You are on page 1of 15

Akibat nikah muda Jaman sekarang banyak kejadian anak muda terjebak dalam pernikahan kawin muda,yang sekarang

ini sering terjadi di masyarakat dan banyak sekali dari mereka yang tidak tau apa pernikahan yang sebenarnya arti dari sebuah penikahan itu sendiri.. Kejadian yang menimpa keluarga sebut saja jon warga pakuran kec.Buayan Kab.Kebumen. Sore itu 19/03/08 jon menghubungi saya lewat telepon,dia menceritakan kondisi rumah tangganya. Saat ini kondisi rumah tangganya sedang hangat ribut,mungkin itu adalah sebuah bumbu dalam berumah tangga,tapi kalau terus menerus ribut itu bukanlah bumbu rumah tangga tapi jadi masalah. Jon mengeluh karena istrinya tidak pengertian,kurang bersukur dengan penghasilan yang di dapatnya,dan tidak menghargai kerja kerasnya. Seakan jon putus asa,dari nada bicaranya sudah memprihatinkan,kasihan sekali terdengarnya. Itulah akibat dari pernikahan muda yang di alami,yang masa-masa mudanya harus terputus sampai di situ karena ada keterikatan dalam keluarga. Ketika ada masalah,tidak bisa menyelesaikan dan itu terjadi terus menerus,bagaimana bisa menyelesaikan,ada sedikit masalah lari ke orang tua,jadi sifat kekanak-kanakannya masih ada,iya kalau orang tuanya bisa memberi pengarahan dan mau berubah,mungkin bisa teratasi dan selesai masalah itu,kalau tidak?,yang ada masalah menumpuk dan akibatnya pisahan ranjang bahkan terjadi perceraian. Saat ini jon sedang bingung,apakah bisa memperbaiki sifat istrinya apa tidak,melihat sifat istrinya yang seperti itu,harapan jon istrinya bisa berubah,kalaupun tidak jon akan mengembalikan ke orang tuanya dan bisa jadi menceraikannya. Dulu mungkin jon terlalu cepat mengambil keputusan untuk nikah,tapi tidak memikirkan akibatakibatnya,di kira nikah itu enak dan memjamin bisa bahagia,tapi apa yang terjadi sekarang ini setelah mendapati masalah,sebuah penyesalan yang dirasakan. Mengambil keputusan nikah muda harus benar-benar di pikirkan lebih serius,soalnya itu menentukan kehidupan yang akan di jalani kedepannya,jangan memikirkan enaknya aja tapi pikirkan akibat-akibat yang akan di jalani,berani mengambil keputusan nikah muda berarti berani menanggung resiko seperti yang di alami jon,maka dari itu sebelum semua terjadi maka pikirkanlah dulu.Ataukah mungkin karena sewaktu pacaran dulu belum kelihatan sifat-sifat yang aslinya,sehingga memutuskan untuk menikahinya ?,jadi,sebelum menikah ketahuilah dulu bagaimana sifat dan karakternya,supaya tidak ada penyesalan setelah menikah nanti. Jika keributan dalam keluarga yang berkepanjangan,kasihan,anak yang tidak tau apa-apa harus ikut menjadi korban,beban pikiran bagi anak jika kedua orangtuanya bertengkar terus,bahkan bukan sekedar dari anggota keluarga yang ikut kena imbasnya,bisa juga tetangga kita juga kena karena keributan yang sering terjadi. Pikirkanlah sebelum menikah,apakah memang benar-benar sudah siap apa belum jangan cuma siap di malam pertamanya aja,masa cuma enaknya yang siap,lihatlah umur,kiranya sudah ideal apa belum,jika jawaban belum semua maka janganlah mengambil keputusan untuk menikah lebih dini.

Plus Minus Menikah Muda DALAM abad modern saat ini, menikah dalam usia muda rupanya masih saja menarik untuk dilakukan kaum muda. Penelitian yang dilakukan Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Jawa Barat mengungkapkan fakta masih tingginya kawin muda di Pulau Jawa dan Bali. Di antara daerahdaerah tersebut, Jawa Barat menduduki peringkat pertama dalam jumlah pasangan yang melakukan kawinmuda. Ketua ISI Jabar sekaligus Ketua BKKBN (Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional) Jawa Barat Drs. Hertog N. Saud, M.P.A. mengungkapkan, dari 1.000 penduduk Jawa Barat usia 15 hingga 19 tahun terdapat 126 orang yang sudah melahirkan dan kawin muda. Sedangkan DKI Jakarta menduduki peringkat kedua dengan angka 44 orang (dari 1.000 penduduk) menikah muda dan sudah melahirkan di usia antara 15 hingga 19 tahun. Fenomena kawin muda ini tampaknya merupakan "mode" yang terulang. Dahulu, kawin muda dianggap lumrah. Tahun berganti, makin banyak yang menentang perkawinan di usia dini. Fenomena tersebut kembali lagi. Kalau dulu orang tua ingin anaknya menikah muda dengan berbagai alasan, maka kini malah banyak remaja sendiri yang bercita-cita kawin muda. Mereka bukan remaja desa, melainkan remaja-remaja di kota besar. Bagi yang rajin menyimak tayangan infotainment yang marak di berbagai stasiun televisi, pastilah sering mendengar keinginan artis yang ingin menikah dalam usia muda. Sebut saja di antaranya Alyssa Soebandono, Nia Ramadhani, atau Nabila Syakieb. "Kayaknya asyik aja. Masih muda sudah punya anak gede, terus bisa saling curhat," begitu ujar Nabila dalam sebuah tayangan. "Kayaknya asyik" ternyata juga alasan praktis yang bukan hanya dikemukakan kalangan artis. Begitu juga pengakuan Esti (16) pelajar SMA 4 Bandung tentang keinginan banyak temannya yang ingin menikah dalam usia muda karena kelihatannya "asyik". Selain itu, beberapa remaja berpandangan menikah muda merupakan pilihan agar mereka terhindar dari melakukan perbuatan dosa, seperti hubungan seks sebelum menikah misalnya. "Kita lihat dari sisi positifnya saja. Melihat keadaan pergaulan sekarang yang semakin bebas saya setuju-setuju saja bila pasangan menikah dalam usia muda. Sebagai pemuda, saya melihat bahwa pergaulan bebas sudah dianggap lumrah, bahkan aneh bagi yang tidak melakukannya. Saya termasuk yang tidak setuju dengan pergaulan ini," kata atlet Taekwondo Kota Bandung Aditria. Atas dalih ini, Ketua Pengadilan Agama Bandung Drs. H. Muslih Munawar, S.H. tegas-tegas menolak. "Yang namanya hukum itu tidak ada alasan ' daripada-daripada'. Misalnya daripada saya membunuh lebih baik saya menempeleng. Daripada saya berbuat dosa, saya menikah saja. Itu namanya helah, yaitu supaya tidak terjerat haram maka hukum digeser-geser. Apalagi yang namanya menikah itu kan niatnya ibadah," katanya.

BANYAKNYA perkawinan usia muda ini berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian di daerah-daerah yang menjadi penelitian ISI pada tahun 2004. Sosiolog yang juga Wakil Ketua ISI Jabar Dr. Munandar Sulaeman mengakui hal tersebut. "Saya kira benar, banyaknya perkawinan muda berbanding lurus dengan tingginya kasus perceraian di enam daerah yang menjadi penelitian, yaitu Indramayu, Purwakarta, Garut, Cianjur, Majalengka, dan Sukabumi," aku Munandar. Data dari Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi Agama Negeri Bandung, Drs. Dadang Sudrajat, menunjukkan tingginya perkara perceraian di daerah-daerah Jawa Barat. Pada 2005, Indramayu ada di peringkat ke-3 dalam perkara perceraian. Perkara perceraian di Garut 676 perkara, Cianjur 467 perkara, Majalengka 2.213 perkara , dan Sukabumi 169 perkara. Secara keseluruhan dari 28 daerah wilayah di Jawa Barat, pada tahun 2005 terjadi perkara 29.583 perkara cerai, yang meliputi 13.917 cerai talak dan 15.666 cerai gugat. Angka tersebut hampir sama dengan perkara tahun sebelumnya. Menurut Dadang, banyak kasus perceraian merupakan dampak dari mudanya usia pasangan bercerai ketika memutuskan untuk menikah. "Kebanyakan yang gagal itu karena kawin muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan karena alasan kawin muda, melainkan alasan ekonomi dan lain sebagainya. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai salah satu dampak dari perkawinan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologis, " nilai Dadang. ** UNDANG-UNDANG menetapkan usia 16 tahun sebagai usia dewasa seorang perempuan dan 19 tahun seorang lelaki untuk menikah. Pada kenyataannya, kematangan seseorang banyak juga tergantung pada perkembangan emosi, latar belakang pendidikan, sosial, dan lain sebagainya. Untuk itu, Hertog mengingatkan pasangan yang akan menikah harus berpikir jauh ke depan. "Harus bisa melihat dari segi kualitatif, tujuan berkeluarga itu apa sih," katanya sambil menguraikan fungsi keluarga versi BKKBN yang meliputi agama, sosial budaya, kasih sayang, perlindungan, reproduksi sehat sejahtera, sosialisasi pendidikan, ekonomi dan pelestarian lingkungan. Dampak perkawinan muda secara umum muncul juga dalam kaitan laju perkembangan penduduk. Walaupun Jawa Barat telah berhasil menekan laju perkembangan penduduk dengan program keluarga berencananya, tetap saja Jabar menduduki peringkat satu dalam total fertility rate (rata-rata tingkat kesuburan). Jawa Barat menduduki peringkat satu di atas Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Banten. Dengan bahasa sederhana, karena banyak pasangan menikah muda otomatis tingkat kesuburan pun tinggi. Tingkat kesuburan tinggi, jika tidak dicegah menyebabkan pertambahan penduduk melaju kencang. Kendati Jabar telah berhasil menurunkan TFR hingga 3,39, angka kedua terbesar setelah Jakarta,

tetap saja hasil sensus menunjukkan TFR masih yang tertinggi. "Bagaimana tidak tinggi, karena start-nya atau pada saat mulai penghitungan TFR saat program KB dicanangkan tahun 1971 Jabar sudah berada di posisi tertinggi. Namun hal ini bukan merupakan pembenaran atas tingginya TFR. Kita tetap harus menjalankan program percepatan untuk menurunkan angka ini," ujar Hertog. ** PETUALANGAN kaum muda dalam lembaga perkawinan memberi dampak lain yang lebih serius. Banyak perempuan muda terpaksa mati sia-sia dalam menjalankan salah satu kodrat kewanitaannya, yaitu melahirkan. Lagi-lagi Jawa Barat menduduki "posisi istimewa" dalam kematian karena melahirkan yaitu di atas rata-rata nasional. Jabar menduduki peringkat kedua setelah Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari seribu ibu melahirkan terjadi kasus 44 kematian. "Angka kematian ibu melahirkan terkait dengan usia ibu melahirkan. Bisa karena terlalu muda, terlalu banyak, atau terlalu sering melahirkan. Ibaratnya, remaja sedang tumbuh lalu harus mengandung janin yang juga perlu ia beri makan. Rebutan dalam perkembangan, walaupun mungkin selamat, namun kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang dilahirkan perempuaan dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan," nilai Drs. Suryadi Danuwisastra, Kepala Bidang KB-KR Jabar. Kematian ibu melahirkan, menurut ahli jiwa dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.K.J. terkait dengan ketaksiapan ibu muda dalam segala hal. "Usia remaja menimbulkan persoalan dari berbagai sisi seperti pendidikan yang mungkin belum lulus SMA. Karena minim pendidikan, pekerjaan semakin sulit didapat dan berpengaruh pada pendapatan ekonomi keluarga," ujarnya. Terlebih jika menikah muda karena ketelanjuran berhubungan seks. Ada penolakan keluarga yang terjadi akibat malu. "Ini bisa menimbulkan stres. Ibu hamil usia muda mempunyai risiko bunuh diri lebih tinggi, khususnya jika mereka hamil di luar nikah dan tanpa didukung keluarga," jelas Zainie. Secara umum, Zainie melihat perempuan sebaiknya menikah paling minim usia 21-22 tahun.(Uci Anwar)*** Nikah Muda (Bawah Umur), sunnah mubah makruh atau haram? Sehubungan dengan pernikahan kontroversi Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12), kami mencari artikel yang layak untuk membahas kasus ini. Bukan sekedar boleh tidaknya, atau dampak psikologis semata, namun bagaimana (seorang yg lebih mengetahui ttg masalah ini menuliskan tentang) ajaran agama kita memandangnya. Kebetulan ku temukan sebuah artikel yg cukup lengkap, obyektif. Semoga bermanfaat.

Nikah Muda dalam Kacamata Fikih Islam

Oleh Amiruddin Thamrin Di antara keistimewaan Islam adalah fleksibelitas, universalitas, rasional, sesuai tempat dan zaman serta mudah diterima khalayak, baik yang berkaitan masalah ibadah, akhlak, muamalat, maupun berkaitan hukum (aturan) perkawinan. Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi Muhamad. Tepatkah asumsi tersebut? Tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu kawin muda (nikah di bawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fikih Islam. Harapan semoga ajaran Islam yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan dan terhormat ini tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan norma-norma kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya. Usia Nikah Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. Dorongan adanya kesetaraan Dalam fikih, ada yang disebut kafaah (baca kesetaraan). Kafaah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafaah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun pertimbangan kafaah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan

sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama). Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut. Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan. Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak permah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul, Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu. (HR Bukhari dan Muslim); Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam; Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Keempat: masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat.

Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama. Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang. Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan. Usia Nikah menurut Undang-Undang Negara Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16). Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat UU hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak, khususnya para dai serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat. Pepatah (kata mutiara) Arab mengatakan Semoga kerahmatan senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghindarkan dirinya dari hal-hal yang menjadi cemoohan dalam masyarakat. Penulis sama sekali tidak mengklaim batal atau tidak sahnya perkawinan usia muda, melainkian hanya menekankankan bahwa Islam tidak mendorong hal tersebut dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas. Penulis adalah Pengurus Cabang Istimewa NU Damaskus, Suriah

NIKAH MUDA DALAM PANDANGAN FIQIH *

Oleh : Amiruddin Thamrin Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat. Bagaimana hukum Islam memandang kasus seperti ini? Diantara keistimewaan ajaran agama Islam adalah fleksibel, universal, rasional, sesuai dengan tempat dan zaman serta mudah diterima oleh khalayak, baik yang berkaitan dengan masalah ibadat, akhlak, muamalat, maupun yang berkaitan dengan hukum (aturan) pernikahan. Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal tersebut dianjurkan oleh agama, didorong serta dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhamad SAW. Tepatkan asumsi tersebut? tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu nikah muda (nikah dibawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fiqih Islam. Harapan semoga ajaran agama Islam ini yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan dan terhormat ini tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan normanorma kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya. Usia Pernikahan Istilah dan batasan nikah muda (nikah dibawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haidh) bagi wanita. Syariat Islam tidak mengatur atau memberikan batasan usia tertentu untuk melaksanakan suatu pernikahan. Namun secara implisit syariat menghendaki pihak orang yang hendak melakukan pernikahan adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa. Dan paham akan arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu shalat bagi orang yang melakukan ibadah shalat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Karenanya, tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. Kafaah

Dalam fiqih Islam ada yang disebut kafaah (baca kesetaraan). Kafaah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafaah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan pernikahan, namun pertimbangan kafaah hanya sekedar sebagai anjuran dan dorongan agar pernikahan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Diantaranya adalah kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama). Juga seorang wanita intelektual (cendikiawati) tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidak setaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung oleh syariat karena dikhawatirkan akan timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut . Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam agama Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan. Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah RA Ada yang berdalih bahwa nikah muda merupakan tuntunan Nabi SAW yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi SAW tidak permah mendorong dan menganjurkna untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah RA yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia pernikahan dengan alas an sbb: Pertama: pernikahan tersebut merupakan perintah dari Allah SAW sebagaimana sabda Rasul SAW, Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu. (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua; Rasul SAW sendiri sebenarnya tidak berniat untuk berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili oleh Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul SAW, di mana mereka melihat betapa Rasul SAW setelah wafatnya Sayidah Khadijah RA istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam. Ketiga; Pernikahan Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah kewanitaan yang banyak para kaum perempuan

bertanya kepada Nabi SAW melalui Sayidah Aisyah RA. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah RA sehingga beliau menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Keempat; Masyarakat Islam (Hijaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda namun secara pisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah pernikahan ideal dan indah antara Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama. Agama Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung pernikahan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak wanitanya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa toh agama Islam sendiri tidak melarang. Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya. Dalam masalah pernikahan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah pernikahan. Yang diminta adalah kematangan kedua belah dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga adanya saling take and give, berbagi rasa, saling curhat dan menasehati antara kedua belah pihak suami istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan. Usia Pernikahan Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Pernikahan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dalam undang-undang pernikahan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan undangundang Indonesia. Suriah, umpamanya menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk wanitanya jika sudah berusia 16 tahun (Undang-undang Pernikahan Suriah, pasal 16). Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat oleh undang-udang hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak khususnya para dai serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat, papatah (kata mutiara) Arab mengatakan Semoga kerahmatan

senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghidarkan dirinya dari hal-hal yang menjadi cemoohan (omongan negatif) dalam masyarakat.

Dampak Berat Pernikahan Dini Dalam sebuah dialog antar remaja psikolog yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun radio swasta di Jakarta beberapa waktu lalu, seorang remaja laki-laki usia 19 tahun bercerita kepada penyiarnya : Saya terpaksa menikah karena terlanjur melakukan hubungan intim hingga pacar saya hamil. Lalu, Apa yang terjadi setelah menikah? tanya sang penyiar tadi. Dunia berubah 180 derajat Dari bangun sembarangan harus berangkat pagi untuk bekerja. Belum lagi, siang malam anak saya menangis, hingga kami tidak bisa tidur barang sekejap pun. Dari cerita ini bisa tergambar bagaimana sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering berbuntut perceraian. Mampukah remaja itu bertahan? Ambil contoh pernikahan pasangan artis Wulan Guritno dengan Attila Syah. Keduanya menikah pada usia di bawah 20 tahun. Pada tahun-tahun pertama meski sudah memiliki anak, keduanya mencoba terus bertahan dan menampilkan sosok pasangan cukup bahagia. Namun pertahanan itu jebol juga. Perceraian tak dapat ditolak, pertengkaran pun masih berbuntut panjang meski hakim telah memberikan surat bukti cerai. Ada apa dengan cinta? Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau menikah dalam usia muda, menurut Edi Nur Hasmi, psikolog yang juga Direktur Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, memiliki dua dampak cukup berat. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, ungkap Edi, boleh di bilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya. Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, pisah rumah, bahkan bisa mengalami depresi berat, jelasnya.

Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya. Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal, jelas psikolog yang rajin meneliti kehidupan remaja melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang dibina BKKBN. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan. Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena kecelakaan, kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja. Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Kalau keduanya bisa saling merubah, itu hanya akan terjadi kalau dua-duanya sama-sama dewasa. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia remaja. Pada tahap awal, mungkin wanitanya bisa berubah, tapi laki-lakinya tidak. Sehingga di wanita akan merasa capek sendiri, atau juga sebaliknya. Lalu, perlukah orang ketiga untuk mendamaikan permasalahan remaja? Terkadang, remaja memiliki ambisi pribadi untuk mempertanggungkan hasil perbuatannya dan akan mudah tersinggung bila orang lain ikut campur dalam kehidupannya. Bahkan orangtua terkadang hanya bisa geleng kepala, melihat tingkat remaja yang tidak mempan diberi nasihat dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, orang ketiga yang diharapkan mampu mendamaikan persoalan rumah tangga remaja, tidak selalu orangtua, tetapi orang yang dituakan. Artinya, pihak ketiga itu bisa saja saudara, teman, paman ataupun kerabat lainnya.
Pernikahan Dini, Bukan Sekedar Alternatif Ditulis pada Juli 9, 2007 oleh Iwan Rusliyanto Oleh: M. Zubaydi Ilyas R. Pernikahan Dini:Sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut penawaran Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun

1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun perguruan tinggi. Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya. Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir: bahwa pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron Pernikahan Dini yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh sinetron tersebut. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya Indahnya Pernikahan Dini, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya Children Development Through: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untukmengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali. Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya, menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan ibid). Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bias

dibantah. Ngeri rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90% mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Akhirnya, kata Fauzil Adhim, kita akan menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan: para gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Na udzubillah! Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu jawabnya: nikah. Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw. bersabda, Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual) (HR. Imam yang lima). Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab? Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv, perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya (Ahmad dan Abu Dawud). Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan sebuah isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, sembilanbelas Abad yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Masud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah. Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, Kita tak perlu risih dengan yang urusan yang begitu krusial dalam sebuah rumah tangga ini. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya, Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.

Dus, apapun masalahnya, yang jelas darul mafasid muqoddam ala jalbil masholih wasalam,

You might also like