You are on page 1of 13

ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA MEDULLA SPINALIS

A. Pengertian Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelaksaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. B. Anatomi fisiologi Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubanglubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis. Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut : 1. Vetebrata Thoracalis (atlas) Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang. 2. Vertebrata Thoracalis Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax. 3. Vertebrata Lumbalis Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi. 4. Os. Sacrum Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.

5. Os. Coccygis Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter. Fungsi dari kolumna vertebralis Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablongata, dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Sumsum tulang belakang berukuran panjang sekitar 45 cm, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut : 1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit

2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi pada karnu pasterior mendula spinalis. 3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impulsimpuls menuju karnu anterior medula spinalis. 4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik. 5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik. 6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.

C. Etiologi 1. Kecelakaan lalu lintas 2. Olahraga, latihan fisik 3. Tumor 4. Luka tusuk, luka tembak 5. Kelainan tulang belakang karena hipoksemia dan iskemik. 6. Industri. 7. Terjatuh, 8. Menyelam.

D. Klasifikasi 1. Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total) 2. Inkomplet (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik): Sindrom Sindrom medulla sentral Area cedera Kehilangan fungsi

Substansia alba dan grisea Kehilangan neuron motorik sentral medulla spinalis, atas pada lengan .

terjadi paling banyak pada cedera servikal. Sindrom medulla anterior Dua medulla pertiga spinalis anterior Kehilangan fungsi motorik terjadi komplet dibawah level hiperekstensi

paling banyak pada cedera cedera. fleksi dan kompresi . Traktus (motorik). Traktus (sensori). Kehilangan sensasi nyeri,

kortikospinal sentuhan dan suhu. Masih merasakan sentuhan spinotalamus ringa, propriosepsi, dan rasa posisi.

Sindrom medulla posterior

Jarang

Kehilangan fungsi motorik

Dikaitkan dengan trauma bergantung pada apakah cedera disebabkan oleh hiperekstensi servikal. kompresi medulla spinal, dislokasi atau discus, fraktur, posisi

perubahan

fraktur tulang. Sindrom brown-sequard Hemiseksi korda anterior Kehilangan fungsi motorik dan posterior (misalnya, komplet dibawah level lesi, oleh luka pada sisi ipsilateral. Kehilangan sensasi nyeri,

disebabkan tusuk).

Traktus kortikospinal pada sentuhan dan suhu pada sisi sisi ipsilateral kontralateral untuk semua

Traktus spinotalamus pada area dibawah lesi. sisi kontralateral Sindrom kauda ekuina Dibawah L2 Kehilangan fungsi motorik dan sensori.

Menurut American Spinal Injury Association: 1. Grade A : Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik di bawah tingkat l. 2. Grade B : Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi. 3. Grade C : Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3. 4. Grade D : Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3. 5. Grade E : Fungsi motorik dan sensorik normal.

E. Patofisiologi

F. Manifestasi Klinis 1. MK CMS Servikal C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernafasan) C4 C5 C6-C7 Tangan C8 : gangguan fungsi jari.
: gangguan : :

biceps dan lengan atas

gangguan fungsi gerakan bahu, tangan, dan pergelangan tangan gangguan fungsi tangan secara komplit, gerakan siku dan pergelangan

2. MK CMS Thorakal T1 T2-T8


:

gangguan fungsi tangan


:

gangguan fungsi pengendalian otot abdomen, gangguan satabilitas tubuh,

pengaturan suhu.

T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdomen dan batang tubuh 3. MK CMS Lumbal L1-L2 L3 L4 L5 S1 S2-S3 S2-S4
:

gangguan ejakulasi dan gerakan pinggul ekstansi lutut gerakan kaki

: gangguan : gangguan :

gangguan ekstensi lutut

4. MK CMS Sacral : gangguan gerakan kaki : gangguan aktivitas kandung kemih khusus
: gangguan

ereksi penis

G. Tes Diagnostik 1. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi. 2. Ct skan Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural 3. MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi 4. Mielografi Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi). 5. Foto ronsen torak Memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis) 6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) Mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal). 7. Analisa Gas Darah Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

H. Komplikasi 1. Neurogenik shock. 2. Hipoksia. 3. Gangguan paru-paru 4. Instabilitas spinal 5. Orthostatic Hipotensi 6. Ileus Paralitik 7. Infeksi saluran kemih 8. Konstipasi 9. Dekubitus 10. Kontraktur 11. Impoten 12. Gagal napas 13. Trombosis vena profuda 14. Instabilitas spinal

I.

Penatalaksanaan

1. Farmakoterapi Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela. Tindakan Respiratori a. b. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi

leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal. c. Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan

lesi servikal yang tinggi Reduksi dan Fraksi skeletal a. Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi

koluma vertebrata. b. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest. c. Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi Tindakan bedah :

Laminektomi,dilakukan Bila : a. Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi

b.Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal c. Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal

d. Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla.

J. Epidemiologi Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%). Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause) (di kutip dari Medical Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,1999). Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

K. Prognosis Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri.

ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Data subyektif a. Pengetahuan pasien tentang penyakit (cedera dan akibat dari gangguan neurologis)

b. Inforasi tentang kejadian cidera, bagaimana sampai terjadi c. Adanya dyspnea

d. Sensasi yang tidak biasannya (parasthesia) e. f. Riwayat hilangnya kesadaran Tidak adanya sensasi - gangguan sensorik

2. Data Obyektif a. Tingkat Kesadaran (Sadar/tidak sadar), GCS, pupil

b. Status respirasi (Bervariasi) c. Orientasi tempat, waktu dan orang

d. Sikap tubuh pasien, kekuatan motorik e. f. TTV (TD, Temp, Nadi), Integritas kuli Distensi bowel dan bladder

3. Aktifitas /Istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf). 4. Sirkulasi Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat. 5. Eliminasi Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis. 6. Integritas Ego Takut, cemas, gelisah, menarik diri. Makanan /cairan Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik) 7. Higiene Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)

8. Neurosensori Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal). Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh). Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.

9. Nyeri /kenyamanan Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral. 10. Pernapasan Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis. 11. Keamanan Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar). 12. Seksualitas Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.

B. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otototot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi. 2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik. 3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik. 4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan. 5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.

6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi

Nursing Care Plan

No. Diagnosa Keperawatan 1 Ketidak pola yang dengan /paralisis abdomen intertiostal ketidakmampuan

Tujuan & Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

efektifan Setelah dilakukan tindakan 1.

Kaji kemampuan batuk1.

Hilangnya otot

kemampuan dan

pernapasan keperawatan selama 2 x 24 dan reproduksi sekret. berhubungan jam kelemahan dapat: otot-otot mempertahankan ventilasi dan adekuat dibuktikan oleh tak 2. diharapkan pasien

motorik

intercosta

abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk. 2. Pertahankan jalan nafas fleksi leher, 3. Hilangnya refleks batuk Menutup jalan nafas.

dan adanya distress pernapasan (hindari

dan GDA dalam batas yang brsihkan sekreat) 3.

untuk membersihkan dapat diterima. sekresi.

Monitor warna, jumlah beresiko menimbulkan pnemonia. konsistensi sekret,4. Pengambilan secret dan

Mendemonstrasikan dan

perilaku yang tepat untuk lakukan kultur mendukung pernapasan. upaya 4.

menghindari aspirasi. Mendeteksi adanya sekret

Lakukan suction bila5. perlu

dalam paru-paru. 6. mengembangkan alveolu dan

5.

Auskultasi bunyi napas

menurunkan prosuksi sekret. 7. Mengencerkan sekret

6.

Lakukan latihan nafas 8. Meninghkatkan suplai

oksigen dan mengetahui kadar 7. Berikan minum hangat olsogen dalam darah. jika tidak kontraindikas 8. 9. Mendeteksi adanya infeksi

Berikan oksigen dan dan status respirasi. monitor analisa gas darah

9.

Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi

Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. kulit

Kaji

faktor

resiko1.

Salah

satunya

yaitu

yang keperawatan selama 2 x 24 terjadinya diharapkan pasien integritas kulit

gangguan immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel. 2. Mencegah lebih dini

berhubungan dengan jam penurunan dapat:

immobilitas,

mengidentifikasi

faktor 2. Kaji keadaan

terjadinya dekubitus. pasien3. Mengurangi sehingga tekanan 1

penurunan sensorik. resiko individual.

Mengungkapkan setiap 8 jam pemahaman kebutuhan tindakan. tentang 3.

tekanan

mengurangi

Gunakan tempat tidur resiko dekubitus khusus (dengan busa) Ganti posisi setiap 2 jam 4. Daerah akan hipoksia, posisi yang tertekan menimbulkan perubahan meningkatkan

Berpartisipasi pada tingkat 4. kemampuan

untuk dengan sikap anatomis Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat

mencegah kerusakan kulit. 5.

tidur dan tubuh pasien. 6. Lakukan pemijatan

sirkulasi darah. 5. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit 6. Meningkatkan darah sirkulasi

khusus / lembut diatas daerah tulang yang

menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar 7. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan

dengan tinggi protein 8. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari 7. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan

8. Mempercepat penyembuhan

proses

Konstipasi

Setelah dilakukan tindakan 1.

Kaji pola eliminasi bowel 1.

Menentukan adanya perubahan eliminasi.

berhubungan dengan keperawatan selama 2 x 24 adanya atoni usus jam sebagai gangguan autonomik. akibat dapat: mengungkapkan perilaku/ 3. tehnik untuk Berikan minum 18003. diharapkan pasien 2. Berikan diet tinggi serat 2.

Serat meningkatkan konsistensi feses Mencegah konstipasi

program 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi

khusus individual

menciptakan kepuasan pada

kembali 4.

Auskultasi bising usus, 4. adanya

Bising

usus

menentukan

pola kaji

distensi pergerakan perstaltik 5. Kebiasaan menggunakan tejadi

emilinasi usus 5.

abdomen Hindari laktasif oral

penggunaan laktasif ketergantungan 6.

akan

Meningkatkan

pergerakan

6.

Lakukan mobilisasi jika peritaltik memungkinkan 7. Pelunak feses sehingga

7.

Berikan sesuai program

suppositoria memudahkan eliminasi 8. Kemungkinan perdarahan akibat

8.

Evaluasi dan catat adanya iritasi penggunaan suppositoria perdarah eliminasi pada saat

You might also like