You are on page 1of 15

makalah bahasa arab muftadah wal khabar

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB II PEMBAHASAN Mubtada ( )dan Khabar () A. Mubtada () Macam-macam Mubtada B. Khabar () BAB III PENUTUP Kesimpulan dan Perhatian DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan antara hukum Islam dengan pengetahuan bahasa Arab merupakan hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Alasannya sangat jelas, karena sumber pokok dari hukum Islam itu adalah Al-Quran dan Hadits yang memakai atau menggunakan bahasa Arab standar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab . Bahasa Arab adalah Bahasa Al-Quran. Setiap orang muslim yang bermaksud menyelami ajaran Islam yang sebenarnya dan lebih mendalam, tiada jalan lain kecuali harus mampu menggali dari sumber asalnya, yaitu Quran dan sunnah Rasulullah saw. Di dalam bahasa Arab , keberadaan nominal menjadi sangat mutlak karena keberadaan bahasa arab, kita senantiasa menggunakannya. Adapun contoh dari nominal yang seringkali di gunakan adalah mubtada dan khabar. Akan tetapi dalam perjalanan dewasa ini, kita senantiasa di buat bingung oleh pengertianpengertian dari bahasa arab , apa itu mubtada dan bagaimanakah khabar itu. Sebelum berbicara mengenai Mubtada dan Khabar , sebaiknya mengetahui terlebih dahulu bahwa kalimat , baik kalimat sempurna maupun tidak dalam bahasa arab terbagi menjadi dua, yaitu Jumlah Ismiyah adalah kalimat yang di dahului oleh isim yang berada di awal kalimat tersebut dinamakan Mubtada dan bagian yang melengkapinya di namakan Khabar yang mana hukum nya dalam Irab harus mengikuti kepada Mubtada. Dan Jumlah Filiyah, yaitu kalimat yang di dahului oleh fiil.

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Mubtada () Mubtada adalah setiap isim yang dimulai pada awal kalimat baik didahului

oleh nafyu maupun istifham, contoh (= Muhammad tersenyum), contoh didahului oleh nafyu (= tamu itu tidak datang) dan contoh isim yang didahului oleh kata Tanya ( = apakah yang lulus adalah Ali). Dan hukum isim yang dimulai pada awal kalimat tersebut ( )adalah Marfu (dibaca akhir katanya dengan harakah dhamma), kecuali apabila isim tersebut didahului oleh huruf Jarr tambahan atau yang menyerupainya maka hukumnya secara Lafadznya adalah Majrur namun kedudukannya dalam kalimat tetaplah Marfu. Contohnya firman Allah SWT : kata Ilah pada ayat tersebut secara lafadznya adalah majrur namun kedudukannya tetaplah Rafa. Dan Mubtada terbagi menjadi dua, yaitu Mubtada Sharih ( ) yang mencakup semua isim dhahir seperti pada contoh di atas, dan juga terdiri dari Dhamir, contohnya (= dia bersungguh-sungguh) atau (= kamu ikhlas), yang Kedua adalah Mubtada Muawwal ( )dari An ( )dan fiilnya, contohnya firman Allah SWT ( ) dan ( ) mubtada pada contoh ini adalah An dan Fiilnya ditawilkan menjadi isim mashdar sebagai mubtada, atau dengan kata lain An dan fiilnya dijadikan mashdar sebagai mubtada sehingga An Tashumu menjadi Shiyamukum dan An Tattahidu menjadi itthidadukum karena mashdar dari kata Shama-Yashumu=berpuasa adalah Shiyam dan Ittahadayattahidu=bersatu mashdarnya adalah ittihad,( ), ( = .)= Mubtada boleh terdiri dari banyak kata sedangkan khabarnya hanyalah satu, contohnya (.)

Macam-macam Mubtada Apabila dilihat dari Khabarnya maka Mubtada terbagi menjadi dua, yaitu Mubtada yang mempunyai khabar, contohnya ( ) dan Mubtada yang tidak memiliki Khabar, akan tetapi mempunyai isim marfuyang menempati posisi dari pada khabar, contohnya (= apakah bayi telah tidur) Naim adalah mubtada sedangkan Thifl adalah Fail yang menempati posisi khabar, contoh lain ( = tidaklah terpuji orang kikir), mahmud=terpuji adalah mubtada dan bukhli adalah Naib Fail yang menempati tempatnya khabar. Mubtada yang memiliki khabar haruslah terdiri dari isim sharih atau dhahir ataupun yang telah ditawilkan menjadi mashdar yang sharih, sedangkan mubtada yang tidak memiliki khabar tidak boleh mentawilkannya dan penggunaanya haruslah selalu disertai dengan Nafyu atau istifham. Adapun Isim marfuyang terletak setelah mubtada yang tidak memiliki khabar yang dibarengi oleh Nafyu atau istifham maka kedudukannya dalam Irab kalimat adalah sebagai berikut: 1. Apabila menunjukkan kepada sifat yang tunggal dan setelahnya adalah isim yang tunggal contohnya ( ) atau ( ) maka Irabnya ada dua kemungkinan, Pertama: sifat yang pertama setelah istifham (musafir) adalah mubtada dan setelahnya adalah Fail karena letaknya setelah Isim Fail, atau Naib Fail apabila terletak setelah isim maful, keduanya marfumenempati kedudukan khabar. Kedua: Sifat yang pertama (musafir) adalah khabar yang didahulukan (khabar muqaddam) sedangkan kata (rajul) adalah mubtada yang diakhirkan (mubtada muakkhar). 2. Apabila sifat yang pertama menunjukkan pada isim tunggal kemudian setelahnya adalah Mutsanna (yang menunjukkan bentuk dua) atau Jamak, maka sifat yang pertama adalah mubtada dan isim setelahnya tersebut adalah Fail atau naib fail yang menempati posisi khabar, contoh ( ) dan ( )kata Muhmil adalah mubtada sedangkan thalibani adalah Fail karena terletak setelah isim Fail, dan kata Mahbub adalah mubtada sedangkan Muqshirun adalah Nab Fail karena terletak setelah Isim Maful.

3. Apabila sifat yang pertama berbentu dua (mutsanna) atau Jamak dan setelahnya adalah mutsanna atau jamak maka isim yang pertama adalah khabar yang didahulukan (khabar muqaddam) dan isim yang setelahnya adalah mubtada yang diakhirkan (mubtada muakkhar), contohnya ( ) dan ( ,)kata musafirani dan muqshirun adalah khabar muqaddam sedangkan dhaifani dan mujtahidun adalah Mubtada muakkhar. Asal dari Mubtada adalah Marifah atau mubtada haruslah isim yang marifah sebagaimana pada contoh-contoh di atas, kecuali apabila didahului oleh nafyu atau istifham maka boleh mubtada itu nakirah dengan catatan kenakirahannya tidaklah mengurangi dan mempengaruhi makna yang dapat diperincikan sebagai berikut: a. Nakirah tersebut menunjukkan kekhususan baik dengan menyebutkan sifat atau tidak, ataupun nakirah tersebut secara lafadznya bersandar pada marifat, contohnya ( ) dan contoh yang idhaf (.) b. Nakirah yang menunjukkan pada sesuatu yang umum, baik mubtadanya adalah bentuk yang umum, contohnya ( ,) kata man di sini adalah bentuk nakirah yang umum. Maupun mubtada yang nakirah tersebut terletak dalam kalimat yang didahului oleh nafyu atau istifham, contohnya ( ) dan (.) c. Mubtada yang nakirah haruslah didahului oleh kalimat yang terdiri dari jar majrurr atau dharf, contohnya ( ,) mubtada di sini adalah nakirah karena di dahului oleh jar majrur, dan ( ,) kata asyjar adalah nakirah karena didahului oleh dzharf. d. Nakirah harus Athaf (mengikuti) pada marifah atau diikutkan pada marifah, contohnya ( ) kata rajul di sini nakirah karena ikut pada Muhammad. dan ( ) kata rajul diikutkan pada yusuf. e. Mubtada yang nakirah merupakan jawaban atas pertanyaan, contohnya, ada yang bertanya ( ) maka jawabannya ( )dengan menggunakan nakirah, takdirnya adalah (.)

f. Terletak setelah Laula ( ,)contoh (.) g. Jika khabarnya adalah sesuatu yang aneh yang keluar dari kebiasaan, contohnya (= pohon bersujud). Apabila kita melihat dari contoh-contoh di atas dapat dilihat perbedaan kedudukan mubtada yang kadang didahulukan (mubtada muqaddam) dan kadang diakhirkan (mubtada muakkhar), kesemuanya itu mempunyai aturan yang wajib didahulukan maupun boleh didahulukan.

Wajib Mendahulukan Mubtada Mubtada itu wajib didahulukan apabila: 1. Isim yang mempunyai kedudukan sebagai pendahuluan di dalam kalimat, seperti isim syarat, atau istifham atau Ma yang menunjukkan ketakjuban, contohnya (= barangsiapa yang membaca syair maka akan bertambah kekayaannya dengan bahasa), kata Man di sini adalah mubtada yang harus di dahulukan karena posisinya dalam kalimat sebagai pembukaan dan pendahuluan, contoh lain ( = siapakah yang akan bepergian besok), kata man di sini adalah kata Tanya yang harus selalu didahulukan dan ia adalah mubtada, contoh lain (= alangkah indahnya musim semi) Kata Ma disini adalah Ma takjub yang mana harus dan wajib didahulukan. 2. Mubtada yang menyerupai isim syarat, contohnya (= yang menang maka baginya piala), kata allazi dalam kalimat ini menyerupai isim syarat. 3. Isim tersebut haruslah disandarkan kepada isim yang menempati posisi dan kedudukan kata pendahuluan, contohnya ( ) kata amal disandarkan pada Man yang kedudukannya sebagai pendahuluan. 4. Apabila khabarnya adalah jumlah filiyah dan failnya adalah dhamir yang tersembunyi yang kembali kepada mubtada, contohnya ( =Muhammad bermain bola) kata yalab adalah khabar jumlah filiyah dan failnya dhamir tersembunyi kembali ke Muhammad.

5. Isim tersebut haruslah disertai dengan huruf Lam untuk memulai atau Lam tauwkid, contoh ( ) kata addar dimasuki oleh lam ibtida, dan ( ) dimasuki lam tawkid. 6. Mubtada dan khabarnya adalah Marifat atau kedua-duanya nakirah dan tidak adanya kata yang menjelaskannya, contohnya ( ) jika ingin memberitahukan tentang bapaknya maka wajib didahulukannya, dan () jika ingin memberitahukan tentang Muhammad. 7. Mubtada teringkas khabarnya oleh Illa atau Innama, contohnya ( )dan (.) Selain dari tujuh masalah di atas, maka boleh mendahulukan atau mengakhirkan mubtada.

Wajib Menghilangkan Mubtada Mubtada wajib dihilangkan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Apabila mubtada ikut kepada Sifat yang marfu dengan tujuan memuji atau menghina atau sebagai rasa iba dan saying, contohnya ( ) mubtadanya dihilangkan karena disifati oleh sifat yang rafa, asalnya adalah ( .)Contoh lain ( = jauhilah dari orang jahat yang jelek sifatnya), asalnya adalah ( ) mubtada nya wajib dihilangkan karena disifati oleh sifat yang marfu. 2. Jika menunjukkan jawaban terhadap sumpah, contohnya () asalnya adalah ( ) dengan menghilangkan mubtadanya yaitu ahd. 3. Jika khabarnya adalah mashdar yang mengganti fiilnya, contohnya () asalnya adalah ( ) maka wajib menghilangkan mubtadanya. 4. Jika khabarnya dikhususkan pada pujian atau cercaan setelah kata Nima () dan Bisa ( )dan terletak diakhir, contohnya (= alangkah baiknya pelajar yaitu Muhammad) dan ( = alangkah buruknya pelajar yang pemalas), muhammad dan kusul pada contoh di atas adalah khabar dari mubtada yang dihilangkan, asalny adalah ( ) dan (.)

Selain dari empat masalah ini, mubtada juga kebanyakan dihilangkan jika terletak setelah kata qaul (berkata), contohnya ( ) mubtadanya dihilangkan, asalnya adalah ( ,) contoh lain, ( ) dan () asalnya adalah ( ) dan ( .) Atau mubtadanya terletak setelah Fa sebagai jawban dari syarat, contohnya ( ) asalnya adalah ( .)

Boleh Menghilangkan Mubtada Mubtada boleh dihilangkan dan dihapus sebagai jawaban atas pertanyaan orang yang bertanya ( ,?) dan jawabnya ( )aslinya adalah ( ,) atau Mubtada itu boleh dihilangkan apabila ada kalimat atau kata yang menunjukkan tentangnya, contohnya firman Allah SWT ( ) kata Falinafsihi kedudukannya rafa khabar dan dhamir Ha majrur bil idhafah sedangkan mubtadanya mahzuf (dihilangkan) begitu juga pada wa man asaa faalaiha, asalnya adalah ( ) dan (.) Dan boleh juga menghilangkan Mubtada dan khabarnya apabila ada dalil yang menunjukkan kepadanya, contohnya ( )yang dihapus dari kalimat tersebut adalah mubtada dan khabarnya yaitu ( )aslinya haruslah ( ) dihapus karena telah dijelaskan pada kalimat sebelumnya.

2.2

Khabar () Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai Jumlah Ismiah ()

yang terdiri dari dua bagian yang memberikan petunjuk serta pemahaman kepada pendengar agar diterima. Para pakar Nahwu menyebut bagian pertama dari jumlah ismiah ini dengan Mubtada karena ia adalah bagian yang dimulai dalam pembicaraan, sedangkan bagian keduanya dinamakan Khabar karena ia memberitahukan keadaan yang ada pada mubtada, dan bisa saja terdiri dari segala

bentuk sifat baik ia isim fail, atau maful ataupun tafdhil, contohnya, () dan (.)

Hukum Khabar Para ahli nahwu menyebutkan hukum dari pada khabar adalah sebagai berikut: 1. Wajib merafa (memberi harakah dhamma) khabar, penyebab khabar itu marfuadalah marfu. 2. Khabar pada dasarnya haruslah nakirah, contohnya ( ) fadhil adalah nakirah dan ia khabar mubtada. 3. Khabar haruslah disesuaikan atau ikut kepada mubtada dari segi tunggalnya atau tasniyah (bentuk duanya) ataupun jamak, contoh (,) ), ( dan (.) 4. Boleh menghilangkan khabarnya apabila ada dalil yang menunjukkan kepadanya, dan masalah ini nanti akan dibahas pada pembahasannya. 5. Wajib menghilangkan khabarnya, masalh ini pun akan dibahas nanti pada pembahasannya. 6. Khabar boleh banyak dan beragam sedangkan mubtadanya hanya satu, contohnya ( ) zakiyun dan fithn adalah khabar mubtada, contoh lain (.) 7. Boleh dan wajib didahulukan khabar dari pada mubtada, dan pembahasan ini pun akan di bahas pada pembahasannya. mubtada , contohnya ( ) Karim adalah khabar marfudisebabkan oleh mubtada. Contoh lain ( ) Khair khabar mubtada

Macam-macam Khabar Khabar terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Khabar Mufrad ( )yaitu khabar yang bukan berbentuk kalimat atau yang menyerupai kalimat, akan tetapi terdiri dari satu kata baik menunjukkan pada

tunggal atau mutsanna (bentuk dua) ataupun jamak, dan harus disesuaikan dengan Mubtada dalam pentazkiran (berbentuk muzakkarf=lk) atau tanis juga dalam bentuk tunggal, mutsanna dan jamak. Contoh (= bulan bersinar), ( = pelajar pr itu sopan). 2. Khabar Jumlah ( ,)yaitu khabar yang berbentuk kalimat baik jumlah ismiah ( )maupun filiyah ( .)Contoh khabar jumlah ismiah ( =taman itu pepohonannya berwarna hijau) atau (= pakaian itu warnanya bersih), Atsaub =adalah mubtada pertama, Lawn=Mubtada kedua dan mudhaf, dhamir Hu=mudhaf ilaih, Nashi=khabar mubtada kedua, Jumlah dari mubtada kedua dan khabarnya menempati posisi rafa yaitu khabar dari mubtada pertama. Adapaun contoh khabar mubtada dari jumlah filiyah, ( =anak-anak bermain di taman) yalabun adalah fiil mudharimarfukarena khabar mubtada yang berbentuk jumlah filiyah. Khabar jumlah baik ismiah maupun filiyah haruslah berhubungan dengan mubtada. 3. Khabar syibhu jumlah ( ) yaitu khabar yang bukan mufrad atau jumlah akan tetapi menyerupai jumlah, terdiri dari Jarr wal majrur ( ) dan dharf =kata keterangan,( .)Contoh khabar dari jar wal majrur (= buku di dalam tas), ( = air di dalam teko). Contoh khabar dari dharf makan (keterangan tempat), (= surga dibawah telapak kaki ibu), ( = burung di atas pohon), contoh dharf zaman (keterangan waktu), ( = bepergian pada hari kamis), (= akan bepergian setelah seminggu).

Wajib mendahulukan Khabar Khabar wajib di dahulukan dari mubtada dalam keadaan sebagai berikut: 1. Apabila mubtada nya adalah isim nakirah yang semata-mata tidak untuk memberitahukan dan khabarnya adalah jar wal majrur atau dharf, contohnya ( = di sekolah ada para guru), (= ada tamu). Jika mubtadanya nakirah dengan maksud untuk memberitahukan maka hukumnya boleh didahulukan atau pada tempatnya semula, contohnya (.)

2. Jika khabarnya adalah istifham (kata Tanya) atau disandarkan pada kata Tanya, contohnya (= bagaimana kabarmu), (= anak siapa ini) atau ( = jam berapa perginya). 3. Apabila ada dhamir yang berhubungan atau bergandengan dengan mubtada sedangkan kembalinya dhamir tersebut kepada khabarnya atau sebagian dari khabarnya, contohnya, (= di sekolah ada murid-murid-nya), ( = di tama nada anak-anak-nya), dhamir yang ada pada mubtada kembali kepada khabarnya. 4. Meringkas khabar mubtada dengan Illa ( )atau Innama ( ,)contohnya, ( = tiada yang menang kecuali Muhammad), (= yang menang adalah Muhammad), dalam contoh ini kata faiz diringkas atau dipendekkan sebagai sifat dari Muhammad. Boleh mendahulukan atau mengakhirkan khabar apabila khabarnya sebagai pengkhususan setelah kata Ni ( )ma dan Bisa ( ,)contohnya ( =alangkah baiknya lelaki itu muhammad), ( = alangkah buruknya perbuatan khianat), Muhammad di sini bisa saja mubtada muakkhar dan jumlah filiyah sebelumnya adalah khabar muqaddam, dan bisa saja mubtadanya dihilangkan dan Muhammad di sini adalah khabarnya, karena apabila pengkhususan setelah ni ma dan bi sa didahulukan atas fiilnya maka ia adalah mubtada dan jumlah filiyahnya adalah khabar muakhhar oleh sebab itu boleh didahulukan atau diakhirkan.

Boleh menghilangkan Khabar Khabar boleh dihilangkan apabila terletak setelah Iza al fajaiyah (tiba-tiba), contohnya (= saya keluar tiba tiba ada harimau), ( =saya sampai tiba-tiba hujan), khabarnya dihilangkan, asli dari kalimat tersebut adalah ( ) dan ( .) Apabila ada dalil yang menjelaskannya maka khabar pun boleh dihilangkan, yang dapat ditemukan pada jawaban dari pertanyaan, misalanya ada yang bertanya (= siapa yang alpa?), jawabannya ( )dengan menghapus khabarnya yaitu ( ) karena telah dijelaskan pada

pertanyaannya. Dan apabila jumlah ismiah mengikuti (athf) pada jumlah ismiah yang tidak dihilangkan khabarnya, maka boleh menghilangkan khabar pada jumlah ismiah yang mathuf, contohnya (= muhammad rajin dan ahmad juga), asal dari kalimat di atas ( ,) dihilangkan khabar jumlah ismiah yang matuf karena telah dijelaskanpadasebelumnya.

Wajib menghilangkan Khabar Adapun tempat-tempat dimana khabar itu wajib dihilangkan adalah sebagai berikut: 1. apabila mubtadanya adalah isim yang sharih yang menunjukkan pada sumpah, contohnya (= demi hidupmu saya bersaksi dengan kebenaran), khabarnya wajib dihilangkan, asalnya adalah (.) 2. Khabarnya menunjukkan pada sifat yang mutlak artinya sifat tersebut menunjukkan akan keberadaan dari sesuatu, dan hal itu terdapat pada kata yang bergandengan dengan jar majrur atau dharf, contohnya (= air berada di dalam teko), (= buku berada di atas meja), yang menunjukkan khabarnya telah dihilangkan yaitu ( .)Dan apabila mubtadanya terletak setelah Lau la ( )maka khabarnya yang berarti keberadaan pun wajib dihilangkan, contohnya (= jika tidak ada Allah, maka mobil akan menabrak anak itu), khabar yang dihilangkan adalah kata ( )pada contoh ini. 3. Jika mubtadanya adalah mashdar atau isim tafdhil yang disandarkan pada mashdar dan setelahnya bukanlah khabar melainkan hal yang menduduki tempatnya khabar, contohnya (= saya mendukung pelajar yang berprestasi), (: = sebaik-baik shalatnya sorang hamba dalam keadaan khusu) asalnya adalah (.) 4. Khabarnya terletak setelah huruf Wau ( )yang berarti dengan/bersama (,) contohnya, (= semua pelajar bersama kawanya), wau di sini berarti bersama sehingga khabarnya dihilangkan, dan khabar yang dihilangkan adalah kata (.)

BAB III PENUTUP Kesimpulan dan Perhatian 1. Asal dari pada mubtada adalah marifah sedangkan khabar adalah Nakirah, contohnya ( ,) namun kadang ada mubtada datang dalam bentuk marifat dan khabarnya pun marifat, contohnya ( ) dan () mubtadanya marifah dan khabarnya pun marifah karena idhafah. Contoh lain ( ) assabiqun yang pertama adalah mubtada dan yang kedua adalah khabarnya, sama dengan ( ,) terdiri dari mubtada dan khabar, tapi bisa juga assabiqun dan anta yang kedua adalah taukid (menegaskan) pada yang pertama. 2. Jika mubtadanya adalah mashdar marfu, maka mubtadanya boleh didahulukan, contohnya (.) 3. Asal dari khabar mubtada adalah satu, namun boleh saja khabar terhadap mubtada menjadi banyak, contohnya ( ) kata penyair, penulis dan penulis kisah semuanya adalah khabar dari mubtada yang menunjukkan bolehnya taaddud khabar terhadap mubtada. 4. Haruslah memperhatikan pnyesuaian antara khabar dan mubtada, sebagaimana yang telah disebutkan pada hukum-hukum khabar di atas, akan tetapi ada sebagian ayat-ayat Al Quran yang membingungkan dan menimbulkan kesan bertentangan dengan hukum penyesuaian tersebut, padahal jika dilihat dengan seksama ternyata semua itu ada kesesuaian antar keduanya.

5. Khabar yang terdiri dari jarr dan majrur atau dharf pada dasarnya bukanlah khabar, melainkan ia berhubungan dengan kata yang dihilangkan, dan kata yang dihilangkan tersebutlah yang marfu yang menunjukkan ia adalah khabar, contohnya, ( ) jarr majrur di sini hanyalah berhubungan dengan kata yang dihilangkan yaitu khabar mubtada, takdirnya adalah ( )atau (.) 6. Khabar mufrad boleh diikutkan (athaf) kepada khabar jarr majrur, contohnya ( ) aysaddu qaswah khabar yang diathafkan pada jar majrur yaitu kal hijarah. 7. Boleh memisahkan antara mubtada dan khabar, contohnya (,) kata hum adalah mubtada, dan yuqinun adalah khabarnya, dipisahkan oleh jar majrur yang berkaitan dengan khabarnya yaitu yuqinun.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar , K . H . Moch. Ilmu Nahwu Terjemahan Matan Al-Ajrumiyah dan Imrithy. Bandung: Sinar Baru Algesindo , 2007. Djuha , Drs. Djawahir . Tata Bahasa Arab (Ilmu Nahwu) Terjemahan Matan AlAjrumiyah. Bandung : Sinar Baru Algesindo , 2007 Djupri , Drs Ghaziadin . Ilmu Nahwu Praktis. Surabaya : Apollo.

You might also like