You are on page 1of 19

READING

POSTERIOR CORD SYNDROME

Oleh : Adnyana Putra 0202005013

Pembimbing : dr. Tjok Gde Bagus Mahadewa, Sp.BS, M.Kes

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH FEBRUARI 2008

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas reading berjudul Posterior Cord Syndrome tepat pada waktunya. Tugas reading ini merupakan syarat untuk mengikuti ujian akhir pada Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Dalam menyusun reading ini, penulis banyak mendapat masukan, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. 2. 3. 4. dr. A.A.Asmarajaya, SpBP selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Bedah FK dr. W. Steven Cristian, SpB(K)Onk selaku Koordinator Pendidikan di dr. Tjok Gde Bagus Mahadewa, SpBS, M.Kes selaku pembimbing dalam Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang Akhir kata, penulis menyadari bahwa reading ini tidak luput dari kesalahan. Saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan reading ini. Semoga reading ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia kedokteran. Denpasar, Februari 2008 Penulis Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Bagian/ SMF Ilmu Bedah FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah. reading ini. telah turut serta membantu dalam penyusunan reading ini.

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR GAMBAR........................................................................................ BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................ BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 2.1 2.2 ANATOMI MEDULA SPINALIS....................................................... SPINAL CORD INJURY ....................................................................3 2.2.1 2.2.2 2.2.3 2.2.4 2.2.5 2.3 Epidemiologi Patogenesis Klasifikasi Penatalaksanaan Komplikasi .................................................................3 .................................................................4 .................................................................5 .................................................................5 .................................................................7 9 9 9 12 13 14 ii iii iv 1 2 2

POSTERIOR CORD SYNDROME....................................................... 2.3.1 Definisi dan Epidemiologi.......................................................... 2.3.2 Patofisiologi................................................................................ 2.3.3 Gejala Klinis............................................................................... 2.3.4 Prognosis.....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Berbagai jalur saraf dalam medula spinalis.................................... Gambar 2. Halo vest......................................................................................... Gambar 3. Philadelphia collar dan Miami-J collar......................................... Gambar 4. Daerah cedera pada tipe posterior cord syndrome......................... Gambar 5. Cedera hiperekstensi....................................................................... Gambar 6. Vaskularisasi medula spinalis......................................................... Gambar 7. Pembentukan dan perjalanan fasciculus dorsalis........................... Gambar 8. Gaya berjalan tabes dorsalis........................................................... 6 9 10 11 12 13 3 6

BAB 1 PENDAHULUAN Medula spinalis merupakan salah satu komponen saraf yang sangat vital dan terlindungi dengan baik di dalam kanalis vertebralis dengan berbagai macam struktur yang melindunginya. Medula spinalis berfungsi sebagai transit dari impuls saraf baik yang berasal dari tubuh untuk diteruskan ke otak maupun sebaliknya. Medula spinalis juga berfungsi dalam timbulnya berbagai refleks. Kecelakaan yang menimbulkan cedera spinal atau spinal cord injury (SCI) bersifat jarang terjadi, akan tetapi mortalitas yang disebabkan oleh SCI jauh lebih besar dibandingkan dengan mortalitas yang disebabkan oleh trauma yang lain. Dominasi penyebab dari SCI tergantung dari usia pasien. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mempelajari mekanisme cedera seluler pada SCI terutama dikhususkan pada berbagai neurotransmiter yang terlibat. SCI terdiri atas tipe komplit dan tipe parsial. Posterior cord syndrome merupakan salah satu subtipe dari SCI tipe parsial. Posterior cord syndrome terjadi jika terdapat cedera pada daerah posterior medula spinalis. Kasus posterior cord syndrome bersifat jarang. Mekanisme terjadinya posterior cord syndrome dihubungkan dengan terjadinya hiperekstensi serta kerusakan pada arteri di daerah posterior dari medula spinalis. Gejala klinis dari posterior cord syndrome merupakan manifestasi dari rusaknya struktur jalur saraf medula spinalis yang terdapat dalam cedera spinal jenis ini. Prognosis ambulasi dari posterior cord syndrome bersifat jelek.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI MEDULA SPINALIS1,2

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen) lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman duramater arachnoid ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang Lapisan meningen terdiri atas pachymeninx (duramater) dan leptomeninx (arachnoid dan piamater). Pada masa kehidupan intrauterin usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama dengan panjang kanalis vertebralis, sedang dalam masa-masa berikutnya kanalis vertebralis tumbuh lebih cepat dibandingkan medula spinalis sehingga ujung kaudal medula spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat yang lebih tinggi. Pada saat lahir, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kaudal corpus vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis umumnya terletak setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis II atau setinggi discus intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II. Terdapat banyak jalur saraf (tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada gambar di berikut.

pembuluh-pembuluh darah vena

cerebrospinalis langsung membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis

Gambar 1. Berbagai jalur saraf dalam medula spinalis2 2.2 SPINAL CORD INJURY3 2.3.1 Epidemiologi

Kecelakaan yang menyebabkan spinal cord injury (SCI) terutama yang bersifat akut berdasarkan suatu penelitian di AS ditemukan sebesar 2,6% dari seluruh pasien trauma. Pada 1970 tercatat 40 per 1000 populasi di AS, dan 28-50 per 1000 penduduk pada dekade berikutnya, atau sekitar 8000-10.000 cedera tiap tahun. Banyak studi menyebutkan bahwa SCI lebih sering terjadi pada laki-laki dan berumur kurang dari 30-40 tahun. Secara umum penyebab SCI pada orang dewasa antara lain : kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (20%), dan luka tembak (14%). Pada anak-anak, kecelakaan kendaraan bermotor mendominasi penyebab SCI (39-52%) sedangkan pada usia tua (>65 tahun), jatuh adalah penyebab utama SCI (53%). Satu studi menyebutkan 13% dari SCI disebabkan oleh kecelakaan kerja, dimana kebanyakan terjadi pada daerah konstruksi. SCI lebih sering terjadi pada akhir minggu dan hari libur. Kebanyakan level SCI antara lain : servikal (55%),

toraks (30%), dan lumbal (15%). Sekitar 95% SCI hanya terjadi pada satu daerah spinal. Sekitar 80% SCI berhubungan dengan trauma multipel. Kematian akibat SCI sekitar 12-16 kali lebih besar dibanding trauma lain. Kebanyakan kematian akibat SCI terjadi dalam waktu 24 jam setelah masuk RS dan terutama terjadi pada SCI dengan trauma multipel. Lama rawat inap di ICU oleh karena SCI rata-rata sekitar 1 minggu dan secara keseluruhan lama rawat inap di RS antara 2-4 minggu. 2.3.2 Patogenesis

Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi. Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor Nmethyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-carboxypiperazin-4-yl)propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan, dan MK801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera neurologis sekunder. Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, betaendorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI.

Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan fungsi yang lebih baik. Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan, kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi. 2.3.3 Klasifikasi

Klasifikasi paling dasar dari SCI adalah cedera komplit (complete injury) dan cedera parsial (partial injury). Cedera komplit didefinisikan sebagai kehilangan total fungsi sensoris dan fungsi motoris pada area yang terinervasi lebih dari 2 level di bawah lokasi tulang belakang yang cedera dan bertahan selama lebih dari 48 jam. Perbaikan setelah cedera komplit biasanya minimal, dan fungsi neurologis jarang meningkat beberapa derajat. Cedera parsial dapat dibagi dalam beberapa tipe, antara lain : a. Anterior cord syndrome b. Central cord syndrome c. Brown-Sequard syndrome d. Posterior cord syndrome 2.3.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk stabilisasi sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment yang baik, dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder. Setelah transportasi dan

evaluasi awal telah lengkap, extended-external fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan. Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat direhabilitasi. Imobilisasi dan Traksi Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina servikal. Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J collar bersifat mirip tetapi lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran.

Gambar 2. Halo vest

(a) Gambar 3. Philadelphia collar (a) dan Miami-J collar (b)

(b)

10

Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur spina servikal adalah thermoplastic Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan halo vest sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi rotasi dibandingkan TMBJ. Farmakoterapi a. Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB secara bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari metilprednisolon ini kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi terhadap peroksidasi lipid dibandingkan efek glukokortikoid. b. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus lambung. 2.3.5 Komplikasi

Pasien dengan SCI sering mengalami cedera multipel. Perlu untuk mempertahankan volume intravaskular dengan aliran darah yang optimal yang ditunjukkan oleh nilai hematokrit antara 30-34%. Hiperpireksia perlu dikontrol secara agresif untuk mencegah cedera spinal lebih lanjut. Terjadinya demam berdasarkan studi berhubungan dengan saluran kencing atau infeksi jaringan ikat. a. Sistem Saraf Dapat terjadi siringomyelia oleh karena pembesaran progresif ruangan intramedular yang disebabkan oleh hematomyelia traumatik atau infark. Diagnosis ditegakkan dengan MRI.

11

Dapat pula terjadi penghambatan medula spinalis (spinal cord tethering) oleh karena fibrosis dan traksi pada segmen medula fungsional. Spastisitas oleh karena kehilangan impuls inhibisi dari otak dapat menghambat higiene dan posisi tubuh. Pengobatan berupa klonidin transdermal, baclofen oral atau insersi permanen pompa baclofen intratekal. b. Sistem Respirasi Sekitar 21% dari penyebab kematian pada SCI adalah komplikasi respirasi terutama pada cedera di daerah servikal. Jika terjadi disfungsi otot bantu napas pasien sebaiknya dalam posisi telentang. Higiene paru dipertahankan dengan drainase postural dengan pemindahan manual setiap 2 jam atau fisioterapi dada. Fisioterapi diafragma dapat dikerjakan setiap hari. c. Sistem Urinarius Dapat terjadi disfungsi kandung kemih dimana terjadi kelemahan kandung kemih dengan overflow incontinentia oleh karena distensi, diikuti dengan spastisitas kandung kemih setelah beberapa minggu atau beberapa bulan ditandai dengan peningkatan frekuensi kencing. Pengobatan berupa kateterisasi cepat dilanjutkan dengan kateterisasi intermiten. Infeksi traktus urinarius adalah komplikasi umum disfungsi kandung kemih. Penggunaan antibiotik profilaksis masih bersifat kontroversi. d. Tromboembolisme Baik deep vein thrombosis (DVT) maupun emboli paru bersifat umum pada fase akut cedera spinal, yang terjadi oleh karena stasis vena, cedera vaskuler pada trauma multipel, atau hiperkoagulabilitas. Profilaksis yang direkomendasikan berupa penggunaan stoking selama 2 minggu setelah cedera dan pemberian antikoagulan pada saat kurang dari 72 jam setelah cedera. Dalam hal ini dapat diberikan heparin minidose (5000 unit subkutan, 3 kali sehari). Antikoagulan berikutnya dapat diberikan untuk mempertahankan PTT melebihi 1,5 kali kontrol. Antikoagulan distop 24 jam sebelum operasi dan dilanjutkan 6 jam setelah operasi. Dianjurkan pengobatan profilaksis dilanjutkan hingga 2 bulan.

12

e. Gastrointestinal Disfungsi gastrointestinal dapat menimbulkan ileus masif. Pemasangan pipa nasogastrik diperlukan jika komplikasi ini dapat tidak bergejala misalnya jika pasien menderita kuadriplegia. Pelunak feses maupun enema dapat mempermudah pengosongan usus. f. Jaringan Ikat dan Tulang Komplikasi yang sering terjadi berupa ulkus dekubitus dimana dapat dicegah dengan pemindahan pasien yang sering. Pengobatan ulkus dekubitus berupa dressing, debridement, hingga flap rotasi. 2.3 POSTERIOR CORD SYNDROME 2.3.1 Definisi dan Epidemiologi4,5,6

Posterior cord syndrome terjadi pada bagian belakang spinal cord. Posterior cord syndrome disebut juga sebagai contusio cervicalis posterior. Posterior cord syndrome sangat jarang ditemukan pada tipe incomplete Spinal Cord Injury (SCI).

Gambar 4. Daerah cedera pada tipe posterior cord syndrome 2.3.2 Patofisiologi1,5,7,8,9

Posterior cord syndrome terjadi bila sebuah objek ditekan ke bagian belakang spinal cord. Posterior cord syndrome juga dihubungkan dengan cedera hiperekstensi servikal. Gambar berikut menunjukkan cedera hiperekstensi.

13

Gambar 5. Cedera hiperekstensi7 Hiperekstensi jarang terjadi pada daerah torakolumbal tetapi sering ditemukan pada leher; pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke belakang dan tidak ada yang menyangga oksiput hingga kepala membentur bagian atas punggung. Ligamen longitudinal anterior dan diskus dapat rusak. Riwayat memar pada muka atau laserasi sering menunjukkan mekanisme cedera. Pemeriksaan sinar-X tidak memperlihatkan fraktur tetapi film yang luas memperlihatkan celah di antara bagian depan kedua corpus vertebrae. Cedera ini stabil pada posisi netral dimana cedera ini harus dipertahankan dengan ban leher selama 6 minggu. Disebutkan bahwa posterior cord syndrome terjadi karena kompresi atau kerusakan pada arteri spinalis posterior. Sesuai dengan asas-asas umum vaskularisasi susunan saraf pusat, arteri spinalis posterior yang merupakan suatu arteri terminal (end artery) dalam arti fungsional; yang berarti penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menimbulkan degenerasi jaringan saraf yang dilayaninya (dalam hal ini bagian posterior medula spinalis), oleh karena tidak dapat terjadi pertumbuhan dan perkembangan suatu peredaran darah kolateral secara efektif dan efisien. Arteri spinalis posterior merupakan cabang langsung dari arteria vertebrales yang hanya terlihat jelas pada segmen servikal bagian kranial atau langsung memperkuat plexus pialis setempat. Gambar berikut menunjukkan vaskularisasi medula spinalis.

14

Gambar 6. Vaskularisasi medula spinalis1 Secara klinis pasien memiliki fungsi spinotalamikus yang masih utuh tetapi kehilangan fungsi traktus kortikospinalis dan posterior column. Pada posterior column terdapat fasciculus dorsalis. Fasciculus dorsalis terdiri atas fasciculus gracilis (Goll) dan fasciculus cuneatus (Burdach). Fasikulus ini berfungsi menghantarkan impuls raba spesifik diskriminatif, proprioseptif dan kinestetik ke talamus dan akhirnya mencapai korteks serebri. Reseptor rasa raba spesifik terdapat pada corpusculum Meissner. Impuls-impuls proprioseptif timbul akibat rangsangan pada reseptor di dalam otot lurik, tendo, sendi, atau capsula articularis. Impuls ini selain berfungsi propriosepsi (tanpa disadari) juga memberikan keteranganketerangan kepada individu yang bersangkutan tentang posisi dan pergerakan berbagai bagian tubuh (kinestesi). Serat yang menyusun fasciculus dorsalis merupakan akson dari sel neuron besar unipolar berselubung myelin yang tebal. Serat ini mengalami bifurcatio (percabangan); satu cabang utama yang panjang berjalan ke arah kranial, dan satu cabang lainnya berakhir dalam substansia grisea setempat. Cabang-cabang yang panjang ini berkumpul membentuk fasiculus gracilis dan fasciculus cuneatus. Gambar berikut menunjukkan pembentukan dan perjalanan fasciculus dorsalis. 15

Gambar 7. Pembentukan dan perjalanan fasciculus dorsalis1 2.3.3 Gejala Klinis4,5,7,8

Pasien biasanya tetap memiliki kekuatan otot yang masih utuh dan sensasi suhu dan nyeri, tetapi kesulitan dalam mengkoordinasikan alat gerak. Tidak ada sensasi getaran atau sensasi posisi. Propriosepsi menghilang oleh karena kerusakan pada dorsal column. Berjalan sangat sulit oleh karena kehilangan sensasi getaran. Pada situasi ini pasien harus melihat ke kakinya untuk memastikan bahwa kakinya berada pada posisi yang tepat sehingga pasien tidak akan jatuh. sumber lain menyebutkan bahwa posterior cord syndrome dapat menimbulkan gejala nyeri dan parestesia (sering bersifat membakar) pada leher, lengan atas, dan dada, dan timbulnya gejala ataksia berat.

16

2.3.4

Prognosis6,10,11,12

Prognosis posterior cord syndrome secara umum bersifat baik tetapi prognosis ambulasi bersifat buruk. dimana banyak pasien mengalami kesulitan berjalan karena kehilangan propriosepsi, dimana hal ini bermanifestasi sebagai slapping gait (gaya berjalan pemungut puntung rokok) seperti pada tabes dorsalis. Dalam gaya jalan ini terlihat bahwa penderita selalu memperhatikan kakinya. Matanya selalu melirik ke kakinya. Jalannya agak mengangkang dan serta kakinya diangkat terlalu tinggi dan dijatuhkan terlalu keras ke lantai. Pada penderita itu tes Romberg adalah positif.

Gambar 8. Gaya berjalan tabes dorsalis12

17

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Sukardi E. Neuroanatomia Medica. Jakarta: Penerbit Universitas Gondim, F de AA, Thomas FP. Spinal Cord, Topographical, and

Indonesia (UI-Press), 1984. Functional Anatomy. Available in: www.emedicine.com/neuro/topic657.htm Last updated : January 11, 2007. (Accessed : January 28, 2008). 3. Marion DW, Przybylski GJ. Injury to the Vertebrae and Spinal Cord. In: Trauma. Mattox KL, Feliciano DV, Moore EE (eds). New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2000. 4. 5. Anonim. Spinal Cord Injury. Availabe in: 550/p5/Surgery_%20p5/5spinal Anonim. Clinical Manifestations of Acute Spinal Cord Injury. Available % 20cord%20injury.ppt (Accessed : January 28, 2008). in: www.spineuniverse.com/pdf/aans/p7_12aans_chapter.pdf (Accessed : January 28, 2008). 6. Injury. (Accessed : January 28, 2008). 7. 8. Anonim. Spinal Cord Injuries. Available in: www.occc.edu/health/PPT/ Anonim. Spinal Trauma. Available in: SpinalCordInjuries.ppt (Accessed : January 28, 2008). www.emergencymed.co.za/powerpoint/ 5_7_06spinalinj.ppt (Accessed : January 28, 2008). 9. 10. Apley, AG, Solomon L, Mankin HJ. Cedera Spina. In: Buku Ajar Vaccaro AR, Zlotolow DA. Fractures and Dislocations of the Lower Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya Medika, 1995. Cervical Spine. In: Rockwood and Greens Fractures in Adults (2 Volume Set) 5th ed. Rockwood CA, Bucholz RW, Heckman JD, Green DP (eds). Lippincott Williams & Wilkins, 2001. 11. Ngoerah IGNG. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga (Airlangga University Press), 1991. 18 Grissom S. Social, Occupational, and Medical Aspects of Spinal Cord Available in: AgrAbility1.ppt

www.agrabilityproject.org/events/workshop2006/documents/

12.

Adnyana MO. Slide Kuliah Neurologi Semester VI FK Universitas

Udayana : Koordinasi. Denpasar: Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, 2005.

19

You might also like