You are on page 1of 8

Persamaan dan Perbedaan Sistem Politik Islam dan Demokrasi

Juni 25, 2007 oleh fillah Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Demokrasi (3 dari 10 Tulisan) Biasanya, setiap prinsip buatan manusia lemah. Jadi, sudah sewajarnya jika demokrasi memiliki cacat. Itulah yang membuatnya berbeda dengan syura Islam. Dalam hal persamaan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi, ada pandangan yang bagus dan seimbang dari salah seorang pemikir Islam dari Mesir, Dr. Dhiyauddin ar Rais. Persamaan antara Islam dan Demokrasi Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya menyangkut pemikiran sisstem politik tentang hubungan antara umat dan penguasa serta tanggung jawab pemerintahan. Akhirnya, ar Rais sampai pada kesimpulan bahwa antara Islam dan demokrasi tidak hanya memiliki persamaan di bidang politik. Lebih dari itu, unsur-unsur yang terkandung dalam demokrasi dan keistimewaannya pun sudah terkandung di dalam Islam. Dalam menerangkan hal itu, dia mengatakan, Jika yang dimaksud dengan demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Jika maksud demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt. Perbedaan antara Islam dan Demokrasi Menurut Dhiyauddin ar Rais, ada tiga hal yang membedakan Islam dan demokrasi. Pertama, dalam demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun

yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional. Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental. Ketiga, kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi. Menurut Islam, kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh-tokoh agamanya karena Islam tidak sama dengan teokrasi. Begitupun bukan di tangan UU karena Islam tidak sama dengan nomokrasi atau di tangan umat karena Islam bukan demokrasi dalam pengertian yang sempit. Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat nyata sebagai perpaduan dua hal, yaitu umat dan undang-undang atau syariat Islam. Jadi, syariat pemegang kekuasaan penuh dalam negara Islam. Dr. Dhiyauddin ar Rasi menambahkan, jika harus memakai istilah demokrasi tanpa mengabaikan perbedaan substansialnya sistem itu dapat disebut sebagai demokrasi yang manusiawi, menyeluruh (internasional), religius, etis, spiritual, sekaligus material. Boleh pula disebut sebagai demokrasi Islam atau menurut al Maududy demokrasi teokrasi. Demokrasi seperti itulah yang dipahami aktivis Islam termasuk Ikhwanul Muslimun saat terjun di dalam kehidupan politik dan bernegara di negara demokrasi. Ustadz Mamun al Hudhaibi hafizhahullah pernah ditanya pandangan Ikhwan tentang demokrasi dan kebebasan individu. Katanya, Jika demokrasi berarti rakyat memilih orang yang akan memimpin mereka, Ikhwan menerima demokrasi. Namun, jika demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum-hukum Allah Swt dan mengikuti kehendak mereka, Ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam sistem yang memungkinkan syariat Islam diberlakukan dan kemungkaran dihapuskan. Menolong, meskipun sedikit, masih lebih baik daripada tidak menolong. Mengenai kebebasan individu, Ikhwan menerima kebebasan individu dalam batasbatas yang dibolehkan Islam. Namun, kebebasan individu yang menjadikan muslimah memakai pakaian pendek, minim dan atau seperti pria adalah haram dan Ikhwan tidak akan toleran dengan hal itu. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab

Yana Aja

Pendahuluan Dewasa ini demokratisasi merambah semua aspek kehidupan, tidak hanya pada bidang politik. Hal ini dapat dilihat dari suara-suara yang mengemuka dan proses yang berjalan ke arah sana. Ini disebabkan arus globalisasi yang begitu deras sehingga mempengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat. Terlebih demokrasi menurut pengusungnnya menawarakan pengakuan hak-hak individu seluas-luasnya. Menawarkan kepada setiap individu untk menentukan pilihan politiknya sendiri, menawarkan persamaan gender (kesamaan antara laki-laki dan perempuan) dan emansipasi, tidak peduli menerobos wilayah agama, menawarkan kepada setipa individu untuk meyakini dan memeluk agama apapun serta berpindah agama. Itulah prinsip-prinsip demokrasi yang selalu dipropagandakan dan pihak manapun tidak menekannya. Siapa yang merampasnya berarti melanggar HAM, karena HAM itu memang anak kandung demokrasi. Pemahaman demokrasi yang selama ini kita ketahui yaitu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sehingga segala keputusan ataupun kebijakan yang diambil pemerintah itu seharusnya diputuskan karena kehendak rakyat karena hasil kebijakan yang ditetapkan itu pun yang menjalankan adalah rakyat. Jadi jika dalam prakteknya demokrasi yang diterapkan suatu Negara sama dengan teorinya seharusnya permasalah-permasalahan yang ada sekarang ini itu tidak ada namun, melihat faktanya demokrasi sendiri yang diterapkan sudah melenceng jauh seperti teorinya. Konsep demokrasi sendiri menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu Negara. Seperti yang saya katakan demokrasi merupakan salah satu konsep atau system politik yang berasal dari Barat. Demokrasi memiliki arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalan organisasi yang dijamin. Hingga saat ini, demokrasi merupakan terminology politik yang paling popular dan sering dipakai beberapa Negara termasuk juga Negara-negara di dunia Muslim. Sebenarnya istilah demokrasi itu sendiri bagi pemikiran Islam baru berkembang ketika paruh abad ke-19. Pemikir-pemikir Islam di beberapa dunia ini sekitar abad ke-20 mulai membicarakan masalah demokrasi dengan Islam, mereka memandang bahwa demokrasi sebagai sesuatu hal yang positif. Hingga akhirnya para pemikir Islam ini moncoba mencari kesamaan antara demokrasi dari Barat ini terhadap ajaran-ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dan AsSunnah. Lalu, muncullah apa yang disebut dengan syura. DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF BARAT A. Sejarah Perkembang Demokrasi Barat Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 SM. Bentuk demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu adalah demokrasi langsung dimana hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung berdasarkan prosedur mayoritas. Bentuk demokrasi langsung tersebut dapat dijalankan dengan baik di Yunani Kuno, disebabkan karena Negara Kota ini merupakan wilayah Negara yang tidak terlalu besar dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 jiwa sehingga demokrasi dapat dijalankan walaupun dalam kondisi sederhana. Selain itu ketentuan-ketentuan untuk menikmati hak demokrasi hanya dapat dirasakan oleh warga Negara resmi, sedangkan budak, pedagang asing, perempuan dan anakanak tidak dapat menikmatinya. Gagasan demokrasi di Yunani Kuno ini berakhir pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan masyarakat barat dicirikan dengan feodalisme, kehidupan spiritual

dikuasi oleh Paus dan pejabat agama, dan kehidupan politiknya selalu diwarnai dengan perebutan kekuasaan diantara para bangsawan. Karena itu demokrasi tidak dapat berjalan pada abad ini. Keadaan seperti itu terus berlanjut hingga kemunculan kelompok yang ingin menghidupkan kembali demokrasi tumbuh kembang dan puncaknya adalah lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) sebuah piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan Inggris dan Raja John yang merupakan tonggak kebangkitan demokrasi empirik. Momentum lain yang menandai kebangkitan kembali demokrasi di dunia barat adalah gerakan rennaisance dan reformasi. Renaissance lahir di barat karena adanya kontak dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan ilmu pengetahuannya. Karena itu seorang orientalis Philip K. Hitti menyatakan bahwa dunia Islam telah memiliki sumbangan besar terhadap perkembangan dan kemajuan eropa. Sedngkan reformasi, suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di eropa pada abad ke-16 yang bertujuan memperbaiki keadaan dalam gereja katolik. Hasil dari gerakan reformasi adalah adanya peninjauan terhadap doktrin gereja katolik yang berkembang menjadi protestanisme. Usaha untuk mendobrak pemerintahan absolut dan dominasi gereja itu didasarkan pada teori rasionalitas social-contract (perjanjian masyarakat) serta menetapkan hak-hak politik rakyat dalam satu asas yang disebut demokrasi. Dua filosof besar yaitu John Lock dan Montesquieu telah memberikan subangan besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi. John Lock (1632 1704) menegmukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak milik; sedangkan Montesquieu (1689 1944) mengungkapkan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut adalah melalui trias politica-nya, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri secara merdeka. B. Makna dan Hakikat Demokrasi Barat Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis), secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demoscratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Dengan pendekatan normatif, istilah demokratia berarti pemerintahan oleh rakyat. Atau dalam rumusan negarawan Amerika, Abraham Lincoln, pada 1963, demokrasi adalahpemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people). Dalam suatu negara rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi (government of rule by the people). Rakyat merupakan pemegang policy dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, masih banyak defenisi demokrasi yang berbeda-beda maknanya. Salah satu seperti Dahl, misalnya, mengajukan pendefinisian demokrasi sebagai sebuah idel politik modern, yang mencakup lima kriteria. Pertama, persamaan hak pilih, yaitu bahwa setiap warga negara memiliki hak istimewa dalam proses membuat keputusan kolektif, dan hak ini harus diperhatikan secara berimbang dalam menentukan kepusan terakhir. Kedua, partisipasi efektif, yaitu bahwa setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk mengemukakan hak-hak istimewanya dalam proses pembuatan keputusan. Ketiga, pembeberan kebenaran, yaitu bahwa setiap warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk menilai secra logis demi mencapai hasil yang terbaik. Keempat, kontrol terakhir terhadap

agenda, yaitu bahwa masyarakat harus memiliki kekuasaan eksklusif untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diutuskan melalui proses kekuasaan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu kepada orang lain atau lembaga yang mewakilinya. Dan kelima, pencakupan, yaitu bahwa masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dari beberapa defenisi yang dikemukan beberapa ahli politik tersebut nampaknya ahli politik mementingkan atau mendahulukan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan politik. Meskipun dalam terminologinya memilki banyak batasan pengertian, namun batasan yang dikemukakan para pakar politik tersebut tanpak menemukan titik temu yang sama. Yaitu, bahwa demokasi memilki doktrin dasar yang tidak pernah berubah. Doktrin tersebut adalah adanya keikutsertaan anggota masyarakat, yaitu partisipasi rakyat dalam menyusun agenda politik yang dijadikan landasan pengambilan keputusan. Perlu kita ketahui pula bahwa landasan utama dari system demokrasi adalah norma-norma egalitarianism (persamaan) dan liberty (kebebasan) yang dalam perkembangan modern dikukuhkan dalam Hak-hak Asasi Manusia Universal. Khususnya, hak-hak dasar yang berkaitan dengan hak berbicara, menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul adalah norma paling dasar. Seterusnya, kedaulatan rakyat, rule of law, dan pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat (baik langsung maupun tidak langsung) juga merupakan norma-norma dasar dalam demokrasi. Sementara itu, komponen prosedural demokrasi antara lain adalah sistem perwakilan, pola-pola pemilihan dan rotasi yang berkala atas mereka yang diberi amanat/mandat oleh rakyat, adanya pemisahan kekuasaan atas cabang-cabang pemerintahan, penerapan mekanisme checks and balances antar lembaga negara, partisipasi yang tinggi oleh warganegara dalam urusan publik, tata kelola yang baik (good governance) dalam pemerintahan, dan sebagainya. DEMOKRASI DALAM ISLAM Wacana tentang hubungan Islam dan demokrasi sering mendapat perhatian yang istimewa. Mengenai demokrasi yang merupakan produk ciptaan Barat, perbincangan antara Islam dan demokrasi sebenarnya secara tidak langsung menonjolkan wacana tentang Islam dan Barat. Bahkan, penerimaan umat Islam terhadap nilai-nilai demokrasi dianggap satu penghargaan dan dukungan Islam terhadap ide-ide Barat. Pada dasarnya, dalam berbicara mengenai konsep Islam dan demokrasi, kita tidak dapat terikat dengan definisi yang rigid dan kaku. Sebagai contoh, Islam tidak dapat dibincangkan dengan demokrasi jika sistem politik ciptaan barat itu disorot dari sudut kebebasan individu dan kedaulatan manusia semata-mata. Begitu juga demokrasi tidak dapat dibincangkan dengan konsep politik Islam jika konsep tersebut dilihat hanya dari sudut kedaulatan Allah semata-mata. Justeru, perbincangan Islam dan demokrasi harus dimulai dengan mencari titik temu antara kedua sistem tersebut. Bagaimanapun, pencarian titik temu itu tidak bermaksud untuk mencapai kesimpulan bahawa Islam dan demokrasi itu adalah sama. Namun apa yang dapat kita katakan ialah bahwa Islam dan demokrasi mempunyai beberapa persamaan yang dapat dikaitkan. Antara perkara yang dapat ditawarkan dalam Islam ialah syura (perundingan), bay`ah (janji ketaatan bersama), ijma (pemuafakatan), ijtihad (penterjemahan) dan maslahah (kepentingan awam), kepelbagaian (al-ta`addudiyyah), pertanggungjawaban awam (al-masuliyyah), ketulusan (shafafiyyah). Kesemua prinsip tersebut dapat menunjukkan bahawa Islam tidak kurang dalam landasan-landasan asas yang serasi dengan makna demokrasi. Wacana tentang Islam dan demokrasi telah menemukan berbagai reaksi dan pandangan. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu pertama, mereka yang menerima demokrasi dengan alasan Islam turut menyediakan landasan demokratik seperti yang

dinyatakan oleh Haddad. Golongan kedua menurut Ahmad Bashir merujuk kepada mereka yang menolak demokrasi dengan alasan sistem politik ciptaan Barat itu berlawanan dengan kedudukan Allah sebagai pembuat hukum atau musyarri`. Demokrasi dikatakan memberi kebebasan sewenangnya kepada manusia untuk menentukan hukum atau undang-undang. Lebih dari itu, konsep theo-democracy, popular vice regency dan faraghat dalam wacana islam dan demokrasi dianggap agama baru yang dapat mendatangkan kemusyirikan kepada Allah. Bagaimanapun, hasil perbincangan antara Islam dan demokrasi secara ilmiah yang dipelopori oleh sebagian pemikir Islam, telah memunculkan beberapa konsep yang secara dasarnya melihat hubungan antara kedua-duanya secara lebih positif dan tidak kurang mengambil sikap yang cukup tegas. Konsep-konsep tersebut ialah theo-democracy dan popular vicegerency yang dibawa oleh Maulana al-Mawdudi, faraghat oleh Rashid Ghannounchi dan Islam sebagai agama semidemokrasi oleh Niaz Faizi Kabuli. Konsep-konsep tersebut dikatakan telah menyumbang kepada kelahiran tesis bahawa Islam telah menggariskan beberapa aturan (setting) dalam hubungannya dengan demokrasi. Menurut Al-Maududi (pengasas dan bekas pemimpin Jamaat Islami Pakistan), istilah teodemokrasi adalah lebih tepat bagi sebuah negara Islam. Kerana di dalam sebuah negara demokrasi Islam, rakyat akan memerintah berlandaskan batasan-batasan yang ditentukan oleh al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Beliau telah menggariskan tiga prinsip utama dalam sebuah negara Islam yaitu: 1. Tidak ada orang, golongan atau kelompok bahawa seluruh penduduk yang menempati dalam sebuah negara sekalipun dapat mengakui mempunyai kekuasaan dan kedaulatan. Hanya Allah pemilik kekuasaan dan kedaulatan yang sebenar. Semua yang lain adalah hamba-Nya. 2. Allah pemilik undang-undang yang hakiki dan kekuasaan mutlak membuat undang-undang adalah milik-Nya. Orang-orang Islam tidak dapat membuat undang-undang yang bertentangan dan tidak dapat mengubah undang-undang sembarangsn yang ditetapkan oleh-Nya walaupun semua orang menyetujui untuk membuat undang-undang lain atau mengubah undang-undang Allah 3. Sebuah negara Islam harus didasarkan di atas hukum yang diwahyukan Tuhan dalam segala sesi dan ruang lingkupnya. Kerajaan yang memerintah sebuah negara Islam hanya dapat ditaati dalam tugasnya sebagai badan politik yang dibentuk untuk melaksanakan undang-undang Allah, apabila ia melanggar undang-undang yang diturunkan Allah, perintahnya tidak wajib ditaati oleh orang-orang Islam. Jelas di sini menunjukkan bahawa rakyat diberikan tanggungjawab sebagai khalifah atau pelaksana hukum Allah berlandaskan ajaran agama Islam yang ditunjang dengan al-Quran dan sunnah. Dalam konteks ini, manusia sebagai khalifah tidak memiliki hak melaksanakan sesuatu hukum undang-undang ciptaan sendiri selain undang-undang Allah apalagi menghapuskannya. Di dalam demokrasi Islam, prinsip Syura sangat diprioritaskan. Syura di sini adalah berasal dari perkataan al-Musyawaratun atau Watasyawaru yang memiliki arti mengemukakan pendapat. Definisi tersebut jelas menunjukkan bahawa pendapat sangatlah diutamakan dalam sebuah keputusan. Melalui prinsip ini peranan ummat atau rakyat Islam adalah penting di dalam perlaksanaan dan pembuatan sesuatu dasar yang berlandaskan al-Quran. Selain daripada sistem Syura, terdapat satu lagi cara atau sumber ketiga yang menjadi pegangan dalam perlaksanaan suatu undang-undang Islam yaitu ijma. Ijma didefinisikan sebagai persetujuan umat Islam menegenai hal keagamaan. Ia merupakan persetujuan pendapat orang yang memiliki kesamaan secara rasional ataupun mengikut hukum. Rasulullah saw merupakan contoh terbaik dalam perlaksanaan sistem demokrasi Islam. Demokrasi yang didukung Rasululllaah saw pada ketika itu tidak sama sekali menidakkan hak

rakyat. Namun demikian, hak tersebut terbatas menurut batasan yang ditentukan oleh Allah. Soal pentadbiran dan perkara yang tidak ditetapkan oleh syariah diselesaikan melalui musyawarah dikalangan ulama dan pemimpin Islam. Penutup Dapat disimpulkan di sini bahawa demokrasi yang berprinsipkan Barat yang mendokong kuasa mutlak rakyat adalah berbeda dengan negara yang berdemokrasikan prinsip Islam. Perbedaan tersebut adalah berdasarkan pegangan agama yang menggariskan batasan tertentu dan undangundang yang wajib diikuti mengikut syariat yang telah ditetapkan-Nya. Manakala demokrasi dari pandangan Barat mempercayai bahawa pelembagaan dan agama adalah dua sistem yang berbeda satu sama lain. Demokrasi sebagai sebuah system Negara sekarang ini banyak dipakai oleh berbagai Negara yang ada di dunia termasuk juga Negara-negara Muslim. Dengan diterapkannya system demokrasi di Negara-negara Muslim menjadi obrolan atau pembahasan yang tak pernah habis dibahas oleh para tokoh politik maupun pemikir-pemikir lainnya. Permasalahan demokrasi Barat dan Islam ini menjadi semakin meruncing karena kompleksitas permasalahan Islam dan demokrasi ini sehingga mendorong para pengkaji atau peneliti kepada pembahasan dengan menggunakan satu atau beberapa macam pendekatan yang sangat spesifik. Dan dengan banyaknya pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat Muslim. Akibatnya, pembahasan tentang Islam dan demokrasi akan terus berkepanjangan, dan tak akan pernah kering. Faktor lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan demokrasi sekuler adalah pandangan yang berlaku dalam hubungan internasional, yang menggambarkan Islam dan Barat sebagai kekuatan yang bertentangan. Hal ini menciptakan suatu mentalitas terkepung di kalangan umat Muslim, dan mengubah Islam menjadi sebuah alat perlawanan politik. Karena itu, wacana keagamaan menjadi sebuah elemen kunci dalam retorika masa perang, sebuah kenyataan yang terlukis dalam tuntutan-tuntutan keagamaan yang dibuat oleh Saddam Hussein yang sebenarnya sekuler selama Perang Teluk 1990. Sehingga permasalahan demokrasi dan Islam ini membuat sebagian orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip Islam semakin takut kepada demokrasi. Hal tersebut kelihatannya seperti sebuah paradoks, tetapi umat Muslim kenyataannya memuji demokrasi sebagai sistem politik terbaik. Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti begitu banyak jajak pendapat yang telah menunjukkan bahwa umat Muslim ingin hidup di sebuah masyarakat demokratis: mereka memuji pemilihan umum yang bebas, kebebasan berpendapat, dan hak-hak asasi manusia. Dan banyak juga Negara-negara mayoritas Muslim menerapkan system demokrasi seperti Negara kita Indonesia. Di saat bersamaan, umat Muslim mengakui pentingnya peran yang dimainkan syariah, atau hukum Islam, dalam kehidupan mereka. Di sinilah letak perbedaan pengertian yang sering terjadi antara umat Muslim dan non-Muslim dalam pembahasan tentang demokrasi. Sehingga timbul demokrasi versi Islam.[]

You might also like