You are on page 1of 27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Ikan 1. Pembuatan Tepung Ikan Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4 bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah, sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.

Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121C selama 2

jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung. Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat oksidatif dan hidrolisis. Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut dengan menggunakan drum dryer. Menurut Juming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas drum. Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80oC dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanas drum menghasilkan

serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60 mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya berbeda.

Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo

2. Sifat Fisik Tepung Ikan Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung. Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar aw, densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.

a. aw Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran aw tepung badan dan kepala ikan lele dumbo disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza (1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah kapang.

b. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).

Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan

(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi. Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.

c. Derajat Putih Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh

penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda. Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo
Jenis Tepung Tepung badan ikan lele Tepung kepala ikan lele Tepung Terigu* Derajat Putih (%) 30.9575 28.9975 74.7* Keterangan: *Antarlina (1998)

Hasil diatas menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki derajat putih jauh dibawah tepung terigu. Derajat putih tepung kepala ikan lele memiliki nilai yang lebih rendah daripada tepung badan ikan lele. Hal ini menunjukkan tepung kepala ikan lele memiliki warna yang lebih gelap

dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi lebih gelap.

3. Sifat kimia tepung ikan Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi 2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.

a. Kadar Air Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72% bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6% sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan dengan kelembaban tempat penyimpanan.

Gambar 8 Kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

b. Kadar Abu Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik hasil analisis kadar abu tepung ikan.
16 14 12 10 8 6 4 2 0 Kadar Abu 4.83
Tepung badan ikan Tepung kepala ikan

14.1

Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah. c. Kadar Protein Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin), protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam

jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat yang membentuk tekstur daging.

Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung, daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi. Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.

d. Kadar Lemak Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak antara 5-12%.

Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini

disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.

e. Kadar Karbohidrat Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibrilmiofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.

Gambar 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Kadar karbohidrat tepung ikan pada penelitian ini ditentukan dengan metode by difference yang merupakan penghitungan kadar karbohidrat secara kasar. Menurut LIPI (1999), tepung ikan (campuran antara kepala dan badan) kualitas baik memiliki kandungan air minimal 6%, lemak minimal 5%, protein minimal 60%, dan abu minimal 10%. Bila dihitung menggunakan metode by difference nilai karbohidrat tepung ikan berkualitas baik menurut LIPI maksimal sebesar 19%. Dari Gambar 12, diketahui kadar karbohidrat pada tepung badan ikan sebesar 20.51% bk dan pada tepung kepala ikan sebesar 16.47% bk atau setelah dirata-ratakan antara tepung badan ikan dan kepala ikan adalah sebesar 18.49%. Karena nilai kadar karbohidrat masih berada dibawah 19%, maka tepung ikan yang dihasilkan memenuhi syarat LIPI (1999).

Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai Biskuit dalam penelitian ini ditujukan untuk anak balita dengan usia antara 1 sampai 5 tahun. Menurut Khomsan (2004), bayi sampai anak usia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Selain itu menurut Winarno (1997), usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan karena masa ini merupakan masa peralihan dari ASI (air susu ibu) ke PASI (pengganti air susu ibu) atau ke makanan sapihan. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan protein atau sangat rendah mutu proteinnya. Padahal pada usia tersebut protein sangat diperlukan bagi pertumbuhan anak.

1. Formulasi Biskuit Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati (2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan
Komposisi Konsentrat protein ikan Tepung terigu Gula bubuk Tepung susu Telur Margarin Baking powder
Sumber: Wiyati 2004

Gram 200 350 200 90 40 120 1

Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.

Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega. Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit, sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut. Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian, konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan. Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula. Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan

kriteria makanan tambahan dimana per 100 gram makanan tambahan harus mengandung minimal 400 kkal energi dan 15 gram protein. Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. Jumlah ini merupakan jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak. Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan. Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah bahanbahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu, gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22. Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan

yang tidak elastis. Pembentukan gluten pada pembuatan adonan diminimalkan sehingga menghasilkan adonan kalis. Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahanbahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat memungkinkan pembentukan matriks gluten. Oleh karena itu untuk

menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan. Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket. Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm. Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu awal 1400C dan suhu akhir 1600. Menurut Matz (1992), suhu dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan

terhadap tekstur menjadi yang diinginkan, membentukan warna permukaan dan pengurangan kadar air. Ukuran biskuit setelah pemanggangan berubah dimana terjadi pengembangan selama pemanggangan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran partikel gula, pengadukan adonan, dan penggunaan pelumas pada loyang. Ketika pemanggangan selesai, biskuit segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan produk akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan Matz, 1978).

2. Sifat Organoleptik Biskuit Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk memilih formula terbaik, melihat daya terima serta kesukaan panelis. Sifat organoleptik biskuit diuji sebanyak 2 kali yaitu dengan panelis semi terlatih dan panelis balita.

a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih Data pada Tabel 13 memperlihatkan hasil penerimaan panelis semiterlatih pada uji organoleptik. Atribut (warna, aroma, tekstur dan rasa) formula F4 merupakan formula yang paling dapat diterima oleh panelis. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antar formula untuk atribut aroma, tetapi untuk atribut warna, tekstur dan rasa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05). Tabel 13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit
Formula Atribut Uji Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan 23 25 15 19 24 F1 Presentase 76.67 83.33 50.00 63.33 80.00 18 25 26 23 25 F2 Presentase 60.00 83.33 86.67 76.67 83.33 26 28 24 25 27 F3 Presentase 86.67 93.33 80.00 83.33 90.00 30 29 30 30 30 F4 Presentase 100.00 96.67 100.00 100.00 100.00

Keterangan: F1 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 5 : 5 : 5 F2 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 7.5 : 2.5 : 5 F3 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 2.5 : 2.5 : 10 F4 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 3.5 : 1.5 : 10

Warna memegang peranan penting dalam menentukan penerimaan konsumen karena merupakan kesan pertama yang diperoleh oleh konsumen. Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk secara keseluruhan. Warna biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam pembuatan biskuit. Pada umumnya warna biskuit berkisar antara warna coklat muda sampai coklat. Warna biskuit pada penelitian ini dipengaruhi oleh penambahan tepung ikan. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling rendah untuk atribut warna adalah formula F2. Menurut uji lanjut Tukey, formula F2 untuk atribut warna tidak berbeda nyata dengan formula F1 pada selang kepercayaan 95%. Hal ini diduga karena pada formula F2 dan formula F1 tepung ikan yang digunakan lebih banyak daripada formula F3 dan F4 yaitu 10% dari jumlah adonan sedangkan pada formula F3 dan F4 tepung ikan yang digunakan adalah 5%. Berdasarkan pengukuran derajat keputihan tepung, tepung ikan mempunyai nilai derajat keputihan yang lebih rendah daripada terigu, berarti semakin banyak penambahan tepung ikan semakin gelap biskuit yang dihasilkan. Menurut Winarno (1997), aroma atau bau yang menguap merupakan atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls lisrik. Aroma juga ikut menentukan penerimaan sebuah produk. Aroma biskuit dipengaruhi oleh bahanbahan penyusunnya. Data pada Tabel 13 menunjukan penerimaan aroma biskuit untuk semua formula berada diatas 80%, yang berarti mayoritas panelis dapat menerima aroma biskuit. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antar formula untuk atribut aroma pada selang kepercayaan 95%. Formula yang mendapat nilai tertinggi untuk atribut aroma adalah formula F4 dimana 96.67% panelis menerima aroma biskuit. Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2, F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung

kepala ikan lele tekstur biskuit menjadi kurang baik. Selain itu, jumlah isolat protein kedelai yang ditambahkan pada formula F1 lebih sedikit dibandingkan dengan formula F3 dan F4. Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dalam bahan pangan dapat berperan sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur produk. Adapun menurut Manley (1998), kedelai mempunyai lesitin sehingga penambahan isolat protein kedelai dalam produk bakery berperan sebagai emulsifier dan dapat memperbaiki tekstur produk. Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dibedakan oleh kuncup cecap yang terletak pada papilla. Pada biskuit rasa yang dominan adalah rasa manis. Berdasarkan hasil uji organoleptik formula F1 mempunyai penerimaan atribut rasa yang paling rendah, yaitu sebesar 63.33%, diikuit oleh formula F2 sebesar 76.67%, dan formula F3 sebesar 83.33%. Formula F4 merupakan formula yang dapat diterima oleh seluruh panelis. Seluruh panelis memberikan penilaian 3 dan atau di atas 3 pada rasa formula F4. Menurut hasil uji keragaman Kruskal Wallis, terdapat perbedaan nyata antar formula untuk atribut rasa dengan selang kepercayaan 95%. Uji lanjut Tukay menunjukkan bahwa formula F1 berbeda nyata dengan formula F2 dan F3 dan berbeda nyata dengan formula F4 dengan selang kepercayaan 95%. Berdasarkan penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa formula F4 merupakan formula yang paling baik penerimaannya dalam semua atribut yang diujikan. Oleh karena itu formula F4 merupakan formula terpilih yang akan dianalisis lebih lanjut. Gambar 14 berikut merupakan gambar biskuit formula F4.

Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4)

b. Uji pada Panelis Anak Balita Setelah diperoleh formula terpilih, dilakukan uji kesukaan terhadap anak balita. Menurut Winarno (1987) dalam Muchtadi (1994), salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menguji apakah suatu formula makanan tambahan untuk anak kecil dapat diterima atau tidak adalah kriteria penerimaan anak. Kriteria penerimaan anak terdiri dari: (1) Jumlah presentase anak yang menolak makanan tambahan harus kurang dari 25% dan (2) anak-anak harus mampu mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Untuk memudahkan penilaian, penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai hanya

dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan 2 kali yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai dan biskuit komersil yang banyak dijual dipasaran sebagai kontrol. Pengujian dilakukan dengan memperlihatkan gambar wajah kepada anak dan setelah anak mencicipi anak diminta untuk memberikan penilaian sesuai gambar sambil diilustrasikan. Lembar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 14 Rekapitulasi kesukaan biskuit
Jenis Biskuit Biskuit Ikan + Biskuit komersial Isolat Protein Kedelai n Suka Biasa Tidak Suka 26 2 2 % 86.66 6.66 6.66 n 26 1 3 % 86.66 3.33 6.66

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menyukai biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai sama dengan jumlah anak yang menyukai biskuit komersial, yaitu sebesar 86.66%. Setelah dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test tingkat kesukaan anak terhadap biskuit percobaan tidak berbeda nyata dengan biskuit komersial pada taraf signifikansi 5%. Selain itu berdasarkan presentase anak yang menyukai biskuit percobaan (86.66%), maka biskuit percobaan dapat dikatakan sebagai makanan tambahan yang dapat diterima oleh anak.

c. Uji pada Panelis Ibu Balita Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap biskuit formula F4. Menurut Winarno (1987) di dalam Muchtadi (2002), makanan tambahan anak kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Salah satu Kriteria menyebutkan bahwa makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Tabel 15 merupakan presentasi jumlah ibu balita yang menyukai biskuit substitusi (memberikan nilai 4 dan 5). Penilaian diberikan pada 4 aspek yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit. Tabel 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit
Warna % Kesukaan 26 % 86.67 Aroma 22 % 73.33 Rasa 21 % 70 Tekstur 23 % 76.67

Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 7086.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan tambahan anak.

3. Sifat Fisik Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analsis rendemen, daya serap air, dan tekstur biskuit. Data hasil analisis fisik biskuit dapat dilihat pada Lampiran 31 sampai 33.

a. Penetapan Rendemen Biskuit Penetapan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk yang diperoleh dengan adonan awal. Berdasarkan perhitungan, nilai rendemen biskuit adalah sebesar 84.29 % dari berat bahan awal. Pengurangan berat ini disebabkan oleh bahan tepung-tepungan yang terbang ketika diaduk dengan menggunakan mixer, adonan yang menempel pada alat pengaduk dan penguapan air yang terjadi pada proses pemanggangan, sehingga berat akhir yang didapat pada pembuatan biskuit lebih kecil daripada berat bahan yang digunakan. Berat satu buah biskuit kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5 cm.

b. Daya Serap Air Fennema (1996) menyatakan bahwa daya serap air adalah istilah untuk mendeskripsikan kemampuan dari molekul matriks untuk secara fisik menjebak air dalam jumlah besar tetapi tidak sampai menetes. Menurut Zayas (1997), daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang dilakukan terhadap pangan tersebut. Zayas menambahkan protein

mempengaruhi daya serap air. Interaksi antara protein dan air terjadi pada gugus asam amino polar seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril. Faktor lain yang berpengaruh terhadap mekanisme interaksi protein air adalah bentuk protein yang tidak melipat atau berbentuk serabut akan mengikat air lebih banyak daripada bentuk protein globular. Tetapi Hutton dan Campbel (1981) menyatakan karbohidrat juga mempengaruhi daya serap air pangan. Molekul karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih besar daripada protein. Berdasarkan penjelasan diatas maka penyerapan air biskuit akan menurun dengan semakin meningkatnya kandungan protein biskuit. Dengan kata lain, semakin banyak tepung ikan dan isolat protein kedelai yang mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit, semakin berkurang kadar karbohidrat biskuit, maka semakin kecil daya serap air biskuit. Inayati (1991), menyatakan bahwa penyerapan air oleh biskuit mempengaruhi tekstur biskuit di dalam mulut pada waktu dimakan. Berdasarkan hasil pengujian daya serap air, daya serap air formula terpilih adalah 1.79 ml/g. Semakin rendah daya serap air, maka diasumsikan lebih sedikit air liur yang dibutuhkan untuk melunakkan biskuit, sehingga lebih mudah ketika dimakan. Hasil penelitian Fernando (2008) pada produk bubur susu kacang tanah instan, daya serap air bubur susu adalah 1.993.47 ml/g. Biskuit formula terpilih memiliki daya serap air yang lebih rendah daripada bubur susu. Fernando menambahkan semakin rendah daya serap air pada makanan balita semakin baik, karena menyebabkan bayi tidak mudah kenyang dan rehidrasinya lebih mudah.

c. Tekstur Biskuit Menurut Peleg dan Bagley (1983), produk pangan yang bersifat padat bervariasi bentuk, ukuran, dan responsnya terhadap gaya yang mengenainya. Ditinjau dari sifat reologinya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi

produk yang bersifat padat, semi padat, dan viskoelastis. Biskuit termasuk ke dalam produk yang bersifat padat. Produk pangan yang padat adalah produk yang tidak mengalami perubahan bentuk (deformasi) apabila dikenakan gaya tarik atau gaya tekan.

Gaya

Jarak

Gambar 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer Prinsip pegukuran tekstur bahan pangan dengan teksturometer adalah dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Pengukuran parameter reologi dapat dilakukan dengan instrument Tekstur Analyzer seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Parameter reologi yang diukur pada produk biskuit adalah kekerasan dan kerapuhan. Kekerasan ditentukan dari gaya maksimum (nilai puncak), sedangkan kerenyahan ditentukan dari puncak yang pertama kali terbaca pada tekanan yang pertama (Faridah et al. 2008). Profil perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil uji menunjukan, untuk parameter kerenyahan nilai rata-rata yang diperoleh adalah 246.6 N/mm, dimana berdasarkan hasil penelitian Sulaeman (1993) pada makanan balita, nilai kekerasan antara 237299 masuk dalam kategori renyah.

4. Sifat Kimia Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis proksimat, perhitungan kandungan energi dan daya cerna protein biskuit. Data hasil analisis sifat kimia biskuit dapat dilihat pada Lampiran 34 sampai 40.

a. Analisis Proksimat Biskuit Kandungan gizi pada biskuit diuji dengan melakukan analisis proksimat dan daya cerna protein. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Selain itu dilakukan juga penghitungan energi yang terkandung dalam biskuit. Hasil analisis proksimat biskuit dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih
Komponen Basis Basah Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Energi 3.96 2.42 18.77 21.12 53.72 480 Jumlah Basis Kering 4.13 2.52 19.55 21.99 55.94

Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada proses pemanggangan biskuit, terjadi proses pemanasan dan proses

pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang disukai. Kadar air biskuit yang dihasilkan adalah 3.96% (bb). Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memenuhi persyaratan mutu biskuit berdasarkan SNI. Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5% (bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb). Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini

disebabkan oleh tepung ikan yang ditambahkan dalam formula. Kadar abu tepung kepala ikan adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44% (bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) sedangkan menurut SNI kadar abu tepung terigu maksimal 0.6% (bb). Oleh sebab itu substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai terhadap terigu pada formula biskuit akan meningkatkan kandungan abu dalam biskuit yang dihasilkan. Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, pada biskuit yang ditujukan untuk anak balita gizi kurang ini, penambahan jumlah protein pada biskuit menjadi prioritas yang utama. Menurut Winarno (1997), protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Pengukuran kadar protein biskuit mengunakan metode Kjeldhal yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk contoh biskuit. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein, maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein adalah 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6.25. Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah 18.77% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai

yang merupakan bahan makanan tinggi protein. Tujuan utama dari substitusi adalah untuk meningkatkan kandungan protein biskuit, sehingga dengan kadar protein biskuit sebesar 18.77%, penggunaan tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat dikatakan berhasil meningkatkan kadar protein biskuit. Menurut Manley (1998), lemak merupakan bahan baku paling penting dalam pembuatan biskuit. Lemak merupakan komponen terbesar selain tepung dan gula. Pada pembuatan biskuit, digunakan dua jenis sumber lemak, yaitu margarine dan mentega. Fungsi utama lemak dalam pembuatan biskuit adalah sebagai pengemulsi, tetapi selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk cita rasa dan memberikan tekstur pada biskuit. Semakin banyak lemak yang ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan. Kandungan lemak biskuit yang dihasilkan adalah 21,99% (bk), sedangkan menurut SNI 01-2973-1992, kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5%. Jila dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar lemak produk berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, biskuit yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu biskuit jika mengacu pada persyaratan mutu biskuit pada SNI. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat luas dan murah. Karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 1997). Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara lain tepung terigu, gula, dan susu. Kadar karbohidrat pada biskuit dihitung dengan penentuan kadar karbohidrat secara kasar menggunakan metode by difference. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit yang dihasilkan adalah 53.72% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan minimum kadar karbohidrat biskuit terigu yang tercantum pada SNI (70%), kadar karbohidrat biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai lebih rendah. Pengurangan kadar karbohidrat ini dikarenakan terjadi penggantian sebagian tepung terigu yang menjadi sumber utama karbohidrat pada biskuit dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi protein dan rendah karbohidrat.

Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit terigu pada SNI, kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan gizi yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan. Menurut Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi kandungan zat gizi lain. Dalam percobaan ini, zat gizi yang mengalami penurunan adalah karbohidrat.

b. Kandungan Energi Biskuit Kandungan energi pada biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai diperoleh dengan mengkonversikan protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar, dimana 1 gram lemak dapat dikonversi menjadi 9 kkal. Sedangkan protein dan karbohidrat menghasilkan energi 4 kkal per gram (Fennema 1996). Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energy biskuit adalah sebesar 480 kkal per 100 gram biskuit. Menurut SNI 01-2973-1992, syarat kandungan energi pada biskuit terigu minimal 400 kkal per 100 gram. Demikian pula menurut FAO/WHO (1994), energi pada komposisi makanan tambahan untuk balita minimal mengandung 400 kkl per 100 gram makanan. Jika mengacu pada persyaratan diatas, maka nilai energi biskuit yang dihasilkan berada di atas persyaratan minimum nilai energi.

c. Daya Cerna Protein Biskuit Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4) proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan

meningkatkan daya cerna. Tetapi ditambahkan pula, dengan pemanggangan daya cerna dapat menurun karena asam amino bebas dapat berikatan dengan gugus karboksil gula pereduksi seperti fruktosa, laktosa, dan maltosa membentuk reaksi nonensimatik Maillard. Reaksi Maillard bertanggung jawab dalam pembentukan aroma dan cita rasa produk yang melalui proses pemanggangan. Produk dari reaksi Maillard tidak mempunyai nilai gizi pada mamalia. Analisis daya cerna protein dapat dilakukan secara biologis,

mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik. Pada penelitian ini digunakan metode enzimatik secara in vitro untuk melihat bioavailabilitas protein pada biskuit. Hsu et al. (1977) menyatakan prinsip dasar pengukuran daya cerna secara in vitro dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan larutan multienzim, proses hidrolisis ini akan membebaskan gugus karboksil asam amino yang menyebabkan penurunan pH. pH suspensi protein pada menit ke-10 setelah hidrolisis berkorelasi baik dengan daya cerna protein secara biologis. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Menurut Muchtadi (1989), protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran daya cerna protein biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar 89.34%. Daya cerna ini dapat dikatakan sedang, karena nilainya menyerupai daya cerna kacang-kacangan dan nasi menurut FAO/WHO/UNU (1995).

5. Analisis Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi (AKG) atau biasa juga dikenal dengan recommended daily allowance (RDA) merupakan taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk, sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai taraf asupan yang aman (safe level of intake). Suatu produk dapat memberikan kontribusi sejumlah zat gizi tertentu dengan menghitung kontribusinya terhadap

AKG. Untuk itu diperlukan penentuan jumlah saji sehingga angka kecukupan gizi per saji dan kontribusinya terhadap AKG dapat dihitung. Produk biskuit pada penelitian ini hanya menekankan kontribusi protein yang diberikan biskuit terhadap pemenuhan AKG balita. Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (2004), AKG untuk energi dan protein balita umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Menurut BPOM (2004), pangan dapat dikatakan tinggi protein bila memenuhi sedikitnya 20% dari AKG yang dianjurkan per saji. Bila AKG untuk balita yang digunakan adalah AKG untuk anak usia 4-6 tahun maka, 20% dari 39 gram protein adalah 7.8 gram protein yang harus dipenuhi dari sajian. Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai, berdasarkan hasil proksimat dan penghitungan energi, per 100 gram sajian menyumbangkan 480 kkal energi dan 18.8 gram (bb) protein. Berarti untuk

memenuhi target tinggi protein jumlah biskuit yang harus dikonsumsi adalah 41.56 gram biskuit (perhitungan disajikan pada lampiran 41). Dengan kata lain, untuk memenuhi 20% AKG protein, balita harus mengkonsumsi biskuit sebanyak 41.56 gram biskuit. Apabila memperhitungkan daya cerna protein produk sebesar 89.34%, maka biskuit yang harus dikonsumsi untuk memenuhi 20% AKG adalah sebanyak 46.52 gram (perhitungan disajikan pada Lampiran 40). Bila satu keping biskuit beratnya sekitar 12.5 gram, untuk memenuhi target, balita harus mengkonsumsi 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit. Dengan asumsi jumlah biskuit yang dikonsumsi sebanyak 50 gram, maka diperoleh kandungan zat gizi per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)
Energi & Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Karbohidrat (gram) Lemak (gram) Jumlah per sajian (gram) 240 9.8 26.9 10.6

Setelah diketahui kandungan energi dan zat gizi per takaran penyajian, maka dapat dibuat penentuan AKG per takaran penyajian. Perhitungan AKG didasarkan pada kecukupan energi dan protein balita menurut WNPG (2004) yang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun. Perhitungan AKG per sajian disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram)
Zat Gizi Protein Energi Zat gizi per takaran saji 9.8 gram 240 kkal 39.20 24 AKG (%) Usia 1-3 tahun Usia 4-6 tahun 25.12 15.48

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memiliki kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi. Dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein. Selain itu biskuit juga memenuhi kriteria WHO sebagai makanan tambahan karena per 100 gram biskuit mengandung lebih dari 400 kkal energi dan 15 gram protein. Oleh karena itu, biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat dikatakan makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein.

You might also like