You are on page 1of 41

NAHDLATUL ULAMA (NU) TOKOH GAGASAN DAN GERAKAN

PENDAHULUAN

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang eksistensinya memainkan peran penting bagi kehidupan bangsa. NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ikut bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi dalam membangun cita-cita bangsa. Hal tidak ini tidak lain karena kontribusi NU tidak hanya dialamatkan kepada jamaah NU, tetapi lebih besar dari itu bagaimana NU bisa berkontribusi kepada bangsa.

Sesuai khittah An-Nahdliyyah 1926, NU bertujuan : ikut membangun, mengembangkan insan dan masyarakat Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram dan sejahtera.1 Disamping itu, NU juga telah merumuskan konsep mabadi khoiro ummat (prinsip dasar umat terbaik) yang didasarkan pada orientasi moral untuk perubahan sosial ekonomi masyarakat. Pengukuhan moralitas sebagai landasan dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat bertumpu pada ash-shidq (kejujuran) dan al-amanah (tanggung jawab) sehingga tata laku masyarakat dilandasai oleh moralitas yang agung, bukan nafsu serakah menumpuk kekayaan dan kepentingan ego pribadi.2

NU juga merumuskan dasar-dasar keagamaan yang menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan : Sikap tawasuth dan itidal. Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah kehidupan bersama.

Kiprah PB NU 2000-2001 Analisa dan Evaluasi Pemberitaan tentang KH. Hasyim

Muzadi Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili : Editor, Nahdlatul Ulama, Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, (Jakarta : Gramedia, 2010), h.x
2

Sikap tasamuh. Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Sikap tawazun. Sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah, khidmat kepada sesama manusia, serta pada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Sikap amar maruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang dapt menjerumuskan , merendahkan nilainilai kehidupan.3 Dengan rumusan dasar ini, NU telah berhasil melahirkan generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana yang toleran dan moderat, bukan dengan kekerasan. Dalam kaitan dengan suasana hidup yang toleran dan moderat ini, fondasi besar sudah diletakkan oleh NU ketika memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan bermasyarakat yang mesti diterima oleh umat Islam. Konsepsi ini diperkuat dengan kesetiaan NU terhadap ide-ide kebangsaan yang menjadi titik tolak dalam mendesain negara Indonesia. Tak berlebihan jika NU terus menerus melestarikan negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara yang paling ideal bagi bangsa Indonesia.4

Lebih jauh, bagaimana dinamika NU dalam mengiringi perjalanan sejarah bangsa dan siapa saja tokoh-tokoh NU yang berpengaruh, bagaimana gagasan dan gerakannya dapat kita lihat dalam paparan berikut ini.

DINAMIKA NU Sejarah Lahirnya NU


Nur Khalik Ridwan,NU &Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik & Kekuasaan, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2010), h. 463 4 Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili : Editor, Op.cit., h.xi
3

Sejarah formal NU dimulai sejak ia didirikan 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH Hasyim Asyari bersama beberapa ulama sepaham seperti KH Wahab Hasbullah serta beberapa ulama pesantren lain. Namun berdirinya jamiyah ini sesungguhnya hanyalah pelembagaan tradisi keagamaan yang telah lama mengakar.5

Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk komunitas (jamaah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter Ahlussunnah wal jamaah. Wujudnya sebagai organisasi tak lain adalah penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam.

Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, sejak dibukanya Terusan Suez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai Wahabiyah, maupun pemikiran Pan Islamisme Jamaluddin Al-Afghani yang dilanjutkan Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara para jamaah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Ketika kembali ke tanah air, para haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap berasal dari tradisi di luar Islam.

Tak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren, menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal. Tradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok ulama tradisional ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan mengguncang masyarakat. Perkembangan inilah yang dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian paham Ahlussunnah wal Jamaah yang mereka anut.

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta : Erlangga,

1992), h.1

Karena itu, mereka berupaya membuat pengimbang bagi arus gerakan pembaharuan itu, dan dalam alur inilah, antara lain, NU terbentuk.

Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Sulit dibantah bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Beslanda tidak hanya membawa wacana politik tapi juga keagamaan. Dalam wacana keagamaan itulah peran kepemimpinan ulama menjadi penting (sebut saja Perang Diponegoro 1825-1830, Perang Paderi 1321-1837, perlawanan rakyat Aceh 1872-1912). Ketika pada abad XX nada perlawanan terhadap penjajah bergeser dari perjuangan bersenjata menjadi pergerakan nasional, para ulama tidak mau ketinggalan. Sepuluh tahun sebelum berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi ini adalah langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (konsepsi pemikiran) yang sebenarnya merupakan antisipasi Wahab Hasbullah menghadapi ekses gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman bagi eksistensi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathanlah sebenarnya dapur pemikiran lahirnya NU.6

Perluasan NU di Zaman Awal (1926-1937) NU dimasa-masa awal, dicerminkan dari kongres-kongres yang diadakan diberbagai daerah, dimaksudkan untuk menghimpun sebanyak-banyaknya ulama dan dukungan umat Islamuntuk bergabung dengan NU. Pada tahun 1930, Cabang pertama yang didirikan di luar Jawa adalah di Pulau Kalimantan.

Pada masa-masa awal , kongres NU terlaksana merupakan hal yang luar biasa, karena dimana-mana terjadi perang dan penjajahan. Berbagai pemberontakan daerah dilakukan untuk mengusir penjajah, juga mengakibatkan banyak keterlibatan kyai dalam pemberontakan-pemberontakan itu. Keputusan-keputusan kongres disamping soal agama, juga menyangkut soal masyarakat.

Meningkatknya Kesadaran Politik: 1934-1952


A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan LkiS, 1995), h.48
6

Selama beberapa waktu, orientasi politik dalam diri NU masih bersifat laten, dalam pengertian bahwa NU tidak terlibat dalam gerakan politik praktis. Lahan politik menjadi garapan kalangan nasionalis dan kalangan Islam modernis yang berada di SI.7

Langkah konkret dari tumbuhnya orientasi politik itu adalah bergabungnya NU ke dalam Majlisul Islam Ala Indonesia (MIAI) pada 1939. MIAI dibentuk pada 1937 atas dasar keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Sekalipun dua dari empat tokoh pendiri MIAI berasal dari NU, namun mereka hadir atas nama pribadi. Baru dua tahun kemudian NU turut bergabung di dalamnya.

Dalam perkembangannya, MIAI menyentuh wilayah perjuangan politik, meskipun awalnya dimaksudkan untuk federasi kerjasama di luar bidang politik. Salah satunya ditunjukkan ketika MIAI menyetujui rencana GAPI (Gabungan Politik Indonesia) agar Indonesia berparlemen.

Pola interaksi yang dialami dalam MIAI membawa pengaruh besar terhadap NU. Muktamar NU XV (1940) di Surabaya menjadi ajang penegasan tuntutan-tuntutan yang dilontarkan MIAI, termasuk tuntutan Indonesia berparlemen. Hal-hal lain yang juga dituntut oleh NU antara lain adalah dilakukannya perbaikan-perbaikan seperti diberikannya pertolongan terhadap jemaah haji Indonesia yang terperangkap di Mekkah akibat perang Belanda-Jerman, mencabut Guru Ordonantie 1925 yang dianggap merugikan umat Islam, termasuk hal yang menyangkut siapa yang menjadi kepala negara di negara Indonesia merdeka nanti. Dalam sebuah rapat tertutup yang dihadiri oleh 17 orang tokoh NU, dihasilkan keputusan dua orang calon presiden: Sukarno dan Mohammad Hatta, dengan 10 suara untuk Sukarno dan satu suara untuk Hatta.16 Tak satupun tuntutan-tuntutan yang diajukan itu terpenuhi.8

7 8

Ibid., h.51 Ibid., h.53

Ketika pendudukan Jepang dua tahun kemudian membuat persoalan-persoalan itu tidak relevan lagi. Regim kolonial baru ini segera tampak jauh lebih represif daripada regim sebelumnya: semua organisasi politik dibekukan, dan setiap kegiatan politik dilarang sama sekali. Umat Islam yang semula menaruh harapan pada saudara tua yang membebaskan mereka dari kekuasaan kafir Belanda itu segera menemukan kekecewaan yang dalam. Lebih lagi karena ternyata bagi Jepang, sebagaimana Belanda, terpisahnya Islam dari politik adalah salah satu bagian dari rencana umumnya, dan karena itu mereka tetap mengawasi secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam.

Tindakan selanjutnya adalah mengupayakan terbentuknya sebuah organisasi federasi Islam yang antara lain ditujukan untuk menggantikan MIAI yang berkesan anti-kolonial. Maka dibentuklah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943 di mana NU, sebagaimana dalam MIAI, tersubordinasi di dalamnya. Pada masa ini NU sebenarnya memperoleh beberapa konsesi. Seperti Yang tampak dalam pengangkatan Rais Akbar NU, Hadratus Syeikh, KH Hasyim Asyari, sebagai Kepala Shumubu (menyusul Husein Djajadiningat yang menggantikan Horrie) serta sebagai Ketua Umum pengurus Masyumi yang pertama, sehingga NU dimungkinkan untuk memainkan peran yang cukup berarti. Keuntungan ini kalau boleh disebut demikian dimungkinkan setidaknya oleh dua hal. Pertama sikap NU kepada Jepang cenderung lunak. Berbeda dengan sikapnya terhadap Belanda, maka terhadap Jepang NU bersikap lebih kooperatif NU bersedia duduk dalam Chou Sangiin, sementara untuk badan serupa di Jaman Helanda, Volksraad sama sekali menolak.

Berkaitan dengan politik jepang untuk menggalang semua kekuatan anti Belanda ke pihaknya, sehingga mereka perlu memperlakukan dengan baik, serta memenuhi keinginan secara baik pula terhadap umat Islam khususnya yang berbasis di pedesaan. NU mau tak mau adalah kuncinya. Suatu manfaat lain yang bisa diperoleh NU dengan siasat sikap lunaknya kepada Jepang adalah berupa pelatihan ketrampilan militer bagi para santri dan kyai di pesantren, yang kemudian melahirkan milisi-milisi revolusioner Hizbullah dan Sabilillah. Kedua milisi ini, pada awal kemerdekaan turut menjadi kompartemen TNI. Kalangan NU pada umumnya memandang bahwa saham mereka dalam pejuangan fisik mempertahankan kemerdekaan disumbangkan melalui kedua milisi itu. Sementara di panggung perjuangan politik, peran NU tersalur melalui Masyumi, yang dibentuk beberapa bulan setelah proklamasi. Yang disebut terakhir ini adalah sebuah partai politik resmi yang berbeda dan terlepas sama sekali dari organisasi
6

dengan nama yang sama di jaman Jepang, kecuali dalam hal tujuan moralnya. Partai Masyumi terbentuk sebagai buah dari keputusan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta (7-8 Nopember 1945), yang juga memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi umat islam di Indonesia. NU bersama Muhammadiyah, perserikatan umat Islam dan Persatuan umat Islam, adalah organisasi-organisasi pertama memasuki Masyumi.9

Aktualisasi Peran Politik : 1952-1984 Struktur pimpinan pusat Masyumi terdiri dari pimpinan partai (yang melaksanakan tugas eksekutif sehari-hari) dan Majelis Syuro (semacam dewan pertimbangan dan pemberi fatwa). Pimpinan Partai dalam garis besar tindakan partai). Secara tradisional posisi penting dalam majelis Syuro dipegang oleh tokoh ulama NU. Sementara pimpinan partai, yang sangat dominan, diisi oleh kalangan pembaharu yang biasanya para intelektual. Sebenarnya struktur kepemimpinan semacam ini lebih banyak menimbulkan persoalan dari pada menguntungkan, Suasana hubungan antara keduanya sangat kondusif bagi munculnya konflik, di mana akhinya Majelis Syuro terus-menerus digiring ke arah peran yang semakin tidak berarti menjadi dewan penasehat yang seringkali tidak begitu diindahkan Di sinilah bersumber kekecewaan NU terhadap Masyumi.

Sumber lain adalah berkaitan dengan jabatan Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo. Dalam klaim NU, kursi Menteri Agama adalah bagian mereka. Sebab di samping sudah demikian adanya sejak awal kemerdekaan, NU menilai dirinya sebagai cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia. Namun karena pertimbangan-pertimbangan lain, Masyumi mengajukan nama Fakih Usman (Muhammadiyah) kepada formatur kabinet untuk jabatan itu.

Sebab-sebab itulah yang umumnya dipandang sebagai faktor pendorong keluarya NU dari Masyumi. Tapi Zamakhsyari Dhofier melihat suatu penyebab lain yang lebih menentukan, yaitu dinamika internal NU sendiri. KH Wahid Hasyim, Ketua Umum PB NU waktu itu, memandang bahwa organisasi yang dipimpinnya telah semakin condong ke dalam percaturan politik. Tokoh-tokoh NU muda seperti Idham Chalid, Saifuddin Zuhri, Syaichu dan lain-lainnya semakin memerlukan

Ibid., h.55

ruang gerak yang cukup luas dalam arena politik. Dan hal itu akan dapat terbuka dengan lebih leluasa setelah NU dapat berdiri sebagai partai politik.

Perubahan NU menjadi parpol membawa umat Islam Indonesia kedalam dikotomi kepemimpinan politik : kepemimpinan politik kaum modernis di Masyumi, dan kepemimpinan politik kyai (ulama) tradisional di NU. Lebih jauh lagi, hal itu juga membawa perubahan dalam perimbangan kekuatan politik Indonesia saat itu. Hasil-hasil Pemilu 1955 menggambarkan dengan jelas tentang perimbangan kekuatan baru itu. Di sini, NU dengan perolehan suara sebesar 6.955.141 (18,4 % dari keseluruhan suara yang masuk) dan 45 kursi di parlemen, menempatkan diri pada posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi, dan setingkat di atas PKI.

Mengingat NU adalah partai yang relatif baru, sehingga persiapan untuk menghadapi pemilu boleh dikatakan kurang jika dibandingkan dengan partaipartai lain, maka perolehan suara NU yang menempatkannya pada posisi ketiga di atas sungguh di luar dugaan.

Berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan Ketika stabilitas politik diterima sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, maka regim Orde Baru sangat intens menciptakan semua pra kondisi yang diperlukan untuk pemantapan stabilitas itu, serta mengeliminasi, setidaknya meminimalkan semua kemungkinan ke arah sebaliknya. Salah satu bentuk upaya ini adalah tindakan restruktunsasi partai politik kiat manajemen konfllik yang sebenarnya diwarisi dari regim sebelumnya dengan berbeda pola pelaksanaannya. Proses kearah penyederhanaan partai ini pada dasarnya sudah dimulai sejak awal 1970, sebelum pemilu pertama dilaksanakan.

Pada Pebruari 1970, di depan para pimpinan ke-9 parpol dan Golkar Presiden Suharto, menyampaikan saran tentang pengelompokan partai-partai. Tujuannya adalah untuk mempermudah kampanye pemilu, dan selanjutnya mempermudah sistem administrasi seperti penyusunan fraksi di DPR kelak, bukan untuk melenyapkan partai-partai itu sendiri. Setelah melalui tahap dialog antara pemerintah dan partai-partai, seruan Suharto itu memperoleh tanggapan positif. Maka pada bulan berikutnya terbentuklah pengelompokan dimaksud. PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik bergabung dengan kelompok nasionalis.
8

Sedang NU, Parmusi, PSII dan Perti membentuk kelompok spiritual. Kelompok pertama disebut Kelompok Demokrasi Pembangunan, dan yang kedua disebut Kelompok Persatuan Pembangunan. Sebenarnya Parkindo dan Partai Katolik dapat bergabung dalam kelompok spiritual. Tapi karena alasan perbedaan agama, sementara untuk membentuk kelompok tersendiri kurang dimungkinkan, mereka lebih memilih kelompok nasionalis. Pengelompokan ini selanjutnya menjadi dasar penyusunan fraksi di DPR, sehingga badan ini memiliki lima fraksi: Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi Pembangunan atau Demokrasi Indonesia, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi ABRI.

Kemenangan Gemilang Golkar dalam Pemilu 1971 di sisi lain juga semakin memudahkan penguasaan pemerintah terhadap DPR. Pemerintah kemudian mengusulkan RUU Kepartaian. Dalam rancangan itu disebutkan bahwa hanya tiga partai politik yang akan diakui di Indonesia. Dengan demikian, pemilu berikutnya hanya akan diikuti oleh dua parpol dan Golkar. Semakin jelas bahwa penyederhanaan partai sulit ditolak oleh kalangan partai. Maka Kelompok Persatuan Pembangunan yang berbentuk konfiderasi terus menerus mengadakan pendekatan intensif dalam rangka mendahului realisasi fusi, sebelum hal itu dipaksakan oleh UU Parpol dan Golkar. Langkah ke arah fusi itu bukannya tanpa hambatan, sebab partai-partai Islam pada mulanya berbeda pendapat tentang fusi itu : Parmusi dan Perti sejak semula mendukung gagasan fusi, namun tidak demikian halnya NU dan PSII.

Namun ketika semakin pasti bahwa fusi partai tidak mungkin ditolak, maka pada 5 Januari 1973 keempat partai Islam itu berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, ditandai dengan penandatanganan sebuah deklarasi di Jakarta. Struktur kepemimpinan PPP diusahakan agar dapat menampung semua partai pendukung secara proporsional, agaknya dengan mempertimbangkan perimbangan kekuatan dalam Pemilu 1971. Itulah sebabnya, dominasi NU dalam partai ini terasa dominan pada awalnya, seperti yang tampak dari diborongnya posisi penting dalam kepengurusan pusat PPP oleh NU. Tak heran jika pada awal berdirinya pikiran-pikiran NU banyak mewarnai keputusan-keputusan PPP terutama bila berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam hal ini PPP tampak begitu kompak, seperti tercermin jelas dalam respons penolakan atas RUU Perkawinan 1974. Alasan utama penolakan itu adalah karena secara prinsipil RUU itu bertentangan dengan ajaran Islam. Sekalipun anggota PPP hanya sedikit di DPR (94 dari 460 orang anggota), namun mereka dapat memaksakan revisi yang cukup mendasar sebelum RUU itu disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 1974.
9

Sukses itu dimungkinkan karena kekompakan elit PPP, di samping adanya gelombang reaksi keras dari massa Islam di luar partai terhadap RUU itu.67 Namun PPP tampak mulai kurang utuh setelah Pemilu 1977. Keretakan di FPP mulai muncul ketika mereka harus membahas Rantap MPR tentang P-4 dan dimasukkannya aliran kepercayaan dalam GBHN. Sekalipun secara esensial semua unsur di FPP menolak dimasukkannya P-4 sebagai Tap MPR dan aliran kepercayaan ke dalam GBHN, namun mereka berbeda dalam strategi dan taktik yang dipakai. Ketika MPR sulit menemukan kata sepakat dalam pembahasan tersebut, maka dipilih cara voting. Di sini perbedaan muncul. Unsur MI menginginkan FPP ikut dalam voting sekalipun mungkin kalah, sementara SI mengusulkan agar abstain saja, sedangkan NU bersikeras menolak voting dan memilih walk out dari ruang sidang.

Retak kedua muncul dalam pembahasan RUU tentang perubahan UU Pemilu No. 15 Tahun 1969 di DPR. RUU ini memperoleh tentangan keras dari FPP dan FDI, terutama menyangkut keikutsertaan parpol di LPU (Lembaga Pemilihan Umum) sampai KPPS, tuntutan pengurangan jumlah anggota DPR yang diangkat, dan sebagainya. Lagi-lagi, unsur-unsur dalam FPP berbeda strategi sekalipun sikap mereka terhadap RUU itu sama. Dan NU kembali menunjukkan sikap kerasnya. Ketika semua unsur lain pada akhirnya terpaksa menerima KUU itu, NU tetap bersikukuh menolaknya, sehingga RUU itu disahkan tanpa kehadiran anggta FPP dari unsur NU dalam sidang pleno bulan Pebruari 1980.

Retaknya kekompakan ini barangkali sebenarnya tidak terlalu berdampak buruk bagi partai. Hanya saja pada waktu yang nyaris bersamaan mulai muncul bibit kekecewaan NU terhadap PPP yang, sebagaimana terhadap Masyumi dulu, berkisar dalam masalah distribusi kekuasaan.

Terjadinya penyingkiran orang-orang NU di PPP, tekanan pemerintah terhadap ormas dan Partai Politik dan munculnya generasi muda NU yang diwakili oleh Gus Dur ditandai adanya polarisasi antara dua kubu (1982). Yaitu Kubu Situbondo dan Kubu Cipete. Kelompok pertama dipimpin oleh empat ulama senior yaitu KH Asad Syamsul Arifin, KH Ali Mashum, KH Masykur dan KH machrus Ali. Sedangkan kelompok kedua dibawah otoritas KH Idham Khalid yang terdiri dari para politisi dan birokrat NU di Jakarta.

10

Kelompok Situbondo menginginkan bahwa Syuriah adalah adalah pemegang kekuasaan tertinggi dan NU perlu kembali ke khittah sebagai gerakan diniyyah ijtimaiyyah. Untuk mengokohkan gerakan itu, syuriah sendiri kemudian menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai panitia Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983.

Dalam Munas ini ada tiga komisi yang dibuat, yaitu : Komisi I mengenai Masail Diniyah, Komisi II mengenai Pemulihan Khittah 1926 dan komisi III mengenai al-syuun ijtimaiyah.

Selanjutnya pada tanggal 8 sd 12 Desember 1984 diselenggarakan Muktamar NU yang ke-27. Muktamar ini dianggap muktamar yang bersejarah karena di muktamar inilah NU dikembalikan kepada khittah sebagai gerakan diniyah ijtimaiyah. Juga dibahasnya pancasila sebagai asas tunggal, dengan menyebutkan bahwa NU secara sadar mengambil posisi yang aktif dalam proses perjuangan bangsa, untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, karenanya setiap warga NU diharapkan menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. Putusan lain yang terpenting menghasilkan duet Abdurrahman Wahid (Ketua Umum Tanfidziyah) dan KH Achmad Shidiq (Rais Am Syuriyah PBNU).

Memasuki Era Baru NU Mengiri tema kembali ke khittah, dalam Muktamar juga dibahas sub-sub tema reorientasi program. Reorientasi program, setelah sekian lama dalam kiprah politik praktis, NU kini kembali ke orientasi semula, yaitu memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan secara lebih luas. Itu berarti meliputi segala aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama.

Regenerasi, NU akan melakukan pergantian pimpinan dari generasi tua kepada generasi muda yang dilakukan dengan tetap memelihara keserasian dan keselarasan hubungan antar generasi. Kombinasi antara generasi tua dan generasi muda dalam merupakan komposisi yang menarik untuk membawa kepada sebuah NU baru. Generasi tua diwakili Abdurrahman Wahid.

11

Pendapat lain menyatakan bahwa, salah satu alasan pokok kembalinya NU ke khittah pada saat itu, diantara alasan-alasan lain yang cukup banyak dan kompleks, ada dua : Pertama, NU ingin kembali mengurus garapan sosial keagamaan yang terlantar tak karuan ketika organisasi ini menjadi partai politik sejak tahun 1952. Kedua, keberadaan NU sebagai salah satu unsur dalam PPP saat itu telah membuat dakwah NU hanya terbatas pada golongan tertentu, dan tidak bisa menembus ke lingkungan yang lebih luas. Selain itu, NU juga harus mengalami kerugian besar karena konfrontasi dengan Golkar sebagai partai yang berkuasa.

Pada tahun 1998 lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang difasilitasi oleh sebagian pengurus PBNU. Banyak kalangan menganggap bahwa keputusan ini sebagai keputusan yang tepat, karena dengan terbentuknya PKB aspirasi politik warga NU ada wadahnya. Maski bisa disangkal bahwa keputusan ini akan dianggap mencederai prinsip equi distance yang diambil oleh NU terhadap semua kekuatan partai politik.

Akan tetapi, warga NU yang sekarang di luar PKB menuntut agar NU tetap berada di jalur khittah 1926, mereka menuntut perlakuan yang sama dengan warga NU di PKB.

Perdebatan muncul saat warga NU berhadapan dengan kawasan abu-abu. Sebagai contoh tidak jelas apakah seorang Ketua Umum PBNU diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Sebab pada tahun 1984, saat AD/ART yang baru disusunkembali mewadahi kehendak dan semangat kembali ke khittah, tidak ada satupun pengurus NU yang berani bermimpi bahwa suatu ketika ada warga NU yang akan dilamar menjadi presiden atau wakil presiden. Walaupun dari segi aturan main organisasi , tidak ada larangan formal bagi pengurus harian NU untuk melakukan hal-hal tersebut.

TUJUAN DAN USAHA ORGANISASI, BASIS PENDUKUNG, STRUKTUR, JARINGAN Berdasar situs resmi PBNU dalam www. nu.online didapatkan data : Tujuan Organisasi

12

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengahtengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Usaha Organisasi Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilainilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Basis Pendukung Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

13

Struktur Pengurus Besar (tingkat Pusat) Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi) Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan) Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)

Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari: Mustasyar (Penasehat) Syuriah (Pimpinan Tertinggi) Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari: Syuriaah (Pimpinan tertinggi) Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi: 31 Pengurus Wilayah 339 Pengurus Cabang 12 Pengurus Cabang Istimewa 2.630 Majelis Wakil Cabang 37.125 Pengurus Ranting

14

Lembaga Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi: Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU ) Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU) Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Lembaga Takmir Masjid Indonesia ( LTMI ) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI) Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU) Lajnah Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini meliputi: Lajnah Falakiyah (LF-NU) Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU) Lajnah Auqaf (LA-NU) Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)

15

Badan Otonom Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi: Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah Muslimat NU Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Fatayat NU Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa) Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)

TOKOH GAGASAN DAN GERAKAN Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asyari K.H. Hasyim Asyari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman.

Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah,
16

Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di Jombang.

Sampai umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri sampai pada taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan dirinya.

Pada umur 15 tahun, ia memulai pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan, Madura (Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren Siwalan Panji).

Pada pengembaraannya yang terakhir itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah.

Namun, dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz.

Tahun itu juga, Hasyim pulang ke tanah air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis, untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar.

Tahun 1900, ia pulang kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun kemudian, 1903, ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya, Nafisah.

17

Selama di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih AlBukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Selama hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah, antara lain ia juga menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji, Masrurah, dari Pesantren Kapurejo, Kediri.

Tahun 1899, 12 Rabiul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia.

Kiai Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai. Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda. Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.

Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar Hasyim adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal Jamaah.

Menurut Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa

18

memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam madzhab.

NU didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab. Kiai Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun.

Abdul Wahab Hasbullah Dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam. Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah.

Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang).

Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened.

Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said.

19

Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak.

Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur.

Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU.

Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asyari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang. Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.

Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis. Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya.

20

Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia Belanda.

Kemudian, MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam.

Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya.

Meski Masyumi adalah organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang.

November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satusatunya kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan. Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA.

Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU. Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di
21

antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Zainul Arifin. Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. Gelar itu jatuh ke tangan PNI.

Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta, terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU.

K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.

Bisri Syansuri

KH Ahmad Shiddiq

KH Wahid Hasyim

KH Ilyas Ruchiyat

KH M A Sahal Mahfudz

KH Idham Chalid

Ali masum

KH Abdurrahman Wahid

22

PENUTUP

PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah Tuhan sekalian, yang telah menjadikan manusia dari yang tak wujud, memberikan kemulyaan Ilmu sebagai jalan kesempurnaan bagi manusia sebagai nikmat-Nya. Sholawat serta salam semoga tercurahkan ke pangkuan Nabi yang pertama kali diciptakan sekaligus sebagai pamungkas, sebagai wasilah para Nabi dan Rasul, dan rahmatan lil alamin, dan semoga tercurahkan kepada segenap ahl albait,para sahabat dan seluruh ummatnya yang setia hingga hari akhir. Ringkasan materi ini kami susun berdasarkan kurikulum dan silabi yang telah ditentukan oleh dosen pengampu mata kuliah Sejarah Dakwah. Hal ini merupakan semata-mata sebagai bahan untuk pembahasan sejarah dakwah dan untuk menambah kekhasanahan pengetahuan kami dan pembaca. Meski ini hanya merupakan bagian kecil dari pembahasan sejarah dakwah, namun semoga terdapat setitik pencerahan yang dapat dipetik dari dalamnya. Kami menyadari bahwa makalah kami ini masih terdapat banyak kekeliruan dan kekurangannya, kami berharap sumbang saran dan juga kritik yang membangun tertujukan pada kami sebagai pembaik sehingga setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan. BAB I PENDAHULUAN Kehadiran Nahdlatul Ulama dimaksudkan untuk mengembangkan dan mempertahankan ortodoksi Islam yang dipegang teguh oleh mayoritas ulama Indonesia. Ortodoksi yang dimaksud adalah Ahlussunnah. Mempertahankan ortodoksi ini perlu digarisbawahi karena kelahiran NU adalah respon terhadap upaya-upaya penggusuran terhadap tradisi ahlussunnah wal jamaah yang dilakukan oleh penguasa Saudi Arabia yang berpaham Wahabi[1].

23

Dan demikian Kami telah menjadikan kamu ummat yang moderat (berilmu pengetahuan, disiplin, berbudaya) supaya kamu berperan terhadap manusia dan menjadikan Rasul (Muhammad) sebagai teladan bagi (perbuatan) kamu. (Al Baqarah; 143) A. Pengertian NU

Nadlatul Ulama berasal dari dua suku kata dalam bahasa Arab Nahdlotun yang berarti kebangkitan dan Al Ulama artinya orang-orang yang memiliki ilmu (pengetahuan). Nahdlotul Ulama yang kemudian lebih dikenal dengan NU adalah merupakan sebuah organisasi masa yang bergerak dibidang sosial keagamaan. NU adalah salah satu organisasi masa terbesar di Indonesia dimana basis masa mereka adalah dari kalangan muslim yang berhaluan Alussunnah Wal Jamaah. B. Sejarah Lahirnya NU

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikanNahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925.
24

Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.[2]

C. 1. 2.

Rumusan Masalah Apa sebenarnya faham Ahlussunnah Wal Jamaah? Mengapa NU Memiliki massa begitu banyak di Indonesia?

3. Sejauh mana pengaruh faham Ahlussunnah Wal Jamaah dengan banyaknya jumlah massa NU saat ini? BAB II LANDASAN MATERI

25

A.

Paham keagamaan

Sebagai organisasi social keagamaan , NU tidak lepas dari wacana pemikiran keagamamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah (Sunni), Ahlussunah waljama'ah, adalah sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an,sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Ajaran Aswaja yang dikembangkan NU berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Dalam bidangAqidah (teologi) dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur AlMaturidi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat[3].

B.

Basis pendukung

Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.

26

Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU. Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi: 33 Wilayah, 439 Cabang, 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri, 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC, 47.125 Ranting[4].

C.

Misi dan Strategi Dakwah

Berkaitan dengan misi Nahdhatul Ulama (NU) sebagai jamiyyah diniyah kami kutipkan dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai berikut : Bab II : Aqidah Pasal 3 : Nahdlatul Ulama sebagai jamiyyah diniyyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal jamaah yang menganut salah satu mazdhab empat: Hanafi, Maliki, SyafiI dan Hambali. Bab V : Tujuan dan Usaha Pasal 6 : Tujuan Nahdhatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jamaah didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Adapun berkaitan dengan strategi dakwah yang dikembangkan oleh NU, maka pada tataran implementasinya sangat dipengaruhi oleh model pemikiran dan prilaku (manhaj al-fikr wa sirah) dalam pembumian ajaran Islam yang bertumpu pada tiga sikap / karakter dalam beragama;
27

1) Tawassuth (moderat) yaitu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan tanpa mengambil sikap ekstrim. Implementasi sikap ini dalam konteks hukum adalah keseimbangan dalam menggunakan wahyu dan akal dan dalam konteks aqidah tidak gampang memberikan vonis kafir, sesat kepada orang lain. Mengambil sikap tengah antara: wahyu dan akal, Taqdir dan ikhtiyar dan antara taqlid dan ijtihad. 2) Tawazun dan Taadul (keseimbangan) sikap ini terefleksi dalam tata pergaulan baik dimensi politik maupun budaya yaitu dengan mengambil sikap akomodatif kritis dengan mengembangkan seruan amar maruf nahi munkar. 3) Tasamuh (toleran) yaitu mengembangkan dan menumbuhkan sikap menghormati keragaman pemahaman, tindakan maupun gerakan dalam konteks keislaman. Prinsip ini dimaksudkan dalam upaya membangun ukhuwwah baik ukhuwwah Islamiyah, Basyariyah maupun Wathaniyah. D. Usaha

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. 2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa. 3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan. 4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat. 5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyarakat.[5] BAB III ANALISA

28

NU sebagai sebuah jamiyyah dhiniyyah yang berhaluan faham Ahlussunnah wal Jamaah sangat memiliki kemampuan praksis, dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan beragama, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantive. Atas dasar itulah yang kemudian NU memiliki pandangan dalam berdakwah bahwa; 1) Islam diturunkan sebagai rahmatan lil 'aalamiin, memiliki makna dan fungsi universal yang suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan dilaksanakan oleh seluruh umat manusia tanpa harus menghilangkan identitas ras, kebangsaan dan kebudayaan. 2) Islam diturunkan ke dunia bukan untuk menghapuskan segala yang sudah ada dan telah dilakukan dan dihasilkan oleh suatu kelompok budaya, peradaban bangsa, agama, suku dan ras. Keanekaragaman serta perbedaan paham dan aliran kelompok atau golongan merupakan sunatullah (sejalan dengan hukum-hukum Allah). Kemajemukan (pluralitas) dalam hidup merupakan rahmat, bahkan amanah Ilahiyah dan kemanusian yang harus dimaknai dan disikapi dengan arif, membuka diri, merangkul dan melakukan dialog secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati, saling mendukung dan membantu. 3) Bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara subtantif (hakikiyah), fungsional, terbuka, merangkul dan tidak memusuhi pihak lain. Bahkan dinilai dari kulit luarnya, apalagi dengan sikap egoisme yang berlebihan, menangmenangan serta menutup diri dari pihak lain (eksklusif). NU memandang, sikap mengklaim kebenaran hanya milik sendiri dan pihak lain selalu salah, serta memaksakan kehendaknya kepada orang lain, sesungguhnya merupakan sikap dan perilaku yang tidak etis, tidak pantas dan tidak layak. Karena hal itu akan menimbulkan konflik dan keterpecahan di masyarakat luas. Karenanya, NU berpendirian agar setiap orang atau kelompok hendaknya dapat menerima kebenaran dan kebaikan dari pihak lain yang berbeda dengan tetap mengacu kepada nilai intelektual, moral keagamaan dan kemanusiaan.[6] Atas dasar toleransi dan solidaritas terhadap kemajemukan (pluralitas) itu, bukanlah menjadi hal yang mengherankan jika kamudian NU memiliki begitu banyak simpatisan di bumi nusantara ini, karena dianggap mampu mengakomodasi dari berbagai kepentingan yang ada, baik kepentingan agama, ras, suku dan bangsa. NU dianggap mampu mengendalikan egoisme fanatisme keagamaannya demi keutuhan dan kesatuan bumi pertiwi ini.

29

Madzhab Ahlus Sunnah wa al-Jamaah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf.

BAB IV PENUTUP Demikian pemaparan dari sejarah singkat dakwah NU yang telah kami usahakan dengan segala kemampuan kami. Semoga dari yang sedikit ini dapat diambil manfaatnya. Amin

DAFTAR PUSTAKA Masjhudi, H., M.Ag; Aswaja ditafsirkan kembali, Materi Kuliah Aswaja INISNU Jepara; Jepara, 2009 id.wikipedia.org www.nu.or.id Al Malibari, Al Wailaturi, Abu Muhammad; Ahlussunnah wal Jamaah sebagai Aqidah yang lurus; Ponpes Hidayatut Thullab; Kediri, 2007 Al Barsany, Iskandar, Noer, DR.KH., MA; Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah wal Jamaah; Raja Grafindo Persada; Jakarta, 2001

[1] Drs, Moh. Adnan, MA; Aswaja ditafsirkan kembali, hal. 5; H. Masjhudi, M.Ag [2] Wikipedia [3] ibid [4] PBNU; www.nu.or.id [5] Ibid

30

[6] Arland, Panduan Dakwah; Forum PBNU

PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI INDONESIA (MUHAMMADIYAH DAN NU: JAMAAH, JAMIYYAH) PENDAHULUAN Beberapa organisasi Islam di Indonesia telah memiliki andil yang cukup besar terhadap proses pengembangan agama Islam. Termasuk dalam pembentukan budaya Islam dalam masyarakat luas. Peran tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Paham-paham Islam di Indonesia merupakan suatu perkumpulan terstruktur yang mempunyai misi sebagai pembenahan pemahaman, kepercayaan ataupun agama untuk menjadikan ke depan lebih baik. Paham-paham Islam di Indonesia banyak macamnya. Diantaranya yaitu Muhammadiyah dan NU. Antara keduanya memiliki visi, misi, cara pandang dan tujuan yang berbeda satu sama lain. Walaupun begitu, mereka tidak bertentangan dengan landasan pokok atau syariat agama Islam. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih jelas mengenai dua paham Islam tersebut (Muhammadiyah dan NU) sebagai gerakan pembaharu Islam. RUMUSAN MASALAH Bagaimana Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan NU? Apa Saja Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah dan NU? Apa Tujuan Terbentuknya Muhammadiyah dan NU? PEMBAHASAN Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan NU Sejarah Berdirinya Muhammadiyah Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H., bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M di Yogyakarta oleh KH. A. Dahlan beserta sahabat dekat dan murid-muridnya. Organisasi ini diberi nama Muhammadiyah yaitu semua orang yang beragama Islam dan memahami bahwa Nabi Muhammad adalah hamba yang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang benar-benar masyarakat utama.[1]Organisasi ini didirikan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang

31

anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.[2] Latar belakang berdirinya Muhammadiyah yaitu: Kelahiran Muhammadiyah tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Quran dan karena itu pula seluruh geraknya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prisip ajaran Islam. Segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya, tak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riel, konkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil alamin.[3] Ada 2 (dua) faktor yang menjadi penyebab berdirinya gerakan ini: Faktor Subyektif Faktor Subyektif ialah pelakunya sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral. Faktor yang lain hanya menjadi penunjang saja. Yang dimaksud disini ialah, kalau mau mendirikan Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Kalau tidak, maka Muhammadiyah bisa dibawa kemana saja. Faktor Obyektif Faktor obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang bekembang saat itu. Hal ini hanya merupakan pendorong lebih hangat dari permulaan yang telah ditetapkan dan hendak dilakukan subyeknya. Faktor berdirinya bersifat internal dari umat Islam. Maksudnya kenyataan bahwa ajaran Islam yang masuk ke Indonesia kemudian menjadi agama umat Islam di Indonesia sebagai akibat perkembangan Islam pada umumnya ternyata sudah tidak utuh dan tidak murni lagi. Sementara faktor eksternalnya adalah bahwa pemerintah Belanda merupakan keadaan obyektif eksternal umat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya Muhammdiyah.[4] Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. atas kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu-mambantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya

32

tali persaudaraan dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.[5] Nahdlatul Ulama artinya Kebangkitan Ulama didirikan di Surabaya sebagai reaksi terhadap berdirinya gerakan reformasi dalam Islam di Indonesia, dan mempertahankan salah satu mazhab empat dalam masalah yang berhubungan dengan fiqih (hukum Islam). Dalam hal itiqad berpegang pada aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tokoh pendiri NU adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Mashum Lasem dan sebagai ketua pertamanya adalah KH. Hasyim Asyari.[6] Lapangan usaha NU meliputi bidang-bidang pendidikan, dakwah, dan sosial terutama penyiaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah. NU memiliki pondok pesantren besar yang menyebar di Indonesia, seperti Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Asembagus Situbondo, Pesantren Kajen Pati, Pesantren Lasem Rembang, Pesantren Kalibeber Wonosobo, Pesantren Buntut Cirebon, Pesantren Cipasung Tasikmalaya dan lain-lain. Disamping pesantren pendidikan yang dikelola NU adalah sekolah-sekolah formal sejak MI, MTs, MA, juga SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi. NU pernah terjun dibidang politik, setelah keluar dari partai politik Masyumi (1955). Dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, peran NU cukup besar. Bahkan diantara para tokoh NU ada yang diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI antara lain: KH. Hasyim Asyari, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainal Mustafa, KH. Zainul Arifin. Dalam perjuangan politik, NU akhirnya menyatakan kembali ke Khithah 26, yaitu meninggalkan perjuangan politik praktis. Tokoh-tokoh NU antara lain: KH. Dr. Idham Khalid (pernah ketua DPRMPR), dan KH. Abdurrahman Wahid, pernah menjadi presiden RI ke-4.[7] Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah dan NU Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah Kategorisasi pemikiran Muhammadiyah mengelompokkan pemikiran Muhammadiyah ke dalam jenis pemikiran yang bersifat filosofis dan teoritis. Pemikiran Muhammadiyah dapat disusun secara garis besar filosofi keperjuangan Muhammadiyah dalam lima prinsip. Pertama; tauhid, kedua; ibadah, ketiga; kemasyarakatan/jamaah, keempat; ittiba, kelima; tajdid dan keenam; organisai. Dengan tajdid dimaksudkan sebagai penempatan rasio atau akal atau arroyu sebagai alat dalam memahami dan merealisasikan ajaran Islam.

33

Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka gerak dakwah Muhammadiyah dalam semua aspek kehidupan sosial harus merupakan pelaksanaan dan penjabaran enam prinsip itu. Oleh karena itu penataan organisasi Muhammadiyah harus berdimensi tauhid, sebagai ibadah dalam konteks hidup sosial/jamaah yang dikembangkan sesuai dengan pola sunnah rasul. Oleh karena itu kehidupan sosial selau berubah setiap saat, maka penerapan prinsip di atas dikembangkan melalui pertimbangan rasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula halnya dengan pengembangan amal usaha Muhammadiyah yang meliputi berbagai aspek kehidupan sosial. Selanjutnya, jenis pemikiran yang kedua yang bersifat teoritis mengandung beberapa prinsip strategi dan teori keperjuangan Muhammadiyah melalui gerakan dakwah dan tajdid. Pemikiran ini disebut teoritis dan strategis karena merupakan teoritisasi norma yang tercantum dalam pemikiran jenis pertama dengan realitas hidup obyektif. Sesuai dengan posisi pemikiran jenis kedua tersebut, maka pemikiran jenis kedua bersifat kondisional yang lahir sebagai jawaban terhadap realitas kehidupan sosial yang selalu berubah. Secara garis besar prinsip strategi keperjuangan Muhammadiyah terdiri dari beberapa konsep. Pertama, pendalaman akidah bagi pimpinan dan anggota. Kedua,memperluas wawasan pemahaman Islam. Ketiga, korektif dan musyawarah. Keempat, pengembangan keterbukaan dan kemerdekaan berpikir secara rasional. Kelima, dakwah Islam merupakan konsep umum pengembangan tata kehidupan Islam. Keenam, politik dalam pengertiannya yang luas merupakan sub-sistem dari konsep dan gerakan dakwah Islam. Ketujuh, penertiban administrasi dan organisasi. Kedelapan, profesionalisasi dan spesialisasi sebagai metode pembagian kerja dan tugas dalam gerakan dakwah. Kesembilan, peningkatan mutu kehidupan sosial dan ekonomi anggota serta warga masyarakat antara lain dilakukan melalui peningkatan mutu amal-usaha Muhammadiyah di bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kesepuluh, ukhuwah-islamiyah sebagai prinsip hubungan kemasyarakatan.[8] Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dapat dipahami dari dua segi: pertama dapat diartikan bahwa gerakan Muhammadiyah harus berciri/ bersifat Islam. Seperti kedisiplinannya dalam menepati waktu. Kedua, dapat diartikan menggerakkan Islam, menjadikan Islam ini bergerak (dinamis) tidak diam (statis) sehingga adanya Islam dapat dirasakan oleh semua orang, tidak hanya orang Muhammadiyah saja, tetapi juga mendirikan tempat- yang bermanfaat lainnya seperti mendirikan sekolah, dan rumah sakit.
34

Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah berjuang dalam bidang masyarakat, bekerja dan bergerak ditengah masyarakat dalam melaksanakan dakwah Islam yang berprinsip pada Amar Maruf nahi Munkar dalam arti yang sebenarnya dan seluas-luasnya untuk menggerakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat yangmutamaddin, yang adil makmur serta diridhai Allah.[9] Bentuk-Bentuk Pemikiran NU Sejak awal pendiriannya NU merupakan organisasi yang bermotif dan berlandaskan keagamaan yang spesifik dengan haluan Ahl-Sunnah wa alJamaah. Oleh karena itu segala sikap, perilaku, dan karakter perjuangannya akan selalu diukur berdasarkan norma dan prinsip ajaran agama Islam yang dianut. Prinsip-prinsip ajaran (ideologi) yang dianutnya menjadi tuntutan atau pedoman bagi praktik-praktik keagamaan maupun dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan di kalangan NU, yang pada gilirannya akan membentuk karakteristik tersendiri dalam perjalanan kehidupan NU, serta membedakannya dengan organisasi keagamaan yang lain.[10] Adapun prinsip-prinsip ajaran yang memberikan nuansa spesifik pada NU dapat dikemukakan sebagai berikut: Paham NU dalam bidang keagamaan Pikiran Nahdlatul Ulama dalam bidang keagamaan secara ringkas dapat dibagi dalam tiga bidang, yaitu: bidang aqidah, fiqh dan tasawuf. Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada tahun 1926 adalah Islam atas dasar Ahlus sunnah wal jamaah. Adapun faham ahlus sunnah wal jamaah yang dianut oleh NU adalah faham yang dipelopori oleh Abul Hasan Al- Asyari dan Imam Abu Mansur Al- Maturidi.[11] Faham ini menjadi cita-cita kelahiran, menjadi pedoman dalam perjalanan kehidupan NU, menjadi landasan perjuangan yang senantiasa dipegang teguh dalam mengembangkan Islam di Indonesia.[12] Dalam bidang fiqh, dalam rangka mengajarkan agama Islam NU menganut dan mengikuti produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu madzhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham ahlus sunnah wal jamaah. Walaupun demikian tidak berarti NU tidak lagi menganut ajaran Rasulullah, sebab keempat madzhab tersebut berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah di samping ijma dan qiyas sebagai sumber pokok Islam.[13] Faham NU dalam bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Al-Junaid Al Bagdadi dan Imam Al-Ghazali. Imam Al-Junaid Al Bagdadi adalah salah seorang ulama sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak
35

sedang Imam Al-Ghazali adalah ulama besar yang berasal dari Persia.Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga NU, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan Jamiyah al-Thariqah al-Muqtabarah. Badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf.[14] Faham NU dalam bidang kemasyarakatan Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan yang dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasuth dan itidal, tasammuh, tawazun dan amar maruf nahi munkar. Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis NU maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarat. Sikap Tawasuth dan Itidal. Tawasuth artinya tengah, sedang Itidal artinya tegak. Sikap Tawasuth dan Itidal maksudnya sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah tengah kehidupan bersama. Sikap Tasammuh maksudnya adalah NU bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan terutama hal-hal yang bersikap furu atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Sikap Tawazun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyerasikan khidmad kepada Allah SWT, khidmad kepada sesama manusia serta kepada lingkungannya. Amar Maruf Nahi Munkar. Warga NU diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan sesama, serta mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Pola pikir NU Dalam NU dikenal sumber hukum Islam itu ada empat, yaitu: Al-Quran, AsSunnah, Al-Ijma, Qiyas. Selain empat sumber hukum Islam tersebut, NU juga mengacu kepada lima pokok tujuan syariyah, yang dikemukakan oleh oleh Imam As Sathibi, yaitu melindungi: Agama, jiwa, keturunan/kehormatan, harta, dan akal sehat. Ciri lain dalam metode berfikir NU adalah mengacu kepada kaidah-kaidah fiqh.[15] Tujuan Muhammadiyah dan NU Tujuan Pendirian Muhammadiyah

36

Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksud dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah ialah pembaharuan dalam arti mengembalikan keasliannya kemurniannya, dan pembaharuan dalam arti modernisasi. Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu: bidang keagamaan, bidang pendidikan, dan bidang kemasyarakatan. Bidang keagamaan Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt dalam al-Quran dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw lewat sunnah-sunnahnya. Bidang pendidikan Bagi Muhammadiyah, pendidikan mempunyai arti penting. Karena melalui bidang inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Pembaharuan pendidikan meliputi dua segi. Yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksudkan KH. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan faham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran. Bidang kemasyarakatan Di bidang sosial dan kemasyarakatan, usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah yaitu didirikannya rumah sakit, poliklinik, rumah yatim-piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya.[16] Tujuan Pendirian NU Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salah satu madzhab empat, serta untuk memepersatukan langkah para ulama dan para pengikut-pengikutnya dalam melakuka kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia. NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada
37

Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut Khitthah Nahdlatul Ulama.[17] NU didirikan sebagai Jamiyyah Diniyyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan). Jamiayyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak selalu berarti NU hanya beranggotakan Ulama tetapi memiliki maksud bahwa Ulama mempunyai maksud kedudukan istimewa didalam NU, karena baliau adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Nahdlatul Ulama mempunyai dua wajah: Pertama, wajah Jamiyyah (NU jamiyyah). Yaitu sebagai organisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme organisasi modern seperti memiliki pengurus, anggota, iuran, rapat-rapat resmi, keputusan-keputusan resmi dan lainlain. Kedua, wajah jamaah (NU jamaah). Yaitu kelompok ideologis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jamaah yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU, jamaah mushalla dan sebagainya. Anehnya mereka tidak mudah diatur sebagai jamiyyah NU. Kedua macan kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini. Masingmasing harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan idealnya jamiyyah NU dapat menjadi organisasi kader dengan melakukan langkah-langkah taktis seperti: Tertib administrasi dan organisasi yang mantap, mulai dari pendaftaran anggota, mutasi, proses pembentukan pengurus dan sebagainya. Pembinaan odeologi dan wawasan yang mumpuni. Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan. Sedangkan sebagai jamah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung masal bagi gagasan, sikap, langkah amaliah organisasi dan sebagainya, meskipun keberadaan mereka tidak terdaftar sebagai warga jamiyyah NU.[18] ANALISIS

38

Dalam perkembangannya, Islam yang berkembang di Indonesia mengalami kelunturan tentang ke ontetikan Islam itu sendiri. Dengan hal tersebut di Indonesia membentuk suatu organisasi yang pada dasarnya yaitu mempertahankan agama Islam yang murni seperti ajaran Islam pada waktu dibawa Rasulullah SAW. Di antara paham-paham agama Islam di Indonesia tersebut yaitu Muhammadiyah dan NU. Dilihat dari kondisi sekarang, Muhammadiyah dan NU seolah-olah memiliki perbedaan yang menjadikan masyarakat membeda-bedakan dan tidak ada kesatuan antara mereka. Hal yang sering diperselisihkan tersebut di antaranya masalah bacaan qunut dalam shalat subuh, kata sayyidina dalam sholawat, jumlah rakaat dalam shalat tarawih, dan lain-lain. Padahal pada dasarnya mengenai aqidah antara Muhammadiyah dan NU itu sama, yaitu mereka sama-sama berdasarkan al-Quran dan Hadits. Persoalan yang membedakan mereka sangatlah tipis, hanya soal syariat, tatanan dan aturan pelaksanaan syariatnya saja yang beda. Atau dengan kata lain, persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum Al-quran dan Hadist tersebut. Kalau Muhammadiyah mengambil dasar hukum didahului dengan melihat Alquran dan Hadist dulu, apakah ada dalilnya, kalau tidak ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU, Kalau ada persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Alquran atau Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah cukup kadang tidak terus mencari Al-quran dan Hadist. KESIMPULAN Paham-paham agama Islam di Indonesia yang paling terkenal adalah Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Jenis pemikiran Muhammadiyah bersifat filosofis dan teoritis. Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. NU berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M pendirinya yaitu KH. Hasyim Asyari. NU merupakan organisasi yang bermotif dan berlandaskan keagamaan yang spesifik dengan haluan Ahl-Sunnah wa al-Jamaah. Tujuan berdirinya NU yaitu untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salah satu madzhab empat, serta untuk memepersatukan langkah para ulama dan para pengikut-pengikutnya.

39

PENUTUP Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga memberikan manfaat bagi pembaca dan juga pemakalah. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah salanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Amin, Masyhur, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, Yogyakarta: AL-Amin, 1996 Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010 Daman, Rozikin, Membidik NU, Yogyakarta: Gama Media, 2001 Mulkhan, Abdul Munir, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial,Jakarta: Bumi Aksara, 1990 Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, Surabaya: Khalista, 2007 Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996 Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000 Solikhin, M., Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2005 Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang, Muhammadiyah Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990

[1] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 156 [2] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 84 [3] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm.114 [4] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 156-157

40

[5] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, (Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 24 [6] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, hlm. 58 [7]Samsul Munir Amin, Sejarah Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 424-425 [8] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial,(Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 53-54 [9] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 157-158 [10] Rozikin Daman, Membidik NU, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 54 [11] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: ALAmin, 1996), hlm. 80 [12] Rozikin Daman, Membidik NU, hlm. 54-55 [13] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 80 [14] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 85 [15] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 86-90 [16] Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang, Muhammadiyah Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990), hlm. 117-120 [17] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 2425 [18] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 3436

41

You might also like