You are on page 1of 6

Membicarakan sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di Negara ini, khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Hukum pidana menurut van hammel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar peraturan tersebut. Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu hukum hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan pada wilayah tertentu. Sejarah hukum punya pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata hukum. Hukum eropa continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan perpaduan antara hukum Germania dan hukum yang berasala dari hukum Romawi Romana Germana. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu. Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode yakni: 1. Masa kerajaan nusantara Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat. Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara. Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam islam mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu. 2. Masa penjajahan

Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan. Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia). Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni KUHP bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun 1867. Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun 1873. 3. Masa KUHP 1915 - Sekarang Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan. KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis. Desakan pembentukan segera KUHP nasional Sebagai sebuah Negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di Negara penjajah tersebut. Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum continental straffrecht) merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh penjajah. Pada tahun 1965 LPHN (lembaga pembinaan hukum nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP baru. Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas social menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di Negara jajahan untukmenciptakan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsmenurunkan betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang berlaku di Negara jajahan harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum pidana ( .a

SEJARAH HUKUM PIDANA


24 Feb Sejarah hukum tertulis dimulai dengan waktu kedatangan orang Belanda yang pertama di Indonesia. Sejak dahulu maka hukum yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia sebanyak mungkin disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Asas konkordansi itu senantiasa dipegang teguh selama orang belanda itu menguasai perundang-undangan di Indonesia (pasal 131 ayat (2) sub a. IS). Jadi sejak permulaan, hukum pidana tertulis yang berlaku bagi orang Belanda dikonkordasi dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda. Hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang pertama-tama disini adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC. Hukum kapal terdiri atas dua bagian : Hukum Belanda yang kuno ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Bagian terbesar hukum kapal tersebut adalah hukum disiplin. Hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai VOC itu terdiri dari : (E, Utrecht : 1965). 1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statutan van Batavia) 2. Hukum Belanda yang kuno 3. Asas-asas hukum Romawi

Sebagaimana diketahui VOC dibubarkan tahun 1978. Pemerintahan atas daerah bekas VOC dilakukan oleh suatu Raad Van Aziatische Bezittingen en establissementen, disingkat dengan Aziatiche Raad, yang mulai dengan pekerjaannya pada tanggal 1 Januari 1800. Pada tanggal 27 September 1804 Pemerintah Bataafsche Republik mengesahkan suatu charter voor de aziatische bezittingen van de Bataafsche Republik. Menurut Supomo dan Jokosutono bahwa : Rancangan dari charter ini adalah buah pikiran dari panitia yang dilangsungkan pada tanggal 11 November 1802. Di dalam panitia ini terdapatlah dua aliran-aliran yang tidak suka pada perubahan dan aliran yang pada perubahan. Akibat dari pertemuan di antara dua aliran ini ialah suatu kerukunan. Perubahan penting terhadap hukum pidana, khususnya mengenai sistem hukuman, diadakan setelah Daendeles diangkat menjadi gubernur jenderal dan tiba di Indonesia pada tahun 1808 . daendeles dikirim ke Indonesia dengan tugas antara lain mengreorganisasi pemerintah dalam arti sempit, justisi, dan polisi Pada tahun 1810 atas perintah Daendeles dibuat suatu peraturan mengenai hukum dan peradilan. Bagi golongan Eropa berlaku statute betawi baru, sedangkan bagi golongan pribumi berlaku hukum adatnya. Tetapi, gubernur jenderal berhak mengubah sistem hukuman menurut hukum adat bilamana : a. Hukuman dianggap tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan b. Hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara Menurut plakat tanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman : a. Dibakar hidup terikat pada suatu tiang b. Dibunuh dengan menggunakan sebilah keris c. Dicap bakar d. Dipukul e. Dipukul dengan rantai f. Ditahan ke dalam penjara g. Bekerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum Akhirnya hukum pidana dapat menyimpang dari hukum pidana adat dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Apabila hukum pidana adat dapat dijalankan terhadap orang yang melakukan suatu delik, sedangkan berdasarkan keyakinan hukum positif harus diberi sanksi hukuman 2. Apabila hukuman yang dijatuhkan menurut hukum pidana adat terlalu ringan atau terlalu berat, sehingga tidak sesuai dengan keadilan 3. Apabila alat-alat pembuktian menuntut hukum adat kurang cukup, sehingga tidak dapat meyakinkan hakim akan salah tidaknya perbuatan terdakwa. Sebagian ahli hukum berpendapat, bahwa alasannya bukan karena hukum adat itu tidak cukup baik untuk orang Eropa, akan tetapi sejak zaman VOC telah terkandung niat dalam politik hukum orang Belanda: apakah tidak lebih baik apabila orang pribumi pun ditundukkan juga pada hukum Belanda. Pada zaman pendudukan tentara Inggris, yang menjadi penguasa terpenting ialah Sir Thomas Stanford Raffles. Pentingnya orang ini, ialah minatnya juga terhadap adat istiadat dan bahasa rakyat Indonesia. Raffles berhasil menulis buku paling pertama yang bermutu tentang kebudayaan Indonesia, yaitu khusus kebudayaan Jawa. Pemerintahan Inggris mengadakan perubahan atas hukum positif. Perubahan yang besar adalah atas hukum acara dan susunan pengadilan. Hukum materiel bagi orang Eropa tetap hukum statuta. Berdasarkan konvensi London tertanggal 13 Agustus 1914, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda, kepada Komisaris jenderal diberi suatu instruksi tanggal 3 Januari 1815. Instruksi ini menjadi Undang-Undang Dasar pemerintah Kolonial pada waktu itu dan terkenal dengan nama : Regerings Reglement van 1815 (RR 1815). Tindakan pertama dari para komisaris jenderal, setibanya di Indonesia terhadap hukum di Indonesia, ialah mempertahankan untuk sementara waktu, semau peraturanperaturan bekas pemerintah Inggris, hal ini untuk menghindarkan Rechts Vactum. Berdasarkan LNHB Tahun 1828 No. 16 diadakan suatu sistem kerja paksa sebagai sistem hukuman. Sistem kerja paksa dengan sendirinya hanya dilakukan bagi para terhukum bangsa pribumi yang terbagi dalam dua golongan : 1. Yang dihukum kerja rantai 2. Yang dihukum kerja paksa Sejak kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1815, maka pada waktu itu tetap ada keinginan untuk mengadakan suatu kodifikasi. Tugas membuat kodifikasi tersebut baru dapat diselesaikan pada tahun 1848 oleh Scholten Van Oud Haarlem dan Wichers. Tetapi hukum pidana tidak termasuk kodifikasi tahun 1848. Untuk hukum pidana tetap berlaku keadaan pada waktu sebelum tahun 1848. Selanjutnya pada tahun 1848 dibuat peraturan hukum pidana, yang terkenal dengan nama Interimaire Strafbapalingen, LNBH 1848 No. 6. Sampai tahun 1867 dan tahun 1873 mengenai hukum pidana tertulis berlaku :

Primer : Hukum yang terdapat dalam statute Betawi Sekunder : Hukum Belanda kuno Lebih sekunder : Asas-asas Hukum Romawi Lebih sekunder lagi : Apa yang disebut oleh Kolonial Verslag tahun 1849 Idema dalam bukunya membagi zaman tahun 1848 sampai dengan tahun 1934 dalam : 1848 1873 Dari zaman tata hukum pidana yang sangat beraneka warna ke zaman tata hukum pidana yang dualistis 1873 1918 Dari zaman tata hukum pidana yang dualistis ke zaman tata hukum pidana yang terunifikasi 1918 1934 Ke arah manakah? (Utrech : 1965)

You might also like