You are on page 1of 7

Perkembangan Peradaban Islam Periode Bani Abbasiyah

PENDAHULUAN Meski terdapat sejumlah perbedaan, para ahli sejarah banyak yang membagi periodisasi sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah yang berumur sekitar lima ratus tahun (750-1258 M / 132-656 H) ke dalam dua periode utama. Periode pertama, berlangsung antara tahun 750-945M/132-334H, dimana pada masa itu Dinasti Abbasiyah memiliki otoritas politik yang sangat kuat dan kemudian mampu melahirkan sebuah kemajuan peradaban yang disebut-sebut sebagai Era Keemasan (the Golden Age). Akan tetapi periode ini juga sekaligus mencatat munculnya benih-benih kemunduran dan kelemahan politik yang terjadi di paruh akhir masa ini Sedangkan periode kedua (945-1258M) adalah rentang waktu dimana Dinasti Abbasiyah secara faktual mengalami kemunduran politik dan para khalifah kehilangan otoritas kekuasaanya terhadap sejumlah wilayah dibarengi dengan lahirnya negara-negara kecil (duwaylt) yang memerdekakan diri. Karakteristik lain dari periode ini adalah masih terlihatnya sisa-sisa pengaruh kemajuan peradaban Islam era keemasan yang terwujud dalam perkembangan berbagai disiplin keilmuan (`ulm), pembangunan (`umrn), tercapainya kesejahteraan, hingga pada level berikutnya yang bersifat negatif yakni menggejalanya gaya hidup bermewahan (taraf). Periode Dinasti Abbasiyah ini berakhir pada tahun 1258 M ketika Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol di bawah komando Hulagu Khan. LATAR BELAKANG KEMAJUAN PERADABAN Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan khalifah kedua, Ab Ja`far ibn `Abdullh ibn Muhamad Al-Mansr (137-158H/754-775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Yaitu; Pertama, menyingkirkan para musuh maupun bakal calon musuh (potential and actual rivals) serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah; Kedua, meninggalkan Al-Anbr dan membangun Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi lokus aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu. Langkah-langkah penting yang diambil Al-Mansr tersebut dan efek besar yang ditimbulkannya terhadap perkembangan Dinasti Abbasiyah pada masa-masa berikutnya menjadikan para sejarahwan kemudian menganggapnya sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang sebenarnya (al-muassis al-haqqi li al-dawlah al-`Abbasiyah). Selain figur politiknya yang begitu kuat dan dominan, Al-Mansr juga dikenal memiliki perhatian cukup besar terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak masa mudanya atau sebelum menjadi seorang khalifah. Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi

salah satu ikon kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansr sebagai khalifah pertama yang mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam. Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnf) dan kodifikasi (tadwn) ilmu tafsir, hadits, fiqh, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era AlMansr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanji secara tegas menyebut Al-Mansur sebagai khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para khalifah Bani Umayyah. Namun betapapun pentingnya peranan Al-Mansr, kemajuan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah pada hakekatnya tidak datang dari ruang hampa, melainkan pada titik yang paling penting merupakan buah dari pengaruh konsep-konsep dalam ajaran Islam itu sendiri. Hal ini diakui pula oleh beberapa penulis Barat semisal Vartan Gregorian dalam bukunya Islam: A Mosaic, Not a Monolith. Kesimpulan tersebut jika ditilik dari perspektif kajian sejarah peradaban berkesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa semangat yang dibawa oleh konsep keagamaan (al-fikrah al-dniyyah) merupakan lan vital dan menjadi unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban. Di samping itu, faktor lain yang secara lebih lanjut turut mempengaruhi kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah adalah interaksi masif kaum muslimin era Abbasiyah dengan komunitas-komunitas masyarakat di beberapa wilayah yang sebelumnya telah menjadi pusat warisan pemikiran dan peradaban Yunani seperti Alexandria (Mesir), Suriah, serta wilayah Asia Barat, khususnya Persia. Singkat kata, tidak lama setelah berdirinya, Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga sektor yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnf), kodifikasi dan sistematisasi ilmu-ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-tarjamah) secara masif. Selain tiga hal di atas dapat ditambahkan pula perkembangan ilmu sains yang melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan legendaris yang diakui tidak saja di dunia Muslim tetapi juga oleh kalangan akademisi Barat. GERAKAN PENERJEMAHAN DI ERA ABBASIYAH Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi di Era Abbasiyah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari upaya-upaya penerjemahan yang pernah dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Saat itu, usai penaklukan besar-besaran yang merambah wilayah-wilayah di tiga benua, serta pada saat keamanan politik dalam negeri relatif stabil, sebuah upaya penerjemahan telah dilakukan meski dalam skala kecil.

Sebagaimana diceritakan oleh para sejarahwan, Khlid ibn Yazd ibn Muawiyah pernah memerintahkan dihadirkannya sejumlah filosof Yunani yang bermukim di Mesir dan menguasai bahasa Arab untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (Qibti), khususnya yang terkait dengan ilmu medis dan kimia, ke dalam bahasa Arab. Selain itu, pada masa `Abdul Mlik ibn Marwn dan Al-Wald ibn `Abdul Malik itu juga telah dilakukan penerjemahan dwn dari bahasa aslinya, baik bahasa Pahlavi-Persia, Yunani maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab. Berbeda dengan upaya penerjemahan di masa Dinasti Umayyah yang berskala kecil atau bahkan bersifat individual, gerakan penerjemahan di Era Abbasiyah, didukung oleh para khalifah yang rata-rata memiliki kecenderungan keilmuan dan ketertarikan terhadap pengetahuan dari Yunani maupun Persia. Para khalifah seperti Al-Mansr misalnya, selalu mendorong para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dengan tanpa membedakan agama maupun bangsa mereka, untuk menerjemahkan buku-buku sains, filsafat dan sastra dari bahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Di era Al-Mansr ini muncul tokoh penerjemah di bidang sastra seperti `Abdullh Ibn Al-Muqaffa` (757 M), seorang Majusi yang kemudian memeluk Islam, yang menerjemahkan buku Kallah wa Dimnah, serta Hunayn Ibn Ishq yang menerjemahkan buku-buku medis karya Hippocrates dan Galen. Pada era Hrn al-Rashd (170-194 H) para cendekiawan dan ilmuwan semakin banyak yang berdiam di Baghdad. Sang Khalifah-pun mendirikan Bayt al-Hikmah, laiknya sebuah akademi ilmiah yang menjadi pusat aktivitas keilmuan mulai dari penelitian penerjemahan sekaligus perpustakaan. Lembaga ini kemudian dikembangkan oleh Al-Mamn dan mencapai puncaknya pada masa itu dibawah tanggungjawab Hunayn Ibn Ishq. Al-Ma'mun juga menambahkan bangunan khusus sebagai sebuah observatorium untuk penelitian astronomi ke Bayt al-Hikmah. Bayt al-Hikmah-pun menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual yang tidak tertandingi dimana penelitian ilmu-ilmu sosial maupun sains, meliputi metematika, astronomi, kedokteran, kimia, zoologi, geografi dan lain-lain dilakukan. Melalui lembaga ini pula berbagai buku penting (ummaht al-kutub) warisan peradaban pra-Islam (Persia, India dan Yunani) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti buku-buku Pythagoras, Plato, Aristoteles, Hippocrates, Euclid, Plotinus, Galen, Sushruta, Charaka, Aryabhata maupun Brahmagupta. Maka tidak heran jika Philip K. Hitti menyatakan bahwa Bayt alHikmah merupakan lembaga keilmuan paling penting yang pernah dibangun peradaban manusia setelah Perpustakaan Alexandria yang didirikan sekitar paruh pertama abad ketiga sebelum Masehi. Dengan gerakan penerjemahan ini Baghdad menjadi sebuah kota yang mengoleksi berbagai karya keilmuan yang sangat agung. Bersamaan dengan itu Baghdad juga menjadi kota besar paling kaya dan mempunyai populasi tertinggi mencapai satu juta jiwa. Popularitas Bayt al-Hikmah ini terus berlangsung sampai kepemimpinan AlMu`tasim (berkuasa 833-842M) dan Al-Wtsiq (berkuasa 842-847M), tetapi mulai tenggelam dan mengalami kemunduran pada masa kekuasaan Al-Mutawakkil (847861M).

Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah buku-buku kuno ke dalam bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim (ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn Msawayh, Hunayn ibn Ishq, Ishq ibn Hunayn, Hubaysh ibn alA`sam, Tsbit ibn Qarrah al-Sbii, Yahya ibn al-Bitrq, Iqldis ibn N`imah, Zarb ibn Mjwah al-Himsi, w ibn Ayyub, Qust ibn Lq, Astufun ibn Bsl, Salb Ayyb alRahwi, Dr` al-Rhib dan lain-lain masih banyak lagi. Catatan menarik lainnya, bahwa gerakan penerjemahan ini ternyata tidak hanya menjadi perhatian pemerintah dan para khalifah sahaja, melainkan juga oleh para pribadi dari kalangan elit semisal Ban Shkir yang juga mengelola penerjemah-penerjemah handal yang bekerja siang malam untuk mereka. Keluarga elit lain diceritakan bahkan sangat getol mengeluarkan harta berlimpah untuk membayar para penerjemah mereka, seperti dilakukan oleh Ban Al-Munajjim yang berani membayar 500 dinar kepada para penerjemah tiap bulannya sebagai upah penerjemahan penuh waktu (li al-naql wa almulzamah). KEMAJUAN ILMU-ILMU AGAMA Selain gerakan penerjemahan, kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqh. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh. Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj (w. 150 H) yang menulis kumpulan haditsnya di Mekah, Mlik ibn Anas (w. 171) yang menulis AlMuwatta' nya di Madinah, Al-Awza`i di wilayah Syam, Ibn Abi `Urbah dan Hammd ibn Salmah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyn al-Tsauri di Kufah, Muhamad Ibn Ishq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-Maghzi), Al-Layts ibn Saad (w. 175H) serta Ab Hanfah. Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadits. Buku tafsir lengkap dari al-Ftihah sampai al-Ns juga mulai disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadm yang pertama kali melakukan penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyd al-Daylamy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farr. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadm bahwa `Abd al-Razzq ibn Hammam al-San`ni (w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-Far juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa. Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanfah (w.150 H), Mlik ibn Anas (w.179H), Al-Shfi`i (w.204) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 241H).

Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir dan ilmu Fiqh, ilmu Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Mlik ibn Anas, juga al-Rab` ibn Sabh (w.160) dan Ibn AlMubrak (w. 181 H). Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal, `Ubaydullah ibn Msa al-`Absy al-Kfi, Musaddad ibn Musarhad alBasri, Asad ibn Ms al-Amawi dan Nu`aym ibn Hammd al-Khuz`i. Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahh dari yang dla`f sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari (w.256), Muslim (w.261), Ibn Mjah (w.273), Abu Dwud (w.275), Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-Nasi (w.303). Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya dilakukan oleh Ibn Ishq (w. 152) dan kemudian diringkas oleh Ibn Hisym (w. 218). Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn `Umar al-Wqidi (w. 207) yang menulis buku berjudul Al-Trkh alKabr dan Al-Maghzi. Buku yang pertama dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan Al-Tabari (838-923M). Sejarahwan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad ibn Saad (w.230 H) dengan Al-Tabaqt al-Kubr-nya serta Ahmad Ibn Yahya al-Baldhuri (w.279) yang menulis Futh al-Buldn.

KEMAJUAN SAINS DAN TEKNOLOGI Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulm naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (`ulm aqliyah). Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat yang juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzt al-atsar al-mddi f haytihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat). Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada peradaban manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa kini. Dalam bidang matematika misalnya, ada Muhamad ibn Msa al-Khawrizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu cabang matematika bahkan juga diambil dari namanya.

Astronomi juga merupakan ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era Abbasiyah dan didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansr yang juga sering disebut sebagai seorang astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai pada era Al-Mansr ketika Muhamad ibn Ibrhm al-Fazri menerjemahkan buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui Matahari) dari bahasa Sanskerta ke bahasa Arab. Pada era Hrn al-Rashd dan Al-Mamn sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-Khawrizmi, Ibn Jbir Al-Battni (w. 929), Abu Rayhn al-Biruni (w.1048) serta Nsir al-Dn al-Tsi (w.1274). Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang mengembangkan teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi dan gerhana. Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jbir ibn Hayyn (atau Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rzi yang pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari para pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar. Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Rzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), AlKhawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain. Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah, bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-390H) terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi debagai dokter. Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah dipaparkan di atas umat Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu dibidang ilmu lainnya seperti biologi, geografi, arsitektur dan lainnya yang tidak dapat dijeleaskan seluruhnya dalam makalah ini. Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad terdapat

ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan kertas kemudian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad 13M.

You might also like