You are on page 1of 38

Tugas kelompok

TEKA TEKI SILANG BIOKIMIA

OLEH : A.RESKIANTIWARDANI.S 60500110001 ABDUL RAHMAN ARIEF

JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2011

A. Pengertian Shalat Sebelum terlalu jauh membahas mengenai shalat, maka kita akan membahas mengenai pengertian dari sholat itu sendiri. Secara etimologi sholat berasal dari kata ash-sholaah yang berarti doa, sedangkan menurut terminologi sholat adalah suatu amal ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat- syarat dan rukun-rukun yang yang telah di tentukan. Karena itu sholat merupakan kewajiban yang pertama harus dilakukan oleh seorang hamba, dan sekaligus merupakan ibadah yang paling utama. Bahkan menurut Nabi Muhammad saw. bahwa kelak di akhirat, amal seseorang yang akan dimintai pertanggungjawaban untuk pertama kali adalah sholat. Sabda Beliau yang sangat terkenal ialah:


[13]

Pertama kalinya hal yang akan diperhitungkan dari seorang hamba di hari kiamat nanti ialah sholat. Kalau sholat seseorang itu baik maka akan baik pula seluruh perbuatannya dan apabila sholat seseorang tersebut jelek maka menjadi jeleklah seluhruh amalnya

B. Hukum Sholat Melaksanakan sholat adalah wajib 'aini bagi setiap orang yang sudah mukallaf (terbebani kewajiban syari'ah), baligh (telah

dewasa/dengan ciri telah bermimpi), dan 'aqil (berakal).

Allah berfirman: "Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka hanya

beribadah/menyembah kepada Allah sahaja, mengikhlaskan keta'atan pada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan hanif (lurus), agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, demikian itulah agama yang lurus". (Surat Al-Bayyinah:5).
C. Kedudukan Sholat Sholat merupakan salah satu rukun Islam setelah syahadatain. Dan amal yang paling utama setelah syahadatain. Barangsiapa menolak kewajibannya karena bodoh maka dia harus dipahamkan tentang wajibnya sholat tersebut, barangsiapa tidak meyakini tentang wajibnya sholat (menentang) maka dia telah kafir. Barangsiapa yang

meninggalkan sholat karena menggampang-gampangkan atau malas, maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah. Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Pemisah di antara kita dan mereka (orang kafir) adalah sholat. Barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir."

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).


Sholat dalam Islam mempunyai kedudukan yang tidak disamai oleh ibadah-ibadah lainnya. Ia merupakan tiangnya agama ini. Yang tentunya tidaklah akan berdiri tegak kecuali dengan adanya tiang tersebut. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan:

"Pondasi (segala) urusan adalah Islam, dan tiangnya (Islam) adalah sholat, sedangkan yang meninggikan martabatnya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani)
Sholat merupakan kewajiban mutlak yang tidak pernah berhenti kewajiban melaksanakannya sekalipun dalam keadaan takut.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala menunjukkan:

"Peliharalah segala sholat(mu), dan (peliharalah) sholat wustha. Jika kamu dalam keadaan takut (akan bahaya), maka sholatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (sholatlah) sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui." (QS. AL-baqarah : 238 239).

Sholat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan Allah dan nantinya akan menjadi amalan pertama yang dihisab di antara amalanamalan manusia serta merupakan akhir wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya:

"Sholat,

sholat

dan

budak-budak

yang

kamu

miliki."

(HR. Ibnu Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)


Sholat yang nantinya akan menjadi amalan terakhir yang hilang dari agama ini. Jika sholat telah hilang, berarti hilanglah agama secara keseluruhan. Untuk itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

mengingatkan dengan sabdanya:

"Tali-tali (penguat) Islam sungguh akan musnah seikat demi segera berpegang dengan ikatan berikutnya (yang lain). Ikatan yang pertama kali binasa adalah hukum, dan yang terakhir kalinya adalah sholat." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani).
D.Perspektif Fiqh Mengenai Sholat Beberapa pelaksanaan waktu yang lalu dan bahkan sampai sekarang,

sholat dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa

arab dan bahasa Indonesia masih menyisakan persoalan yang cukup memprihatinkan. Di satu sisi, Majlis ulama telah memberikan vonis keharaman terhadap praktek sholat semacam itu, baik MUI ditingkat kabupaten Malang, maupun sekarang telah dikuatkan oleh MUI pusat. Beberapa tokoh muslim terkemuka juga telah ikut memberikan vonis

haram, seperti yang dikemukakan oleh ketua PB Nahdlatul ulama Prof. Dr. H. Said Agil Siradj, dan juga oleh ahli tafsir Prof. Dr. H. Quraisy Syihab, M.A., yang menyatakan bahwa sholat dengan menggunakan dua bahasa seperti yang dilakukan oleh Yusman Roy menyalahi fiqh. LDII juga mengamini apa yang diputuskan oleh MUI dan pendapat dari Quraisy Syihab. Bahkan MUI juga menganggap bahwa sholat dengan dua bahasa tersebut meresahakan dan memicu kontroversi. Akan

tetapi di sisi lain tokoh terkemuka di negeri ini malah berpendapat lain, seperti KH Abd. Rahman Wahid, yang mengatakan bahwa sholat

dengan menggunakan dua bahasa secara fiqh merupakan masalah khilafiyah; ada yang melarang dan ada yang memperbolehkan atau dengan bahasa lain tidak menyalahi fiqh. Sementara itu dengan alasan bahwa pelaksanaan sholat dengaan menggunakan dua bahasa sebagaimana dilakukan oleh Yusman Roy, pengasuh Pondok I`tikaf Jamaah ngaji Lelaku Lawang Malang itu dapat meresahkan masyarakat, maka Polri akhirnya menahan yang

bersangkutan dan menjadikannya sebagai tersangka.[4] Kenyataan ini sesungguhnya mengundang pertanyaan yang cukup besar bagi

kehidupan keberagamaan di Indonesia tercinta ini. Sebab ditinjau dari aspek-aspek apapun, asalkan dengan didasari oleh keikhlasan, kiranya tidak akan ada yang diusik atau dengan bahasa lain tidak akan menimbulkan keresahan. Bagaimana mungkin orang melaksanakan

ibadah, sebagai manifestasi ketaatannya kepada sang Pencipta dan sebagai wahana untuk taqarrub kepada ilahi, dianggap bersalah dan berakhir dengan penahanan. Sementara kemaksiatan dengan berbagai

variasinya setiap saat leluasa dan berlalu lalang dapan mata, terlewatkan begitu saja dan tidak mendapatkan perhatian yang seimbang. Lepas dari persoalan riil yang telah terjadi di malang Jawa Timur, namun persoalan sholat dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa non Arab atau mungkin malah dapat diperluas menjadi pelaksanaan sholat dengan menggunakan bahasa `ajam atau bahasa selain selain Arab, ini sangat urgen untuk dicari solusinya, dengan harapan agar pada saat yang akan datang tidak lagi terjadi penghakiman terhadap orang yang melaksanakan ibadah kepada Tuhannya. Sesungguhnya persoalan ini merupakan persoalan fiqh, dan

masuk ke dalam bagian masalah yang diperselisihkan oleh para ulama atau masalah khilafiyah, sebagaimana masalah khilafiyah lainnya. Hal ini mengingat bahwa sholat itu sendiri sesungguhnya merupakan doa dan permohonan kepada sang Khaliq. Secara terminology fuqaha,

sholat diartikan sebagai sejumlah af`al (perbuatan yang berupa gerakan-gerakan tertentu, seperti ruku, sujud, julus, berdiri, dan lainnya) dan aqwal (bacaan-bacaan tertentu, seperti taujih, qiraat, takbir, tasbih, tahmid, istighfar, tahiyyat/tasyahhud, dan lainnya) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Masalah seperti ini dalam perspektif fiqh merupakan masalah yang wajar mengingat para mujtahid yang menggali hukum dan kemudian menentukan hukum tersebut berbeda, baik berbeda tempat dan kondisi sosio kulturalnya,

maupun

berbeda

dalam

menggunakan

metodologi

penggaliannya.

Masalah khilafiyah yang sampai sekarang terus terpelihara antara lain tentang melaksanakan doa qunut pada sholat subuh, jumlah rakaat pada saat sholat tarawih, dan lannya. Oleh karena itu sepatutnya masalah ini juga diberlakukan sebagaimana masalah khilafiyah yang lainnya. Dan agar persoalan ini menjadi jelas dilakukan dan dapat dijadikan pegangan umat, maka perlu mendalam dan akurat tentang hukum

kajian

yang

melaksanakan sholat dengan dua bahasa, yakni bahasa arab dan bahasa non Arab, dan bahkan hukum melaksanakan sholat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. E. Bahasa Arab Bahasa Islam Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Dalilnya: Pertama, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw. untuk seluruh manusia (QS al-Araf [7]: 158) dan al-Quran merupakan seruan bagi seluruh manusia (QS alIsra [17]: 89; ar-Rum [30]: 58). Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan bahasa Arab dan menjadikannya berbahasa Arab. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran sebagai bacaan dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya (QS Yusuf [12]: 2).

Juga firman-Nya:

dengan bahasa Arab yang jelas (QS asy-Syuara [26]: 195). Dengan demikian, bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa Islam karena bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa al-Quran. Karena itu, jika bukan bahasa Arab maka tidak disebut dengan alQuran (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustr, hlm. 37).

Kedua, membaca ungkapan (bacaan) al-Quran merupakan ibadah,


bahkan shalat tidak sah tanpa membaca al-Quran. Allah SWT berfirman:

Karena itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari al-Quran itu (QS
al-Muzammil [73]: 20). Nabi saw. juga bersabda:

Tidak ada shalat bagi orang yang (di setiap rakaat) tidak membaca surat al-Fatihah (HR al-Bukhari).
Perintah membaca al-Quran dalam kedua nas di atas, artinya adalah membaca kalimat-kalimat dan hal ini tidak bisa diartikan dengan

membaca terjemahannya atau tafsirnya. Ini merupakan dalil yang tegas tentang ketidakbolehan membaca surat al-Fatihah di dalam shalat dengan selain bahasa Arab, sekalipun ia belum bisamengucapkan dengan baik ungkapanbahasa Arab. Dengan demikian, bahasa Arab merupakan perkara esensial dalam Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-

Dustr, hlm. 37-38). Bahkan keberadaannya tidak dapat dipisahkan


dari Islam (Abdullah, Dirst f al-Fikri al-Islmiy, hlm. 95). Oleh karena itu, sejak awal abad ke-7 Hijriah, ketika kekuatan bahasa Arab dipisahkan dari kekuatan Islam, maka Dunia Islam pun mengalami kemunduran. Sebab, Islam dan bahasa Arab itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pasalnya, ijtihad yang

kedudukannya amat penting bagi umat dalam menghantarkan pada sebuah kemajuan tidak mungkin dilaksanakan tanpa terpenuhinya salah satu syarat mendasarnya, yaitu bahasa Arab (An-Nabhani, Mafhm

Hizb atTahrr, hlm. 3-4).


F. Hukum Sholat Dengan Dua Bahasa Pandangan fiqh terhadap segala sesuatu sesungguhnya dapat menghasilkan lima pandangan hukum sekaligus. Lima pandangan hukum tersebut meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dalam pandangan fiqah, illat atau alasan dan pertimbangan hukum sangat menentukan status hukum. Karena itu dalam pandangan fiqh, sesuatu hal dapat saja mempunyai status hukum yang berbeda, manakala pertimbangan dan alasan yang digunakan menetapkan dan menentukan hukum tersebut berbeda. Dalam masalah ini, sesuatu tersebut dapat

dianggap sebagai hal yang harus dan wajib, tetapi sekaligus dalam pandangan dan sisi yang lain dapat dianggap hanya sebagai sunnah saja, bahkan pada sisi yang lain pula dapat dianggap hanya sebagai hal yang mubah. Dan kalau pada sisi pandangan yang ternyata ditemukan illat yang lain pula, maka sesuatu itu dapat dikatakan sebagai hal yang mahruh, dan bahkan dapat berstatus haram. Itulah pandangan fiqh yang memang memungkinkan untuk berbeda, asalkan dilandasi dengan argumentasi yang dapat

dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu kalau ada klaim secara umum bahwa sesuatu itu menyalahi fiqh tanpa melihat pertimbangan dan alasan hukumnya, tentu tidak dapat dibenarkan. Secara umum fiqh memandang bahwa pelaksanaan shalat

merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Kewajiban tersebut tidak dapat diwakilkan ataupun diganti dengan perbuatan lain. Setiap individu muslim harus melaksanakannya sebanyak lima kali/waktu dalam setiap harinya; baik ia dalam kondisi sehat maupun sakit, asalkan pikirannya tetap sehat. Pelaksanaan shalat sebagaimana yang dimaksud tersebut harus mengikuti kepada petunjuk Nabi, sepanjang petunjuk tersebut ada dan diyakini kebenarannya. Dalam salah sebuah hadis, Nabi Muhammad saw. pernah mengatakan:


Shalatlah kalian sebagaimana kalian semua melihat aku melakukan shalat.

Perintah mengikuti

sebagaimana yang tertuang di dalam hadis

tersebut hanyalah berkisar sesuatu yang dapat dilihat, karena kata Nabi

sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat, tidak

mungkin diperuntukkan bagi sesuatu yang tidak dapat dilihat. Jadi mengenai jumlah rakaat, waktu pelaksanaannya, gerakan-gerakan dalam shalat, dan lain-lain hal yang dapat disaksikan itulah yang memang harus dicontoh dari Nabi saw.. Sementara itu mengenai bacaan dalam shalat; apakah membacara surat al-Ikhlas, al-Thin, al-Insyirah, al`Alaq, ataupun surat-surat lain, secara spesifik tidak diperintahkan oleh Nabi, termasuk juga kiranya doa-doa yang dibaca di dalam shalat. Demikian juga apakah bacaan-bacaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa `ajam (selain bahasa Arab) Nabi tidak menentukannya. Memang pada saat itu tidak atau belum dibayangkan mengenai bahasa selain bahasa Arab, karena itu Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan seluruh umat Islam

melaksanakannya dengan memakai bahasa Arab. Namun setelah waktu berlalu bersamaan dengan berkembangnya Islam ke wilayah-wilayah yang jauh dari Arab, ada sebagian warga muslim yang kesulitan menggunakan bahasa Arab untuk komunikasi, dan sekaligus memahami agama Islam dengan menggunakan bahasa aslinya, yaikni Arab, tentu hal ini harus disikapi secara arif, agar Islam dapat dipahami dan dirasakan rahmatnya bagi seluruh umat manusia. Muncullah kemudian persoalan mengenai berdoa dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab, dan bahkan melaksanakan shalat dengan menggunakan bahasa lokal non Arab. Tentu persoalannya bukan

sekedar apakah Tuhan mendengar permohonan yang dilakukan dengan bahasa selain bahasa Arab saja, tetapi lebih dari itu ada persoalan lain yang dipandang lebih krusial, yakni tentang posisi bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw dan lebih-lebih sebagai bahasa Tuhan (al-Quran). Memang hampir seluruh ulama tidak ada yang mengajarkan shalat dengan memakai bahasa selain bahasa Arab, kecuali di kalangan madzhab Hanafi yang memperbolehkan melaksanakan shalat dengan memakai bahasa non Arab atau bahasa Turki. Sementara di kalangan madzhab lainnya, terutama madzhab Syafi`i, pelaksanaan shalat harus memakai bahasa Arab, baik ia paham terhadap bacaan yang dibaca dalam shalat maupun tidak, karena hal itu dianggap sebagai hal yang

tauqifi datang dari Nabi saw. dan harus dilakukan sebagaimana adanya.
Namun sesungguhnya apabila dikaji secara cermat, sebenarnya shalat itu meskipun termasuk ibadah yang khusus, akan tetapi hakekatnya adalah merupakan dengan al-Khaliq. sarana komunikasi antara hamba

Menurut bahasa, shalat itu berarti doa atau

permohonan, karena memang di dalam shalat itu bacaan-bacaannya merupakan doa. Doa adalah permohonan yang sampaikan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Jadi shalat akan sangat berarti manakala sang hamba yang memohon tersebut dapat memahami, meresapi, dan menghayati apa yang dimohonkannya. Memang Nabi Muhammad saw. tidak pernah mengajarkan shalat dengan memakai bahasa non Arab, karena memang Nabi saw. berada di Arab dan masyarakat dan umatnya

pun (waktu itu) hanya terdiri dari orang-orang Arab. Namun Nabi saw. juga tidak pernah mengeluarkan larangan untuk melaksanakan shalat dengan bahasa selain bahasa Arab. Nabi saw. hanya menyuruh

umatnya untuk melakukan shalat sebagaimana pelaksanaan shalat yang dilakukan oleh Nabi saw. dan dapat dilihat oleh umatnya. Disamping itu memang terdapat hadis yang menyatakan:

Sesungguhnya shalat ini, di dalamnya tidak patut dimasuki perkataan manusia, sebab yang patut di dalam shalat itu

hanyalah tasbih, takbir dan bacaan al-Quran.


Hadis ini menunjukkan bahwa perkataan-perkataan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan shalat, seperti menjawab pertanyaan orang yang tidak shalat, memberitahu orang lain tentang hal-hal di luar shalat, dan lainnya tidak diperbolehkan, dan kalau sampai dilakukan pada saat melaksanakan shalat, maka hukumnya tidak sah alias shalatnya tidak sah atau batal. Memang ada sementara orang yang beranggapan bahwa hadis ini menjelaskan tidak bolehnya melaksanakan shalat dengan menggunakan dua bahasa, apalagi hanya dengan satu bahasa non Arab saja. Anggapan ini terlalu berlebihan dan tidak tepat, karena kalau shalat itu

dilaksanakan dengan menggunakan dua bahasa, yaitu dengan bahasa Arab dan bahasa local, maka bahasa yang non Arab digunakan hanyalah merupakan terjemahan dan bukan perkataan lain yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Terjemahan tersebut masih terkait

dengan bacaan shalat dan itu tidak termasuk ke dalam maksud hadis di atas. Kalaupun shalat itu dilaksanakan dengan hanya menggunakan satu bahasa non Arab, itupun hanya terjemahan juga yang nyatanya masih terkait dengan shalat dan bukan merupakan perkataan yang tidak berhubungan dengan shalat sebagaimana dimaksud hadis tersebut. Jadi menggunakan dasar hadis tersebut untuk melarang melaksanakan shalat dengan menggunakan dua bahasa dan atau dengan menggunakan bahasa non Arab adalah tidak tepat. Alasan yang sering mengemuka dalam rangka melarang

pelaksanaan shalat dengan dua bahasa ataupun dengan hanya satu bahasa terjemahan saja ialah sabda Nabi Muhammad saw.


Salatlah kalian sebagaimana aku melaksanakannya
sebagimana tersebut di atas. Alasan inipun kurang tepat dengan alasan bahwa yang diperintahkan oleh Nabi saw. adalah mengikuti apa yang dilihat ketika Nabi saw. melaksanakan shalat, dan bukan apa yang didengar, sebagimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa pada saat yang lalu pernah ada larangan khutbah jumat dengan

menggunakan

dua

bahasa,

yakni

bahasa

Arab

dan

bahasa

terjemahannya, dengan alasan karena khutbah merupakan rangkaian ibadah jumat yang pelaksanaannya juga menggunakan bahasa Arab sejak zaman Nabi hingga para sahabat dan seterusnya. Sang khatib pun juga diharuskan suci dari hadas, suci pakaian, serta harus menutup auratnya. Namun karena alasan untuk memahamkan pesan khutbah sang khatib kepada mustamiin, maka kemudian dibolehkan melakukan khutbah jumat dengan menggunakan dua bahasa atau bahkan hanya dengan menggunakan bahasa selain Arab asalkan bacaan al-Qurannya dibacara dengan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab. Tentu

perbandingan ini bukan dimaksudkan untuk menyamakan antara shalat dengan khutbah jumat, akan tetapi hanya sebagai gambaran bahwa meskipun ajaran Nabi saw. mengenai khuthbah selalu menggunakan bahasa Arab, akan tetapi dengan pertimbangan untuk memahamkan mustamiin, akhirnya dibolehkan dilakukan dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan non Arab. Sama halnya dengan pelaksanaan shalat dengan menggunakan dua bahasa, meskipun Nabi saw. dan para sahabatnya selalu

melaksanakannya dengan menggunakan bahasa Arab, akan tetapi dengan tujuan agar bacaan shalat tersebut dapat dipahami dan diresapi oleh yang melaksanakan shalat, maka ketika melaksanakan shalat

dengan menggunakan dua bahasa dalam melaksanakan shalat juga tidak dilarang. Tentu ini khususnya diperuntukkan bagi mereka yang tidak dapat memahami bahasa Arab, sebagaimana mayoritas bangsa

Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa melaksanakan shalat yang lima waktu itu disamping memang merupakan perintah dari Allah swt.

sesungguhnya juga merupakan sarana komunikasi yang sangat efektif bagi seorang hamba kepada Tuhannya, manakala ia dapat

melaksanakannya dengan benar. Tujuannya jelas untuk mendekat diri kepada al-Khaliq, berdzikir atau selalu ingat kepada-Nya dan yang tidak kalah penting adalah agar dapat menghindarkan diri dari

perbuatan yang keji dan mungkar, sebagaimana disebutkan dalam alQuran. Karena itu bacaan-bacaan shalat yang diajarkan oleh Nabi saw. terdiri atas beberapa doa yang sangat bagus untuk memberihkan diri seorang hamba dari berbagai hal negatif dan sekaligus mendapatkan berbagai karunia dan ampunan dari Tuahnnya. Namun sekali lagi bahwa tujuan yang sangat mulia tersebut tidak akan bisa dicapai kalau apa yang dibaca dan diucapkan tersebut tidak dipahami, dimengerti, dan dihayati. Tidak mungkin akan ada atsar di dalam diri seorang hamba yang melaksanakan shalat tetapi dirinya tidak mengetahui apa yang sesungguhnya di dialogkan dengan dan dimohonkan kepada Tuhannya. Tidak mungkin akan ada perubahan pada diri seorang hamba yang melakukan shalat, tetapi ia sendiri tidak diucapkannya. mengerti apa yang menjadi orang

Tidak mungkin ada komitmen untuk

sebagaimana yang diucapkannya di dalam shalat, yang antara lain menyatakan bahwa shalatnya, ibadahnya, matiu, dan hidupnya hanya semata untuk Allah swt., kalau dia tidak mengetahui yang

diucapkannya. Juga tidak akan mungkin terjadi perubahan kearah yang positif, kalau dalam pelaksanaan shalatnya dia sendiri tidak menyadari

bahwa dirinya

telah memohon kepada Tuhannya untuk menjadi

seorang hamba yang diampuni, dan dijauhkan dari perbuatan keji dan mungkar serta perbuatan tidak terpuji lainnya. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Artinya meskipun ia melaksanakan seribu kali

shalat, yang secara formal memang telah menggugurkan kewajibannya sebagai seorang muslim, tetapi sama sekali tidak ada perubahan yang mengarah kepada hal yang positif, bahkan mungkin bisa jadi ia tetap melakukan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar setiap saatnya. Persoalan memahami bacaan dalam shalat, meskipun tidak ada kewajiban, namun dalam rangka untuk mewujudkan tujuan shalat dan agar orang yang melaksanakan shalat tersebut benar-benar dapat merasakan hubungan komunikasi dengan Tuhannya maka sangatlah dianjurkan untuk mengetahui bacaan yang diucapkan dalam shalat. Walaupun tentang ayat: 34 :

Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian medekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hinmgga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan.(Q.Surat al-Nisa: 43)
tersebut tidak secara khusus membicaraakan masalah ini, namun secara umum bahwa memahami bacaan yang diucapkan di dalam shalat itu lebih utama dan lebih baik ketimbang tidak memahaminya.

Ayat ini memang diturunkan dalam rangkaian pengharaman khamr secara bertahap, dan kejadiannya pun berkenaan dengan peristiwa ketika Abdur Rahman bin `Auf mengundang makan kepada Ali dan kawan-kawannya yang di dalam jamuan makan tersebut dihidangkan khamr sehingga terganggulah pikiran mereka, dan ketika waktu shalat tiba kemudian mereka meminta Ali untuk memimpin shalat bagi mereka dan ketika melaksanakan shalat tersebut Ali membaca surat al-Kafirun dan bacaannya terbalik-balik menjadi: Katakanlah (wahai Muhammadsaw.) wahai orang-orang kafir saya tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami akan menyembah apa yang kalian sembah Berdasarkan perintiwa inilah kemudian Allah swt. menurunkan ayat 43 surat al-Nisa tersebut. Namun secara umum sebagaimana disampaikan di atas bahwa ayat ini juga menganjurkan agar orang yang melaksanakan shalat itu untuk memahmi yang diucapkannya. Karena itu secara umum pula dapat disimpulkan bahwa memahi bacaan yang diucapkan di dalam shalat akan lebih baik dan akan lebih membuat seseorang khusuk daripada sama sekali tidak memahami bacaan yang diucapkannya. Bacaan yang

diucapkan dan tidak dipahami apa maksudnya tidak akan membuat seseorang konsentrasi dan fokus terhadap apa yang sedang

dilakukannya. Sebaliknya ucapan yang dipahami dan bahkan diresapi

dan dihayati, akan membuat seseorang terfokus dan konsentrasi terhadap apa yang sedang dilakukannya. Seseorang yang melaksankaan shalat dengan tidak memahami dan meresapi apa yang dibaca dan dipohonkan kepada Tuhan, tentu tidak akan ada atsar yang membekas dalam dirinya. Lebih jauh dari itu shalat yang dilaksanakannya tidak akan memberikan dampak yang

diharapkan, yakni dapat mencegah dan menjauhkan diri dari perbuatan yang keji dan mungkar. Sedangkan shalat yang dilaksanakan dengan memahami konsentrasi bacaan dan yang harapan diucapkan kepada dan Allah, meresapi tentu serta penuh

akan

membantu

pencapaian tujuan yang diharapkan tersebut. Bagi orang yang dapat menguasai bahasa Arab, tentu tidak akan ada persoalan kalau harus melaksanakan shalat dengan menggunakan bahasa Arab, tetapi bagi orang yang tidak dapat menguasai bahasa Arab, sebagaimana kebanyakan masyarakat muslim Indonesia, tentu ketika harus melaksanakan shalat dengan bahasa Arab akan

mendapatkan kesulitan pemahaman dan peresapan serta konsentrasi yang menyebabkan seseorang tersebut kesulitan atau terjauhkan dari dampak positif yang diharapkan. Karena itu penerjemahan bacaan dengan menggunakan bahasa lokal atau bahasa Indonesia adalah

merupakan salah satu jalan untuk memahami dan meresapi apa yang diucapkan sehingga akan dapat membantu konsentrasi di dalam munajatnya kepada Allah. Dan dengan demikian akan lebih mendorong untuk terwujudnya atsar atau dampak positif yang diharapkan.

Tentu saja dalam masalah ini juga harus diingat bahwa dalam hal bacaan al-Quran, seluruh ulama sepakat untuk tetap harus dibaca dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, karena memang al-Quran itu merupakan kalam Allah swt. yang tidak dapat dipahami oleh manusia secara menyeluruh dan pasti. Boleh jadi suatu ayat dipahami oleh seseorang dengan pengertian dan pemahaman tertentu, tetapi pada saat yang sama akan dipahami orang lain dengan pengertian dan pemahaman yang lain pula. Karena itu untuk menghindari hal-hal yang justru akan merugikan perkembangan Islam secara keseluruhan, maka untuk al-Quran itu harus dibaca dalam bahasa aslinya. Meskipun demikian bukan berarti tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lokal atau bahasa Indonesia. Penerjemahan terhadap alQuran di sini dimaksudkan juga untuk memahami dan meresapi bacaan al-Quran yang diucapkan. Dan ini tidak menyalahi pendapat umum para ulama, yang mengharuskan bacaan al-Quran dibaca dalam bahasa

Arab. Sebab pada kenyataannya al-Quran masih tetap dibaca dalam bahasa Arab, tetapi kemudian ditambah dengan pemahamannya dengan menggunakan bahasa lokal, yaitu bahasa Indonesia. Jalan keluar dan kesimpulan sebagaimana disebutkan di atas tersebut juga didasarkan kepada alasan-alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan, antara lain teori ushul fiqh yang menyatakan:


Masyaqqat atau kesulitan itu menarik/mendatangkan kemudahan.

Bahwa kesulitan itu harus dihilangkan dalam rangka menjalankan perintah dan sekaligus mencapai tujuan yang diinginkan. Ketika

seseorang kesulitan memahami bahasa Arab, yang setiap saat selalu diucapkannya dalam shalat, padahal tujuan shalat salah satunya ialah dalam rangka menjauhan diri dari perbuatan keji dan mungkar, maka sudah barang tentu dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan tersebut, seseorang harus mencari jalan agar ia paham dan meresapi apa yang diucapkannya dalam shalat tersebut. Salah satu jalan yang diupayakan tentu belajar memahmi bahasa Arab yang diucapkannya, tetapi kalau ini juga menjadi sulit baginya, maka jalan yang dilakukannya ialah dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal. Bahwa Islam itu merupakan agama yang hanif dan cenderung kepada kemaslahatan keseluruhan umat manusia. Karena itu perintahperintah yang ada di dalamnya dimaksudkan agar dapat dilaksanakan oleh umatnya dan bukan dalam rangka menyengsarakan. Artinya tidak ada maksud sedikitpun dari syariat ini untuk mempersulit umatnya dalam rangka menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan. Salah satu bukti dalam masalah ini antara lain dalam menjalankan shalat misalnya ada dispensasi yang diberikan kepada umat Islam yang kesulitan berdiri untuk melaksanakannya dengan duduk. Padahal

berdiri merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan oleh orang yang menjalankan shalat.

Perlu ditambahkan di sini bahwa pada dasarnya dalam segala hal, Allah itu menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan, sebagaimana yang terungkap dalam ayat:

)185 : (
Allah itu menghendaku kemudiahan dan tidak menghendaki kesulitan (Q. Surat al-Baqarah: 185)
Karena itu secara umum pula bahwa dalam masalah ini kalau seorang hamba dalam pengabdiannya melalui shalat yang memang merupakan kewajibannya, dan dalam menjalankan perintah tersebut menemui kesulitan dalam penggunaan bahasa, maka kiranya Allah swt. juga tidak akan mempersulitnya untuk tetap memaksakan bahasa yang tidak dapat dikuasainya tersebut. Dalam masalah ini tentu seorang hamba tersebut diijinkan untuk menggunakan bahasa yang dikuasainya untuk berkomunikasi dan bermunajat kepada Tuannya melalui shalat tersebut. Mengenai hal ini, yakni pada prinsipnya Allah swt.

menghendaki kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan terhadap hambanya dalam semua hal, juga telah diungkapkan oleh para ulama, karena memang telah ditunjuki oleh ayat sebagaimana di sebutkan di atas. Berdasarkan kenyataan ini sekali lagi bahwa teori tersebut memberikan peluang bagi orang-orang yang mendapatkan kesulitan dalam memahami bahasa Arab, dapat mengguankan bahasa yang dikuasai untuk mendapatkan kemudahan dan menghilangkan kesutitan

tersebut. Karena semua itu dilakukan dalam rangka mencapai tujuan, yakni ingat, dzikir, munajat, dan komunikasi dengan Allah swt. dalam wujud pelaksanaan shalat. Dan muara dari semua itu ialah

terjauhkannya seseorang dari perbuatan keji dan mungkar yang memang harus dijauhi. Salah satu teori ushul fiqh yang juga dapat dijadikan sanadaran dalam masalah ini ialah:

Segala sesuatu itu sesuai dengan maksud dan tujuannya.


Semua urusan, termasuk di dalamnya masalah ibadah itu harus diarahkan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Hal ini sangat penting untuk diungkapkan, karena memang tujuan dari pelaksanaan syari`at Islam itu tidak semata-mata pembebanan kepada seorang hamba, tetapi lebih dari itu mempunyai tujuan agar hamba yang melaksanakan perintah tersebut menjadi orang-orang pilihan dan teladan.

Keterpilihan dan keteladana tersebut dapat diperoleh oleh mereka yang dalam melaksanakan ibadah tidak semata-mata melaksanakan kewajiban dan perintah agama, tetapi juga dapat mengaplikasikan apa yang terkandung di dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Dalam masalah shalat, keteladanan dan keterpilihan tersebut bukan didasarkan kepada pelaksnaannya semata, tetapi yang lebih penting adalah justru dapat mengimplementasikan apa yang

diucapkannya dalam shalat pada kehidupan di luar shalat. Kalau di

dalam shalat seseorang berjanji untuk menyerahkan segala urusannya kepada Allah swt. semata, misalnya, maka ketika telah selesai

menjalankan shalat seharusnya komitmen yang di ungkapkan dalam shalat tersebut juga diwujudkan dalam kenyataan di luar shalat. Itu semua dapat dilakukan manakala orang yang melaksanakan shalat

tersebut memahami dan mengerti apa yang diucapkan. Kalau apa yang ucapkan dalam shalat tersebut tidak dimengerti, sudah pasti tidak mungkin semua ini akan terwujud. Berdasarkan kenyataan ini, tentu penerjemahan ucapan-ucapan di dalam shalat ke dalam bahasa lokal yang dimengerti oleh orang yang melaksanakannya, tentu menjadi penting, dan karenanya tidak dilarang. Tujuan shalat sebagaimana diungkapkan di atas akan dapat diwujudkan hanya dengan pemahaman dan peresapan arti dan makna bacaanbacaan yang ada. Disamping itu dapat ditambahkan bahwa muara keseluruhan dari syari`at ialah dalam rangka kemaslahatan umat secara menyeluruh. Hukum Islam, dalam hal ini fiqh yang dapat memberikan status hukum yang lima sebagaimana disebutkan di atas, juga didasarkan kepada pertimbangan maslahat ini. Tidak ada satupun hukum fiqh yang ditetapkan dan diberlakukan bagi segenap umat dengan tidak

mempetimbangkan kemaslahatan ini. Karena itu dalam masalah bacaan shalat yang disamping diucapkan dengan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, juga diberikan terjemahannya dengan tujuan agar apa yang ucapkan tersebut dapat

dimengerti dan diresapi, sehingga akan terjadi komunikasi yang hidup antara hamba yang sedang melaksanakan shalat dengan Tuhannya, secara fiqh tidak dilarang. Bahkan kalau dalam hal seorang hamba kesulitan menggunakan bahasa Arab, maka diperbolehkan

mengucapkannya hanya dengan bahasa lokal dengan catatan bacaan alQurannya harus tetap dibaca dalam bahas aslinya. Hal ini

sebagaimana disebutkan di atas, dikarenakan al-Quran itu merupakan kalam Allah swt. yang oleh para ulama disepakati tidak boleh diganti dengan bahasa apapun. Namun sebagaimana dijelaskan di atas pula bahwa kalau hanya sekedar ucapan terjemahan al-Quran yang

diungkapkan setelah bacaan al-Quran dengan menggunakan bahasa aslinya, tidak dilarang. Sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa shalat dengan melaksanakan

menggunakan bahasa lokal, dalam hal ini bahasa

Indonesia secara fiqh tidak dilarang, asalkan bacaan al-Quran, baik alfatihah maupun surat atau ayat lainnya tetap dibaca dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. Demikian pula pelasanaan shalat dengan menggunakan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa Arab dengan bahasa lokal, dalam hal ini bahasa Indonesia sebagai terjemahannya, secara fiqh juga tidak dilarang. Bahkan kalau tujuan penggunaan bahasa lokal tersebut dengan tujuan untuk dapat memahami dan meresapi apa yang diucapkan dalam shalat, agar dapat mencapai tujuan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar serta dapat selalu dzikir dan ingat kepada Allah swt., maka sesungguhnya hal itu justru dapat dianggap lebih baik. Tetapi kalaupun orang yang melaksanakan shalat tidak

memahami bacaan yang diucapkannya, dan tetap melaksanakan shalat dengan hanya bahasa Arab saja, juga tidak menyalahi fiqh, hanya ditinjau dari maqasid al-syari`ah hal ini justru kurang tepat.

G. PendapaT Para Ulama Pada kenyataannya, para ulama ternyata berbeda dalam menilai dan menentukan hukum bagi shalat dengan memakai dua bahasa dan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Di kalangan ulama

Syafiiyyah secara umum memandang bahwa penggunaan bahasa selain bahasa Arab tidak diperbolehkan. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip tauqifi, Artinya bahwa shalat itu harus mengikuti petunjuk sebagaimana yang diperintahkan oleh Syari` dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw.. Kalau pada saat itu Rasul mempraktekkan shalat hanya dengan menggunakan bahasa Arab, maka sampai hari kiamatpun harus tetap demikian. Sementara itu di kalangan ulama Hanafiyah, secara umum membolehkan penggunaan bahasa selain bahasa Arab. Persoalan yang diperselisihkan diantara para muridnya ialah tentang bacaan al-Quran dalam shalat. membacanya (dalam bahasa Artinya ketika seseorang mampu Arab) dengan baik, maka tidak

diperbolehkan membacanya dengan bahasa lain. Tetapi kalau tidak bisa, maka dibolehkan denngan bahasa lain. Sedangkan untuk bacaan lainnya, seprti tasbih, takbir, doa dan lainnya disepakati boleh tidak memakai bahasa Arab. Pandangan tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa dengan perkembangan Islam yang meluas kesegala

penjuru, kemudian banyak umat Islam yang kesulitan atau tidak bisa berbahasa Arab dan memahaminya. Padahal sebagaimana diketahi bahwa shalat merupakan salah satu komunikasi hamba dengan Tuhannya, serta merupakan doa yang tujuannya agar Tuhan

mengabulkan permohonan tersebut dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Dalam khazanah fiqih klasik. Memang nyaris tidak ada fuqaha yang memperbolehkan shalat selain dengan bahasa Arab, terutama dalam membaca surat al-fatihah, kecuali Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Kalau toh ada sebagian kecil ulama yang memperbolehkan mengganti bacaan shalat selain Bahasa Arab, namun hal itu tidak berlaku untuk surat al-fathah. Surat al-fathah adalah harga mati yang tidak boleh diganti dengan bahasa apapun. Namun demikian, Imam Abu Hanifah memperbolehkan membaca

al-fatihah dalam shalat dengan bahasa Parsi bagi yang tidak mampu
berbahasa Arab. Bahkan, dia berpendapat, membaca al-fatihah dengan bahasa Parsi atau bahasa-bahasa lain tentunya- tidak menghalangi sahnya salat meskipun orang tersebut mampu berbahasa Arab. Hal yang terakhir ini (bagi orang yang mampu berbahasa Arab) memang hukumnya makruh menurut Imam Abu Hanifah. (Abu Zahra, Ab

Hanfah: Haytuhu wa Ashruhu wa ar`uhu wa Fiqhuhu, [Dr al-Fikr alArab, 1977], hlm. 34-35). Memang pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bagaikan suara lirih di tengah kuatnya arus pendapat yang tidak memperbolehkan

shalat selain Bahasa Arab. Imam Syafii (w. 204 H) adalah tokoh yang paling keras menyuarakan hal ini. Bagi Imam Syafii tidak ada pilihan kecuali harus menggunakan Bahasa Arab dalam Shalat, baik orang yang tahu Bahasa Arab maupun tidak. Imam Syafii memang dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai pembelaan gigih terhadap Bahasa Arab, terutama Bahasa Arab versi suku Quraisy. Dia, misalnya, menolak pendapat yang mengatakan bahwa di dalam al-Quran ada serapan dari Bahasa non-Arab. Pendapat Imam Syafii tersebut bertumpu pada pemahaman mengenai esensi al-Quran. Menurutnya, esensi al-Quran bukan semata-mata makna tapi makna yang dibungkus dengan katakata. Dengan demikian, Bahasa Arab (al-Quran) -dengan segenap ideologinya- adalah bagian substansial dari struktur teks (al-talzum

bain al-lafdzi wa al-man)..


Nasr Hamid Abu Zayd mempunyai penilaian yang menarik mengenai hal ini. Menurutnya, sikap Imam Syafii yang begitu keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang seorang Arab (Quraisy) yang begitu fanatik dengan ke-Arab-annya. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang non-Arab, Persia , sehingga ia tidak mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr Hmid Abu Zayd, al-Imm al-Syfi

wa ta`tsts al-Idiolojiyat al-Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbl,


1996], cet. II, hlm. 66). Jumhur ulama diantaranya adalah Imam Syafii, Malik, Ahmad, Dawud, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani dan lainnya mengatakan bahwa tidak sah sholat menggunakan bahasa selain bahasa

arab, bahkan tidak sah sholat meskipun mengunakan bahasa arab tapi bukan Al Quran yang dibaca melainkan tafsirnya. Misalkan kalau seseorang membaca :


Segala puji bagi Alloh yang maha Rohman pencipta dan pengatur langit dan bumi serta yang ada diantara keduanya.
Meskipun lafadl ini bahasa arab dan semakna dengan firman Alloh:


Segala puji bagi Alloh Robb sekalian alam.
(Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158, Al Bayan Fi madzhab Imam Syafii syarah Al Muhadzab oleh Imam Al Imroni 2/195, Al Majmu Syarah Muihadzab Imam Nawawi 3/341 ) Dalil mereka adalah :

Hadits Malik bin Huwairits

: :

Dari Malik bin Huwairits berkata : Rosululloh bersabda : Sholatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan solat.

(HR. Bukhori : 631, Muslim : 674)


Dan Rosululloh tidak pernah sholat menggunakan bahasa selain bahasa arab.

Firman Alloh Taala :

Maka bacalah yang mudah bagimu dari Al Quran. (QS. Al Muzzammil : 20)

Sabda Rosululloh, Dari Ubadah bin Shomit berkata :

Rosululloh bersabda : Tidak sah sholat seseorang bagi yang tidak membaca surat Al Fatihah. (HR. Bukhori 756, Muslim 394)
Sisi pengambilan dalil adalah bahwasannya Alloh Taala menyuruh dalam sholat untuk membaca Al Quran dan Rosululloh menyuruh untuk membaca Al Fatihah. Maka kalau membaca terjemahannya maka itu bukan membaca Al Quran dan Al Fatihah tapi membaca terjemahannya.

Karena Al Quran itu lafadl dan maknanya merupakan mujizat dari Alloh, maka apabila dirubah menjadi bentuk lain atau bahasa lain niscaya akan hilanglah kemujizatnya serta tidak dinamakan

Al Quran lagi dengan kesepakatan kaum muslimin (Lihat Al Majmu Syarah Muhadzab 3/342)

Rosululloh melarang seseorang dalam sholat untuk membaca selain bacaan sholat Dari Muawiyah bin Hakam As Sulami berkata :

Tatkala saya sholat bersama Rosululloh tiba-tiba ada seseorang diantara jamaah sholat yang bersin. Maka saya berkata : Semoga Aloh merohmatimu. Namun para jamaah lainnya memandang kepada saya dengan pandangan sinis mengingkari. Lalu saya katakan pada mereka : Celakalah saya, kenapa kalian memandangku begitu ?. namun mereka malah memukulkan tangan mereka kepada paha mereka agar saya diam, lalu saya pun diam saat melihat mereka diam sehingga selesai sholat. Berkata Muawiyah kepada Rosululloh : Bapak dan ibuku sebagai tebusannya. Saya tidak pernah mengetahui seorang pendidik yang lebih bagus cara mendidiknya dari pada beliau, tidak sebelum dan tidak sesudahnya, demi Alloh dia tidak menghardik aku, tidak memukul dan tidak mencelaku. Rosululloh bersabda : Sesungguhnya sholat ini tidak layak untuk ucapan manusia, sholat ini hanya untuk bertasbih, takbir dan membaca Al Quran. (HR. Muslim)

Adapun Imam Abu Hanifah berkata : Boleh bagi seseorang

untuk sholat dengan selain bahasa arab secara mutlak.


Namun sebagian ulama hanafiyah lainnya menyatakan bahwa hal itu hanya diperbolehkan bagi yang tidak mampu berbahasa arab. Mereka berdalil dengan firman Alloh Taala :

Dan telah diwahyukan Al Quran ini kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Quran kepadanya. (QS. Al Anam : 19)
Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin bisa memperingatkan seseorang kecuali dengan bahasanya sendiri. Dari sini, ada sebuah isyarat bahwa terjemahan Al Quran itupun dinamakan dengan Al Quran, dan kalau memang terjemahan Al Quran itu Al Quran juga maka boleh membacanya dalam sholat. Mereka juga berdalil dengan beberapa kias, namun sebuah kias yang sangat lemah, oleh karena itu tidak perlu disebutkan disini. Yang rajih dari kedua pendapat ini adalah madzhab jumhur ulama yang tidak memperbolehkan sholat dengan selain bahasa arab secara mutlak, berdasarkan dalil-dalil yang mereka kemukakan. Adapun dalil yang digunakan oleh madzhab Imam Abu Hanifah dan sebagian orang yang mengikutinya, maka bukan pas kalau dilarikan

kedalam sholat menggunakan bahasa daerah karena beberapa hal, yaitu:

Ayat tersebut hubungannya dengan pemberian peringatan, dan kalau sebuah ayat ditafsirkan untuk memberi peringatan maka sebenarnya yang dijadikan peringatan itu adalah ayat tersebut dan bukan penafsirannya. (Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158)

Atau kita katakan bahwa penafsiran itu hanyalah sebagai pelengkap sebuah peringatan dengan cara menyampaikan makna atau terjemahan ayat Al Quran. (Lihat Al Majmu 3/342)

Dan anggaplah bahwa ayat ini bisa dibawa pada pengertian bahwa yang dijadikan peringatan itu adalah tafsirnya maka ayat tersebut berlaku umum sedangkat sholat adalah sesuatu yang khusus, sedangkan Rosululloh tidak pernah sholat menggunakan bahasa Indonesia atau mengajarkanya kepada para sahabat, padahal beliau bersabda : Sholatlah sebagaimana kalian

melihatku mengerjakan sholat.

Syaikh Muhammad Rosyid Ridlo menyebutkan bahwa para ulama Hanafiyah telah menukil bahwa Imam Abu Hanifah telah mencabut kembali pendapatnya yang membolehkan sholat dengan selain bahasa arab.

Syaikh Muhammad Rosyid Ridlo juga berkata : Dan telah berlangsung kesepakatan ummat islam untuk membaca Al Quran dengan bahasa arab baik didalam sholat maupun diluar sholat, dan menganggap binasa orang-orang yang menyerukan untuk

menerjemahkan Al Quran dalam proses dzikir dan ibadah, serta mensifati mereka sebagai orang-orang yang murtad. (Lihat catatan kaki Al Mughni, tahqiq DR. Abdulloh bin Abdul Muhsin At Turki, cetakan Hajr 2/158) Oleh karena itu Lajnah Daimah tatkala ditanya apakah boleh sholat dengan menggunakan selain bahasa arab ? maka mereka menjawab : Tidak boleh sholat dengan selain bahasa arab kalau dia mampu berbahasa arab, wajib bagi setiap muslim untuk belajar bahasa arab untuk ibadah yang tidak mungkin menggunakan bahasa lainnya, diantaranya surat Al Fatihah, Tasyahud, bacaan tasmi, tahmid dan tasbih dalam ruku dan sujud juga bacaan antara dua sujud dan salam. Adapun bagi seseorang yang tidak mampu berbahasa arab maka boleh baginya untuk membacanya dengan bahasanya kecuali surat Al Fatihah, karena bacaan surat ini tidak sah kecuali dengan bahasa arab demikian juga bacaan Al Quran lainnya. Kalau tetap tidak mampu juga maka bisa dia ganti dengan bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir. Berdasarkan hadits Abdulloh bin Abi Aufa berkata :

Ada seseorang yang datang kepada Rosululloh lalu berkata : Sesungguhnya saya belum mampu untuk menghafal satupun ayat Al Quran, maka ajarkanlah kepadaku sesuatu yang bisa membuat sholatku sah ? maka Rosululloh menjawab :

Katakalah :


Maha suci Alloh dan Segala puji bagi Nya, Tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Dia, Alloh Maha Besar serta Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Alloh yang Maha tinggi lagi Maha Besar. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan Daruquthni dan Hakim)
Juga berdasarkan firman Alloh :

Bertaqwalah kepada Alloh semampu kalian. (QS. At Taghobun : 16)


serta sabda Rosululloh :


Jika kalian saya perintahkan dengan sebuah perintah maka

kerjakanlah semampu kalian . (HR. Bukhori 7288, Muslim 1337)


Hal ini berlaku sampai dia belajar bahasa arab dan dia harus segera melakukanya. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 6/401)

DAFTAR PUSTAKA Andri. 2010.

shalat

yang

Sah

Secara

Hukum

Islam.

http://www.facebook.com. Di akses 29 maret 2011

Anonim.2009.Al-Quraan. http://www.indonesiaindonesia.com. Di akses 29 maret 2011

Assuyuti, Basori. 1998. Bimbingan Shalat Lengkap. Mitra Umat: Jakarta

Asy Syidiqi, Hasbi. 1976. Pedoman Shalat. Bulan Bintang : Bandung

Quthub, Muhammad. 1987. Koreksi atas Pemahaman Ibadah. Pustaka Al Kautsar : Jakarta

You might also like