You are on page 1of 26

SEKlLAS PANDANG TENTANG ALlRAN FILSAFAT MODERN I. IDEALISME a.Pengertian Pokok.

Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas rohroh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. b.Perkembangan Idealisme. Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mulamula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke18 dan 19 ketika periode Idealisme. Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropah. II. MATERIALISME a. Pengertian Pokok. Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah satu. b. Perkembangan Materialisme. Pada abad pertama masehi faham Materialisme tidak mendapat tanggapan yang serius, bahkan pada abad pertengahan, orang menganggap asing terhadap faham Materialisme ini. Baru pada jaman Aufklarung (pencerahan), Materialisme mendapat tanggapan dan penganut yang penting di Eropah Barat. Pada abad ke-19 pertengahan, aliran Materialisme tumbuh subur di Barat. Faktir yang menyebabkannya adalah bahwa orang merasa dengan faham Materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam. Selain itu, faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalildalil yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataankenyataan yang jelas dan mudah dimengerti. Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama dimana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham Materialisme ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan (atheis) yang

sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Pada masa ini, kritikpun muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang Materialisme. Adapun kritik yang dilontarkan adalah sebagai berikut : 1. Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari khaos (kacau balau). Padahal kata Hegel. kacau balau yang mengatur bukan lagi kacau balau namanya. 2. Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. padahal pada hakekatnya hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga. 3. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda itu sendiri. padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar alam itu sendiri yaitu Tuhan. 4. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling mendasar sekalipun.

Pengertian Realisme
Untuk beberapa tahun pada akhir 1870, Munich telah menjadi basis bagi sekelompok artis muda Norwegia yang memberikan kontribusi penting sebagai Realis termasuk didalamnya adalah Hans Heyerdahl (1857-1913), Kitty L Kielland (1843-1924), Harriet Backer (1845-1932), Erik Werenskiold (1855-1938), Christian Skredsvig (1854-1924), Theodor Kittelsen (1857-1914) dan Gerhard Munthe (1849-1929). Selama tahun 1880, artis-artis ini pindah ke Paris, yang menjadi pusat baru bagi para artis Norwegia. Disana mereka bergabung dengan dua figur penting lainnya, Christian Krohg (1852-1925) dan Fritz Thaulow (1847-1906), keduanya pernah belajar dengan Gude di Karlsruhe pada tahun 1870. Pelukis penting beraliran Realis lainnya adalah Eilif Peterssen (1852-1928), yang tidak belajar di Paris tapi di Italia. Beberapa artis ini kemudian memilih untuk kembali ke Norwegia, dan pada tahun 1882 mereka menyelenggarakan Hstutstillingen (Pameran Musim Gugur), koleksi seni kontemporer Norwegia yang didanai publik mulai dari tahun 1884 dan saat ini menjadi Pameran Seni Nasional. Pada saat yang bersamaan, mereka mendirikan sistem baru dimana para artis tersebut menjual sendiri karya mereka, memutuskan apa yang harus disertakan dalam pameran dan bahkan menyeleksi komisi untuk seni umum. Diantara para kelompok artis yang kembali, ada beberapa pribadi yang secara keras menolak nilai-nilai pendahulu mereka. Walaupun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap tradisi, para artis muda ini sangat berbeda dalam hal tingkah laku dan temperamen. Konflik juga terjadi diantara kedua kelompok. Satu kelompok, dipimpin oleh Christian Krohg sangat radikal, individualistis dan internasionalis, sementara kelompok lainnya dipimpin oleh Erik Werenskiold lebih beraliran nasionalis dan liberal dalam arti politik, namun juga bermoral dan berprinsip tinggi. Werenskiold melukis situasi yang sederhana namun memiliki karakteristik yang ditempatkan di pemandangan alam yang telah dipelajari dengan baik. Sejajar dengan Wrenskiold adalah Theodor Kittlesen, yang walaupun merupakan juru gambar yang lebih baik daripada menjadi pelukis, memberikan kontribusi signifikan terhadap nasionalisme dengan menggambarkan edisi standar Cerita Rakyat Norwegia. Pengikut Werenskiold lainnya adalah Christian Skredsvig, yang menolak untuk menekankan

implikasi kesusasteraan dan simbolisme subyek lukisannya, dan Eilif Peterssen, yang ambisinya terhadap lukisan bersejarah secara tidak langsung mengikuti contoh pendahulunya. Kitty L Kielland, salah satu pelukis pemandangan alam yang konsisten dalam periodenya, lebih banyak bekerja en plain air di Jren di pantai Barat Norwegia. Gerhard Munthe, yang juga merupakan seorang nasionalis memiliki hubungan dekat dengan petualang dan ilmuwan Fridjof Nansen, dan bersama-sama membentuk Lysakerkretsen (Masyarakat Lysaker) untuk memajukan nilai-nilai nasionalisme Norwegia. Masyarakat ini bertemu dengan lawan tangguh yaitu Christian Krohg, pemimpin Bohemian Oslo yang percaya bahwa menulis sama pentingnya dengan melukis dan mengatakan bahwa semua seni nasional buruk dan semua seni yang baik adalah nasional. Ia beranggapan bahwa fokus artistik harus dikonstrasikan pada kehidupan yang dijalani dan dialami oleh individu. Di lain pihak, Fritz Thaulow menginginkan seni hanya berfokus pada seni, mengatakan bahwa lebih banyak artis harus mengkonsentrasikan energi mereka pada proses melukis yang sesungguhnya, tidak berusaha untuk mengancam permasalahan sosial dan manusia. Sementara Harriet Backer memilih untuk mengasingkan diri dari debat tersebut, lebih berkonsentrasi ke pemandangan interior, walaupun dengan gaya yang sedikit lebih abstrak dibandingkan dengan pelukis nasionalis sebelumnya.

1. A.

Aliran Perenialisme

Menurut Ali Saifullah, aliran perenialisme termasuk dalam kategori filsafat pendidikan akademis-skolastik. Kategori ini meliputi dua kelompok yakni aliran perenialisme sendiri, essensialisme, idealisme dan realisme, dan kelompok progressif meliputi progresivisme, rekonstruksionisme dan eksistensialisme. Perenialisme diambil dari kata perennial, yang diartikan sebagai continuing throughout the whole year atau lasting for a very long time, yang bermakna abadi atau kekal. Dari makna tersebut mempunyai maksud bahwa Perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal dan abadi.[1] Aliran perenialisme menurut Zuhairini sebagaimana dikutip Abdul Khobir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menganggap bahwa zaman modern adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan sehingga banyak menimbulkan krisis di segala bidang kehidupan manusia. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan regressive road to culture, yaitu jalan kembali atau mundur kepada kebudayaan lama (masa lampau), kebudayaan yang dianggap ideal dan telah teruji ketangguhannya. Disinilah pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam rangka mengembalikan keadaan manusia modern kepada kebudayaan masa lampau yang ideal tersebut.

1. B.

Latar Belakang Munculnya Aliran Perenialisme

Teori kependidikan kalangan perenialis mencuat sebagai sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk reaksi terhadap kalangan progresif. Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah penolakan besar-besaran terhadap cara pandang progresif. Bagi

kalangan perenealis, permanensi (keajegan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan sosial yang sangat menonjol, adalah lebih riil (nyata) dari pada konsep perubahan kalangan pragmatis. Dengan demikian kalangan perenialis mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide-gagasan yang luhur (menyejarah dari budaya manusia), ide-gagasan ini telah terbukti keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar, dan karya-karya besar pemikir masa lalu.[2] Oleh karena itu perenialisme memandang pendidikan adalah sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, education as cultural regression. Perenialisme tak melihat jalan yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu dan kebudayaan abad pertengahan.[3]

1. C.

Pandangan Ontologi Perenialisme

Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi. Secara ontologis, perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda individual di sini adalah benda sebagaimana yang tampak di hadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indra seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu. Esensi dari suatu kualitas menjadikan suatu benda itu lebih intrinsik daripada fisiknya, seperti manusia yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Sedangkan aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial. Dengan demikian, segala yang ada di alam semesta ini, seperti manusia, hewan, dan tumbuhtumbuhan, merupakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada tidak hanya merupakan kombinasi antara zat atau benda, tapi juga merupakan unsur potensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas. Sejalan dengan apa yang dikatakan Poedjawijatna, bahwa esensi dari kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini, manusia dapat makin mendekatkan diri menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta dan tujuan akhir.

1. D.

Pandangan Epistemologis Perenialisme

Perenialisme berpangkal pada tiga istilah yang menjadi asas di dalam epistemologi yaitu truth, self evidence, dan reasoning. Bagi perenialisme truth adalah prasyarat asas tahu untuk mengerti atau memahami arti realita semesta raya. Sedangkan , self evidence adalah suatu bukti yang ada

pada diri (realita, eksistensi) itu sendiri, jadi bukti itu tidak pada materi atau realita yang lain. Dan pengertian kita tentang kebenaran hanya mungkin di atas hukum berpikir (reasoning), sebab pengertian logis misalnya berasal dari hukum-hukum berpikir. Dalam pandangan Perenialisme ada hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat, seraya menyadari adanya perbedaan antara kedua bidang tersebut. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa-empiris dan analisa ontologis keduanya dianggap Perenialisme dapat komplementatif. Dan meskipun ilmu dan filsafat berkembang ke tingkat yang makin sempurna, namun tetap diakui bahwa fisafat lebih tinggi kedudukannya daripada ilmu pengetahuan.[4] E. Pandangan Aksiologi Perenialisme

Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam Perenialisme, karena ia berdasarkan pada asasasas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran demikian bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itulah yang bersesuaian dengan sifat rasional manusia, karena manusia itu secara alamiah condong pada kebaikan. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi: nafsu, kemauan, dan pikiran. Maka pendidikan hendaknya berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan pada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian, hendaknya pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan, dan pikiran. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.[5] F. Pandangan Perenialisme Tentang Belajar

Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut.[6] Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama: 1. Mental dicipline sebagai teori dasar. Menurut Perenialisme latihan dan pembinaan berfikir (mental dicipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar. Karena program yang diadakan dalam lembaga pendidikan adalah untuk pembinaan berpikir.[7] 1. Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan. Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri (essential self)yang membedakannya dari makhluk yang lain.

1. Learning to Reasson (Belajar untuk berpikir). Perlu adanya penanaman pembiasaan pada diri anak sejak dini dengan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung. Dari sini, belajar untuk berpikir menjadi tujuan pokok sekolah menengah dan universitas. Learning to Reasson (Belajar untuk berpikir)Sekolah bukanlah merupakan situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan dimana ia bersentuhan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya. 1. Learning through teaching (Belajar melalui pengajaran). Fungsi guru menurut Perenialisme berbeda dengan essensialisme. Menurut essensialisme guru sebagai perantara antara bahan dengan anak yang melakukan proses penyerapan. Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar mengajar.[8] G. Pandangan Perenialisme Mengenai Pendidikan

Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum, bukan spesialis, liberal bukan vokasionalis, yang humanistik bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya, yakni pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia.[9] Dan sebagai filsafat pendidikan umumnya, filsafat pendidikan Perenialisme juga mempengaruhi sekolah-sekolah modern sekarang, dimana pandangan-pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik pendidikan. 1. Pendidikan Dasar dan (Sekolah) Menengah 1. Pendidikan sebagai persiapan Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada sikapnya tentang education as preparation. Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju aktualitas, menuju kematangan. 1. Kurikulum Sekolah Menengah Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan menengah. Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program, general education dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun.[10] 1. Pendidikan Tinggi dan Adult Education 1. Kurikulum Universitas

Program General Education dipersiapkan untuk pendidikaan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi 1. Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education) Tujuan pendidikan orang dewasa adalah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengaruh-pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana guna mereorganisasi pendidikan anak-anaknya, dan membina kebudayaannya.[11] A. PENGERTIAN ALIRAN ESENSIALISME DAN SEJARAHNYA Aliran Filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan kebudayaan lama itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak zaman Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Didalam zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadapa tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu terletak dalam ajaran para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan yang telah mewariskan kepada umat manusia segala macam ilmu pengetahuan yang telah mampu menembus lipatan qurun dan waktu dan yang telah banyak menimbulkan kreasi-kreasi bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia. Esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progrevisme terhadap nilainilai yang tertanam dalam warisan budaya/ sosial. Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus-ratus tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.

Bagi aliran ini Education as Cultural Conservation, Pendidikan Sebagai Pemelihara Kebudayaan. Karena ini maka aliran Esensialisme dianggap para ahli Conservative Road to Culture yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada nilainilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehinga memberikan kestabilan dan arah yang jelas. B. CIRI-CIRI UTAMA ALIRAN ESENSIALISME Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas. Idealisme dan Realisme adalahaliran-aliran filsafat yang membentuk corak Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing. Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.

Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan(ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri. Sedangkan, ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut : 1. minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa. 2. pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia. 3. oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. 4. esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah. C. POLA DASAR PENDIDIKAN ESSENSIALISME Uraian berikut ini akan memberikan penjelasan tentang pola dasar pendidikan aliran esensialisme yang didasari oleh pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah dan materialistik. Untuk mendapatkan pemahaman pola dasar yang lebih rinci kita harus mengenal dari referensi pendidikan esensialisme. Imam Barnadib (1985)11) mengemukakan beberapa tokoh terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus memberikan pola dasar pemikiran mereka. 1. Desidarius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke15 dan permulaan abad ke 16, adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yanag berbijak pada dunia lain. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat

humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat. 2. Johann Amos Comeniuc (1592-1670), tokoh Reinaissance yang pertama yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang dogmatis, dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikaan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan. 3. John Lock (1632-1704), tokoh dari inggris dan populer sebagai pemikir dunia mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. 4. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuankemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya kepada hal-hal yang transendental, dan manusia mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan. 5. Johann Frederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental pula yang corak pandangannya bersifat kosmissintetis, dan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti ketentuan dari hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan ia memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya. 6. Johann Fiedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, berarti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan, dan ini pula yang disebut pengajaran yang mendidik dalam proses pencapaian pendidikan. 7. Tokoh terakhir dari Amerika Serikat, William T. Harris (1835-1909)-pengikut Hegel, berusaha menerapkan Idealisme Obyektif pada pendidikan umum. Menurut dia bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME


Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuankemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progress. Oleh karena itu kemajuan atau progress ini menjadi inti perhatian progressivisme, maka, beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan, mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asa eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Sedangkan dinamakan environmetalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian. Progresivisme yang lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859- 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme dimana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk tetap survive terhadap semua tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Di sini kita bisa menganggap bahwa filsafat progressivisme merupakan The Liberal Road of Culture (kebeba san mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat

fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif, aktif serta dinamis. Untuk mencapai perubahan tersebut manusia harus memiliki pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel, curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded. Filsafat progressivisme telah memberikan kontribusi yang besar di dunia pendidikan, dimana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru. A. ONTOLOGI Sifat utama darai pragmatisme mengenai realita, sebenarnmya dapat dikatakan John Dewey, dalam bukunya yang berjudul Creative Intelligence, mengatakan;. dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum.Diantara kaum pragmatis jadi progresivis John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai konsep tentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak. Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teoriteori atau cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud yang lainnya. di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). B. EPISTIMOLOGI Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman yang keduanya tidak dapat dilepaskan satu sama lain agar dapat dimengerti arti masing-masing itu. Pengetahuan yang merupakan hasil dari aktivitas tertentu diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalam dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya, ataupun pengetahuan yang diperoleh melalui catata-catatan buku-buku, kepustakaan. Untuk mengtahui teori pengetahuan yang dimaksud, perlu kiranya menunjau istilah-istilah dan arti seperti induktif, rasional dan empirik. Induktif merupakan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti dengan penarikan kesimpulan secara umum.

Deduktif adalah sebaliknya, artinya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan berlandaskan ketentuan umum yang berupa postulat postulat dan spekulatif. Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal adalah instrument utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan. Fakata yang masih murni saja yang belum diolah atau disusun belum merupakan pengetahuan. Sehingga masih membutuhkan pengorganisasian tertentu dari bahan-bahan mentah tersebut. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Oleh sebab adanya prisip-prinsip epistemologi tersebut di atas, progresivisme mengadakan pembedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Sedangkan kebenaran ialah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahklan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menumbuhkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu yang mungkin keadaannya kacau. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan anatara manusia dengan lingkungan, baik yang berwujud lingkungan fisik, maupun kebudayaan atau manusia. Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa ini kita tahu atau ini adalah kebenaran merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran. C. AXIOLOGI

Aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai, penyelidikan tentang kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai. Nilai tidak timbul dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah bersifat eksklusif. Ini berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan. Berdasarkan pandangan diatas, progresivisme tidak mengadaklan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti juga halnya pengetahuna dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional; bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hubungan timbal balik dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan pada nilai. Nilai-nilai yang sudah tersimpan sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan tinjauan dan penentuan mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai merupakan bagian integral dari pengalaman dan bersifat relative, temporal dan dinamis. Maka sifat perkembangannya berdasarkan pada dua hal; untuk diri sendiri dalam arti kebaikan instrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaikan instrumental. aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsepkonsep semacam seharusnya atau sepatutnya (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari

analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai. Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.

FALSAFAH PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME


OLEH: ZIHAM ZAWAWI MAZLAN Aliran pemikiran eksistensialisme ini muncul pada abad ke-19 dan ke-20 dan di pelopori oleh seorang berketurunan Yahudi, Jean-Paul Satre (Kailani, 2002). Mazhab ini juga didukung oleh individu seperti: ahli falsafah dan teologi Denmark, Soren Kierkegaard (1813-55), tokoh atheis Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900), ahli ontologi Jerman, Martin Heidegger (18891976), ahli falsafah Katolik Perancis, Gabriel Marcel (1889-1973), ahli falsafah dan pakar psikiatri Jerman, Karl Jaspers (1883-1969), novelis dan ahli falsafah Perancis, Simone de Beauvoir (1908-86) dan ahli fenomenologis Perancis, Maurice Merleau-Ponty (1908-61) (Priest, 2001). Aliran mazhab eksistensialisme ini berfokuskan kepada fitrah kewujudan manusia. Dengan kata lain, manusia dianggap sebagai dilahirkan tanpa sebarang tujuan (Keow, 2008). Adakah anda bersetuju? Ahli-ahli eksistensialisme dan para pengikutnya hanya melihat realiti sebagai sesuatu yang bersifat subjektif dan hanya boleh didefinisikan oleh individu yang berkenaan sahaja. Aliran mazhab ini mula memasuki aliran pemikiran masyarakat lewat tahun-tahun selepas Perang Dunia Kedua. Satre mula menggunakan perkataan existentialism atau eksistensialisme dalam satu kuliahnya yang terkenal iaitu pada Oktober 1945 yang bertajuk Existentialisme and Humanism (LExistentialisme est un Humanisme).Berdasarkan kuliah yang diberikan oleh Satre, aliran pemikiran ini berpandangan bahawa seseorang individu seharusnya bertanggungjawab ke atas diri sendiri dan mempunyai kebebasan untuk menentukan matlamat serta membuat keputusan sendiri tanpa merujuk sebarang autoriti luar. Berdasarkan konsep di atas, sistem sekolah atau guru tidak mempunyai hak untuk menekankan matlamat pendidikan ke atas murid. Oleh hal yang demikian matlamat pendidikan tidak digariskan. Selain hal itu, mazhab ini juga tidak menggariskan subjek-subjek yang perlu diajarkan di sekolah. Walaubagaimanapun, subjek-subjek yang bersifat estetik dan berfalsafah seperti seni, kesusasteraan, dan drama difikirkan relevan. Dari aspek guru pula, guru berperanan sebagai pemangkin yang menyediakan peluang pendidikan bagi anak murid mereka meluahkan perasaan dan emosi. Guru juga perlu menggunakan teknik atau kaedah pengajaran dan pembelajaran yang berpusatkan aktiviti serta berpusatkan murid-murid. Sejajar dengan kaedah yang digunakan oleh guru, murid-murid pula perlu melibatkan diri secara aktif agar dapat memaksimumkan peluang pendidikan yang disediakan. Untuk lebih memahami lagi asimilasi aliran mazhab ini dalam konteks pendidikan,

cuba

fahami

situasi

ini.

Hari ini, Cikgu Reeni mengajar tentang haiwan yang memakan daging. Esok Cikgu Reeni bercadang untuk mengajar tentang haiwan pula. Untuk itu, Cikgu Reeni bertanyakan kepada anak muridnya jika mereka mahu belajar tentang haiwan herbivor pula. Jika semua muridnya bersetuju, Cikgu Reeni memberi arahan kepada anak muridnya agar datang ke kelasnya pada esok hari dengan membawa bahan-bahan yang telah diambil dari buku, internet, majalah dan sebagainya Daripada situasi di atas dapatlah dirumuskan bahawa Cikgu Reeni menggunakan falsafah eksistensialisme dalam proses pengajaran dan pembelajarannya dengan memberi kebebasan kepada anak muridnya untuk memilih tajuk yang ingin dipelajari dan bebas memilih bahan yang ingin digunakan semasa P&P nant

KONSTRUKTIVISME

Sebelum masuk ke dalam pembahasan bagaimana konstuktivis memahami hubungan antara ide-ide dan realita serta apakah kekuasaan bisa diberi ukuran netral (objektif) terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu konstruktivis. Tradisi pemikiran konstruktivisme berkembang di Amerika Serikat (AS) sejak berakhirnya Perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional, realisme dan liberalisme, dalam memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis. Riset-riset konstruktivis sosial telah memunculkan tantangan serius bagi pendekatan-pendekatan ini. Konstruktivis adalah aliran pemikiran dalam HI yang mempertanyakan pemahaman rasionalitas manusia dan kedudukan individu-individu dalam eksistensi kesosialannya. Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Konstuktivis memberikan perhatian pada wacana umum yang ada di tengah masyarakat karena wacana membentuk dan merefleksikan keyakinan, kepentingan dan mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai yang melandasi masyarakat untuk bertindak. Wacana adalah instrumen perantara untuk mempertahankan norma-norma

yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Masyarakat yang termasuk di dalamnya individu-individu atau negara-negara pada dasarnya sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari konteks nilai-nilai kolektif yang membentuk kesatuan itu. Secara ontologis, konstruktivisme dibangun diatas tiga proposisi utama 1. Struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri dari aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. 2. Berbeda dengan neorealis dan marxis, yang menekankan pada struktur material dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. 3. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Struktur normatif dan ideasional-lah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik. Ada beberapa hal penting yang sangat sentral dalam konsturktivis. Pertama adalah Perubahan, dimana ide-ide tentang konstruksi sosial diajukan secara berbeda bersilangan dalam berbagai konteks dan bukanlah sebuah realitas objektif yang tunggal. Kedua Dimensi-dimensi sosial, menekankan norma-norma, aturan-aturan dan bahasa serta bagaimana hal-hal yang material dan ideasional menjadi faktor-faktor yang dikombinasikan dalam berbagai kemungkinan konstruksi yang berbeda dengan segala hasil keluarannya. Ketiga Proses-proses interaksi, dimana aktor-aktor

menentukan pilihan dalam setiap proses interaksi dengan aktor-aktor lainnya dengan mengikutsertakan kesejarahan, kebudayaan dan berbagai perbedaan realitas politik kedalam interaksi tersebut. Konstruktivisme dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar. 1. Systemic Constructivism

Pendekatan ini lebih banyak mengadopsi pandangan neorealisme yakni melihat interaksi antar unit internasional/states. Mereka mengabaikan struktur yang ada pada level domestik. Fokus kajiannya adalah bagaimana munculnya norma, nilai dan identitas bersama dalam bentuk interaksi antar negara seperti kerjasama di dalam organisasi internasional, kerjasama regional dan juga konflik antar negara. 2. Unit-level constructivism Pendekatan ini adalah kebalikan dari systemic constructivism. Fokus kajiannya adalah hubungan antara entitas sosial di tingkat domestik dengan normanorma hukum, indentitas dan kepentingan sebuah negara. 3. Holistic Constructivism Berbeda dengan Sistemic dan Unit-level Constructivism, Holistic

Constructivism tidak memisahkan analisa sektor domestik dan internasional. Perspektif ini lebih melihat domain domestik dan internasional sebagai sebuah kesatuan yang berinteraksi satu sama lain dalam proses pembentukan identitas dan nilai. Fokus utama kajiannya adalah menganalisis perubahan yang terjadi di dalam sistem internasional. Bagi konstruktivis struktur sosial adalah subyek nilai-nilai, konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan(sources of change). Struktur sosial adalah kesepahaman suatu masyarakat tentang nilai-nilai, apa yang dapat diterima dan dijalankan oleh anggota-anggotanya (legitimate behavior). Dapat dicontohkan dengan seseorang masuk dalam suatu komonitas tidak ditentukan oleh kekayaannya namun bagaimana aktor yang menjalankan komunitas itu menetapkan nilai-nilai dan identitas apa yang dapat diterima dan apa yang tidak. Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi.Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis.

Sementara itu ide-ide yang dikemukan oleh konstuktivisme dibentuk melalui tiga mekanisme yaitu: 1. Imagination struktur non-material (norma, nilai, cara pandang), yang menetapkan cara pandang aktor, bagaimana dia bertindak, persepsinya terhadap aktor lain, dan strategi apa yang diambil untuk mencapai tujuannya masing-masing. 2. Communication ide dan persepsi yang terbangun sebelumnya kemudian dikomunikasikan kepada pihak lain (misal seorang kepala negara mengkomunikasikan idenya kepada parlemen untuk mendapatkan legitimasi yang kemudian menjadi sebuah tindakan dari sebuah negara). 3. Constraint yang berupa justifikasi terhadap norma dan nilai yang dibangun oleh aktoraktor di dunia internasional. Justifikasi ini menguntungkan sebagaian pihak, namun di sisi lain juga menghalangi tindakan yang lain. Dimata neorealism setiap negara dibatasi tindakannya oleh sistem internasional yang anarki, oleh kapasitas dan oleh distribusi power yang dimilikinya. Bagi konstruktivis tindakan negara dibatasi oleh ide-ide kolektif (Onuf 1989).

Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Bagi kaum konstruktivis kepentingan maupun identitas sosial tidak dapat dijelaskan dengan interpretasi nilainilai sosial (social meaning). Kita dapat melihat dengan contoh identitas kaum kapitalis tidak dapat dipisahkan dari penumpukan atau pengumpulan keuntungan begitu juga dengan paham identitas masyarakat realis yang hanya memikirkan kepentingan negara (national interest) serta identitas politik demokrasi liberal yang menerapkan hukumhukum kebebasan politik. Komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association). Berbeda dengan kaum rasionalis yang melihat kepada dunia material, konstruktivis lebih kepada dunia ide-ide. Konstruktivis memusatkan perhatian pada nilai-nilai kolektif (kelompok). Konstruktivis

melengkapi dimensi-dimensi sosial yang tidak diperhatikan oleh kaum rasionalis, yaitu ide-ide yang membentuk dan menetapkan isi dari perilaku-perilaku yang tampak di luar, pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat. Contoh bagaimana struktur internasional terbentuk bisa dilihat, misalkan satu negara berinteraksi dengan beberapa negara dengan persepsi, norma dan nilai-nilai yang dianut oleh negara-negara yang berinteraksi tersebut. Dan dari proses interaksi yang timbal-balik ini muncul kesepaham akan struktur internasional. Contoh yang lain adalah negara-negara yang tergabung dalam NATO bertindak berdasarkan nilai yang dianutnya(subjektivity) bukan karena berdasarkan asumsi kausalitas(sebab-akibat). Proses timbal-balik inilah yang dimaksud dengan intersubjectivity (kumpulan dari proses subjectivity). Sementara Steve Smith menulis, untuk memahami teori-teori internasional saat ini ada dua distinction yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, perbedaan antara explanatory theory dan constitutive theory. Kedua mengenai foundational theory dan anti-foundational theory. Bagi explanatory theory, dunia berada di luar teori. Sebaliknya constitutive theory menyatakan bahwa teori-teori yang ada mengonstruksi dunia. Artinya, bagi kalangan eksplanatoris dunia dipahami berdiri sendiri tidak terpengaruh oleh faktor subjektivitas aktor-aktor yang berdinamika di dalam dunai sosial. Dunia bersifat objektif. Tetapi sebaliknya, kalangan constitutive melihat dunia sebagai hasil pemahaman individu atas lingkungan sosialnya. Tentang perbedaan antara foundational theory dan anti-foundational theory terletak pada isu apakah keyakinan (belief) kita tentang dunia dapat dites atau dievaluasi menggunakan prosedur yang netral dan objektif. Bagi foundationalist kebenaran dapat diukur sehingga justifikasi atas benar atau salah dapat dilakukan. Berbeda, anti-foundationalist berpendapat bahwa bahwa justifikasi benar atau salah atas klaim kebenaran tidak dapat dilakukan karena tidak pernah ada sesuatu yang netral yang dapat melakukan itu. Bahkan setiap teori menentukan sendiri apa yang disebut sebagai fakta. Dan konstruktivisme berada di antara kedua kutub tersebut. Bagi konstruktivis proses konstruksi ide-ide merupakan hal yang perlu dikaji dan diamati, bukan fakta-fakta itu sendiri, seperti yang diupayakan oleh teori kritik. Fakta penting untuk mempelajari makna tindakan dan bagaimana para aktor membuat dan

memaknai fakta itu sehingga fakta itu menjadi significant dan dominant dalam pemahaman banyak orang. Alexander Wendt dalam tulisannya yang berjudul New Approaches to International Theory, Wendt berasumsibahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Selain itu Wendt juga menyatakan bahwa collective meaning menentukan struktur yang mengatur tindakantindakan kita. Dan aktor-aktor memperoleh kepentingan dan identitasnya melalaui pertisipasi di dalam collective meaning tersebut. Bagaimana hubungan ide-ide dengan realita sesuai dengan pemahaman konstruktivisme? Konstruktivisme ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari perkembangan tren wacana sosial dewasa ini yang lebih banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan dunia ide yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan konstruksi sosial atas realitas. Disini dapat kita lihat bagaimana dunia yang dikembangkan ide-ide tersebut menjadi wacana sosial dan secara langsung mempengaruhi realitas yang ada pada masyarakat. Apalagi dengan jaman yang mobilitas dan informasi yang sangat mudah di dapat melalui media-media yang bergerak secara cepat, membuat konstuksi sosial tersebut membentuk realita-realita yang ada. Suatu negara dengan identitas dan nilai-nilai yang dianutnya menentukan bagaimana dia berinteraksi dengan negara lain. Jadi menurut saya ide-ide yang dimunculkan dari masyarakat internasional yang saling berinteraksi (intersubjectif) sehingga membentuk realita-realita berdasarkan norma-norma dan identitas. Apakah kekuasaan dapat diberi ukuran netral (objektif)? Masalah kekuasaan yang diberikan ukuran netral, secara epistimologi konstruktivis menyetujui bahwa

pengetahuan haruslah objektif, dalam arti peneliti bukan yang menentukan pilihanpilihan atas nilai-nilainya, baik atau buruk. Karena itu konstruktivis tidak mau menyebut dirinya sebagai kaum relativis. Tapi dalam masalah kekuasaan ukuran netral tidak dapat diberikan selain tidak menyangkut dengan pengetahuan konstruktivis

menganggap kekuasaan merupakan suatu perspektif. Karena sistem internasional yang anarkis adalah dari persepsi negara-negara itu sendiri. Selain itu identitas atau bentuk kerjasama maupun konflik dibangun oleh negara-negara yang terlibat kerjasama regional dan di dalam organisasi internasional dengan berdasarkan nilai-nilai yang

dianut sehingga menciptakan aturan-aturan, prinsip-prinsip dan norma-norma bersama diantara anggotanya. Dan menurut saya kekuasaan merupakan wujud dari identitas dan norma-norma yang diterapkan oleh suatu negara atau organisasi dan hanya berdasarkan kepentingan dan nilai yang mereka anut.

Rasionalisme
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas. Lompat ke: pandu arah, cari

Rasionalisme adalah suatu kaedah penyelidikan dan ujikaji yang menyatakan bahawa akal adalah sumber utama pengetahuan. Bertentangan dengan empirisisme secara teorinya, ia menafikan pengalamaan pancaindera sebagai sumber pengetahuan. Konsep utama yang menjadi pegangan ini ialah kepercayaan terhadap kemampuan dan autoriti akal fikiran (alasan) untuk menyingkap ilmu dan kebenaran. Rasionalisme mengukur bahawa daya intelek yang wujud secara semulajadi dalam diri manusia mampu mencari dan menanggapi kebenaran. Rasionalisme menganggap akal sebagai sumber tertinggi untuk mendapat kebenaran dan mencapai segala ilmu pengetahuan. Rasionalisme yang berasaskan nilai-nilai saintifik menolak adanya wahyu dan mukjizat keranan dianggap tidak logik. Ukuran sama ada sesuatu itu saintifik atau tidak juga terletak pada sama ada ia logik ataupun tidak. Dari sudut sejarah, perintis awal aliran rasionalisme ialah Heraclitus, yang meyakini akal melebihi pancaindera sebagai sumber ilmu. Menurut beliau akal manusia boleh berhubung dengan akal ketuhanan yang memancarkan sinaran cahaya ttuhan dalam diri manusia. Pada zaman pertengahan rasionalisme Yunani berkembang di tangan tokoh-tokoh Socrates, Plato dan Aristotle. Rasionalisme mencapai zaman kemuncaknya pada zaman Aristotle yang berusaha menangkis serangan pemikiran aliran Sufasthoiyyun yang menyebarkan pegangan bahawa Sesuatu perkara itu adalah dianggap baik bila manusia mengira ia adalah baik, dengan kata lain Manusia adalah kayu pengukur segala perkara. Hasil dari pengaruh tersebut, Aristotle telah memperkemaskan rasionalisme dengan menyusun kaedah ilmu logik secara sistematik dalam karyanya yang terkenal iaitu Organaon. Rasionalisme telah menguasai tamadun Yunani sehinggalah kepada zaman Helenisme. Di antara aliran moden yang berpaksi kepada rasioanalisme ialah aliran idealisme yang dipelopori oleh Spinoza (1632-1677) dan Leibniz (1646-1716). Tokoh lain yang mengembangkan rasionalisme ialah Descartes (1596-1716). Edward de Bono dalam bukunya, Thinking Course menyatakan bahawa logik ialah satu cara menjana maklumat daripada sesuatu keadaan. Maklumat yang hendak dijana ialah sesuatu yang benar dan diterima akal. Kebiasaannya, tokoh-tokoh yang mengembangkan rasionalisme mereka digelar sebagai seorang idealis.
V. EMPIRISME a. Pengertian Pokok Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan

dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otal dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapantanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi. b. Tokoh-tokohnya. 1. Francis Bacon (1210 -1292) 2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679) 3. John Locke ( 1632 -1704) 4. George Berkeley ( 1665 -1753) 5. David Hume ( 1711 -1776) 6. Roger Bacon ( 1214 -1294)

Pengertian Modernisme
Menurut Wikipedia : Modernisme ialah konsep yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya di zaman modern. Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni dan sastra) dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa itu 'modernisme'. Walaupun demikian, 'modernisme' pada umumnya dilihat sebagai reaksi individu dan kelompok terhadap dunia 'modern', dan dunia modern ini dianggap sebagai dunia yang dipengaruhi oleh praktik dan teori kapitalisme, industrialisme, dan negara-bangsa. Modernisme Seni di Eropa Modernisme seni di Eropa telah dimulai sejak tahun 1800an. Pada era ini, ditemukan teori relatifitas, dimulainya industrialisasi serta ilmu pengetahuan sosial yang memancing gaya gaya baru dalam bidang seni. Pergerakan seni pada era ini sejalan dengan hal hal diatas, gebrakan gebrakan dapat terlihat pada 15 tahun pertama abad ke 19. Bisa dilihat dari munculnya gaya lukisan abstrak ekspresionis di tahun 1903 yang dipelopori oleh Wassily Kandinsky dan bangkitnya cubism di tahun 1908 yang dipelopori Pablo Picasso dan Georges Braque. Di awal

Perang Dunia ke 1, tekanan dan ketidaknyamanan keadaan sosial yang terjadi seperti saat Revolusi Rusia, telah memunculkan pergerakan pergerakan radikal dalam seni yang menolak kebiasaan kebiasaan lama. Dimulai ketika Komposer ternama Rusia Igor Stravinsky di tahun 1913 mencoba memunculkan pertunjukan yang menunjukan manusia yang menjadi korban, serta Pablo Picasso dan Paul Matisse yang menolak sistem perspektif traditional yang menjadi ciri khas lukisan terstruktur, hal seperti ini bahkan belum pernah dilakukan oleh para pelukis impresionis sekelas Cezanne sekalipun. Inilah yang mulai memperjelas apa yang sebenarnya diistilahkan sebagai Modernism, yaitu penolakan serta pergerakan terhadap kesederhanaan gaya Realis dalam literature dan seni, serta mengubah tonality dalam musik. 1920, Modernisme yang di era sebelum perang hanyalah sebuah efek minoritas mulai menegaskan dirinya sebagai hal yang dapat mengubah zaman. Modernisme di eropa terlihat dalam pergerakan pergerakan seni yang kritis seperti Dadaism dan selanjutnya dalam pergerakan kontruktivisme seperti Surealisme, seperti juga dalam pergerakan pergerakan kecil seperti Bloomsburry Group (kelompok pelajar Bohemian di Inggris). Masing masing pergerakan ini menunjukan metode metode baru untuk menghasilkan hasil yang baru. Gaya gaya yang muncul, terutama Surealis, Cubis, Ekspresionisme, Fauvisme, Futurisme serta Leninisme secara cepat diadopsi daerah daerah luar yang jauh dari daerah asalnya. Yang cukup menonjol peranannya serta tidak dapat dilupakan ialah 2 kelompok besar era Modernisme yang menggusung kuat Modern art di Eropa dan belakangan diadopsi sampai ke Amerika, berbeda dengan gaya gaya di atas yang lebih berkategori anti art, 2 Kelompok ini lebih dikenal sebagai pengembang ide ide baru yang berkaitan dengan seni, arsitektur, desain dan pendidikan seni. 2 Kelompok ini ialah Bauhaus (Jerman) dan de Stijl (Belanda) Pada tahun 1930, Modernism di Eropa telah memperoleh posisi penting baik dalam politik dan seni. Namun demikian, Modernisme sendiri pada saat ini telah sedikit banyak berubah. Banyak reaksi yang mengatakan Modernism setelah tahun 1918 bersifat keterlaluan, tidak masuk akal serta lebih emosional. Pada periode setelah perang dunia Modernism kembali berbelok ke arah sitematisasi serta nihilism, seperti terlihat pada gerakan yang paling paradigmatis yaitu Dada. Gerakan Utama Dalam era Modernisme di Eropa, dua gerakan yang dapat dibilang menjadi pergerakan utama ialah Bauhaus di Jerman dan de Stijl di Belanda. Bauhaus yang dalam bahasa Jerman berarti Architecture House ialah sekolah seni dan arsitektur yang berdiri di Jerman dari tahun 1919 s/d 1933 sebelum pindah ke Amerika, gaya desain Bahaus menjadi salah satu gaya paling berpengaruh dalam gaya arsitektur serta interior era Modernisme di eropa. Beberapa tokoh terkenal dari Bauhaus ialah Gropius, Adolf Meyer, Mart Sam dan Marcel Breuer lewat karya karyanya yaitu Wasilly Chair, Chicago Tribune Tower dan Cantilever Chair. Pergerakan lainnya adalah de Stijl di Belanda, de stijl ialah pergerakan seni di Belanda yang dimulai tahun 1917 belakangan gaya de Stijl-lah yang akan banyak memengaruhi gaya desain dari Bauhaus , de Stijl dikenal juga dengan nama neoplasticism. Pada awalnya de Stijl ialah sebuah jurnal yang dipelopori oleh seorang pelukis dan kritikus seni Theo van Doesburg, baru kemudian Piet Mondrian, Bart van Der Leck, Gerrit Rietvield, J.J.P Oud dan seniman seniman lainnya bergabung dalam de Stijl. Filosofi seni yang menjadi dasar pekerjaan kelompok ini ialah New Plastic Art. De Stijl sedikit banyak terpengaruh oleh gaya cubisme, mysticism serta ideal geometric dari golongan neoplatonic . Para seniman de Stijl coba mengekspresikan keidealan impian serta keharmonisan spiritual serta tatanan dengan cara mengajukan suatu abstraksi dan keuniversalan dengan menyederhanakan bentuk dan warna dalam desain desain

mereka. mereka menyederhanakan susunan visual berdasar arah vertikal dan horisontal, dan memakai hanya warna pokok serta hitam putih. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa contoh karya mereka, seperti Rietvield Schroeder House serta Red Blue Chair . Gaya de Stijl seperti yang telah disebutkan di awal, telah memengaruhi gaya dari Bauhaus serta gaya arsitektur Internasional, dan juga gaya desain interior dan fashion desain dunia. Menurut Widjojo Nitisastro : Modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis. Menurut Soerjono Soekanto : Modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar) Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut: a. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata. b. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup dalam masyarakat. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut. a. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat. b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi. c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu. d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. e. Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan. f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.

You might also like