You are on page 1of 26

Perubahan-Perubahan Mendasar Dalam Perekonomian Indonesia

disusun Oleh :

Tinjauan Umum

Diketahui, pada tahun 1997 negara-negara lain sama-sama terkena krisis moneter yang dasyat, namun negara Indonesia paling lambat menjalani koreksi dan pemulihan, sedangkan negara lain lebih cepat pulih. Hal ini bisa dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata pada masa setelah krisis belum kunjung menyamai tingkat pertumbuhan ekenomi krisis di Indonesia.

Data Makro Ekonomi Indonesia


Indikator Tingkat pertumbuhan Ekonomi Tingkat Pertumbuhan Investasi Presentase investasi pada GDP Rata-rata kurs Tingkat Inflasi Tingkat Pengangguran Tingkat Kemiskinan Sebelum Krisis (93-96) 7,7 12,2 28,0 2.210 8,7 17,6 Puncak Krisis (98) -13,1 -33,0 25,4 10.013 58,5 23,4 PascaKrisis 2001 4,8 6,7 21,4 9.322 9,6 9,7 17,2 2005 5,6 10,8 23,6 9.705 17,1 10,3 16,0 2006 5,5 2,9 24,0 9.141 6,6 10,3 17,8

Sumber : Departemen Keuangan dan World Bank

Indikator makroekonomi kian tahun semakin sehat dan seolah pemerintahan SBY-JK berkuasa. Namun coba perhatikan, pertumbuhan ekonomi cukup stabil sejak tahun 2004 kenaikan hanya beberapa persen tiap tahunya sedangkan angka tersebut belum setinggi pada saat sebelum krisis moneter.

Apa sebenarnya yang menjadi Masalah Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ?

1. Kemorosotan tingkat investasi riil /langsung.

2. Perubahan saldo dan komposisi neraca transaksi berjalan.

Empat masalah baru 4. Penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi. 3. Kemerosotan daya saing nasional

Penurunan Sektor Rill


Mengapa penurunan investasi riil sangat serius ?
Karena jika Investasi turun maka kegiatankegiatan produksi secara nasional pun akan ikut turun. Jika kegiatan produksi menurun, output akan merosot dan laju pertumbuhan ekonomi juga merosot dan celakanya hal ini berlangsung cukup lama terjadi di Indonesia dan tidak banyak yang mengetahui resiko jangka luasnya yang membahayakan perekonomian nasional tanpa ada upaya koreksi.

Permasalahan ini dialami juga oleh negara-negara di asia namun permasalahan tidak serumit di Indonesia. Investasi tetap di Indonesia sampai tahun 2008 masih dibawah tingkat masa sebelum krisis. Padahal investasi tetap secara langsung menentukan investasi riil atau investasi langsung berkaitan dengan produksi seperti berupa pendirian pabrik, pembukaan lahan baru, dll.

Namun disisi lain, Sektor keuangan Indonesia mencatat perkembangan sangat pesat, sehingga lambat tahun sector keuangan mulai meninggalkan sector riil. Sector keuangan sudah bisnis tersendiri. Uang bukan Cuma alat

Secara global, perubahan ini mulai terjadi sekitar tahun 1973 tidak lama setelah AS melepaskan jaminan emas terhadap dollar yang diedarkan. Sejak saat itu, sector keuangan tumbuh luar biasa dan sekian kali lipat lebih besar daripada

Inilah fenomena ekonomi gelembung yang sangat berbahaya, karena perekonomian balon semu ini mudah pecah dan seketika melumpuhkan perekonomian, bahkan membangkrutkan Negara, serta merugikan banyak orang.

Dalam kondisi demikian, masyarakat pengusaha domestic tetap saja sulit memperoleh sumber pendanaaan dalam jumlah memadai dan bernilai wajar untuk menunjang berbagai kegiatan produktifnya, sekalipun sebenarnya dana masyarakat yang tersedia di perbankan cukup melimpah. Jika situasi timpang seperti ini terus berlanjut, maka output nasional lambat laun akan tertekan, dan dalam waktu bersamaan masalah pengangguran tetap sulit diatasi. Tingginya pengangguran di Indonesia disebabkan oleh terbatasnya investasi produktif, yang jumlah maupun persentasenya terhadap GDP terus susut. Kita juga sudah mengetahui bahwa hal ini ternyata bukan disebabkan oleh kelangkaan dana semata, melainkan karena alokasi dana itu tidak sebagaimana seharusnya.

Perubahan Saldo dan Komposisi Neraca Transaksi Berjalan


Fakta mencolok pertama adalah sebelum krisis semua Negara yang mengalami krisis mencatat deficit neraca transaksi berjalan. Kebalikannya, setelah krisis semua Negara mencatat surplus. Ini dikarenakan pada periode pascakrisis, begitu memungkinkan, setiap Negara kini berusaha keras mencetak surplus neraca transaksi berjalan. Berkat langkah ini, maka jumlah cadangan internasional semua Negara, termasuk Indonesia, juga mengalami kenaikkan. Perubahan itu ternyata diikuti oleh perubahan pada perhitungan dan metode penanggulangan deficit pada tiga neraca utama yang menjadi penjabaran dari neraca pembayaran, yakni neraca anggaran, neraca transaksi berjalan dan neraca modal, guna menyesuaikan dengan pola baru pemanfaatan saldo neraca transaksi berjalan . Sebelum krisis, adagium yang berlaku adalah ditinjau dari sisi pengeluaran, output nasional sama dengan konsumsi ditambah investasi, ditambah belanja pemerintah dan selisih antara ekspor dan impor. Sedangkan dari sisi pemerintah, output nasional sama dengan konsumsi plus tabungan nasional plus pajak.

Kalau kedua persamaan dipadukan, maka : Persamaa n terakhir itulah yang menunjukkan adanya tiga sumber deficit yang harus senantiasa diwaspadai , yakni : (I-S)= selisih tabungan dan investasi (G-T)= deficit anggaran pemerintah (M-X)= deficit perdagangan internasional Jika salah satu atau ketiga terjadi deficit maka deficit harus segera ditutup. Dua cara yang lazim dilakukan pemerintah untuk menutup deficit sebelum krisis, yang pertama menarik pinjaman dari luar negeri. Yang kedua menggalakkan investasi.

Perhitungan setelah krisis dari sisi pendapatan : Y=C+I+G+(X-M) Y=C+S+T I+G+T+X-M =S+T (G-T)= (I-S)+ (M-X) Artinya deficit pada salah satu neraca diusahakan ditutup dengan menggunakan surplus dari neraca yang lain. Contoh apabila terjadi deficit APBN maka ditutup dengan investasi portofolio pihak asing.

Penurunan Daya Saing


Survey yang diadakan International Institute for Management Development, daya saing perekonomian Indonesia berada di urutan bawah dan kedudukannya semakin merosot, Indonesia menduduki urutan ke 54 dari 55 negara. Pasca krisis kedudukan Indonesia semakin melorot dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, menurut para pengusaha Jepang yang berinvestasi di Indonesia. Berdasarkan kualifikasi yang ditetapkan oleh Badan PBB urusan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), Indonesia sebagai tujuan investasi masuk dalam kelompok terbawah yakni kelompok negara yang kinerja maupun potesi investasinya sama-sama rendah. Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara tetangganya yang ukuran, potensi dan kekayaan alamnya sebenarnya jauh lebih kecil.

Pada gilirannya penurunan daya saing investasi mengakibatkan penurunan investasi sector riil di Indonesia. Bukan hanya pengusaha asing yang enggan membuka usaha di Indonesia, namun juga pengusaha Indonesia sendiri. Mereka juga akan mencari lahan investasi yang lebih menarik di luar negeri. Proses globalisasi menjadikan kompetisi di antara perusahaan-perusahaan internasional juga meningkat. Demi menjaga kelangsungan usahanya, kini perusahaan lebih mementingkan penghematan biayabiaya tetap seperti harga beli/sewa lahan, kualitas infrastruktur fisik dan non fisik daripada biaya yang berubah-ubah. Banyak kelemahan paada aspek biaya tetap yaitu kualitas infrastruktur yang berantakan, kemacetan lalu lintas, jalur penyeberangan utama laut sering terlanda antrean panjang. Kelemahan berbagai elemen ini merupakan masalah-masalah structural utama di Indonesia

Mengapa pertumbuhan di Indonesia terlalu bertumpu pada sektor nontradable itu buruk, khususnya bagi Indonesia?

Hal ini karena sektor non tradable (sektor jasa) itu pada umumnya padat modal dan padat teknologi, terhimpun hanya pada pusatpusat kemajuan atau ekonomi yang biasanya berupa kota-kota besar, serta sangat sedikit menyerap tenaga kerja.Dan hanya minoritas orang saja yang berperan pada sektor ini sedangkan mayoritas penduduk hanya menjadi konsumen dan sekedar penonton.

Hal ini dapat dilihat pada sektor perbankan dan perniagaan umum, dan sektor jasa komonikasi telepon seluler yang berperan hanya kalang profesional saja dan para pemilik saham yang akan meraih keuntungan sedangkan mayoritas hanya sebagai konsumen yang harus membayar jasa dengan harga yang cukup mahal untuk menikmati layanan tersebut. Pertumbuhan sektor non tradable ini sangat kontras dengan sektor tradable, contoh sub sektor manufaktur, industri sepeda motor dan sektor pertanian. Ketiga sektor ini yang dapat menampung tenaga kerja lebih banyak dan memberikan keuntungan bagi semua pihak justru terus tertekan dan semakin merosot dibanding dengan sektor non tradable.

Di sisi lain para politisi dan penguasa sibuk sendiri menaikkan gaji dan tunjangannya. Padahal penganguran makin merangkak naik dan kemiskinan tak teratasi. Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi timpang, namun ketimpangan di Indonesia lebih mencolok dibandingkan dengan negara-negara lain. Kalau diingat tingkat kesejahteraan dan pendidikan di Malaysia yang sudah lebih maju, maka akan terasa kian tidak sehatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia tersebut, yang kesejahteraan dan pendidikannya lebih rendah namun pertumbuhan relatif sektor non-tradable. Dalam mengatasi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang itu, tentunya bukan dengan menekan atau menghalangi pertumbuhan sektor non-tradable, melainkan harus mengupayakan agar sektor tradable dapat tumbuh lebih baik dan cepat agar tidak terlalu dari sektor non-tradable. Perlu pula ditambahkan di sini bahwa petumbuhan ekonomi yang tidak seimbang bersama dengan ketiga perubahan mendasar lainnya yang telah diuraikan diatas selama ini benar-benar sudah dan akan menyebabkan berbagai masalah pelik yang bukan saja berdimensi ekonomi, melainkan juga politik dan sosial.

DAMPAK MENGERIKAN PERTUMBUHAN MENDASAR YANG TAK TERKENDALI

Masalah kemiskinan di semua negara juga tidak mudah diatasi namun di Indonesia masalahnya terasa sedemikian berat dan sulit sehingga seolah-olah tidak bias diatasi, khususnya selama era reformasi pascakrisis sekarang ini. Sesungguhnya masalah ekonomi apapun dapat diatasi kalau akar penyebabnya diketahui dan segera diatasi.

Ada dua alasan utama untuk meragukan data pengangguran khususnya dan sector ketenagakerjaan umumnya.
kita tidak memiliki system jaminan social untuk pengangguran, sehingga pengumpulan data penganggur jauh lebih sulit karena para penganggur tidak secara aktif mendaftarkan dirinya ke kantor tenaga kerja.

Pertama

Ada kecenderungan kualitas data BPS semakin memburuk, termasuk dalam hal data ketenagakerjaan. Ini bukan sepenuhnya kesalahan BPS, melainkan kerena pemerintah kurang perhatian terhadap pentingnya meningkatkan kualitas data statistic sebagai basis dalam perumusan masalah dan pengambilan keputusan.

Kedua

Sektor Informal Kian Menjadi Andalan


Di masa krisis moneter, ada jutaan orang kehilangan pekerjaan di sektor formal yang terpaksa terjun ke sektor informal untuk menyambung hidup. Sampai sekarang, hampir 70% perekonomian Indonesia adalah sektor informal, dan ini bukanlah kenyataan ekonomi dan sosial yang menggembirakan. Pada prinsipnya, semakin kecil sektor informal dalam perekonomian dan semakin besar sektor formalnya, maka akan semakin baik perekonomian suatu Negara. Sektor informal bukanlah sesuatu yang ideal, karena pada hakekatnya sektor informal adalah sebuah entitas yang muncul sekadar untuk bertahan hidup (survival economy), alias sesuatu yang bersifat darurat dan eksistensinya sementara.

Semakin modern dan maju sebuah perekonomian, akan samakin kecil sektor informalnya dan sebaliknya. Dengan alasan : Imbalan bagi para pelaku sektor informal itu sangat rendah, sampai sampai seringkali tidak mampu menjamin kecukupan pemenuhan kebutuhan manusia paling mendasar. Sebagai ilustrasi, para pekerja sektor informal (misal : pedagang sate keliling atau tukang cuci piring di warteg) pada umumnya memperoleh pendapatan atau upah dibawah standar upah minimum regional. Pekerja sektor sosial tidak dilindungi oleh jaminan sosial apapun, tidak memiliki tunjangan

Secara umum, para pekerja sektor informal tidak mampu mengembangkan diri, meskipun tak kurang usaha dan ikhtiar mereka untuk itu. Kebanyakan unit usaha informal juga tidak terdaftar secara resmi, bahkan punya alamat tetap pun tidak, sehingga tidak punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan ijin terdaftar, sehingga tidak bisa mengajukan permohonan kredit pengembangan usaha ke Bank.

Di situlah pentingnya Negara turun tangan membantu rakyat yang tidak beruntung. Negara sendiri punya kepentingan untuk secara aktif mengembangkan sector informal menjadi sector formal, yakni untuk memperbesar basis pajak demi kesinambungan pendapatan bagi Negara di masa mendatang.

Kesenjangan Kesejahteraan Melebar


Perekonomian yang struktur dan pertumbuhannya timpang juga akan diwarnai oleh kesejahteraan ekonomi dan social yang juga timpang. Hal ini pun terjadi di Indonesia, berdasarkan pengukuran koefisien gini yang menjadi indicator utama ketimpangan kesejahteraan penduduk oleh Bank Dunia, tampak secara mencolok betapa tingkat ketimpangan kesejahteraan dari waktu ke waktu semakin memburuk. Dengan kesimpulan memburuknya ketimpangan kesejahteraan antara berbagai kelompok pendapatan. Secara lebih spesifik, kelompok-kelompok yang berpendapatan paling tinggi mengalami kenaikan pendapatan paling tinggi, sedangkan kelompok yang pendapatannya terkecil justru mengalami kenaikan pendapatan paling sedikit.

Dampak-Dampak Social Akan Kian Berat


Dalam perekonomian yang mengabaikan asas keadilan, hakikat kesejahteraan juga tidak menjelma seutuhnya. Perekonomian seperti itu akan penuh diwarnai oleh kriminalitas dan berbagai penyimpangan, seperti korupsi.
Masalah berikutnya yang membarengi korupsi adalah kualitas pelayanan birokrasi yang rendah. Kesulitan ekonomi selalu berdampingan dengan masalah social. Terkait erat dengan tingkat pengangguran yang cenderung terus membesar dan meresahkan, ternyata bagian terbesar dari para penganggur itu adalah tenaga kerja berusia muda yang terpaksa berhenti sekolah atau yang baru lulus sekolah/ kuliah, serta belum memiliki pengalaman kerja

Sampai sini kiranya sudah cukup jelas, betapa perubahan mendasar dalam perekonomian Indonesia pascakrisis yang dipaparkan menimbulkan begitu banyak dampak yang sangat merugikan.

Sekian Terimakasih

You might also like