You are on page 1of 6

R.A.N.T.A.U | Politik Luar Negeri Iran: Akankah Berubah?

Copyright Khunaipi khunaipi_hi@webmail.umm.ac.id http://khunaipi.student.umm.ac.id/2010/04/08/politik-luar-negeri-iran-akankah-berubah/

Politik Luar Negeri Iran: Akankah Berubah?


Salah satu hal yang menarik pada percaturan politik global belakangan adalah hadirnya Iran sebagai kekuatan baru. Semenjak revolusi yang digulirkan pada tahun 1979 Iran mulai diperhitungkan dalam percaturan politik di dunia seiring hadirnya identitas Islam dalam kebijakan dan garis politik negara tersebut. Bagi Negara-negara yang senasib Iran dinilai sebagai motor penggerak bagi kemajuan dan kemandirian sebuah bangsa adapun bagi pihak yang merasa dirugikan dengan Iran akan memandang bahwa Iran sebagai kekuatan baru yang mengancam kepentingannya di kawasan Timur Tengah (Timteng). Kehadiran Iran pasca revolusi islam menampilkan politik luar negeri yang mengarah pada kemandirian bangsa dalam menentukan nasib sendiri. Program nuklir yang sekarang ramai diperbincangkan merupakan kebrhasilan diplomasi Iran dalam memposisikan politik luar negerinya. Namun di dalam negeri berbagai permasalahan dan pergulatan politik antara dua kubu menjadi satu sisi yang tidak bisa diabaikan. Karena politik luar negeri merupakan manifestasi dari apa yang telah digariskan dalam politik domestik. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan terkait hal tersebut. Telaah dan jelaskan sejauh mana politik luar negeri Iran telah atau tidak berubah?

Revolusi Islam dan Politik Luar Negeri Iran Mengamati perubahan arah politik Iran bisa dilihat dari aspek sejarah sosial politik negara tersebut setelah rezim Pahlevi jatuh. Sebelum Revolusi Islam di Iran tahun 1979 Iran adalah sekutu dekat Amerika di kawasan timur Tengah. Dulu Iran merupakan negara Monarkhi dipimpin seorang raja. Syah Reza Pahlevi adalah rezim terakhir yang memimpin Iran sebelum bergulirnya revolusi islam Iran. Proses peruntuhan rezim Pahlevi dilancarkan oleh pemimpin spiritual Ayatollah Khomeini di pengasingannya di Perancis, revolusi islam 1979 dimulai satu tahun sebelum revolusi terealisasi melalui penguasaan kota-kota dan wilayah di Iran. Pengaruh politik luar negeri Amerika begitu kuat dan mengakarnya pada masa Pahlevi. Hal ini dipahami betul oleh Khomeini sebagai akibat dari kuatnya lobi Yahudi di Amerika sehingga menelurkan kebijakan yang merugikan umat Islam. Barangkali inilah yang menggugah hati pemimpin revolusi untuk menjatuhkan rezim penguasa yang bersekutu dengan Barat dan tidak mampu berbuat apa-apa ketika ditindas. Sehari setelah pengambilan kekuasaan di Iran seluruh pejabat Kedutaan Besar Israel di Teheran diusir dari Republik Islam Iran. Pemerintahan baru itu menggantinya menjadi Kedutaan Besar Palestina dan menyerahkan mekanisme administrasi ke bangsa Arab. Sepertinya memang, pengusung revolusi menghendaki jalur konfrontasi menghadapi kebiadaban Yahudi. Pandangan mereka bahwa Zionis telah menggagahi hak kemanusiaan, menodai kehormatan Islam di Palestina, bahkan telah menganeksasi tanah milik rakyat Palestina. Dalam pernyataannya memang revolusi ini digulirkan dengan motif upaya mewujudkan

page 1 / 6

R.A.N.T.A.U | Politik Luar Negeri Iran: Akankah Berubah?


Copyright Khunaipi khunaipi_hi@webmail.umm.ac.id http://khunaipi.student.umm.ac.id/2010/04/08/politik-luar-negeri-iran-akankah-berubah/

persatuan umat Islam karena tidak berdaya bila dihadapkan dengan Barat yang dimotori Amerika. Iran memandang perlu untuk menghentikan hegemoni Barat yang tidak menguntungkan umat Islam. Analis Iran Tafid Daud mengatakan ada enam bundel proyek Revolusi 1979 yaitu: pertama Krisis Palestina, yaitu membebaskan Al-Quds dan memelihara tempat-tempat suci di Palestina. Kemudian Teritorial Lebanon, yaitu membebaskan Lebanon Selatan, ketiga Piagam Internasional penegasan peranan PBB dan Majelis Umum, keempat adalah Penyatuan Bumi Irak, artinya menjaga kedaulatan dan wilayahnya, kelima Konfrontasi Arab-Israel, Iran dikenal berperan mengkanal skenario politik AS dan Israel dengan dunia Arab dan terakhir adalah Fungsi Iran membangun hubungan baik dengan negara-negara Arab. Revolusi Islam di Iran dipahami sebagai momen kebangkitan bangsa dan menjadi inspirasi bagi bangsa lain dalam melakukan manuver politik apapun. Revolusi ini menghadirkan wajah baru politik luar negeri Iran dan negara manapun akan memperhitungkan potensi kekuatan negara ini. Membicarakan garis politik dan kebijakan politik luar negeri Iran dewasa ini akan menolehkan kita pada sejarah bangsa ini pasca revolusi karena Iran menjadi penting setelah bergulirnya revolusi tersebut. Pentahapan sejarah politik luar negeri Iran terbagi dalam empat fase menurut mantan petinggi di Kementrian Luar Negeri Iran, Birn Izdy dalam bukunya Madkhal Ela Al-Siyasah Al-Kharigiyah Li-Gumhouriyat Eiran Al-Eslamiyah tahun 1999. Fase pertama adalah pada tahun 1979-1980, dimana kubu liberal-konservatif memegang kebijakan neo-konservatif dalam upaya menjalin hubungan bilateral antara Iran dan masyarakat internasional. Pada fase ini hubungan Iran dengan Amerika mulai meruncing oleh karena perubahan arah politik luar negeri Iran. Pada fase ini juga sistem pemerintahan dalam negeri diubah dari sistem monarkhi menjadi republik. Uniknya Iran dengan nama baru (Republik Islam Iran) menawarkan konsep Wilayatul Faqih yaitu konsep pemerintahan dengan pimpinan tertinggi bukan Presiden melainkan pemimpin spiritual (imam). Kemudian fase kedua adalah pada tahun 1980-1988, yang bisa disebut sebagai fase radikalis pola interaksi Iran kepada bangsa dunia tanpa mengindahkan mediasi pemerintahan, yang justru mengakibatkan instabilitas dalam negeri Iran. Hal ini bisa dipahami karena Iran yang selama ini mempunyai mitra strategis dengan Barat kini menjadi negara yang terisolasi dan dikucilkan dari pergaulan internasional. hukuman yang dilakukan Amerika terhadap Iran mengakibatkan sssulitnya negeri para Mullah ini mendapatkan akses pasar. Amerika akan berbuat apapun untuk mempropagandakan bahaya musuhnya yang mengancam. Instabilitas dalam negeri pada fase ini kelak akan mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Iran pada fase berikutnya. Fase yang ketiga adalah fase dimana ada upaya memperbaiki hubungan Iran dengan dunia internasional pada tahun 1988-1997, pemerintah Iran mulai menunjukkan sikap moderat, sikap ini kemudian dimanifestasikan dengan menerapkan pola santun strategi luar negeri Iran, dan yang juga yang menjadi obsesi adalah upaya memperbaiki serta meningkatkan harmonisasi hubungan bilateral dengan negara manapun. Presiden Hasyemi Rafsanjani bersama Menlunya Ali Akbar Vilayati berhasil menata kembali keretakan hubungan Iran dengan masyarakat dunia. Beberapa pointer yang dicapai, antara lain: eksistensi pemerintahan Revolusi Iran mendapat pengakuan negara-negara Kawasan Teluk Arab, pasca revolusi Iran seperti yang telah disebutkan menjadi negara yang

page 2 / 6

R.A.N.T.A.U | Politik Luar Negeri Iran: Akankah Berubah?


Copyright Khunaipi khunaipi_hi@webmail.umm.ac.id http://khunaipi.student.umm.ac.id/2010/04/08/politik-luar-negeri-iran-akankah-berubah/

terkucilkan tak terkecuali dari pergaulan negara-negara di kawasan. Kekhawatiran Iran menjelma menjadi negara yang agresif adalah merupakan sesuatu yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun terpilihnya Rafsanjani dari kalangan reformis menerapkan kebijakan yang santun dan yang kelak akan berimbas pada pencabutan isolasi masyarakat internasional atas Iran pasca revolusi. Kemudian kemajuan lain yang dicapai pada fase ini adalah penerimaan Iran oleh Barat dan juga dibukanya kembali pangsa pasar Eropa. Iran juga mengalami kemajuan dalam bidang pertahanan dengan adanya legalisasi dunia atas revitalisasi angkatan perang Iran, pada saat itu Iran mulai bisa melakukan kerjasama dengan negara lain dalam memperkuat pertahanannya. Pada fase ini juga Iran mulai melakukan penyebaran pemikiran revolusi melalui kran kebudayaan dan, bagi kemajuan di tingkatan regional Iran diajak menyelesaikan krisis di Afghanistan dan kawasan Timteng. Iran inilah yang kelak akan menjadi kekuatan besar di kawasan dan mempunyai peran penting di kawasan Timteng seiring kemajuan yang dicapai bangsa Iran pasca revolusi. Fase yang terakhir yang dicatat oleh Izdy adalah fase pada tahun 1997-2005, semasa Mohammed Khatami berkuasa. Pandangan reformisnya seringkali menimbulkan konflik internal dengan kubu konservatif yang loyal memelihara amanat revolusi Islam 1979. Ini pulalah yang menjadi akar carutmarutnya pemerintahan dalam negeri Khatami. Revolusi Islam Iran mengamanatkan bahwa pemerintah berkewajiban melindungi prinsip-prinsip revolusi Islam, identitas dan kepentingan nasional. Hal yang ditekankan oleh Ayatullah Khamenei bahwa Revolusi Islam bertujuan mewujudkan program-program politik, ekonomi, sosial dan budaya Islam. Politik luar negeri Iran dan hubungan internasional Iran berlandaskan syariat Islam. Agama Islam menolak sistem hegemoni sejumlah negara yang sewenang-wenang. Islam mengajarkan perdamaian, keamanan dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Bagi Iran Barat adalah kaum penjajah dan tidak sesuai dengan prinsip revolusi maka Iran tidak boleh didikte, keadaan ini dipandang lain oleh Khatami yang menilai perbedaan perspektif Islam dan Barat merupakan konflik yang tidak dapat diselesaikan jika tidak duduk satu meja membicarakan solusinya. Maka kemudian Khatami justru membuka pintu dialog dengan Barat yang kemudian gagasannya ini dikenal dengan Dialog Antar Peradaban. Oleh berbagai kalangan Khatami dikategorikan ke dalam kelompok reformis. Sudah bisa ditebak mengenai iklim politik luar negeri Iran pada fase ini yaitu, Khatami benar-benar lentur terhadap Barat bahkan untuk pertama kalinya ia mengadakan kontak politik dengan Moshe Katsav, Presiden Israel pada bulan April 2005, hal yang tak pernah dilakukan pendahulunya semenjak revolusi ditabuh. Fase-fase yang telah dejelaskan di atas rasanya kurang bila kita tidak menyertakan fase pemerintahan Ahmadinejad 2005 sampai sekarang. Saya menyebutnya fase kelima. Pada fase ini kebijakan luar negeri Iran kembali kepada masa-masa awal revolusi. Ahmadinejad mengambil garis politik yang berbeda dengan pendahulunya Khatami yang lebih moderat terhadap Barat. Pemerintahan Ahmadinejad menjadikan program nuklirnya sebagai kekuatan diplomasinya. Memang dengan program nuklir ini, Iran menjadi terpojokkan dengan propaganda Amerika melalui medianya. Amerika dan negara Barat lainnya tentu tidak ingin Iran menjadi negara yang mengancam kepentingan strategisnya di kawasan Timteng. Amerika

page 3 / 6

R.A.N.T.A.U | Politik Luar Negeri Iran: Akankah Berubah?


Copyright Khunaipi khunaipi_hi@webmail.umm.ac.id http://khunaipi.student.umm.ac.id/2010/04/08/politik-luar-negeri-iran-akankah-berubah/

menuding Iran sebagai pendukung utama Hizbullah di Lebanon, pemasok senjata bagi teroris di kawasan dan program nuklir adalah untuk mendukung kegiatan tersebut. Akan tetapi Ahmedinejad selalu mengatakan bahwa program nuklirnya untuk tujuan damai yaitu untuk energi listrik dalam negerinya. Presiden Iran ke sembilan tersebut juga berpendapat bahwa Barat khawatir bila Iran mampu meraih semua tujuan yang diinginkannya di bidang pemanfaatan damai energi nuklir, Iran akan menjadi simbol bagi seluruh negara berkembang. Masyarakat tertindas di dunia akan meniru apa yang telah dicapai oleh bangsa Iran dan akan mempermasalahkan otoritas monopoli sejumlah negara atas energi nuklir. Atas dasar ini, Amerika beserta sejumlah sekutunya di Eropa dan Rezim Zionis Israel mengerahkan segala kekuatannya untuk menghentikan program damai energi nuklir Iran. Bebrapa waktu lalu Ahmadinejad kembali terpilih mnjadi Presiden Iran dengan perolehan 62,6% suara mengalahkan tiga kandidat lainnya (JP/12-06-09). Kembalinya terpilih sebagai presiden dipicu oleh kepuasan rakyat dengan berbagai kemajuan Iran dalam ekonomi, sosial dan dalam bidang politik luar negerinya. Posisis Iran di Timur Tengah Perjalanan panjang politik luar negeri Iran setelah revolusi telah memberikan banyak perubahan di berbagai bidang baik itu dalam konteks domestik, regional dan bagi hubungan internasionalnya. Terhitung sejak revolusi islam Iran digulirkan hingga sekarang, selama tiga puluh tahun perkembangannya Iran di bawah pemerintahan Ahmadinejad kini menjadi negara paling berpengaruh. Keberanian pemerintah mengambil kebijakan yang berseberangan dengan Barat merupakan faktor yang menguatkan posisi Iran dalam diplomasi dunia. Mengusung program nuklir Iran ingin mendapatkan hak sebagai bangsa yang mandiri untuk menentukan nasib sendiri yang tidak didikte oleh negara besar. Di kawasan sistem diplomasi Iran dilakukan secara aktif dan memanfaatkan segala kemampuan yang dimiliki. Iran berupaya meyakinkan negara-negara tetangga mengenai program nuklirnya untuk tujuan damai, berbeda dengan apa yang dipropagandakan di kawasan ini tentang bahaya Iran dengan pengayaan uraniumnya. Keberhasilan politik luar negeri Iran terlihat ketika terjalin hubungan yang baik antara Iran dengan negara-negara Timur Tengah seperti Afghanistan, Lebanon, Pakistan, dan Irak. Presiden Afghanistan Hamid Karzai membela hubungan mesra Iran dan Aghanistan. Pembelaannya disampaikan saat kunjungannya ke Amerika. Satu hal yang menarik adalah ketika pengaruh Barat begitu kuat di Timur Tengah akan tetapi respon masyarakat tidak begitu baik dengan kehadiran mereka di negara-negara di kawasan ini. Fenomena-fenomena seperti pengeboman di tempat-tempat umum, aksi bom bunuh diri, ataupun pertempuran milisi dengan tentara koalisi menunjukkan reaksi ketidakpuasan atas kehadiran pemerintah asing di negara mereka. Alih-alih membentuk pemerintahan demokratis justru membuat stabilitas politik dalam negeri menjadi tidak menentu. Retorika yang disampaikan oleh ahmadinejad dalam berbagai forum juga dapat meyakinkan masyarkat di kawasan, sehingga mengundang banyak simpati dari berbagai pihak. Di sis lain kehadiran Amerika dan sekutunya di Timteng tidak dapat memberikan kemajuan yang berarti dan menyulut konflik yang berkepanjangan. Kalangan politisi dan media Barat

page 4 / 6

R.A.N.T.A.U | Politik Luar Negeri Iran: Akankah Berubah?


Copyright Khunaipi khunaipi_hi@webmail.umm.ac.id http://khunaipi.student.umm.ac.id/2010/04/08/politik-luar-negeri-iran-akankah-berubah/

menilai itu sebagai kemenangan lain diplomasi Iran di kawasan Timteng. Satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa strategiskah posisi diplomasi Iran di kawasan ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kiranya kita perlu melihat Timteng sebagai kawasan yang strategis, kawasan dimana berbagai kepentingan politik dan ekonomi bertemu. Dalam melihat Timteng benak kita pasti akan terbayang bangsa Arab, wilayah yang penuh hamparan padang pasir, wilayah yang selalu bergejolak dengan konflik dan perang, tetapi juga kawasan yang kaya akan minyak. Berbagai citra yang dikesankan negatif mengenai Timteng itu, dalam beberapa hal, membuat perhatian terhadap kawasan ini sangat terbatas. Tetapi sebenarnya ada empat isu yang menjadikan Timteng sebagai wilayah yang amat sangat penting. Pertama, aspek historis dimana di kawasan merupakan tempat lahirnya peradaban. Banyak aliran dan kepercayaan berasal dari kawasan ini. Kedua adalah aspek goegrafis. Timur Tengah terletak di antara tiga benua: Asia, Eropa dan Afrika posisi seperti sangat strategis bagi perdagangan internasional menggunakan jalur laut. Letak geografis ini pula yang menjadikan kawasan ini sensitif dari segi strategis, ekonomis, dan budaya. Ketiga yaitu aspek keagamaan. Timteng merupakan tempat lahirnya agama Yahudi, Kristen dan Islam. Tempat-tempat suci agama-agama besar Samawi seperti Baitul Muqaddas, Kabah, dan tempat lahirnya Nabi Isa AS dan Sinagog-sinagog besar orang Yahudi pun berada kawasan ini. Dan terakhir yaitu aspek ekonomis, kawasan ini memiliki sumber-sumber minyak dan gas yang paling kaya. Wajar jika ada banyak pihak berkeinginan untuk menguasai kawasan Timteng. Belum lagi kenaikan harga minyak dunia yang pernah mencapai tingkat tertinggi membuat negara-negara di Timteng, khususnya kawasan Teluk berlimpah kekayaan. Hal ini menjadikan banyak dari negara-negara luar ingin menjadikan negara-negara di Timteng sebagai mitra dagang dan mitra investasi yang sangat potensial. Dari keempat aspek/isu tersebut dapat dikatakan bahwa Timteng merupakan kawasan yang memiliki tingkat kerawanan tinggi seiring hadirnya campur tangan dan kepentingan yang ada. Keberhasilan revolusi Iran merupakan salah satu hal yang tidak dapat diduga di tengah terjadinya konflik di Timteng. Semangat revolusi Iran akan selalu mengiringi kebijakan luar negeri Iran di kawasan ini yaitu upaya terwujudnya persatuan umat Islam (negara-negara Timur Tengah mayoritas Islam). Iran dapat saja memanfaatkan posisi dan pengaruhnya di Timur Tengah dengan jangkauan jauh ke depan yaitu menyebarkan paham Syiah di seluruh dunia.

Masa Depan Politik Luar Negeri Iran Hadirnya Iran sebagai kekuatan baru tidak terlepas dari keberhasilan diplomasi di berbagai forum internasional walaupun di dalam negeri terdapat dua kubu yang mempunyai perbedaan signifikan. Saya melihat terjadi pergulatan politik antara kubu Konservatif dan reformis. Apakah persaingan dua kubu ini akan mengubah politik luar negeri Iran? Saya rasa politik luar negeri Iran tidak akan mengalami perubahan yang signifikan selama konsep kenegaraan Wilayatul Faqih masih diterapkan. Dikatakan demikian karena konsep ini mengamanatkan bahwa

page 5 / 6

R.A.N.T.A.U | Politik Luar Negeri Iran: Akankah Berubah?


Copyright Khunaipi khunaipi_hi@webmail.umm.ac.id http://khunaipi.student.umm.ac.id/2010/04/08/politik-luar-negeri-iran-akankah-berubah/

pemimpin tertinggi dipegang oleh pemimpin spiritual (imam) bukan Presiden. Pemimpin spiritual adalah pemegang otoritas agama, dan politik serta keputusan perang atau damai termasuk untuk urusan negeri banyak dipengaruhi oleh campur tangan sang imam. Pergolakan politik di Iran pasca pemilu 2009 menunjukkan semakin meruncingnya persaingan dua kubu. Namun siapapun yang menang dalam perebutan kekuasaan di Iran tidak dapat mampu merubah arah kebijakan politik luar negeri Iran karena masing-masing pihak selalu menjadikan revolusi islam 1979 sebagai acuan dalam setiap garis kebijakannya hanya saja jalan yang ditempuh masing-masing kubu yang membedakan sikap politik luar negeri Iran.

page 6 / 6

You might also like