You are on page 1of 14

REINVENTING NILAI-NILAI ISLAM MENGENAI PERANAN GURU

DALAM PENDIDIKAN KARAKTER∗

Oleh: Dr. Abdul Munip, M.Ag**

Pengantar

Dalam situs resmi BKKBN terungkap berita yang mengejutkan, yaitu:


BKKBN: Sebanyak 63% Remaja Pernah Berhubungan Seks. KESRA-- 19 DESEMBER 2008:
Menurut hasil survei yang dilakukan salah satu lembaga, 63 persen remaja di Indonesia usia
sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen di
antaranya melakukan aborsi. "Hasil survai terakhir suatu lembaga survei yang dilakukan di 33
provinsi tahun 2008, sebanyak 63 persen remaja mengaku sudah mengalami hubungan seks
sebelum nikah," kata Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M Masri Muadz, saat Peluncuran
SMS Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja di Serang, Jumat.
Ia mengatakan, persentasi remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah tersebut
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasar data
penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung,
Surabaya, dan Makassar, masih berkisar 47,54 persen remaja mengaku melakukan hubungan
seks sebelum nikah. Namun, hasil survei terakhir tahun 2008 meningkat menjadi 63 persen.
"Perilaku seks bebas remaja saat ini sudah cukup parah. Peranan agama dan keluarga sangat
penting mengantisipasi perilaku remaja tersebut," katanya.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang mendorong anak remaja usia sekolah SMP dan SMA
melakukan hubungan seks di luar nikah di antaranya pengaruh liberalisme atau pergaulan
hidup bebas, faktor lingkungan dan keluarga yang mendukung kearah prilaku tersebut serta
pengaruh perkembangan media massa. Oleh karena itu, dengan adanya perilaku seperti itu,
para remaja tersebut sangat rentan terhadap resiko kesehatan seperti penularan penyakit
HIV/AIDS, penggunaan narkoba serta penyakit lainnya. Sebab, data Departemen Kesehatan
hingga September 2008, dari 15.210 penderita AIDS atau orang yang hidup dengan HIV/AIDS
di Indonesia 54 persen adalah remaja.

Berita di atas hanyalah sebagian dari fenomena gunung es merosotnya nilai-


nilai moral dalam kehidupan para remaja kita. Tawuran pelajar, maraknya peredaran
narkoba di kalangan siswa, adanya siswa yang terlibat dalam tindakan kriminal, dan
tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya merupakan keprihatinan kita bersama. Tidak
hanya di kalangan remaja saja, secara umum bangsa Indonesia dihadapkan pada


Disampaiakan dalam acara Diskusi Forum Lingkar Hijau BEM Fakultas Ilmu Pendidikan UNY
tanggal 02 Maret 2009.
** Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


1
berbagai problem dan krisis kebangsaan yang serius. Berbagai permasalahan silih
berganti menyita perhatian semua anak bangsa. Jika tidak segera ditangani dan
diantisipasi, maka problem dan krisis itu bisa mengarah pada bergesernya karakter
(jati diri) bangsa ini, dari karakter positif ke negatif.
Fenomena itu tidak berlebihan karena belakangan ini tampak mulai menggejala
beberapa karakter negatif yang melanda bangsa ini, seperti: budaya korup, hipokrit,
materialistik, lebih menyukai jalan pintas, intoleran, kekerasan, distrust
(ketidakpercayaan kepada pihak lain), dan lain-lain. Pelaksanaan evaluasi hasil
belajar dalam bentuk Ujian Nasional (UN) terpaksa dilakukan melalui prosedur dan
proses yang sangat ribet, dari pengawasan silang, pemantauan oleh pemantau
independen, sampai pengawalan distribusi soal yang melibatkan aparat kepolisian.,
sesuatu yang mungkin hanya terjadi di Indonesia.
Andaikata bangsa ini tidak sedang dilanda penyakit distrust tentu pelaksanaan
Ujian Nasional cukup diserahkan kepada pihak sekolah penyelenggara, dan tidak
melibatkan banyak pihak yang berujung pada efisiensi biaya penyelenggaraan.
Andaikata semua elemen bangsa ini masih menjadikan kejujuran sebagai spirit dan
etika dalam menjalankan tugas dan peranannya masing-masing, niscaya tidak perlu
lagi dibentuk berbagai lembaga pengawasan yang berlapis-lapis, seperti BPK, BPKP,
KPK, Bawasda, dan lain-lain. Andaikata para pemimpin dan wakil rakyat kita
mampu menjaga amanah jabatan yang disandangnya, tentu kesejahteraan rakyat
akan segera bisa dinikmati secara merata.
Sesungguhnya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala di atas,
tetapi faktor pendidikan lah yang sering dituduh sebagai "biangkeroknya".
Asumsinya, tugas utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang
juga bisa diungkapkan sebagai "produsen" manusia Indonesia. Jika manusia yang
dihasilkan oleh pendidikan telah gagal mengantarkan bangsa ini kepada keadilan,
kemajuan, dan kesejahteraan bersama, maka tidak salah kiranya jika pendidikan
dipertanyakan ulang pemenuhan fungsinya. Adakah sesuatu yang salah dalam

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


2
pendidikan kita? Pada kenyataannya memang demikian. Pendidikan kita masih
bergulat dengan sejumlah problem yang melilit dirinya sendiri.
Pendidikan kita dihadapkan pada sejumlah problem yang bersifat makro dan
mikro. Pada tataran makro, setidaknya ada dua permasalahan mendasar, yaitu
orientasi filosofis dan arah kebijakan. Secara tersurat, tujuan pendidikan nasional kita
sungguh sangat ideal karena menjangkau semua dimensi kemanusiaan kita
(religiusitas, etis, fisik, keilmuan, dan life skill), tetapi terjadi gap antara cita-cita
dengan upaya dan instrumen untuk mencapai cita-cita tersebut. Implementasi
pendidikan kita sering lebih menciptakakan manusia yang bertipe mekanistik
daripada humanistik. Berbagai kebijakan juga seringkali mengebiri dan sengaja
mengerdilkan pendidikan. Pada tataran mikro, kita dihadapkan pada kesenjangan
kualitas yang sangat jauh antar lembaga pendidikan dalam hal in put siswa,
ketersediaan sarana, SDM, lingkungan, dan lain-lain.
Melihat kenyataan seperti itu, masihkah ada cahaya harapan dari dunia
pendidikan? Tentu masih banyak sisi-sisi positif pendidikan kita. Sejumlah lembaga
pendidikan alternatif semakin bermunculan, siswa-siswa kita juga bisa berlaga di
ajang internasional, banyak guru kita juga yang merupakan manusia-manusia kreatif,
dan lain-lain. Namun demikian, agar pendidikan kita mampu berperan lebih besar
dalam menggali, mengembangkan, menjaga, dan mengawal karakter positif bangsa
ini, perlu ada design besar yang sistematis dan terarah, bukan hanya by accident. Di
sinilah para guru dituntut ikut berperan aktif secara optimal.
Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk
melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai
generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan
konsep-konsep tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah
melangkah jauh dalam mempraktekannya. Tulisan ini mencoba untuk ikut urun
rembug dengan melakukan reinventing atau penggalian kembali nilai-nilai Islam
terutama tentang peranan guru dalam dunia pendidikan. Hal ini perlu dilakukan
agar kita (umat Islam, yang merupakan mayoritas warga bangsa ini) tidak asing

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


3
dengan tradisi keilmuannya sendiri. Bukankah pendidikan karakter akan lebih
berhasil jika para pelakunya diberi arahan yang berasal dari tradisinya sendiri?

Guru dalam Perspektif Islam

Peranan guru dalam membantu proses internalisasi nilai-nilai positif ke dan di


dalam diri siswa tidak bisa digantikan oleh media pendidikan secanggih apapun. Hal
ini karena pendidikan karakter membutuhkan teladan hidup (living model) yang
hanya bisa ditemukan dalam pribadi para guru. Tanpa peranan guru, pendidikan
karakter tidak akan pernah berhasil dengan baik. Pendidikan karakter mempunyai
makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana
yang benar dan mana yang salah.
Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana
yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau
melakukannya (domain psikomotor). Proses pembiasaan itu tidak akan mungkin
berjalan dengan baik tanpa bantuan guru dan juga orang tua.
Sebagai seorang pendidik muslim, kita perlu menggali kembali nilai-nilai Islam
sebagai pijakan kita dalam menjalankan tugas profetik dan profesionalismenya. Guru
utama yang menjadi panutan kita adalah Rasulullah saw. Beliau mengemban misi
mulia dari Allah swt yang tercermin dalam surat al-Jumu'at: 2

|=≈tGÅ3ø9$# ãΝßγßϑÏk=yèãƒuρ öΝÍκÏj.t“ãƒuρ ⎯ϵÏG≈tƒ#u™ öΝÍκön=tã (#θè=÷Ftƒ öΝåκ÷]ÏiΒ Zωθß™u‘ z⎯↵Íh‹ÏiΒW{$# ’Îû y]yèt/ “Ï%©!$# uθèδ

∩⊄∪ &⎦⎫Î7•Β 9≅≈n=|Ê ’Å∀s9 ã≅ö6%s ⎯ÏΒ (#θçΡ%x. βÎ)uρ sπyϑõ3Ïtø:$#uρ


Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
kitab dan hikmah (as-Sunnah), dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.

Tugas Nabi Muhammad saw antara lain adalah membacakan ayat-ayat Allah swt,
menyucikan dan mengajar manusia. Beliau sebagai pendidik bukan hanya sekedar
membacakan atau menyampaikan, tetapi juga menyucikan, yakni membersihkan

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


4
jiwa dan mengembangkan kepribadian. Sedangkan mengajar adalah mengisi benak
peserta didik dengan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas
yang menjadi tujuan penciptaan manusia, yakni menjadi khalifah (Qs. Al-Baqarah:
31), dan untuk mengabdi, beribadah kepada Allah swt (Qs. Adz-Dzariyat: 56).1 Atas
dasar itulah, maka dalam pandangan Prof. Quraish Shihab, tujuan pendidikan Islam,
yang sekaligus peranan yang diharapkan dari pendidik muslim adalah: membina
manusia secara pribadi dan kelompok agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba
Allah dan khalifahNya guna membangun dunia ini sesuai dengan "konsep" yang ditetapkan
Allah swt.2
Peranan para guru mendapatkan penghargaan yang tinggi dalam Islam. Mereka
adalah pewaris sejati ajaran Rasulullah Saw. Melalui merekalah, ajaran dan nilai-nilai
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Itulah sebabnya, Rasulullah Saw lebih memuliakan seseorang guru daripada
seseorang abid (ahli ibadah).

‫ﻀﻞﹸ‬
 ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺳ ﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟ ﱠﻠ‬
 ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﺎِﻟﻢ‬‫ﺮ ﻋ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﺍﻟﹾﺂ‬‫ ﻭ‬‫ﺎِﺑﺪ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻫﻤ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺟﻠﹶﺎ ِﻥ ﹶﺃ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳ ﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟ ﱠﻠ‬
 ‫ﻮ ِﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺮ ِﻟ‬ ‫ﺫﹸ ِﻛ‬

‫ﺕ‬
ِ ‫ﺍ‬‫ﻤﻮ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺘﻪ‬‫ﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺳ ﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟ ﱠﻠ‬
 ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻢ ﹸﺛ‬ ‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﺩﻧ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺃ‬ ‫ﻀﻠِﻲ‬
 ‫ﺎِﺑ ِﺪ ﹶﻛ ﹶﻔ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻌ‬ ‫ﺎِﻟ ِﻢ‬‫ﺍﹾﻟﻌ‬

 ‫ﺱ ﺍﹾﻟ‬
(‫ﺮ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﻴﺬﻱ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺨ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﻌ ﱢﻠ ِﻢ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﻣ‬ ‫ﺼﻠﱡﻮ ﹶﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺕ ﹶﻟ‬
 ‫ﺤﻮ‬
 ‫ﻰ ﺍﹾﻟ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺤ ِﺮﻫ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﻤ ﹶﻠ ﹶﺔ ﻓِﻲ‬ ‫ﻨ‬‫ﻰ ﺍﻟ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﲔ‬
‫ﺿ‬ِ ‫ﺭ‬ ‫ﺍﹾﻟﹶﺄ‬‫ﻭ‬
Rasulullah Saw diberitahu tentang adanya dua orang, yang pertama adalah seorang yang ahli
ibadah, dan orang kedua adalah seorang guru, kemudian Rasulullah Saw bersabda:
“Keutamaan seorang guru dibandingkan dengan seorang ahli ibadah itu seperti keutamaanku
dibandingkan dengan orang yang paling rendah (kedudukannya) di antara kalian”.
Kemudian Rasulullah Saw bersabda lagi: “Sesungguhnya Allah, para malaikat, para penghuni
langit dan bumi, bahkan sampai semut di lubangnya dan ikan ikut mendo’akan seorang guru
yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi).

Imam al-Ghazali (wafat 1111), memberikan argumentasi rasional yang mengapa


profesi guru lebih mulia dibandingkan dengan profesi lainnya. Beliau mengatakan:

1 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat terj. Shihabudin,

cet; ke. 4 (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 140.


2 Prof. Dr. Quraish Shihab, "Peningkatan Peranan dan Kualitas Pendidik Muslim dalam

Pembentukan Karakter Bangsa", makalah dalam Seminar Nasional Pembentukan Karakter Bangsa
Melalui Pendidikan Islam di UNS Surakarta, 3 April 2008.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


5
“Keutamaan sebuah profesi atau pekerjaan bisa dilihat dari objek tugas profesinya.
Seorang tukang emas dipandang lebih mulia jika dibandingkan dengan tukang
tembaga, karena emas lebih mulia daripada tembaga. Seorang guru lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan dengan profesi lainnya, karena yang menjadi objek
sasaran tugasnya adalah yang paling berharga dalam diri manusia, yaitu hatinya,
sedangkan manusia adalah makhluk paling mulia. Itulah sebabnya, profesi guru
merupakan profesi paling mulia satu tingkat di bawah kenabian”.3
Lalu kompetensi apa yang mesti dimiliki oleh seorang guru muslim? Para
ulama Islam di masa lampau telah merumuskan sejumlah “kode etik” yang harus
ditaati oleh seorang guru muslim. Beberapa di antaranya adalah:
1. Ibn Sahnun (wafat 871).
Dalam bukunya yang berjudul Adab al-Mu’alimin, Ibn Sahnun memaparkan
beberapa etika seorang guru, di antaranya:
• Seorang guru harus mendahulukan tugas mendidiknya daripada harus
melaksanakan shalat jenazah sekalipun.
• Seorang guru tidak boleh menyuruh para siswanya untuk kepentingan
pribadi
• Seorang guru harus berlaku adil terhadap semua siswanya tanpa
membeda-bedakan
• Seorang guru diperkenankan untuk “menghukum” anak didiknya
dengan memukulnya tidak lebih dari tiga kali. Dilarang memukul
bagian kepala atau mukanya. Hukuman itu bertujuan untuk
mendisiplinkan anak dan bukan sebagai wujud kemarahan guru.
• Seorang guru tidak boleh mengambil upah, apalagi menarik biaya dari
para siswanya, tetapi dia diperkenankan untuk menerima hadiah dari
siswa secara suka rela.4

Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumudin Jilid 1 (Kairo: Mathba’ah Shabih, tt), hlm. 49.
3

Muhammad Munir Mursyi, At-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-


4

‘Arabiyah (Kairo: Alam al-Kutub, 1977), hlm. 115-117.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


6
2. Al-Qabisi (935-1001)
Dalam bukunya yang berjudul al-Mufashalah li Ahwal al-Muta’allimin wa Ahkam
al-Mu’alimin wa al-Muta’allimin, beliau memaparkan bahwa semua anak
mempunyai hak yang sama untuk menerima pendidikan, dan mengajarkan
mereka juga dihukumi dengan wajib secara syar’i. Alasannya adalah karena
memahami Al-Qur'an dan ibadah adalah wajib, maka jalan untuk memahami
itu adalah wajib juga. Beberapa hal di antara yang harus dimiliki oleh seorang
guru adalah:
• Memiliki rasa sayang kepada peserta didik seperti menyayangi anak-
anak kandungnya sendiri
• Seorang guru tidak boleh langsung menghukum siswa secara fisik,
tetapi perlu diberikan nasihat dan peringatan terlebih dahulu.
• Seorang guru tidak boleh memukul siswanya dalam keadaan marah.
• Seorang guru hendaknya menggunakan metode targhib
(menyenangkan) dan metode tarhib (ketegasan disertai peringatan)
sesuai dengan tuntutan situasional.
• Hukuman yang berupa pemukulan hanya diperbolehkan pada bagian
kaki, dan dilarang memukul bagian kepala, muka, dan bagian tubuh
yang sensitif.5
3. Kelompok Ihwan ash-Shafa
Kelompok Ikhwan ash-Shafa ini merupakan gerakan para filosof Syi’ah
rahasia yang muncul pada masa Abbasiyah sekitar pertengahan abad ke-4
Hijriyah (10 Masehi). Menurut kelompok ini, seorang guru mempunyai
kedudukan sentral dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, seorang guru
harus mampu menyesuaikan diri dengan kecenderungan dan bakat masing-
masing individu peserta didiknya. Seorang guru juga harus seorang yang
dewasa, tegas, cerdas, halus watak dan perangainya, bersih hatinya, mencintai
ilmu demi kebenaran, dan menghindari sikap ta’ashub atau fanatisme

5 Ibid, hlm. 122-123

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


7
berlebihan. Dalam pandangan Ikhwan ash-Shafa, kegiatan belajar-mengajar
harus mencerminkan hubungan kebapakan antara guru dengan peserta
didiknya.6
4. Ibn Sina (wafat 1037)
Dalam Risalah Siyasah-nya, Ibn Sina banyak berbicara tentang pendidikan
anak. Menurutnya, materi pertama yang harus diajarkan kepada seorang anak
adalah Al-Qur'an, kemudian sya’ir-sya’ir khususnya yang mengandung
seruan moral dan kecintaan kepada ilmu, lalu ilmu bahasa, dan lain-lain. Ibn
Sina juga sangat memperhatikan masa depan peserta didik, sehingga setelah
seorang peserta didik telah merampungkan pendidikan dasarnya, hendaknya
dibimbing untuk mendapatkan jenis profesi yang sesuai dengan bakat dan
keahliannya.
Pada sisi lain, Ibn Sina juga sangat memperhatikan pendidikan akhlak atau
moral. Menurutnya, hukuman diberikan kepada anak yang membandel dan
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesalahannya. Bagi Ibn Sina,
lingkungan pergaulan juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Oleh
karena itu, seorang anak hendaknya bergaul hanya dengan teman-teman yang
baik.7
5. Ibn Miskawaih (wafat 1030)
Dalam bukunya, Tahdzib al-Akhaq wa Tathir al-A’raq, Ibn Miskawaih berbicara
tentang psikologi dan pendidikan. Keterkaitan antara pendidikan dan
pengetahuan tentang jiwa ini sangat erat, karena dalam pandangan beliau,
sebelum kita melakukan kegiatan mendidik, kita perlu mengetahui
karakteristik watak individu peserta didik, sehingga kita bias
menyesuaikannya.

6 Muhammad Jawwad Ridla, Al-Fikr al-Tarbawi al-Islami (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1980), hlm.
25.
Uraian yang agak lengkap tentang pemikiran pendidikan Ibn Sina dapat ditemukan dalam
7

Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha (Beirut: Dar al-Fikr, 1969)
terutama halaman 214-241.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


8
6. Al-Ghazali (wafat 1111)
Pemikiran-pemikiran beliau mengenai pendidikan dituangkan terutama di
kitab Ihya Ulumudin dan kitab Ayyuhal Walad. Kedua buku tersebut ditulisnya
setelah beliau melewati perjalanan panjang intelektualnya. Kunci pokok
pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat ditemukan pada penjelasannya
tentang hakikat pendidikan. Dalam pandangan beliau, pendidikan harus
mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela,
karena ilmu merupakan ibadahnya hati, shalat yang bersifat rahasia, dan
sarana pendekatan batin kepada Allah Swt.8
Terkait dengan pendidikan karakter, al-Ghazali mengatakan: “Pendidikan
harus dimulai ketika anak masih kecil. Mendidik anak-anak itu ibarat
mengukir di atas batu”. Anak dalam pandangan al-Ghazali adalah masih suci
yang bisa menerima rangsangan apapun yang berasal dari luar.
Selanjutnya, kewajiban seorang guru dalam pandangan al-Ghazali, antara lain:
• Guru harus bersikap lembut dan kebapakan terhadap anak didik.
• Guru harus tidak kikir dalam memberikan nasihat dan bimbingan
akhlak kepada para siswanya
• Guru harus menjauhi perilaku dan perangai buruk.
• Guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi para
siswanya. Apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang
diperbuatnya.
• Guru harus memahami karakteristik peserta didik dengan cara
mendalami kejiwaan mereka. Dalam pandangannya, setiap anak
memiliki perbedaan kemampuan. Oleh karena itu, dengan memahami
perbedaan itu akan semakin mempererat hubungan kemanusiaan (ash-
shilah al-insaniyah) antara guru dan anak didiknya.

8 Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad (Beirut: Dar al-Fikr, tt)

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


9
• Guru perlu menerapkan strategi pembelajaran yang berbasis
“permainan” kepada peserta didik yang masih anak-anak. Menurutnya,
strategi bermain bisa mendatangkan tiga manfaat, yaitu: (a) melatih dan
memperkuat fisik anak, (b) membuat anak-anak merasa gembira
(idkhal as-surur), dan (c) anak-anak bisa santai sejenak dari kesibukan
dan kedisiplinan belajar yang ketat.
• Di hadapan peserta didiknya, seorang guru tidak boleh menjelek-
jelekkan ilmu lain yang diajarkan oleh guru lain.
• Guru harus mampu membiasakan anak didiknya untuk berakhlak
mulia, sehingga mereka bisa menghormati orang lain, apalagi yang
lebih tua.
• Seorang guru tidak boleh mencela atau mempermalukan salah seorang
anak didiknya di hadapan teman-temannya, karena bisa berdampak
buruk bagi perkembangan psikologis anak tersebut.9
7. Az-Zarnuji (wafat 1194)
Karya beliau di bidang pendidikan adalah kitab Ta’lim al-Muta’allim yang
merupakan buku panduan pendidikan karakter yang telah berabad-abad
mewarnai pendidikan di pesantren kita. Di antara butir pemikiran beliau
mengenai pendidikan moral adalah perlunya dibiasakan dalam diri siswa
untuk menghormati dan mencintai ilmu pengetahuan dan pemiliknya (ta’dzim
al-ilmi wa ahlihi).10
8. Ibn Khaldun (lahir 1332, wafat 808 Hijriyah)
Salah satu butir pemikiran pendidikan Ibn Khaldun yang memandang
perlunya pendidikan bahasa dilakukan sejak kecil. Hal ini agar anak didik
mampu berkomunikasi secara baik dengan orang lain.11
9. Ibn Taimiyah (1263-1312)

Muhammad Munir Mursyi, at-Tarbiyah…,hlm. 128-131.


9

Syeikh Ibrahim bin Isma’il az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’alllum (Surabaya: Dar
10

al-Kutub al-‘Arabiyah).
11 Ibid, hlm 136.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


10
Ibn Taimiyah, salah seorang ulama Hanbaliyah yang paling dikenal telah
mengagas beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang guru:
• Para guru adalah pengganti (khulafa’) Rasulullah Saw, karena merekalah
yang selama ini melestarikan risalah kenabian. Kedudukan ini hanya bisa
dimiliki oleh orang yang meneladani Rasulullah Saw dalam segala hal.
• Para guru harus bisa menjadi teladan bagi para siswanya dalam hal
kejujuran, keteguhan, dan moral Islam. Menurut beliau, guru yang bohong
(tidak kompeten) dalam ilmunya merupakan kedzaliman, begitu juga
perbuatan maksiat yang dilaksanakannya secara terang-terangan bisa
menimbulkan krisis kepercayaan dan cemoohan di kalangan pengikutnya.
• Para guru harus menyampaikan ilmunya dengan cara professional dan
tidak secara serampangan dan asal-asalan. Meremehkan tugas dalam
menyebarkan ilmu sama saja dengan meremehkan jihad. Allah Swt
memurkai seorang guru yang menyembunyikan ilmunya atau
menyebarkan ilmunya dengan tujuan hanya untuk mendapatkan upah
duniawi. Sesungguhnya para guru sejati adalah mereka yang mengajarkan
ilmu yang mereka miliki dan kuasai, sedangkan para guru pengabdi hawa
nafsu adalah mereka yang mengajarakan apa yang sesuai dengan
kepentingan mereka sendiri.
• Para guru harus menjaga ilmu mereka dengan cara menghafal, menambah
pengetahuan dan tidak boleh melupakan ilmu yang dimilikinya.12
10. Abdurrahman an-Nahlawi
An-Nahlawi adalah seorang ahli pendidikan Islam yang hidup di masa
modern. Dalam bukunya yang berjudul Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Asalibuha fi al-Baiti, wa al-Madrasati, wa al-Mujtama’ (1983), dia kemukakan
tentang syarat-syarat seorang guru:
• Seorang pendidik harus memiliki sifat Rabbani (Ali Imran: 79)

Majid ‘Irsan al-Kailani, al-Fikr at-Tarbawi ‘Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabah Dar at-Turats,
12

1986), hlm. 177-178.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


11
#YŠ$t6Ïã (#θçΡθä. Ĩ$¨Ζ=Ï9 tΑθà)tƒ §ΝèO nο§θç7–Ψ9$#uρ zΝõ3ßsø9$#uρ |=≈tGÅ3ø9$# ª!$# çµuŠÏ?÷σムβr& @t±u;Ï9 tβ%x. $tΒ

óΟçFΖä. $yϑÎ/uρ |=≈tGÅ3ø9$# tβθßϑÏk=yèè? óΟçFΖä. $yϑÎ/ z⎯↵ÍhŠÏΨ≈−/u‘ (#θçΡθä. ⎯Å3≈s9uρ «!$# Èβρߊ ⎯ÏΒ ’Ík<

∩∠®∪ tβθß™â‘ô‰s?
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-
penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya. (Rabbani ialah orang yang Sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t)

• Seorang guru harus memiliki keikhlasan yang tinggi dalam


menjalankan tugas profesinya.
• Seorang pendidik harus melaksanakan tugas kependidikannya dengan
sabar.
• Seorang pendidik harus memiliki sikap kejujuran yang tinggi dengan
menerapkan apa yang dia jarakan dalam kehidupan pribadinya.

$tΒ (#θä9θà)s? βr& «!$# y‰ΨÏã $ºFø)tΒ uã9Ÿ2 ∩⊄∪ tβθè=yèøs? Ÿω $tΒ šχθä9θà)s? zΝÏ9 (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ

∩⊂∪ šχθè=yèøs? Ÿω

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan (QS. Ash-Shaf: 2-3)

• Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan,


dan keilmuannya.
• Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan
metode pendidikan yang variatif dan sesuai dengan tuntutan materi
pendidikan.
• Seorang guru harus bersikap tegas dan meletakkan sesuatu secara
proporsional.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


12
• Seorang guru harus memahami psikologi anak, psikologi
perkembangan, dan psikologi pendidikan, sehingga dia akan
memahami dan memperlakukan anak didiknya sesuai dengan kadar
intelektual dan kesiapan psikologisnya, ssebagaimana perkataan Ali Bin
Abi Thalib: “Berdialoglah dengan manusia sesuai dengan apa yang
mereka ketahui. Apakah kamu suka, dia akan berdusta kepada Allah
Swt?
• Seorang guru harus peka terhadap fenomena kehidupan di sekitarnya.
• Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap semua anak
didiknya.13
Itulah beberapa butir pemikiran berharga yang pernah dikemukakan oleh para
ulama Islam mengenai pendidikan karakter, terutama yang berkaitan dengan
peranan guru sebagai unsur pendidikan paling dominant dalam membentuk
karakter peserta didik. Pada bagian berikutnya, perlu dipaparkan tentang bagaimana
sesungguhnya strategi yang bisa digunakan oleh dalam pendidikan karakter
menurut Islam.

Strategi Guru dalam Menanamkan Karakter

Agar pendidikan karakter bisa berhasil dengan baik, an-Nahlawi telah mencoba
merumuskan berbagai strategi penanaman pengetahuan dan nilai. Di antara strategi
tersebut adalah: (a) mendidik melalui dialog Qur’ani dan Nabawi, (b) mendidik
melalui kisah Qur’ani dan Nabawi, (c) mendidik melalui perumapamaan, (d)
mendidik melalui keteladanan, (e) mendidik melalui praktek dan perbuatan, (f)
mendidik melalui ibrah dan Mau’idzah, (g) pendidikan melalui targhib dan tarhib.14
Melalui strategi-strategi di atas, maka sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur
universal yang ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah yang digagas oleh
Ratna Megwangi bisa ditanamkan dan dibentuk dalam diri peserta didik.

13 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam…,hlm. 170-176.


14 Ibid.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


13
Kesembilan karakter tersebut adalah: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaaan-Nya; Kedua, kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah,
diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan, suka tolong-menolong
dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh,
kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati, dan; Kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Model atau strategi yang ditawarkan oleh an-Nahlawi tersebut sesungguhnya
sangat sejalan dengan strategi pendidikan karakter yang digagas oleh para ahlinya,
yakni apa yang disebut dengan model pendidikan holistik. Model ini menggunakan
metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa
mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good
harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat
sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan
perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah
menjadi kebiasaan.

Penutup

Sebagai akhir diskusi kita tentang pendidikan karakter, izinkanlah saya


mengutip ungkapan dari Prof. Dr. Quraish Shihab tentang hokum panen.
"Tanamkanlah tindakan, anda akan menuai kebiasaan. Tanamkanlah kebiasaan, anda akan
mendapatkan karakter. Tanamkanlah karakter anda akan mengukir nasib". Semoga, kita
yang berkecimpung di dunia pendidikan ini senantiasa mendapatkan hidayah dari
Allah Swt agar kita bisa ikut berperan dalam menanamkan, menumbuhkan,
membiasakan, mengawal, dan menjaga karakter-karakter positif bangsa ini.

Yogyakarta, 3 Maret 2009.

Abdul Munip Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta


14

You might also like