You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN

Demam Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.1,2,3,4 Demam Tifoid adalah berupa penyakit infeksi pada usus halus, Tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis.Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang ya9,2ng terinfeksi kuman salmonella.1,2,3, Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus.1,4 Surveilens Depertemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tipoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2/10.000 penduduk dan tahun 1994 15,4/10.000 penduduk.2 Manifestasi klinis yang muncul berupa demam, mual muntah, diare, sakit perut, sakit kepala. Diagnosa dari demam tipoid harus dipertimbangkan pada pasien dengan demam lebih dari 7 hari dimana ada riwayat berpergian atau berada di daerah endemik, sedangkan penegakan diagnosa berdasarkan manifestasi klinis pemeriksaan penunjang.
1,2,3,4

serta

Tatalaksana berupa tirah baring, serta terapi defintif dengan pemberian antibiotik. Kloramfenikol masih menjadi pilihan lini pertama pada penanganan demam tipoid, namun banyaknya kasus resistensi yang dijumpai sehingga penggunaan kloramfenikol menjadi kurang efektif. Ceftriakson dan cefixime menjadi alternatif untuk mengatasi resistensi ini.1,2,3,4,5,6,7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.1,2,3,4,5

2.2 Epidemiologi Demam tifoid terjadi diseluruh dunia, terutama di Negara berkembang yang memiliki sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika latin, dan pasifik. Demam tifod merupakan penyakit endemik di Indonesia. Insidensi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural 57 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1,2,3

2.3 Etiologi Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna. Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu: Antigen O, antigen H, antigen Vi. Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.1,2,3,5

2.4 Patogenesis Masuknya kuman salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum

distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik), dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibakan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1,2,3,5

Gambar 2.1 patofisiologi demam tifoid (Sumber : PAPDI 2006)

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.1,2,3,4,5 Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jariangan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya (gambar 2 patofisiologi demam tifoid). 1,2,3,4,5

Gambar 2.2 patofisiologi demam tifoid (Sumber : PAPDI, 2006)

2.5 Manifestasi Klinis Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam demam, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.2,3,4,5 Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan

mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.2,3,5 Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2,3,4,5 Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tipoid, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu

badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.2,3,4,5

2.6 Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan Laboratorium Rutin dan kultur Walaupun ada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.1,2,3,5 Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.2, Pada minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.thypi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan fese kemungkina berhasil lebih kecil. Jika feses segar tidak diadaptkan maka swab rectal dapt dikultur namun hasil yang lebih baik didapatkan dari feses segar dan penggunaan broth yang diperkaya dari lab mikrobiologi juga meningkatkan senstitifitas,1,5. Biakan specimen yang berasal dari aspirasi sum-sum tulang belakang mempunyai sensitifitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90 kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif,sehingga tidak dapat dipakai dalam praktek sehari-hari.

Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan specimen empedu yang diambil dari duedonum dan memberikan hasil yang cukup baik.1

b. Rapid Tes Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Samonella yang sudah dimatikan dan diolah laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagella kuman), dan c). Aglv.utinin Vi (simpai kuman).1,2,3,4,5 Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semain tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-2bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu: 1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian

kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemic atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi 7). Faktor tehnik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan srtain

Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.2

Typhidot test kit yang menggunakan antigen 50 kD untuk mendeteksi IgM spesifik dan antibodi IgG terhadap S. typhi. Ini telah mengalami evaluasi diagnostik klinis skala multinasional. Tes menawarkan kesederhanaan, kecepatan, spesifisitas (75%), ekonomis, diagnostik sensitif, awal (95%) dan tingginya nilai prediktif negatif dan positif. 6 Varian lain dari Typhidot adalah Typhidot-M dan telah menunjukkan bahwa inaktivasi dari IgG menghilangkan ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen IgM spesifik pada saat ia

hadir. Evaluasi Typhidot dan Typhidot-M dalam klinis menunjukkan bahwa tes ini tampil lebih baik dari tes Widal dan metode kultur. Sebuah evaluasi Typhidot di India % 100% sensitif dan 80 % spesifik dibandingkan dengan kultur darah sebagai "gold standard". Typhidot mengandalkan lebih banyak pada hasil IgM dan sehingga sensitivitas Typhidot tinggi pada minggu pertama sakit

dan menurun selama tahap akhir dari penyakit.

IDL Tubex adalah tes yang dapat mendeteksi antibodi IgM O9 (atau LPS secara umum) dari pasien dalam beberapa menit. Ini memanfaatkan kemudahan dan kerjasama pengguna dari Widal tes dan tes aglutinasi lateks namun menggunakan pemisahan partikel berwarna dalam larutan untuk meningkatkan resolusi dan sensitivitas. Tapi untuk alasan yang belum dapat dijelaskan, Tubex mendeteksi antibodi IgM tetapi tidak IgG. Hal ini membuat tes ini berguna sebagai bantuan

10

dalam diagnosis saat infeksi. Lebih jauh, tes Tubex berpotensi mendapatkan kesulitan dalam menafsirkan hasil sampel hemolisis. Multi-test Dipstik tes didasarkan pada pengikatan S. Typhi antibodi IgM spesifik pada sampel dengan lipopolisakarida S. Typhi (LPS antigen) dan pewarnaan partikel

antibodi terikat dengan antibodi anti-human IgM terkonjugasi dengan buruk.6

pewarna koloid. Tes ini hanya mendeteksi antibodi IgG dan memiliki spesifitas yang

2.7 Komplikasi A. Komplikasi intestinal Perdarahan Intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena ganguan koagulasi darah (KID), atau gangguan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan apabila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam keadaan normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-302%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.1,2,4,5

11

Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada

minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Gambaran foto polos abdomen ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur ( biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalias pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.1,2,3,4,5

B. Komplikasi Ekstra-intestinal - Komplikasi hematologi Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia,

peningkatan protombine time, peningkatan parthial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular. Diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasen demam tifoid. trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungki terjadi karena menurunnya produksi trombosit disumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di system retikuloendoteal. Obat-obatan juga memegang peranan.

12

Penyebab KID pada demam tifoid belum jelas. Hal-hal yang sering ditemukan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa system biologic, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamine menyebabkan

vasokontriksi dan kerusakan kerusakan endotel pembuluh darah san selanjutnya mengakibatkan perangasangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun dekompensata.1,2,3,4,5

Hepatitis Tifosa Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan

demam tyfid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi daripada S.parathypi. untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan ezim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedaka hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoenselopati dapat terjadi. 1,2,3,4,5

Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pancreatitis

sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CTscan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.

Miokarditis Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis

13

biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosa yang buruk. Kelainan ini disebabkan oleh kuman S.typhi dan miokarditis sring sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasein yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan. 2,3,4,5

Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang,

semi-koma atau koma. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somolen, spoor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam kpemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Diduga faktor-faktor social ekonomi yag buruk, tigkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. 1,2,3,4,5

2.8 Penatalaksanaan Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu: Istirahat dan Perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan1,2,3 Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.

14

Pemberian Anti mikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman

a. Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.2,3

b. Diet dan Terapi Penunjang Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat usus harus diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa.2 c. Pemberian Anti mikroba Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol.1,2,3,4,5 Obat pilihan selanjutnya azithromisin dan fluorokuinolon.
1,2,3,4,5

adalah sefalosporin generasi III,

15

Kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum luas, efektif terhadap organisme gram positif dan negatif meskipun penggunaannya terbatas karena toksik. Diberikan dengan dosis 100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 10-14 hari. Kelemahan kloramfenikol ialah tingginya angka relaps, karier dan resisten.1,3,5 Ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral selama 21 hari memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol demam lebih lama. Kombinasi Kotrimoksasol dengan dosis (TMP) 10 mg/kbBB/hari atau SMZ 50 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari. Namun kombinasi ini kurang baik jika dibandingkan dengan penggunaan kloramfenikol.1,3,5 Dibeberapa negara telah dilaporkan kasus demam tipoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di Pakitan resistensi ganda yang terjadi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan TMP-SMZ sebanyak 49-83 %.7 walaupun penurunan

Strain yang resisten umumnya masih rentan terhadap kloramfenikol umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi seperti seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Efikasi kuinolon baik tapi tidak dianjurkan untuk anak. Cefixime oral 10-15 mg/kg/BB/hr selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama jika jumlah leukosit <2000/l atau dijumpai resitensi terhadap S.thypi.1,3,5,7,8 Pada demam tipoid kasus berat seperti delirium, stupor, koma dan syok, pemberian dexametason 3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 6 sampai 48 jam disertai antibiotic yang adekuat,

16

dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55 % menjadi 10 %. Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang memerlukan transfuse darah. Sedangkan apabila terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakkan diagnose. Laparotomi harus segera harus dilakukan disertai penambahan metronidazole dapat memperbaiki prognosis. Pada penderita karier, ampisilin atau amoksisilin 40 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis perororal ditambah dengan probenecid 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80 % pada pasien karier tanpa penyakit salura empedu. Bila terdapat terdapat kolesistitis atau kolelitiasis, maka dianjurkan dilakukan kolesistektomi, dimana terlebih dahulu diberikan ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV selama 7 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari.1,3,5 Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah ceftriakson, azitromisin dan fluoroquinolon.1,3,7

2.9 Pencegahan Demam Tifoid Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.1,2,3,4,5,7,8,9,10 Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk pencegahan demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan (whole cell) tidak digunakan lagi karena

17

efek samping yang terlalu berat dan daya lindungnya pendek.Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu vaksin berdasar subunit antigen tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan. Vaksin pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau intramuskular. Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif bila mempunyai antibodi anti-Vi 1 g/ml.

Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk kapsul enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut kosong. Untuk anak usia 5 tahun. Reimunisasi tiap tahun. Tidak boleh diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah imunisasi.1,2,3,4,5,10

2.10 Prognosis
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan

kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.

18

Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti Hiperpireksia atau febris kontinua, Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium, komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).1,3,4

19

BAB III KESIMPULAN

1. Demam Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi 2. Manifestasi klinis yang muncul berupa demam, mual muntah, diare, sakit perut, sakit kepala 3. Diagnosa ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjuang 4. Kloramfenikol merupakan antibiotik pilihan pertama, namun ceftriakson dan cefixime digunakan untuk mengatas reesistensi terhadap kloramfenikol 5. Komplikasi dari demam tifoid berupa komplikasi intestinal yaitu : perdarahan intestinal, perforasi usus. Komplikasi ekstraintestinal berupa : komplikasi hemtologi, hepatitis tifosa, pankreatitis tifosa, miokarditis, manifestasi neuropsikiatrik 6. Pencegahan dapat dilakuakan dengan cara perbaikan higienitas, sanitasi dan vaksin.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Infeksi dan Pedaitric Tropik. IDAI Jakarta ; 2010. 2. Sudoyo AW. Setiyohadi, Bambang. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbit Ilmu Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2006 3. Behram . Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed.Philadelphia. Elsevier; 2004 4. Jenson HB. Infectious diseases of the fetus and newborn infant Ed.5th . Philadelphia W.B. Saunders ; 2000 5. Rudolf AM, editor. Rudolph's pediatrics 21 edition,. New York McGraw-Hill; 2002 6. Mitra, Rahul. Kumar, Narender. New Advances In The Rapid Diagnosis of Typhoid fever african Journal of Microbiology Research Vol. 4(16) pp. 16761677, 18 August, 2010. Diaksesidari

http://www.academicjournals.org/ajmr/PDF/Pdf2010/18Aug/Mitra%20et%20al.p df 7. Akmm, Rahman, Ahmad M. Multidrug Resistant Typhoid Fever in Children: A Review. J Dhaka Med Coll. 2008; 17(2) : 121-126). Diakses dari http://www.banglajol.info/index.php/JDMC/article/download/6595/5064 8. Santilln RM, Garca GR. Efficacy of Cefixime in the Therapy of Typhoid Fever Proc. West. Pharmacol. Soc. 43:65-66. (2000) . Diakses dari

http://www.medicine.nevada.edu/wps/Proceedings/43/65-66 wps43_065.pdf 9. Memon, ZA, Pach, Alfred. Health Care Preferences for Children With Typhoid Fever In Two Slum Communities in Karachi, Pakistan.Southeast Asian J Trop Med Public Health Vol 39 No. 6 November 2008. Diakses dari

http://www.tm.mahidol.ac.th/seameo/2008-39-6-full/24-4310.pdf

21

10. Humera,Rafiq. Zia, Rashid. Typhoid Fever Continues As A Major Threat In Children. Biomedica Vol.25, Jul. Dec. 2009/Bio-15. Diakses dari : http://thebiomedicapk.com/articles/177.pdf

22

You might also like