You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Setiap masyarakat mempunyai kebiasaaan yang turun-temurun yang diwariskan dari nenek moyang, bukan hanya kebiasaaan yang baik seperti budaya,seni, serta maha karya tetapi juga kebiasaan buruk seperti sembarangan membuang sampah serta menjadikan sungai sebagai tempat MCK, di zaman dulu kebiasaan seperti ini sering dilakukan namun kebiasaan seperti itu cocok dalam keadaaan zaman seperti dulu, namun dizaman sekarang membuang sampah sembarangan serta menjadikan sungai sebagai tempat MCK sangatlah tidak pantas karena selain padatnya penduduk yang bertambah juga perubahan globalisasi serta perkembangan zaman yang membuat kebiasaan tersebut harus ditinggal kan. Pentingnya pengetahuan serta penyuluhan terhadap masyarakat tetang cara pembuangan sampah dengan benar serta cara penggunaan sungai yang baik.

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. 2.

Bagaimana cara membuang sampah yang baik ? Bagaimana cara menggunakan sungai sebagai mestinya ?

C.Tujuan Agar masyarakat dapat mengubah kebiasaannya untuk tidak membuang sampah sembarangan serta menggunakan sungai dengan sebagaimana mestinya dan serta masyarakat dapat menjaga lingkungan dengan baik untuk kepentingan bersama .

BAB II DASAR TEORI

DASAR TEORI

Kebiasaan masyarakat dalam memperlakukan lingkungan sangatlah buruk,yang menjadi dasar dalam pembuatan makalah ini adalah kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah yang tidak pada tempatnya, banyak masyarakat membuang sampah didepan tempat sampah bukan di dalam tempat sampah,sehingga banyak sampah yang berserakan di luar tempat sampah selain itu masyarakat membuang sampah dengan cara dilempar sehingga sampah yang ada didalam kantong plastik berserakan keluar dan ini menyebabkan sampah berserkan, selain kebiasaaan yang seperti itu masyarakat juga biasa membuang sampah di selokan dan hal ini menyebabkan sampah menyumbat aliran air dalam selokan sehingga pada saat hujan turun selokan tidak dapat mengalirkan air dan hal inti manyebabkan banjir, begitu juga dengan kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai ,ini dapat menyebabkan tercemarnya air sungai serta dengan banyaknya sampah yang menumpuk menyebabkan air sungai meluap karena tidak mampu menampunng air, serta tidak dapat mengalirkannya karena aliran sungai tersumbat. Kebiasaan masyarakat menggunakan sungai sembarangan sebagai tempat mandi,cuci serta buang kotoran banyak sekali masyarakat menjadikan sungai sebagai MCK, padahal kebiasaan seperti itu sangat tidak sehat contohnya : ada masyarakat buang kotoran disungai ,sedangkan dalam jarak beberpa meter ada masyarakat sedang gosok gigi dan ini adalah suatu kebiasaan yang sangat buruk dan dapat menimbulkan penyakit, misalnya diare dan lain-lain, namun hal ini tidak mengusik masyarakat mreka tetap saj menjalankan rutinitas tersebut, krena hal tersebut saya akan membahas kebiasaan buruk masyarakat terhadap sampah serta sungai agar masyarakat menjadi lebih peduli terhadap lingkungan sehingga terciptalah lingkungan yang sehat.

BAB III BUDAYA YANG ADA DI MASYARAKAT

KEBIASAAN MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN Disini kita akan membahas kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah sembarangan serta dampak apa yang akan terjadi serta bagaimana cara penanggulangan nya Serta contoh-contoh kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah

PENYALAHGUNAAN SUNGAI Bagaimana kebiasaan masyarakat yang buruk dalam mengguakan sungai Kita juga membahas dampak serta cara penanggulangan nya

BAB IV PEMBAHASAN
SAMPAH Kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah
Pengguna Jalan Keluhkan Bau Sampah Kamis, 22 Oktober 2009 , 18:24:00

SUMBER, (PRLM).- Para pengguna jalan yang melewati kawasan Desa Tuk, Ke. Kedawung, Kab. Cirebon mengeluhkan bau busuk sampah dan kotoran yang dibuang warga sekitar di sebuah sungai yang melintas di ruas jalan dekat perempatan daerah Cideng.

"Kebiasaan buruk warga yang biasa membuang sampah seenaknya, termasuk di saluran-saluran air pada musim kemarau sangat mengganggu kenyamanan dan kesehatan para pengguna jalan maupun warga yang tinggal di sekitar lokasi," kata Wartana (44), salah seorang pengguna jalan desa tersebut, Kamis (22/10).

Menurut pengamat Sosial, Ichwan Mulyana, membuang sampah sembarangan tidak hanya pada musim kemarau, namun pada musim penghujan pun tetap bermasalah, karena berbgai macam sampah yang menumpuk di sungai atau jenis saluran air lainnya juga bisa menimbulkan bahaya banjir akibat saluran air tersumbat.

Disebutkan kebiasaan buruk masyarakat yang membuang sampah sembarangan terutama di desadesa yang terletak di daerah hilir sepertinya sulit untuk dihilangkan.Tidak hanya di daerah Tuk yang lainnya pun seperti itu. Selain diperlukan upaya persuasif dari para petugas yang terkait juga sangat bergantung dari masyarakatnya sendiri.

"Mayoritas warga di Kab. Cirebon adalah Muslim. Ada ajaran kalau kebersihan itu adalah sebagian dari iman. Kalau berperilaku jorok artinya ajaran yang dianutnya tidak dipakai. Selain itu sudah jelas kalau kotor atau jorok itu sangat dekat dengan penyakit," katanya. (A-146/das)
4

By Republika Newsroom Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 09:07:00

Kebiasaan sebagian masyarakat Kota membuang sampah di sungai relatif sulit diubah namun pemerintah kota (pemkot) setempat terus menyosialisasikan tentang bahaya timbunan sampah di sungai. "Sosialisasi terus dilakukan. Masyarakat tampaknya masih menganggap bahwa sungai merupakan tempat pembuangan sampah sehingga hampir di seluruh sungai di Kota Semarang ada sampah," kata Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Energi, dan Sumber Daya Mineral (PSDA dan ESDM) Pemkot Semarang, Fauzi, di Semarang, Sabtu (23/10). Ia menjelaskan, masyarakat sebenarnya sudah tahu bahwa timbunan sampah di sungai menjadi penyebab banjir di kota itu terutama pada musim hujan. Sampah yang mereka buang di sungai bukan hanya sampah rumah tangga dalam bentuk barang kecil seperti sampah dapur. Namun, katanya, petugas juga menemukan barang bekas pakai dalam bentuk relatif besar seperti kasur, bantal, ban bekas, pakaian, dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai, katanya, terus dibangun antara lain melalui peningkatan intensitas sosialisasi tentang bahaya membuang sampah di tempat itu. Pemkot juga memprogramkan pengerukan sampah di sungai untuk selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan sampah yang telah tersedia guna mencegah bahaya banjir terutama saat musim hujan. "Beberapa kali telah dilakukan pengerukan untuk membersihkan sungai dari sampah, hal tersebut tidak dapat bertahan lama karena masyarakat masih saja membuang sampah di sungai," katanya. Pada kesempatan itu ia juga mengatakan, berbagai bangunan liar di bantaran sungai juga menjadi penyebab aliran air sungai tidak lancar. "Hal ini membutuhkan penanganan khusus karena hampir setiap saluran air dan sungai, di atasnya didirikan bangunan oleh pedagang kaki lima (PKL) untuk berjualan sehingga badan saluran air tertutup," katanya. Ia mengatakan, bangunan liar di atas saluran air dan sungai menyulitkan petugas dalam memelihara secara rutin kelancaraan aliran air sehingga saat hujan terjadi banjir. dia menambahkan, butuh waktu relatif lama dan pendekatan secara khusus kepada masyarakat untuk penanganan banjir di kota itu.
5

"Penanganan banjir harus bersama-sama seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya mengandalkan petugas di lapangan. Masyarakat harus membantu," katanya. ant/rin

: Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Tata Ruang Pemko Banjarbaru, Ogi Fajar Nuzuli, meminta warga Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) tidak membuang sampah pada siang hari.

"Kebiasaan warga membuang sampah ke tempat pembuangan pada siang hari hendaknya ditinggalkan, dan jangan pernah lagi dilakukan di masa-masa mendatang," ujarnya di Banjarbaru, Rabu (4/11).

Menurut dia, kebiasaan itu harus ditinggalkan karena jika masih dilakukan maka berdampak terhadap kebersihan lingkungan, mengingat sampah yang dibuang siang hari ke TPS, besar kemungkinan tidak diangkut petugas kebersihan.

Petugas sampah, kata dia, setiap hari mendatangi TPS menjalankan tugasnya mulai pukul 05:00 Wita hingga pukul 09:00 Wita, sehingga apabila sampah dibuang di atas jam operasional itu, maka sampahnya bisa tidak terangkut.

"Demi terciptanya lingkungan yang bersih khususnya di sekitar kawasan TPS, kami sangat mengharapkan masyarakat memiliki kesadaran tidak membuang sampah pada siang hari," ujarnya.

Ia mengatakan, selain meminta warga tidak membuang sampah siang hari, pihaknya juga mengimbau kotoran dibuang di TPS resmi, sehingga petugas mudah mengangkut dan membawanya ke tempat pembuangan akhir (TPA) guna diproses lebih lanjut.

"Petugas hanya mendatangi TPS resmi sesuai jadwal setiap hari, untuk membersihkan sampah di tempat itu. Jika sampah dibuang di tempat tidak resmi, petugas tidak mengangkutnya karena tugas mereka bukan menangani sampah di TPS tidak resmi tersebut," ujarnya.

Dikatakan, keberadaan TPS tidak resmi menimbulkan dilema tersendiri bagi jajaran Dinas Kebersihan, karena mereka serba salah dalam menanganinya. Sehubungan dengan itu, ia mengharapkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di TPS ilegal.

Dikatakan, jika sampah dibiarkan menumpuk pada TPS ilegal, maka dapat menimbulkan penilaian masyarakat yang menuding petugas malas bekerja. Tetapi jika sampah di tempat itu diangkut, malah justru masyarakat akan beranggapan bahwa TPS itu adalah resmi.

"Jadi, kami benar-benar serba salah dan dilematis. Karenanya, sangat mengharapkan masyarakat dapat membuang sampah di TPS resmi yang disediakan, bukan di TPS tidak resmi," katanya.

Ditambahkan, menjelang penilaian Adipura tahap I yang rencananya dilakukan tim penilai Adipura pusat dalam waktu dekat, pihaknya mengharapkan dukungan masyarakat menjaga kebersihan lingkungan, sehingga nilai yang diperoleh baik dan membuat Kota Banjarbaru mampu mempertahankan piala yang sempat diraih pertengahan tahun 2009 itu. (Ant/OL-06)

Perilaku Membuang Sampah Cermin Budaya Terabas Masyarakat Indonesia


Kompas - 12 Januari 2004 Jakarta, Kompas - Kebiasaan membuang sampah sembarangan mencerminkan adanya budaya terabas pada masyarakat Indonesia. Budaya terabas yang terjadi hampir di setiap lini kehidupan ini disebabkan oleh tidak adanya tokoh panutan karena tokoh-tokoh yang ada memang tidak memberikan contoh yang baik.

Hal itu dikemukakan antropolog Kartini Sjahrir di Jakarta, Jumat (9/1). Antropolog Meutia Hatta Swasono yang dihubungi terpisah menyatakan, membuang sampah pada tempatnya terkait dengan pemahaman dan kebiasaan masyarakat. Dari kebiasaan membuang sampah itu dapat terlihat tingkat kemajuan sebuah masyarakat.

Menyitir antropolog Prof Kuntjaraningrat, Kartini mengatakan bahwa cara membuang sampah memang mencerminkan budaya terabas dalam masyarakat, budaya serba jalan pintas tanpa memedulikan rambu-rambu etik, baik etik bekerja maupun etik pertemanan. Yang ada hanya kepentingan diri sendiri. Budaya terabas membuat orang terpusat hanya pada dirinya dan tidak peduli orang lain dan sekelilingnya. "Ini gambaran masyarakat Indonesia," katanya.

Kartini menambahkan, persoalan membuang sampah merupakan personifikasi dari buruknya keadaan masyarakat di

mana banyak korupsi dan tidak terjadi transparansi. Kartini yakin jika hal-hal seperti ini dibenahi dan dikurangi, masalah sampah akan ikut berkurang dengan sendirinya. Selama pemerintahan masih semrawut, soal sampah juga tidak akan bisa terselesaikan.

Untuk memotong budaya terabas, diperlukan contoh pemerintahan yang bersih. "Kalau dia bekerja di lembaga pemerintah, berarti dia milik publik dan tidak boleh mencari kekayaan dari jabatannya," tambahnya.

Terkait pemahaman

Meutia Hatta Swasono menyatakan bahwa persoalan membuang sampah terkait pada pemahaman dan kebiasaan. Masyarakat, terutama pada usia dini, perlu lebih intensif dibiasakan untuk membuang sampah dengan benar.

"Apa yang sudah terjadi pada yang dewasa, saya kira mereka menganggap membuang sampah sembarangan itu hal yang wajar, bukan sesuatu yang salah," paparnya.

Maka jika seseorang merusak public property, membuang sampah yang membuat pemandangan menjadi tidak sedap, ia tidak merasa bersalah karena tidak merasa dirinya bagian dari lingkungan.

Karena itu, keberhasilan memisahkan sampah kering dan sampah basah seperti yang dilakukan di negara maju, bisa menjadi ukuran kesadaran lingkungan dan kemampuan untuk mematuhi peraturan.

"Jadi, orang yang bisa memisahkan sampah atau mematuhi peraturan, menjadi ukuran sifat modern atau kemajuan," tambah Meutia.

Menurut dia, inilah yang hilang dari pendidikan nasional dan ini masalah yang dari sisi kebudayaan tidak kelihatan, namun harus ditanamkan. Justru yang membangun sikap mental dan akhlak itulah yang harus diberi porsi lebih penting di dalam pendidikan.

"Pendidikan ini bukan saja di sekolah, tetapi juga di luar sekolah, ditanamkan kepada anak-anak oleh orangtuanya," kata Meutia.

Disiplin sampah juga menjadi ukuran apakah bangsa Indonesia belum maju dari segi mentalitas atau sudah maju. "Saya sering lihat mobil yang bagus, tapi dari mobil tersebut keluar tangan orang membuang sampah. Di sini kita melihat ada kesenjangan kemampuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dengan kemampuan untuk mengasah mentalitas dan budi," paparnya.

Meutia menyayangkan, justru yang dikembangkan adalah unsur-unsur yang sifatnya naluriah, misalnya mewajarkan seks bebas, minum minuman keras, perilaku kasar lewat media atau sarana audio visual. "Mengapa justru merawat hal-hal negatif itu dan tidak merawat yang lebih canggih dari itu, sesuatu yang lebih mengangkat harkat kemanusiaan?" ujarnya.

Perilaku Membuang Sampah Cermin Budaya Terabas Masyarakat Indonesia


Kompas - 12 Januari 2004

Jakarta, Kompas - Kebiasaan membuang sampah sembarangan mencerminkan adanya budaya terabas pada masyarakat Indonesia. Budaya terabas yang terjadi hampir di setiap lini kehidupan ini disebabkan oleh tidak adanya tokoh panutan karena tokoh-tokoh yang ada memang tidak memberikan contoh yang baik.

Hal itu dikemukakan antropolog Kartini Sjahrir di Jakarta, Jumat (9/1). Antropolog Meutia Hatta Swasono yang dihubungi terpisah menyatakan, membuang sampah pada tempatnya terkait dengan pemahaman dan kebiasaan masyarakat. Dari kebiasaan membuang sampah itu dapat terlihat tingkat kemajuan sebuah masyarakat.

Menyitir antropolog Prof Kuntjaraningrat, Kartini mengatakan bahwa cara membuang sampah memang mencerminkan budaya terabas dalam masyarakat, budaya serba jalan pintas tanpa memedulikan rambu-rambu etik, baik etik bekerja maupun etik pertemanan. Yang ada hanya kepentingan diri sendiri. Budaya terabas membuat orang terpusat hanya pada dirinya dan tidak peduli orang lain dan sekelilingnya. "Ini gambaran masyarakat Indonesia," katanya.

Kartini menambahkan, persoalan membuang sampah merupakan personifikasi dari buruknya keadaan masyarakat di mana banyak korupsi dan tidak terjadi transparansi. Kartini yakin jika hal-hal seperti ini dibenahi dan dikurangi, masalah sampah akan ikut berkurang dengan sendirinya. Selama pemerintahan masih semrawut, soal sampah juga tidak akan bisa terselesaikan.

Untuk memotong budaya terabas, diperlukan contoh pemerintahan yang bersih. "Kalau dia bekerja di lembaga pemerintah, berarti dia milik publik dan tidak boleh mencari kekayaan dari jabatannya," tambahnya.

Terkait pemahaman

Meutia Hatta Swasono menyatakan bahwa persoalan membuang sampah terkait pada pemahaman dan kebiasaan.

Masyarakat, terutama pada usia dini, perlu lebih intensif dibiasakan untuk membuang sampah dengan benar.

"Apa yang sudah terjadi pada yang dewasa, saya kira mereka menganggap membuang sampah sembarangan itu hal yang wajar, bukan sesuatu yang salah," paparnya.

Maka jika seseorang merusak public property, membuang sampah yang membuat pemandangan menjadi tidak sedap, ia tidak merasa bersalah karena tidak merasa dirinya bagian dari lingkungan.

Karena itu, keberhasilan memisahkan sampah kering dan sampah basah seperti yang dilakukan di negara maju, bisa menjadi ukuran kesadaran lingkungan dan kemampuan untuk mematuhi peraturan.

"Jadi, orang yang bisa memisahkan sampah atau mematuhi peraturan, menjadi ukuran sifat modern atau kemajuan," tambah Meutia.

Menurut dia, inilah yang hilang dari pendidikan nasional dan ini masalah yang dari sisi kebudayaan tidak kelihatan, namun harus ditanamkan. Justru yang membangun sikap mental dan akhlak itulah yang harus diberi porsi lebih penting di dalam pendidikan.

"Pendidikan ini bukan saja di sekolah, tetapi juga di luar sekolah, ditanamkan kepada anak-anak oleh orangtuanya," kata Meutia.

Disiplin sampah juga menjadi ukuran apakah bangsa Indonesia belum maju dari segi mentalitas atau sudah maju. "Saya sering lihat mobil yang bagus, tapi dari mobil tersebut keluar tangan orang membuang sampah. Di sini kita melihat ada kesenjangan kemampuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dengan kemampuan untuk mengasah mentalitas dan budi," paparnya.

Meutia menyayangkan, justru yang dikembangkan adalah unsur-unsur yang sifatnya naluriah, misalnya mewajarkan seks bebas, minum minuman keras, perilaku kasar lewat media atau sarana audio visual. "Mengapa justru merawat hal-hal negatif itu dan tidak merawat yang lebih canggih dari itu, sesuatu yang lebih mengangkat harkat kemanusiaan?" ujarnya.

10

Dampak dari sampah yang sembarangan


Membuat lingkungan menjadi kotor Dengan lingkungan yang kotor dapat menimbulkan bibit penyakit Saluran air yang tersumbat dapat menimbulkan banjir Mencemarkan lingkungan serta polusi udara

Cara penanggulangan kebiasaan buruk masyarakat terhadap sampah


Membedakan sampah organik dan anorganik Mendaur ulang sampah yang tak berguna menjadi berguna Membuang sampah pada tempatnya bukan di luar tempat sampah Tidak membuang sampah diselokan,sampah sekecil apapun itu Tidak membuang sampah di sungai Membersihkan selokan karena siapa tahu ada sampah bekas dedaunan kering yang jatuh Kumpulkan sampah jadi satu dalam crasbag atau plastik dan diikat dengan kuat agar sampah tidak tercecer Membuang sampah dimalam hari agar paginya dapat diangkut oleh petugas pengambil sampah

Tempat sampah yang baik


Tempat sampah yang baik adalah tempat sampah yang terjaga keberadaannya serta kebersihannya Tempat sampah yang sesuai dengan sampahnya contoh : tempat sampah oganik untuk sampah organik sedangkan tempat sampah anorganik untuk sampah anorganik Tempat sampah harus berada ditempat yang strategis serta ada penutupnya agar tidak mencemarkan dan terlihat rapi

11

SUNGAI Penyalahgunaan sungai


Artikel Terkait:

JAMBI, KOMPAS.com - Cakupan pelayanan sanitasi di Indonesia masih sekitar 57 persen. Angka
ini masih rendah dibanding negara lain. Sementara di Thailand 96 persen dan di Malaysia 74,70 persen, kata Sekretaris Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS), Lisa Imrani.

Saat kegiatan diskusi media "city summit" di Jambi, Rabu (21/10), Lisa menjelaskan, saat ini diperkirakan masih ada 60 juta orang yang buang air besar secara sembarangan, sebab saat ini baru 11 kota di Indonesia yang memiliki fasilitas sanitasi perkotaan terpusat. "Di satu sisi infrastruktur pengelolaan persampahan masih tidak sebanding dengan timbulan sampah yang meningkat setiap tahunnya," ujarnya.

Selain itu, operasi tempat pembuangan sampah (TPA) sebagian besar masih memakai proses buka tutup. Hal itu berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan perkotaan dan efek pemanasan global. Selain itu lahan TPA di kota juga terus berkurang dan terbatas ditambah lagi dengan dengan pola hidup masyarakat yang tidak ramah sanitasi, sehingga pola hidup bersih dan higienis masih belum jadi kebiasaan.

Kondisi tersebut mengharuskan adanya perbaikan dan peningkatan pelayanan sanitasi yang sesuai undang-undang pelayanan sanitasi dan menjadi urusan wajib pemerintah daerah, namun baru beberapa daerah saja yang berupaya memenuhi kewajibannya dengan skala kota, katanya.

Pemerintah dengan target pembangunan sanitasi bertekad mendorong pemerintah daerah untuk membangun sektor ini melalui program percepatan pembangunan sanitasi perkotaan.

Rencananya, sepanjang tahun 2010-2014 pemerintah dengan dibantu oleh TTPS akan melaksanakan langkah konkrit untuk mencapai target tersebut di antaranya, bebas stop buang air besar sembarangan
12

(BABs) baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

Kedua, pengurangan timbulan sampah dari sumbernya dan penanganan sampah yang berwawasan lingkungan seperti penerapan sistem "sanitary landfill" atau "controlled landfill" untuk TPA. dan ketiga, pengurangan genangan di 100 kota/kabupaten rawan genangan seluas 22.500 hektare.

Lisa menambahkan, dengan diadakannya pertemuan "city summit" yang melibatkan seluruh daerah kota di Indonesia ini diharapkan akan menemukan berbagai solusi tentang permasalahan sanitasi di wilayah perkotaan dan pedesaan.

"Kami berharap banyak memperoleh masukan dengan adanya kegiatan ini, sehingga berbagai persoalan yang ada dapat ditemukan solusinya," tambahnya.

Aktivitas mandi dan cuci warga di Kali ciliwung di Kawasan Bukit Duri, Jakarta akhir Oktober 2007. Dari segi kesehatan, pemanfaatan air sungai yang penuh kotoran ini dinilai kurang baik

Masyarakat Masih Malas Cuci Tangan

Rabu, 21 Oktober 2009

JAKARTA (Suara Karya): Hasil survei Environmental Service Program-USAID 2006 di beberapa provinsi menunjukkan, hanya tiga persen responden yang selalu mencuci tangan memakai sabun setelah ke jamban, membantu anak buang air besar, sebelum makan dan memberi makan anak serta sebelum menyiapkan makan. "Sebagian besar masyarakat belum memahami pentingnya mencuci tangan pakai sabun, sehingga merasa tidak perlu melakukannya sepanjang tidak berbau dan tidak terlihat kotor. Padahal, kebiasaan cuci tangan pakai sabun mampu menekan angka kematian anak akibat diare hingga 40 persen," kata Direktur Jenderal

13

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Senin (19/10). Kebiasaan baik itu, menurut Tjandra Yoga, juga dapat menekan risiko penularan penyakit influenza, termasuk influenza A H5N1 (flu burung) dan H1N1 (flu babi). "Oleh karena itu, pemerintah akan terus berusaha melakukan kampanye tentang pentingnya mencuci tangan pakai sabun agar terhindar dari penyakit yang ditularkan lewat bakteri dan kuman yang berpindah tangan," ujarnya. Apalagi, tambah Tjandra Yoga, jika kebiasaan itu digabung dengan kegiatan lain, misalnya tidak buang air sembarangan, buang sampah di tempatnya, pengelolaan air minum yang besar, maka bisa menekan angka kesakitan akibat diare hingga 80-90 persen. Dia menambahkan, kampanye mencuci tangan memakai sabun akan dilakukan pada semua kelompok masyarakat secara luas, termasuk di antaranya anak sekolah dan kaum alim ulama. Peran alim ulama, penceramah, dan pemimpin agama Islam sangat besar peranannya dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang terkait dengan hukum agama kepada masyarakat. "Keterlibatan mereka diharapkan dapat mendorong masyarakat, terutama di pelosok Indonesia, untuk menerapkan perilaku mencuci tangan dengan memakai sabun," katanya. Berkenaan dengan hal itu, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Isnawati Rais, mengatakan, thaharah atau bersuci atau membersihkan diri sebenarnya merupakan bagian dari ibadah dalam Islam. Namun, diakuinya, tindakan mencuci tangan pakai sabun belum menjadi kebiasaan sebagaimana membersihkan diri dengan menggunakan air. "Anjuran ini mungkin lebih mudah karena Muslim yang hendak melakukan shalat kan harusmelakukan thaharah, menghilangkan najis dengan air yang suci dari pakaian atau dari badannya, atau dari tempat shalatnya. Mungkin persoalannya, penggunaan sabun agak ribet karena mereka harus membawa-bawa sabun untuk membersihkan diri. Tetapi, bukan berarti tidak bisa, kan," tutur Isnawati menegaskan. (Tri Wahyuni)

Penduduk Garut Buang Kotoran Sembarangan

Senin, 26 Oktober 2009 , 11:33:00

GARUT, (PRLM).- Sekitar 1,2 juta lebih dari 2,4 juta lebih penduduk Kabupaten Garut, Jawa Barat diperkirakan masih membuang kotoran sembarangan dan terbanyak ke sawah dan selokan di lingkungan sekitar tempat tinggal.

14

Kepala Dinas Kesehatan Garut dr H Hendy Budiman MKes, Senin (26/10), mengatakan, sekitar 49 persen penduduk Garut membuang kotoran di luar "septic tank" atau bak penampungan kotoran yang memenuhi standar kebersihan lingkungan dan kesehatan. Kotoran manusia setiap harinya menyebar pada aliran sungai, selokan dan areal air persawahan yang mengalir ke hilir kemudian banyak dimanfaatkan untuk mandi, mencuci sekaligus sebagai kakus (MCK). Kondisi tersebut rentan terhadap penyebaran penyakit seperti diare, penyakit kulit, penyakit mata, dan infeksi saluran pernapasan akut (Ispa). Kotoran manusia yang dibuang sembarangan menyebabkan pencemaran bakteri "ecoli" hingga mencapai 3000 ppm, padahal batas toleransi hanya 10 ppm. "Kondisi lingkungan yang memprihatinkan tersebut, terkait dengan cakupan jamban keluarga lengkap dengan sarana "septic tank" nya hanya mencapai 51 persen, sedangkan 49 persen lainnya tak memiliki "septic tank" termasuk yang langsung "buang air besar" (BAB) di sawah, sungai dan selokan," katanya, seperti dikutip "Antara". Karena itu, 49 persen limbah dari sekurangnya 2.481.471 penduduk kabupaten Garut atau 1.215.921 jiwa, setiap harinya menyebar pada aliran sungai, selokan dan areal air persawahan yang mengalir ke hilir kemudian banyak dimanfaatkan untuk mandi, mencuci sekaligus sebagai kakus (MCK). Selanjutnya terus mengalir ke arah hilir dengan pemanfaatan serupa, termasuk di Kampung Panawuan Kelurahan Sukajaya Kecamatan Tarogong Kidul, yang perlu disikapi proaktif oleh camat dan unsur aparat kelurahan setempat.

Dampak dari penyalahgunaan sungai Mencemari lingkungan Menjadikan lingkungan menjadi kumuh Menimbulkan bibit-bibit penyakit Meningkatkan penderita diare serta gizi buruk Membuat banjir

15

Cara penanggulangan kebiasaan buruk masyarakat terhadap sungai


Mengadakan penyuluhan kepada masyarakat agar tidak menjadikan sungai sebagai MCK Masyarakat bergotong-royong dalam membangun serta menyediakan sarana dan prasarana untuk MCK Membuat masyarakat sadar akan pentingnya hidup sehat. Artikel terkait :

Tidak Ada Lagi BAB Sembarangan

Tahun 2014

Rabu, 11 November 2009 | 08:23 WITA

LEWOLEBA, POS-KUPANG.COM --- Tahun 2004 diharapkan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kabupaten Lembata, tidak lagi buang air besar (BAB) sembarangan. Untuk itu, Plan Internasional Program Unit Lembata menggandeng Bappeda Lembata dalam upaya menggembangkan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) bagi seluruh rumah penduduk di Desa Dikesare agar memiliki jamban keluarga. Demikian benang merah lokakarya hari pertama advokasi kebijakan dan pelatihan penyusunan rencana strategis pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) dalam program STBM, Senin (9/11/2009), di Lewoleba. Sekretaris Kabupaten Lembata, Drs. Petrus Toda Atawolo, M.Si, dalam sambutannya saat membuka pelatihan itu, menegaskan, kebutuhan air minum dan sanitasi sangat strategis dalam kehidupan sehari-hari. Karena kedua hal itu merupakan salah satu fondasi inti masyarakat sehat, sejahtera dan damai. Dengan air minum dan sanitasi yang baik, kata Atawolo, maka akan ada manfaat ekonomi, melindungi lingkungan hidup dan vital bagi kesehatan. Tetapi, kenyataannya, saat ini masih banyak masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan hidup. Akibatnya, angka diare yang tinggi dan timbulnya penyakit penyakit usus. Untuk itu, Atawolo berharap pelatihan ini bisa menjadi motivasi bagi peserta untuk memulai pola hidup bersih di lingkungan tempat tinggalnya.

16

Sementara itu, Eka Setyawan, Air Spesialits Plan Indonesia-Pusat, mengatakan, isu mendasar AMPL yakni dampak kebiasaan buruk sanitasi masyarakat. Penelitian Word Bank yang dipublikasikan Menteri Kesehatan dan Pekerjaan Umum RI, menyebutkan, kebiasaan buruk sanitasi mengakibatkan kerugian Rp 33 triliun dan 133 ribu bayi di Indonesia meninggal dunia akibat diare. Lima pilar utama menjadi perhatian sentral yakni tidak buang air besar (BAB) sembarang, cuci tangan menggunakan sabun, mengolah air minum, mengolah sampah rumah tangga dan mengolah limbah cair rumah tangga. Pilar utama diharapkan diadopsi pemerintah daerah dalam program pembangunan daerah. "Yang utama dari program ini adalah pemicuan membangkitkan kesamaan visi, misi dan pemahaman. Infrastruktur sanitasi bukan hal yang utama," kata Eka. Menurut Eka, tidak BAB sembarangan dapat menekan biaya kesehatan. Perkiraan Word Bank, setiap keluarga bisa menghemat 50 dollar AS dan tidak sering mengeluarkan biaya berobat. "Tidak BAB sembarangan keuntungannya 32 persen, cuci tangan pakai sabun 42 persen dan mengolah air minum 32 persen. Program ini sudah berlangsung pada 20 propinsi dan 120 kabupaten/kota. Harapannya, pada 2014 Indonesia bebas sanitasi. Tidak ada lagi yang BAB sembarangan," kata Eka. Sedangkan, Purnomo, dari Waspola-Fasilitator Pokja Perencanaan AMPL di Indonesia, mengharapkan, peserta lokakarya yang terdiri dari stakeholder terkait bisa membangun kesamaan visi dan misi program AMPL berkelanjutan. Dengan kesamaan visi dan misi, program AMPL akan berhasil. Apa pun model dan konstruksi sanitasi kepada masyarakat bukan hal utama. Yang utama diletakkan adalah perubahan perilaku dan kesadaran masyarakat pola hidup sehat. "Selama ini kita buang-buang biaya sangat besar. Yang harus dibangun pertama mengubah perilaku menyadari pentingnya pola hidup sehat. Nanti masyarakat sendiri yang menentukan teknologi sanitiasi sesuai kemampuannya," kata Purnomo. (ius)

17

BAB V PENUTUP
Kesimpulan
Perlunya kesadaran masyarakat dalam kebiasaan yang telah dilakukan,dengan pentingnya memperhatikan lingkungan sekitar serta pedulia apa saja kebiasaan yang telah dilakukan,agar dapat menjaga lingkungan sekitar sehingga lingakungan menjadi bersih dan sehat karena peran masyarakat terhadap lingkungan sangat besar.

Saran
Kepada pembaca dapat memberikan masukan berupa keritik serta saran yang membangun,agar makalah ini menjadi lebih baik dan dapat digunakan serta dapat di ambil manfaat didalamnya.

18

You might also like