You are on page 1of 24

Negara Indonesia terletak di zona pertemuan beberapa lempeng bumi aktif yang saling berinteraksi dan membentuk zona

tunjaman dan tumbukan, sesar-sesar aktif, dan rangkaian pegunungan berapi. Beberapa gempa besar yang terjadi dalam 10 tahun terakhir mengakibatkan banyak sekali korban jiwa dan kerugian material yang cukup besar. Beberapa gempa besar yang terjadi dalam dekade terakhir di Indonesia yaitu gempa Bengkulu 2000 (Mw 7.8), gempa Aceh-Andaman Tsunami 2004 (Mw 9.2), gempa Nias-Simelue 2005(Mw 8.7), gempa Jogyakarta Mei 2006, gempa Jawa selatan yang diikuti tsunami 2006 (Mw 7.6), gempa Bengkulu (Mw 8.4 and Mw 7.9) dan gempa terbaru di Padang (Mw 7.6) pada September 2009. Rangkaian kejadian gempa ini menunjukan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap bencana gempa. Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun ini akan memiliki program studi pasca sarjana yang baru yaitu Program Pasca Sarjana Gempa Bumi dan Tektonik Aktif atau yang juga disebut GREAT (Graduate Research on Earthquake and Active Tectonics). GREAT merupakan program pendidikan kerjasama FITB ITB, LIPI, dan AIFDR (Australia Indonesia Facility For Disaster Reduction) yang bertujuan untuk mempelajari proses dan sumber kegempaan di Indonesia. GREAT diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memprediksi potensi gempa dan mitigasi bencana melalui kegiatan pendidikan dan penelitian yang terintegrasi dari sudut pandang, geologi, seismologi dan geodesi yang mencakup bidang penelitian seperti neotectonicists, tectonic geodesists, paleoseismologists, seismologists dan marine geophysics. Institut Teknologi Bandung sebagai salah satu perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi Center of Excellence dalam penanganan bencana di Indonesia dengan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam membuat sistem penanggulangan bencana untuk mengurangi resiko korban jiwa dan kerugian material akibat bencana. Di Indonesia sendiri sampai saat ini tidak ada program pendidikan yang khusus untuk mempelajari gempa, padahal kondisi Indonesia yang rawan bencana gempa memerlukan ahli-ahli kegempan. Karena kebutuhan tersebut maka program pendidikan pasca sarjana ini dibuka. Saat ini (2 Febuari 2011) sudah ada 7 mahasiswa yang telah terdaftar untuk program pendidikan ini, berasal dari Badan Geologi, instansi pemerintah, dan mahasiswa ITB yang meneruskan pendidikan. Adapun program ini mendapatkan bantuan dana dari Program Bahaya Gempa Bumi Nasional senilai A$5,5 juta yang didapatkan dari Pemerintah Australia. Mengenai fasilitas yang dimiliki, Program penelitian dan pengajaran GREAT ini akan dilaksanakan di ITB dan LIPI meliputi ruangan kuliah dan laboratorium sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. LabEarth (Geoteknologi LIPI) GIS Laboratory (Geoteknologi LIPI) GIS and Remote Sensing Laboratory (ITB) Sedimentology and paleotsunami lab (Geoteknologi LIPI) Seminar rooms (Pangea and Banda rooms, Geoteknologi LIPI) Seismological laboratory (ITB) Geodesy Laboratory (ITB) Lecture and multi media room (ITB) Tectonic Laboratory at Geology (ITB)

Program GREAT sendiri akan dimulai dengan perkuliahan mahasiswa pertamanya pada Semester 1 tahun 2011. Sebelum menjadi program studi pasca sarjana yang mandiri di lingkungan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, pada tahap awal GREAT akan menjadi opsi dari Prodi Pasca Sarjana Sains Kebumian terlebih dahulu. Pada pertengahan tahun 2011 diharapkan GREAT telah menjadi Program Studi tersendiri yang terpisah dari Sains Kebumian. Dalam 4 tahun pertama program ini akan difokuskan pada program pasca sarjana S2 (Magister) serta beberapa mahasiswa terpilih untuk program S3 (Doktor). Program Magister GREAT akan terdiri dari 2 semeter perkuliahan dan 2 semester penelitian, tetapi mahasiswa sangat disarankan untuk melakukan penelitian sejak awal proses perkuliahan. Staf pengajar untuk program ini terdiri dari dosen dan peneliti dari ITB dan LIPI, serta instansi terkait lainnya, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Prof. Hasanuddin Z. Abidin (S3 University of Brunswick Canada, 1992) Lambok Hutasoit, Ph.D (S3 Northern Illinois Univ, USA, 1992) Prof. Hery Harjono (S3 Universite De Paris XI, France) Prof. I Wayan Sengara (S3 Univ. Wisconsin, USA) Prof. Sri Widiyantoro (S3 Australia National University, 1997) Dr. Danny Hilman Natawidjaja (S3 California Institute of Technology, USA) Dr. Benjamin Sapiie (S3 Texas Austin Univ, USA, 1998) Dr. Imam Sadisun (S3 Kyushu University, Japan)

9. Dr. Eko Yulianto (S3 Hokkaido University, Japan) 10. Ign. Sonny Winardhie, Ph.D (Univ. W. Ontario Canada, 1997) 11. Dr. Wahyu Triyoso (S3 University of Tokyo, Japan, 2002) 12. Dr. Hamzah Latief (S3 Tohoku University, Japan, 2000) 13. Dr. Irwan Meilano (S3 Nagoya University, Japan, 2006) 14. Afnimar, Ph.D (S3 University of Tokyo, Japan 2002) 15. Dr. Andri Dian Nugraha (S3 Kyoto University, Japan, 2009) 16. Dr. Saut Sagala (S3 Kyoto University, Japan, 2009) Tertarik untuk menjadi seorang ahli kegempaan? Tidak ada salahnya untuk mengunjungi situs web ini http://www.fitb.itb.ac.id/great/?page_id=28 untuk mendaftarkan diri.. :-D Sumber: * http://bandung.detik.com/read/2011/02/02/155442/1559140/486/itb-kini-punya-program-studi-gempabumi-dan-tektonik-aktif?881104485&utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter * http://www.fitb.itb.ac.id/great/?p=35 Tags: AIFDR, BNPN, FITB, GempaBumi, GREAT, ITB, LIPI Comment Sejarah Geologi Jawa Barat, ditinjau dari sejarah sedimentasi dan pembentukan strukturnya Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han Leave a comment January 30, 2011 1. Sejarah Sedimentasi Jawa Barat Cekungan Bogor merupakan penamaan bagi suatu mandala sedimentasi yang melampar dari utara ke selatan di daerah Jawa Barat, posisi tektonik dari Cekungan Bogor ini sendiri dari zaman Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan (Martodjojo,1984). Batuan tertua pada Mandala Cekungan Bogor berumur Eosen Awal yaitu Formasi Ciletuh (Gambar1). Di bawah formasi ini diendapkan kompleks Mlange Ciletuh yang merupakan olisostrom. Formasi ini terdiri dari lempung, pasir dengan sisipan breksi, diendapkan dalam kondisi laut dalam, berupa endapan lereng palung bawah (Martodjojo, 1984 dalam Argapadmi, 2009). Gambar 1. Kolom stratigrafi selatan-utara Jawa Barat (Martodjojo, 1984 dalam Santana, 2007) Pada Kala Oligo-Miosen diendapkan Formasi Bayah yang dicirikan dengan lingkungan berupa sungai teranyam dan kelok lemah. Formasi ini merupakan perselingan pasir konglomeratan dan lempung dengan sisipan batubara (Martodjojo, 1984 dalam Argapadmi, 2009). Lalu di atasnya diendapkan secara tidak selaras Formasi Batu Asih dan Formasi Rajamandala yang merupakan endapan laut dangkal (Gambar 1). Formasi Batuasih terdiri dari lempung laut dengan sisipan pasir gampingan sedangkan Formasi Rajamandala merupakan endapan khas tepi selatan Cekungan Bogor yang terdiri dari batugamping. Kedudukan Cekungan Bogor pada kala ini tidak dapat diidentifikasikan dengan jelas. Hadirnya komponen kuarsa yang dominan pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi pada kala tersebut berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar berasal dari Daratan Sunda yang berada di utara (Gambar 2). Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunung api dengan batuan bersifat basalt sampai andesit yang berasal dari selatan dan terendapkan dalam Cekungan Bogor yang pada kala ini merupakan cekungan belakang busur (Gambar 2). Cepatnya penyebaran dan pengendapan rombakan deratan gunung api ini telah mematikan pertumbuhan terumbu Formasi Rajamandala sehingga endapan volkanik yang dikenal dengan nama Formasi Jampang dan Formasi Citarum mulai diendapkan pada lingkungan marin (Gambar 1). Formasi Jampang yang berciri lebih kasar daripada Formasi Citarum diendapkan di bagin dalam dari sistem kipas laut sedangkan Formasi Citarum diendapkan di bagian luar dari sistem kipas laut. Pada Kala Miosen Tengah status Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang busur dengan diendapkannya Formasi Saguling pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi (Gambar 1).

Ciri umum dari formasi ini memiliki banyak sisipan breksi atau breksi konglomeratan. Formasi Cimandiri yang juga berumur Miosen Tengah menutupi Formasi Jampang (Gambar 1). Formasi ini terdiri dari lempung gamping yang konglomeratan yang dikenal sebagai Nyalindung Beds, tetapi peneliti yang lainnya (Effendi et al, 1998 dalam Argapadmi, 2009) menamakan Formasi Cimandiri di beberapa daerah sebagai Formasi Nyalindung yang terdiri atas batupasir glaukonit gampingan hijau, batulempung, napal pasiran, konglomerat, breksi, dan batugamping. Formasi Bojonglopang yang memiliki hubungan menjemari dengan Formasi Cimandiri juga diendapkan pada Miosen Tengah. Peneliti yang lain (Duyfjes, 1939 dalam Martodjojo, 1984 dalam Argapadmi, 2009) menamakan formasi ini sebagai Anggota Bojonglopang Formasi Cimandiri. Karakteristik utama dari formasi ini adalah litologi batugampingnya. Pada kala akhir Miosen Tengah mulai diendapkan Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan turbidit halus aktivitas kipas laut dalam yang terdiri dari perselingan batupasir greywacke dan lempung (Gambar 1). Cekungan Bogor pada kala ini sudah semakin sempit menjadi suatu cekungan memanjang yang mendekati bentuk fisiografi zona Bogor (van Bemmelen, 1949). Pada daerah ini penurunan merupakan gerak tektonik yang dominan (Gambar 2). Gambar 2 Rekontruksi Tektonik Pulau Jawa bagian barat (Suparka dan Susanto, 2008) Pada Kala Miosen Akhir, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang busur dengan diendapkannya Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan yang diendapkan pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi (Gambar 1). Formasi Subang diendapkan di bagian utara menunjukan lingkungan pengendapan paparan (Kurniawan, 2008). Pada Kala Pliosen, Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati oleh puncak-puncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis (Gambar 2). Sebenarnya pendangkalan Cekungan Bogor ini dimulai dari selatan pada umur Miosen Tengah dan berakhir di sebelah utara pada umur Plistosen. Formasi Kaliwangu diendapkan di atas Formasi Subang pada Pliosen Awal dan menunjukan lingkungan pengendapan transisi. Daerah pegunungan selatan bagian selatan mengalami penurunan dan genang laut yang menghasilkan Formasi Bentang sedangkan di bagian utara terjadi aktivitas gunung api yang menghasilkan Formasi Beser. Pada Kala Plistosen sampai Resen, geologi Pulau Jawa sama dengan sekarang. Aktivitas gunungapi yang besar terjadi pada permulaan Plistosen yang menghasilkan Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda, sekaligus pusat gunung api dari selatan berpindah ke tengah Pulau Jawa yang merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh gugusan gunung api sirkum pasifik (Karig dan Sharman, 1955 dalam Martodjojo, 2003 dalam Santana, 2007). 2 Sejarah Pembentukan Strukur Jawa Barat Berdasarkan hasil studi pola struktur di Pulau Jawa, Pulonggono dan Martodjojo (1994) menyimpulkan bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi perubahan tatanan tektonik di Pulau Jawa. Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur 80-52 juta tahun yang lalulu yang diduga merupakan arah awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda. Arah ini berkembang di Jawa Barat dan memanjang hingga Jawa Timur pada rentang waktu Eosen-Oligosen Akhir. Di Jawa Barat, Pola Meratus diwakili oleh Sesar Cimandiri yang kemudian tampak dominan di lepas pantai utara Jawa Timur. Sesar ini juga berkembang di bagian selatan Jawa. Gambar 3 Pola umum struktur Jawa Barat ( Martodjojo, 1994 dalam Sontana, 2007). Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-Oligosen Akhir (Gambar 2). Pola ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat. Penunjaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan tektonik kompresi yang menghasilkan Pola Jawa. Di Jawa Tengah hampir semua sesar di jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Pada Kala Miosen Awal-Pliosen, Cekungan Bogor yang Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah statusnya menjadi cekungan belakang busur magmatik sehingga terbentuk sesar-sesar anjakan dan lipatan (Gambar 2).

PUSTAKA Argapadmi, Windeati, 2009, Undergraduate Theses: Geologi dan Analisis Struktur Daerah Pasiruren dan sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-windeatiar-33921&q=geologi%20jawa%20barat. Kurniawan, Wendy, 2008, Undergraduate Theses: Geologi dan Analisis Struktur Geologi untuk Karakterisasi Sesar Anjak di Daerah Gunung Masigit dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-wendykurni33769&q=geologi%20jawa%20barat. Santana, Sonny, 2007, Master Theses: Rekonstruksi Cekungan Paleogen Daerah Jawa Barat Bagian Selatan, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-sonnysanta28254&q=struktur%20jawa%20barat. Sontana, Rizky, 2007, Udergraduate Theses: Geologi dan Hidrogeologi Daerah Campaka dan Sekitarnya, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-rizky-27048&q= purwakarta%20geology. Tags: Cekungan Bogor, Pembentukan Struktur, Sejarah Sedimentasi Jawa Barat Comment Cekungan Tarakan Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han Leave a comment November 30, 2010 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN KALIMANTAN TIMUR UTARA Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan (IBS, 2006) merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon di Kalimantan Timur bagian utara. Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi 4 sub-cekungan yaitu: Sub-cekungan Tidung, Sub-cekungan Berau, Sub-cekungan Tarakan, dan Sub-cekungan Muara (Biantoro dkk., 1996; IBS, 2006). Batas-batas dari empat sub-cekungan tersebut adalah zona-zona sesar dan tinggian-tinggian. Bagian utara dari Cekungan Kalimantan Timur Utara dibatasi oleh Tinggian Samporna yang terletak sedikit ke utara dari perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia. Bagian barat ke arah Kalimantan dibatasi oleh Punggungan Sekatak-Berau. Sedangkan di bagian selatan, terdapat Punggungan Mangkalihat yang memisahkan Cekungan Tarakan dengan Cekungan Kutai. Batas timur dan tenggara dari cekungan ini berupa laut lepas Selat Makasar. Gambar 1. Peta lokasi Sub-Cekungan Tarakan (Biantoro dkk., 1996). TEKTONIK SETTING CEKUNGAN TARAKAN Perkembangan struktur-struktur di Sub-cekungan Tarakan, Cekungan Tarakan berlangsung dalam beberapa tahapan yang mempengaruhi pengendapan sedimen pada area tersebut. Konfigurasi secara struktural sudah dimulai oleh rifting sejak Eosen Awal, menyebabkan perkembangan dari graben-graben dan horsthorst yang tersesarkan. Pada graben-graben ini terdapat sedimen-sedimen tertua pada sub-cekungan ini, seperti Formasi Sembakung yang terkompaksi kuat. Meskipun sedimen-sedimen pra-Tersier tidak terpenetrasi pada banyak sumur yang dibor pada daerah tersebut, seismik yang dilakukan dapat mendeteksi keberadaan sedimen-sedimen tersebut (Biantoro dkk., 1996). Proses Rifting berjalan secara kontemporer dengan pengangkatan di bagian barat dari sub-cekungan yang mengontrol siklus-siklus pengendapan sedimen pada sub-cekungan tersebut. Pengangkatan pada Eosen Tengan menyebabkan erosi pada Tinggian/Punggungan Sekatak dan dimulainya pengendapan sedimensedimen dari siklus yang pertama (Siklus 1). Pengendapan siklus yang kedua (Siklus 2) dimulai sejak pengangkatan Oligosen Awal, dengan sedimensedimen yang diendapkan secara ketidakselarasan terhadap Siklus 1. Sedimen-sedimen Siklus 2 ini diendapkan pada fasa transgresif. Fasa ini berubah menjadi regresif ketika proses rifting dan pengangkatan mencapai puncaknya pada akhir dair Miosen Akhir. Pengangkatan yang kedua ini berbeda dengan proses pengangkatan pertama karena berkembang ke arah timur dan menghasilkan Punggungan Dasin-Fanny. Proses rifting dan pengangkatan ini menghasilkan sesar-sesar normal yang memiliki arah timurlaut-

baratdaya. Gambar 2. Tektonik Sub-Cekungan Tarakan (Modifikasi dari Biantoro dkk., 1996). Proses-proses rifting, pengangkatan, dan reaktivasi sesar-sesar tua mempengaruhi perkembangan struktur dan siklus pengendapan di Sub-Cekungan Tarakan. Siklus 3 yang regresif kemudian diendapkan di lingkungan transisional-deltaik. Sedimen-sedimen yang diendapkan dalam jumlah yang besar menyebabkan rekativasi dari sesar-sesar tua yang terbentuk selama Oligosen sampai Miosen Awal yang berkembang menjadi growth fault. Petumbuhan dari sesar-sesar tersebut berhenti untuk sementara waktu pada awal pengendapan dari Formasi Santul dikarenakan oleh terjadinya fasa trangresif yang pendek. Pensesaran tersebut berlangsung selama Pliosen ketika siklus pengedapan keempat (Siklus 4), yaitu Formasi Tarakan diendapkan. Aktivitas Tektonik pada Pliosen Akhir-Pleistosen bersifat kompresif dan menghasilkan sesar-sesar strike-slip. Di beberapa tempat, kompresi ini menginversikan sesar-sesar normal menjadi sesar-sesar naik (Biantoro dkk., 1996). Kegiatan tekonik yang menyebabkan pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran keseluruhan daerah cekungan Tarakan KETIDAKSELARASAN DI BEBERAPA TEMPAT (Pliosen Akhir) Pada Siklus 5 yang merupakan siklus pengendapan terakhir pada sub-cekungan ini, diendapakan Formasi Bunyu. STRATIGRAFI Batuan dasar pada cekungan Kalimantan Timur Utara terdiri dari sedimen-sedimen berumur tua, meliputi Formasi Danau (Heriyanto dkk., 1991) atau disebut juga Formasi Damiu (IBS, 2006), Formasi Sembakung, dan Batulempung Malio. Sedimen-sedimen tersebut telah terkompaksi, terlipatkan, dan tersesarkan. Formasi Danau Formasi Danau terdeformasi kuat dan sebagian termetamorfosa, mengandung breksi terserpentinitisasi, rijang radiolaria, spilit, serpih, slate, dan kuarsa. Formasi Sembakung dan Batulempung Malio Formasi Sembakung diendapkan di atas Formasi Danau secara tidak selaras. Formasi ini terdiri dari sedimen volkanik dan klastik yang berumur Eosen Awal-Eosen Tengah. Di atas Formasi Sembakung diendapkan batulempung berfosil, karbonatan, dan mikaan yang dikenal dengan Batulempung Malio yang berumur Eosen Tengah. Gambar 3. Kolom Stratigrafi Cekungan Kalimantan Timur Utara (kiri: dimodifikasi dari Heriyanto dkk., 1991; kanan: IBS, 2006) Siklus 1: Formasi Sujau, Mangkabua, dan Selor (Eosen Akhir Oligosen) Sedimen-sedimen pada Siklus 1 diendapkan secara tidak selaras terhadap Formasi Sembakung dan memiliki lingkungan pengendapan dari laut littoral sampai dangkal. Formasi Sujau terdiri dari sedimen klastik (konglomerat dan batupasir), serpih, dan volkanik. Klastika Formasi Sujau merepresentasikan tahap pertama pengisian cekungan graben-like yang mungkin terbentuk sebagai akibat dari pemakaran Makassar pada Eosen Awal. Produk erosional dari Paparan Sunda di sebelah barat terakumulasi bersamaan dengan endapan gunungapi dan pirokasltik pada bagian bawah siklus ini. Keberadaan lapisan-lapisan batubara dan interkalasi napal pada bagian bawah mengindikasikan fasies pengendapan danau yang bergradasi ke atas menjadi lingkungan laut. Batugamping mikritik dari Formasi Seilor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Sujau dan Formasi Mangkabua yang terdiri dari serpih laut dan napal yang berumur Oligosen menjadi penciri perubahan suksesi ke basinward. Batuan sedimen siklus 1 terangkat, sebagian tersingkap dan tererosi sebagian di tepi barat dari cekungan berkaitan dengan aktivitas volkanisme yang terjadi sepanjang tepian deposenter pada akhir Oligosen. Siklus 2: Formasi Tempilan, Formasi Taballar, Napal Mesalai, Formasi Naintupo (Oligosen Akhir Miosen Tengah). Sedimen-sedimen yang diendapkan di atas sedimen sebelumnya secara tidak selaras. Sedimen-sedimen

tersebut merupakan sikuen-sikuen transgersif dan tidak terlalu terdeformasi. Fasies klastik basal dari Formasi Tempilan diendapkan pertama kali pada siklus ini dan diikuti oleh batugamping mikritik dari Formasi Taballar. Formasi Taballar merupakan sikuen paparan karbonat dengan perkembangan reef lokal Oligosen Akhir sampai Miosen Awal. Formasi ini secara gradual menipis ke arah cekungan terhadap napal Mesalai yang kemudian berubah menjadi Formasi Naintupo di atasnya. Formasi Naintupo terdiri dari lempung dan serpih yang bergradasi ke atas menjadi napal dan batugamping yang menandakan meluasnya genang laut di cekungan Tarakan. Siklus 3: Formasi Meliat, Formasi Tabul, dan Formasi Santul (Miosen Tengah Miosen Akhir). Sedimen-sedimen dari siklus 3 ini terdiri dari sikuen-sikuen deltaik regresif yang terbentuk setelah tektonisma Miosen Awal (Orogenesa Intra-Miosen). Siklus sedimentasi ini terbagi menjadi 3 formasi, yaitu: Formasi Meliat, Tabul, dan Santul. Perbedaan sikuen deltaik antara formasi-formasi tersebut sulit untuk diuji dan dibedakan mengingat sedikitnya fosil-fosil yang dapat ditemukan dan kesamaan litologi antar formasiformasi tersebut. Pengangkatan yang terjadi menyebabkan berhentinya fasa genang laut dan perubahan lingkungan pengendapan yang semula bersifat laut terbuka menjadi lebih paralik. Perubahan ini mengawali pola pengendapan baru di Cekungan Tarakan yang membentuk delta-delta konstruktif dengan progradasi dari barat ke timur. Formasi Meliat merupakan nama formasi tertua dari siklus 3 dan diendapkan secara tidak selaras dengan Serpih Naintupo. Formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih karbonatan, dan batugamping tipis. Di beberapa bagian, Formasi Meliat terdiri dari batulanau dan serpih dengan sedikit lensa-lensa batupasir. Formasi Tabul terdiri dari batupasir, batulanau, dan serpih yang kadang disertai dengan kemunculan lapisan batubara dan batugamping. Bagian paling atas dari siklus ini adalah Formasi Santul. Pada formasi ini sering dijumpai lapisan batubara tipis yang berinterkalasi dengan batupasir, batulanau, dan batulempung, yang diendapkan di lingkungan delta plain sampai delta front pada Miosen Akhir. Siklus 4: Formasi Tarakan (Pliosen) Pada siklus sedimentasi Pliosen, diendapkan Formasi Tarakan. Formasi ini terdiri dari interbeding batulempung, serpih, batupasir, dan lapisan-lapisan batubata lignit, yang menunjukan fasies pengendapan delta plain. Dasar dari Formasi Tarakan pada beberapa ditepresentasikan oleh ketidakselarasan, sedangkan di Pulau Bunyu, kontak antara Formasi Santul dengan Tarakan bersifat transisional. Siklus 5: Formasi Bunyu (Pleistosen) Sejak Pliosen, sedimen fluviomarine yang sangat tebal terbentuk, terutama terdiri dari perlapisan batupasir delta, serpih, dan batubara. Sedimen Kuarter dari siklus 5 dinamakan Formasi Bunyu, diendapkan di lingkungan delta plain sampai fluviatil. Batupasir tebal, berukuran butir medium sampai kasar, kadangkala konglomeratan dan interbeding batubara lignit dengan serpih merupakan litologi penyusun dari formasi Bunyu. Batupasir formasi ini lebih tebal, kasar, dan kurang terkonsilidasi jika dibandingkan dengan batupasir Formasi Tarakan. Batas bawah dari Formasi ini dapat bersifat tidak selaras maupun transisional. Meningginya muka laut pada kala Pleistosen Akhir menyebabkan garis pantai mundur ke arah barat seperti garis pantai saat ini.

Daftar Pustaka Biantoro, E., Kusuma, M. I., Rotinsulu, L. F. 1996.Tarakan Sub-basin Growth Fault, North-East Kalimantan: Their Roles in Hydrocarbon Entrapments. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 21st Silver Anniversary Convention, 175-189. Heriyanto, N., Satoto, W., Sardjono, S. 1992. An Overview of Hydrocarbon Maturity and Its Migration Aspects in Bunyu Island, Tarakan Basin. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 21st Annual Convention, vol. 1, hal. 1-22. Heriyanto, N., Satoto, W., Sardjono, S. 1991. Pematangan Hidrokarbon dan Hipotesa Migrasi Di Pulau Bunyu Cekungan Tarakan. Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-20, hal.

261-280. Patra Nusa Data. 2006. Indonesia Basin Summaries (IBS). Tags: Geologi Regional Cekungan Tarakan, Stratigrafi Cekungan Tarakan, Tektonik Setting Cekungan Tarakan Comment Akustik Impedan dan Koefisien Refleksi Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han Leave a comment November 13, 2010 Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah soal UTS suatu mata kuliah yang nggak saya ambil.. Karena saya tahu baagimana mencari jawabannya, saya memutuskan untuk mengerjakannya mudahmudahan bisa membantu teman-teman yang lain untuk mengerjakan soal yang hampir mirip Soal tersebut mempertanyakan akustik impedan dari 4 lapisan batuan dan koefisien refleksi antar tiap lapisan tersebut. Soal : Dasar Teori: Acoustic Impedance (Akustik Impedan, AI) merupakan parameter batuan yang dipengaruhi oleh tipe dari litologi, porositas, kandungan fluida, kedalaman, tekanan dan temperatur. Kecepatan gelombang yang merambat dan memantul merupakan faktor yang mempengarui besar-kecilnya AI secara dominan, dan rumus untuk mencari AI dapat dicari dengan formula berikut ini: 1. Z = .Vp dengan Z = AI = Acoustic Impedance = densitas bulk batuan Vp = kecepatan rambat gelombang P pada batuan Refflection Coefficient (Koefisen Refleksi, RC) merupakan koefisen yang dihasilkan dari perbedaan akustik impedan untuk tiap lapisan dalam fungsi waktu. RC dirumuskan degan formula sebagai berikut: 1. RC = (Zlower Zupper)/(Zlower+Zupper) dengan Zlower = Z pada lapisan batuan bawah Zupper = Z pada lapisan batuan atas RC = Reflection Coefficient Jawab : Dengan menggunakan Ms.Excel didapatkan nilai Z pada masing-masing lapisan batuan, yaitu sebagai berikut ini: Lapisan Litologi Vp (m/s) Density (g/cm) AI (kg/m2.s) 1 Upper Shale 3600 2 7200 2 Limestone 6000 2,4 14400 3 Sandstone 4500 2,2 9900 4 Lower Shale 3600 2,1 7560 Jadi, nilai AI untuk lapisan 1 adalah 7200 kg/m2s, lapisan 2 adalah 14400 kg/m2s, lapisan 3 adalah 9900 kg/m2s, dan lapisan 4 adalah 7560 kg/m2s. Litologi Z Lower Z Upper a b R Lower Upper AI Lower AI Upper (Z Lower Z Upper) (Z Lower + Z Upper)

Limestone Upper Shale 14400 7200 7200 21600 0,333333333 Sandstone Limestone 9900 14400 -4500 24300 -0,185185185 Lower Shale Sandstone 7560 9900 -2340 17460 -0,134020619 Jadi, nilai koefisien Refleksi antara lapisan 1 dan 2 adalah 0,33, antara lapisan 2 dan 3 adalah-0,185, dan antara lapisan 3 dan 4 adalah -0,134. Tags: Akustik Impedan, Geofisika, Interpretasi Seismik, Koefisien Refleksi Comment Dari Apungan Benua sampai Arus Konveksi Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han 6 Comments October 12, 2010 Continental Drift: Benua-benua tidak diam ditempatnya Francis Bacon pada tahun 1620 membuat peta dunia yang menekankan adanya kemiripan garis tepi dari benua-benya yang dipisahkan oleh Samudra Atlantik. Kemiripan dari garis tepi tersebut diduga akibat Benua Amerika yang ada di sebelah barat Atlantik dan Benua Afrika yang ada di sebelah timur Samudra Atlantik saling memisahkan diri. Tetapi pada tahun 1668, Father Francois Placet menyangah hal tersebut dengan mengatakan bahwa Samudra Atlantik terbentuk semata-mata karena banjir Nuh. Sejak tahun 1800-an, kebanyakan dari para ahli geologi memegang aliran Fixist yang menyatakan bahwa sejak bumi terbentuk, cekungan samudra dan benua-benua tidak mengalami perpindahan sama sekali. Proses pendinginan bumi dalam fase pembentukan dari kondisi cair menjadi padat yang memakan waktu yang berbeda-beda di permukaan bumi menyebabkan benua dan samudra terbentuk. Prat dan Airy (1855) mengunakan konsep Isostasi untuk menerangkan pembentukan pegunungan dan cekungan, sedangkan Eduard Suess (19041924) menerangkan pembentukan cekungan samudra sebagai hasil dari peruntuhan kubah yang menyebabkan terbentuknya beberapa sistem blok sesar turun. Eduard berpendapat bahwa keserupaan flora dan fauna di Benua Amerika dan Afrika yang sekarang dipisahkan oleh Samudra Atlantik disebabkan karena keberadaan daratan penghubung antara keduanya yang kemudian runtuh. Taylor pada 1910, berpendapat bahwa kerak-kerak yang ada berada pada posisi saat ini disebabkan oleh adanya gaya deformasi yang dihasilkan dari kekuatan pasang surut. Kemudian pada tahun 1915, Alferd Wegener mempublikasikan idenya tentang kemungkinan benua-benua yang ada saat ini dulunya bersatu tetapi kemudian pecah melalui konsep pengapungan benua (continental drift) melalui buku The Origin of the Continents and Oceans. Benua-benua yang bermasa jenis rendah dianggap mengapung di atas lantai samudra yang lebih berat. Wegener menentang adanya keberadaan daratan penghubung yang kemudian runtuh menjadi kerak samudra dan konsep isostasi. Pembentukan rangkaian pegunungan yang terjadi akibat kontraksi tidak akan dapat menyebabkan gerakan horizontal sehingga menyebabkan terjadinya pegunungngan. Wegener dalam bukunya yang keempat masih mengalami kesulitan untuk menerangkan gaya yang menyebabkan benua-benua yang mengapung tersebut bergerak.Wegener menyatakan bahwa gaya penyebab gerakan benua adalah gaya yang sama dengan gaya yang menyebabkan rangkaian pengunngan lipatan. Bukti pendukung gerakan benua-benua Wegener mempublikasikan bukunya sebanyak empat kali, dan mencantumkan banyak agrumen pendukung bahwa benua-benua yang ada saat ini pada awalnya satu. * Keserupaan garis pantai benua-benua yang dipisahkan Samudra Atlantik Keserupaan garis pantai benua-benua yang dipisahkan Samudra Atlantik menjadi pemikiran awal konsep pengapungan benua. Data-data struktur tektonik Paleozoikum yang di Amerika Utara dan Eropa, Afrika bagian selatan dan Amerika Selatan dikumpulkan untuk menunjukan kecocokan struktur antar benua-benua tersebut. * Bukti Paleoiklim Wegener menyertakan bukti-bukti paleoklimatologi pada bukunya yang keempat. Suatu lapisan batuan yang diendapkan dapat menunjukan iklim lokasi pada saat batuan terebut diendapkan. Keberadaan glacier, keberadaan lapisan batubara yang mengindikasikan iklim tropis basah, serta keberadaan lapisan garam dan

gipsum yang mengindikasikan iklim padang dari berbagai benua sepanjang Karbon dan Perm lalu dipetakan (Gambar 2). * Bukti Paleontologi Sebelum Wegener, para ahli paleontologi pernah mengumpulkan data yang memperlihatkan keserupaan flora dan fauna dari Benua Amerika Selatan dan Benua Afrika. Data-data tersebut memberikan bukri bahwa memang ada gabungan benua sehingga adanya keserupaan flora dan fauna di kedua benua tersebut (Gambar 3). Lempeng Tektonik Lempeng Tektonik adalah bagian teluar dari bumi yang bersifat masif, berbentuk iregular, dan padat, serta terdiri dari litosfer benua dan samudra. Litosfer adalah bagian bumi yang terdiri dari kerak dan mantel atas bagian atas (Gambar 4) Ukuran dari lempeng tektonik dapat beraneka ragam dengan ketebalan yang berkisar antara 15km pada litosfer samudra muda sampai sekitar 200km pada litosfer benua tua. Struktur dalam bumi (Diktat Kuliah Tektonofisik). Teori Tektonik Lempeng Teori tekonik lempeng merupakan pengembangan dari teori pengapungan benua Wegener. Teori ini mengambarkan lempeng-lempeng yang berupa litosefer samudra dan benua yang berada di atas astenosfer, yang merupakan lapisan lunak mantel bagan atas yang memiliki temperatur tinggi dan dapat mengalir (plastis). Lempeng-lempeng tersebut bergerak di atas astenosfer melaluri shearing motion (Gambar 5). Arus Konveksi sebagai Tenaga Pengerak Lempeng Hubungan arus konveksi dan gerakan benua Hipotesa pengapungan benua Wegener diteliti lebih lanjut oleh Arthur Holmes dan Alexander du Toit. Keduanya menggunakan dinamika arus konveksi untuk menjelaskan mekanisme penyebab gerakan benua. Du Toit menerangkan arus konveksi sebagai mekanisme penyebab peregangan kerak benua yang mengasilkan sistem rift, sistem kompresi, dan pelipatan yang menghasilkan pegunungan lipatan (Gambar 6). Sedangkan Holmes menyatakan bahwa kerak samudra yang semakin tua semakin berat akan menyusup ke bagian bawah kerak benua sehingga menyebabkan terbentuknya palung (Gambar 7). Mekanisme ini akan mempercepat arus konveksi sehingga terbentuknya pengunungan di sekitar batas benua terhadap kerak samudra. Tenaga penggerak arus konveksi Pada masa Wegener, kebanyakan ahli geologi percaya bahwa bumi kita bersifat padat dan terdiri dari bagian-bagian yang tidak dapat bergerak. Tetapi beberapa dekade kemudian, J. Tuzo Wilson (1968) menyatakan bumi adalah benda yang hidup dan bergerak, baik pada permukaan maupun bagian dalamnya dan sejak saat itu berbagai model dari arus konveksi telah dibuat. Arus konveksi bergerak ke mantel atas melalui bagian tengah dari kerak benua dan lama kelamaan membentuk zona pemekaran antarbenua (Gambar 7, Gambar 9: ridge). Mekanisme dari arus konveksi diperkirakan mirip dengan mekanisme konveksi ketika pemanasan air pada panci dilakukan (Gambar 8). Mekanisme Arus Konveksi Konveksi pada interior bumi hanya dapat berlangsung jika terdapat sumber panas yang cukup. Panas di dalam bumi mungkin dapat berasal dari dua sumber utama, yaitu dari peluruhan radioaktif dan panas residual. Peluruhan radioaktif merupakan proses spontan yang terjadi ketika suatu isotop mengalami kehilangan partikel-partikel dari nukleusnya lalu membentuk isotop dari unsur yang lainnya. Peluruhan radioaktif secara alamiah terjadi pada unsur-unsur kimia seperti uranium, thorium, dan sebagainya dan akan meglepaskan energi panas yang secara lambat bermigrasi ke permukaan bumi. Panas residual merupakan energi gravitasi yang tersisa sejak masa pembentukan bumi melalui proses kompresi debu kosmis, tetapi

mekanisme yang memungkinkan bahwa panas ini dapat terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu lalu menciptakan arus konveksi masih belum dapat dijelaskan dengan baik. Basal Drag Basal Drag merupakan istilah gerakan lempeng yang disebabkan oleh arus konveksi. Dalam hal ini, arus konveksi terjadi berskala besar di mantel atas disalurkan melalui astenosfer (Gambar 6), sehingga pergerakan didorong oleh gesekan (shearing) antara astenosfer dan litosfer (Gambar 5). Slab suction Arus konveksi lokal memberikan tarikan ke bawah pada lempeng di daerah penunjaman di palung (trench) (Gambar 9). Slab suction ini bisa terjadi dalam kondisi geodinamik dimana basal drag terus bekerja pada lempeng lempeng tersebut memasuki mantel, meskipun sebetulnya tarikan lebih banyak bekerja pada kedua sisi lempengan. Slab suction mempercepat gerakan lempeng yang awalnya disebabkan oleh basal drag. Slab pull sebagai Mekanisme Pengerak Lempeng Holmes (1944) menyatakan bahwa lempeng samudra yang semakin tua akan mengalami pertambahan berat berat. Sehingga gerakan lempeng juga mungkin disebabkan oleh berat lempeng yang mendingin dan memadat yang turun ke mantel di palung samudera (Gambar 9). Slab pull sendiri sangat mungkin menjadi salah satu gaya terbesar yang bekerja pada lempeng. Gerakan lempeng-lempeng dapat terjadi karena gabungan dari basal drag, slab suction, dan slab pull. Ketiganya juga dapat berperan untuk membentuk zona regangan di tengah lempeng yang memungkinkan terbentuknya terjadinya pemekaran. Mekanisme Penyebab Gerakan Lainnya Dalam studi yang dipublikasikan pada edisi Januari-Februari 2006 dari buletin Geological Society of America , sebuah tim ilmuwan dari Italia dan Amerika Serikat berpendapat bahwa komponen lempeng yang mengarah ke barat berasal dari rotasi Bumi dan gesekan pasang bulan yang mengikutinya.. Diduga Venus dan Mars tidak memiliki lempeng tektonik disebabkan karena ketidakadaan bulan di Venus dan kecilnya ukuran bulan Mars untuk memberi efek seperti pasang seperti di Bumi. Tiga jenis batas lempeng Berbagai mekanisme yang ada dapat menyebabkan lempeng-lempeng yang ada saling berpisah, bergabung, dan bergeser. Ada tiga penggolongan utama batas lempeng dari cara interaksi lempeng-lempeng tersebut bergerak relatif terhadap satu sama lain (Gambar 10). Tiga Jenis Batas Lempeng * Batas transform Batas ini terjadi jika lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang sesar transform (transform fault). Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral atau dekstral. Contoh dari batas lempeng ini adalah Sesar San Andreas di California (Gambar 11). Sesar San Andreas Rifting dan Pematang Tengah Samudra * Batas divergen Batas ini terjadi ketika dua lempeng bergerak menjauh satu sama lain. Mid oceanic ridge dan zona rifting yang aktif adalah contoh batas divergen. Konvergensi Lempeng

* Batas konvergen Batas konvergen terjadi jika dua lempeng saling bergerak mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain atau kolisi jika kedua lempeng mengandung kerak benua (Gambar 13). Aktivitas vulkanik dan palung laut dapat muncul pada zona subduksi sebagai hasil interaksi konvergensi dari kedua lempeng. Contoh batas konvergen dapat dilihat di busur api dunia (ring of fire) (Gambar 14). Ring of Fire Lempeng Tektonik Dunia Lempeng Tektonik DuniaBerikut ini merupakan lempeng-lempeng tektonik utama di dunia: * Lempeng * Lempeng * Lempeng Akhir). * Lempeng * Lempeng * Lempeng * Lempeng Afrika, meliputi Afrika. Antarktika, meliputi Antarktika. Australia, meliputi Australia (merupakan satu kesatuan dengan India dan Antartika pada Jura Eurasia, meliputi Asia dan Eropa. Amerika Utara, meliputi Amerika Utara dan Siberia timur laut. Amerika Selatan, meliputi Amerika Selatan. Pasifik, meliputi Samudera Pasifik.

Lempeng-lempeng penting lain yang lebih kecil mencakup Lempeng India, Lempeng Arabia, Lempeng Karibia, Lempeng Juan de Fuca, Lempeng Cocos, Lempeng Nazca, Lempeng Filipina, dan Lempeng Scotia. Siklus Wilson Siklus Wilson Siklus Wilson (Gambar 16) merupakan suatu siklus yang menggambarkan interaksi antar lempeng mulai dari pemekaran suatu lempeng sampai pada tahap kolisi yang menyebabkan lempeng yang terpisah karena pemekaran tersebut bergabung lagi. Berikut ini merupakan tahapan-tahapan dalam siklus Wilson. * Tahap 1: continental rifting dimulai, membentuk rift valley yang merupakan embrio samudra. * Tahap 2: Tahap awal; terbentuk teluk sempit. * Tahap 3: Tahap akhir, samudra luas dengan passive continental margin di kedua sisi. * Tahap 4a: Penutupan samudra dimulai dengan pembentukan batas subduksi baru pada lempeng samudra. Tahap 4b: terbentuk busur kepulauan gunungapi di dekat batas subduksi. * Tahap 5: Konvergensi busur kepulauan. Batas subduksi baru di dekat batas benua mengakibatkan busur kepulauan gunungapi bertumbukan dengan benua. * Tahap 6: Konvergensi benua-benua menghasilkan pegunungan. Daftar Pustaka Buku Elektronik: Diktat Materi Kuliah Tektonofisik. Bandung: Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung. USGS. 2001. This Dynamic Earth: The Story of Plate Tectonics, online edition. Halaman Internet: http://images.dhncee.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SiT17woKCCAAAAWr1u41/litosfer.doc? nmid=249942959 http://proxy.caw2.com/index.php?vit=uggc%3A%2F%2Fhcybnq.jvxvzrqvn.bet%2Fjvxvcrqvn%2Fpbzzbaf %2Fo%2Fo4%2FCyngrgrpgbavpf_znc.tvs Tags: Arus Konveksi, Basal Drag, Batas Lempeng, Lempeng Tektonik, Siklus Wilson, Slab Pull, Slab Suction,

Teori Apungan Benua, Teori Tektonik Lempeng Comment Paparan Sunda dan Paparan Sahul Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han 3 Comments September 21, 2010 Pendahuluan Wilayah Indonesia secara geografis terletak diantara dua benua yaitu Asia dan Australia serta terletak diantara dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia (Gambar 1). Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu wilayah yang mempunyai tatanan geologi dan pola tektonik yang komplek dimuka Bumi ini. Secara tektonik lempeng (Gambar 2), Indonesia merupakan lokasi benturan antara tiga lempeng utama litosfir yaitu Hindia-Australia di bagian selatan, Pasifik di sebelah timur laut dan Eurasia di barat laut. Karena interaksi antara lempeng-lempeng tersebut, terjadi berbagai gejala-gejala tektonik yang berkaitan dengan pembentukan busur kepulauan, kegunungapian, kegempaan, cekungan, dan struktur geologi yang kompleks. Peta Asia TenggaraGambar 1. Peta Asia Tenggara (Microsoft Student). Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari pulau-pulau seperti Sumatera, Bangka, Jawa, dan Kalimantan yang dipisahkan oleh laut dangkal, pulau-pulau Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara yang dipisahkan oleh laut dalam, dan Papua yang dengan benua Australia dipisahkan oleh laut dangkal. Secara fisiografis wilayah Indonesia dibatasi di sebelah selatan oleh suatu palung laut dalam yang memanjang dan dapat diikuti mulai dari Burma-Andaman-Sumatra-Jawa hingga ke Kepulauan Banda di bagian Timur Indonesia, yang merupakan jalur penekukan dan penyusupan lempeng Hindia-Australia ke bawah lempeng Asia Tenggara. Antara Indonesia bagian timur dan barat, terdapat perbedaan fisiografis yang mencolok. Di Indonesia bagian barat terdapat busur-busur kepulauan, yang dibatasi oleh lautan dengan kedalaman rata-rata berkisar antara 200 meter dan membentuk suatu paparan yang luas yang dikenal dengan Sundaland. Gambar 2. Lempeng tektonik dunia dan pergerakannya (Hamilton, USGS; dalam Asikin). Indonesia dibatasi oleh Lempeng Eurasia yang bergerak relatif ke tenggara, Hindia-Australia yang bergerak relatif ke utaratimur laut, dan Pasifik yang bergerak relatif ke barat laut. Di Indonesia bagian timur, busur-busur kepulauannya dibatasi oleh lautan dengan kedalaman mencapai ribuan meter, dengan palung-palung dalam yang terdapat di antara busur lengkung yang tajam dan beda relief yang sangat tajam. Kedua fisiografi yang berbeda tersebut dibatasi oleh suatu garis imajiner yang membentang di atara Pulau Bali dan Pulau Lombok di selatan dan menerus ke utara melalui Selat Makasar. Garis tersebut dikenal sebagai garis Wallace yang awalnya merupakan garis pembatas yang memisahkan keragaman flora dan fauna antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Fisiografi pada dasarnya merupakan pencerminan dari kondisi geologi dan struktur suatu wilayah. Adanya perbedaan tersebut menunjukan adanya perbedaan perkembangan tektonik yang menonjol antara Indonesia bagian barat dan bagian timur. Evolusi Paparan Sunda (Sundaland) dan Paparan Sahul

Gambar 3. Rekonstruksi Evolusi Lempeng-lempeng Tektonik di Kawasan Asia Tenggara dari Jura Akhir sampai Eosen Awal (Hall dkk., 2009 ). Hall dkk. (2009) melakukan rekontruksi tentang perkembangan Sundaland dan interaksinya dengan lempeng tektonik disekitarnya. Pada Jurasic Akhir (150 juta tahun yang lalu Gambar 3) diperkitakan Blok Banda yang sebelumnya bergabung dengan Gondawa terpisah dan menjauhi Sula Spur. Blok Argo lalu terpisah kemudian melalui proses pemekaran (spreading). Pemekaran berkembang ke barat menerus sampai pada margin dari Greater India 2. Busur kepulauan dan fragmen-fragmen benua bergerak menjauh dari Gondawa sebagai hasil dari rollback dari subduksi. Lalu 135 juta tahun yang lalu (Kapur Awal Gambar 3), India mulai terpisah dari Australia dan Papua yang masih bergabung dengan Antartika. Pemekaran di Ceno Tethys memiliki orientasi rata-rata NW-SE. Blok Argo dan Busur Woyla bergerak ke Asia Tenggara.

Rekonstruksi Evolusi Lempeng-lempeng Tektonik di Kawasan Asia Tenggara dari Eosen Tengah sampai Miosen Tengah Gambar 4. Rekonstruksi Evolusi Lempeng-lempeng Tektonik di Kawasan Asia Tenggara dari Eosen Tengah sampai Miosen Tengah (Hall dkk., 2009). Sekitar 25 juta tahun kemudian (Kapur Awal Gambar 3) India terpisah dari Australia. Blok Argo mendekati Sundaland dan pemekaran pada Ceno-Tethys yang berarah NW-SE berhenti. Pusat pemekaran antara IndiaAustralia berkembang ke arah utara. Terjadi subduksi di bagian selatan Sumatra dan tenggara Kalimantan. Pada 90 juta tahun yang lalu (Kapur Tengah Gambar 3), Blok Argo mendekati Kalimantan sebelah barat laut Kalimantan dan Busur Woyla mendekati tepian Sumatra. Koalisi-koalisi tersebut menyebabkan subduksi yang berlangsung sebelumnya berhenti. India terus bergerak ke utara melalui subduksi pada Busur Incertus. Australia dan Papua mulai bergerak perlahan menjauhi Antartika. Pada Kapur Akhir, India bergerak cepat ke utara dikarenakan pemekaran yang cepat di bagian selatan dan terbentuk sesar-sesar tranform. Tidak ada pergerakan yang signifikan antara Australia dengan Sundaland serta tidak terjadi subduksi di bawah pulau Sumatra dan Jawa. Sekitar 55 juta tahun yang lalu (Eosen Awal Gambar 3), pergerakan Australia-Sundaland menyebabkan terbentuknya subduksi sepanjang barat tepi Sundaland, di bawah Pulau Sumba dan Sulawesi Barat, dan mungkin menerus ke utara. Batas antara lempeng AustraliaSundaland pada bagian selatan Jawa merupakan zona strike-slip sedangkan pada selatan Sumatra berupa zona strike-slip tangensional. Busur Incertus dan batas utara dari Greater India bergabung dan terus bergerak ke utara. Evolusi Tektonik dari 45 juta tahun yang lalu sampai saat iniGambar 5. Evolusi Tektonik dari 45 juta tahun yang lalu sampai saat ini (Slide mata kuliah Geologi Indonesia). Menunjukan pembentukan pergerakan Australia, Papua, dan India yang memisah diri dari arah selatan. Pergerakan dan tumbukan yang terjadi mempengaruhi dinamika geologi pada daerah Asia Tenggara. Pada 45 juta tahun yang lalu (Miosen Tengah Gambar 4 dan Gambar 5), Australia dan Papua mulai bergerak dengan cepat menjauhi Antartika. Terbentuk cekungan di sekitar daerah Celebes dan Filipina serta jalur subduksi yang mengarah ke selatan pada proto area Laut Cina Selatan. Pada 35 juta tahun yang lalu (Gambar 5), daerah Sundaland mulai berotasi berlawanan dengan arah jarum jam, bagian timur Kalimantan dan Jawa secara relatif bergerak ke utara. Rotasi tersebut berlangsung disebabkan karena adanya interaksi lempeng India ke Asia. Lalu pada 15 juta tahun yang lalu (Miosen Tengah Gambar 4), bagian kerak samudra pada Blok Banda yang berumur lebih tua dari 120 juta tahun yang lalu mencapai jalur subduksi pada selatan Jawa. Palung berkembang ke arah timur sepanjang batas lempeng sampai bagian selatan dari Sula Spur. Australia dan Papua mendekat ke posisi sekarang ini dan lengan-lengan dari Sulawesi mulai bergabung. Lalu 5 juta tahun yang lalu (Gambar 5) jalur-jalur subduksi dan gunung berapi berkembang hampir mendekati keadaan saat ini. Australia dan Papua terus bergerak ke utara.

Daftar Pustaka Makalah Ilmiah: Hall, R., Clements, B., Smyth, H. R. Sundaland: Basement Character, Structure and Plate Tectonic Development. Proceedings, Indonesian Petroleum Association, Thirty-Third Annual Convention & Exhibition, May 2009. Hamilton, W. Tectonics of Indonesian Region. Proceedings, Regional Conference of The Geology of Southeast Asia, July 1973. Hutchison, C. S. Tectonic Evolution of Sundaland: A Phanerozoic Syntesis. Proceedings, Regional Conference of The Geology of Southeast Asia, July 1973. Perangkat Lunak: Microsoft Student with Encarta Premium 2009. Softcopy buku:

Asikin, S. Diktat Geologi Struktur Indonesia. Jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung. Tags: Evolusi Tektonik, Lempeng Tektonik, Paparan Sahul, Paparan Sunda Comment GEOLOGI REGIONAL PURWAKARTA Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han 13 Comments June 9, 2010 1 LETAK GEOGRAFIS Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Daerah Purwakarta berada pada posisi antara 6o25 6o45Lintang Selatan dan 107o30 107o40 Bujur Timur. Dari segi transportasi dan komunikasi, secara geografi letak Purwakarta cukup strategis, karena dilalui oleh jalan raya negara/propinsi, jalan tol, dan jalan kereta api. Jalan-jalan itu menghubungkan Purwakarta dengan Bandung, ibukota Propinsi Jawa Barat (berjarak lebih-kurang 60 km), dengan Jakarta, ibukota Negara, (berjarak lebih-kurang 120 km), dan dengan kota Cirebon, pelabuhan Jawa Barat bagian timur (berjarak lebih-kurang 160 km). Secara geologi Purwakarta berada di paparan Sunda dari kerak Eurasia. Pulau Jawa terdapat di jalur gunung api yang ditimbulkan oleh subduksi lempeng Eurasia dengan lempeng samudra Indo-Australia (Gambar 1). Gambar 1. Peta penyebaran lempeng di sekitar Indonesia (Hall, 2001 dalam Argapadmi, 2009) 2 GEOMORFOLOGI Morfologi tanah Kabupaten Purwakarta bervariasi dari dataran rendah ke dataran tinggi, dengan ketinggian 150 1500 meter di atas permukaan laut (dpl), yang makin meninggi ke arah pegunungan di tenggara. Beberapa gunung yang membentang dari barat ke timur, antara lain : G. Cantayan, G. Bongkok, G. Cilalawi, G. Burangrang, G. Cupu, G. Dingdingari, G. Haur, G. Gedogan, G. Ka-radak, G. Kancana, G. Kacapi, G. Lembu, G. Mandalawangi, G. Masigit, G. Parang, G. Pamoyanan, G. Panawingan, G. Pangukus, G. Sandaan, G. Sangga-buwana, dan G. Sembung. Secara umum Kabupaten Purwakarta terletak dalam elevasi 83,60 670 m dpl., terdiri dari : a) Dataran tinggi (pegunungan) dengan luas lebih dari 30 % dari luas wilayah kabupaten. Dataran itu di daerah selatan meliputi wilayah Kecamatan-kecamatan Wanayasa, Darangdan, dan Bojong. b) Daratan berbukit meliputi hampir 50 % dari seluruh wilayah kabupaten, meliputi Kecamatan-kecamatan Jatiluhur, Sukasari, Plered, Suka-tani, Tegal-waru, Maniis, Pondoksalam, Kiarapedes, dan Pasawahan. Bagian terbesar wilayah barat merupakan daerah Bendungan Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur). c) Dataran rendah di bagian utara dengan luas sekitar 20 % dari luas wilayah kabupaten, meliputi Kecamatan-kecamatan Purwakarta, Babakan Cikao, Bungursari, Cibatu, dan Campaka.2)

3 FISIOGRAFI JAWA BARAT Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) yang dimodifikasi oleh Martodjojo (1984), terbagi menjadi enam zona (Gambar 2) yaitu sebagai berikut: 1. Zona Gunungapi Kuarter, 2. Zona Dataran Pantai Jakarta, 3. Zona Antiklinorium Bogor, 4. Kubah dan Punggungan pada Zona Depresi Tengah, 5. Zona Depresi Tengah Jawa Barat atau Zona Bandung, dan

6. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat. Gambar 2. Peta fisiografi Jawa Barat (modifikasi dari van Bemmelen, 1949 dalam Sontana, 2007). Daerah Purwakarta termasuk ke dalam Zona Antiklinorium Bogor (Gambar 2). Posisi tektonik zona ini dari Zaman Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan (van Bemmelen, 1949 dalam Sontana, 2007). Zona Antiklinorium Bogor pada Kala Eosen Tengah- Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, tetapi berubah menjadi cekungan belakang busur magmatik pada Kala Miosen Awal-Pliosen. Pada rentang waktu Miosen Awal-Miosen Akhir, di Cekungan Bogor terjadi sedimentasi dengan mekanisme aliran gravitasi. Lalu Pada Kala Pliosen sebagian dari Cekungan Bogor terangkat menjadi daratan dan merupakan jalur magmatis aktivitas volkanisme yang terjadi. 4 STRATIGRAFI Martodjojo (1984) membagi daerah Jawa Barat menjadi empat mandala sedimentasi (Gambar 3), yaitu sebagai berikut: 1. Mandala Paparan Kontinen Utara 2. Mandala Sedimentasi Banten 3. Mandala Cekungan Bogor 4. Mandala Pegunungan Selatan

Gambar 3. Peta Mandala Sedimentasi Jawa Barat (Martodjojo,1984 dalam Sontana, 2007). Berdasarkan penggolongan Madala Sedimentasi Jawa Barat yang dibuat oleh Martodjojo (1984). Daerah Purwakarta termasuk ke dalam Mandala Cekungan Bogor. Beberapa peneliti seperti van Bemmelen (1949) dan Martodjojo (1984) telah melakukan penelitian stratigrafi di daerah Jawa Barat dan membuat penamaan litostratigrafi yang dapat disebandingkan (Gambar 4).

Gambar 4. Kesebandingan Stratigrafi peneliti terdahulu (Sontana, 2007) 5 STRUKTUR GEOLOGI Kondisi geologi di Purwakarta sangat dipengaruhi oleh tatanan tektonik dan struktur geologi regional dari Pulau Jawa. Subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen menghasilkan pola penyebaran batuan volkanik Tersier yang relatif berarah barat-timur di Pulau Jawa (Katili, 1975 dalam Hamilton, 1979 dalam Argapadmi, 2009). Subduksi yang menghasilkan busur gunungapi di Jawa tersebut juga menghasilkan pembentukan sistem cekungan tengah busur dan juga cekungan belakang busur di Jawa Barat bagian Utara (Argapadimi, 2009). Pulunggono dan Martodjojo (1994) membagi pola struktur Pulau Jawa menjadi tiga (Gambar 5 ), yaitu sebagai berikut: 1. Pola Meratus (timurlaut-baratdaya), 2. Pola Sunda (utara-selatan), dan 3. Pola Jawa (barat-timur). Gambar 5. Pola struktur Pulau Jawa (Pulonggono dan Martodjojo, 1994 dalam Sontana, 2009).

PUSTAKA Argapadmi, Windeati, 2009, Undergraduate Theses: Geologi dan Analisis Struktur Daerah Pasiruren dan sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-windeatiar-33921&q=geologi%20jawa%20barat. Hardjasaputra, A. S., 2004, Sejarah Purwakarta, Purwakarta: Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Kurniawan, Wendy, 2008, Undergraduate Theses: Geologi dan Analisis Struktur Geologi untuk Karakterisasi Sesar Anjak di Daerah Gunung Masigit dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-wendykurni33769&q=geologi%20jawa%20barat. Santana, Sonny, 2007, Master Theses: Rekonstruksi Cekungan Paleogen Daerah Jawa Barat Bagian Selatan, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-sonnysanta28254&q=struktur%20jawa%20barat. Sontana, Rizky, 2007, Udergraduate Theses: Geologi dan Hidrogeologi Daerah Campaka dan Sekitarnya, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, ITB Central Library, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-rizky-27048&q= purwakarta%20geology. Suparka, Emmy dan Susanto Arif, 2009, Pendahuluan Ekskursi Petrologi, Bandung; Laboratorium Petrologi ITB. Tags: Fisiografi Jawa Barat, Geomorfologi Purwakarta, Letak Geografis Purwakarta, Stratigrafi Umum Regional Purwakarta, Struktur Geologi di Jawa Barat Comment Arus Traksi dan Arus Turbidit Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han 1 Comment May 17, 2010 Transportasi dan Deposisi Sedimen Media transportasi dari sedimen pada umumnya dapat dibagi menjadi berikut ini : * Air - Gelombang - Pasang Surut - Arus Laut * Udara * Es * Gravitasi - Debris flow - Turbidite flow Secara umum ada 2 mekanisme fisik yang membuat sedimen tertransportasi, yaitu 1. suspended load, berhubungan dengan arus air yang mentransportasikan butiran atau partikel halus seperti ukuran lanau atau lempung dengan pasir yang bervariasi secara proporsi dan ukuran, tertransportasi pada badan utama dari aliran. 2. bed load, berhubungan dengan beberapa hal yang menyebabkan partikel bergerak pada dasar aliran dan

kadangkala meninggalkan jejak pada badan sedimen pada dasar aliran tersebut. Aliran Turbulen Aliran turbulen behubungan dengan aliran yang bergerak dengan kuat dan kecepatan yang tinggi yang dapat mentransportasikan sedimen. Umumnya, aliran pada sungai merupakan aliran turbulen. Pada dasarnya, aliran ini dibedakan dengan aliran laminar yang merupakan aliran yang bergerak degan kecepatan rendah dan arah yang paralel terhadap dasar aliran. Berikut ini merupakan mode transportasi yang mungkin terjadi pada arus turbulen, yaitu : A. Traksi (bergelinding pada permukaan dasar aliran), B. Saltasi (meloncat-loncat pada dasar permukaan dasar aliran), C. Suspensi (mengalami trasportasi yang relatif permanen dalam badan aliran D. Solution (mengalami transpotasi secara kimia). Froud Number Angka Froud merupakan besaran tanpa demensi yang digunakan untuk menentukan suatu aliran itu subkritikal atau superkritikal. Fr = U (gD) dengan U = kecepatan aliran, D = dalam badan aliran, dan g = kecepatan gelombang. HUKUM HJULSTROM Hukum Hjulstrom diterangkan dengan sebuah grafik yang menggambarkan pada kecepatan berapa suatu partikel dengan ukuran tertentu akan tererosi, tertransportasi, dan terendapkan atau apakah yang terjadi pada partikel berukuran tertetu bila berada pada sistem aliran dengan kecepatan tertentu. Berikut merupakan gambar grafik tersebut : ARUS TRAKSI Arus traksi merupakan istilah bagi arus pada fluida yang dapat menyebabkan proses transportasi yang memungkinkan sedimen bergerak sebagai bed load. Peristiwa saltasi pada aliran turbulen juga sebenarnya berhubungan dengan keberadan arus traksi. Traction carpet, merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu daerah khayal dalam suatu badan aliran fluida, dimana partikel-partikel bergerak diatas partikel-partikel yang tidak bergerak. Struktur Sedimen Struktur sedimen di alam tidak dapat dipisahkan dari gambaran muka lapisan. Muka lapisan dihasilkan oleh materi yang inkoheren terhadap fluida. Permukaan lapisan tersebut dapat berubah bergantung pada aliran pada permukaan dasarnya. Harms dan Fahnestock (1965) membagi aliran menjadi tiga macam, yaitu regim aliran atas, transisi, dan bawah. Rezim aliran merupakan kumpulan dari beberapa hubungan yang berlaku pada aliran air, sudut permukaan air atau sedimen, tipe transportasi sedimen, energi arus, dan morfologi yang berhubungan dengan permukaan sedimen dan permukaan air. Terdapat kecenderungan bagi sedimen yang dengan rezim aliran lambat untuk tidak membentuk gelombang pada permukaannya, yang menyebabkan permukaan air cenderung tidak memiliki riak. Demikian sebaliknya, apabila sedimen di dasar air bergelombang maka permukaan air juga akan bergelombang. Regim Aliran Bawah (Lower Flow Regim) Pada regim aliran bawah, tahanan aliran besar sehingga pengangkutan butir oleh air kecil. Bentuk permukaan tidak menyatu dengan dasar aliran. Struktur muka lapisan yang umum ditemukan adalah small ripple atau megariple atau kombinasi keduanya. Transportasi butir yang terjadi adalah pergerakkan butir menaiki punggungan kedua bentuk perlapisan ini dan longsor ke bagian yang besudut tajam. Memiliki nilai

Froud < 1. Regim Aliran Transisi (Transition Flow Regim) Regim ini memiliki bentuk perlapisan campuran antara regim aliran atas dan bawah. Memiliki nilai Froud = 1. Regim Aliran Atas (Upper Flow Regim) Pada regim aliran atas, tahanan aliran kecil sehingga pengangkutan butir terjadi dengan kuat. Bentuk permukaan fluida menyatu dengan dasar aliran. Struktur muka lapisan yang umum adalah planar (plane bed) atau antidune. Memiliki nilai Froud > 1. Hubungan antara struktur sedimen pada regim aliran yang terbentuk dengan kuat arus dan diameter sedimen dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut : Perbedaan antara strukur lower flow regim dan lower flow regim dapat dilihat seperti di bawah ini : ARUS TURBIDIT Turbidit didefinisikan oleh Keunen dan Migliorini (1950) sebagai suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbidit, sedangkan arus turbidit itu sendiri adalah suatu arus yang memiliki suspensi sedimen dan mengalir pada dasar tubuh fluida, karena mempunyai kerapatan yang lebih besar daripada cairan tersebut. Endapan turbidit mempunyai karakteristik tertentu yang sekaligus dapat dijadikan sebagai ciri pengenalnya. Namun perlu diperhatikan bahwa ciri itu bukan hanya berdasarkan suatu sifat tunggal sehingga tidak bisa secara langsung untuk mengatakan bahwa suatu endapan adalah endapan turbidit. Hal ini disebabkan banyak struktur sedimen tersebut, yang juga berkembang pada sedimen yang bukan turbidit.

Litologi dan Struktur Karakteristik endapan turbidit pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam dua bagian besar berdassarkan litologi dan struktur sedimen, yaitu : * Karakteristik Litologi 1. Terdapat perselingan tipis yang bersifat ritmis antar batuan berbutir relatif kasar dengan batuan yang berbutir relatif halus, dengan ketebalan lapisan beberapa milimeter sampai beberapa puluh centimeter. Umumnya perselingan antar batupasir dan serpih. Batas atas dan bawah lapisan planar, tanpa adanya scouring. 2. Pada lapisan batuan berbutir kasar memiliki pemilahan buruk dan mengandung mineral-mineral kuarsa, feldspar, mika, glaukonit, juga banyak didapatkan matrik lempung. Kadang-kadang dijumpai adanya fosil rework, yang menunjukan lingkungan laut dangkal. 3. Pada beberapa lapisan batupoasir dan batulanau didapatkan adanya fragmen tumbuhan. 4. Kontak perlapisan yang tajam, kadang berangsur menjadi endapan pelagik. 5. Pada perlapisan batuan, terlihat adanya struktur sedimen tertentu yang menunjukan proses pengendapannya, yaitu antara lain perlapisan bersusun, planar, bergelombang, konvolut, dengan uruturutan tertentu. 6. Tak terdapat struktur sedimen yang memperlihatkan ciri endapan laut dangkal maupun fluvial. 7. Sifat-sifat penunjukan arus akan memperlihatkan pola aliran yang hampir seragam saat suplai terjadi. * Karakteristik Struktur sedimen Menurut Bouma (1962) dalam hal pengenalan endapan turbidit salah satu ciri yang penting adalah struktur sedimen, karena mekanisme pengendapan arus turbidit memberikan karakteristik sedimen tertentu. Banyak klasifikasi struktur sedimen hasil mekanisme arus turbid, salah satunya karakteristik genetik dari Selly (1969). Selly (1969) mengelompokan struktur sedimen menjadi 3 berdasarkan proses pembentukannya : * Struktur Sedimen Pre-Depositional Merupakan struktur sedimen yang terjadi sebelum pengendapan sedimen, yang berhubungan dengan proses erosi oleh bagian kepala (head) dari suatu arus turbid (Middleton, 1973). Umumnya pada bidang batas antara lapisan batupasir dan serpih. Beberapa struktur sedimen yang antara lain flute cast, groove

cast. * Struktur Sedimen Syn-Depositional Struktur yang terbentuk bersamaan dengan pengendapan sedimen, dan merupakan struktur yang penting dalam penentuan suatu endapan turbidit. Beberapa struktur sedimen yang penting diantaranya adalah perlapisan bersusun, planar, dan perlapisan bergelombang. * Struktur Sedimen Post-Derpositional Struktur sedimen yang dibentuk setelah terjadi pengendapan sedimen, yang umumnya berhubungan dengan proses deformasi. Salah satunya struktur load cast. Karakteristik-karakteristik tersebut tidak selalu harus ada pada suatu endapan turbidit. Dalam hal ini lebih merupakan suatu alternatif, mengingat bahwa suatu endapan turbidit juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang akan memberikan ciri yang berbeda dari suatu tempat ke tempat lain.Umumnya struktur sedimen yang ditemukan pada endapan turbidit adalah struktur sedimen yang terbentuk karena proses sedimentasi, terutama yang terjadi karena proses pengendapan suspensi dan arus. Sekuen Bouma Bouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit yang dikenal dengan Sekuen Bouma. Bouma Sequence yang lengkap dibagi 5 interval (Ta-Te), peralihan antara satu interval ke interval berikutnya dapat secara tajam, berangsur, atau semu, yaitu * Gradded Interval (Ta) Merupakan perlapisan bersusun dan bagian terbawah dari urut-urutan ini, bertekstur pasir kadang-kadang sampai kerikil atau kerakal. Struktur perlapisan ini menjadi tidak jelas atau hilang sama sekali apabila batupasirnya memiliki pemilahan yang baik. Tanda-tanda struktur lainnya tidak tampak. * Lower Interval of Parallel Lamination (Tb) Merupakan perselingan antara batupasir dengan serpih atau batulempung, kontak dengan interval dibawahnya umumnya secara berangsur. * Interval of Current Ripple Lamination (Tc) Merupakan struktur perlapisan bergelombang dan konvolut. Ketebalannya berkisar antara 5-20 cm, mempunyai besar butir yang lebih halus daripada kedua interval dibawahnya. (Interval Tb). * Upper Interval of Parallel Lamination (Td) Merupakan lapisan sejajar, besar butir berkisar dari pasir sangat halus sampai lempung lanauan. Interval paralel laminasi bagian atas, tersusun perselingan antarabatupasir halus dan lempung, kadang-kadang lempung pasirannya berkurang ke arah atas. Bidang sentuh sangat jelas. * Pelitic Interval (Te) Merupakan susunan batuan bersifat lempungan dan tidak menunjukan struktur yang jelas ke arah tegak, material pasiran berkurang, ukuran besar butir makin halus, cangkang foraminifera makin sering ditemukan. Bidang sentuh dengan interval di bawahnya berangsur. Diatas lapisan ini sering ditemukan lapisan yang bersifat lempung napalan atau yang disebut lempung pelagik. Kipas bawah laut Dari penelitian fasies turbidit, maka dilakukan pembuatan suatu model kipas bawah laut (sebagai contoh gambar diatas merupakan kipas bawah laut tipe eagle), yang merupakan asosiasi dari beberapa fasies. Dari

model tersebut diharapkan dapat diketahui arah pengendapan serta letak dari suatu endapan turbidit. Walker dan Mutti (1973) telah mengemukakan suatu model, yaitu model kipas laut dalam dan hubungannya dengan fasies turbidit. Walker (1978) kemudian menyedehanakannya menjadi 5 fasies, yaitu : * Fasies Turbidit Klasik (Classical Turbidite, CT) Fasies ini pada umumnya terdiri dari perselingan antara batupasir dan serpih/batulempung dengan perlapisan sejajar tanpa endapan channel. Struktur sedimen yang sering dijumpai adalah perlapisan bersusun, perlapisan sejajar, dan laminasi, konvolut. Lapisan batupasir menebal ke arah atas. Pada bagian dasar batupasir dijumpai hasil erosi akibat penggerusan arus turbidit (sole mark) dan dapat digunakan untuk menentukan arus turbidit purba. * Fasies Batupasir masif (Massive Sandstone, MS) Fasies ini terdiri dari batupasir masif, kadang-kadang terdapat endapan channel, ketebalan 0,5-5 meter, struktur mangkok/dish structure. Fasies ini berasosiasi dengan kipas laut bagian tengah dan atas. * Fasies Batupasir Kerakalan (Pebbly Sandstone, PS) Fasies ini terdiri dari batupasir kasar, kerikil-kerakal, struktur sedimen memperlihatkan perlapisan bersusun, laminasi sejajar, tebal 0,5 5 meter. Berasosiasi dengan channel, penyebarannya secara lateral tidak menerus, penipisan lapisan batupasir ke arah atas dan urutan Bouma tidak berlaku. * Fasies Konglomeratan (Clast Supported Conglomerate, CGL) Fasies ini terdiri dari batupasir sangat kasar, konglomerat, dicirikan oleh perlapisan bersusun, bentuk butir menyudut tanggung-membundar tanggung, pemilahan buruk, penipisan lapisan batupasir ke arah atas, tebal 1-5 m. Fasies ini berasosiasi dengan sutrafanlobes dari kipas tengah dan kipas atas. * Fasies Lapisan yang didukung oleh aliran debris flow dan lengseran (Pebbly mudstone, debris flow, slump and slides, SL). Fasies ini terdiri dari berbagai kumpulan batuan, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah-bongkah yang terkompaksi. Fasies ini berasosiasi dengan lingkungan pengendapan kipas atas. Berikut merupakan salah satu contoh sekuen sedimentasi yang digenerasi oleh arus turbidit densitas tinggi pasir-gravel : Sumber : 1. Slide Mata Kuliah Sedimentologi GL-1051 ITB 2. Martodjojo, Soejoeno. 1993. Diktat Kuliah Prinsip Stratigrafi. Bandung: Laboratorium Stratigrafi ITB 3. AAPG UNDIP SC. 2008. http://aapgscundip.wordpress.com/2008/07/23/turbidite-current/ Tags: Aliran Turbulen, Arus Traksi, Arus Turbidit, Hukum Hjulstrom, Transportasi Sedimen Comment Endapan Laterit Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han 8 Comments May 17, 2010 1. Laterit dan pembentukannya Laterit didefinisikan sebagai produk yang dihasilkan dari pelapukan yang kuat pada daerah-daerah tropis, lembab, dan hangat yang kaya akan lempung kalolinit sebagai oksida dan oksihidroksida dari Fe dan Al. Laterit penting secara ekonomi karena mengandung logam alumunium (bauksit). Berikut merupakan kandungan unsur-unsur yang terdapat pada profil laterit. Mineral utama Pencucian Mineral Sekunder

pada zona ferruginousAluminosilikat (muskovit, kaolinit) oksida besi; emas K, Rb, Csmineral jejak : Au Si, Al (kaolinit) pada saprolit bagian atasAluminosilikat (muskovit) Ferromagnesia (klorit, talk, amfibol) Lempung smektit Cs, K, RbMg, Li Ca, Mg, Na Si, Al (kaolinit) Fe, Ni, Co, Cr, Ga, Mn, Ti, V, (Oksida Fe dan Mn) Si, Al (kaolinit) pada saprolit bagian bawahAluminosilikat Ferromagnesia (piroksen, olivin, amfibol, klorit, biotit) Ca, Cs, K, Na, RbCa, Mg Si, Al (kaolinit); BaFe, Ni, Co, Cr, Ga, Mn, Ti, V (Oksida Fe dan Mn) pada zona pelapukan sulfide As, Au, Cd, Co, Cu, Mo, Ni, Zn, S As, Cu, Ni, Pb, Sb, Zn (oksida besi; sulfat, arsenat, karbonatan, alunit-jasorit) pada daerah karbonatan Ca, Mg, Fe, Mn, Sr 2. Bauksit Bijih bauksit, sebagai sumber utama logam alumunium, mengandung mineral gibsit, boehmit, dan diaspor. Akumulasi dari residu kaya alumina, pada bagian atas dari profil laterit, sebagai hasil dari curah hujan yang tinggi, temperatur yang agak rendah (22C), dengan kelembaban yang tinggi. Proses yang berlangsung pada bagian atas dari profil laterit berupa pelarutan inkongruen yaitu : Feldspar (kehilangan Si) kaolinit (kehilangan Si) gibsit (Al(OH)3) Variasi iklim musiman juga dianggap penting dalam pembentukan formasi bauksit. Musim panas dan dingin membuat fluktuasi pada muka air tanah, yang membuat terjadinya pelarutan dan transfer massa. Variasi pada profil bauksit sebagai transformasi dari gibsit yang terdehidrasi menjadi versi yang terhidrasi secara relatif, boehemit atau diaspor (ALO(OH)), dihasilkan dari fluktuasi tersebut. Profil mineralogical untuk zona mineralisasi bauksit dapat bervariabel. 3. Laterit Nikel Laterit nikel berasal dari batuan ultramafik yang mengandung olivin dan ortopiroksen dengan berlimpah, dan karenanya kaya akan nikel. Laterit nikel mengandung konsentrasi nikel silikat atau nikel oksida yang mencapai 10 kali lipat dari konsentrasi aslinya. Penambangan laterit nikel jauh lebih mudah daripada penambangan bijih sulfida magmatik. Bijih nikel berhubungan dengan eluviasi nikel dari residu pada lapisan laterit teratas dan konsenrasi di dasar illuvium saprolit sebagai talk nikeliferous, serpentin, atau smektit, dan bersamaan dengan geotit meskipun jarang. Mineral olivin dan ortopiroksen sebagai sumber nikel utama merupakan penyusun utama dari batuan ultramafik mungkin berasal dari bagian kompleks ofiolit obduksi atau berupa intrusi mafik. Alterasi olivin terjadi karena proses hidrasi dari silika, serpentinit, dan limonit . Pada tanah laterit, keasaman air tanah semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman dan bikabornat bertindak sebagai anion utama dalam proses pelarutan ini. Olivin bereaksi pada kondisi ini, diikuti dengan ortopiroksen, serpentin, klorit, dan talk. Berikut ini merupakan contoh reaksi pada olivin.

4(Fe2,Mg3)SiO4 + 8H+ + 4O2 (Fe2,Mg3)Si4O10(OH)2 + 6FeO(OH) + 5Mg2+ olivin smektit goetit Konsentrasi nikel dipengaruhi oleh pertukaran kation, kemungkinan oleh Mg2+. Hasilnya adalah suatu jenis mineral pilosilikat yang kaya nikel seperti kerolit (Ni-talk), nepouit (Ni-serpentin), dan pimelit (Ni-smektit). Salah satu contoh dari reaksi pertukaran kation adalah sebagai berikut : Mg2Si2O5(OH)4 + 3Ni2+(aq) Ni3Si2O5(OH)4 + 3Mg2+(aq) serpentin nepouit Konsentrasi dari nikel juga sering berasosiasi dengan goetit, sekalipun mekanismenya belum diketahui. Kemungkinan absorbs dari nikel pada koloid goetit terjadi pada alam karena pH yang agak basa. Zona limonit yang ada pada bagian atas dari profil laterit pada umumnya tidak mengandung nikel. Laterit yang sangat tebal dan sangat kaya dengan garnierit terjadi pada batuan dasar yang mengalami sirkulasi air tanah maksimum dan peran dari interaksi air antar batuan. Konsentrasi nikel juga dikontrol oleh keadaan topografi dan cenderung terjadi dibawah perbukitan atau pinggiran plato atau teras. Hal ini dikarenakan deposit sensitif untuk mengalami erosi permukaan dan fluktuasi muka air dikonrol oleh distribusi zona eluviasi dan iluviasi. 4. Emas pada laterit Telah diketahui dengan baik bahwa emas dapat terbentuk pada bagian pedolitik atas pada zona pelapukan laterit. Bentuk emas yang dihasikan bermacam-macam dari yang berukuran besar, partikel membundar seperti nugget, dan dendritus emas pada celah dan retakan, sampai kristal-kristal kecil pada pori-pori tanah. Sebenarnya sumber emas secara primer adalah pada lingkungan yang juga kaya akan perak. Emas dapat berada pada profil laterit karena proses kimiawi. Berbeda dengan proses mobilisasi dan penghilangan perak, dimana Ag berperan sebagai air meteorik pada zona pelapukan. Proses perpindahan Au dan Ag hanya terjadi pada kondisi spesifik tertentu. Mungkin perpindahan tersebut berhubungan dengan asamnya air tanah dekat permukaan pada lingkungan laterit. Kedua reaksi berikut merupakan contoh dari proses pengasaman yang berlangsung pada profil laterit. 2FeS2 + 2H2O +7O2 2Fe2+ + 4SO42- + 4H+ 2Fe2+ + 3H2O + O2 2 FeOOH + 4H+ Percobaan yang dilakukan menunjukan bahwa pada keadaan pH rendah, Eh tinggi, dan keberadan ion Cl-, emas yang berada di dekat permukaan dapat menjadi AuCl4-. Hal ini dikontrol oleh oksidasi dari Fe2+ yang berhubungan dengan ketersedian oksigen. Sebagai perbandingan, perak akan bereaksi dengan lebih cepat, pada daerah reduksi, sebagai AgCl, AgCl2-, dan AgCl32-. Reaksi berikut mengasilkan Au murni pada kondisi reduksi yang terjadi pada bagian yang kaya akan ion Fe2+ dan Mg2+. AuCl4- + 3Fe+ + 6H2O Au + 3FeOOH + 4Cl- +9H+ Perlu diketahui bahwa mikroorganisme juga berhubungan dengan konsentrasi emas pada tanah laterit. Emas sekunden yang berbentuk nugget dapat ditemukan pada lingkungan yang berbeda dari tempat deposit emas terjadi. Hal ini disebabkan oleh bakteri pada tanah yang memiliki kemampuan untuk mengakumulasi emas melalui proses difusi melewati dinding selnya dan masuk ke dalam cytoplasmanya. Diagenesis subsekuen dari sedimen yang mengandung mikroorganisme yang kaya akan emas akan menyebabkan terjadinya rekristalisasi dari emas menjadi bentuk seperti nugget. 5. PGE pada laterit Unsur-unsur kelompok platinum juga terdapat pada laterit. Kristal-kristal Pt-Fe atau Os-Ir-Ru dapat ditemukan pada pedolith, sebagai hasil perpindahan PGE pada zona pelapukan. Dipercaya bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konsentrasi PGE juga sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi Au dam

Ag. Pada daerah non laterit, PGE tidak akan tertransportasi sebagai senyawa klorit (PdCl42- dan PtCl42-), tetapi sebagai senyawa hidroksida (PdOH2 dan Pt OH2). Proses laterisasi menyebabkan berpindahnya komponen-komponen bijih berpindah, dengan mineral dasar terbentuk pada oksida Mn dan Au-Pt-Pd terbentuk bersamaan dengan karbon nonkristal, dan oksida atau oksihidroksida dari De-Mn. 6. Deposit lempung Mineral-mineral lempung merupakan produk pelapukan yang sangat berlimpah, baik yang terdapat in situ maupun yang berpindah dan mengalami deposisi. Mineral-mineral ini penting secara ekonomi pada industry kertas, keramik, filtrasi, dan minyak pelumas. Mineral-mineral lempng yang penting ini diantaranya adalah kaolinit, illit, dan kelompok smektit (termasuk monmorilonit). Kaolinit berasal dari kondisi lembab yang mendukung terjadinya hidrolisis asam pada batuan feldspar. Illit terjadi pada kondisi basa dengan pelapukan feldspar dan mika. Sedangkan smektit merupakan hasil pelapukan dari batuan intermediet sampai basa dibawah kondisi basa, dengan lapisan-lapisan intrakristalin air dan kation-kation yang dapat berganti-ganti. Mineral-mineral lempung tidak hanya dihasilkan dari pelapukan batuan saja, tetapi dapat ditemukan sebagai produk dari alterasi hidrotermal bertemperatur rendah. Tags: Bauksit, Deposit Lempung, Laterit Emas, Laterit Nikel, Laterit PGE, Pembentukan Laterit Comment PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK LAPANGAN Filed under: Dunia Geologi by Wei Min Han Leave a comment May 17, 2010 Berdasarkan SNI 03-2849-1992 dan modul praktikum VI Mata Kuliah Geologi Teknik Teknik Geologi ITB Definisi Peta geologi teknik adalah jenis peta geologi yang memberikan suatu gambaran umum semua komponen dari suatu lingkungan geologi yang dianggap penting untuk kepentingan teknik sipil. Peta geologi teknik harus dibuat berdasarkan: 1) Kegunaan, untuk peta khusus hanya menyajikan salah satu aspek geologi teknik. Misalnya longsoran; sedangkan peta serba guna menyajikan berbagai aspek geologi teknik. 2) Isi: peta analisis, hanya menyajikan rincian suatu masalah lingkungan geologi, misalnya kegempaan, kegunungapian; untuk peta umum, menyajikan unsur-unsur dasar geologi teknik secara umum; untuk peta bantu, misalnya peta konstruksi kontur; untuk peta pelengkap, misalnya peta tanah, peta geomorfologi, peta geohidrologi dan sebagainya. 3) Skala : peta berskala besar (1 : 10.000), peta berskala sedang (1 : 10.000 atau > 1 : 10.000); peta berskala kecil (1 : 10.000 atau < 1 : 10.000). Tahapan persiapan pemetaan geologi teknik Dalam tahap persiapan selain dilakukan pekerjaan yang meliputi pesiapan sebelum pemberangkatan tim menuju ke lokasi pemetaan, dilakukan juga pengumpulan peta topografi, data curah hujan, peta hidrogeologi, peta penggunaan lahan dan peta geologi sebagai dasar penyusunan peta geologi teknik. Selain itu juga dilakukan studi literatur dari laporan-laporan terdahulu. Peralatan yang digunakan untuk pengujian di tempat, antara lain: Kompas geologi dan palu geologi; Lensa pembesar. Dengan pembesaran antara 10-20 kali; Komparator ukuran butir; Kantong untuk contoh tanah atau batu; Buku catatan lapangan komplit dengan alat tulis; Papan penjepit; Tas Lapangan untuk menyimpan peta dan alat tulis; Tas untuk contoh batuan dan perbekalan; Kamera untuk pembuatan dokomentasi dilapangan; Cairan HCl, 0,1 N. Pekerjaan lapangan pemetaan geologi teknik

a. Pengamatan morfologi dan strukur geologi, dilakukan untuk mengetahui karakteistik struktur geologi dan bentang alamnya seperti kemiringan lereng dalam kaitannya dengan jangkauan optimum sudut lereng untuk keperluan berbagai bangunan dan tataguna lahan. b. Pengamatan sebaran tanah dan batuan, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi geologi teknik secara umum di daerah pemetaan berdasarkan satuan-satuan tanah permukaan dan batuan yang ada di lokasi daerah pemetaan. c. Pengamatan fenomena geologi teknik/geodinamika, dilakukannya pengamatan, pendataan, dan penglokalisiran adanya fenomena-fenomena geologi teknik. d. Pengujian keteknikan tanah dan batuan, untuk mendapatkan konsistensi, kepadatan, dan plastisitas tanah. e. Pengambilan contoh tanah dan batuan, untuk pengujian di laboratorium mekanika tanah. f. Pengamatan sebaran sumber daya dan bangunan, dimaksudkan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi mempunyai sumber daya bahan bangunan. g. Pemboran tangan, dilakukan untuk mengetahui data bawah permukaan meliputi ketebalan, urutan, dan jenis lapisan tanah. h. Pekerjaan sondir, untuk mendapatkan data kedalaman, nilai sondir, jumlah hambatan lekat, dan geseran setempat agar dapat diketahui besarnya daya dukung dan stratifikasi atau susunan, ketebalan dan sifat lapisan tanah. i. Pengamatan kondisi air tanah, ditujukan untuk mengetahui kedalaman muka air tanah yang dapat mempengaruhi perencanaan kontruksi fondasi bangunan. Pekerjaan Laboratorium Pekerjaan laboratorium yang dilakukan meliputi pengujian-pengujan terhadap sifat indeks tanah dari contoh tanah tak terganggu yang diambil dari lapangan, meliputi aalisis ukuran butir, batas Atterberg, kadar air, berat isi dan berat jenis tanah, dan direct shear. Analisis data dan pembuatan laporan Analisis data dimaksudkan untuk mempelajari dan mencari hubungan serta pengaruh dari faktor-faktor morfologi, geologi, struktur geologi, tataguna lahan dan aktifitas manusia terhadap pengelompokan formasi geologi teknik, penentuan satuan geologi teknik, serta analisis perhitungan daya dukung tanah dan perosokan tanah.

You might also like