarana dan prasarana sekolah telah menghambat pekerja anak untuk

mendapatkan pendidikan formal. Tujuan pendidikan bagi sebagian besar pekerja

anak ingin merubah status sosialnya lebih tinggi dari orang tuanya agar
94

menginginkan kehidupannya kelak bisa lebih baik lagi.

Bagi pihak konveksi pakaian memperkerjakan anak merupakan salah satu

strategi perusahaan untuk mencari keuntungan. Konveksi pakaian menerima anak-

anak untuk bekerja karena pekerjaan yang dilakukan memang cocok dikerjakan

oleh anak-anak. Konveksi tersebut tidak memerlukan keterampilan khusus. Anak-

anak ini banyak dicari karena mereka dapat dibayar lebih murah, mereka pun patuh

dan tidak membantah, mau ditempatkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan

mau bekerja dengan jam kerja panjang.

Namun karena sebagian besar orang tua informan tidak memiliki

pekerjaan tetap atau hanya bersifat temporer saja, maka mereka pun kemudian

hanya bisa pasrah dan akibatnya pendidikan anak terpaksa dikorbankan. Pekerja

anak dengan pilihan rasionalnya beserta alasan yang kuat sehingga ia lebih

memilih bekerja dari pada melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi.

Pekerja anak bekerja dengan jumlah jam yang panjang dan upah yang rendah.

Namun pekerja anak hampir tidak mempunyai pilihan lain karena tidak memiliki

alat produksi. Jadi satu-satunya pilihan mereka adalah menawarkan tenaga mereka

dengan upah dan jam kerja yang ditentukan oleh majikannya itu supaya dapat

bertahan hidup.

Dalam sistem kapitalis merupakan suatu sistem yang menghasilkan

keuntungan karena nilai lebih yang diciptakan oleh pekerja anak dengan pekerjaan

yang panjang jam kerjanya serta upah yang rendah. Oleh karena itu Menurut Karl

Marx bahwa para pekerja anak dalam sistem kapitalis dipaksa melaksanakan
95

pekerja yang tidak memungkinkan perkembangan pribadi mereka sebagai manusia

dan dapat merendahkan martabat mereka

Mekanisme jumlah jam kerja yang berlaku pada konveksi pakaian ini

telah mengeksploitasi tenaga pekerja anak yang berbeda berdasarkan jenis kelamin.

Jumlah jam kerja pegawai seharinya sekitar 9 jam. Panjangnya jam kerja ini tentu

saja sangat menyiksa pekerja anak yang umurnya masih terlalu dini. Anak yang

seharusnya dapat menikmati hidup masa kanak-kanaknya dengan hak-hak dasar

mereka yang ingin berkembang secara sehat dan wajar. Selain itu juga Upah yang

rendah tidak sesuai tenaga yang dikeluarkan pekerja anak. Upah perhari pekerja

anak hanya Rp. 15.000 atau perbulannya hanya sekitar Rp 450.000. Upah ini

tentunya sangat kecil bagi pekerja anak. Sebagian besar informan mengaku bahwa

upahnya itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Panjangnya jam kerja tentu saja membawa berbagai dampak buruk bagi

pekerja anak baik secara fisik maupun mentalnya. Bekerja dalam jangka waktu

yang panjang, selain tidak sesuai dengan kondisi fisik anak-anak, juga mempunyai

dampak sosial lainnya. Dampak tersebut telah mengakibatkan anak-anak

kehilangan empat hak dasarnya yaitu jam kerja yang panjang menyebabkan anak

tidak memiliki waktu lagi untuk mengeyam pendidikan karena waktu mereka habis

untuk bekerja, kasih sayang kedua orang tuanya pun agak berkurang karena

mereka selalu disibukan dengan bekerja dan waktu bermain dengan teman-

temannya dirumah pun jadi terbatas.


96

5.2 Saran

1) Anak yang masih diusia 15 kebawah, harus lebih fokus dengan sekolahnya

karena pendidikan itu sangat penting bagi masa depannya. Kalaupun emang

keadaan ekonomi yang memaksanya untuk bekerja, diharapkan pekerja anak

mengambil waktu sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hanya

4 jam dalam sehari dan juga pekerja anak harus bisa mengatur waktu baik

untuk belajar di sekolah maupun untuk bekerja.

2) Adanya kesadaran orang tua khususnya dari keluarga miskin untuk menganggap

penting pendidikan anak serta peran orang tua membantu anak dalam mengatur

waktunya untuk belajar dan bekerja

3) Diharapkan bagi pihak konveksi pakaian untuk memberikan waktu kerja bagi

pekerja anak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hanya 4 jam

saja agar pekerja anak dapat melanjutkan pendidikannya lagi dan memberi upah

yang sesuai dengan UMR yang berlaku di Indonesia.


97

DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Irsan. Industri kecil: sebuah tinjauan dan perbandingan. Jakarta: LP3 ES,

1986.

Ensiklopedia Indonesia, Volume 3. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1982.

Grolirt Incorporation, Ancyclopedia International. New York: Grolier Inc, 1968.

Haryati, Lin. Perlindungan Hak Anak pada Pekerja Anak (Survey pada Pekerja Anak

di Proyek Penggalian Pasir Kecamatan Panongan Tangerang). Jakarta:

Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, FIP, UNJ, 2002.

Http://www.kotabekasi.go.id/content/script/close%20tanpa%20tanggapan.php?&id=2

38, Sejarah Kota Bekasi, Diakses pada tanggal 25 Oktober 2008.

Http:www.datastatistik_indonesia.com/compenent/option,com_tabel/kat,1/idtabel,111

/itemid,165, September 2008, 13.00.

Http://www.depperin.go.id/asp/otda/regulasi/kmdn5.htm, Keputusan Menteri Dalam

Negeri dan Otonomi Daerah tentang Penanggulangan Pekerja Anak, 5

September 2008, 13.30.

Http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-res-2000-

dwi-1287-anakjalanan&q=anak. Karakteristik Sosial Ekonomi dan

Demografi Anak jalanan di Kotamadya Malang. Diakses pada tanggal 20

Oktober 2008.

Http://www.indosiar.com/new/anda-perlu-tahu/60083_pekerja-anak-dominasi-

ekonomi-keluarga, Pekerja anak, Dominasi Ekonomi Keluarga, 5


98

september 2008, 13.00.

Http://www.sekitarkita.com/more.php?id:637_0_1_0_m,Pemenuhan Hak Pendidikan

Para Pekerja Anak, 21 april 2008, 13.30.

Joesoef, Daoed. Pengantar Umum Pendidikan. Surabaya: Aksara Baru, 1982.

Kompas. Malangnya Buruh Anak-Anak Malang. 21 April 2008.

Magnis, Franz. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis Keperselisihan

Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Margono, S. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Moleong, Lexy. Metodologi Pendekatan Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2004.

Rika Mahardhika, Rika. Eksploitasi terhadap Pekerja Anak Nelayan (Sudi di Muara

Angke, Pluit, Jakarta Utara). Jakarta: Program Studi PPKN, jurusan ISP,

FIS, UNJ, 2003.

Saptaningtyas, Haryani. Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga, 1991.

Siahaan, Bisuk. Industrialisasi di Indonesia. Bandung: ITB, 2000.

Suherman, Anang. Dampak Pembangunan kawasan Industri Jabeka terhadap

tingkap pendidikan anak, Jakarta: Ilmu Sosial Politik Universias Negeri

Jakarta, 2006.

Suyanto, Bagong. Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya. Surabaya:

Airlangga University Press, 2003.

Tunggal, Hadi Setia. Konvensi Hak-Hak anak. Jakarta: Harvarindo, 2000.

Usman, Hardius. Pekerja Anak di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widasarana


99

Indonesia, 2004.

Veronica, Tiurma Junita. Pekerja Anak Sektor Industr: study Korelasi Persepsi

Pekerja anak terhadap Industri dengan Minat Bersekolah di Daerah

Tanggerang. Jakarta: Program studi Administrasi Perkantoran, jurusan

Pendidikan Ekonomi, FPIPS, IKIP Universitas Negeri Jakarta, 1999.

Wie, Thee Kian. Industrialisasi di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,

Mei 1996.

Yusuf, A. Muri. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indinesia, 1986.

You might also like