You are on page 1of 16

Penghapusan UN

PRO KONTRA UJIAN NASIONAL


Oleh: H. 1

Karso Lektor Kepala FPMIPA UPI


A. Pendahuluan Memang benar bahwa ujian nasional (UN) telah memunculkan kontroversi yang berkepanjangan yang masih meninggalkan sejumlah persoalan dan petanyaan yang menarik untuk dikaji. Mengapa muncul pro dan kontra? 1 1. Mengapa muncul kelompok yang menolak keberadaan UN? Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai kalangantentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapun dan mengantinya dengan ujian sekolah. Argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN antara lain: 1 a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 8 ayat 1: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. 2 b. Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap lebih penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan. 3 c. Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan sekarang bertentangan dengan kaidah pendidikan itu sendiri. Dalam kaidah pendidikan tes digunakan untuk menjamin kualitas anak didik, bukan untuk menghukumnya. Sekarang ini UN digunakan untk menghukum anak didik yang telah belajar selama tiga tahun tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan dalam beberapa menit dan beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya 1 pemerintah introspeksi diri bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan kesalahan itu dibebankan kepada para siswa. 2 d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru mata pelajaran yang di-UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan guru mata pelajaran yang non-UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru bimbingan belajar atau bentuk-bentuk kersajama antara lembaga bimbingan belajar dengan sekolah. Ada yang berangapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada UN, sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komisi X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember 2007) mengungkapkan bahwa Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah sebagai tempat belajar semakin kehilangan makna, sebab yang

terpenting bagaimana sekolah dapat meluluskan siswanya. Hal ini memang benar, karena sering terdengar adanya berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh oknum guru atau sekolah dalam pelaksanaan UN. 3 e. Belum lagi tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan jaminan kualitas lulusan meningkat. Sebagai contoh penulis pernah menemukan suatu sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya mengajarkan mata pelajaran yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas tiga. Kemudian menurut hasil penelitian di ITB, ternyata lebih banyak mahasiswa yang drop out yang pada waktu di SMA-nya mengikuti bimbingan belajar daripada mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar. 1 2. Mengapa muncul kelompok yang mendukung keberadaan UN?

Namun tentu saja wajar kalau ada pula kelompok yang mendukung untuk tetap dilaksanakannya UN. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu tetap dipertahankan, antara lain: 1 a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah pasal 35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti berikut ini. 1 1) Terhdap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta ddik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1). 2 2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan untuk memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1). 3 3) Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal 35, ayat 3) dan/atau lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. 4 4) Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk (a) pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan. 5 5) Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan membentuk lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2). 1 b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

2 c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan penylenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu menyediakan informasi yang akurat kepada masyarakat tentang 1 prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas. 1 B. Kesimpulan dan Rekomendasi

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian diskusi munculnya argumentasi pro dan kontra tentang UN, diantaranya: 1 a) Ujian merupakan strategi yang umum digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan manakala sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara relatif terbatas. Oleh karena itu, ujian memegang peranan strategis di dalam sistem pendidikan di negara berkembang seperti Indonesia. 2 b) Secara konseptual, ujian merupakan strategi evaluasi yang potensial untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan melalui (1) pengendalian mutu lulusan, dan (2) motivator atau pendorong bagi guru, siswa, dan penyelenggara pendidikan dalam meningkatkan upayanya secara optimal. Potensi tersebut belum sepenuhnya terwujud di dalam system persekolahan di Indonesia, kemungkinan berkaitan dengan (1) kurangnya balikan yang diterima siswa, guru, dan kepala sekolah, dan (2) sebagian kepala sekoah, guru, siswa, dan orang tua belum memiliki pemahaman dan keyakinan tentang pentingnya ujian untuk meningkatkan mutu pendidkan. 3 c) Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan sejumlah kegiatan evaluasi dan ujian yang polanya masih terbuka untuk didiskusikan. Pemerintah pusat melalui suatu badan standarisasi, penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan memegang peranan strategis untuk mengantarkan terealisasinya amanat tersebut. Sejalan dengan kesimpulan di atas ada beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan munculnya pro dan kontra tentang UN, diantaranya: 1 a) Selain penerapan ujian sebagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah juga secara bertahap perlu meningkatkan mutu sekolah melalui perbaikan sarana dan prasarana sekolah, peningkatan mutu dan distribusi guru, serta peningkatan

1 kinerja guru dalam proses pembelajaran. (Bukan melalui sertifikasi dalam bentuk portofolio). 2 b) Beberpa alternatif model evaluasi hasil belajar pada akhir satuan pendidikan atau UN adalah sebagai berikut: 3 (1) Penyempurnaan UN yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 sampai dengan 2006 dengan menerapkannya oleh lembaga mandiri dengan beberapa perbaikan, antara lain lingkup ujian dan batas kelulusannya disosialisasikan secara lebih dini. Selain itu, balikan kepada siswa, guru, dan sekolah perlu dirancang secara lebih rinci. Ujian kelulusan dan pemantauan standar nasional kompetensi lulusan perlu diintegrasikan. 4 (2) Pelaksanaan UN seperti 2001-2006 dipandang masih perlu diterapkan, namun untuk satuan pendidikan yang terakreditasi perlu diberi kewenangan untuk menentukan kelulusan peserta didiknya dengan mempertimbangkan prestasi dan kepribadian peserta didik yang telah dicatat oleh sekolah dalam proses yang cukup panjang. 5 (3) Sekolah yang terakreditasi diberi kewenangan untuk menyelenggarakan ujian sendiri dengan menggunakan standar kompetensi, kisi-kisi soal, dan prosedur baku dari pusat. Dalam hal ini, pusat melalui badan standarisasi, penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan melakukan pemantauan ketercapaian standar nasional kompetensi lulusan secara terpisah. 6 c) Walaupun manajemen berbasis sekolan (MBS) dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan telah memberikan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada sekolah, tetapi bukan berarti seluruh peran pusat dihapuskan. Kepentingan pendidikan nasional dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia bisa dilakukan bukan dalam bentuk UN tetapi dalam bentuk penilaian yang bersifat nasional. 7 d) Yang paling penting sekarang adalah bagaimana meningkatkan pemahaman guru dan penyelenggara pendidikan lainnya terhadap kurikulum, sehingga mereka bisa menjadikan kurikulum tersebut sebagai acuan dalam pembelajaran. Jika kurikulum sudah dijadikan sebagai acuan dalam pembelajaran, kemudian materi ujian dikembangkan dari kurikulum yang diberlakukan dengan benar, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima diberlakukannya UN. Semua permasalahan sebagaimana diilustrasikan di atas akan bermuara pada perlunya dibangun hubungan yang harmonis antara kurikulum dan guru sebagai pengembang sekaligus pelaksananya.

Setuju dengan tanggapan pak Dhar atas opini JK soal UN! Sebenarnya baik JK maupun SBY (dulu dan kini) serta B-ono, tidak ada yang benar-benar menguasai pendidikan, makanya logikanya ada departemen/kementrian pendidikan yang (seharusnya) diawaki oleh seorang yang cakap dan pakar di bidang pendidikan. Tapi buat SBY (kini) kita lihat program 100 harinya, apakah ada perubahan ke arah lebih baik, stagnan alias podowae atau marah makin ancur! Dari apa yang saya permah baca tentang riwayat singkat JK di kala masih sekolah dan kuliah, dia memang termasuk siswa yang pandai dan berani (dan terlihat dari policy dia soal BBM dan UN: nekat!). Tapi semata mengandalkan common sense based on his pengalaman ya tentu ga valid hasilnya, apalagi pengalaman JK adalah masa yang sudah masuk peti sejarah dan sulit dicopas lagi di era yang sama sekali berbeda ini, sekalipun dalam konteks pendidikan. Apakah tidak bisa ya orang spt pak Arif Rahman atau pakar yang semisal menjadi sosok no1 di kementrian pendidikan? CMIIW Satriyo 2009/12/22 Satria Dharma <satriadharma2002@...> SLEMAN - SURYA- Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan ketidaksetujuannya terkait putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghapuskan pelaksanaan ujian nasional (UN). Hal itu dinilainya akan membodohi jutaan anak Indonesia. + Ini pendapat pribadi JK yang tidak didukung oleh riset sama sekali. Beliau juga bukan seorang pakar pendidikan, apalagi dalam bidang psikometri. Dulu beliau bisa menetapkan UN karena jabatannya wapres, yang menguasai bidang sosial dan pendidikan, dan bukan karena pertimbangan akademik. Jadi penetapan UN untuk seluruh Indonesia adalah petimbangan politik (kekuasaan) dan bukan akademik. Demikian hal itu dikemukakan oleh JK saat memberikan kuliah umum pada pembukaan Musyawarah Nasional Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BK-PTIS) di kampus Universitas Islam Indonesia, Sleman, Yogyakarta, Kamis (10/12/09). "Orang bisa menjadi pintar itu karena belajar. Kenapa belajar, karena akan diujikan. Kalau tidak ada ujian dan semua bisa lulus, untuk apa belajar?" kata Kalla, yang juga menjabat Ketua Dewan Penasehat BK-PTIS. + Disini JK kelihatan ancurnya. :-) Memang orang pintar karena belajar. Tapi orang tidak pintar karena ujian. Lha wong fungsi evaluasi aja JK gak paham kok berani ngomong besar seperti ini. Coba resapkan kata-katanya "Kalau tidak ada ujian dan semua bisa lulus, untuk apa belajar?" Ini pernyataan yang beanr-benar ngaco. Dia berpendapat bahwa orang belajar hanya karena ada ujian (dan ujian itu harus bersifat nasional yang berlaku sama untuk seluruh Indonesia)! Dan ini dijadikannya sebagai argumen untuk menetapkan sebuah ujian yang berlaku sama untuk seluruh Indonesia tanpa mempertimbangkan berbagai faktor lain. Sungguh gegabah! UN, lanjut JK, merupakan sarana untuk membuat seluruh siswa di Indonesia sama pintarnya, karena memakai satu standar. "Siswa di Kendari, Ternate, maupun di mana saja di seluruh

pelosok negeri di-set pengetahuannya sama dengan siswa di Jakarta maupun kota besar lainnya," ujarnya. + Bukan ujian yang standar yang penting, JK! Tapi pelayanan pendidikan yang standar yang dibutuhkan. Ujian yang standar tidak akan membuat pengetahuan siswa menjadi sama pengetahuannya. Ini ngaco banget. Bagaimana mungkin input dan proses yang berbeda TIBATIBA menjadi sama outputnya hanya karena diuji dengan pengukuran yang sama? Ilmu apa yang digunakan oleh JK ini? Penghapusan UN juga dinilai kemunduran, karena saat ini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, juga sudah mulai menerapkan UN. "Tanpa itu, siswa akan santai-santai saja belajarnya. Mungkin akan ada yang stres karena UN, tapi lebih baik beberapa yang stres daripada membuat jutaan anak menjadi bodoh," ucapnya. + JK ini jelas hanya memperoleh informasi sepenggal-sepenggal sehingga memberikan info keliru seperti ini. Saya menyalahkan para staf ahlinya yang tidak ahli dalam memberikan masukan sehingga keluar pernyataan-pernyataan seperti ini. DI AS TIDAK ADA ujian nasional yang berlaku untuk semua siswa di semua negara bagian. Meski telah ada upaya untuk membuat sebuah standardized exit exams yang ditawarkan kepada semua negara bagian tapi banyak negara bagian yang tidak bersedia. Tak ada pakar pendidikan yang berani meramalkan bahwa AS akan menerapkan sebuah UN yang berlaku untuk semua siswa di semua negara bagian (Ujian Nasional AS) suatu saat. Lagipula karakteristik 'ujian nasional' AS itu sungguh berbeda dengan UN di Indonesia yang serampangan tersebut. Standardized exit ecams yang berlaku di beberapa negara bagian itu telah dimulai sejak kelas 10 dan bisa dilakukan 5 kali selama di SLTA (1 kali di kelas 10, kalau tidak lulus bisa diulangi 2 kali di kelas 11 dan 2 kali lagi di kelas 12). Kalau tetap tidak bisa lulus masih boleh mengulangi setelah lulus SLTA kalau mau dapat sertifikat. Kalau tidak mau ya gak apa-apa dan tetap boleh lulus. Jadi ujian tersebut tidak digunakan untuk MENGHUKUM siswa seperti UN-nya JK ini. Nah! ini yang mau dijadikan sebagai pembanding oleh JK? Certainly not apple to apple. latief/ Mohamad Final Daeng/kcm

Hapuskan UN Pemerintah memang memiliki tujuan baik. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pemerintah memilih timing yang tidak tepat. Standar nilai yang ditetapkan pemerintah adalah upaya untuk mendongkrak prestasi pendidikan kita, dan tentu saja menunjukkan prestise bangsa kita dimata dunia, sehingga dilaksanakan sebuah ujian bernama UN. Tapi, dalam UN itu sendiri, pemerintah tidak menggali unsur kemanusiaan lebih dalam lagi. Sistem UN hanyalah sistem robot, menilai 3 tahun belajar dari 3 hari. Mempekerjakan mesin untuk menilai keringat para siswa yang telah menghabiskan tiga tahun berharga hidupnya untuk datang mencari ilmu ke sebuah sekolah. UN pun menilai manusia dari segi semu, bukan moral. Bahkan, dengan adanya UN banyak para siswa yang mengalami gangguan psikis yang sangat berat seperti stres, percobaan bunuh diri, hilangnya kepercayaan diri dan gangguan mental lainnya. Penulis sendiri pada tahun 2004 atau tepatnya untuk yang kedua kalinya UN diselenggarakan dengan nama yang sebelumnya, UAN, pernah merasakan betapa beratnya mental yang diemban ketika akan menghadapi UN. Meskipun pada akhirnya penulis merasakan bak orang paling bahagia sedunia ketika menerima amplop yang menerangkan pernyataan kelulusan. Tapi, kebahagiaan yang penulis rasakan tidak serta merta di ikuti oleh beberapa rekan penulis yang ketika itu mengalami ketidakberuntungan. Padahal dalam segi prestasi baik tingkat sekolah maupun di luar sekolah, mereka banyak mengharumkan nama sekolah dan daerah. Tapi, apa yang mereka rasakan ketika itu? Seakan dunia telah menjadi gelap setelah menerima surat ketidaklulusannya. Tidak hanya itu, pelaksanaan UN dapat juga memancing seseorang untuk melakukan tindak pidana. Sebab, untuk mencapai nilai kelulusan, maka banyak pelajar yang akan menempuh berbagai cara untuk dapat meraih kelulusan meskipun dilalui dengan cara yang salah. UN memang selalu diliputi oleh kecurangan baik yang dilakukan oleh seorang pelajar maupun oleh pihak pendidik seperti kepala sekolah dan guru. Bukankah tindakan kecurangan tersebut telah menjadi suatu tindak pidana? Inilah potret dari hasil yang ingin diharapkan oleh pemerintah. Bahkan tindakan untuk melakukan kecurangan UN telah memasuki tingkat perencanaan dan pengorganisasian. Boleh dikatakan, apa yang telah dilakukan oleh pelajar dan pendidik tersebut sebenarnya jauh dari apa yang diinginkan. Mereka tentunya tidak ingin mengotori suatu wadah pendidikan dengan tindakan kecurangan. Tapi, meskipun suatu sekolah dapat kategori "sekolah unggulan", lalu pada pelaksanaan UN, siswanya banyak yang tidak lulus. Apakah lantas predikat sekolah unggulan masih melekat di sekolah tersebut?, Memang, untuk mendapatkan hasil kelulusan dari UN adalah dengan bekerja keras dan mengikuti bimbingan belajar secara komprehensif. Tapi, permasalahan kembali muncul, apakah semua siswa dapat mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah dengan biaya yang relatif mahal dan mendapatkan buku-buku pelajaran yang berkualitas, sementara nilai standar UN yang ditetapkan pemerintah semuanya sama untuk seluruh Indonesia. Sebenarnya, apa yang diajarkan dari UN hanyalah pendidikan tanpa ilmu pengetahuan, karena yang ada dipikiran hanyalah bagaimana cara lulus dengan

menembus angka yang telah ditetapkan pemerintah untuk kelulusan. Menjelang UN, materi pun dikejar, murid-murid fokus pada pelajaran, akan tetapi konsep ini tidak diterima penuh karena harus latihan dan drilling soal yang berbeda-beda dan memprediksikan apa yang tidak pasti. Sekarang, untuk apa masuk sekolah selama 3 tahun jika penentuannya hanya 3 hari. Masalah UN sebagai alat ukur standar pendidikan nasional bukan kali ini saja muncul. Sejak dulu, kita mengenal Ujian Negara, lalu dihentikan. Kemudian kita mengenal Ebtanas, lalu dihentikan pula. Lantas ada Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekarang berganti nama menjadi UN (Ujian Nasional) meskipun metodologinya tetap sama dengan yang sebelumnya. Kebijakan pemerintah sejak ujian negara, Ebtanas, UAN, dan UN itu menunjukkan betapa semua bentuk ujian itu selalu bermasalah dan tidak akan pernah bisa menjadi alat untuk standardisasi pendidikan nasional. Lalu apa tidak ada alat ukur lain? Di tahun 1978, pemerintah Orde Baru dengan Menteri P & K, Daoed Joesoef pernah melakukan sebuah Test Diagnostik pendidikan secara nasional. Meskipun data yang penulis peroleh agak samar, tapi Tes Diagnostik itu merupakan upaya mengukur standar tingkat penyerapan kurikulum yang sedang berjalan. Dalam Tes Diagnostik, tidak seluruh sekolah diikutsertakan. Dengan teknik sampling, pemerintah melakukan tes untuk standardisasi pendidikan nasional itu, dan itu digunakan untuk merumuskan kebijakan pendidikan ke depan. Alat ukur Tes Diagnostik relevan untuk mengukur standar pendidikan nasional. Tes itu juga tidak menentukan kelulusan siswa hanya berdasarkan 2-3 biji mata pelajaran. Artinya, kalau tujuan UN semata untuk mengukur Standardisasi Pendidikan Nasional, maka Tes Diagnostik sudah sangat adequate. Dan itu bisa dilakukan dengan biaya yang lebih hemat. Penulis dan tentunya banyak pihak berharap agar pelaksanaan UN benar-benar ditiadakan, hal ini tentu saja bukan berarti kita tidak ingin negara dan bangsa kita kalah saing dengan bangsa lain. Tapi, alangkah bijaknya jika pemerintah dapat menempuh metode pembelajaran yang lebih menyentuh nati nurani dengan selalu meningkatkan kualitas pengajaran baik kepada para siswa maupun kepada guru. Semoga, pemerintah dapat mengintropeksi diri dengan melaksanakan putusan kasasi MA yakni menghapus UN.

BISA jadi saat ini masa paling mendebarkan bagi para siswa. Terutama mereka yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional (UN), baik tingkat SMP maupun SMA. UN yang akan digelar pada Maret, menjadi momok bagi siswa. Sebuah program standarisasi pendidikan yang dibuat pemerintah itu, memang begitu menentukan bagi nasib siswa melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya. Hasil dari proses pendidikan selama tiga tahun, akan ditentukan oleh tiga hari atau selama UN itu digelar. Tak heran jika semua sekolah berikut siswanya, seratus persen menyiapkan energinya menghadapi UN. Try out, pengayaan, bimbingan belajar dan apa pun istilahnya ditempuh guna mencapai hasil maksimal saat UN. Hasilnya? Dari dua try out yang digelar terutama untuk Banjarmasin dan Kalsel, hasilnya masih jauh dari harapan. Pada try out tingkat SMA se-Banjarmasin beberapa waktu lalu, bisa dikatakan hasilnya jeblok. Banyak sekolah nilai kelulusan siswanya di bawah 10 persen. Kemudian ketika try out SMA tingkat Kalsel digelar oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kalsel, hasilnya juga kurang lebih sama. Berdasarkan hasil akhir, tingkat kelulusan tertinggi diraih Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dengan angka 70 persen, kemudian Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) yang meraih 65 persen. Banjarmasin yang idealnya memiliki nilai kelulusan tertinggi, ternyata cuma menempati posisi ketiga dengan nilai kelulusan 50 persen. Yang lebih memprihatinkan menimpa Kabupaten Kotabaru. Untuk mata pelajaran IPA dan IPS, tingkat kelulusan siswa daerah itu hanya dua persen. Malah jika dilihat per sekolah, di Banjarmasin ada sekolah untuk jurusan bahasa yang nilai kelulusannya nol persen alias semua siswanya tidak lulus. Demikian juga di Kabupaten Tapin. Ada sekolah, untuk mata ajaran IPS kelulusannya juga nol persen. Jika melihat hasil itu, siapa pun, guru, siswa maupun orangtua pasti terhenyak. Meski try out hanyalah sebuah tes percobaan, namun hasilnya bisa memberi gambaran hasil UN. Itu karena soal yang diujikan memiliki standar sama dengan UN. Hasil try out itu juga menunjukkan kritikan terhadap penyelenggaraan UN ada benarnya. Minimal memunculkan sebuah realita, standarisasi mutu pendidikan

secara nasional masih jauh dari harapan yang dikonsepsikan. Penyebabnya, mutu pendidikan memang masih timpang. Jawa dan luar Jawa, kota dan pelosok, kondisi dan mutu pendidikannya masih sangat timpang. Jadi, rasanya kurang fair menstandarkan mutu pendidikan jika kondisi proses belajar mengajar dan fasilitas pendukungnya timpang. Ibarat lomba lari, sangat sulit peserta lomba mencapai garis finish bersamaan apabila titik startnya berbeda-beda. Sebagai sebuah kritik, mestinya UN tak dilakukan serentak. Artinya, proses standarisasi pendidikan seharusnya dilakukan bertahap dimulai dari masing-masing daerah, regional kemudian baru tingkat nasional. Untuk mencapai standarisasi nasional itu, fasilitas maupun SDM pendukung pendidikan seperti pengajar berkualitas juga harus diseragamkan secara nasional. Jika semua itu telah siap, barulah standarisasi mutu pendidikan nasional dilakukan secara ajeg. Tidak seperti sekarang, UN terkesan hanyalah sebuah ambisi menghasilkan output pendidikan yang berstandar nasional namun mengabaikan proses dan fasilitas belajar yang justru seharusnya lebih dulu distandarisasi.

Dari tahun ke tahun penyelenggaraan Ujian Nasional selalu diwarnai dengan pro-kontra. Di satu pihak ada yang meyakini bahwa Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa masih tetap diperlukan. Tetapi di lain pihak, tidak sedikit pula yang menyatakan menolak Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa. Masing-masing pihak tentunya memliki argumentasi tersendiri. Berikut ini disajikan aneka berita seputar Pro-Kontra Kebijakan Ujian Nasional yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber, yang tentunya baru sebagian kecil saja dari sejumlah berita yang saat ini sedang hangat diberitakan dalam berbagai mass media. BERITA PRO UJIAN NASIONAL 1. Penerbitan Permendiknas Ujian Nasional 2010 Mendiknas menerbitkan peraturan No.74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-2010 SD dan SMP/SMA/SMK, ditandatangani oleh Mendiknas Bambang Sudibyo per tanggal 13 Oktober 2009. Salah satu isinya menyebutkan bahwa Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan. (baca selengkapnya Depdiknas ) 2. Kalah di MK Soal UN, Pemerintah Segera Ajukan PK Menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi ujian nasional yang diajukan oleh pemerintah, Pemerintah akan kembali melakukan upaya hukum yang terakhir yakni pengajuan peninjauan kembali. Terus terang saya belum membaca keputusan MA. Yang jelas kita menghormati apa pun

keputusan lembaga hukum. Siapa pun juga harus menghormati upaya-upaya hukum yang masih dilakukan. Untuk selanjutnya, tentu pemerintah akan menggunakan hak yang dimiliki, kata Menteri Pendidikan Nasional RI Mohammad Nuh seusai upacara bendera Peringatan Hari Guru, Rabu (25/11) di halaman Departemen Pendidikan Nasional RI, Jakarta. (baca selengkapnya Kompas.com) 3. 2010, UN Bukan Penentu Kelulusan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh mengatakan, pada tahun 2010 Departemen Pendidikan Nasional (depdiknas) akan melakukan perubahan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Tetapi pihaknya menyangkal jika perubahan tersebut dikaitkan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari pemerintah berkait keputusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta tentang pelaksanaan UN. (baca selengkapnya Republika Online) 4. Ujian Nasional Jalan Terus Salah satu anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo, mengatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tak memengaruhi penyelenggaraan UN pada 2010. Kami akan tetap menyelenggarakan UN pada 2010 sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kata Mungin. (baca selengkapnya Kompas.com) 5. Hasil UN Meningkat, Pemerintah Puas Pemerintah atau Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), mengaku merasa puas dengan hasil Ujian Nasional (UN) 2008/2009 yang secara nasional persentasenya mengalami kenaikan.(baca selengkapnya: Diknas.go.id) BERITA KONTRA UJIAN NASIONAL 1. Press Realease dari Mahkamah Agung Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding.(baca selengkapnya Mahkamah Agung ) 2. Pasca Putusan MA, Pemerintah Perlu Tinjau UN Dari segi hukum perlu diapresiasi, karena setidaknya putusan MA itu perlu dikritisi oleh pemerintah untuk benar-benar meninjau kembali UN, yang

selama ini terjadi pemerintah tidak pernah melakukan itu, ujar Dr Anita Lie, dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika WIdya Mandala Surabaya. .Sementara itu, menurut Sekretaris Institute for Education Reform Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen, ada hal lebih penting dari putusan MA tersebut, yaitu soal pemborosan. Abduh mengatakan, pemborosan terjadi akibat dikeluarkannya kebijakan UN ulang bagi siswa yang tidak lulus. Dengan model yang seperti ini, UN sampai saat ini tidak memperlihatkan satu hal pun yang menyangkut soal peningkatan mutu anak didik, ujarnya. Abduh menegaskan, kalau tidak dikritisi oleh masyarakat, kondisi yang terjadi akan terus begini. UN itu tentu bisa diadakan, tetapi kalau sudah dilakukan perubahan pada kerangka pendidikan nasional yang bermutu secara menyeluruh, namun kenyataannya secara makro hal itu tidak ada sama sekali, tidak ada kompromi, tambahnya. (Baca selanjutnya Kompas.com) 3. Putusan Kasasi UN Dirayakan dengan Tumpeng Peringatan Hari Guru di Bandung dirayakan dengan tumpengan oleh guru, siswa, dan masyarakat pemerhati pendidikan. Syukuran ini juga dilakukan terkait ditolaknya permohonan kasasi pemerintah mengenai ujian nasional oleh Mahkamah Agung. (Baca se;engkapnya Kompas.Com ) 4. Pemerintah Dinilai Langgar Hukum Jika Tetap Gelar Ujian Nasional Pemerintah dinilai melanggar hukum jika tetap menyelenggarakan Ujian Nasional tahun depan. Sebab, putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan pemerintah dianggap sudah final. (baca selengkapnya Tempointeraktif ) 5. Guru Menuntut Ujian Nasional Dibatalkan Para guru yang tergabung dalam Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas), Jumat (27/11), menuntut agar Ujian Nasional dibatalkan, menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi perkara UN yang diajukan pemerintah. (baca selengkapnya Kompas.Com ) 6. Wakil Ketua MPR Setuju Penghapusan Ujian Nasional Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin meminta pemerintah menerima putusan MA yang membatalkan ujian nasional. Ketimpangan fasilitas pendidikan menjadikan pendidikan di Indonesia tidak pantas lagi distandarisasi secara nasional. (baca se;lanjutnya : Detik News ) 7. Mahasiswa Demo Minta Ujian Nasional Dihapus Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan (AMPP) Polewali Mandar, Sulawesi Barat, melakukan aksi unjuk rasa di kantor dinas pendidikan setempat. Dalam orasinya para mahasiswa mendesak pemerintah dan dinas pendidikan untuk bertanggung jawab dengan bobroknya pelaksanaan ujian nasional tahun ini. (baca se;lanjutnya : Liputan6.com)

8. Tolak UN, BEM Universitas Palangkaraya Demo Puluhan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangkaraya berdemo di halaman Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka menolak ujian nasional sebagai standar kelulusan. (baca se;lanjutnya: Kompas.com) BERITA KORBAN UJIAN NASIONAL 1. Peserta UN Dicampur, Guru Bingung Kebijakan mencampur peserta UN itu membingungkan pihak sekolah, guru, dan siswa. Apalagi hingga saat ini kepastian soal perubahanperubahan teknis dalam pelaksanaan UN belum juga disampaikan secara resmi ke sekolah.Sejumlah pimpinan sekolah dari berbagai daerah, Rabu (25/11), mengatakan, rencana mencampur peserta UN menambah beban psikologis pelajar. (baca selengkapnya: Kompas. com) 2. Kisah Pahit Para Korban Ujian Nasional Ujian nasional digugat. Ujian sebagai standarisasi kelulusan itu dianggap mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Seperti yang dialami Siti Hapsah pada 2006. Mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara ujian ujian nasional. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26. (baca selengkapnya VivaNews) 3. Pelajar Alami Gangguan Jiwa Hadapi UN {Video) Seorang siswi kelas 3 SMP Negeri 4 Kendari, Sulawesi Tenggara mengalami gangguan jiwa setelah terlalu banyak belajar menghadapi ujian nasional. (baca selengkapnya VivaNews) 4. Bunuh Diri Karena Tak Lulus UN Gara-gara tak lulus ujian nasional (UN) SMA, seorang pemuda nekat bunuh diri. Diduga karena tak kuat menahan beban psikis, Tri Sulistiono (21) memilih mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke dalam sumur. (baca selengkapnya Suara Merdeka) 5. Mengurung diri setelah gagal UN, Edy akhirnya bunuh diri Edi Hartono (19), aib karena gagal UN masih terus terasa menyesakkan. Setelah mengurung diri di rumah neneknya, mantan siswa SMA di Besuki itu akhirnya bunuh diri. (baca selengkapnya: Kompas. com) 6. Gagal UN, Siswi SMP Mencoba Bunuh Diri Hasil ujian nasional sekolah menengah pertama nyaris membawa korban jiwa di Banyuwangi, Jawa Timur, belum lama ini. Ida Safitri, siswi SMPK Santo Yusuf, mencoba bunuh diri dengan menenggak puluhan pil tanpa merek

karena gagal lulus. Beruntung nyawa korban dapat diselamatkan setelah pihak keluarga segera membawanya ke rumah sakit. (baca selengkapnya: Liputan6.com) 7. Siswa SMK Coba Bunuh Diri, Diduga Karena Tak Bisa Ikut UN Ujian Nasional (UN) adalah segalanya bagi seorang siswa. Diduga karena stres tidak bisa ikut UN, Hendrik Irawan (19) nekat minum racun serangga. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan.

Mencontek Massal di Sekolah Maling Massal Kedepan


Oleh : Ashwin Pulungan

Fenomena mencontek massal yang diperbolehkan oleh para pengawas disaat Ujian Nasional (UN) sebenarnya telah berlangsung lama yaitu sejak UN itu diadakan. Kejadian di Jawa Timur di daerah Tandes-Surabaya yang sangat menghebohkan itu membuat kita merasa miris yang berbaur dengan kesedihan, bahwa secara tidak langsung, telah terjadi kaderisasi contek mencontek yang berakhir dalam jangka panjang akan menjadi kader maling massal kedepan telah berlangsung didepan mata kita bahkan para gurulah yang melakukan pembiaran kebiasaan kecurangan itu. Sungguh sangat ironis di satu sisi Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan ingin menjadikan ajang UN ini sebagai alat tolok ukur serta untuk memetakan mutu kualifikasi pendidikan para siswa secara Nasional, disisi lain para pengawas yang juga sebagai guru para murid merusak mekanisasi tolok ukur itu dengan melakukan pembiaran contek mencontek yang sangat melanggar ketentuan UN itu sendiri. Sungguh sangat menyedihkan, pengrusakan pendidikan Nasional ini dimulai sejak dari tingkat SD, SMP dan SMA serta dilakukan oleh para guru dari murid-murid itu sendiri. Kalau sudah demikian, apa artinya kurikulum pendidikan kalau aspek moral/akhlak sangat diabaikan dan dilakukan disaat pelaksanaan UN. Mungkinkah dengan cara kotor demikian dapat dihasilkan para murid kedepan menjadi manusia yang memiliki sikap kepribadian serta karakter yang mandiri, kreatif, jujur, mulia serta unggul ? Banyak sekolah membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas (termasuk pengamat independen) lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban secara terang-terangan agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi. Hal ini bahkan terjadi secara sistematik dan terkoordinasi massal bahkan kepala dinas pendidikan di beberapa daerah tertentu ikut menfasilitasi kecurangan UN di wilayahnya. Dan yang paling parah adalah terjadinya mafia kunci UN. Pada subuh hari, oknum diknas bekerja sama dengan mafia untuk mendapatkan sosial UN sekaligus pada pagi-paginya beberapa

jam sebelum UN akan memberikan kunci jawaban kepada pemesan, baik siswa, orang tua siswa, maupun pihak sekolah dan ini terdistribusi mulus melalui SMS. Terjadinya pembiaran kecurangan UN dengan mencontek massal, tidak mungkin dapat terjadi apabila tidak tidak ada kesepakatan antara Dinas Pendidikan setempat dengan para kepala sekolah dan para guru pengawas. Dinas Pendidikan tidak ingin mengalami penurunan prestasi daerahnya maka ditempuhlah pelaksanaan membenarkan kecurangan tersebut. Kejadian dan prilaku penodaan pendidikan ini berlangsung dibanyak daerah. Kalau para pejabat pelaksana pendidikan didaerah sudah berkolusi secara jahat menodai pendidikan Nasional seperti ini, pastilah kualifikasi mutu pendidikan yang akan dicapai tidak akan didapat secara objektif bahkan yang terjadi adalah perkeliruan pendidikan Nasional. Dalam kenyataan seperti ini, masihkah diperlukan UN dilanjutkan untuk tahun mendatang ? Janganlah mencontek dijadikan suatu budaya baru yang dilaksanakan disaat UN. Telah diketahui masyarakat luas bahwa Mahkamah Agung (MA) melarang Pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan Pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah illegal jika melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah. Ini berarti putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih juga ngotot melaksanakan UN pada tahun 2008, 2009 bahkan 2010. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009, 2010 dan 2011 yang memaksa kelulusan siswa ditentukan hanya beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Presiden SBY, Wakil Presiden Budiono, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M.Nuh, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Mengapa Menteri Pendidikan tetap ngotot melaksanakan UN 2011 padahal secara hukum telah ditetapkan MA agar tidak lagi melaksanakan UN ? Semoga para petinggi Kementrian Pendidikan tidak menjadikan UN ini sebagai proyek besar untuk bancakan korupsi. Pada tahun 2009, pemerintah telah menghabiskan Rp.572 Milyar (setengah triliun) untuk pelaksanaan ujian nasional. Namun sayangnya, anggaran negara yang besar yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN 2009 masih sarat dengan praktik ketidakjujuran. Begitu juga pelaksanaan UN ditahun berikutnya. Untuk tahun 2011 ini, anggaran UN senilai lebih kurang Rp. 592 Milyar. Bisa dibayangkan berapa besar komisi pencetakan soal yang bisa masuk kepada para pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan. Sudah lama UN ini diresahkan serta dipersoalkan oleh banyak masyarakat namun Pemerintah tetap melaksanakan UN. Dampak yang akan terjadi kedepan adalah kualifikasi pendidikan dan SDM kita hanya bertujuan kepada pencapaian nilai ujian saja sementara kualitas pendidikan

yang menyangkut kreatifitas, kemandirian, kejujuran, keluhuran budi, kedewasaan bersaing serta akhlak/moral yang baik dibaikan. Janganlah terulang kembali peristiwa konyol yang terjadi di JATIM Tandes-Surabaya gara-gara seorang murid SD yang baik dan jujur melaporkan kepada orang tuanya lalu orang tua tersebut melaporkan kasus contek mencontek di sekolahnya ke Polisi, lalu didemo oleh para orang tua murid lainnya yang mendukung pembenaran/pembiaran mencontek (sebenarnya masyarakat kita juga sudah dalam posisi sakit) walaupun mereka mengetahui bahwa perbuatan mencontek massal itu adalah suatu kecurangan massal. Mencontek adalah perbuatan terlarang. Sudah saatnya seluruh komponen bangsa Indonesia melarang UN di Indonesia sesuai dengan keputusan MA. Realisasi dana APBN untuk pendidikan sebesar 20% sebenarnya dapat dimanfaatkan Pemerintah untuk melangsungkan pendidikan Nasional sehingga beban biaya pendidikan sampai ke perguruan tinggi bisa sangat terjangkau oleh seluruh masyarakat. Jangan ada lagi dikhotomi antara anak orang miskin dengan anak orang kaya karena semua warga negara adalah sama hak serta kewajibannya bagi bangsa dan negara. Banyaknya masyarakat menikmati kualitas pendidikan, berdampak positif dan pasti terhadap kemajuan bangsa dan negara dikemudian hari (Ashwp).

You might also like