You are on page 1of 110

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit saluran nafas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan erat dengan lamanya pajanan terhadap debu tertentu karena pada dasarnya saluran pernafasan merupakan salah satu bagian yang paling mudah terpapar oleh bahan-bahan yang mudah terhirup yang terdapat di lingkungan. Di negara yang sedang berkembang ditemukan banyak orang yang bekerja pada industri pengolahan bahan baku keramik. Seperti telah diketahui bahwa industri bahan baku pembuatan keramik adalah industri yang menghasilkan banyak debu baik dari mulai pengolahan bahan baku hingga sampai pada proses pengepakan yang mengakibatkan pekerja terpajan dengan debu (Siregar, 2004). Ada banyak bahan baku mineral yang diolah pada jenis industri ini diantaranya adalah pasir silika dan feldspar. Pada dasarnya ada berbagai macam bahaya di tempat kerja yang bisa mengancam kesehatan pekerja maupun orang-orang yang berada di sekitar lingkungan perusahaan. Lingkungan kerja yang sering penuh oleh debu, uap, gas dan lainnya dapat mengganggu produktivitas dan mengganggu kesehatan. Namun untuk jenis industri bahan baku keramik, akibat dari proses mekanis dari material padatan seperti penghancuran, penggrindaan, maupun penggilingan bahan baku akan menghasilkan partikel padat yang biasa disebut dengan debu.

Hal inilah yang sering menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan ataupun dapat mengganggu nilai Kapasitas Vital Paru. Dalam kondisi tertentu, debu merupakan bahaya yang dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru yang dimulai dari penyakit saluran nafas kecil bahkan dapat menimbulkan keracunan umum. Adapun Penyakit-penyakit dari saluran nafas kecil adalah merupakan awal dari terjadinya COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) (Depkes RI, 2003). Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2007, diantara semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit silikosis dan penyakit pneumokoniosis lainnya. Selain itu juga, ILO (International Labour Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumokoniosis (penyakit saluran pernafasan) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Debu yang terhirup oleh tenaga kerja menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila konsentrasi debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi saluran napas sehingga resistensi jalan napas meningkat (Yunus,1997).

Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat yang serius. Lebih dari 3% kematian akibat penyakit paru kronik di New York adalah berhubungan dengan pekerjaan (WHO, 2007). Sebuah studi kasus kontrol di Mesir pada pekerja industri keramik didapatkan hasil bahwasannya pekerja yang terpapar debu keramik lebih banyak ditemukan gejala terhadap saluran pernafasan seperti batuk, demam dan produksi sputum dibandingkan dengan kelompok kontrol (Hisham, 2010). Kasus pneumokoniosis menempati urutan pertama Occupational

Diseases (OD) di Negara Jepang dan China (ILO, 2005). Sebuah studi cross sectional yang dilakukan di Iran terhadap pekerja industri bahan baku keramik didapatkan hasil yang signifikan antara paparan debu terhadap KVP dibawah normal pada pekerja produksi bahan baku. Selain itu juga, hasil dari test rontgen dada menunjukkan bahwa telah terjadinya abnormalitas pada paru-paru pekerja (Neghab, 2007). Di Indonesia, penyakit atau gangguan paru akibat kerja yang disebabkan oleh debu terutama dari bahan baku industri keramik diperkirakan cukup banyak, meskipun data yang ada masih kurang. Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang dilakukan di Balai HIPERKES (Higyne Perusahan dan Kesehatan) Sulawesi Selatan pada tahun 1999 terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan semen bukanlah industri keramik, namun memiliki jenis debu yang sama yaitu debu anorganik diperoleh hasil sebesar 45% responden yang mengalami restrictive, 1% responden yang mengalami obstructive, dan 1% responden yang mengalami

combination (kombinasi). Kemudian, studi kasus epidemiologi secara cross sectional pada populasi pekerja industri keramik A di Kabupaten Tanggerang didapatlah hasil bahwasannya variabel kebiasaan merokok, status gizi, dan usia pekerja mempengaruhi kelainan fungsi paru pekerja (Siregar, 2004). Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan kelainan fungsi atau penurunan nilai kapasitas paru. Kelainan tersebut terjadi akibat rusaknya jaringan paru-paru yang bersifat profresif dan ireversibel (tidak dapat kembali normal) dapat berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas kerja. Indonesia memiliki empat (4) buah perusahan yang bergerak dibidang pengadaan bahan baku keramik dan kaca yaitu PT. Mark Dynamic, PT. Arwana Citra Mulia Tbk, PT. Tri Marga Jaya Hutama dan PT. Sibelco Lautan Minerals. Adapun dari keempat perusahaan ini yang terbesar adalah PT. Sibelco Lautan Minerals (Kemendagri, 2009). Perusahaan ini mengolah bahan baku keramik seperti pasir silika dan feldspar yang sudah pasti menghasilkan debu pada proses produksi hingga pendistribusiannya. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk lingkungan kerja adalah 10 mg/m3. Data hasil pemantauan lingkungan terhadap konsentrasi debu tahun 2010 yang dilakukan pihak perusahaan pada tiga titik (gudang nepheline, grinding debu total

mill, packing machine) area plant produksi didapatkanlah hasil konsentrasi debu yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) sebesar 11.27 mg/m3 pada area packing. Sementara pada area lain, dibagian produksi seperti area stock pile tidak dilakukan pemantauan konsentrasi debu. Kemudian pada area office dilakukan pemantauan pada satu titik yaitu laboratorium dan menghasilkan konsentrasi debu yang berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu sebesar 1.143 mg/m3. Berdasarkan data hasil tes spirometri yang dilakukan di PT. Sibelco Lautan Minerals pada tahun 2009 sampai 2011 khususnya pada pekerja bagian plant didapatlah peningkatan jumlah presentase KVP dibawah normal setiap tahunnya. Pada tahun 2009 terdapat sebesar 7,69% pekerja yang menderita KVP dibawah normal, kemudian tahun 2010 meningkat menjadi 15,39% dan pada tahun 2011 kembali meningkat hingga 23,08%. Selain itu juga, pada pekerja bagian plant yang telah diwawancarai terdapat keluhan subjektif yang dirasakan 7 dari 10 pekerja seperti batuk kering, sesak nafas dan kelelahan umum. Selain itu juga, gangguan faal paru tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi debu yang tinggi saja, melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) jenis masker, riwayat merokok dan riwayat penyakit (Sirait, 2010). Kemudian, adanya kebiasaan merokok yang dilakukan oleh beberapa pekerja dilingkungan kerja ketika waktu istirahat atau bahkan pada jam kerja di area plant akan membuat kondisi lingkungan tempat kerja dan diri

pekerja sendiri lebih beresiko terhadap gangguan kesehatan terutama gangguan terhadap sistem pernafasan termasuk di dalamnya paru-paru. Oleh karena itulah peniliti ingin mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta pada tahun 2011. 1.2 Rumusan Masalah Kapasitas Vital Paru (KVP) yang buruk pada seseorang dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi debu yang terhirup oleh orang tersebut. Namun, nilai KVP seseorang tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi debu yang tinggi saja, melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri jenis masker, riwayat merokok dan riwayat penyakit (Sirait, 2010). Adapun berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk debu total lingkungan kerja adalah 10 mg/m3. Gambar 1.1 Kondisi Lingkungan Kerja PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011

Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan kerja pada salah satu area plant PT. Sibelco Lautan Minerals menghasilkan konsentrasi debu melibihi NAB yaitu sebesar 11.27 mg/m3 dan terdapat keluhan subjektif yang dirasakan oleh 7 dari 10 pekerja bagian plant tersebut seperti batuk kering, sesak nafas, dan kelelahan umum. Selain itu juga adanya aktifitas merokok yang dilakukan oleh para pekerja di lingkungan kerja akan membuat kondisi lingkungan tempat kerja dan diri pekerja sendiri lebih beresiko terhadap gangguan kesehatan terutama gangguan terhadap sistem pernafasan termasuk didalamnya paru-paru. Oleh karena itulah peneliti ingin mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta pada tahun 2011. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran KPV pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011? 2. Bagaimana gambaran lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011? 3. Bagaimana gambaran karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker) pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011?

4. Apakah lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) berhubungan dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011? 5. Apakah karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker) berhubungan dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta pada tahun 2011.. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran KPV pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011. 2. Diketahuinya gambaran lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011. 3. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan

masker) pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011. 4. Diketahuinya hubungan lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011. 5. Diketahuinya hubungan faktor karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker) dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 1.5 Manfaat Hasil Penelitian 1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti Sebagai sarana untuk menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman penelitian sehingga dapat diterapkan dalam praktik sesungguhnya. 1.5.2 Manfaat Bagi Civitas Akademika Memberikan manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut pada industri pengadaan bahan baku keramik didaerah tempat penelitian maupun ditempat lain.

10

1.5.3 Manfaat Bagi Perusahaan 1. Memberikan gambaran tentang faktor-faktor berhubungan dengan KVP pekerjanya khususnya pekerja bagian plant. 2. Memberikan solusi alternatif pada perusahaan mengenai hasil penelitian yang diperoleh melalui uji statistik. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada perusahan pengolah bahan baku keramik yaitu PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta pada bulan April hingga September tahun 2011. Desain penelitian ini adalah crossectional bersifat kuantitatif untuk mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant. Penelitian ini dilakukan karena adanya konsentrasi debu pada area plant yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) debu di tempat kerja yaitu 11.27 mg/m3 dari NAB sebesar 10 mg/m3 (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja nomor 01 tahun 1997). Kemudian data hasil spirometri pekerja bagian plant mengalami kecenderungan peningkatan jumlah pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru tiap tahunnya dari 7.69% (2009), 15.39% (2010) dan 23.08% (2011). Selain itu juga, terdapat keluhan subjektif seperti batuk kering, sesak nafas dan kelelahan umum pada beberapa pekerja bagian plant. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan cara pengukuran menggunakan spirometri, pengisian kuisioner dan pengukuran kosentrasi debu total yang diterima pekerja.

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapasitas Paru-Paru Dalam penguraian peristiwa-peristiwa dalam sirkulasi paru, kadang-kadang di perlukan untuk menyatukan dua volume atau lebih. Kombinasi seperti itu disebut sebagai kapasitas paru. Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Kapasitas inspirasi (IC) Inspiration Capacity (IC) adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 mL). Nilai kapasitas ini

merupakan hasil dari penjumlahan nilai volume tidal (VT) dengan volume cadangan inspirasi (IRV). 2) Kapasitas residu fungsional (FRC) Fungtional Residual Capacity (FRC) adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 mL). Nilai kapasitas ini hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah volume cadangan ekspirasi (ERV).

12

3) Total Lung Capacity (TLC) Kapasitas paru total (TLC) adalah volume maksimum di mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira 5800 mL). 4) Vital capacity (VC/KPV) Kapasitas vital paru (VC) adalah jumlah gas yang dapat diekspirasisetelah inspirasi secara maksimal. VC = VT + IRV + ERV (seharusnya 80 % TLC) Besarnya adalah 4800 ml. 2.1.1 Kapasitas Vital Paru (KVP) Kapasitas Vital Paru (KVP) adalah kemampuan paru

untuk menghisap atau menghembuskan udara secara maksimal (Usin, 2000). Nilai KVP sama dengan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah volume tidal (VT) dan volume cadangan ekspirasi (ERV). Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan dikeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600 mL) (Guyton, 1997). Adapun nilainya diukur dengan cara individu melakukan inspirasi maksimum, kemudian menghembuskan

sebanyak mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur (Corwin, 2001).

13

Ada dua macam kapasitas vital berdasarkan cara pengukurannya: 1) Vital Capacity (VC): pada pengukuran jenis ini individu tidak perlu melakukan aktivitas pernafasan dengan kekuatan penuh 2) Forced Vital Capacity (FVC): pada pengukuran ini pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan maksimal Pada orang normal tidak ada perbedaan antara kapasitas vital dan kapasitas vital paksa, tetapi pada keadaan ada gangguan obstruktif terdapat perbedaan antara kapasitas vital dan kapasitas vital paksa. Adapun standar KVP dibagai kedalam perbedaan jenis kelamin adalah: Tabel 2.1 Nilai Standar KVP Usia 4 5 6 7 8 9 10 11 Laki-Laki 700 850 1070 1300 1500 1700 1950 2200 Perempuan 600 800 980 1150 1350 1550 1740 1950

14

Usia 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60

Laki-Laki 2540 2900 3250 3600 3900 4100 4200 4300 4320 4320 4300 4280 4250 4220 4200 4180 4150 4120 4100 3900 3800 3600 3410 3240 3100

Permpuan 2150 2350 2480 2700 2700 2750 2800 2800 2800 2800 2800 2790 2780 2770 2760 2740 2720 2710 2700 2640 2520 2390 2250 2160 2060

15

Usia 61-65

Laki-Laki 2970

Permpuan 1960

(Sumber: Koesyanto, 2005) Pengukuran KVP seringkali digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru khususnya ventilasi paru-paru dan dinding dada. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot-otot pernafasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain. Hasil dari tes fungsi paru tidak dapat untuk mendiagnosis suatu penyakit paru-paru tapi hanya memberikan gambaran KVP dibawah normal yang dapat dibedakan atas: a. Kelainan obstruktif (kelainan pada ekspirasi) Setiap keadaan hambatan aliran udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran nafas. Kelainan obstruktif akan mempengaruhi kemampuan ekspirasi. b. Kelainan restriktif (kelainan pada inspirasi) Gangguan pada paru yang menyebabkan kekakuan paru sehingga membatasi pengembangan paru-paru. Gangguan restriktif mempengaruhi kemampuan inspirasi (Price, 1995).

16

Adapun kriteria gangguan fungsi paru yang dibagi kedalam 4 kriteria, yaitu: Tabel 2.2 Kriteria Gangguan Fungsi Paru Menurut ATS (American Thoracic Society) KVP (%) 80% 60-79% 51-59% 50% Kategori Normal Restriksi ringan Restriksi sedang Restriksi berat

2.1.2 Alat Ukur Kapasitas Vital Paru (KVP) Adapun alat yang dapat digunakan untuk mengukur KVP adalah spirometri. Spirometri merupakan alat dengan metode sederhana yang dapat mengukur volume paru utama yang nantinya akan dijumlahkan tergantung kebutuhan untuk mendapatkan nilai kapasitas paru utama. Untuk nilai volume paru utama yang diperoleh dibagi atas volume statis paru dan volume dinamis paru yang terdiri dari: 1) Volume statis paru a. Volume tidal (VT) = jumlah udara yang dihirup dan dihembuskan setiap kali bernapas pada saat istirahat. Volume tidal normalnya adalah 350-400 ml.

17

b. Volume residu (RV) = jumlah gas yang tersisa di paru-paru setelah menghembuskan napas secara maksimal atau ekspirasi paksa. Nilai normalnya adalah 1200 ml c. Volume cadangan inspirasi (IRV) = jumlah udara yang dapat diinspirasi secara paksa sesudah inspirasi volume tidal normal. d. Volume cadangan ekspirasi (ERV) = jumlah udara yang dapat diekspirasi secara paksa sesudah ekspirasi volume tidal normal. 2) Volume dinamis paru Volume ini dihitung melalui nilai Force Vital Capacity (FVC) yang merupakan volume udara maksimum yang dapat dihembuskan secara paksa atau kapasitas vital paksa yang umumnya dicapai dalam 3 detik, normalnya 4 liter dan FEV1 (Forced Expired Volume in one second) merupakan volume udara yang dapat dihembuskan paksa pada satu detik pertama normalnya 3,2 liter. Pada orang normal persentase kapasitas vital kuat yang dikeluarkan pada detik pertama (FEV1/FVC%) adalah 80%. Pada obstruksi saluran nafas yang serius, yang sering terjadi pada asma akut, kapasitas ini dapat berkurang menjadi kurang dari 20% (Guyton, 1994).

18

2.2 Penyakit Paru Akibat Kerja Berbagai penyakit dapat timbul dalam lingkungan pekerjaan yang mengandung debu industri terutama pada konsentrasi debu yang cukup tinggi, antara lain pneumoconiosis (silikosis, asbestosis, beriliosis), hemosiderosis, bisinosis, bronchitis, asma kerja serta kanker paru. Penyakit paru kerja terbagi atas 3 bagian yaitu : 1. Akibat debu organik, misalnya debu kapas (Bissinosis), debu padi-padian (Grain workers disease), debu kayu. 2. Akibat debu anorganik (pneumoconiosis), misalnya debu silica (silikosis), debu asbes (asbestosis), debu timah (Stannosis). 3. Penyakit paru kerja akibat gas iritan, 3 polutan yang paling banyak mempengaruhi kesehatan paru adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3). Bila penyakit paru akibat kerja telah terjadi, umumnya tidak ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk menyembuhkannya. Gejala biasanya timbul apabila penyakit sudah lanjut. 2.3 Partikel Debu 2.3.1 Definisi Debu Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM)

19

dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di ruang gedung (Indoor and Out Door Pollution) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Debu industri yang terdapat di udara dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Deposit Particulate Matter Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya sementara di udara. Partikel ini akan segera mengendap karena daya tarik bumi. 2. Suspended Particulate Matter Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. (Pudjiastuti, 2002) Menurut Sumamur (1998), debu adalah partikel-partikel zat padat yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan baik organik maupun anorganik. Adapun debu tersebut terdiri dari 2 golongan, yaitu padat dan

20

cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat menjadi 3 macam : a. Dust Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru b. Fumes Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zatzat seperti logam (Cadmium) dan timbal (Plumbum). c. Smoke Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron. 2.3.2 Sifat-Sifat Debu Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu

21

di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi. Adapun sifat-sifat debu adalah sebagai berikut : 1. Sifat Pengendapan Debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara. 2. Permukaan cenderung selalu bersih Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja. 3. Sifat Penggumpalan Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah maka debu satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat

kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah debu membentuk gumpalan.

22

4. Debu Listrik Statik Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan. 5. Sifat Opsis Opsis adalah partikel yang basah atau lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap. Partikel debu melayang (Suspended Particulated Metter) adalah suatu kumpulan senyawa dan bentuk padatan maupun cair yang tersebar di udara dengan diameter yang sangat kecil, kurang dari 1 mikron sampai maksimal 500 mikron. Ukuran partikel debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,5 mikron sampai 25 mikron. Partikel debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relative lama dalam keadaan melayang-layang dan dapat masuk melalui saluran pernafasan. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran nafas bagian atas, kemudian yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran nafas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron disebut debu respirable merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai

23

dari bronkhiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli, bila membentur alveoli maka dapat tertimbun ditempat tersebut. Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara (WHO, 1990). 2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru (KVP) Nilai KVP merupakan suatu gambaran dari fungsi sistem pernafasan. Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sehingga frekuensi lama seseorang bekerja pada lingkungan tempat kerja yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat pada diri pekerja (karakteristik pekerja) merupakan hal utama yang berhubungan dengan KVP (Widodo, 2007). Adapun faktor-faktor tersebut adalah: 1) Lingkungan Tempat Kerja Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Kesehatan Nomor 1 Tahun 1970 dikatakan bahwa tempat kerja merupakan tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki pekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya. Adapun sumber bahaya yang berhubungan dengan

24

nilai KVP pekerja khusunya perusahaan pengadaan bahan baku keramik adalah debu. Debu yang memapar pekerja dapat dilihat dari ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama paparan serta bentuk dari debu itu sendiri. Pada dasarnya tingkat kelarutan debu pada air dapat mengindikasikan tingkat bahan dalam debu larut dan dengan mudah dapat masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila debu tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka partikel-partikel tersebut dapat masuk ke dinding alveoli. Semakin tinggi konsentrasi debu, maka semakin besar pula kemungkinan menimbulkan keracunan maupun gangguan terhadap paru (Faridawati, 1995). 2) Karakteristik Pekerja Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah sebagai hasil dari kerjanya. Karakteristik pekerja merupakan hal-hal yang ada pada diri pekerja yang akan berdampak pada hasil kerja dan dalam hal ini kesehatan individu itu sendiri. Adapun yang termasuk hal-hal yang termasuk kedalam karakteristik pekerja yang berhubungan dengan KVP adalah: a. Usia Usia merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi paru karena usia mempengaruhi kekenyalan paru

25

sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah usia 40 tahun. Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai maksimum pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut nilai faal paru akan terus menurun sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007). Berdasarkan penelitian Mengkidi (2006), pada populasi pekerja pabrik semen di Sulawesi Selatan yang terpapar dengan debu semen menunjukkan bahwa usia merupakan faktor risiko untuk terjadinya gangguan fungsi paru. Selain itu juga, pada keadaan normal usia juga mempengaruhi frekuensi pernapasan dan kapasitas paru. Frekuensi pernapasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada anakanak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali permenit. Walaupun pada orang dewasa pernapasan frekuensi pernapasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan tetapi KVP pada orang dewasa lebih besar dibanding anak-anak dan bayi. Dalam kondisi tertentu hal tersebut akan berubah misalnya akibat dari suatu penyakit, pernapasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya (Syaifudin, 1997).

26

b. Jenis Kelamin Menurut Guyton (1997) volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil daripada pria, dan lebih besar lagi pada atletis dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis. Menurut Tambayong (2001) disebutkan bahwa kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu 4,8L dibandingkan pada wanita yaitu 3,1L. c. Kebiasaan merokok Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. Apabila kondisi lingkungan kerja seorang perokok memiliki tingkat konsentrasi debu yang tinggi maka maka dapat menyebabkan gangguan fungsi paru yang ditandai dengan penurunan fungsi paru (VC, FVC dan FEV1). Debu yang tertimbun dalam paru akan menyebabkan fibrosis (pengerasan jaringan paru), sehingga dapat menurunkan KVP. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4mL untuk bekas perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif (Anshar, 2005). Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes, 2003). Tenaga kerja yang merokok dan berada dilingkungan yang

27

berdebu

cenderung

mengalami

gangguan

saluran

pernapasan

dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan yang sama tetapi tidak merokok (Mengkidi, 2006). Selain itu juga menurut Gold et al (2005) juga menyatakan bahwa kebiasaan merokok pada pekerja yang terpapar oleh debu memperbesar kemungkinan untuk terjadinya gangguan fungsi paru. Adapun untuk mengukur derajat berat merokok biasanya dilakukan dengan menghitung indeks Brinkman, yaitu perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari kemudian dikalikan dengan lama merokok dalam tahun. Nilai yang dihasilkan dari perhitungan tersebut akan dimasukkan kedalam tiga kategori yaitu: Ringan : 0-200 Sedang : 200-600 Berat : > 600

d. Kebiasaan olahraga Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik.Gangguan faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga, sebaliknya latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan faal paru. Seseorang yang aktif dalam latihan akan mempunyai

28

kapasitas aerobik yang lebih besar dan kebugaran yang lebih tinggi serta kapasitas paru yang meningkat (Sahab, 1997). Kapasitas Vital Paru (KVP) dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang melakukan olahraga. Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau maksimum. Kapasitas vital pada seorang atlet lebih besar daripada orang yang tidak pernah berolahraga (Hall, 1997). Menurut Guyton (1997), kebiasaan olah raga akan meningkan kapasitas paru dan akan meningkat 30-40%. Secara umum semua cabang olahraga, permainan dan aktifitas fisik sedikit banyak membantu meningkatkan kebugaran fisik. Namun terdapat perbedaan dalam tingkat dan komponen-komponen kebugaran fisik yang ditingkatkan. Tabel 2.3 Kategori Tingkat Kebugaran Aktivitas Fisik/Kegiatan Olahraga No 1. Tingkat Kebugaran Sangat Baik Jenis Kegiatan Olahraga Tarian aerobic Bulutangkis Jogging/lari Bolanet Bersepeda Basket Sepak bola Berenang

29

No 2.

Tingkat Kebugaran Baik

Jenis Kegiatan Olahraga Beladiri Latihan berirama Tenis meja Tenis Sepak takraw Bola voli Berjalan

3.

Minimal

Golf Bowling

Binaraga

Kebugaran aerobik*: Kebugaran dari paru, jantung dan peredaran darah. Kebiasaan berolahraga tersebut dilakukan 3-5 kali seminggu. Sumber: Giam.C.K (1996) e. Status Gizi Kesehatan dan daya kerja erat hubungannya dengan status gizi seseorang. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan dan respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Status gizi juga berperan terhadap kapasitas paru. Orang dengan postur kurus panjang biasanya kapasitas vital paksanya lebih besar dari orang dengan postur gemuk pendek. Tanpa makan dan minum yang cukup kebutuhan energi untuk bekerja akan diambil dari cadangan sel tubuh. Kekurangan makanan yang terus menerus akan menyebabkan susunan fisiologis terganggu. Menurut Sridhar (1999) secara fisiologis seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan KVP yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.

30

Adapun status gizi diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT = BB (kg) TB2(m) Tabel 2.4 Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia Kategori IMT Kurus Kekurangan BB tingkat berat Kekurangan BB tingkat rendah Normal Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan Kelebihan BB tingkat berat (Supariasa, 2001) f. Riwayat penyakit Saluran Pernafasan Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi KVP seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit (Ganong, 2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price, 1995). Selain itu juga, adanya riwayat pekerjaan yang menghadapi debu akan mengakibatkan pneumunokiosis dan salah satu pencegahannya dapat IMT < 17 17.0-18.5 >18.5-25.00 25.00-27.00 >27.0

31

dilakukan dengan menghindari diri dari debu dengan cara memakai masker saat bekerja (Sumamur, 1996). g. Penggunaan Masker Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru sehingga terjadi pengendapan partikel dan akhirnya mengurangi nilai KVP dapat diminimalisir (Carlisle, 2000). h. Masa Kerja Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja (pada suatu kantor, badan dan sebagainya) (KBBI, 2001). Penelitian Yuli (2005) dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru yang salah satu didalamnya adalah nilai KVP pada pekerja. Menurut Morgan dan Parkes dalam Faridawati (1995) waktu yang dibutuhkan seseorang yang terpapar oleh debu untuk terjadinya gangguan KVP kurang lebih 10 tahun.

32

Masa kerja dapat dikategorikan menjadi: 1. masa kerja baru ( < 5 tahun ) 2. masa kerja lama ( 5 tahun ) Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Sumamur, 1996). i. Riwayat Pekerjaan Riwayat pekerjaan dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit akibat kerja. Riwayat pekerjaan yang menghadapi debu berbahaya dapat menyebabkan gangguan paru (Sumamur, 1996). Hubungan antara penyakit dengan pekerjaan dapat diduga dengan adanya riwayat perbaikan keluhan pada akhir minggu atau hari libur diikuti peningkatan keluhan untuk kembali bekerja, setelah bekerja ditempat yang baru atau setelah digunakan bahan baru di tempat kerja. Riwayat pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar dengan pekerjaan berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musim-musim tertentu, dan lain-lain (Ikhsan, 2002).

33

3)

Karakteristik Pekerjaan a. Jumlah Jam Kerja per Minggu (waktu kerja) Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja yang terpapar debu dapat digunakan sebagai perkiraan kumulatif paparan yang diterima oleh seorang pekerja. Rendahnya KVP pada pekerja tergantung pada lamanya paparan serta konsentrasi debu lingkungan kerja. Paparan dengan konsentrasi rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan segera menunjukkan adanya penurunan nilai KVP

dibandingkan dengan paparan tinggi dalam waktu yang singkat (Budiono, 2007) b. Beban kerja Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas pekerjaan sehari-hari. Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya, beban-beban tersebut tergantung bagaimana orang tersebut bekerja sehingga disebut beban kerja, sehingga beban kerja merupakan kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Beban kerja

dapat berupa beban fisik dapat mempengaruhi nilai dari KVP seseorang. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernapasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbondioksida (Guyton & Hall, 1996). tersebut

34

c. Sikap kerja Pengertian sikap kerja merupakan kesiapan mental maupun fisik untuk bekerja dengan cara tertentu yang dapat dilakukan dalam kecenderungan tingkah laku pekerja dalam menjalankan aktivitasnya sebagai upaya memperkaya kecakapan dan kelangsungan hidup (Maryani, 2005). 2.5 Kerangka Teori Kerangka teori (gambar 2.1) diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber. Faridawati (1995) menyatakan bahwasannya paparan debu dapat menyebabkan keracunan maupun gangguan terhadap paru. Kemudian untuk faktor karakteristik individu dan beban kerja diperoleh dari teori Guyton dan Hall (1997) yang mengatakan bahwa jenis kelamin dan kebiasaan olahraga berhubungan dengan nilai KVP. Selain itu juga jumlah jam kerja perminggu, usia (Budiono, 2007), kebiasaan merokok (Depkes, 2003), status gizi (Sridhar, 1999), riwayat penyakit saluran pernafasan (Ganong, 2002), penggunaan masker (Carlisle, 200), masa kerja (Faridawati, 1995), sikap kerja (Maryani, 2005) dan riwayat pekerjaan (Sumamur, 1996) juga turut berperan terhadap nilai Kapasatas Vital Paru (KVP) seseorang. Berdasarkan hasil dari modifikasi tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori sebagai berikut:

35

Gambar 2.1 Kerangka Teori Lingkungan Tempat Kerja Debu : ( konsentrasi , ukuran partikel, daya larut, sifat kimiawi, lama debu sampai ke paru dan bentuk debu) Karakteristik Pekerja: -Riwayat Penyakit Saluran Pernafasan - KebiasaanOlahraga - Penggunaan Masker - Riwayat Pekerjaan -Kebiasaan Merokok -Jenis Kelamin Karakteristik Pekerjaan : - Waktu kerja - Beban kerja - Sikap kerja - Usia - Masa Kerja - Status Gizi

Kapasitas Vital Paru

Sumber: Modifikasi dari (Budiono, 2007; Carlisle, 2000; Depkes, 2003; Faridawati, 1995; Ganong, 2002; Guyton,1997; Hall, 1997; Maryani, 2005; Sridhar, 1999; Sumamur, 1996)

36

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Variabel yang akan diteliti terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas terdiri dari konsentrasi debu, usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker sedangkan variabel terikatnya adalah KVP pekerja. Selain itu juga, ada variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini yaitu jenis kelamin, riwayat penyakit saluran pernafasan, riwayat pekerjaan serta faktor pekerjaan. Faktor lingkungan kerja dalam hal ini terkait dengan debu (ukuran partikel, daya larut, sifat kimiawi, lama paparan dan bentuk debu) tidak diteliti karena debu pada area kerja plant terdiri atas 2 (dua) debu yang utama dari bahan baku yang telah bercampur sehingga tidak bisa diketahui debu yang akan diukur berasal dari bahan baku yang mana. Selanjutnya untuk faktor karakteristik pekerjaan tidak diteliti karena seluruh pekerja memiliki waktu kerja yang sama yaitu 8 jam kerja (homogen), kemudian tidak ada perbedaan beban kerja dan sikap kerja yang dapat mempengaruhi KVP seperti aktivitas fisik dari pekerjaan, posisi kerja yang berbeda ketika berada di sumber debu serta ventilasi pada area plant. Jenis kelamin pekerja tidak diteliti karena seluruh pekerja bagian plant adalah berjenis kelamin laki-laki. Kemudian untuk riwayat penyakit saluran

37

pernafasan tidak diteliti karena seseorang yang telah mengalami penyakit saluran pernafasan secara otomatis akan menurunkan nilai KVP. Selain itu juga, berdasarkan hasil survey pendahuluan didapat bahwa hampir seluruh pekerja yang masuk ke perusahaan ini adalah fresh graduate, sehingga variabel riwayat pekerjaan tidak menjadi variabel pada penelitian ini. Adapun kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada bagan di bawah ini: Lingkungan Tempat Kerja Konsentrasi debu

Karakteristik Pekerja Usia Kebiasaan Olahraga Kebiasaan Merokok Status Gizi Masa Kerja Penggunaan Masker

Kapasitas Vital Paru

3.2 Hipotesis

1. Ada hubungan antara lingkungan tempat kerja dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 2. Ada hubungan antara karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011

40

BAB IV METODELOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode cross sectional karena pengambilan data variabel independen dan variabel dependen dilakukan pada saat yang bersamaan. Desain ini digunakan karena mudah dilaksanakan, sederhana, murah, ekonomis dalam hal waktu, dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bersifat analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik pekerja dengan KVP pekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta dari bulan April sampai dengan Agustus 2011. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta pada tahun 2011 yang berjumlah 61 orang. Adapun jumlah karyawan dalam tiap bagiannya pada area plant adalah sebagai berikut:

41

1). Bagian Produksi terdapat 41 pekerja 2). Bagian Mekanik terdapat 11 pekerja 3). Bagian Quality Control terdapat 9 pekerja 4.3.2 Sampel Sampel dalam penelitian ini merupakan sampel jenuh pada pekerja bagian plant PT.Sibelco Lautan Minerals Jakarta. Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus uji hipotesis beda proporsi 2 tail (1-/2): n = (Z1-/2V2P(1-P)+Z1-Vp1(1-p1)+p2(1-p2))2 (p1-p2) 2 Keterangan : n Z1-a/2 P p1 p2 = besar sampel = derajat kemaknaan (CI) pada tertentu = proporsi rerata = proporsi pekerja yang tidak menggunakan masker yang mengalami gangguan KVP pada penelitian sebelumnya (0.5) (Widodo, 2007) = proporsi pekerja yang menggunakan masker yang mengalami gangguan KVP pada penelitian sebelumnya (0.15) (Widodo, 2007)

sehingga : n = (1.96V2x0.325(1-0.325)+0.84V0.05(1-0.5)+0.15(1-0.15))2 (0.5-0.15)2 = 26.87 = 27

42

Hasil dari perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel yang harus diambil adalah 27 pekerja. Jadi, sampel minimal yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebesar 27 pekerja dikalikan dua (2) karena menggunakan uji hipotesis dua proporsi segingga jumlah sampel yang harus diambil adalah sebesar 54 pekerja. Untuk menghindari drop out atau missing jawaban maka perlu ditambahkan 10% dari jumlah sampel minimal sehingga jumlah keseluruhan sampel sebesar 60 pekerja. Karena jumlah perja pada bagian plant ada sebanyak 61 orang maka sampel yang digunakan adalah sampel jenuh yaitu sebanyak 61 pekerja. 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1 Kriteria lnklusi Kriteria inklusi adalah syarat yang harus dipenuhi agar responden dapat menjadi sampel penelitian. Adapun kriteria pada penelitian ini adalah pekerja yang menjadi responden dalam keadaan sehat dari penyakit paru dan pernafasan seperti bronchitis, radang paru, TBC paru, asma dan alergi saluran pernafasan, dan lain-lain dengan asumsi bahwa penyakit yang berhubungan dengan salauran pernafasan dan paru tersebut sudah pasti akan berhubungan dengan nilai KVP. Hal ini di screening melalui wawancara terhadap pekerja sebelum penelitian dilakukan.

43

4.4.2

Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi adalah syarat yang tidak dapat dipenuhi oleh responden supaya dapat menjadi sampel. Adapun kriteria tersebut adalah responden menolak berpartisipasi dalam penelitian.

4.5 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer. Data primer diperoleh langsung dari responden, melalui: 1. Wawancara dan Observasi Lapangan Wawancara adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Marzuki, 2002). Dalam hal ini dilakukan tanya jawab atau wawancara secara langsung kepada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 dan diisi kedalam kuisioner penelitian. Untuk observasi akan dilakukan oleh peneliti langsung kepada para pekerja yang ada pada area plant. Data observasi berupa kondisi dan penggunaan masker serta aktivitas merokok pada smoking area akan dimasukkan kedalam lembar observasi yang telah disediakan. 2. Pengukuran KVP Metode ini dilakukan dengan cara pengukuran paru pekerja

menggunakan alat spirometer secara langsung terhadap responden.

44

3.

Pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT) Metode ini dilakukan dengan cara mendapatkan hasil pengukuran tinggi badan dan pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak.

4. Pengukuran Konsentrasi Debu Terhirup Pengukuran debu terhirup menggunakan alat Personal Dust Sampler (PDS) yang berisi kertas filter yang akan menangkap debu yang memapar pekerja. Alat ini dilengkapi dengan pompa yang akan menghisap debu dari udara kedalam filter dengan menggunakan laju alir tertentu. 4.6 Instrumen Penelitian Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen spirometri untuk KVP, Personal Dust Sampler (PDS), timbangan injak, meteran, lembar skrining pekerja, lembar pengukuran lingkungan kerja, lembar pengukuran status gizi dan KVP, lembar observasi serta kuisioner yang akan diuraikan sebagai berikut: 1. Spirometri Spirometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur KVP pekerja. Data hasil pengukuran ini didapatkan melalui cara pengukuran fungsi paru pekerja dengan menggunakan alat spirometer merk Chest tipe HI-101. Adapun cara pengukuran kapasitas paru pekerja adalah sebagai berikut :

45

1) Alat spirometri yang akan digunakan dihisupkan terlebih dahulu dengan menekan tombol On pada alat. 2) Masukkan tube atau pipa untuk meniupkan udara pada alat. 3) Tekan tombol start dengan kondisi tube telah masuk ke dalam mulut tanpa ada sedikitpun udara yang keluar melalui mulut. 4) Mengambil udara (inspirasi) kemudian mengeluarkannya (ekspirasi) pada tube yang telah berada di dalam mulut secara perlahan (dilakukan sebanyak tiga kali). 5) Setelah selesai, buka mulut untuk mengambil nafas sejenak untuk kemudian melakukan respirasi ulang ke dalam tube secara paksa (maksimal) (dilakukan sebanyak tiga kali). 5) Baca hasil pengukuran pada display dan kertas print out yang keluar. 2. Personal Dust Sampler (PDS) Personal Dust Sampler (PDS) adalah alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi debu dengan prinsip kerja menghisap udara dengan kecepatan tertentu (1.7 Liter/menit) melalui kertas filter sehingga udara yang melalui pipa akan tersaring oleh filter yang mempunyai berat tertentu. Tipe PDS yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe SKC model 224-PCXR8.

46

Cara penggunaan alat: 1). Pasang filter pada PDS, alat di ON kan dan atur flow meter. 2). Pasangkan holder pada krah baju selama 4 jam. 3) Filter diambil, kemudian ditimbang (berat filter terisi). 4) Jika sudah selesai matikan alat dengan menekan OFF. 3. Timbangan Analitik Timbangan analitik adalah alat yang digunkan untuk menimbang filter kosong dan filter terisi yang akan dan telah dipasang pada PDS. Cara penggunaan alat: 1) Sambungkan alat dengan arus listrik 2) Tekan tombol ON/OFF, kemudian muncul angka 8888, tunggu sampai berubah 0 3) Pasangkan kertas filter ke timbangan 4) Catat berat filter dalam gram 5) Filter diambil, matikan alat dengan menekanan tombol ON/OFF Hasil penimbangan filter dihitung dengan rumus sebagai berikut : Konsentrasi debu = (W2 W1) (Wb Wa) X 106 V

47

Keterangan : W1 : berat filter uji awal (gram) W2 : berat filter uji akhir (gram) Wa : berat filter awal blangko (gram) Wb : berat filter akhir blangko (gram) V (volume udara) = F x t (m3)

F (flow rate) = rata-rata flow rate X

Pa

X 2980 K (m3/menit) Ta

760 mm Hg Keterangan : t : waktu sampling (menit) Pa : tekanan udara (mm hg) Ta : temperatur udara (temperatur rata-rata + 2730 K)

4. Timbangan Badan Timbangan badan adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur berat badan dari tubuh pekerja dengan merk Tanita HA622 500 x 500 cm. Pengukuran ini dilakukan sebanyak tiga kali (3) untuk mengurangi bias dan validasi hasil pengukuran dan setiap melakukan pengukuran terlebih dahulu memastikan jarum timbangan berada pada angka 0. 5. Meteran Meteran adalah sutau alat yang digunakan untuk mengukur tinggi tubuh manusia yang dimulai dari ujung kaki hingga ujung lapisan kepala.

48

Cara penggunaan alat: 1). Pekerja berdiri tegak. 2). Lalu meteran diukur dari ujung kaki hingga ujung lapisan kepala. 6. Lembar Skrining Pekerja Lembar skrining pekerja digunakan untuk menyaring pekerja yang tidak dimasukkan kedalam sampel penelitian (kriteria inklusi). Lembar skrining ini berisi pertanyaan tentang gejala-gejala beberapa penyakit yang berhubungan dengan terjadinya penurunan nilai KVP pekerja. Lembar ini terdiri atas 7 (tujuh) pertanyaan dimana ketika pekerja menjawab tidak pada soal nomor 1 (satu), maka pekerja dapat masuk ke dalam sampel penelitian. 7. Lembar Pengukuran Status Gizi dan KVP Lembar ini berfungsi untuk mencatat rata-rata berat badan dan tinggi badan masing-masing responden untuk kemudian mendapatkan nilai dari status gizi pekerja tersebut. Nilai KVP didapat melalui data medical check up untuk kemudian dipindahkan ke dalam lembar ini untuk mempermudah pengumpulan data. 8. Lembar Observasi Kondisi Masker, Penggunaan Masker dan Aktivitas Merokok Pekerja Lembar observasi ini digunakan untuk memeriksa kondisi masker responden termasuk didalamnya adalah kondisi dari filter atau penyaring

49

debu yang terdapat dalam masker. Penggunaan masker pada area kerja akan diobservasi oleh peneliti dan aktivitas merokok di smoking area dilakukan untuk validasi data hasil wawancara. 9. Kuisioner Kuisioner yang digunakan berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan variabel independen yang merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan KVP yaitu: usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja dan penggunaan masker. a. Usia Variabel usia diukur berdasarkan jawaban responden pada kuisioner bagian A2. Variabel ini ditegakkan berdasarkan tanggal lahir, bulan dan tahun dimana responden dilahirkan. b. Kebiasaan Olahraga Variabel kebiasaan olahraga didapat dari kuisioner bagian C yang bersifat semi terbuka. Variabel ini dikategorikan menjadi 2 (dua) kategori yaitu Tidak Olahraga apabila responden menjawab tidak pada pertanyaan C1. Kemudian untuk kategori Olahraga didapat dari pertanyaan C2. Pertanyaan ini berisi tentang jenis kegiatan olahraga, frekuensi olahraga selama satu minggu, dan lama

50

durasi olahraga. Kemudian pertanyaan berikutnya berisi tentang sejak kapan melakukan kegiatan tersebut secara rutin. c. Kebiasaan Merokok Pada penelitian ini, peneliti mengetahui kebiasaan merokok responden dari jawaban responden yang terdapat pada kuisioner bagian D. Bagian ini terdiri atas 9 (smbilan) pertanyaan untuk kemudian dari jawaban tersebut akan diketegorikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu: tidak merokok, mantan perokok dan merokok. Kebiasaan merokok kategori Tidak Merokok dan Merokok didapat dari jawaban pada pertanyaan D1 dan kemudian dilanjutkan pada pertanyaan D5 bagi yang menjawab Tidak untuk menggali apakah dulu pernah merokok atau tidak. Responden yang menjawab Ya pada pertanyaan D5 akan dikategorikan sebagai Mantan Perokok dan akan diberikan pertanyaan berikutnya untuk menggali kebiasaan merokoknya di masa lalu. d. Masa Kerja Variabel masa kerja didapat dari jawaban atas pertanyaan bagian A yaitu A3 dengan menanyakan bulan dan tahun masuknya responden kedalam perusahaan PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta.

51

e. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Jenis Masker Pada variabel penggunaan masker akan dikategorikan menjadi 2 (dua) kaegori yaitu: Menggunakan dan Tidak Menggunakan. Variabel ini akan didapat pada pertanyaan bagian B untuk tidak semata-mata menanyakan apakah responden menggunakan masker atau tidak, namun juga melihat perihal kondisi dan penggunaan dari masker tersebut. Kategori Tidak Menggunakan dan

Menggunakan masker didapat dari jawaban responden atas pertanyaan B7. 4.7 Cara Pengukuran 1. Pengukuran Konsentrasi Debu Pengukuran konsentrasi debu dilakukan selama 4jam/pekerja dengan lama shift kerja 8 jam. Alat yang digunakan dalam pengukuran konsentrasi debu ini adalah Personal Dust Sampler (PDS) yang digunakan pekerja selama bekerja. Pompa alat ini digantunggakan pada pinggang pekerja dan inlet cyclone penampung debu digantungkan pada bahu pekerja.

52

Gambar 4.1 Pemakaian Personal Dust Sampler

2. Pegukuran KVP Pengukuran KVP menggunakan alat spirometri yang dipandu oleh petugas kesehatan saat pekerja melakukan proses pengukuran kapasitas. Adapun nilai kapasitas yang diambil adalah Slow Vital Capacity (SVC) untuk menilai seberapa mampu paru-paru seseorang mengeluarkan udara (ekspirasi) setelah mengisi rongga paru-paru dengan udara secara maksimal secara normal. Gambar 4.2 Pengukuran KVP

53

4.8 Uji Coba Kuisioner Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer yang salah satunya diperoleh dari pengisian kuisioner melalui wawancara pekerja. Sebelum dilakukan pengumpulan data tersebut, peneliti telah melakukan uji coba kuisioner terlebih dahulu di tempat yang sama terhadap 20 pekerja yang berstatus Pekerja Harian Lepas yang dilakukan pada tanggal 1 Juli 2011. Uji kuisioner ini dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas dari instrumen penelitian. Kuisioner dikatakan valid bila instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Sedangkan instrument dapat dikatakan reliable jika instrumen menghasilkan ukuran yang konsisten walaupun instrument tersebut digunakan untuk mengukur berulang-ulang kali (Azwar (2003) dalam e-learning Universitas Gunadarma). Adapun langkah-langkah uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Validitas Kuisioner Uji validitas kuisioner dinyatakan valid jika r hitung > r tabel (0.468). Adapun pertanyaan yang dimasukkan ke analisis validitas dan reliabilitas adalah pertanyaan tentang kondisi dan penggunaan masker, kebiasaan olahraga dan kebiasaan merokok. Pertanyaan kondisi dan penggunaan masker terdiri dari 9 pertanyaan namun 2 pertanyaan merupakan pertanyaan terbuka. Berdasarkan hasil uji coba kuisioner didapat bahwa semua pertanyaan (7 pertanyaan) valid.

54

Pertanyaan kebiasaan olahraga terdiri dari 3 pertanyaan dengan 1 pertanyaan terbuka. Berdasarkan hasil uji coba didapatlah hasil yang tidak valid pada ke-dua pertanyaan kebiasaan olahraga pada pertanyaan tertutup dan kemudian dilakukan perbaikan redaksi pada pertanyaan yang akan diajukan. Pertanyaan pada bagian ini merupakan pertanyaan lompatan sehingga jika pekerja menjawab Tidak pada pertanyaan no 1 maka pekerja lanjut ke variabel penelitian berikutnya, namun jika pekerja menjawab Ya maka akan dilanjutkan ke pertanyaan C2 dan C3. Untuk pertanyaan kebiasaan merokok terdiri dari 9 pertanyaan dengan 2 pertanyaan lompatan. Untuk pekerja yang menjawab Ya pada D1 maka 3 pertanyaan (D2 dan D4) dinyatakan valid berdasarkan hasil uji coba kuisioner (r tabel > 0.602). Namun untuk pertanyaan D3 tidak valid dan dilakukan perbaikan redaksi pertanyaan yang akan ditanyakan. Selanjutnya, untuk pekerja yang menjawab tidak pada D1 akan lompat ke pertanyaan D5, dan jika menjawab Ya pada pertanyaan D5 maka 4 pertanyaan berikutnya (D6, D7, D8, D9) dinyatakan valid r table > 0.878. b. Reliabilitas Kuisioner dinyatakan reliable bila nilai r alpha Crombah > r tabel (0.7) (Streiner dan Norman, 2000). Berdasarkan dari hasil analisi uji coba kuisioner maka semua pertanyaan reliable kecuali pertanyaan tentang kebisaan olahraga

55

Untuk melihat validitas dan reliabilitas data kuisioner dapat dilihat dari hasil uji kuisioner pada tabel 4.1 berikut: Tabel 4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Penelitaian di PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 No Kondisi dan Penggunaan B1 Masker B2 B3 Nilai Hitung r Alpha Cronbach Nilai Tabel r Keterangan

0.816 0.688 0.820

0.833

0.468 0.468 0.468

Valid Valid Valid

B4 B5 B6 B7 Kebiasaan Olahraga Kebiasaan Merokok C1 C2 D2 D3 D4 D6 D7 D8 D9

0.697 0.806 0.769 0.631 -0.788 -0.788 0.820 0.592 0.820 0.997 0.963 0.997 0.963 0.820 0.819 -6.001

0.468 0.468 0.468 0.468 0.468 0.468 0.602 0.602 0.602 0.878 0.878 0.878 0.878

Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid Valid

56

4.9 Pengolahan Data Adapun untuk tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data primer dari variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut: 1. Menyunting data (data editing), yaitu kuisioner yang telah diisi dilihat kelengkapan jawabannya, sebelum dilakukan proses pemasukan data ke dalam komputer. 2. Mengkode data (data coding), yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode pada jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuisioner. 3. Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu membuat tamplate sesuai dengan format kuisioner yang digunakan 4. Memasukan data (entry data), yaitu dilakukan pemasukan data ke dalam tamplate yang telah dibuat. 5. Membersihkan data (data cleaning), yaitu data yang telah dimasukkan dicek kembali untuk memastikan bahwa data tersebut bersih dari kesalahan, baik kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode. Dengan demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk dianalisis.

4.10 Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif dan analitik. Tekhnik yang digunakan dalam menganalisa data penelitian adalah dengan menggunakan paket program komputer. Adapun analisis data yang digunkan meliputi analisis univariat dan bivariat.

57

1). Analisa Univariat Analisa ini digunakan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dengan cara membuat distribusi frekuensi dan proporsi dari setiap variabel dependen dan independen yang ada pada penelitian ini. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. 2). Analisa Bivariat Analisa bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan variabel kategorik (status gizi, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok dan penggunaan masker) digunakan uji T independen (beda mean dua kelompok) dan uji Anova (untuk beda mean lebih dari dua kelompok). Sebelum masuk ke analisis bivariat data numerik (rasio) terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data untuk menentukan uji yang akan digunakan. Sedangkan analisis bivariat yang digunakan untuk menguji variabel yang berjenis numerik dengan numerik menggunakan uji korelasi (korelasi pearson jika data (rasio) normal dan korelasi spearman jika data (rasio) tidak normal). Kriteria hubungan berdasarkan nilai p value yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai kemaknaan, dengan kriteria jika p value < maka ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

58

BAB V HASIL

5.1 Gambaran Umum PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta 5.1.1 Sejarah dan Lokasi PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta (Sibelco, 2011) PT. Sibelco Lautan minerals ini merupakan anggota dari Sablires et Carrires Runies (SCR)-Sibelco yang yang berpusat di Belgia. SCR-Sibelco didirikan pada tahun 1872 oleh Stanislas Emsens dan merupakan salah satu perusahaan di Flanders saat ini. Oleh karena tingginya angka kebutuhan akan mineral terutama silika maka SCR-Sibelco mengembangkan usahanya hingga ke negara Indonesia. Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT. Sibelco Lautan Minerals yang masuk ke dalam anggota Sibelco Asia yang merupakan hasil kerja sama antara UNIMIN Corporation (USA), SCR-Sibelco NV (Belgium) dan PT. Lautan Luas Tbk (Indonesia). Sampai saat ini PT. Sibelco Lautan Minerals yang berlokasi di kawasan industri Jababeka Cikarang Barat ini memiliki dua (2) daerah penambangan yaitu di Capkala (November, 2003) sebagai tempat penambangan clay dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan silika. Untuk cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat

59

yaitu Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar, serta di Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon. Kemudian pada bulan Juli 2000, PT. Sibelco Lautan Minerals mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality Managemenet System (QMS) dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan ISO 9001:2000 oleh LRQA (Lioyds Regoster Quality Assurance) dari badan sertifikasi Amerika Serikat. Namun hingga saat ini (2011) belum dilakukan sertifikasi untuk Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 5.1.2 Visi dan Misi PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Visi : To build an organization talents choose to work for and grow a company customers want to associate with (Membangun talenta organisasi yang bekerja untuk menumbuhkan perusahaan yang menjadi kebanggaan) Misi : Global Competencies-Regional Resources-Local Excellence (Kompetensi Global-Sumber Daya Regional-Keunggulan Lokal)

60

Nilai yang dianut (core value):

We grow people - We invest in mineral resources - We partner our customers (Kami mengembangkan karyawan - Kami berinvestasi pada sumber daya mineral - Kami bekerjasama dengan pelanggan kami)

5.1.3 Kebijakan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja PT. Sibelco

Lautan Minerals Jakarta (P01 HSE Manual System Procedure Sibelco, 2011)

Kesehatan keselamatan kerja menjadi fokus utama pada perusahaan ini. Slogan Health Safety Environment (HSE) First merupakan bentuk komitmen dari perusahaan ini untuk

menciptakan suatu lingkungan kerja yang aman, nyaman dan sehat bagi seluruh karyawannya. Selain itu juga, lingkungan sekitar area penambangan dan produksi yang dapat terkena dampak buruk dari proses produksi perusahaan tersebut sedapat mungkin akan diminimalisasi agar kesehatan, keselamatan dan lingkungan kerja tersebut akan memberikan keuntungan bagi seluruh karyawan, pemegang saham, pelanggan dan juga bagi masyarakat sekitar.

PT. Sibelco Lautan Minerals percaya bahwa HSE adalah salah satu syarat tercapainya efisiensi dan sukses dari perusahaan. Perusahaan memiliki kesungguhan untuk dapat melaksanakan sepenuhnya kebijakan HSE melalui fungsi dan lintas organisasi

61

agar dapat menekan angka kecelakaan kerja. Kebijakan HSE Sibelco Asia akan dicapai melalui pelaksanaan yang mengikuti prinsip-prinsip dasar HSE sebagai pedoman kerja adalah sebagai berikut :

1. Melaksanakan dan menjalankan manajemen HSE yang efektif sesuai dengan kebijakan dan komitmen dari Sibelco Group. 2. Bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi kualitas udara, air, kebisingan suara dan limbah lainnya dengan cara pemeliharaan yang tepat di seluruh area pertambangan dan seluruh area kerja produksi. 3. Mematuhi peraturan dan undang-undang tentang HSE yang berlaku dimasing-masing bisnis unit. 4. Memadukan tatalaksana sistem HSE ke dalam semua aktivitas kerja di perusahaan. 5. Meningkatkan rasa kesadaran diantara seluruh karyawan, rekan kerja, pemasok, para pelanggan serta masyarakat atau komunitas yang ada di sekitar perusahaan mengenai cara-cara mengatur permasalahan HSE yang ada melalui pelatihan rutin dan komunikasi yang terbuka. 6. Mendorong pertukaran komunikasi yang membangun tentang pelaksanaan aktivitas HSE yang baik di antara perwakilan-

62

perwakilan Sibelco Asia yang lain berdasarkan kepercayaan, keterbukaan dan semangat kerja kelompok. 7. Perbaikan yang berkesinambungan dari sistem manajemen HSE serta semua peraturan dan pedoman kerja perusahaan melalui pemeriksaan dan peninjauan secara berkala serta datadata yang selalu diperbaharui. 8. Memotivasi seluruh karyawan untuk menjadikan HSE sebagai Pedoman Hidup dalam pelaksanaan kebijakan HSE dan juga mengajak secara aktif untuk mengetahui resiko yang mungkin akan terjadi dalam rangka mencegah terjadinya berbagai kecelakaan kerja. 5.1.4 Gambaran Area Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta PT. Sibelco Lautan Minerals memiliki dua (2) area kerja yaitu area Office dan area Plant. Area kerja plant dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu bagian produksi, mekanik, dan quality control. Adapun jumlah karyawan dalam tiap bagiannya pada area plant adalah sebagai berikut: 1). Bagian Produksi terdapat 41 pekerja 2). Bagian Mekanik terdapat 11 pekerja 3). Bagian Quality Control terdapat 9 pekerja

63

Adapun bahan baku yang diolah berasal dari alam yaitu silika dan feldspar. Produk pasir silika dan feldspar diolah menjadi tepung berbagai ukuran (mesh) untuk dijual menjadi bahan baku sesuai kebutuhan pelanggan (customer). Adapun alur pengolahan dari pengolahan ke-dua material ini meliputi : 1. Produk Silika Bahan baku dari pasir silika (pasir kuarsa) diperoleh dari tambang perusahanan yang berlokasi di pulau Belitung untuk diolah menjadi tepung silika ukuran 200 mesh, 270 mesh, 325 mesh, dan 500 mesh. Bahan baku digali, kemudian dicuci (washing) di lokasi penambangan untuk selanjutnya dikirimkan ke PT. Sibelco Lautan Minerals yang berada di Cikarang. Setelah bahan baku sampai di Cikarang barulah dikeringkan (drying) hingga kandungan air menjadi lebih kurang 0.005-0.008 %. Setelah pasir kering barulah pasir akan masuk ke proses penggilingan (milling). Pada proses milling, bahan baku yang telah kering dimasukkan ke dalam mesin yang diberikan batu kali yang sengaja di datangkan dari negara Prancis. Pasir yang dimasukkan kedalam mesin milling yang telah berisi batu kali akan diputar dengan kecepatan yang telah ditentukan agar batu tidak jatuh karena gaya gravitasi. Pada ujung mesin ini dipasang pemisah (sparator) untuk pasir yang sudah halus dan pasir yang belum halus dengan prinsip gaya sentrifugal. Sehingga, pasir yang masih belum halus akan jatuh kebawah dan yang sudah halus akan dihisap ke tempat untuk disiapkan

64

masuk ke dalam kantong (sack) atau dihisap ke tempat untuk dimasukkan ke dalam mobil yang akan dibawa ke pelanggan. Bagan 5.1 Proses Produksi Silika

Sumber: Sibelco, 2011

65

2. Produk Feldspar Feldspar terdiri atas tiga macam jenis yaitu, potasium feldspar, sodim feldspar, kalsium feldspar. Dari ketiga bahan baku ini yang diolah di PT. Sibelco Lautan Minerals hanyalah potasium feldspar dan kalsium feldspar. Bahan baku ini dibeli dari lampung dan ada juga yang dikirim dari negara India dan China melalui grup Sibelco Asia. Bahan baku yang didapat kemudian dikirim ke PT. Sibelco Lautan Mineral dalam berbagai bentuk dan ukuran. Untuk batu dengan ukuran yang masih besar sekitar 16 cm akan dimasukkan ke dalam mesin jaw crush untuk dihaluskan menjadi sekitar 15-20 ml. Setelah dihaluskan kemudian feldspar akan dikeringkan agar menjadi lebih ringan dan kemudian dimasukkan ke dalam mesin cone crush. Setelah masuk ke dalam mesin tersebut, maka feldspar akan keluar menjadi ukuran 3-2 ml untuk kemudian akan di masukkan lagi ke dalam mesin ball mill agar menjadi tepung feldspar. Hampir sama dengan prinsip milling pada produk silika, namun yang membedakannya adalah bahan dalam ball mill. Jika pada ball mill untuk pasir silika menggunakana batu kali, maka untuk feldspar diganti dengan alumina karena pasir feldspar memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan pasir silika. Setelah proses milling selesai, barulah dilakukan pengemasan kedalam karung kertas (sack) untuk selnjutnya dikirimkan ke pelanggan.

66

Bagan 5.2 Proses Produksi Feldspar

Sumber: Sibelco, 2011

67

Adapun debu yang dihasilkan dari kedua proses pembuatan tepung tersebut dimulai dari area stockpile yaitu tempat dimana bahan baku ditimbun atau disimpan hingga area finishing good, tempat dimana tepung-tepung tersebut dimasukkan kedalam kantong atau mobil (bulktruck) untuk didistribusikan. Adapun jenis debu pada area plant merupakan jenis debu deposit particulate matter yang merupakan debu yang hanya sementara di udara dan akan segera mengendap karena daya tarik bumi. Namun karena proses pengolahan pasir silika dan feldspar tersebut menjadikan raw material berukuran lebih kecil menjadi lebih kecil maka debu yang timbul tetap berada di udara dan tidak mudah menguap (suspended particulate matter). Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan area kerja selama periode 2010-2011 oleh pihak laboratorium PT. Sibelco Lautan Minerals maka didapatlah hasil konsentrasi debu total pada area kerja sebagai berikut: Tabel 5.1 Nilai Total Debu berdasarkan Area Plant Sibelco Tahun 2010-1011 No 1. 2. 3. 4. Bulan Juni 2010 Mei 2011 Juni 2010 Agustus 2010 Grinding Mill Lokasi Gudang Nephelin Total Debu 1.34 mg/m3 1.10 mg/m3 2.70 mg/m3 1.47 mg/m3

68

No. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Bulan Oktober 2010 Desember 2010 Juni 2011 Maret 2010 Juli 2010 Mei 2011

Lokasi Milling

Total Debu 1.82 mg/m3 2.08 mg/m3 4.52 mg/m3

Packing

4.01 mg/m3 11.27 mg/m3

Finishing Good

0.86 mg/m3

Sumber: Departemen QC, 2010-2011

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa hasil pengukuran terakhir konsentrasi debu total tertinggi yang melebihi NAB adalah pada area packing (11.27 mg/m3>10 mg/m3). Nilai konsentrasi ini meningkat karena pada bulan Juli 2010

permintaan akan mineral meningkat sehingga dilakukan penambahan bulk truck berkapasitas 30 ton dan corong loading. Bulk Truck yang akan membawa hasil produksi diisi pada area packing (loading) dengan corong yang langsung bersumber pada mesin mill. Hal inilah yang membuat konsentrasi debu pada area packing meningkat tajam. Gambar 5.1 Corong dan Bulktruck Baru pada Proses Packing (Loading)

Sumber: Sibelco, 2010

69

Meskipun masih berada di bawah NAB, konsentrasi debu total pada area grinding mengalami kecenderungan peningkatan dari hasil tiap pengukuran. Pada pengukuran area milling yang terakhir bulan Juni 2011, konsentrasi naik menjadi dua kali lebih tinggi daripada konsentrasi sebelumnya karena pada bulan Maret 2011 jumlah mesin mill yang beroperasi pada area milling ditambah sehingga jumlah mesin saat ini ada tiga (3) buah mesin mill. Gambar 5.2 Pengoperasian Ball Mill 3

Selanjutnya pada area lain, hasil pengukuran belum bisa dinilai terlalu jauh karena pengukuran konsentrasi debu total ini belum dilakukan oleh perusahaan minimal setiap bulan karena berbagai faktor terkait internal perusahaan.

70

5.2 Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil lembar skrining pekerja didapatkan sebanyak 60 pekerja yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Analisis univariat dalam penelitian ini adalah KVP, konsentrasi debu total, usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja, dan penggunaan masker. 5.2.1 Gambaran Pekerja Bagian Plant Berdasarkan Nilai KVP Pada PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Kapasitas Vital Paru (KVP) pekerja bagian plant dapat diketahui melalui pengukuran dengan menggunakan alat spirometri. Berikut ini adalah gambaran pengukuran nilai KVP pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio: Tabel 5.2 Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Rata- Standar Nilai Rata Deviasi Terendah 84.57 9,724 65 Nilai 95%CI Tertinggi 108 82.0587.08

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki nilai rata-

71

rata KVP 84.57% dengan KVP terendah 65%. Selain itu juga, didapat distribusi data dari nilai KVP pekerja bagian plant sebanyak 19 pekerja (31.67%) memiliki nilai KVP dibawah normal (KVP79%). 5.2.2 Gambaran Pekerja bagian Plant Berdasarkan Konsentrasi Debu Total pada PT. Sibelco Lautan Minerals Berikut ini adalah gambaran pengukuran konsentrasi debu total pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio: Tabel 5.3 Gambaran Konsentrasi Debu Total (KDT) Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Rata- Standar Rata Deviasi 2.41 1.28 Nilai Terendah 0.22 Nilai Tertinggi 4.04 95%CI 2.08-2.74

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki nilai rata-rata konsentrasi debu total sebesar 2.41 mg/m3 dengan konsentrasi debu tertinggi 4.04 mg/m3 yang memapar pekerja.

72

5.2.3 Gambaran Pekerja bagian Plant Berdasarkan Karakteristik Pekerja PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 1). Usia Berikut ini adalah gambaran pengukuran usia pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio: Tabel 5.4 Gambaran Usia Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Rata-rata 33.48 SD 6.435 Nilai Terendah 22 Nilai Tertinggi 45 95%CI 31.82-35.15

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki nilai rata-rata usia 33.48 tahun, dengan usia tertua 45 tahun. 2). Kebiasaan Olahraga Pengukuran kebiasaan olahraga pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta dikategorikan menjadi tidak olahraga, olahraga < 3 kali/ minggu, olahraga 3 kali/minggu. Selain itu juga jenis olahraga dan durasi olahraga yang dilakukan juga akan dianalisis.

73

Berikut ini merupakan hasil pengukuran kebiasaan olahraga pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta. Tabel 5.5 Gambarab Kebiasaan Olahraga Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Kebiasaan Olahraga Tidak Olahraga Olahraga < 3 kali/minggu Olahraga 3 kali/minggu Total Jumlah 23 31 6 60 % 38.3 51.7 10 100

Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta masih terdapat 23 pekerja (38.3%) yang tidak memiliki kebiasaan olahraga. 3). Kebiasaan Merokok Kebiasaan merokok pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta dikategorikan menjadi merokok, tidak merokok dan mantan perokok. Selain itu juga jenis rokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi pekerja bagian plant setiap hari juga dianalisis. Berikut ini merupakan hasil pengukuran kebiasaan merokok pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta.

74

Tabel 5.6 Gambaran Kebiasaan Merokok Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Kebiasaan Merokok Merokok Mantan perokok Tidak Merokok Total Jumlah 32 9 19 60 % 53.3 15 31.7 100

Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta terdapat sebanyak 32 pekerja (53.3%) memiliki kebiasaan merokok. 4). Status Gizi Salah satu penilaian status gizi adalah dengan melihat nilai Indeks Masa Tubuh (IMT). Indeks tersebut diukur dengan mendapatkan nilai berat badan dan tinggi badan pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta. Nilai IMT ini dikategorikan menjadi kurus (17,0 18,5), normal (> 18,5-25,0) dan gemuk (>25,0). Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

75

Tabel 5.7 Gambaran Status Gizi Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Status Gizi Kurus (17,0 18,5) Normal (> 18,5-25,0) Gemuk (>25,0) Total Jumlah 5 39 16 60 % 8.3 65 26.7 100

Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta terdapat sebanyak 5 pekerja (8.3%) memiliki status gizi kurus. 5). Masa Kerja Berikut ini adalah gambaran pengukuran masa kerja pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio: Tabel 5.8 Gambaran Masa Kerja Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Rata-rata Standar Deviasi 6.70 3.509 Nilai Nilai 95% CI Terendah Tertinggi 1 13 5.79-7.61

76

Berdasarkan tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki nilai rata-rata masa kerja 6.70 tahun, dengan masa kerja masa kerja tertua 13 tahun. 6). Penggunaan Masker Penggunaan masker pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta dikategorikan menjadi menggunakan masker dan tidak menggunakan masker. Berikut ini adalah gambaran distribusi frekuensi penggunaan masker pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta: Tabel 5.9 Gambaran Penggunaan Masker Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Penggunaan Masker Tidak menggunakan Menggunakan Total Jumlah 22 38 60 % 36.7 63.3 100

Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta ada

77

sebanyak 22 pekerja (36.7%) yang masih bekerja pada area plant dengan tidak menggunakan masker. 5.3 Analisis Bivariat Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dalam pengujian hipotesis penelitian dengan data (rasio) harus memenuhi syarat uji normalitas distribusi data. Uji normalitas distribusi data masing-masing variabel meliputi KVP, konsentrasi debu total, masa kerja dan usia dengan jumlah sampel sebanyak 60 pekerja. Adapun hasil uji tersebut dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut: Tabel 5.10 Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorof-Smirnof Z Variabel KVP Konsentrasi debu total Usia Masa kerja Sig 0.812 0.210 0.703 0.456 Keterangan Normal Normal Normal Normal

Hasil analisis pada tabel 5.10 diketahui bahwa data masing-masing variabel yaitu KVP dengan hasil analisis taraf signifikansi 0.812 > 0.05 dan variabel konsentrasi debu total dengan hasil analisis taraf signifikan 0.451 > 0.05. Selanjutnya variabel masa kerja dengan hasil analisis taraf signifikansi 0.856 > 0.05 serta variabel usia dengan hasil analisis taraf signifikansi 0.703 >

78

0.05. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa penyebaran data distribusi subjek penelitian untuk keempat variabel tersebut dalam keadaan normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji parametrik. 5.3.1 Hubungan antara Konsentrasi Debu Total dengan KVP pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Hubungan antara konsentrasi debu total yang memapar pekerja dengan KVP didapat secara statistik diuji melalui uji korelasi. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.000 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara konsentrasi debu total dengan KVP pekerja. 5.3.2. Hubungan antara Usia dengan KVP pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Hubungan antara usia dengan KVP secara statistik diuji melalui uji korelasi. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.000 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan KVP pekerja. 5.3.3 Hubungan antara Kebiasaan Olahraga dengan KVP pada Pekerja Bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Berikut ini hasil analisis hubungan antara kebiasaan olahraga pekerja dengan KVP:

79

Tabel 5.11 Distribusi Rata-Rata KVP menurut Kebiasaan Olahraga pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Kebiasaan Olahraga Tidak OR OR<3 kali/minggu OR>=3 kali/minggu Rata-Rata 79.91 87.29 88.33 Standar Deviasi 9.742 9.285 4.247 p-value 0.011

Pada tabel 5.11 menunjukkan bahwa hasil rata-rata KVP pada pekerja yang tidak olahraga sebesar 79.91%. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan didapatlah nilai p value sebesar 0.011 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan KVP. 5.3.4 Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan KVP pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Berikut ini hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok pekerja dengan KVP:

80

Tabel 5.12 Distribusi Rata-Rata KVP Menurut Kebiasaan Merokok pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Kebiasaan Merokok Merokok Mantan Perokok Tidak Merokok Rata-Rata 81.69 81.44 90.89 Standar Deviasi 10.066 5.790 7.659 p-value 0.002

Pada tabel 5.12 menunjukkan bahwa hasil rata-rata KVP pada pekerja yang merokok sebesar 81.69%. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan didapatlah nilai p value sebesar 0.002 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan KVP. 5.3.5 Hubungan antara Status Gizi dengan KVP pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Berikut ini hasil analisis hubungan antara status gizi pekerja dengan KVP.

81

Tabel 5.13 Distribusi Rata-Rata KVP Menurut Status Gizi pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Status Gizi Kurus Normal Gemuk Rata-Rata 83.80 84.56 84.81 Standar Deviasi 17.669 8.281 10.710 p-value 0.980

Pada tabel 5.13 menunjukkan bahwa hasil rata-rata KVP pada pekerja yang berstatus gizi kurus sebesar 83.80%. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan didapatlah nilai p value sebesar 0.980 (>0.05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi pekerja dengan KVP. 5.3.6 Hubungan antara Masa Kerja dengan KVP pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Hubungan masa kerja dengan KVP secara statistik diuji melalui uji korelasi. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.000 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan KVP pekerja.

82

5.3.7 Hubungan antara Penggunaan Masker dengan KVP pada Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Berikut ini hasil analisis hubungan antara penggunaan masker dengan KVP: Tabel 5.14 Distribusi Rata-Rata KVP Menurut Penggunaan Masker Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011 Penggunaan masker Tidak Menggunakan Menggunakan RataRata 76.91 89.00 Standar Deviasi 5.887 8.721 p-value 0.000

Berdasarkan tabel 5.14 diketahui rata-rata KVP pada pekerja yang tidak menggunakan masker adalah sebesar 76.91%. berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.000 (p <0.005) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP.

83

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini tidak memperhitungkan karakteristik debu yang memapar pekerja yaitu; ukuran partikel, daya larut, sifat kimiawi, lama debu sampai ke paru dan bentuk debu yang diterima pekerja pada area kerja karena debu pada area kerja plant terdiri atas 2 (dua) debu yang utama dari bahan baku yang telah bercampur sehingga tidak bisa diketahui debu yang akan diukur berasal dari bahan baku yang mana. 2. Diagnosa penentuan kriteria inklusi menggunakan pertanyaan gejala-gejala yang mungkin dialami oleh pekerja untuk masuk ke dalam sampel bukan menggunakan hasil diagnosis dari dokter. 3. Untuk mengukur variabel kebiasaan merokok tidak menggunakan indeks Brinkman karena lama merokok ti dak dihitungsehingga kategori dalam variabel kebiasaan merokok terlalu umum dan kurang spesifik. Indeks Brinkman ini dapat digunakan untuk mengukur derajat (dosis) rokok yang telah dikonsumsi oleh pekerja.

84

6.2 Kapasitas Vital Paru (KVP) Salah satu dampak negatif dari industri pengadaan bahan baku keramik adalah pencemaran udara oleh debu yang berasal dari bahan baku dan berbagai proses yang ada di dalamnya. Debu yang dihasilkan merupakan limbah utama dari pabrik pengadaan bahan baku keramik ini. Debu inilah yang kemudian akan terhirup oleh pekerja dan jika pekerja terpapar dalam jangka panjang dan konsentrasi tinggi maka dapat menyebabkan KVP dibawah normal dan saluran pernafasan (Yunus, 1997). Adapun salah satu cara penegakkan diagnosis dari gangguan tersebut adalah dengan mengetahui nilai KVP pekerja. Berdasarkan hasil pengukuran nilai KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta didapatlah hasil rata-rata sebesar 84.57%. Jika nilai ini dimasukkan ke dalam kriteria gangguan fungsi paru menurut ATS maka nilai rata-rata KVP ini masuk kedalam kategori normal. Namun jika dilihat lagi distribusi data dari KVP pekerja plant ini, maka terdapat 19 (31.67%) pekerja mengalami KVP dibawah normal (KVP79%) dan masuk kedalam kategori restriktif. Gangguan restriktif merupakan gangguan paru yang mengebabkan kekakuan paru sehingga membatasi pengembangan paru-paru. Gangguan ini sangat mempengaruhi kemampuan untuk menghirup udara (inspirasi) seseorang. Para pekerja yang mengalami gangguan ini akan sulit untuk menghirup oksigen dari udara luar dan kondisi ini diperparah jika udara yang telah mampu dihirup mengandung debu yang akan masuk ke dalam paru-paru (Price, 1995)

85

Adapun penelitian ini sejalan dengan penelitian Hisham et all (2010) yang dilakukan pada salah satu industri keramik di negara Mesir. Penelitian ini menggunkan desain studi kasus kontrol dengan 150 pekerja yang terpapar debu industri keramik sebagai kasus dan 80 laki-laki diluar pekerja industri yang tidak terpapar debu tersebut sebagai kontrol. Pada hasil penelitian tersebut didapatlah hasil bahwasannya terdapat perbedaan nilai KVP yang signifikan antara pekerja yang terpapar debu dari industri keramik dengan kontrolnya (Hisham et all, 2010). Selanjutnya pada penelitian Neghab et all (2007) pada industri pengadaan bahan baku keramik di Iran juga terdapat perbedaan nilai KVP yang signifikan antara pekerja yang terpapar debu bahan baku keramik dengan pekerja yang tidak terpapar debu yang ditegakkan melalui interview dan pertanyaan terhadap keluhan gejala gangguan pernafasan. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai KVP yang signifikan antara pekerja yang terpapar debu dengan pekerja yang tidak terpapar debu bahan baku keramik dengan nilai koefisien regresi negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai konsentrasi debu yang memapar pekerja maka nilai KVP akan pekerja akan semakin kecil (Neghab et all, 2007). Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika

86

bebas tadi sehingga terjadi lagi autolisis, keadaan ini terjadi berulang-ulang (Yunus, 1997) Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial. Akibat fibrosis tersebut, alveoli paru menjadi kaku dan bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan KVP akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (_____, 1997). Penyakit paru yang dapat timbul karena debu (pneumokoniosis) selain tergantung pada sifat-sifat debu, juga tergantung pada jenis debu, lama paparan dan kepekaan individual. Menurut definisi dari International Labor Organization (ILO) pnemokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut (ILO,1971). Pneumokoniosis biasanya timbul setelah paparan bertahun-tahun. Apabila konsentrasi debu tinggi dapat terjadi penurunan kapasitas akut yang bermanifestasi setelah paparan 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap nilai KVP pekerja menggunakan spirometri maka didapatlah rentang nilai KVP dari 65% hingga 108%. Adapun nilai terendah ini masih masuk kedalam kategori restriksi dengan nilai KVP normal adalah 80% dan belum sampai obstruksi. Paru-paru yang bekerja tidak maksimal

87

dalam mensuplai oksigen ke seluruh tubuh akan membuat semua proses metabolisme rusak. Salah satu cara efektif meningkatkan kapasitas paru-paru adalah dengan memainkan instrument seperti saksofon, terompe serta peluit. Praktek selama 10-15 menit sehari dapat melatih perkembangan elastisitas paru-paru dan kecepatan keluar masuknya udara dalam paru (Harison, 1999). Selain itu juga, perlu disadari bahwasannya nilai KVP ini sangat bergantung pada beberapa faktor yang akan menjadi penyebab turun atau naiknya nilai kapasitas tersebut antara lain konsentrasi debu ditempat kerja, usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker saat bekerja pada area kerja yang berdebu (Sirait, 2010). 6.3 Hubungan Konsentrasi Debu Total dengan KVP Partikel debu akan berada di udara dalam kurun waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan. Selain dapat membahayakan terhadap kesehatan juga dapat mengganggu daya tembus pandang mata dan dapat mengadakan berbagai reaksi kimia sehingga komposisi debu di udara menjadi pertikel yang sangat rumit karena merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda (Pujiastuti, 2002). Menurut Standar Nasional Indonesia nomor 19-0232 tahun 2005 Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia debu respirabel di tempat kerja sebesar 3 mg/m3. Dari hasil pengukuran konsentrasi debu respirabel yang diukur menggunakan alat Personal Dust

88

Sampler (PDS) didapatkan bahwa ada 35 pekerja (58.3%) yang terpapar debu di bawah NAB dan ada sebanyak 25 pekerja (41.7%) yang terpapar di atas NAB. Adapun jumlah pekerja yang terpapar debu di atas NAB yang memiliki KVP dibawah normal adalah sebanyak 19 pekerja (76%) sedangkan yang memiliki fungsi paru normal (KVP normal) ada sebanyak 6 pekerja (24%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Neghab et all (2007) pada industri pengadaan bahan baku keramik di Iran yang mengukur konsentarsi debu yang memapar pekerja industri keramik menggunakan PDS. Hasil dari data PDS pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi debu terhirup sangat tinggi (26.7 mg/m3) dan sebagian besar debu mengandung kristal silika (Neghab et all, 2007). Adapun konsentrasi debu di atas NAB harus diwaspadai karena debu tersebut berada di udara yang selalu dihirup oleh pekerja saat bernafas ketika berada di lingkungan kerja. Efek debu terhadap paru dapat dijelaskan bahwa debu yang dapat terhirup berukuran 0.1-10 mikron dengan kondisi lingkungan kerja yang menghasilkan debu pada setiap proses kerjanya. Paparan dari debu ini dapat menimbulkan reaksi paru sehingga terbentuk jaringan paru (fibrosisis) dan akhirnya menimbulkan gangguan saat pengembangan paru (Tarlo dkk, 2010). Berdasarkan hasil uji korelasi diperoleh p value = 0.000 < 0.005 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi debu total dengan KVP pekerja pada bagian plant PT. Sibelco Minerals Jakarta tahun 2011. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Khumaidah (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi debu perorangan dengan KVP dibawah normal (p value = 0.000).

89

Pekerja yang berada di lingkungan dengan konsentrasi debu tinggi dalam waktu yang lama, memiliki risiko tinggi terkena obstruksi Menurut Sumamur (1996) bahwa salah satu variabel potensial yang dapat menimbulkan KVP dibawah normal adalah lamanya seseorang terpapar polutan tersebut. Hal ini berarti semakin lama masa kerja seseorang, semakin lama pula waktu paparan terhadap polutan tersebut. Selanjutnya berdasarkan penelitian Anshar, dkk (2005) pada unit usaha batu gamping Yogyakarta didapatlah hubungan yang bermakna antara konsentrasi debu batu gamping dengan kapasitas vital paksa. Kemudian didapatkan tanda negatif (-) pada nilai r yang menunjukkan korelasinya bersifat linier negatif, artinya semakin tinggi konsentrasi debu gamping di tempat kerja akan diikuti penurunan nilai kapasitas vital paksa responden. Hal ini menunjukkan bahwasannya paparan debu yang ada di

lingkungan kerja yang memapar pekerja dengan konsentrasi yang tinggi dan jumlah jam kerja yang semakin panjang akan berdampak pada nilai KVP yang berada dibawah normal. 6.4 Hubungan antara Usia dengan KVP Usia berhubungan dengan proses penuaan atau bertambahnya umur. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru (Suyono, 2001). Kebutuhan zat tenaga terus meningkat sampai akhirnya menurun setelah usia 40 tahun. Berkurangnya kebutuhan tenaga tersebut dikarenakan telah menurunnya kekuatan fisik.

90

Berdasarkan hasil uji korelasi diperoleh p value = 0.000 < 0.005 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara KVP dengan usia pekerja pada bagian plant PT. Sibelco Minerals Jakarta tahun 2011. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Neghab (2007) bahwasaanya terdapat hubungan yang signifikan usia pekerja antara pekerja yang terpapar debu industri pengadaan bahan baku keramik dengan pekerja yang tidak terpapar debu. Hal ini menunjukkan bahwa kedua hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru (Suyono, 2001). Dalam keadaan normal, usia juga mempengaruhi frekuensi pernapasan dan kapasitas paru. Frekuensi pernapasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali permenit. Walaupun pada orang dewasa frekuensi pernapasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan tetapi KVP pada orang dewasa lebih besar dibanding anakanak dan bayi. Pada kondisi tertentu hal tersebut akan berubah misalnya akibat dari suatu penyakit, pernapasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya (Syaifudin, 1997). Selanjutnya pada hasil penelitian ini didapati 17 dari 19 (89.47%) pekerja yang memiliki nilai KVP dibawah normal berumur antara 33 tahun sampai dengan 45 tahun. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yulaekah (2007) pada pekerja industri batu kapur yang menyatakan bahwa semakin bertambah usia maka akan dapat menurunkan KVP seseorang. Selain itu juga menurut Widodo (2007) penurunan KVP dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah umur 40 tahun. Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai maksimum

91

pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut nilai faal paru akan terus menurun sesuai dengan pertambahan usia dan faktor lain yang akan berperan serta dalam penentuan nilai kapasitas tersebut. 6.5 Hubungan antara Kebiasaan Olahraga dengan KVP Pada dasarnya Nilai KVP dan olahraga mempunyai hubungan timbal balik. Gangguan KVP dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan KVP. Latihan fisik yang dilakukan oleh seseorang akan menyebabkan otot terutama otot pernafasan menjadi lebih elastis (Yunus, 1997). Berdasarkan hasil uji statistik pada penelitian ini diperoleh p value 0.011 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan KVP. Frekuensi kebiasaan olahraga tertinggi adalah pada kategori olahraga < 3 kali/minggu yaitu sebanyak 31 pekerja (51.7%). Namun jika kita melihat dari 19 pekerja yang memiliki KVP dibawah normal maka didapati sebanyak 13 pekerja berada pada kategori tidak olahraga dan 6 pekerja berada pada kategori olahraga < 3 kali/minggu. Lebih dari setengah pekerja 13 orang (56.5%) yang masuk dalam kategori tidak olahraga memiliki nilai KVP dibawah normal. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Khumaidah (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) pada pekerja mebel di kabupaten Jepara dengan p value sebesar 0.045. Selain itu juga, hasil penelitian ini sesuai dengan teori Guyton (1997) yang menyatakan

92

bahwa KVP dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang melakukan olahraga dan KVP pada seorang atletis lebih besar daripada orang yang tidak pernah berolahraga. Selanjudnya berdasarkan hasil penelitian ini didapati pekerja yang berada dalam kategori nilai KVP normal (68.33%) memiliki kebiasaan olahraga dengan distribusi kategori tertinggi pada olahraga < 3 kali/minggu dengan jenis olahraga terbanyak adalah bulutagkis (22%). Berdasarkan kategori kebuguran olahraga, olaraga bulutangkis merupakan olahraga dengan tingkat kebugaran sangat baik (Giam, 1996). Kegiatan olahraga ini rata-rata dilakukan sebanyak 120 menit (2 jam) oleh pekerja pabrik PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta. Olahraga secara rutin dapat meningkatkan kesegaran dan ketahanan fisik yang optimal. Pada orang yang melakukan olahraga rutin selama beberapa bulan terjadi perbaikan pengaturan pernapasan. Perbaikan ini terjadi karena menurunnya kadar asam laktat darah yang seimbang dengan pengurangan penggunaan oksigen oleh jaringan tubuh. Olahraga akan mempengaruhi organ sedemikian rupa sehingga kerja organ lebih efisien. Ketika seseorang melakukan olah raga, otot dada bergerak lebih maksimal sehingga paru-paru dan otot dinding dada menjadi lebih elastis dan nilai KVP juga semakin meningkat (Wilmore & Costill, 1994 dalam Madina, 2007). Hal inilah yang kemudian menunjukkan bahwa kebiasaan olahraga dapat mempengaruhi KVP seseorang.

93

6.6 Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan KVP Pada saat merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dan nikotina tabacum dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas. Diantaranya yang membahayakan kesehatan baik bagi perokok maupun orang disekitarnya adalah tar (balangkin), nikotin, karbon monoksida (CO) atau asap rokok, nitrogen sianida, benzopirin, dimetil nitrosamine, N-nitroson nikotin, katekol, fenol dan akrolein. Asap rokok merangsang sekresi lendir sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia, sehingga fungsi pembersihan jalan nafas terhambat. Konsekuensinya menumpuknya sekresi lendir yang menyebabkan batuk-batuk, banyaknya dahak dan sesak nafas (Gold et all, 2005). Berdasarkan hasil uji oneway Anova diperoleh hasil p value = 0.002 < 0.005 yang berarti ada hubungan yanag signifikan antara kebiasaan merokok dengan KVP. Frekuensi kebiasaan merokok tertinggi adalah pada kategori merokok yaitu sebanyak 32 pekerja (53.3%). Namun jika kita melihat dari 19 pekerja yang memiliki nilai KVP dibawah normal maka didapati sebanyak 14 pekerja berada pada kategori merokok , 3 pekerja pada kategori mantan perokok dan 2 pekerja berada pada kategori tidak merokok. Kemudian jika melihat frekuensi pekerja dengan kebiasaan merokok maka didapati sebanyak 14 pekerja (43.73%) memiliki nilai KVP dibawah normal. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mengkidi (2006) pada pekerja pembuatan semen di Pangkep Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor pendukung untuk terjadinya penurunan nilai KVP sampai dibawah normal (p value = 0.036). Selain itu juga, penelitian Cowie dan kawan-kawan

94

(2001) terhadap pekerja fiber industri keramik di eropa menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok pada kebiasaan merokok, dengan kata lain ada hubungan yang signifikan antara penurunan nilai KVP sampai dibawah normal dengan kebiasaan merokok. Adapun kedua penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa merokok lebih merendahkan KVP dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja lainnya. Selanjutnya perlu diketahui bahwa penurunan fungsi paru pada orang dewasa normal bukan perokok sekitar 28,7 mL pertahun, 38,4 mL pertahun untuk bekas perokok, dan sekitar 41,7 mL pertahun untuk perokok aktif (Suyono, 2001). Berdasarkan hasil wawancara didapatlah bahwa dari 14 pekerja yang memiliki nilai KVP dibawah normal dengan kebiasaan merokok memiliki rata-rata konsumsi rokok sebanyak 9 batang setiap hari. Sebanyak 9 pekerja dari 14 pekerja tersebut telah merokok lebih dari 1 tahun dan jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi yaitu filter (8 pekerja) kemudian diikuti oleh jenis campuran (4 pekerja) dan kretek (2 pekerja). Pada masa jangka waktu panjang, kebiasaan merokok dapat menyebabkan sel mukosa pada saluran nafas besar membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak. Pada saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul penurunan KVP akibat dari perubahan fungsi paru-paru dan segala macam perubahan klinisnya.

95

Lingkungan yang terpapar oleh debu bahan baku keramik serta di tambah dengan kebiasaan merokok dapat memberikan dampak kumulatif terhadap timbulnya gangguan kesehatan paru karena asap rokok dapat menghilangkan bulu-bulu silia di saluran pernafasan yang berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk ke hidung sehingga mekanisme pengeluaran debu oleh paru dapat terganggu. Kebiasaan merokok perlu mendapat perhatian khusus karena pajanan debu lingkungan kerja dan merokok dapat memberikan efek kumulatif terhadap nilai KVP dibawah normal (Faidawati, 2003). 6.7 Hubungan antara Status Gizi dengan KVP Penimbunan lemak dapat terjadi pada bagian tubuh manapun dari manusia. Penumpukan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernapasan dan sesak napas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Semua otot termasuk otot diafragma dan otot-otot pernafasan lainnya, mengalami atrofi struktural dan fungsional yang akhirnya menyebabkan penurunan tekanan inspirasi dan ekspirasi serta kapasitas vital paru (Harison, 1999). Gangguan pernapasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernapasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk. Berdasarkan hasil uji oneway Anova diperoleh hasil p value = 0.980 > 0.005 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan KVP. Frekuensi status gizi tertinggi adalah pada kategori normal yaitu sebanyak 39 pekerja (65%). Namun jika kita melihat dari 19 pekerja yang memiliki nilai KVP dibawah

96

normal maka didapati sebanyak 10 pekerja berada pada kategori normal, 6 pekerja pada kategori gemuk dan 3 pekerja berada pada kategori kurus. Hasil penelitian ini hampir serupa dengan penelitian Halvani (2008) yang dilakukan pada industri keramik di Yadz (Iran). Pada penelitian ini variabel penelitian bukanlah status gizi namun berupa tinggi badan dan berat badan pekerja. Hasil penelitian Halvani menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara gangguan fungsi paru (nilai KVP dibawah normal) dengan berat badan dan tinggi badan baik pada kasus maupun kontrol. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori bahwa kekurangan makanan yang terus menerus akan menyebabkan susunan fisiologis terganggu dan dapat mengganggu kapasitas vital seseorang (Depkes RI, 1990). Status gizi seseorang dapat mempengaruhi KVP. Orang kurus panjang biasanya kapasitasnya lebih dari orang gemuk pendek (Supariasa, 2001). Pada dasarnya 80% otot perut terletak didekat diafragma sehingga jika terjadi penumpukan lemak pada perut, maka diafragma akan tertekan dan menyebabkan perkembangan paru-paru menjadi kurang maksimal. Jika kita lihat frekuensi pekerja pada status gizi kurus maka didapati sebanyak 5 pekerja (60%) yang memiliki nilai KVP dibawah normal sedangkan pada kategori gemuk hanya sebanyak 6 pekerja (37.5%) memiliki nilai KVP dibawah normal. Hal inilah yang mungkin menunjukkan bahwa status gizi tidak mempengaruhi KVP karyawan pada penelitian ini. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Khumaidah

97

(2009) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan nilai KVP dibawah normal (p value = 0.667). Nilai kapasitas vital paru yang menurun disebabkan oleh adanya penumpukan lemak disekitar perut merupakan faktor ekstra pulmoner yang artinya faktor lain diluar dari penyebab yang bersumber tidak langsung terhadap paru-paru (Harison, 1999). Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan bisa saja terjadi karena penimbunan lemak pada tubuh tidak hanya terjadi pada bagian otot perut. Penimbunan lemak pada pekerja dalam hal ini pekerja plant bisa saja terjadi di bagian tubuh lain seperti paha dan lengan. Oleh karena itulah nilai KVP didapatai tidak berhubungan dengan status gizi dalam hal ini pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011. 6.8 Hubungan antara Masa Kerja dengan KVP Berdasarkan hasil uji korelasi diperoleh p value 0.000 < 0.005 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara KVP dengan masa kerja pekerja pada bagian plant PT. Sibelco Minerals Jakarta tahun 2011. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Budiono (2007) pada pekerja pengecat mobil yang menyatakan bahwa ada hubungan masa kerja dengan resiko terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal). Selain itu juga penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahrami dan Mahjub (2003) di bagian barat Republik Islam Iran dengan membandingkan masa kerja pada empat proses kerja yang menghasilkan debu silika dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang

98

signifikan antara masa kerja yang dikelompokkan atas 3 kategori yaitu 0-10 tahun, 11-20 tahun, dan 21 tahun dengan gangguan fungsi paru pada masing-masing kelompok. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Morgan dan Parkes (dalam Faridawati, 1995) yang menyatakan seseorang yang terpapar oleh debu dalam waktu lama akan berisiko untuk mengalami gangguan fungsi paru. Adapun rata-rata masa kerja pekerja plant pada penelitian ini yang memiliki nilai KVP dibawah normal adalah 10.58 tahun dengan masa kerja terendah adalah 9 tahun dan masa kerja tertinggi adalah 13 tahun. Selain itu juga menurut Sumamur (1996) menyatakan bahwa masa kerja menentukan lama paparan seseorang terhadap faktor risiko. Semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai risiko yang besar terkena penyakit dari pekerjaan tersebut. Hal ini menujukkan bahwa semakin lama seseorang bekerja pada area yang berdebu maka akan semakin lama pula waktu terjadi paparan terhadap debu tersebut. Aditama (1993) menyatakan bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (> 10 tahun) memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit obstruksi paru menahun. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi saluran pernafasan pada pekerja industri yang berdebu ketika sampai pada masa kerja 5 tahun. 6.9 Hubungan antara Penggunaan Masker dengan KVP Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang

99

kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat menggunakan masker pada saat bekerja pada area yang berdebu akan meminimalkan jumlah paparan partikel debu yang dapat terhirup. Selain jumlah paparan, ukuran partikel yang kemungkinan lolos dari masker menjadi kecil (Budiono, 2007). Berdasarkan hasil uji T-test independent diperoleh p value = 0.000 < 0.005 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP. Frekuensi penggunaan masker tertinggi terdapat pada kategori menggunakan masker yaitu sebanyak 38 pekerja (63.3%). Namun jika kita melihat dari 19 pekerja yang memiliki nilai KVP dibawah normal maka didapati sebanyak 16 pekerja berada pada kategori tidak menggunakan masker dan 3 pekerja pada kategori menggunakan masker. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Widodo (2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pemakaian APD dengan KVP tenaga kerja pembuatan genteng. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Satria (2005) bahwa ada pengaruh antara pemakaian alat pelindung pernafasan dengan kapasitas fungsi paru petani sayuran pengguna pestisida semprot. Dari hasil penelitian yang telah banyak dilakukan, kebiasaan tidak memakai alat pelindung pernapasan akan menjadi salah satu penyebab penurunan KVP. Sebenarnya alat pelindung diri ini tidaklah secara sempurna dapat melindungi tubuh pekerja tetapi akan dapat mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi. Sebanyak 16 pekerja dari 22 (72.72%) pekerja pada penelitian ini yang tidak

100

menggunakan masker memiliki nilai KVP dibawah normal. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 16 pekerja yang memiliki nilai KVP dibawah normal dengan tidak menggunakan masker pada saat memasuki area kerja didapatlah hasil bahwa pekerja mengeluh terhadap kondisi masker. Adapun 2 pekerja diantarannya menyatakan masker yang diberikan perusahaan kurang menarik , 2 pekerja menyatakan masker tersebut terlalu besar dan sebanyak 12 pekerja menjawab lainnya (tidak ada keluhan dan kurang ideal). Namun berdasarkan hasil observasi terhadap kondisi masker yang digunakan pekerja didapatkan bahwasannya kondisi masker seluruh pekerja dalam keadaan baik dan belum terdapat kerusakan yang dapat menyebabkan debu dapat masuk ke saluran nafas. Selain itu juga, masker yang digunakan pekerja merupakan masker yang dapat disesuaikan dengan ukuran kepala pekerja sehingga masker tepat melekat pada hidung dan mulut pekerja. Selanjutnya kondisi filter masker pekerja bermacam-macam dengan tingkat ketebalan debu yang bebeda-beda antar pekerja. Tingkat ketebalan debu ini akan membuat pekerja kesulitan untuk bernafas menggunakan masker. Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udara di tempat kerjanya banyak mengandung debu merupakan upaya untuk mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernafasan. Dengan menggunakan masker diharapkan pekerja terlindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara dengan konsentrasi debu yang tinggi. Kebiasaan menggunakan masker yang baik dan jenis masker yang tepat merupakan cara aman bagi pekerja yang berada dilingkungaan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan (Khumaidah, 2009).

101

Adapun jenis masker yang dipersyaratkan Occupational Safety and Health Administration (OSHA) 3151-2003 adalah harus sesuai dengan angka Assigned Protection Factor (APF) yang dibutuhkan berdasarkan hasil kajian lingkungan kerja serta pemilihan jenis model dan ukuran haruslah diperhatikan. Saat ini PT. Sibelco Lautan Minerals telah menggunakan respirator (Reusable respirator 7500 series) yang telah memenuhi standar kriteria yang ditetapkan dengan melihat aspek keselamatan dan kenyamanan bagi pekerjanya. Namun upaya perlindungan ini tidak akan memberikan perlindungan yang efektif jika pekerja tidak menggunakan masker tersebut ketika bekerja pada area kerja yang berdebu.

102

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Gambaran KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 memliki rata-rata 84.57% dan KVP terendah adalah 65% dengan sebanyak 19 pekerja (31.67%) memiliki nilai KVP dibawah normal (KVP 79%) 2. Gambaran lingkungan kerja yaitu konsentrasi debu total yang memapar pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 memliki rata-rata 2.41 mg/m3 dengan konsentrasi tertinggi 4.04 mg/m3. 3. Gambaran karakteristik pekerja adalah sebagai berikut: a. Umur pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 memiliki nilai rata-rata usia 33.48 tahun dengan usia usia tertua 45 tahun. b. Kebiasaan olahraga pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 sebanyak 23 pekerja (38.8%) dengan kebiasaan tidak melakukan olahraga sebanyak 31 pekerja (51.7%).

103

c.

Kebiasaan merokok pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 menunjukkan ada sebanyak 32 pekerja (53.3%) dengan kebiasaan merokok.

d.

Status gizi pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 ada sebanyak 5 pekerja (8.3%) dengan status gizi kurus.

e.

Nilai rata-rata masa kerja pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 adalah 6.70 tahun dengan masa kerja tertua 13 tahun.

f.

Penggunaan masker pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011 terdapat 22 pekerja (36.7%) yang tidak menggunakan masker.

4. Ada hubungan yang signifikan antara lingkungan kerja yaitu variabel konsentrasi debu total dengan variabel KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011. 5. Ada hubungan yang signifikan antara karakteristik pekerja yaitu variabel usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja dan penggunaan masker dengan variabel KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011.

104

7.2 Saran 7.3.1 Bagi PT. Sibelco Lautan Minerals 1. Melakukan upaya promosi kesehatan dengan memberikan

penyuluhan mengenai informasi tentang dampak akibat paparan debu bagi pekerja untuk meminimalkan risiko terjadinya penurunan nilai KVP hingga dibawah normal pada pekerja. 2. Untuk mengurangi konsentrasi debu di udara perlu dlakukannya pengendalian secara engineering dengan menggunakan sistem local exhaust dan ventilasi pada area-area yang memiliki konsentrasi debu yang tinggi seperti pada area milling dan warehouse. 3. Memberikan reward dan punishment terhadap penggunaan masker pada area kerja dengan cara mengecek pekerja ke area plant secara rutin (safety patrol) oleh pengawas departemen HSE. 4. Larangan merokok pada area kerja dan tidak memberikan ruangan untuk merokok kepada pekerja. 5. Selektif dalam memilih pekerja dimana diutamakan yang tidak merokok untuk ditempatkan pada area plant. 6. Melakukan periksaan kesehatan secara periodik dan teratur untuk memantau kondisi kesehatan fisik para pekerja industri dan melihat tren ataupun kecenderungan penyakit yang terjadi tiap tahunnya.

105

7. Melakukan kegiatan senam bersama setiap hari jumat bagi pekerja untuk meningkatkan KVP. 8. Membuat program pensiun pada umur pekerja pada area plant diatas 40 tahun mengingat nilai KVP akan cepat turun ketika usia telah mencapai angka tersebut. 7.3.2 Bagi Pekerja Bagi Pekerja yang dengan nilai KVP normal 1. Untuk mengurangi paparan debu terhirup di industri pengadaan bahan baku keramik, pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja jika tugas mereka telah selesai. 2. Melakukan olaraga secara rutin untuk menjaga kebugaran tubuh danmempertahankan kemampuan compliance paru. 3. Selaku melakukan upaya deteksi dini terhadap paru-paru karena pekerja selalu terpapar debu industri tempat kerja Bagi Pekerja yang Mengalami Restriksi (KVP79%) 1. Untuk mengurangi paparan debu terhirup di industri pengadaan bahan baku keramik, pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja jika tugas mereka telah selesai.

106

2. Tingkatkan kebiasaan melakukan olahraga terutama olah raga senam dan olahraga renang untuk meningkatkan kapasitas paru. 3. Menjauhi olahraga diluar ruangan saat polusi udara sedang tinggi. 4. Meninggalkan kebiasaan merokok karena merokok akan memperberat kondisi paru-paru pekerja yang terpapar debu. 5. Satu cara efektif meningkatkan kapasitas paru-paru adalah dengan memainkan instrumen seperti saksofon, terompet, peluit, bahkan recorder karena udara yang tertahan diparu selama lebih kurang 2 sampai 3 menit akan melatih perkembangan paru-paru. 7.3.3 Bagi Penelitian Selanjtnya 1. Hendaknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai paparan debu pada karyawan perusahaan pengadaan bahan baku keramik ini dengan menggunakan variabel yang lain misalnya dari faktor lingkungan kerja, paparan debu yang diterima pekerja selama di perjalanan dan rumah.

107

2. Penting untuk mengetahui jenis dari debu yang ada dilingkungan kerja agar dalam mengukur kondisi lingkungan kerja dapat dilakukan secara optimal.

108

Daftar Pustaka Aditama, Tjandra Y. 1993. Situasi Beberapa Penyakit Paru di Masyarakat. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 84 Anshar, AS. 2005. Hubungan Paparan Debu gamping Dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Pada Pekerja Baatu Gamping di UD. Usaha Maju. Yogyakarta: Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Azwar, Syaifuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bahrim AR; Mahjub H. 2003. Comparative Study of Lung Funtion in Iranian Factory Worker Exposed to Sillica Dust. Journal La Revue de Sant de la Mditerrane orientale, Vol. 9, No 3. Budiono, Irwan. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengecatan Mobil. Semarang: Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro. Carlisle, D.L. et al. 2000. Apoptosis and P53 induction in human lung fibroblasts exposed to chromium(VI): effect of ascorbate and tocopherol. Oxford Journal Online Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisologi. Jakarta: EGC Cowie HA, et all. 2001. An epidemiological Study of The Respiratory Health of Worker in the European Refactory Ceramic Fibre Industry. Journal Occup Environ Med 2001;58:800810. Dahlan, M Sopiyudin. 2004. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: PT. Arkans Depkes RI. 2003. Modul Pelatihan Bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta Depnaker RI. 1997. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja N0 SE 01/MEN/1997 NAB Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja. Jakarta Faridawati, Ria. 1995. Penyakit paru obstruktif kronik dan asma akibat kerja. Jakarta: Journal of the Indonesia Association of Pulmonologist Ganong, WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan Petrus Andrianto. Jakarta: Penerbit EGC Giam, CK and The, KC. 1996. Ilmu Kedokteran Olahraga. Jakarta: Binarupa Aksara.

109

Gold, Diane; Xiaobin Wang; Wypij, David; et al. 2005. Effect of cigarette smoking on lung function in adolescent boys and girls. NEJM. Vol. 335. Guyton AC and Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: Penerbit EGC Halvani GH, et all. 2008. Evaluation and Comparison of Respiratory Symptoms and Lung Capacities in Tile and ceramic Factory Worker of Yadz. Journal Arh Hig Rada Toksikol 2008;59:197-204. Hisham, MA. 2010. Respiratory Hazards Among Egyptian Ceramics Worker. Journal Journal Industrial Health 2 (6). Ikhsan, Mukhtar. Penatalaksanaan Penyakit Paru Akibat Kerja, Kumpulan Makalah Seminar K3 RS Persahabatan tahun 2001 dan 2002. Jakarta: Universitas Indonesia International Labour Organization. 2005. Deadly Dust. China: China Labour Bulletine ______________________________. 2003. Occupational Diseases in Asian Countries. Moscow: World Social Security Forum ____________________________. Pneumoconiosis. Busharest. 1971. 4th International Conference on

Kementrian Perdagangan dan Industri. 2009. Roadmap Industri Keramik. Jakarta: Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian. Khumaidah, 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Mebel PT> Kota Jati Furnindo. Jepara: Thesis Universitas Diponegoro. Koesyanto, Herry dan Eram Tunggul Pawenang. 2005. Panduan Praktikum Laboratorium Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Semarang: UPT UNNES Press Madina, DS. 2007. Nilai Kapasitas Paru dan Hubungannya Dengan Karakteristik Fisik pada Atlet Berbagai Cabang Olahraga. Bandung: Thesis Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

110

Maryani, Reni. 2005. Hubungan Sikap Kerja dengan Produktivitas kerja Pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Majalengka. Skripsi : Universitas Muhammadiyah Malang. Marzuki. 2002. Metodologi Riset. Yogyakarta : PT Prasetia Widya Pratama Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Semarang: Tesis Universitas Diponegoro Mila, Siti Muslikatul. 2006. Hubungan Antara Masa Kerja, Pemakaian Alat Pelindung Diri Pernafasan (Masker) pada Tenaga Kerja Bagian Pengamplasan dengan Kapasitas Fungsi Paru PT. Accent House Pecangaan Jepara. Semarang: Skripsi Universitas Negeri Semarang Neghab, M. 2007. Respiratory Toxicity of Raw materials Used in Ceramic Production. Journal Industrial Health 2009, 47, 64-69. Notoatmodjo, Supariasa. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pope, C. 2003. Respiratory Health and PM 10 Pollution. AM.Rev. Respiartory Desease. New York. Price, Sylvia Anderson and Wilson, Lorraine McCarty. 1995. Konsep Klinik Prrroses-Proses Penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Jakarta: Penerbit EGC. Pudjiastuti, Wiwiek. 2003. Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI
Ramaddan. 2008. Gambaran Perilaku Pemakaian Masker dan Pengukuran Kadar Debu pada Pekerja Bagian Bongkar Muat Karet Kering Instalasi Belawan PTPN III Tahun 2008. Medan: Skripsi Universitas Sumatra Utara

Sahab, Syukri. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Jakarta: Bina Sumber Daya Manusia Satria, LH. 2005. Pengaruh Pemakaian Alat Pelindung Pernafasan Terhadap kapasitas Fungsi Paru Petani Sayuran Pengguna Pestisida Semprot di Desa Duren. Semarang. Skripsi Universitas Negeri Semarang. Santoso, Singgih. 2000. Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sibelco. 2011. P01 HSE Manual System Procedure. Cikarang: HSE Departement

111

Sirait, Mardut. 2010. Hubungan Karakteristik Pekerja dengan Faal Paru di Kilang Padi Kecamatan Porsea Tahun 2010. Medan: Jurnal Universitas Sumatra Utara. Siregar, Adelina. 2004. Hubungan Pemajanan Debu Terhadap Kelainan Fungsi Paru tenaga kerja di Industri Keramik Kabupaten Tanggerang, Banten. Depok: Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia. Standar Nasional Indonesia. 2005. Nilai Ambang Batas (NAB) Zat Kimia di Udara Tempat Keja. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Sridhar, Mangalan. 1999. Nutrition and health lung. In Clinical Nutritional and Metabollism Group Symposium on Nutrition and Lung Health. The Summer Meeting of the Nutrition Society. University of Surrey. Proceeding of the Nutrition Society Sumamur, PK. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Gunung Agung _____________. 1998. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV.Haji Masagung. Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2001. Penentuan Status Gizi. Jakarta: Penerbit EGC Suyono, Joko. 2001. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: EGC. Syaifudin, BAC. 1997. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Penerbit EGC Tambayong, Jan. 2001. Anatomi Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Rineka Cipta. Tarlo, SM; Paul, G; Benoit, N. 2010. Occupational Environmental Lung Disease. UK: Wiley-Blackwell Tim penyusun KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Widodo, TA. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pembuatan Genteng. Semarang: Skripsi Universitas Negeri Semarang. World Health Organisation. 2007. The Global Occupational Health Network. Geneva: Gohnet Newsletter

112

Yulaekah, Siti. 2007.Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. : Semarang Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro. Yunus, Faisal. 1997. Dampak Debu Industri Pada Paru Pekerja Pengendaliannya. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 51. dan

You might also like