You are on page 1of 90

Draft ke-3, Oktober 2009 Untuk diskusi kalangan internal Tidak untuk disebarluaskan

KEBIJAKAN UMUM KETAHANAN PANGAN 2010-2014

DEWAN KETAHANAN PANGAN JAKARTA (Oktober 2009)

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 ini disusun sebagai penyempurnaan dari KUKP 2005-2009 yang telah dijadikan referensi berharga oleh para perumus dan pelaksana kebijakan di lapangan, pelaku ekonomi dan masyarakat madani pada umumnya. Pada intinya KUKP 2010-2014 masih menggunakan argumen utama yang tidak berubah, bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi pedesaan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. KUKP 2010-2014 mempertimbangkan beberapa perubahan yang terjadi pada tingkat global seperti pergerakan harga-harga pangan strategis, baik sebagai dampak berantai dari kenaikan harga mi`nyak bumi dunia, sebagai dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global, maupun sebagai dampak dari krisis finansial global yang mempengaruhi daya beli konsumen miskin, terutama di negara-negara berkembang. KUKP ini juga mempertimbangkan fenomena dan dinamika kondisi internal di dalam negeri, seperti perubahan mendasar setting kebijakan dan aransemen kelembagaan ketahanan pangan pada tingkat daerah, terutama sebagai konsekuensi dari ketentauan terbaru bahwa ketahanan pangan adalah urusuan wajib pemerintah daerah. Disamping itu, sebagai konsekuensi dari implementasi kebijakan dan kesepakatan pimpinan daerah di tingkat provinsi 1

dan di tingkat kabupaten/kota, Indonesia juga sedang berupaya mengembangkan suatu kebijakan yang mengarah pada satu sasaran strategis tentang Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015. Beberapa tahun terakhir, cukup banyak kebijakan khusus baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah yang telah mengarah pada beberapa fenomena baru dan perubahan mendasar tersebut di atas. Pada KUKP 2010-2014, secara esensial dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa melaksanakan kebijakan ketahanan pangan dan bertanggungjawab terhadap penyelengaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih sangat penting dalam mencapai ketahanan pangan, walaupun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan semakin pentingnya fungsi sektor swasta dan kelembagaan pasar. Pemerintah pusat menentukan arah kebijakan, strategi yang akan ditempuh, dan sasaran yang akan dicapai menuju tingkat ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Ketidakjelasan dan keterputusan antara hierarki level politis-strategis, organisasi, dan implementasi sangat mempengaruhi perjalanan serta kualitas ketahanan pangan, yang meliputi dimensi ketersediaan, aksesibilitas dan stabilitas harga, serta utilisasi produk pangan di Indonesia. Sistem produksi, produktivitas dan efisiensi pada pangan strategis seperti beras, gula, jagung dan kedelai masih cukup lemah, baik karena faktor musim, cuaca, serta ketidakpastian lainnya, maupun karena faktor perubahan teknologi yang tidak sebagus pada dekade 1970 dan 1980an. Sistem produksi pangan yang demikian, baik di sektor hulu maupun di sektor hilir, ditambah sistem distribusi yang tidak memberikan balas jasa yang fair di antara pelaku ekonomi dan stakeholders, 2

masih mempengaruhi produktivitas dan penyediaan pangan di dalam negeri. Produksi beras saat ini mungkin telah mencapai tingkat swasembada dan kemandirian yang cukup baik karena tingkat ketergantungan kepada pasokan beras impor tidak terlalu eksesif dan pada waktu tertentu ketika cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Akan tetapi, produksi gula, beras dan jagung justru masih perlu mengandalkan impor dari pasar dunia karena tingkat produksi dan produktivitas di dalam negeri masih cukup rendah. Desentralisasi ekonomi adalah titik tolak untuk memperbaiki kerjasama, minimal sinergi kebijakan ketahana pangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sistem organisasi dan enforcement, rasa tanggung jawab pejabat pusat dan daerah perlu diperbaiki, paling tidak terdapat mekanisme pengawasan untuk menetapkan prioritas alokasi anggaran pusat dan daerah yang mampu menunjang pencapaian ketahanan pangan. Misalnya dalam hal kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab dalam rehabilitasi infrastruktur pertanian dan pedesaan yang dikenal dengan istilah O&M (operation and maintenance) jaringan irigasi, saluran drainase, jalan produksi, jalan desa dan tentunya jalan propinsi, jalan negara dan lain-lain.

1.2 Tujuan Penyusunan Dokumen Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 ini disusun untuk dapat dijadikan acuan bagi para stakeholders pangan, mulai dari instansi pemerintah, sektor swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perguruan tinggi, dan terutama petani, nelayan, industri pengolah, pedagang, penyedia jasa lain dan masyarakat umum. Secara khsus, dokumen kebijakan yang disertai rencana aksi pada periode 2010-2014 diharapkan menjadi common platform bagi para setakholders tersebut di atas tentang peran dan upaya yang dapat dilaksanakan, dengan siapa bersinergi, serta kapan dan dimana harus berperan; untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam mewujudkan 3

ketahanan pangan sebagai tujuan bersama. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kebijakan umum ini diharapkan menjadi acuan dasar bagi lembaga pemerintah dan BUMN untuk membangun sinergi, integrasi dan koordinasi,

minimal agar saling informed tentang kegiatan yang dilaksanakannya, dan maksimal agar mampu mencapai tujuan ketahanan pangan. 1.3 Ruang Lingkup dan Proses Penyusunan Ruang lingkup dokumen KUKP 2010-2014 ini merupakan penjabaran dari strategi besar Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, yang pada saat Draft Kebijakan Umum Ketahanan Pangan ini dibuat, pembahasan RPJM juga sedang berlangsung. Substansi dan kerangka dasar dalam dokumen Kebijakan Ketahanan Umum Ketahanan Pangan ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budiaya Tanaman, UU 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Pangan beserta perangkat peraturan kebijakan di bawahnya yang tidak bertentangan. Substansi dasar yang disampaikan dalam dokumen ini adalah aspek keseimbangan ketahanan pangan, yang meliputi ketersediaan, aksesibilitas dan stabilitas harga pangan, baik dalam skala rumah tangga, regional wilayah dan skala nasional. Ketahanan pangan mengalami dinamika dan tantangan baru yang semakin kompleks seiring dengan beberapa perubahan yang terjadi pada tingkat global dan dinamika perkembangan ekonomi nasional. Substansi penting lainnya adalah butir-butir kebijakan umum ketahanan pangan yang terdiri dari 15 elemen penting yang diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan elemen masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tingkat wilayah dan tingka nasional. Matriks agenda aksi yang merupakan penjabaran rinci dengan target atau sasaran yang jelas dari setiap elemen

kebijakan akan menjadi semacam panduang berharga bagi para stakeholders yang telah disebutkan di atas. Proses penyusunan dokumen KUKP 2010-2014 dilakukan oleh suatu Tim Penyusun yang dibentuk oleh Menteri Pertanian selaku Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan. Tim ini bertugas menyusun konsep awal dokumen kebijakan melalui penelitian, studi pustaka, diskusi internal dan pertemuan dengan para stakeholders. Draf awal KUKP 2010-2014 telah dibahas berkali-kali dalam berbagai diskusi publik, mulai dari pengenalan, perumusan, identifikasi masalah, prioritisasi kebijakan, langkah aksi, sampai ada pembagian tugasdan tanggung jawab stakeholders. Diskusi publik telah melibatkan unsur lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan lainnya. Tim perumus mengolah kembali saran dan

masukan dari peserta diskusi publik untuk menyempurnakan subtansi argumen, alur pembahasan, pemilihan serta susunan kata-kata yang digunakan dalam penyusunan dokumen KUKP 2010-2014 ini. Tahap terakhir proses ini adalah diskusi internal instansi pemerintah yang terlibat dalam proses formalisasi dokumen ini menjadi suatu kebijakan umum yang, jika dimungkinkan, akan dituangkan dalam suatu Peraturan Presiden (Perpres).

BAB 2. TANTANGAN BARU KETAHANAN PANGAN


Tantangan baru ketahanan pangan lebih banyak diwarnai perubahan yang demikian cepat terjadi pada lingkungan global, seperti kenaikan harga minyak bumi yang sangat fluktuatif, peruabahan iklim yang semakin menjadi nyata, serta beberapa kecenderungan atau respons dari negara-negara produsen pangan yang cenderung semakin protektif. Pergerakan harga pangan pada tahun 2008 yang cukup merumitkan, terutama karena harga beberapa komoditas pangan naik tajam pada semester pertama dan turun tajam pada semester kedua. Pada awal tahun, hampir semua orang meresahkan lonjakan harga komoditas pangan berlipat-lipat dan sempat mengganggu stabilitas politik di beberapa negara berkembang. Kemudian, pada akhir tahun, masyarakat juga resah karena harga-harga produk pertanian cenderung anjlok. Pada tahun 2009, harga pangan kembali naik secara perlahan, tapi pasti, walaupun belum menyamai lonjakan harga pada tahun 2008. Pergerakan dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim lainnya jelas menimbulkan kejutan yang tidak terduga, yang pasti mengganggu stabilitas dan sinyal-sinyal insentif yang dimiliki para pelaku. Semula, banyak analis mengira bahwa the era of cheap price is over. Kesimpulan itu tidak sepenuhnhya salah karena sejak tahun 2008, politik pangan dan kebijakan pertanian di banyak negara cenderung merupakan respon terhadap fenomena pergerakan harga pangan yang cukup liar. Namun demikian, pada semester kedua 2008, beberapa komoditas pangan strategis mengalami kejatuhan harga yang signifikan, walaupun tidak sedramatis tahun-tahun sebelumnya. Petani atau pelaku ekonomi lain pasti bekerja berdasarkan ekspektasi untuk memperoleh tambahan pendapatan yang lebih tinggi. Apabila ekspektasi positif ini tidak dapat terpenuhi, maka agak sulit bagi siapa pun untuk berharap bahwa

petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Sementara itu konsumen pangan, terutama dari golongan berpenghasilan rendah semakin sulit untuk menjangkau peningkatan harga-harga pangan, sehingga sangat mempengaruhi akses dan kualitas konsumsi pangan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, KUKP 2010-2014 ini dapat dianggap memadai apabila kebijakan yang dapat menjadi insentif positif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan dan pertanian secara umum. 2.1 Dinamika Ekonomi Pangan Global Berdasarkan penelusuran beberapa analisis dan literatur yang berkembang, eskalasi harga pangan strategis yang sangat tinggi diperkirakan mengubah struktur perdagangan global, bahkan tingkat laku yang ditunjukkan oleh beberapa reaksi protektif oleh beberapa produsen pangan global. Misalnya, produsen utama beras dunia seperti Cina, Thailand, Vietnam, India, Indonesia dan lain-lain ternyata lebih mengutamakan konsumsi di dalam negerinya, dari pada harus mengekspornya ke pasar global. Tidak secara kebetulan apabila negara-negara produsen beras ini juga sekaligus konsumen besar beras dunia. Berbeda halnya dengan Amerika Serikat (AS), yang bukan merupakan konsumen besar beras. Produksi beras yang dihasilkan di negara bagian California, Hawaii, Louisiana, dan lain-lain lebih diutamakan untuk tujuan ekspor, sehingga dalam beberapa tahun terakhir, AS telah menjadi negara eksportir nomor 3 atau 4 terbesar dunia, bergantian dengan India. Apakah fenomena baru perdagangan dunia ini akan menjadi insentif bagi Amerika Serikat untuk meningkatkan penguasaan dan perluasan pangsa pasar beras ke Asia, fakta empiris kelak yang akan menjawabnya. Dari beberapa penjelasan di atas, perubahan pola dan struktur perdagangan komoditas pangan global tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor penting berikut: (1) fenomena perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi pangan

strategis, (2) peningkatan permintaan komoditas pangan karena konversi terhadap biofuel, dan (3) aksi para investor (spekulan) global karena kondisi pasar keuangan yang tidak menentu. Penjelasan singkat dari faktor di atas diuraikan berikut ini: Pertama, perubahan iklim telah menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau yang makin kacau, sehingga pola tanam dan estimasi produksi pertanian, persediaan stok pangan menjadi sulit diprediksi secara baik. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa setiap kenaikan suhu udara 2 derajat Celsius, akan menurunkan produksi pertanian China dan Bangladesh 30 persen nanti pada tahun 2050. Sulit dilukiskan betapa dahsyat dampak sosial-ekonomi yang terjadi, misalnya jika tiba-tiba tinggi air laut meningkat sampai 3 meter. Sekitar 30 persen garis pantai di dunia akan lenyap pada tahu 2080, dan bencana kekeringan akan menjadi menu sehari-hari di negara-negara tropis dan sub-tropis. Dalam laporan berjudul Stern Review on the Economic of Climate Change, seorang pakar berkebangsaan Inggris Nicholas Stern (2006) mengemukakan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan tentang dampak pemanasan global. Perubahan iklim bahkan telah dianggap sebagai salah satu kontributor pada laju eskalasi harga pangan dan pertanian saat ini, karena telah mengakibatkan gangguang besar pada sistem produksi pangan. Kedua, kenaikan harga minyak dunia sejak 2007 itu sempat melonjakkan harga-harga pangan secara dramatis, seperti yang terjadi pada pangan strategis seperti gandum, beras, daging, dan susu. Sebagian besar negara yang memeliki sumberdaya alam agak berlimpah, saat ini sedang mengembangkan bahan bakar biologi (biofuels), yang juga telah mendorong permintaan terhadap minyak nabati dunia menjadi meningkat pesat. Kebijakan pengembangan biofuel di negaranegara maju (dan negara-negara berkembang) telah menyebabkan perubahan fokus pemanfaatan komoditas pangan dan pertanian, tidak hanya untuk memenuhi

kebutuhan pangan, tapi juga untuk memenuhi energi. Misalnya, suatu Laporan yang dipublikasi oleh International Institute for Sustainable Development (IISD, 2007) menyebutkan bahwa Amerika Serikat mengeluarkan anggaran US$ 7 milliar untuk mendukung pengembangan etanol, yang sekaligus telah

mengkonversi 20 persen dari produksi jagung di dalam negerinya, dan diperkirakan akan naik menjadi 32 persen pada tahun 2016. Uni Eropa juga telah mentargetkan 10 persen dari konsumsi bahan bakar di sektor transportasi pada tahun 2020 akan berasal dari biofuel. Target yang lebih besar juga dicanangkan oleh Amerika Serikat, yaitu 36 miliar galon konsumsi bahan bakar biofuel pada tahun 2022. Akibat berikutnya, harga dunia komoditas minyak dan lemak yang dapat digunakan untuk energi menjadi meningkat tajam, bahkan ketika hargaharga pangan lain cenderung menurun. Ketiga, kecenderungan melonjaknya nilai investasi (spekulasi) komoditas pangan di pasar komoditas global, dibandingkan dengan pasar keuangan global yang sedang diliputi ketidakpastian. Walaupun masih harus dicermati dalam rentang waktu yang agak panjang, namun beberapa kejadian akhir-akhir ini merupakan bukti-bukti awal dari pergeseran fokus perdagangan komoditas global. Faktor melesunya pasar keuangan global atau bursa saham di pasar-pasar besar dunia, serta melemhanya nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lain di dunia, juga ikut mempengaruhi keputusan para investor yang mulai meminati pasar komoditi global. Dalam istilah pasar keuangan global, fenomena saat ini juga dikenal sebagai low inventory stocks, yang sekaligus menunjukkan terjadinya tingkat volatilitas pasar yang sangat tinggi. Akibatnya, tingkat harga pangan di pasar global menjadi tersandera oleh keputusan segelintir investor (spekulan) skala besar, yang sebenarnya tidak mencerminkan prinsip-prinsip klasik perdagangan, yang berdasar pada perbedaan keuntungan komparatif dalam memproduksi komoditas pangan. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa akan

sangat berisiko tinggi apabila perdagangan pangan, hanya digantungkan pada pasar keuangan dan pasar komoditas global, yang pasti menimbulkan dampak ketidakmerataan dan ketimpangan yang mengkhawatirkan. Implikasi lain dari perubahan pola dan struktur perdagangan global saat ini adalah semakin berkembangnya strategi intervensi yang dilakukakan oleh negara dalam rangka stabilisasi harga pangan. Di tingkat akademik, kontroversi lama tentang suatu dampak distortif dari kebijakan intervensi pasar masih akan berlanjut, walaupun tidak akan sekeras perdebatan pada era 1980-an. Kutub

perbedabatan mungkin akan bergeser, tidak hanya antara ekonom arus tengah (neoklasik) dan ekonom yang menekankan pada perencanaan sentralistik. Kini, perdebatan itu disemarakkan oleh semakin berkembangnya mazhab teori ekonomi kelembagaan yang menekankan pada kebekerjaan (workability) dari suatu intervensi yang dilakukan negara. Terlebih lagi, ekonom yang semula berada pada kutub arus tengah, kini mulai lebih realistis dengan mulai menerapkan prinsip-prinsip ekonomi kelembagaan dengan karakter keteraturan aturan main, pengelolaan biaya transaksi, serta interaksi antara keputusan ekonomi dan keputusan non-ekonomi yang lebih bervisi pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pada intinya, kutub arus tengah sampai sekarang masih konsisten menolak keras campur tangan pemerintah dalam stabilisasi harga beberapa bahan pangan, terutama dalam rentang jangka panjang. Argumen yang dikemukakan kutub ini adalah bahwa manfaat yang dapat dipetik dari tindakan upaya stabilisasi harga umumnya sangat kecil, bahkan negatif. Biaya transaksi (transaction cost) yang ditimbulkan oleh upaya intervensi pemerintah tersebut ternyata sangat besar Korupsi kronis yang senantiasa menyertai strategi stabilisasi harga bahan pangan di kebanyakan Dunia Ketiga adalah salah satu bentuk biaya transaksi yang harus ditanggung masyarakat luas. Bahkan, beberapa kelompok kepentingan ( vested

10

interest) yang selalu melingkupi proses perumusan kebijakan intervensi negara tersebut justru memanfaatkannya bukan untuk tujuan implementasi stabilisasi harga semata, melainkan untuk kepentingannya sendiri. Menariknya, tidak sedikit dari ekonom arus tengah ini yang melihat betapa pentingnya suatu langkah stabilisasi harga bahan pangan yang harus ditempuh pemerintah. Misalnya, pada tahap awal ekonomi pembangunan, beberapa ekonom menolak tegas simplifikasi dan kesalahan persepsi para ekonom arus tengah di atas, terutama tentang betapa pentingnya arti stabilitas harga bahan pangan pada bangsa-bangsa Asia. Di

Indonesia, argumen pentingnya stabilisasi inilah yang menjadi falsafah utama kebijakan harga dasar gabah dan harga atap beras, serta sebagai justifikasi pendirian lembaga logistik nasional, yang kini menjadi Perum Bulog. Telah cukup banyak studi yang menunjukkan bahwa stabilisasi harga bahan pangan sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, terutama dari perspektif makro. Ketika pangsa perdagangan komoditas pangan global semakin banyak dikuasai oleh negara-negara maju, dalam hal ini Amerika Utara dan Eropa Barat, maka negara-negara berkembang, yang sebagian besar juga masih miskin, menjadi sangat tergantung pada pasokan pangan global. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada akhir 1990-an telah memberikan pelajaran berarti bahwa liberalisasi perdagangan pangan bukanlah resep mujarab yang mampu menjawab persoalan fluktuasi dan stabilisasi harga pangan, apalagi jika dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Atas saran untuk melakukan reformasi ekonomi dan keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia, Indonesia pernah mencoba melakukan liberalisasi perdagangan pangan, termasuk menghilangkan tarif impor dan bea masuk beras dan beberapa komoditas strategis sampai 0 persen. Akibat yang paling mencolok adalah bahwa pasca liberalisasi kebijakan pangan tersebut, tingkat harga beras sebagai pangan pokok menjadi lebih berfluktuatif. Stabilisasi

11

harga yang dihipotesiskan oleh IMF dan Bank Dunia akan tercipta setelah pasar pangan domestik terhubung dengan pasar global, ternyata sulit terbukti di lapangan. Lembaga-lembaga internasional yang bervisi arus tengah dan juga liberal tersebut sehingga sering disebut neoliberal nampak tidak terlalu memahami lebih dalam tentang persoalan struktural yang melingkupi

perdagangan komoditas pangan strategis di Indonesia. Menariknya, banyak ekonom arus tengah yang juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari poses globalisasi dan perdagangan bebas komoditas pangan, kini bahkan mengkritik keras pendekatan dan paradgima yang diusulkan lembaga keuangan global tersebut. Sebaliknya pula, para ekonom yang sebelumnya secara konsisten menganjurkan intervensi pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga pangan serta mempertahankannya secara konsisten, kini justru menjadi pengkritik terdepan tentang kebijakan stabilisasi tersebut. Di Indonesia dan negara berkembang lain, pangan merupakan bagian terbesar dari komponen konsumsi penduduk, fluktuasi harga pangan yang sangat tinggi dapat mengganggu stabilitas kehidupan ekonomi yang tentu saja sangat mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi. Upaya pemerintah dalam stabilisasi harga pangan dianggap masih cukup relevan, setidaknya sampai tercipta suatu fase di mana pangsa pengeluaran terhadap bahan makanan tidak lagi menjadi bagian yang sangat dominan. 2.2 Penyediaan Pangan Strategis Krisis finasial global sekarang ini terasa lebih berat bagi ekonomi Indonesia karena bersamaan dengan lonjakan harga minyak bumi dunia, fluktuasi harga pangan yang luar biasa tinggi, fenomenal perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi, serta variabilitas cuaca yang semakin tidak bersahabat. Pada tingkat makro global, mungkin saja krisis finansial menjadi salah satu pemicu percepatan pergeseran kekuatan ekonomi global dari negaranegara maju ke arah negara-negara berkembang progresif atau yang lebih dikenal

12

dengan new emerging markets. Akan tetapi, pada bidang pangan dan pertanian, posisi negara-negara berkembang yang notabene memiliki jumlah penduduk lebih besar dari negara-negara maju, masih belum dapat melepaskan diri dari permasalahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi, ketahanan pangan, kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan dan lain-lain. Ditambah lagi, saat ini terdapat kecenderungan di antara negara-negara berkembang untuk semakin mementingkan urusan pangan di dalam negerinya sendiri, bahkan dengan menerapkan strategi proteksi yang cenderung berlebihan. Di tingkat global, produksi beras sebenarnya tidaklah terlalu buruk, walau memang sedang mengalami stagnansi atau pelandaian (leveling-off) karena peningkatan produksi lebih banyak hanya mengandalkan pertambahan areal panen. Produksi beras global diperkirakan sekitar 643 juta ton pada tahun 2007. Angka tersebut juga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produksi beras 581 juta ton pada tahun 2006 atau dari perkiraan Food Outlook FAO sebelumya pada edisi Juni 2007. Kenaikan produksi di India, Myanmar dan Indonesia diperkirakan cukup signifikan untuk meningkatkan produksi beras dunia tahun 2007. Persoalan menjadi agak kompleks ketika produktivitas beras rata-rata dunia nyaris tidak bertambah pada beberapa tahun terakhir dan tercatat hanya 4,1 ton per hektar. Maknanya, betapa rendahnya tingkat perubahan teknologi, aplikasi benih baru dan teknologi lain di sektor pangan pokok ini. Ancaman krisis pangan di belahan bumi lain bahkan lebih menakutkan, terutama karena pertambahan penduduk, pemanasan global dan ketidakpastian iklim serta ancaman ekologis karena keterlambatan adaptasi dan mitigasi peruabahan iklim. Menurut laporan Program Pangan Dunia (2008), sebanyak 57 negara (29 di Afrika, 19 di Asia dan 9 di Amerika Latin) juga terkena terpaan banjir dan bencana ekologis yang menakutkan. Di pihak lain, bencana kekeringan dan gelombang panas juga melanda beberapa tempat di Asia, Eropa, Cina,

13

Mozambik dan Uruguay. Di Australia, yang menjadi salah satu produsen gandum dunia, bencana kekeringan tahun 2007 lalu telah menurunkan produksi gandum sekitar 40 persen atau 4 juta ton. Tidak heran jika kondisi suplai gandum dunia agak terganggu dan melonjakkan harga gandum di pasar global. Laporan WFP tersebut juga menyebutkan bahwa sekitar 854 juta jiwa di seluruh dunia terancam kelaparan. Kelompok rawan pangan ini bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun, sehingga kenaikan harga pangan dunia saat ini benar-benar di luar jangkauan mereka dari kelompok lapis paling bawah tersebut. Inilah tantangan paling besar bagi siapa pun yang peduli tentang ekonomi pangan dan pencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Di dalam negeri, ketahanan pangan Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks karena beberapa kecenderungan global di atas, musim kemarau panjang tahun ini yang diperkirakan menurunkan produksi pangan strategis. Pencapaian Indonesia dalam peningkatan produksi pangan pokok

(beras) mungkin perlu diapresiasi, sekalipun masih terdapat kontroversi statistik dan metode penghitungan. Badan Pusat Statistik (BPS) meramalkan produksi beras 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling (GKG), atau meningkat 3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Apabila karena kemarau panjang, ramalam produksi beras tahun ini diperkirakan sama dengan tahun lalu, hal itu berarti terdapat potensi kenaikan produksi 2,3 juta ton padi, sesuatu yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah

memprediksi musim kering tahun ini akan terjadi sampai sampai Januari 2010, dan hampir seluruh wilayah di Indonesia mengalami anomali cuaca yang merata. International Research Institute for Climate and Society (IRI) Columbia University (New York) menyebutkan bahwa peluang kekeringan pada bulan Juli, Agustus dan September (JAS) 2009 mecapai 82 persen. Variabel yang diukur

14

dari ENSO Forecast (El-Nino Southern Oscillation) untuk daerah NINO 3.4 (Indonesia dan sekitarnya) tersebut masih tetap tinggi, berkisar 80 persen sampai dengan Februari, Maret, dan April 2010 (FMA 2010). Musim basah baru terjadi Maret, April, Mei 2010 (MAM 2010). Musim kering tahun ini serasa lebih menyengat karena terjadi bersamaan dengan dampak fenomena moda positif di Samudra Hindia atau dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD). Konsep

penelitian model variasi iklim yang dikembangkan Japan Agency for MarineEarth Science and Technology (JAMSTEC) telah menjelaskan gejala cuaca abnormal atau perubahan iklim global saat kekeringan hebat tahun 1997. Minimnya uap air di atas Indonesia dan sekitarnya karena fenomena anomali cuaca di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia telah menjadi catatan sejarah rekor buruk impor beras Indonesia yang mencapai 5,8 juta ton tahun 1998. Produksi bahan pangan penting menunjukkan kecenderungan peningkatan, kecuali kedelai yang mengalami penurunan sejak dekade 1990an. Pada tahun 2009 ini, produksi jagung diramalkan 17 juta ton, terutama karena peningkatan luas panen di Propinsi Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, Lampung, dan Sumatera Utara. Angka tersebut memang masih belum mampu mencapai target swasembada jagung, yang seharusnya telah tercapai sejak tahun 2007, karena Indonesia masih harus memenuhi konsumsi jagung dari pasar impor. Hal yang agak positif adalah bahwa penggunaan benih unggul jagung hibrida, terutamabuah hasil bioteknologi pertanian. Bersamaan dengan itu, peningkatan produksi jagung hibrida juga sekaligus mampu mendukung sektor peternakan karena industri pakan ternak ikut tumbuh pasca stagnansi yang cukup serius pada puncak krisis ekonomi. Membaiknya produksi jagung domestik sedikit membantu mengurangi ketergantungan sektor peternakan kecil terhadap pakan impor, dan sempat memberikan ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi. Akan tetapi,

15

karena laju konsumsi jagung yang tumbuh lebih cepat, Indonesia masih harus mengandalkan jagung impor dalam jumlah yang cukup signifikan. Tabel 1. Kinerja Produksi Pangan Strategis Indonesia, 2006-2009
2006 2007 2008 2009

Padi Luas Panen (ha) 11.786.430 12.147.637 12,299,391 12,668,989 4.94 Produktivitas (ton/ha) 4.62 4.71 4.89 Produksi (ton GKG) 54.454.937 57.157.435 60.325.925 62.561.146 Jagung Luas Panen (ha) 3.345.805 3.630.324 4.001.724 4.096.838 4.16 Produktivitas (ton/ha) 3.47 3.66 4.08 Produksi (ton pipilan kering) 11.609.463 13.287.527 16.317.252 17.041.215 Kedelai 701.392 Luas Panen (ha) 580.534 459.116 590.956 1.32 Produktivitas (ton/ha) 1.29 1.29 1.31 924.511 Produksi (ton biji kering) 747.611 592.381 775.710 Gula (Tebu) 415.000 Luas Panen (ha) 384.000 395.000 410.000 6.26 Produktivitas (ton hablur/ha) 5.90 6.08 6.20 2.840.000 Produksi (ton gula) 2.266.900 2.401.600 2.542.000

Sumber: Produksi padi, jagung dan kedelai dari BPS, terakhir Aram 2 Juli 2009 Kinerja produksi gula dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI), 2008 Produksi kedelai tahun 2009 diperkirakan mendekati 701 ribu ton biji kering, suatu peningkatan signifikan dibandingkan angka produksi tahun 2008 yang hanya tercatat 590 tibu ton (Tabel 1). Namun demikian, kinerja produksi beberapa tahun terakhir adalah penurunan permanen dari angka produksi di atas 1,5 juta ton pada awal 1990an. Saat ini agak sulit meyakinkan petani Indonesia untuk kembali menanam kedelai ketika tingkat permintaan terhadap kebutuhan pokok seperti beras dan komoditas bernilai timbah tinggi lain semain meningkat. Hal ini terlihat dari penurunan areal panen kedelai yang cukup signifikan, yaitu 20 persen. Pada dekade 1980an, Indonesia melaksanakan suatu program sistematis untuk meningkatkan produksi dan produktivitas palawija, tidak hanya sebagai sumber tambahan pendapatan petani, tapi juga untuk meningkatkan kualitas dan

16

kesuburan tanah. Secara agronomis, tanaman dari kelompok legum (kacangkacangan) mampu mengikat Nitrogen dari udara, sehingga mengurangi biaya penggunaan pupuk kimia buatan. Namun demikian, peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara baik di Indonesia. Produktivitas kedelai di Indonesia hanya 1,28 ton/ha atau setengah dari produktivitas kedelai di luar negeri, seperti di Brazil, Argentina dan Amerika Serikat. Produksi gula pada tahun 2009 ini diperkirakan mencapai 2,84 juta ton (Tabel 1) sehingga tercapainya swasembada gula konsumsi masyarakat dapat tercapai. Definisi gula konsumsi sengaja digunakan oleh pemerintah untuk memperhalus pencapaian target swasembada, atau untuk membedakan dengan gula industri, yang masih dilakukan oleh industri gula rafinasi mengandalkan bahan baku impor gula mentah. Apakah target swasembada gula tersebut tercapai atau tidak, nampaknya masih menarik untuk diterlusuri secara mendalam karena tingkat konsumsi gula yang meningkat pesat. Saat ini konsumsi gula rata-rata di Indonesia mencapai lebih dari 12 kg per kapita per tahun, terutama karena pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pendapatan masyarakat (baca: pertumbuhan ekonomi) Indonesia. Konsumsi gula industri diperkirakan sekitar 2,15 juta ton, terdiri dari 1,1 juta industri besar dan 1,05 juta ton industri kecil dan usaha kecil menengah (UKM), sehingga total konsumsi gula di Indonesia diperkirakan 4,85 juta ton atau lebih. Nampaknya, akurasi prediksi dan statistik produksi dan konsumsi gula mengalami persoalan yang sama peliknya dengan statistik beras dan beberapa pangan strategis lain. Aplikasi teknologi produksi, teknik budidaya, serta sensitivitas usahatani tebu (lahan basah) terhadap fenomena perubahan iklim juga dapat menjelaskan fluktuasi produksi tebu di Indonesia. Pada skala tebu rakyat, persoalan teknik keprasan yang berulang sampai belasan kali juga menjadi masalah tersendiri karena insentif pendanaan pembongkaran ratoon cukup pelik untuk dapat dicerna petani tebu. Disamping itu, basis

17

usahatani tebu semakin tergeser oleh komoditas lain, terutama padi, palawija dan hortikultura yang menghasilkan pendapatan ekonomi tinggi berlipat. Sebenarnya, Indonesia memiliki potensi swasembada gula, walaupun terdapat kecenderungan persaingan penggunaan lahan antara padi dan gula, karena kedua tanaman memerlukan jenis tanah dan iklim yang mirip. Titik

sentral persoalannya adalah apakah segenap energi bangsa dan wisdom dalam mengambil keputusan intervensi kebijakan dapat saling mendukung dengan target swasembada gula tersebut. industri gulanya. Sekali lagi, persoalan utama bukan terletak pada

positioning apakah Indonesia harus protektif atau liberal dalam pengembangan Konsistensi sebuah intervensi kebijakan jelas sangat

diperlukan untuk memberikan sinyal insentif yang tepat bagi segenap pelaku, mulai dari petani, pedagang, pengolah dan konsumen. Termasuk di sini adalah intervensi dan keputusan impor, beserta perlakuannya yang sangat mencolok antara importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT). Dalam konteks inilah maka, intervensi kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah satu prasyarat pencapaian swasembada gula. Rekonstruksi basis produksi dalam sistem usahatani tebu, serta peningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis pabrik-pabrik gula yang ada di Indonesia menjadi hampir mutlak untuk mencapai tujuan swasembada gula yang lebih beradab. Kedua aspek ini perlu dibenahi secara bersamaan karena tidak mungkin berharap peningkatan efisiensi pabrik gula apabila kualitas rendemen gula dalam tebu petani ternyata sangat rendah, yaitu sekitar 7 persen lebih sedikit. Dalam kondisi biasa-biasa saja, mustahil berharap peningkatan produksi dan produktivitas tebu apabila insentif harga beli demikian rendah karena pabrik gula telah menderita inefisiensi teknis dan ekonomis. Lebih buruk lagi, dukungan permodalan dari sektor perbankan dan lembaga non-bank lain cukup lemah, sehingga lengkaplah sudah persoalan struktural di sektor hulu produksi gula.

18

Beberapa studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk mengantisipasi pergeseran usahatani tebu tanaman ekonomis lainnya, sehingga muncullah pilihan-pilihan rasional untuk pemanfaatan tebu lahan kering, bahkan di Luar Jawa. Benar bahwa pendapatan luar usahatani sangat penting bagi sebagian besar petani di Jawa, maka usahatani tebu di lahan kering dengan dukungan aktivitas ekonomi luar usahatani yang lebih produktif akan dapat meningkatkan pendapatan petani di Jawa dan berkontribusi besar bagi pengentasan masyarakat dari kemiskinan serta pengembangan wilayah secara umum. Pemerintah perlu lebih serius dalam menindaklanjuti hasil-hasil analisis kebijakan alternatif atu perubahan pola tanam usahatani seperti itu, karena langkah kebihakan tersebut dapat berkontribusi bagi pemandirian petani dan desentralisasi ekonomi atau otonomi daerah yang lebih beradab. Pada sistem produksi ini, langkah pemcapaian swasembada gula dapat ditempuh dengan langkah besar peningkatan rendemen, yang selama ini hanya sekitar 7 persen atau kurang. Kenaikan rendemen 1 persen saja, maka terdapat potensi tambahan produksi gula lebih dari 300 ribu ton, yang tentu saja dapat berkontribusi pada pencapaian swasembada gula Indonesia. Kapasitas

sumberdaya pabrik dan sumberdaya manusia masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas hablur menjadi 8 ton per hektar. Strategi tersebut dapat ditempuh dengan metode konvensional dalam bidang budida ya, berupa perbaikan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, dan sebagainya. Dalam bidang panen dan pasca panen, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang juga sangat mempengaruhi produktivitas, misalnya dengan pemantauan tingkat kemasakan, penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat. Secara teknis, dalam bidang penggilingan, penentuan tingkat optimasi kapasitas giling dapat mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik. Sedangkan pemantauan 19

tentang kelancaran giling dapat mengurangi kehilangan gula di stasiun gilingan dan pengolahan. Selain metode konvensional di atas, peningkatan rendemen dapat ditempuh dengan metode terobosan yang lebih komprehensif seperti memperbaiki sistem insentif manajemen produksi tebu, mulai dari sistem bagi hasil, sistem transfer tebu, pengukuruan kualitas tebu, insentif harga dan kebijakan lain seperti pendanaan kredit yang lebih dapat diandalkan, sampai pada aspek konsolidasi lahan pabrik gula, seperti pembentukan sistem blok. Apabila kedua metode peningkatan rendemen tersebut dapat dikombinasikan secara baik, maka pencapaian rendemen gula sampai 11 persen bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan, apabila metode tersebut secara konsisten dilaksanakan, maka tidak mustahil rendemen gula pada perkebunan tebu di Indonesia dapat mencapai 13 persen atau lebih. Untuk itu, langkah-langkah pembenahan aspek mikro bisnis dan reposisi strategi mengarah pada perubahan budaya perusahaan (corporate culture) wajib segera dilakukan untuk pabrik gula di Jawa, terutama yang berada dalam skema pengelolaan BUMN induknya PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Tidaklah tabu untuk belajar dari strategi bisnis dan manajemen pabrik gula skala besar dengan teknologi modern seperti di Kelompok Usaha Sugar Group di Lampung, Kelompok Gunung Madu Plantations (GMP), Kelompok Kebun Agung dan sebagainya. Maksudnya, kebijakan revitalisasi industri gula dan restrukturisasi agro-industri di tingkat makro perlu juga lebih diarahkan pada upaya peningkatan daya saing industri secara keseluruhan. Pada kondisi inilah, maka Indonesia tidak perlu risau lagi dengan persoalan swasembada gula, karena produksi gula dalam negeri dapat melampaui 3 juta ton, sehingga analisis ekonomi politik yang diperlukan adalah bagaimana gula Indonesia dapat masuk ke segenap pasar-pasar gula strategis di belahan lain di dunia.

20

Tabel 2. Produksi Minyak Sawit Dunia, 2004-2008 (dalam juta ton) Negara Indonesia Malaysia Thailand Negara Lain Total Dunia 2004 12,38 13,97 0,76 3,88 30,99 2005 13,97 14,80 0,80 4,11 33,68 2006 16,05 15,88 0,86 4,35 37,14 2007 16,70 15,82 1,02 4,59 38,13 2008 18,60 17,30 1,17 4,95 42,02

Sumber: Oil World dan GAPKI, 2008 Produksi minyak goreng di Indonesia saat ini lebih banyak mengandalkan bahan baku minyak kelapa sawit (CPO), atau terjadi pergeseran dari proses produksi minyak goreng pada dekade 1980-an yang masih mengandalkan bagan baku minyak kelapa dalam (CCO=Crude Coconut Oil). Apabila harga CPO di

pasar global meningkat, maka harga eceran minyak goreng di dalam negeri juga melambung tinggi karena tingginya harga bahan baku CPO kepada industri minyak goreng di dalam negeri. Walaupun, kontribusi kenaikan harga minyak goreng terhadap inflasi masih sanagt kecil (tidak sampai 2 persen), posisi minyak goreng memang cukup strategis, bahkan sering bergulir ke ranah politik. Kesulitan akses konsumsi minyak goreng, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah tentu merupakan salah satu bahan kontroversi politik dan kebijakan publik. Bahkan, kenaikan harga minyak goreng saat ini juga terasa memberatkan bagi seorang petani kelapa sawit, yang juga berhak untuk memperoleh harga yang layak atas kebutuhan pokok sehari-harinya. Petani sawit sebenarnya juga memperoleh manfaat windfall profit atas semakin tingginya harga CPO di pasar global, produksi CPO juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Estimasi yang dikeluarkan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dengan berbasis data Oil World menunjukkan bahwa produksi CPO Indonesia tahun 2008 ini mencapai 18,6 juta

21

ton, atau melampaui produksi CPOO Malaysia 17,3 juta ton (Tabel 2). Pangsa atau kontribusi produksi CPO Indonesia kini telah mencapai 44,3 persen dari total produksi CPO dunia, lebih tinggi dari 41,2 pangsa CPO Malaysia. Dengan

pangsa total di atas 85 persen, posisi dan tingkah laku Indonesia dan Malaysia tentu sangat strategis dalam peta perdagangan CPO dunia. Akan tetapi, apakah Indonesia dan Malaysia mampu mendominasi harga keseimbangan pasar CPO di tingkat global, analisis mendalam masih harus diakukan terhadap psosis komoditas pesaing dari CPO dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia: seperti minyak kedelai, minyak kanola, minyak jagung bahkan minyak kelapa, minyak matahari dan lain-lain. Produksi daging pada tahun 2008 tercatat 2.2 juta ton, dengan dominasi daging ayam ras pedaging yang demikian besar, yaitu mencapai 993 ribu ton. Produksi daging sapi hanya 352 ribu ton, sehingga Indonesia tetap mengimpor sekitar 520 ekor sapi setiap tahun. Produksi daging sapi, daging ayam dan produk sektor peternakan atau yang menjadi sumber protein hewani di Indonesia sebenarnya tidaklah terlau besar untuk memenuhi kebutuhan daging yang masih akan meningkat setiap tahun. Akibatnya, Indonesia masih harus menggantunkan pada daging impor, terutama dari Australia, Selandia Baru dan negara-negara lain yang bebas penyakit hewan, seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), antraks, sapi gila, dan lain-lain.

22

Tabel 3. Ketersediaan Daging, Telur dan Produk Peterakan Lain, 2004-2008 (ribu ton) 2008 2,169.7 992.7 58.2 307.5 352.4 235.6 223.3 1,484.6 217.7 239.3 1,027.6 574.4

2004 Daging Ayam ras pedaging Ayas ras petelur Ayam Buras Sapi potong Babi Lainnya Telur Itik Ayam buras Ayam ras Susu segar 2,020.4 846.1 48.4 296.4 447.6 194.7 187.2 1,107.4 173.2 172.1 762.0 549.9

2005 1,817.0 779.1 45.2 301.4 358.7 173.7 158.9 1,051.5 195.0 175.4 681.1 536.0

2006 2,062.9 861.3 57.6 341.3 395.8 196.0 210.9 1,204.4 193.6 194.0 816.8 616.5

2007 2,069.5 942.8 58.2 294.9 339.5 225.9 208.2 1,382.1 207.5 230.5 944.1 567.7

Sumber: Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian, 2008 Saat ini, sebagian besar tingkat konsumsi protein hewani Indonesia masih lebih besar dari kemampuan penyediaannya, kecuali telur ayam yang menujukkan surplus. Disamping itu, tingkat konsumsi produk hewani per kapita di Indonesia masih sangat kecil, sekitar 1,15 kilogram per kapita per tahun untuk daging sapi; sekitar 2,3 kilogram per kapita untuk daging ayam broiler, sekitar 3,3 kilogram per kapita, dan 9,3 kilogram per kapita untuk susu, dan sebagainya. Tingkat konsumsi daging dan susu di Indonesia dan negara berkembang memang tergolong memang masih 4-5 kali lebih rendah disbanding tingkat konsumsi di negara-negara maju. Namun laju peningkatan konsumsi daging di negara berkembang pada periode 1971-1995 tercatat 70 juta ton, sementara di negaranegara maju hanya 26 juta ton. Demikian pula untuk konsumsi susu yang

meningkat 105 juta ton di negara berkembang dan hanya 50 juta ton di negara maju. Perbedaan statistik peningkatan konsumsi yang mencapai 2-3 kali lipat di

23

atas juga cukup konsisten apabila diukur dengan indikator lain seperti nilai konsumsi dan kuantitas kalori yang dihasilkan. Di Indonesia, Revolusi Peternakan ditandai oleh berkembang pesatnya industri ayam petelur, ayam pedaging dan ayam kampung sendiri, sejak akhir 1970an. Tidak kalah pentingnya, industri pakan ternak yang umumnya terkait dengan investasi asing dan beroperasi dengan skala besar juga tumbuh pesat, yang ditandai dengan maju dan membaiknya tingkat efisiensi, bahka di seluruh sistem agribisnis berbasis peternakan. Tingginya angka pertumbuhan yang juga terjadi di belahan lain di muka bumi, sering dinamakan Revolusi Peternakan (Livestock Revolution), yang sebenarnya telah dimulai sejak awal 1970-an. Revolusi Peternakan amat berbeda secara fundamental dengan Revolusi Hijau (Green Revolution) di sektor tanaman biji-bijian yang lebih banyak didorong oleh sisi suplai (supply driven) produksi dengan karakter perubahan teknologi baru biologi dan kimiwai seperti varietas unggul, pupuk, pestisida dan sebagainya. Revolusi peternakan didorong oleh sisi permintaan (demand-driven) karena perubahan konsumsi dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein tinggi, dan persyaratan kualitas nutrisi dan kesehatan lainnya. Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa sektor peternakan adalah salah satu sektor andalan dalam sistem dan usaha agribisnis di Indonesia yang telah menerapkan strategi demand-driven yang sebenarnya. Sektor stratgis yang melibatkan usaha rumah tangga dan menyerap jutaan lapangan kerja di pedesaan dan perkotaan tersebut tidak semata menjalankan sistem produksi dengan supplyoriented yang sangat rentan tehadap anjloknya harga karena kelebihan penawaran. Sektor peternakan memang sejak awal perkembangannya tumbuh dan berkembang karena merespons tingginya permintaan terhadap daging, telur dan produk berkualitas lainnya, suatu pergeseran sangat substansial dari pangan

berbasis karbohidrat menjadi berbasis protein dan kandungan nutrisi tinggi.

24

Dalam ekonomi pembangunan, fenomena tersebut dikenal dengan istilah Revolusi Peternakan karena pada saat bersamaan industri pakan ternak skala kecil dan besar pun berkembang cukup besar, yang tentu saja mensyaratkan perbaikan tingkat efisiensi ekonomi. Untuk itu, perubahan lingkungan eksternal yang demikian cepat tersebut pastilah menuntut kemampuan ekstra para perumus kebijakan dan para pelaku ekonomi untuk mengantisipasi kompleksitas proses transformasi tersebut yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan permintaan, keterbatasan lahan pertanian dan tuntutan kualitas higienis produk peternakan serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Dengan demikian pemerintah dapat mampu mencurahkan perhatian secara all-out terhadap wabah flu burung dan sektor peternakan umumnya. Sektor peternakan tercatat sebagai salah satu sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang tinggi, terutama subsektor unggas dengan industri pakan ternak. Ketergantungan dan tingkat sensitivitas yang demikian tinggi antara keduanya telah mewarnai pasang-surut sektor peternakan Indonesia. Kinerja cukup baik dengan tingkat pertumbuhan di atas 6 persen per tahaun pada dekade 1980an sampai awal 1990an pasti tidak dapat dilepaskan dari kemampuan dan kegigihan para peternak dalam mengantisipasi perubahan dan inovasi baru dalam teknologi sektor peternakan. Demikian pula, ketidak-mampuan para peternak kecil-menengah untuk memenuhi pakan ternak karena melonjaknya harga pakan ternak impor pada puncak krisis ekonomi turut berkontribusi pada anjloknya kinerja peternakan, yang mencatat angka pertumbuhan negatif 2 persen per tahun pada periode 1997-2001. Sesuatu yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa industri pakan ternak ini nyaris identik dengan investasi dan kapasitas produksi domestik. Maksudnya, apabila terganggu sedikit saja, maka strategi untuk memperkuat fondasi pemulihan ekonomi juga pasti terganggu. Disamping itu, keterkaitan ke depan (forward linkages) sektor

25

peternakan, terutama industri perunggasan dengan industri hasil makanan, industri hotel dan restoran dan sektor pariwisata lainnya juga cukup tinggi. Dalam hal ini, angka kesempatan kerja dan devisa yang dihasilkan karena keterkaitan ke depan ini pun sangat besar. Mislanya, angka laju permintaan atau konsumsi terhadap daging ayam sangat tinggi, yaitu mencapai 8,83 persen per tahun selama tiga dasa warsa terakhir. Laju permintaan pernah anjlok minus 5,25 persen per tahun pada masa puncak krisis ekonomi, pulih kembali pasca krisis dengan laju permintaan 9,75 persen per tahun pada tingkat konsumsi sekitar 820 ribu ton per tahun. Berikut ini akan diuraikan secara rinci karakter menonjol dari seluruh tujuh komoditas pangan strategis di tingkat nasional, yaitu: (1) beras akan terus menempati posisi strategis secara ekonomi, sosial dan politik, baik karena faktor historis, maupun karena ideologis dan emosional sebagian besar penduduk Indonesia; (2) jagung akan mengalami transisi yang cukup signifikan dari posisi komoditas pangan menjadi bahan baku industri pakan; (3) kedelai akan merespon signal insentif harga baik di tingkat domestik, maupun tingkat intenasional; (4) gula akan mengalami komptisi internal gula tebu dengan gula rafinasi, yang masih belum mampu menjawab tantangan struktural di dalamya; (5) minyak goreng akan mengalami transisi konsumsi yang lebih responsif terhadap harga bahan baku CPO, baik berupa insentif karena tingginya harga, maupun berupa disinsentif karena anjloknya harga dan lainnya; (6) terigu akan menyesuaikan diri dengan peningkatan permintaan, walaupun sulit berharap banyak dari gandum domestik; dan (7) daging akan terus mencari titik keseimbangan baru produksi, impor dan negara asal, serta tingkat konsumsi yang akan berkembang pesat. (a) Beras dan Karakter Komoditas Strategis Di Indonesia, beras merupakan pangan pokok dan memberikan peran hingga sekitar 45 persen dari total food-intake, atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Hal tersebut

26

relatif merata diseluruh Indonesia, maksudnya secara nutrisi, ekonomi, sosial, dan budaya, beras tetap merupakan pangan terpenting bagi sebagian besar masyarakat. Kondisi ini sebenarnya merupakan hasil perekayasaan kultural yang memberi konsekuensi luas. Diantaranya adalah bahwa kebijakan pangan Indonesia harus menempatkan kebijakan perberasan sebagai salah satu pilar utamanya. Beras dapat dikatakan sebagai komoditas pangan yang paling banyak mendapat perhatian, baik di tingkat akademik, maupun di tingkat politis, mulai dari sistem produksi, distribusi (tataniaga), perdagangan ekspor dan impor, disparitas harga, pola konsumsi masyarakat, dinamika pembangunan daerah dan sebagainya. Pemerintah bahkan perlu secara berkala megeluarkan interensi kebijakan perberasan, walaupun lebih banyak terfokus pada kebijakan harga, tepatnya penentuan harga pembelian pemerintah (HPP). Landasan perundangan terakhir yang dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2008, yang juga dimaksudkan untuk memberikan insentif produksi dan perlindungan kepada petani beras, sekaligus perlindungan untuk konsumen miskin, atau untuk berkontribusi pada stabilitas harga pangan pokok ini. Namun demikian, karakter strategis komoditas beras tidak dapat dilepaskan dari struktur perdagangan beras yang relatif tidak sehat. Data time series bulanan selama 29 tahun di 24 propinsi menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: Pertama pasar beras di lima wilayah kepulauan di Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara) pada masa Orde Baru (1975-1997) telah terintegrasi secara spasial, walau tidak penuh. Kemudian, pasar beras semakin tersegmentasi dalam rezim Pasar Bebas dan Pasar Terbuka Terkendali. Segmentasi pasar beras terjadi karena perubahan rezim kebijakan itu sendiri, serta karna faktor infrastruktur yang kurang baik, penyelundupan yang makin marak, dan lalu lintas barang yang tidak lancar akibat dari hambatan peraturan daerah. Kedua, kinerja stabilisasi harga yang diukur dari tingkat

27

integrasi vertikal antara pasar gabah dan pasar beras, juga menunjukkan hasil yang tidak terlalu mengejutkan. Integrasi pasar secara vertikal hanya terjadi pada rezim Orde Baru dan tidak sama sekali pada rezim Pasar Bebas dan pada rezim Pasar Terbuka Terkendali. Maksudnya, pasar gabah dan pasar beras menjadi agak liar setelah Presiden Soeharto berhenti menjadi Kepala Negara, harga dasar gabah (floor price) dan harga atap (ceiling price) beras tidak lagi di-enforced dan Bulog tidak lagi memiliki kekuasaan monopoli dalam impor beras. Transmisi harga dari gabah petani ke beras konsumen lebih cepat terjadi, maksudnya perubahan harga gabah petani cepat sekali mempengaruhi harga beras konsumen. Hal yang sebaliknya tidak terjadi. Perubahan harga beras konsumen tidak direspons secara cepat oleh harga gabah petani. Walaupun harga beras melonjak sangat tinggi, tapi petani tidak banyak menerima manfaat dari kenaikan harga beras tersebut. Hasil analisis ini sekaligus merupakan konfirmasi anggapan umum bahwa selama ini kebijakan stabilisasi harga yang ad-hoc seperti sekarang ini memang lebih banyak difokuskan stabilitas harga beras konsumen, sebagaimana bagian dari instrumen pengendalian laju inflasi. Komoditas beras mengalami permasalahan struktural tentang

ketidakjelasan fungsi stok penyangga. Cadangan pangan di Indonesia meliputi cadangan tetap (iron stock), yang harus tersedia, terutama untuk mengatasi kondisi darurat, dan cadangan penyanggah (buffer stock). Stok penyangga

berbeda menurut daerah, lokasi geografis, kerentanan terhadap fenomena alam dan moda atau karakter transportasi pada lokakitas tertentu misalnya. Pada

daerah-daerah dengan kondisi fisik-geografis sulit dicapai dan sosial-politik tidak stabil, cadangan penyanggah ini perlu lebih besar, sehingga diharapkan mampu benar-benar menyanggah kemungkinan gejolak harga dan kuantitas pangan, yang bersifat pokok ini. Studi tentang cadangan pangan ini menemukan bahwa pengadaan gabah oleh Bulog atau kebijakan operasi pembelian gabah petani

28

hanya efektif dalam masa Orde Baru, tapi tidak efektif pada Pasar Bebas dan Pasar Terbuka Terkendali. Maksudnya Bulog berperan cukup baik sebagai lembaga stabilisasi harga harga gabah tingkat petani hanya pada masa Orde Baru, dan tidak banyak berperan pada masa Pasar Bebas dan Pasar Terbuka Terkendali seperti sekarang ini. Hal yang cukup menarik adalah bahwa peran Bulog dalam stabilisasi harga beras konsumen tidak ada sama sekali pada ketiga rezim atau sepanjang periode observasi. Pengaruh musim terhadap jumlah beras tidak terlalu signifikan, kecuali pada bulan Februari dan Maret pada rezim Orde Baru, dan tidak pada rezim Pasar Bebas dan Terbuka Terkendali. Pada rezim Pasar Terbuka Terkendali, faktor operasi pasar murni signifikan pada bulan Januari, karena pada bulan-bulan lain tidak terlihat pengaruh yang nyata. Saat ini jumlah beras untuk operasi pasar murni mulai dikurangi dan sejak 2004 telah dimodifikasi menjadi Program Raskin (beras untuk keluarga miskin), yang semakin diminati oleh masyarakat dan para pengambil kebijakan. (b) Jagung dan Fenomena Hibrida Peningkatan produksi jagung dengan laju lebih 14 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir tentu tidak dilepaskan dari peran jagung hibrida, yang mulai banyak ditanam di Indonesia sejak dekade 1990-an. Areal panen

bertambah sangat signifikan lebih 8 persen per tahun, sedangkan produktivitas juga bertambah sektiar 4 persen per tahun. Areal panen dan produksi palawija masih mengandalkan lahan pertanian di Jawa, yang secara teoritis dan empiris tidak akan mampu menopang beban-beban produksi pertanian dan bahan pangan di Indonesia. Walaupun pangsa produksi yang berasal dari Pulau Jawa masih lebih dominan, peran peningkatan areal tanam di Luar Jawa: terutama Sumatera dan Sulawesi adalah kontributor penting peningkatan produksi jagung di Indonesia. Ketika pada dekade 1980-an, jagung lebih banyak digunakan untuk

29

pangan, kini sebagian besar dari produksi jagung Indonesia digunakan untuk pakan ternak atau sebagai bahan baku industri pakan ternak. Sentra produksi jagung di Indonesia sebenarnya relatif tidak banyak berubah, yaitu: Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur Tujuan produksi jagung di Sumatera Utara sebagian besar untuk dijual (tujuan komersial), di Jawa dan Lampung sebagai pangan dan bahan baku industri, dan di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi sebagai pangan pokok. Pasca masuknya jagung hibrida, tujuan produksi jagung di Sulawesi juga digunakan untuk bahan baku industri makanan ternak. Karakter jagung hibrida yang banyak ditanam di lahan sawah dan lahan kering dengan curah hujan tinggi sebenarnya merupakan perkembangan yang sangat menarik. Pola kerja sama petani swasta dengan petani, kemitraan antara petani kecil dan usaha agribisnis, sistem produksi jagung yang terintegrasi dengan industri pakan ternak adalah beberapa perkembangan terkini yang mewarnai ekonomi jagung Indonesia sekarang. Di Madura, jagung lokal dengan varietas genjah juga ditanam pada lahan dengan intensitas pompa air lebih dari 42 hektar per pompa. Sesuatu yang perlu ditekankan di sini adalah jagung lokal dan jagung hibrida adalah dua komoditas yang berbeda. Jagung lokal umumnya digunakan untuk pangan dan tidak dapat dijadikan bahan baku industri pakan. Demikian pula, jagung hibrida digunakan untuk bahan baku industri dan tidak dapat digunakan sebagai pangan. Relevansi jagung hibrida dalam sistem pangan di Indonesia adalah posisinya sebagai bahan baku industri pakan ternak, sehingga sangat berpengaruh pada sistem produksi, konsumsi, harga dan perdagangan ternak, khususnya unggas. Jumlah populasi unggas (standing population) yang diperkirakan 630 juta ekor per tahun ayam kampung, 1 milyar ekor per tahun ayam broiler dan petelur, plus puluhan juta bebek, burung dan lain-lain, tentulah memerlukan penyediaan pakan ternak yang

30

memadai, karena sektor ini mampu menyerap lebih dari 10 juta tenaga kerja dengan omzet lebih dari US$ 30 miliar per tahun. Sebenarnya, potensi peningkatan produktivitas jagung hibrida di Indonesia masih sangat tinggi mengingat perbedaan produksi atau disebut tingkat heterisis jagung hibrida dan non-hibrida mencapai 75-100 persen. Produksi rata-rata jagung non-hibrida masih berkisar 3-4 ton biji kering per hektar, sedangkan jagung hibrida berkisar 7-8 juta ton. Secara genetis, tanaman jagung berkembang biak dengan penyerbukan silang (cross pollination) dengan susunan pasangan gen yang tidak sepadan atau heterozigot. Hal ini tentu sangat berbeda dengan padi yang menyerbuk sendiri (self-pollination) dan memiliki pasangan gen samasepadan atau homozigot. Teknologi benih hibrida adalah upaya manusia untuk merekonstruksu seluruh pasangan gen pada tanaman menjadi heterozigot, dengan jalan membuat benih berasal dari persilangan. Produktivitas jagung hibrida pasti lebih tinggi dibanding jagung non-hibrida karena fenomena heterosis tersebut. Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa faktor heterosis pada jagung hibrida jauh lebih tinggi dari padi hibrida dengan faktor heterosis 10-20 persen saja, sehingga agak sulit jika dijadikan sebagai tumpuah utama peningkatan produksi padi di Indonesia saat ini. (c) Kedelai dan Kesalahan Insentif Penyediaan kedelai di Indonesia sebenarnya masih akan tetap prospektif karena produksi dalam negeri tahun 2008 sekitar 700 ribu ton masih sangat jauh dari kebutuhan konsumsi kedelai nasional yang mencapai 2,5 3 juta ton per tahun. Laju konsumsi kedelai masih akan terus meningkat, selain karena

pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,5 persen per tahun, serta perkembangan industri pengolahan dengan baku kedelai seperti tahu, tempe, kecap dan sebagainya. Dengan kata lain, Indonesia masih harus mengandalkan kedelai impor untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. Sewaktu harga kededai

31

impor masih cukup murah, sekitar US$ 240 per ton, para pelaku industri, baik skala kecil menengah maupun skala besar, tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku kedelai impor. Ketika harga kedelai di pasar dunia tibatiba melambung sangat tinggi mencapai US$ 520 per ton per Januari 2008, dari hanya US$ 306 per ton pada Januari 2007, Indonesia nyaris dilanda krisis kedelai di dalam negeri. Pada masa Orde Baru Indonesia memang pernah memberikan keleluasaan kepada Bulog untuk melakukan monopoli impor kedelai dengan pertimbangan untuk stabilitas harga dan pasokan kedelai, terutama bagi pelaku usaha kecil dan koperasi pengrajin tahu-tempe Indonesia (Kopti). Fluktuasi harga kedelai di pasar dunia ikut mempengaruhi harga kedelai di pasar domestik, walaupun pada tingkat harga yang rendah. Kondisi ini tidak memberikan insentif kepada petani kedelai untuk berproduksi sebanyak 2,1 juta ton/tahun agar tercapai target swasembada kedelai. Pada puncak krisis ekonomi, atas saran Dana Moneter Internasional (IMF), pemerintah meliberalisasi perdagangan kedelai dengan memberlakukan bea masuk 0 persen. Pedagang besar diuntungkan oleh kebijakan penghapusan monopoli, karena marjin bruto riil kedelai pada periode pasca monopoli lebih besar. Secara umum marjin perdagangan kedelai lebih stabil menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif untuk para pedagang kedelai pada periode pasca monopoli. Pada kondisi harga internasional yang rendah, keteraturan pasokan kedelai dan rendahnya harga riil kedelai impor menguntungkan pengarjin tahu dan tempe dan industri pengolahan kedelai. Sekali lagi, harga kedelai yang

rendah tidak menguntungkan usahatani kedelai, dan bahkan koperasi (Kopti) yang masih diliputi masalah internasl kelembagaan, karena secara umum kalah bersaing dengan pedagang besar. Sebenarnya, tidak ada yang mustahil di bumi Indonesia untuk dapat menghasilkan kedelai dengan produktivitas yang lebih baik dari saat ini, yang

32

hanya tercatat 1,31 ton per hektare. Angka produktivitas itu hanya setengah dari produktivitas kedelai di luar negeri. Tentu tidak seimbang membandingkan produktivtias kedelai Indonesia dengan kedelai AS yang memperoleh full-support dari pemerintahnya karena besarnya kekuatan lobi politik asosiasi kedelai di sana (American Soybean Association). Sementara di Indonesia, kekuatan lobi kedelai adalah perajin tahu-tempe atau yang tergabung dalam koperasi tahu-tempe, yang nota bene merupakan konsumen kedelai, bukan petani kedelai. Mereka menjadi gamang sendiri, dan tidak jarang serba salah, mengingat agenda yang diperjuangkan adalah untuk menurunkan harga kedelai di dalam negeri, bukan untuk memberikan insentif pagi peningkatan produksi. Potret demografis dan kondisi sosio-psikologis perajin tahu-tempe saat ini berbeda dengan potret orang tua atau generasi pearjin tahu-tempe pada era 1990-an. Jika pada dekade lalu, perajin tahu-tempe masih merangkap sebagai petani kedelai, generasi saat ini umumnya hanya menjalankan profesi sebagai perajin saja, dan hanya sedikit yang memiliki lahan usahatani kedelai. Fenomena spesifikasi usaha seperti itu menjadi faktor terbelahnya sistem insentif di sektor hulu (produksi) dengan di sektor hilir (distribusi dan konsumsi). Tidak terlalu heran jika koordinasi dan integrasi kebijakan antara Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan memang merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan di Indonesia. Indonesia sebenarnya memiliki banyak pemulia tanaman (breeder) kedelai yang telah mampu menghasilkan galur harapan varietas kedelai, yang sekaligus tahan serangan penyakit virus kerdil (SSV=soybean stunt virus). Di tingkat percobaan, produktivitas kedelai galur ini mampu menghasilkan biji kedelai 2,8 ton per ha, suatu pekerjaan penelitian panjang yang tidak sia-sia. Sekarang, semua terpulang kepada pemerintah, apakah berminat (1) untuk mengembangkan varietas kedelai lokal yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti terbaik di negeri ini, atau (2) akan terus mengandalkan kedelai impor AS yang sangat mungkin

33

menggunakan benih rekayasa genetika (transgenik) yang kontroversial tersebut. Jika langkah pertama yang ingin diambil, pemerintah perlu segera melakukan terobosan dalam uji adaptasi, uji multilokasi, dan memberikan insentif bagi pemerintah daerah yang melaksanakan misi nasional sangat penting ini. Jika langka kedua yang ingin diambil, seperti misalnya melanjutkan kebijakan tarif impor 0%, secara semu akan terlihat bahwa keteraturan pasokan kedelai akan terjamin dan harga riil kedelai impor akan murah. Langkah ini dikatakan semu karena petani kedelai benar-benar diadu langsung dengan petani luar negeri, koperasi tahu-tempe lambat-laun akan mati, dan sokoguru ekonomi Indonesia dikuasai pedagang besar. (d) Gula dan Kemelut Struktural Sistem produksi gula sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari karakter sistem usahatani tebu skala kecil yang sangat dominant di Jawa dan berafiliasi dengan PT Perkebunan Nusantara dengan persoalan efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Pada sisi ekstrem lainnya, sistem produksi agribisnis perkebunan gula skala besar di Luar Jawa menjadi sangat dominan dalam penguasaan lahan, manajemen distribusi sumber daya alam dan penguasaan informasi dan lain-lain. Berhubung masalah yang melingkupi komoditas gula bersifat struktural, langkah peningkatan produksi tebu di tingkat usahatani, upaya intervensi melalui kebijakan tataniaga dan strategi revitalisasi industri gula di dalam negeri, semuanya belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Demikian pula, manajemen perdagangan atau sistem tataniaga gula dan bahan pangan lain yang bersifat strategis sebenarnya bukanlah barang baru di Indonesia karena sejarah ekonomi pertanian di negeri ini juga lahir dan berkembang bersama legasi sebuah lembaga parastatal yang melibatkan manajemen kebijakan negara. Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk mengatur aktivitas impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian

34

dan Perdagangan (SK No. 643/MPP/Kep/9/2002) tentang Tataniaga Impor Gula (TIG) ternyata telah menimbulkan reaksi dan hasil akhir yang sangat beragam. Kebijakan tataniaga itu memberikan privilis kepada importir produsen (IP) untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) dan kepada importir terdaftar (IT) untuk mengimpor gula putih (white sugar) yang tidak lain adalah perkebunan gula yang memiliki perolehan bahan baku 75 persen berasal dari petani. Perusahaan

perkebunan yang memenuhi kualifikasi sebagai IT adalah empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masuk kualifikasi, yaitu: PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI). Pada sisi lain, kebijakan itu juga memberikan peluang bagi pengembangan industri gula rafinasi, yang khusus memutihkan gula mentah impor yang umumnya tidak layak untuk dikonsumsi secara langsung. Catatan penting dari SK 643/2002 terebut adalah bahwa gula mentah dan gula rafinasi (refined sugar) yang diimpor oleh importir produsen (IP) hanya dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi pengolahan gula, dan dilarang diperjualbelikan serta dipindahtangankan. Walaupun debat publik yang berkembang seakan serempak memberi peringatan atas rekam jejak (track record) perkebunan gula yang tidak memiliki pengalaman dalam aktivitas impor, kebijakan tataniaga itu tetap dilaksanakan. Analisis kritis terhadap sistem

tataniaga gula tersebut pasti selalu menarik karena keterburuan kebijakan dan berbagai entry barriers yang justru menimbulkan jalan pintas bagi para pemburu rente. Kemudian, upaya perbaikan kebijakan pengaturan impor gula dengan penerbitan Kepmen baru yaitu Nomor 527MPP/Kep/9/2004 tertanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG). di antaranya dengan

kembali melibatkan BUMN Perum (Perusahaan Umum) Bulog dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) dalam perdagangan gula di Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan kinerja kebijaikan

35

tataniaga gula dalam lima tahun terakhir adalah bahwa mandat kebijakan tersebut terlalu berat untuk dicapai oleh sistem administrasi pemerintahan yang sedang mengalami persoalan besar transparansi dan akuntabilitas yang mengganggu. Dalam lima tahun terakhir, ekonomi pergulaan Indonesia semakin kompleks setelah langkah restrukturisasi industri gula domestik juga disertai perkembangan indsurtri gula rafinasi (refinary) yang lumayan cepat. Selain untuk mendongkrak nilai tambah ekonomi, industri rafinisasi gula memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan industri gula putih biasa, karena ia lebih banyak tertuju pada industri makanan dan minuman di dalam negeri. Tidak dapat disangsikan, bahwa investasi baru dan pengembangan industri gula rafinasi akan menjadi peluang besar bagi peningkatan kapasitas industri domestik dan penyerapan lapangan kerja. Untuk investasi baru dalam bidang gula rafinasi, pemerintah menerapkan kebijakan bea masuk lima persen selama dua tahun pertama, seperti dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor. 135/KMK.05/2000. Ketentuan yang sama tentang keringana bea masuk ini juga berlaku kepada industri rafinasi yang melakukan perluasan usahanya. Hasilnya, dalam waktu relatif singkat, industri gula rafinasi berkembang sangat pesat, dengan lima industri besar di Jawa yang berkapasitas sekitar dua juta ton. Kerumitan baru dengan kehadiran industri rafinasi di Indonesia tidak sebatas karena diskriminsasi bea masuk atau keleluasaannya melakukan impor gula mentah, tapi keterkaitannya dengan kinerja industri bahan makanan dan minuman, yang umumnya milik asing. Industri gula rafinasi di Indonesia yang memasok gula putih ke perusahaan besar makanan dan minuman dituntut untuk selalu konsisten menghasilkan produk gula dengan spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan induknya di luar negeri. Pada situasi karakter usahatani tebu saat ini, kecil kemungkinan industri gula rafinasi akan menggunakan bahan baku gula tebu dari petani di dalam negeri, apalagi yang berskala kecil. Dalam istilah

36

ekonomi politik, di sinilah terdapat interlocking system yang tidak memihak petani kecil di dalam negeri akibat dari ketidakmatangan kebijakan

pengembangan industri gula rafinasi di Indonesia. Situasi menjadi semakin rumit ketika industri makanan dan minuman sekala besar juga memperoleh status sebagai importir produsen (IP) gula dan memiliki privilis untuk mengimpor gula mentah, tentu saja dengan ketentuan bea masuk impor yang sama dengan pabrik gula tebu dan pabrik gula rafinasi. Dengan karakter penegakan hukum yang lemah atau kualitas administrasi kebijakan yang masih banyak bermasalah, maka tak seorang pun dapat menjamin bahwa gula mentah yang diimpor oleh industri rafiniasi (atau oleh mitra dagang yang bersangkutan) tidak akan merembes ke pasar domestik. Pada musim giling, fenomena aliran gula mentah impor ini ke pasar bebas, sampai ke pelosok di sentra produksi tebu, dikhwatirkan dapat menekan harga gula di tingkat petani. (e) Minyak Goreng dan Instabilitas Pasar CPO Sebagai salah satu komoditas strategis, minyak goreng menghadapi permasalahan instabilitas pasar minyak sawit mentah (CPO). Ketika harga CPO dunia mencapai US$ 1200 per ton, industri minyak makan di dalam negeri mengalami kesulitan bahan baku CPO karena para petani, pemilik kebun dan agribisnis kelapa sawit skala besar telah memilih pasar ekspor sebagai tujuan akhir pemasarannya. Harga minyak goreng yang tinggi sangat memberatkan

masyarakat berpenghasilan rendah dan industri makanan skala mikro dan kecil. Benar bahwa kontribusi kenaikan harga minyak goreng terhadap inflasi tidak setinggi kenaikan harga beras. Hasil Survai Sosial-Ekonomi Nasional

(SUSENAS) terbatas tahun 2006 menyebutkan bahwa kontribusi pengeluaran rumah tangga terhadap minyak dan lemak hanya 1.97 persen, yang sangat jauh dibanding pengeluaran rumah tangga terhadap biji-bijian (beras) 11.37 persen. Akan tetapi, membiarkan masyarakat menerima pukulan bertubi-tubi seperti

37

melambungnya harga beras dan kebutuhan pokok lainya tentu sulit diterima akal sehat. Ditambah lagi, dampak berantai kenaikan minyak goreng adalah terancamnya kualitas kesehatan masyarakat lapis bawah. Rumah tangga miskin dan industri makanan skala kecil cenderung memakai ulang minyak goreng sisa (jelantah) berkali-kali melebihi ambang batas toleransi tubuh manusia terhadap makanan berlemak sangat jenuh tersebut. Untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng tersebut, pemerintah sebenarnya telah mencoba melakukan langkah intervensi dengan melaksanakan program stabilisasi harga (PSH) dan melibatkan produsen minyak goreng. Strategi stabilitasi yang tanpa strategi pasti tidak akan menghasilkan apa-apa karena dilakukan dengan setengah hati dan atas belas kasihan pengusaha, karena lembaga negara tidak terlibat secara sistematis. Sangat sulit berharap efektivitas PSH di tengah situasi pasar yang tidak normal, dan kemungkinan underestimasi konsumsi minyak goreng 300 ribu ton per bulan tersebut. Skema kebijakan lain coba diambil, misalnya dengan mewajibkan kalangan industri untuk memasok kebutuhan CPO dalam negeri (DMO=domestic market obligation), walaupun sulit untuk dilaksanakan secara baik di lapangan. Dalam skema DMO ini, sebenarnya masyarakat juga telah cukup letih dengan pengalaman industri pupuk yang menghadapi masalah sejenis, amat berharap bahwa pemerintah mampu berwibawa mengawal dan melaksanakan wajib pasok kepada kebutuhan industri domestik. Akan tetapi, melaksanakan suatu command and order seperti pada masa lalu tersebut ternyata tidak mudah. Sebagian besar produsen (dan pedagang) CPO melakukan sistem penjualan produknya ke pasar dunia dengan cara tiga bulan ke depan (forward) dan memperdagangkannya di pasar berjangka (futures). Tidak terlalu

mengherankan apabila transaksi pasar fisik dan spot CPO jauh lebih berkembang dibandingkan dengan komoditas hasil perkebunan lain di Indonesia. Di sinilah,

38

kekhawatiran bahwa kebijakan DMO dapat menjadi subsidi harga terselubung dari petani sawit dan industri skala kecil-menengah terhadap industri besar CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Kemudian, ketika pasar CPO internasional menjadi lesu, karena pasar saham dan pasar keuangan yang juga anjlok, harga CPO di pasar dunia tiba-tiba anjlok di bawah batas psikologis US$ 700 per ton, dari harga di atas US$ 1200 per ton pada bulan Juni 2008. Akibatnya, petani sawit terpaksa harus menerima kenyataan bahwa harga tandan buah segar (TBS) di lapangan hanya dihargai Rp 350 per kilogram, suatu penurunan di luar akal sehat karena pada bulan Juni 2008 harga TBS masih terjual di atas Rp 1800 per kilogram. Petani sawit Indonesia tentu agak sulit untuk memahami bahwa Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) mengurangi permintaan impor CPO baik karena dampak krisis keuangan global, maupun karena produksi minyak nabati lain di AS dan UE yang sedang membaik. Sekadar catatan, petani sawit yang paling terpukul adalah petani yang bekerja sendiri (stand-alone) atau yang tidak menjalin kemitraan dengan BUMN atau agribisnis swasta skala besar. Petani tunggal ini harus mencari pembeli atau pedagang pengumpul TBS dengan harga yang agak layak dan harus berpacu dengan waktu untuk mengurangi derajat rusak atau derajat busuk dari hasil panennya. Berbeda halnya dengan petani yang telah menjalin kemitraan dengan BUMN atau swasta besar, yang umumnya memperoleh harga beli yang agak lebih tinggi, walaupun juga mengalami penurunan harga. Pelaku ekonomi skala besar ini umumnya mementingkan

penyerapan produksi TBS dari kebunnya sendiri atau maksimal dari petani plasmanya sendiri, untuk kemudian membeli TBS dari petani sawit dalam program kemitraan. Seandainya berbagai instrumen perlindungan harga

komoditas pertanian (seperti instrumen resi gudang atau mekanisme pasar lelang)

39

di dalam negeri telah berkembang, mungkin petani sawit tidak harus menanggung dampak buruk penurunan harga seperti saat ini. (f) Terigu dan Kompleksitas Gandum Domestik Walaupun tidak memproduksi gandum sendiri, tingkat konsumsi tepung terigu di Indonesia meningkat sangat pesat, baik dalam bentuk konsumsi terigu langsung oleh masyarakat, maupun dalam bentuk konsumsi pangan olahan yang terbuat dari terigu. Studi ekonomi gandum di Indonesia lebih banyak berkisar tentang hegemoni atau struktur pasar gandum impor yang monopolis karena berhubungan dengan proses pengambilan keputusan kebijakan pada masa Orde Baru. Pengembangan gandum domestik masih belum mengalami kemajuan yang berarti, walaupun Kelompok Usaha Indofood sebagai pengolah gandum terbesar telah melakukan inisiasi Proyek Gandum 2000 untuk mengenalkan tanaman gandum kepada petani Indonesia. Institut Pertanian Bogor (IPB) dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia dengan dukungan Indofood melakukan uji tanaman gandum di 24 lokasi yang tersebar di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Hasil-hasil penelitian tersebut secara ringkas dapat disimpulkan bahwa dari sekitar 20 juta hektar lahan pertanian di Indonesia, sekitar 2 juta hektar sangat cocok untuk ditanam gandum. Peta pewilayahan produksi gandum di Indonesia memiliki dua pembatas utama, yaitu: (1) ketinggian tempat, menentukan suhu udara yang berhubungan dengan sebaran lokasi spasial, dan (2) curah hujan, menentukan ketersediaan air yang berhubungan dengan waktu tanam (temporal). Dengan karakter pembatas utama itu, maka daerah-daerah pegunungan yang memiliki suhu rendah seperti Bukit Barisan di Sumatera dan daerah pegunungan Pulau Jawa Bagian Selatan dapat dijadikan sentra produksi gandum dengan produksi tinggi.

40

Ketika harga bahan bakar minyak di pasar global naik sangat tinggi, maka ongkos angkut untuk bahan pangan berbasis biji-bijian, termasuk gandum, kini telah melonjak menjadi US$ 100 per ton. Untuk merespon kenaikan biaya angkut di atas, kebijakan yang diambil Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah menghapus tarif bea masuk gandum (dan kedelai), walau sempat dipertanyakan masyarakat. Negara-negara importir gandum lain juga merespon harga pangan global dengan menghapus pajak impor gandum, tepung gandum dan beras, dan tepung jagung (seperti yang ditempuh Bolivia), mempertimbangkan untuk mengubah tarif impor gandum (Brzil, Meksiko, dll), menghapus tarif gandum tepung terigu (Ekuador, India, Maroko, Korea, Turki dan lain-lain). Negara-negara Uni Eropa menunda pajak impor pangan biji-bijian, dengan pertimbangan agar komoditas pangan yang dihasilkan negara-negara berkembang. Bahkan, negara-negara produsen gandum dunia telah

memberlakukan larangan ekspor gandum (seperti Bolivia, Rusia, Pakistan dan lain-lain). Selain itu, beberapa negara juga menerapkan kuota perdagangan

gandum, mkisalnya pembatasan ekspor gandum (seperti Kasazkhtan), melarang ekspor gandum ke Belarussia (Rusia), melarang ekspor gandum ke Afganistan (Pakistan), menentukan mutu ekspor gandum dan tepung terigu (Pakistan), sedang coba menetapkan kuota ekspor tepung terigu dan tepung jagung, dan tepung beras (Cina), dan lain sebagainya. (g) Daging dan Kontroversi Asal Impor Berhubung produksi daging di dalam negeri tidak mencukupi, Indonesia masih harus menggantungkan kebutuhan daing sapi dari pasar luar negeri, terutama dari Australia dan Selandia Baru. Estimasi data konsumsi daging di Indonesia berbeda menurut lembaga, namun berkisar total 2,6 kilogram per kapita per tahun menurut (Survai Sosial Ekonomi Nasional - Badan Pusat Statistik (Susenas BPS), sekitar 1,7 kilogram daging sapi menurut Asosiasi Produsen

41

Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) plus 4,5 kilogram daging ayam menurut Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), serta 1,2 kilogram daging sapi plus 3,1 kilogram daging ayam menurut Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan). Estimasi data mana pun yang

dipakai, faktaya adalah bahwa tingkat konsumsi daging yang masih tergolong rendah juga menjadi insentif menarik bagi siapa pun untuk mendorong dan meningkatkan konsumsi daging di Indonesia. Studi-studi dan diskusi publik tentang daging umumnya berhubungan dengan kontroversi asal daging impor, karena dua kubu yang saling berlawanan dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri. Kelompok pertama adalah mereka yang selama ini menjadi bagian dari atau berhubungan langsung dan tidak langsung dengan proses impor daging dari Australia dan Selandia Baru. Kelompok kedua adalah mereka yang mencoba memberikan alternatif pemenuhan daging impor dari negara-negara lain seperti India, Spanyol, Brazil, Argentina dan lain-lain yang masih tidak terbebas dari kemungkinan tertular penyakit berbahaya seperti antraks, sapi gila, penyakit mulut dan kuku (PMK) dan sebagainya. Misalnya, tentang impor daging dan meat bone meal (MBM) yang diputuskan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 482/Kpts/ PD.620/8/2006 tertanggal 22 Agustus 2006 yang agak longgar. Kebijakan itu menggantikan SK No 745/1992 yang hanya membolehkan Indonesia mengimpor produk daging dari Australia dan Selandia Baru. Kalangan yang mendukung berargumen bahwa pelonggaran (liberalisasi) impor daging dimaksudkan untuk mengurangi posisi hegemoni atau monopoli kedua negara eksportir daging tersebut. Bahkan, ada argumen bahwa liberalisasi impor daging akan menekan peredaran daging ilegal di pasar domestik, suatu penyederhanaan masalah tanpa perhitungan. Namun, masyarakat mempermasalahkan akurasi substansi dari SK No 482/2006, mengingat kemampuan pengawasan di dalam negeri begitu lemah.

42

Wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdiri atas 704 pelabuhan formal sering dijadikan alasan pembenaran (excuse) untuk tidak mampu melakukan pengawasan perdagangan produk daging berbahaya. Pintu-pintu masuk impor tidak resmi lebih dari 3.000 dan tersebar di sepanjang pantai dan daerah perbatasan, juga jadi alasan tersendiri tentang sulitnya penegakan hukum. Komisi Kesehatan Hewan Departemen Pertanian yang mengacu pada ketentuan Badan Kesehatan Hewan Internasional (Office International des Epizooties/OIE) sebenarnya tidak memberikan rekomendasi pembukaan impor MBM. Keputusan kebijakan perdagangan produk daging berbahaya tersebut sungguh merupakan tragedi terbesar sektor peternakan. Selama dua dasawarsa terakhir, Indonesia bebas PMK. Liberalisasi produk daging yang amat gegabah itu mengandung risiko yang harus ditanggung masyarakat menjadi amat berat. Jika PMK kembali mewabah di Indonesia, diperlukan waktu lebih dari 100 tahun untuk membebaskan PMK. Biayanya tentu sangat besar. Risiko yang tidak kalah besarnya, kesan negatif masyarakat bahwa pemerintah tidak memihak peternaknya. Potensi pasar daging di Indonesia yang memang besar, peluang peningkatan konsumsi daging yang juga besar, seiring dengan membaiknya tingkat pendapatan masyarakat dan kesadaran meningkatkan kecukupan protein hewani. Dengan basis konsumsi daging sapi per kapita seperti diuraikan di atas dan asumsi 200 kilogram daging per ekor yang dapat dikonsumsi, maka Indonesia membutuhkan sekitar 350 400 ribu ekor sapi per tahun. Pola permintaan daging umumnya meningkat menjelang hari-hari besar nasional seperti Idul Fitri dan Idul Adha, suatu siklus tahunan yang seharusnya telah diketahui oleh pemerintah dan pelaku ekonomi sektor peternakan ini. Catatan tentang impor sapi dari Australia mencapai lebih dari 520 ribu ekor pada tahun 2007, sebagian besar untuk digunakan sebagai sapi potong dan sebagian kecil digunakan sebagai bakalan

43

(induk) untuk penggemukan di Indoensia. Dengan potensi pasar yang sangat besar itulah, tidak kurang dari 68 negara sedang antre mencoba mengekspor daging dan produk daging ke Indonesia. Akhir-akhir ini Indonesia berupaya untuk mengimpor daging sapi dari Brazil, sebagai salah satu eksportir sapi terbesar di dunia (23 persen pangsa) selain Australia (22 persen), Kanada (10%), India (9 persen), Uni Eropa (6 persen) dan lain-lain. Sebenarnya Amerika Serikat juga merupakan produsen daging terbesar di dunia (24 persen), bersama Brazil (15 persen), Uni Eropa (15 persen), Cina (15 persen), Argentina (5 persen) dan lain-lain. Kontribusi produksi daging Australia di pasar dunia sebenarnya cukup kecil, hanya 4 persen. Namun, karena jumlah penduduk Australia yang tidak terlalu besar, total konsumsi daging di dalam negerinya tidak terlalu besar,

sehingga Australia menjadi salah satu eksportir daging terbesar di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa otoritas pelabuhan di Indoensia telah disibukkan untuk membongkar dan memusnahkan daging impor ilegal dari India, Argentina, Brasil, Uruguay, AS, dan Spanyol sebagai wakil Uni Eropa. Pengambilan keputusan sebaiknya dikembalikan kepada hakikat kesejahteraan masyarakat di dalam negeri Indonesia, dari petani, konsumen dan pengampu kepentingan lainnya, termasuk jika Indonesia akan memperketat perizinan impor produk daging yang berbahaya, bahkan melarang sama sekali produk daging dari negara yang tidak terbebas penyakit PMK dan sapi gila. Apabila dampak buruk yang harus ditanggung masyarakat banyak justru lebih dahsyat bagi kesehatan dan keselamatan jiwa, khususnya bagi kegairahan peternak meningkatkan produksi dan produktivitasnya, maka pemerintah dituntut untuk lebih teliti dan hati-hati. Masih segar ingatan masyarakat tentang kasus "tekan-menekan" impor paha ayam atau chicken leg-quarter (CLQ) dari Amerika Serikat, yang akhirnya sampai kepada otoritas tertinggi pada masa administrasi pemerintahan sebelumnya.

44

2.3 Akses Pangan dan Pengentasan Kemiskinan Akses pangan sering didekati dari kebijakan pangan murah (cheap food policy) yang konon pro-rakyat miskin dan selama 10 tahun terakhir telah dilaksanakan melalui program beras untuk keluarga miskin (raskin). Program raskin sendiri adalah penyempurnaan dari instrumen operasi pasar murni (OPM) dan operasi pasar khusus (OPK) karena penurunan daya beli sejak krisis ekonomi 1997. Waktu itu, argumen yang berkembang adalah fakta hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1999 yang menyebutkan bahwa sebagian besar (76 persen) rumah tangga Indonesia adalah konsumen beras (net consumer) dan hanya 24 persen sisanya produsen beras (net producer). Di daerah perkotaan, net

consumer beras adalah 96 persen atau hanya 4 persen saja yang merupakan net producer beras. Di daerah pedesaan, net consumer beras sekitar 60 persen atau hanya 40 persen penduduk desa yang merupakan net producer beras. Pada

intinya, karena beras juga merupakan makanan pokok dengan karakteristik permintaan yang tidak elastis perubahan harga tidak terlalu berpengaruh terhadap konsumsi beras maka kelompok miskin itulah yang menderita cukup parah karena perubahan harga beras. Dalam perjalanannya, pemikiran kebijakan pangan murah tersebut memperoleh kritik yang cukup keras, karena dianggap tidak memberikan insentif yang cukup kepada petani padi dan bahan pangan lain untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Sejak krisis ekonomi itu, spread harga atau marjin antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen melebar sangat besar, dari sekitar Rp 400 sampai melebihi Rp 2000 per kilogram. Implikasinya adalah bahwa nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras tidak dinikmati oleh petani dan konsumen, tapi lebih banyak oleh pedagang, penggilingan padi dan pelaku lain. Hal itu dapat juga diterjemahkan bahwa sistem pasca panen dan distribusi beras di dalam negeri tidak efisien dan menyisakan

45

fenomena asimetri pasar yang menjadi kendala serius dalam pembangunan ekonomi. Fokus kebijakan pangan di Indonesia perlu diarahkan untuk

meningkatkan harga gabah dan menurunkan harga beras atau untuk mengurangi spread harga gabah dan beras, yang masih memberikan keuntungan bagi usaha penggilingan padi dan perdagangan beras. Beberapa ekonom pertanian sebenarnya telah mengusulkan strategi kebijakan kecukupan pangan (food adequacy), untuk menjamin ketersediaan dan kecukupan pangan di seluruh wilayah Indonesia, yang dapat dijangkau dan aman dikonsumsi masyarakat luas. Strategi ini adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh dimensi ketahanan pangan, khususnya di tingkat mikro rumah tangga, karena ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting: ketersediaan, aksesibilitas dan stabilitas. Di tingkat rumah tangga, tingkat ketersediaan pangan (atau tepatnya kecukupan pangan) diukur dengan membandingkan tingkat konsumsi enegeri dan protein dengan angka kecukupan gizi (AKG). Indonesia memiliki standar AKG yang dihasilkan dari Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) ke-VII, pada Juni 2008, yaitu 2.200 kilokalori (kkal) dan 57 gram protein per kapita per hari. Konsumsi energi dan protein sebenarnya telah semakin meningkat dalam lima tahun terakhir dan bahkan melebihi AKG yang disebutkan di atas. Terjadinya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan ini diikuti pula dengan penurunan persentase rumahtangga yang defisit energi tingkat berat (konsumsi energi < 70% angka kecukupan gizi) yang juga dikenal sebagai sangat rawan pangan. Persentase penduduk yang sangat rawan pangan menurun dari 13,1% tahun 2002 menjadi 11,1% tahun 2008. Meski menurun jumlah penduduk yang defisit energi tingkat berat (sangat rawan pangan) diperkirakan masih sekitar 25,1 juta jiwa pada tahun 2008 (Departemen Pertanian, 2008). Implikasinya adalah bahwa dalam konteks kebijakan pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan, kedua paket kebijakan pangan murah dan

46

kecukupan pangan masih belum cukup. Pengentasan kemiskinan perlu bervisi pemberdayaan masyarakat, sekaligus dapat menciptakan lapangan kerja produktif di pedesaan dan perkotaan. Perbaikan keterkaitan (linkages) aktivitas ekonomi di pedesaan dan perkotaan diharapkan mampu meningkatkan arus pergerakan produk dan jasa, yang sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja baru. Dimensi lain yang perlu dicover adalah struktur usahatani keluarga, sistem produksi yang tidak efisien, sampai pada aspek distribusi dan tataniaga beras yang sangat tidak berpihak pada petani produsen. Pengentasan kemiskinan perlu mempertimbangkan aspek kepemilikan atau penguasaan lahan yang amat marjinal, akses terhadap faktor produksi dan teknologi baru, dan sebagainya. Kasus ledakan gizi buruk dan dan gizi kurang yang semakin banyak dijumpai di Indonesia adalah salah satu dari contoh buruknya sinergi antara ketersediaan pangan di tingkat makro dan aksesibilitas individu dan rumah tangga terhadap bahan pangan. Bagaimana mungkin suatu daerah lumbung beras yang memiliki surplus produksi beras tapi banyak penduduknya yang tidak memiliki akses terhadap pangan. Mereka inilah yang masuk dalam kategori penduduk miskin dan memiliki akses buruk terhadap pangan. Apabila pembangunan ketahanan pangan difokuskan langsung pada kelompok miskin ini, maka manfaatnya akan terlihat secara jelas ketika kelompok pendapatan rendah ini telah mampu memenuhi kecukupan pangan, baik energi maupun proteinnya. Hal ini pun merupakan langkah penting dalam upaya mengeluarkan petani dari kemiskinan, sebagaimana komitmen Indonesia dan negara-negara lain di dunia dalam melaksakan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millineum Development Goals =MDGs, yaitu mengurangi proporsi penduduk yang hidup kemiskinan dan kelaparan, sampai setengahnya pada tahun 2015 nanti. Secara teoritis, pembangunan pertanian dapat meningkatkan ketahanan pangan, melalui peningkatan jumlah ketersediaan pangan dan perbaikan akses

47

atau daya beli terhadap pangan. Sejarah pembangunan pertanian di Indonesia menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui verietas unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan dalam tiga dasa warsa terakhir. Peningkatan produktivitas dan perbaikan pendapatan petani telah berkontribusi pada perbaikan ekonomi pedesaan, sehingga akses dan daya beli terhadap bahan pangan juga meningkat. Dalam konteks ini, penganekaragaman pangan pun berlangsung cukup baik sehingga kualitas dan pemenuhan gizi seimbang juga lebih terjamin. Cukup banyak strategi pengentasan kemiskinan telah mengedepankan aspek penyediaan pangan, akses terhadap bahan pangan, baru kemudian memfokuskan pada stabilitas harga pangan atau strategi pembangunan jangkan panjang lainnya. Akan tetapi, setelah berhasil dalam periode tumbuh tinggi sampai pertengahan tahun 1980-an, pada awal dekade 1990-an, pembangunan pertanian Indonesia tidak mampu melepaskan dari jebakan kemiskinan yang memang lebih bersifat struktural. Sektor pertanian mengalami fase dekonstruktif dan tumbuh

rendah sekitar 3,4 persen karena proteksi besar-besaran pada sektor industri, apalagi berlangsung melalui proses konglomerasi yang merapuhkan fondasi ekonomi yang sebenarnya. Ketika krisis ekonomi menimbulkan pengangguran besar dan limpahan tenaga kerja dari sektor perkotaan tidak mampu tertampung di sektor pedesaan, pertanian pun harus menanggung beban ekonomi-politik yang tidak ringan. Ketangguhan sektor ini yang sempat dibanggakan pada saat puncak krisis moneter akhirnya tidak mampu bertahan lebih lama karena pembangunan pertanian dan proses transformasi ekonomi tidak dapat hanya disandarkan pada kenaikan harga-harga (inflasi) semata. Pergerakan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan dan sebaliknya yang berlangsung cukup mulus sebelum krisis ekonomi tidak dapat lagi terjadi tanpa biaya sosial yang cukup tinggi. Sektor pendukung industri dan jasa yang selama itu mampu mengimbangi naiknya

48

permintaan aggregat karena pertumbuhan penduduk, sejak krisis ekonomi belum mengalami pemulihan yang berarti karena rendahnya investasi, kapasitas dan aktivitas produksi yang memperluas kesempatan kerja. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 1998-2009
Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bulan) Kota Desa 96.959 92.409 89.845 91.632 100.011 130.499 138.803 143.455 150.799 167.717 175.324 187.942 204.896 222.123 72.780 74.272 69.420 73.648 80.382 96.512 105.888 108.725 117.259 127.148 131.256 146.837 161.831 179.835 Persentase Penduduk Jumlah Penduduk Miskin (%) Miskin (Juta Jiwa) Kota Desa Kota+ Kota Desa Kota+ Desa Desa 21,92 25,72 24,23 17,60 31,90 49,50 19,41 26,03 23,43 15,64 32,33 47,97 15,09 20,22 18,17 12,40 25,10 37,50 14,58 22,38 19,14 12,30 26,40 38,70 9,76 24,95 18,40 8,60 29,30 37,90 14,46 21,10 18,20 13,30 25,10 38,40 13,57 20,23 17,42 12,20 25,10 37,30 12,13 20,11 16,66 11,40 24,80 36,10 11,37 19,51 15,97 12,40 22,70 35,10 13,03 22,33 18,30 12,63 27,64 40,27 13,36 21,90 17,75 14,29 24,76 39,05 12,52 20,37 16,58 13,56 23,61 37,17 11,65 18,93 15,42 12,77 22,19 34,96 10,72 17,35 14,15 11,91 20,62 32,53

Tahun Des-1998 Mar-1999 Agus-1999 2000 2001 2002 2003 2004 Feb-2005 Jul-2005 Mar-2006 Mar-2007 Mar-2008 Mar-2009

Sumber: Badan Pusat Statistik (berbagai tahun) Fenomena itulah yang juga berkontribusi pada peta kemiskinan akhirakhir ini, yangs secara ironis harus juga ditanggung oleh sektor pertanian dan pedesaan. Tabel 4 menyajikan perkembangan terakhir data kemiskinan, termasuk potret kemiskinan di daerah pedesaan, yang umumnya berkait dengan sektor pertanian. Petani sebagai konstituen paling besar terbesar dari pembanguan

pertanian tersebut, yang telah berjuang keras mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta turut serta berkontribusi pada keberhasilan sistem ekonomi-politik nasional, ternyata tidak mampu menikmati keberhasilan tersebut secara baik. Paradoks seperti di atas memang cukup menyakitkan karena secara teoritis dan empiris, para ahli dan pejuang sektor pertanian merasa sangat yakin bahwa 49

sektor vital tersebut telah dipercaya sebagai pengganda pendapatan (income multiplier) yang paling efektif dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Secara teoritis dan empiris, sebenarnya telah amat jelas bahwa sektor pertanian sangat potensial untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pedesaan. Pembangunan pertanian yang menjadi basis pembangunan ekonomi hampir

seluruh negara di dunia akan meningkatkan produktivitas tanaman, terutama bahan pangan, melalui intensifikasi penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya ekoomi secara optimal. Apabila pendapatan petani ikut meningkat sekalipun tingkat harga tidak berubah maka ekonomi pedesaan akan berputar lebih baik, karena tingkat pengeluaran terhadap produk-produk non-farm juga meningkat. Pembangunan pertanian menjadi landasan utama menuju modernisasi pembangunan ekonomi, tanpa berlebihan untuk saling bersubsitusi (trade-off) antara sektor pertanian, industri dan jasa. Paling tidak, empat dari delapan poin dalam MDGs berhubungan langsung dengan pembangunan ketahanan pangan dan pertanian secara umum, yaitu mengurangi proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, meningkatkan peranan wanita, menjamin keberlanjutan lingkungan hidup dan mengembangkan kemitraan tingkat global (Lihat Kotak 1). Empat poin lainnya juga secara tidak langsung berhubungan dengan ketahan pangan dan pembangunan pertanian, misalnya akses terhadap pangan bermutu akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perbaikan produktivitas pertanian dapat digunakan untuk memacu investasi pendidikan anak-anak dan pengembangan sumberdaya manusia dan sebagainya.

50

Kotak 1. Millenium Development Goals, 1990-2015


1. Eradicate extreme poverty and hunger Halve the proportion of people with less than US$ 1 a day Halve the proportion of people who suffer from hunger 2. Achieve universal primary education 3. Promote gender equality and empower woman 4. Reduce child mortality 5. Improve maternal health 6. Combat HIV/AIDS, malaria, and other disease 7. Ensure environmental sustainability Integrate sustainable development into country policies and reverse loss of environmental resources 8. Develop a global partnership for development, including market access Reduce average tariffs on agricultural products Reduce domestic and export agricultural subsidies in OECD countries
Sumber: http://www.developmentgoals.org

Bagi Indonesia persoalan menjadi lebih pelik karena jumlah petani gurem dengan lahan tidak sampai 0,5 hektar semakin lama semakin banyak. Hasil

Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian meningkat menjadi 25,4 juta dari sekitar 20,8 juta pada tahun 1993 atau meningkat sebesar 2,2 persen per tahun. Jumlah petani gurem pun ikut

meningkat dari 10,8 juta (52,7 persen) menjadi 13,2 juta (53,2 persen) rumah tangga. Sebagaimana dapat diduga, sebagian besar dari petani gurem tersebut berada di Jawa karena 75 persen petani Jawa tergolong gurem atau meningkat dari 70 persen pada tahun 1993. Maksudnya, saat ini hanya 25 persen dari seluruh petani di Jawa yang dapat dikatakan berkecukupan dan tidak terjerat kemiskinan. Potret petani sebaliknya terjadi terjadi di Luar Pulau Jawa. Rumah tangga petani

51

di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan lain-lain umumnya menguasai lahan rata-rata cukup besar, dan hanya 34 persen dari rumah tangga petani di sana yang tercatat menguasai lahan di bawah 0,5 hektar. Namun demikian, kecenderungan peningkatan jumlah petani gurem di Luar Jawa ini pun karena pada Sensus Pertanian 1993 tercatat 31 persen perlu diperhatikan dengan seksama mengingat, terutama apabila ancaman penurunan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani dapat menjadi semakin besar. Proses pemiskinan petani seperti ini walaupun terasa terlalu simplistik jelas dapat berimplikasi sangat luas, baik secara ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan. Komposisi penguasaan lahan di Indonesia sampai saat ini tidak banyak berubah, terutama bahwa pertanian pangan di Indonesia masih mengandalkan usahatani skala kecil, di bawah 0,5 hektar. Menurut Hasil Pendapatan Usahatani (PUT) yang dilakukan Badan Pusta Statisktik (BPS) tanggal 31 Juli 2009, jumlah rumah tangga usahatani (RUT) tahun 2009 ini adalh 17,8 juta rumah tangga. Perssentase petani tanaman pangan yang miliki luas areal kurang dari 0,5 hektar tercatat 9.545.260 unit rumah tangga usahatani atau 53.5 persen dari total RUT. Persentase jumlah rumah tangga petani dengan skala usaha tidak ekonomis ini cukup konsisten dengan hasil Sensus 2003, jika tidak dikatakan telah meningkat, walau pun cukup kecil. Implikasinya bagi pembangunan pertanian adalah bahwa persoalan struktural yang belum terpecahkan selama beberapa dekade terakhir, masih akan menjadi salah satu kendala cukup serius dalam perbaikan akses pangan, dan tentu saja dalam upaya untuk meningkatkan diversifikasi pangan. Di dalam literatur ekonomi pembangunan sebenarnya telah disebutkan bahwa petani miskin karena mereka tidak memiliki kemampuan (entitlement) bahkan tidak memiliki kemerdekaan (freedom) untuk melakukan sesuatu bagi keluarga dan bangsanya. Sen berupaya memberikan penjelasan yang lebih komprehensif, tidak hanya fakta bahwa petani tidak memiliki penghasilan yang memadai atau akibat dari suatu kemiskinan, namun lebih banyak tentang 52

buruknya akses atau sebab terjadinya suatu kemiskinan. Dapat dibayangkan, dampak berantai yang pasti terjadi, apabila petani tidak memiliki akses terhadap lahan sebagai faktor produksi terpenting dalam suatu budidaya pertanian (agriculture), pastilah upaya peningkatan produksi, produktivitas dan pendapatan petani tidak akan mencapai hasil optimal. Lebih-lebih lagi, perbaikan akses ini menjadi begitu krusial dan sangat vital dalam dimensi bisnis pertanian (agribusiness) yang sangat mengedepankan kesatuan sistem dan tata-nilai yang utuh dari hulu, tengah, hilir dan pendukung seperti akses pasar, pemasaran, perbankan, pendidikan, penyuluhan, dan kebijakan pemerintah yang relevan. Selama dekade terakhir, diversikasi pendapatan rumah tangga pedesaan memang semakin besar dan dalam, terutama setelah aktivitas usaha kecil menengah, perdagangan dan jasa lainnya semakin masuk ke hampir seluruh pelosok pedesaan. Hal tersebut juga sangat berkaitan erat dengan kenaikan tingkat permintaan efektif (effective demand) di pedesaan, karena total pendapatan rumah tangga secara umum juga meningkat. Pangsa pendapatan rumah tangga yang berasal dari upah juga meningkat seiring dengan kebutuhan tenaga kerja yang lebih besar karena skala ekonomi yang juga meningkat. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa selama sepuluh tahun terakhir, pangsa transaksi lain di pedesaan seperti kiriman uang dari sanak famili dari luar pedesaan, penerimaan dari sewa aset, serta transaksi keuangan di pedesaan juga mengalami peningkatan yang sangat pesat. Catatan lain adalah bahwa interpretasi terhadap perubahan kecenderungan di atas perlu dilakukan secara hati-hati, mengingat perbedaan penggunaan data dari suatu aktivitas yang berbeda (Sensus Pertanian dan Survai Sosial Ekonomi Nasional-Susenas) walaupun masih dalam lingkup Badan Pusat Statistik-BPS. Namun demikian, melihat kecenderungan pergeseran dominasi peran aktivitas luar usahatai (off-farm) yang cukup konsisten, penjelasan di atas tidak akan memberikan kesimpulan yang berbeda. Pada kondisi keterbukaan ekonomi yang 53

cukup besar seperti saat ini, maka petani tanaman pangan pokok seperti padi dan palawija akan sangat sulit mengandalkan ekonomi rumah tangganya hanya dari sektor usahatani on-farm. Selain karena semakin murahnya harga komoditas tanaman pangan secara relatif dan bahkan komoditas pertanian lainnya secara umum, perubahan teknologi pertanian yang terjadi pada tiga dekade terakhir juga telah berkontribusi pada peningkatan efisiensi usahatani. Petani skala kecil dan tidak mampu menggapai skala ekonomi usahatani, umumnya tidak mampu menikmati manfaat besar dari efisiensi usahatani, sehingga penerimaan ekonomi dari kelompok ini juga tidak besar bahkan tidak cukup mampu menopang ekonomi rumah tangganya. Petani skala kecil inilah harus mengandalkan aktivitas ekonomi dari luar usahatani untuk mempertahankan kehidupan rumah tangganya. Singkatnya, perubahan komposisi pendapatan rumah tangga pedesaan ini seharusnya menjadi referensi penting bagi pengembangan kelembagaan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian secara umum. Dua implikasi penting dari pergesaran dominasi aktivitas off-farm ini adalah sebagai berikut: Pertama, meningkatnya dominasi off-farm nyaris identik dengan upaya survival bagi mereka dengan skala usaha ekonomi tidak memadai. Kedua, semakin

besarnya dominasi aktivitas off-farm dapat juga berarti semakin membaiknya tingkat permintaan efektif (effective demand) di pedesaan karena aktivitas perdagangan, jasa dan usaha lain juga meningkat. Kedua fenomena di atas tentu masih jauh dibandingkan dengan pergeseran pangsa pendapatan luar usahatani di Jepang, Amerika Serikat dan negara maju lain, yang identik dengan semakin berkembangnya usahatani paruh waktu (part-time farming) dan efisiensi usahatani yang lebih baik. Dengan demikian, maka semakin jelaslah bahwa pembangunan ketahanan pangan perlu menjadi satu kesatuan dengan proses pembangunan ekonomi atau transformasi struktural ekonomi secara umum.

54

BAB 3. KEBIJAKAN UMUM KETAHANAN PANGAN


Substansi kebijakan umum ketahanan pangan yang terdiri dari 15 elemen penting yang diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan elemen masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tingkat wilayah dan tingka nasional. Selain memberikan arah kebijakan yang lebih jelas dan mudah dicerna, pemerintah berperan menjabarkan secara rinci kebijakan-kebijakan lain yang mampu memberikan insentif dari hulu sampai hilir atau perlindungan kepada petani dan konsumen sekaligus. Langkah nyata yang berhubungan dengan hal-hal berikut menjadi sangat mutlak: penyediaan, distribusi, aksesibilitas, dan stabilitas harga pangan, diversifikasi usaha dan penganekaragaman pangan, penanganan pasca panen, keamanan pangan, pencegahanan kerawanan pangan, kerjasama internasional, penelitian dan pengembangan, penangulangan risiko, penataan aspek pertanahan dan tata ruang daerah dan wilayah, partisipasi masyarakat dan lain-lain. Untuk menjabarkannya menjadi suatu agenda aksi yang dapat

dilaksanakan di tingkat lapangan, suatu maktriks agenda aksi disusun sedemikian rupa sebagai penjabaran rinci dari setiap elemen kebijakan dengan sasaran yang jelas, kerangka waktu berikut focal point yang paling bertanggung jawab. 3.1 Konsep Kebijakan Umum 1. Menjamin Ketersediaan Pangan. Ketersediaan pangan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga dengan bertumpu pada kemampuan produksi dalam negeri melalui pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif dan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.

55

Pemerintah memberikan dukungan peningkatan produktivitas pangan, terutama pangan pokok, termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air. Rencana aksi yang dilakukan adalah: a. Peningkatan produktivitas komoditas pangan agar tercapai lonjakan produksi pangan yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sekaligus untuk menjaga tingkat efisiensi pada sistem produksi. b. Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama yang tertidur dan tidak produktif, sebagai sumber penghasil pangan strategis dan bersifat pokok, melalui pemberian insentif khusus bagi mereka yang akan memanfaatkan sumberdaya lahan terbengkalai tersebut; c. Perluasan areal tanaman pangan, terutama ke Luar Jawa, untuk mendukung penyediaan lahan berkelanjutan seluas 15 juta hektar untuk produksi pangan strategis; d. Pengembangan konservasi dan tehabilitasi lahan, meliputi usaha-usaha berbasis pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan, dan peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan kerusakan, serta rehabilitasi lahan-lahan usaha pertanian dan kehutanan secara luas. e. Peningkatan efisiensi penanganan pasca panen dan pengolahan melalui perakitan dan pengembangan teknologi pasca panen dan pengolahan tepat guna spesifik lokasi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, peningkatan kesadaran dan kemampuan petani/nelayan untuk memanfaatkan teknologi pasca panen dan pengolahan yang tepat untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, mendorong pemanfaatan teknologi dan peralatan tersebut melalui penyediaan insentif bagi pelaku usaha, khususnya skala kecil.

56

f. Pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai. melalui penegakan peraturan untuk menjamin kegiatan pemanfaatan sumber daya alam secara ramah lingkungan, rehabilitasi daerah aliran sungai dan lahan kritis, konservasi air dalam rangka pemanfaatan curah hujan dan aliran permukaan, pengembangan infrastruktur pengairan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air, serta penyebarluasan penerapan teknologi ramah lingkungan pada usaha-usaha yang rnemanfaatkan sumberdaya air dan daerah aliran sungai. g. Perbaikan jaringan irigasi dan drainase, dengan fokus pada rehabilitasi 700 ribu hektar saluran irigasi terutam di daerah lumbung pangan sekaligus melalui pemanfaatan dana stimulus fiscal serta upaya lain untuk

mengantisipasi dampak krisis ekonomi global. 2. Menata Pertanahan dan Tata Ruang dan Wilayah. Petaan lahan dan air diarahkan untuk menjamin penyediaan pangan yang cukup, aman dan berkelanjutan. Pemerintah mengembangkan lahan pertanian produktif, mencegah alih fungsi lahan pertanian subur berigasi teknis, dan memperbaiki tata ruang, menimbulkan administrasi dan sertifikasi pertanahan agar tidak baru. Pemerintah memfasilitasi pelestarian

ketidakadilan

sumberdaya air,

membangun dan memelihara jaringan irigasi, dan bersama

masyarakat mengelola pemanfaatan sumberdaya air secara adil dan berkelanjutan. Aktivitas perbaikan pertanahan dan tata ruang wilayah dapat diwujudkan melalu rencana aksi sebagai berikut: a. Pengembangan reforma agraria yang lebih berkeadilan tanpa harus mengganggu kepentingan petani, untuk mewujudkan kebijakan pengelolaan lahan pertanian yang lebih beradab;

57

b. Perbaikan administrasi pertanahan dan sertifikasi lahan yang murah, dengan sasaran jelas yakni terciptanya administrasi petanahan yang memadai dan tidak memberatkan rakyat; c. Pemberian sanksi yang sangat berat bagi pelaku konversi lahan subur beririgasi teknis menjadi kegunaan lain di luar pertanian agar dapat menahan laju konversi lahan subur beririgasi yang dapat menimbulkan fenomena ketidakdilan baru. d. Penyusunan tata tuang daerah dan wilayah, sebagai amanat dari UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Kegiatan ini meliputi perbaikan Rencana Tata Ruang Daerah dan Wilayah (RTRW) tingkat provinsi secara terkoordinasi antar daerah/wilayah dengan mempertimbangkan unsurunsur sosial, ekonomi, budaya dan kelestarian sumberdaya alam, disertai penerapannya secara tegas dan konsisten, dengan penerapan sanksi terhadap pelanggaran. e. Penerapan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian subur melalui penyusunan peraturan dan penerapannya secara tegas bidang perpajakan atas lahan atau usaha yang dapat menghambat/memberatkan setiap upaya mengkonversi lahan pertanian subur, dan atau membiarkan lahan pertanian terlantar. 3. Melakukan Antisipasi, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Pemanasan global adalah fakta, bukan sekadar prediksi, apalagi mitos khayal. Pemanasan global telah menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau yang makin kacau, sehingga pola tanam dan estimasi produksi pertanian, persediaan stok pangan menjadi sulit diprediksi secara baik. Langkah rehabilitasi kerusakan karena dampak kekeringan dan perubahan iklim (reaktif) akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan langkah adaptasi dan mitigasi bencana

58

pemanasan global itu (antisipatif). Tidak ada kata terlambat untuk memulai suatu langkah sekecil apa pun bukan bersilang pendapat yang dapat berkontribusi pada kejayaan ekonomi pertanian dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu diperlukan suatu upaya serius untuk mengerahkan birokrasi dan aparat pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menyampaikan secara rinci serangkaian langkah berikut: a. Penyusunan sistem peringatan dini, mulai dari tingkat teknis pola tanam pangan, langkah hemat air dan pemanenan air setiap ada hujan, sampai pada pelestarian sumber-sumber air di hulu sungai dan hutan konservasi. b. Program penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih jika kekeringan melanda. c. Perbaikan manajemen sistem irigasi, pengelolaan air dan rehabilitasi sumbersumber air air secara berkelanjutan menjadi sangat penting, minimal untuk mengurangi dampak kekeringan yang lebih hebat d. Pengurangan secara sistematis terhadap luas, intensitas, dan durasi musim kemarau karena perubahan iklim di Indonesia, misalnya dengan injeksi air dengan dam parit, sumur resapan dan channel reservoir yang dapat dikelola sendiri oleh masyarakat. e. Realisasi adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian, misalnya dengan memasyaratkan hasil-hasil studi jenis tanaman dan pola tanam yang hemat air, f. Rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur irigasi serta melanjutkan program sejenis yang belum selesai pada periode sebelumnya. g. Pencegahan penurunan produksi pangan, merumuskan skema perlindungan petani produsen (dan konsumen) secara sistematis. 4. Menjamin Cadangan Pangan Pemerintah dan Masyarakat.

59

Cadangan pangan dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan pangan, kelebihan pangan, gejolak harga dan/atau keadaan darurat. Cadangan pangan diutamakan berasal dari produksi dalam negeri dan pemasukan atau impor pangan dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi. Pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota dan desa menyediakan dan mengelola cadangan pangan tertentu yang bersifat pokok. Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan dan mengelola cadangan pangan masyarakat sesuai dengan kearifan dan budaya lokal. pemerintah dapat direalisasikan melalui rencana aksi berikut: a. Pengembangan cadangan di setiap lapis pemerintah: dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat desa untuk membantu mewujudukan cadangan pangan yang bersifat pokok di setiap daerah dan di setiap desa dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia; b. Pengembangan lumbung pangan di tingkat masyarakat agar tercipta dan terintegrasi sistem cadangan pemerintah dan masyarakat; c. Peningkatan kerjasama antar-daerah otonom, terutama aliran pangan pokok dari daerah surplus ke daerah defisit pangan, agar terjalin kerjasama antar daerah dengan satuan kluster ekonomi yang saling mendukung d. Pada keadaam darurat, masing-masing kelompok masyarakat mampu memanfaatkan dan mengelola sistem cadangan pangannya untuk mengatasi masalah kerawanan pangannya secara mandiri dan berkelanjutan. Fasilitasi dilakukan dalam aspek manajemen kelompok maupun aspek teknis pengelolaan pangan sehingga kualitas dan nilai ekonominya dapat ditingkatkan. Cadangan pangan

60

5. Mengembangkan Sistem Distribusi Pangan yang Adil dan Efisien. Sistem distribusi pangan menyangkut pengelolaan mekanisme yang adil antar pelaku mulai dari petani produsen, pedagang, pengolah, dan konsumen. Sistem distribusi pangan dilaksanakan untuk menjamin penyediaan pangan setiap rumah tangga di seluruh wilayah sepanjang waktu secara efisien dan efektif. Pemerintah mengembangkan sarana, prasarana dan pengaturan distribusi pangan serta mendorong partispasi masyarakat dalam mewujudkan sistem distribusi pangan. Sistem distribusi pangan yang adil dan efisien dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Pengembangan infrastrukturk distribusi yang meliputi pembangunan dan rehabilitasi sarana dasar, jalan desa dan jalan usahatani agar tercapai target pengerasan jalan desa dan jalan usahatani, dengan prioritas pada daerah lumbung pangan; b. Pemberdayaan organisasi petani di tingkat pedesaan untuk membantu meningkatkan posisi tawar petani di hadapan pedagang pengumpul dan tengkulak; c. Pengawasan sistem persaingan pedagang yang tidak sehat dengan sasaran jelas, yakni berkurangnya kolusi harga antar pedagang yang merugikan petani; d. Pengawasan dan pengembangan standar mutu pangan, untuk mendukung terjaminnya mutu produk pangan; e. Penghapusan retribusi produk pertanian yang masih mentah dengan sasaran jelas, yakni hlangnya pajak atau retribusi yang memberatkan petani dan pedagang kecil. 6. Meningkatkan Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan.

61

Akses rumah tangga terhadap pangan diwujudkan melalui pengendalian stabilitas harga pangan, peningkatan daya beli, pemberian bantuan pangan dan pangan bersubsidi. Pemerintah memantau dan mengidentifkasi secara dini tentang kekurangan dan surplus pangan, kerawanan pangan, dan ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangannya serta melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan yang diperlukan. Bantuan pangan dan pangan bersubsidi disalurkan kepada kelompok rawan pangan dan keluarga miskin untuk meningkatkan kualitas gizinya. Rencana aksi untuk memperbaiki aksesibilitas pangan dapat diikhtisarkan sebagai berikut: a. Penguatan kelembagaan di tingkat desa untuk membantu aksesibilitas, agar semakin solid rasa saling percaya di antara masyarakat baik di perdesaan maupun di perkotaan; b. Pengembangan pangan lokal untuk meningkatkan pendaptaan rumah tangga dan daya beli masyarakat, agar semakin terintegrasi budaya dan kearifan pangan lokal dengan pengentasan kemiskinan secara umum; c. Peningkatan efektivitas program subsidi pangan seperti beras untuk keluarga miskin (raskin) agar tingkat salah-sasaran semakin berkurang dan kriteria tepat lainnya semakin baik; dan d. Identifikasi secara dini dan pemantauan berkala gejala kurang pangan dan surplus pangan, dengan sasaran jelas, yakni tersedianya peta defisit dan surplus pangan di seluruh Indonesia 7. Menjaga Stabilitas Harga Pangan. Stabilitas harga pangan tertentu yang bersifat pokok diarahkan untuk menghindari terjadinya gejolak harga yang mengakibatkan keresahan masyarakat. Pemerintah melakukan pemantauan dan stabilisasi harga pangan tertentu yang bersifat pokok melalui pengelolaan pasokan pangan, kelancaran distribusi pangan,

62

kebijakan perdagangan, pemanfaatan cadangan pangan dan intervensi pasar apabila diperlukan. Rencana aksi untuk mewujudkan stabilitas harga pangan tersebut dapat ditempuh melalui: a. Pemantauan secara mingguan dan bulanan harga pangan strategis (beras, jagung, gula, kedelai dan daging) agar tersedia data yang konsisten serta sebaran harga pangan strategis di tingkat produsen dan tingkat konsumen yang dapat dipercaya; b. Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyanggah untuk menjaga stabilitas harga pangan, agar tersedia pasokan pangan, terutama pada saat paceklik, gagal panen dan bencana alam; c. Pengembangan sistem pangadaan pangan pokok yang melibatkan lembaga usaha ekonomi pedesaan, agar kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengadaan pangan semakin meningkat. 8. Mencegah dan Menangani Keadaan Rawan Pangan dan Gizi. Pencegahan keadaan rawan pangan dan gizi dilakukan melalui pengembangan dan pemantapan sistem isyarat dini dan intervensi yang memadai. Pemerintah melakukan pencegahan dan penanggulangan keadaan rawan pangan dan gizi akibat kemiskinan dan keadaan darurat karena bencana alam, konflik sosial dan paceklik yang berkepanjangan. Penanggulangan keadaan rawan pangan dan gizi dilakukan melalui pemberian bantuan pangan dan pelayanan kesehatan serta penguatan kapasitas individu dan kelembagaan masyarakat perdesaan dan perkotaan. Rencana aksi untuk mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi di atas dapat dirinci sebagai berikut: a. Pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi, (SKPG dan sejenisnya) agar tercipta sistem isyarat dini yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan oleh segenap lapisan masyarakat;

63

b. Pemantauan secara berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga, karena gagal panen dan paceklik, untuk membangkitkan kembali kelembagaan masyarakat dengan sistem monitoring sederhana yang dilakukan oleh setiap rumah tangga di seluruh Indoensia; c. Fasilitasi pemerintah daerah untuk membangun kemampuan merespon isyarat tersebut secara tepat dan cepat untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kerawanan pangan. d. Peningkatan keluarga sadar gizi melalui penyuluhan dan bimbingan sosial kepada keluarga yang membutuhkan melalui sistem komunikasi, informasi dan edukasi yang sesuai dengan situasi sosial budaya dan ekonomi setempat. e. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, agar tersedianya pangan dengan kandungan gizi seimbang yang mudah dijangkau; dan f. Pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan untuk dapat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi untuk mempercepat langkah penanganan gejala rawan pangan, terutama pada kantong-kantong kemiskinan di perdesaan dan perkotaan 9. Melakukan Diversifikasi Pangan. Diversifikasi pangan sebenarnya meliputi diversifikasi produksi dan diversifikasi konsumsi pangan. Diversifikasi produksi (usaha) diarahkan untuk meningkatkan pendapatan produsen, terutama petani, peternak dan nelayan kecil melalui pengembangan usahatani terpadu, pelestarian sumberdaya alam, konservasi lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya air, dan keanekaragaman hayati. Diversifikasi konsumsi pangan diarahkan untuk mencapai konsumsi

pangan yang bergizi seimbang. Pemerintah memfasilitasi diversifikasi usaha dan konsumsi pangan melalui pengembangan teknologi dan industri pangan sesuai

64

sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Diversifikasi usaha atau produksi pangan dan diversifikasi konsumsi pangan dapat ditempuh melalui rencana aksi sebagai berikut: a. Pengembangan diversifikasi usaha melalui usahatani terpadu bidang pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan lain-lain untuk menyebar-ratakan risiko gagal panen karena iklim dan cuaca serta karena fluktuasi harga yang sulit diantisipasi; b. Pelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati di daerah kawasan hutan sebagai sumber pangan alternatif bagi masyarakat miskin, terutama yang berada di sekitar kawasan hutan; c. Pengembanga pangan lokal sesuai dengan kearifan dan kekhasan daerah untuk mengembangkan pangan lokal, terutama yang memiliki sifat khas dan eksotis; d. Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dan prinsip gizi seimbang agar tercipta sinergi saling menguntungkan antara diversifikasi pangan dan pengembangan pangan lokal; e. Pengembangan teknologi pangan untuk meningkatkan nilai tambah dalam rangka diverisikasi pangan untuk semakin mengembangkan sumber energi dan protein dari pangan alternatif yang ada; dan f. Perbaikan sistem komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) gizi untuk mewujudkan pangan alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap pangan pokok seperti beras. 10. Meningkatkan Keamanan dan Mutu Pangan. Penanganan keamanan dan mutu pangan diarahkan untuk menjamin produksi dan konsumsi pangan masyarakat agar terhindar dari cemaran biologis, kimia, dan fisik yang berbahaya bagi kesehatan. Pemerintah melakukan

65

pencegahan dan penanggulangan dampak pangan yang tidak aman bagi masyarakat melalui penetapan standar keamanan dan mutu pangan, kehalalan, serta perdagangan. Rencana aksi peningkatan keamanan dan mutu pangan dapat diwujudkan sebagai berikut: a. Pembinaan sistem produksi dan konsumsi pangan masyarakat agar terhindar dari cemaran biologis, kimia, dan fisik yang berbahaya, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, produsen pangan besar dan usaha kecil menengah tentang pangan bermutu dan aman bagi kesehatan; b. Pencegahan dini, penegakan hukum bagi penanggulangan dampak pangan yang tidak aman untuk menekan peredaran pangan tidak mutu dan tidak aman dan tidak berkualitas, sekaligus untuk menciptakan mekanisme penanganan dampak negatif pangan; c. Penetapan standar keamanan dan mutu pangan, kehalalan, serta perdagangan pangan, untuk secara keserluruhan meingkatkan kualitas kemananan, mutu pangan, kehalanan pangan dalam sistem perdagangan pangan. 11. Memfasilitasi Penelitian dan Pengembangan. Penelitian dan pengembangan bidang pangan diarahkan untuk

mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan terutama melalui alokasi anggaran yang memadai serta mendorong peran-serta sektor swasta dalam penelitian dan pengembangan ketahanan pangan dan gizi. Rencana aksi untuk mendukung aktivitas penelitian dan pengembangan dapat diwujudkan melalui: a. Pemberian fasiltias, kemudahan, penghargaan dan dukungan politis pada kegiatan penelitian dan pengembangan, untuk mewujdukan hasil-hasil

penelitian yang dapat digunakan untuk mengembangkan produksi dan efisiensi usaha pangan;

66

b. Alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian dan pengembangan, sampai 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB); c. Peningkatan kerjasama dan kemitraan antara lembaga penelitian, universitas dan sektor swasta dalam pencarian dan pengembangan inovasi penelitian untuk membuka ruang dan semangat bagi sektor swasta berpartisipasi dalam penelitian dan pengembagan pangan; dan d. Peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknologi budidaya, berupa perakitan teknologi untuk menghasilkan varietas unggul spesifik lokasi untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas usaha pertanian, perikanan dan kehutananan, serta untuk perbaikan teknologi budidaya untuk menekan senjang hasil antara tingkat penelitian dan tingkat petani, meningkatkan efisiensi ke arah zero waste, memperbaiki/ mempertahankan kesuburan lahan dan meningkatkan pendapatan petani. 12. Melaksanakan Kerjasama Internasional. Kerjasama internasional pembangunan ketahanan pangan dilakukan melalui diplomasi ekonomi, politik dan budaya dengan prinsip kesetaraan, keadilan dan kedaulatan yang bermartabat. Pemerintah menetapkan kebijakan perdagangan pangan, terutama pangan pokok dan yang bersifat strategis untuk melindungi kepentingan petani produsen dan konsumen. Pemerintah memetakan kekuatan daya saing usaha pangan nasional secara berkala untuk acuan pengembangan ketahanan pangan dalam dinamika ekonomi global. Rencana aksi menuju kerjasama internasional yang lebih beradab dan saling menguntungkan dapat dirinci sebagai berikut: a. Penggalangan kerjasama ekonomi baik dalam kerangkan bilateral maupun multilateral, untuk memperkokoh posisi Indonesia dalam perdagangan pangan di ASEAN, dan Asia Pasifik;

67

b. Peningkatan jumlah atase pertanian dan perdagangan yang berkualtias dan bertanggung jawab agar mampu membawa misi kepentingan nasional dalam kancah internasional; c. Diplomasi ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk meningkatkan ketahanan pangan domestik dengan sasaran jangka menengah yang jelas, yakni semakin dihormatinya Indonesia dalam arena perdagangan dan kerjasama ekonomi tingkat internasional. 13. Meningkatkan Peran Serta Masyarakat. Peran serta masyarakat diarahkan untuk mewujudkan ketahanan pangan, melalui pengembangan aktivitas produksi, perdagangan dan distribusi pangan, pengeloalaan cadangan pangan, konsumsi pangan bergizi seimbang, serta pencegahan dan penanggulangan masalah pangan. Pemerintah memfasilitasi

keikutsertaan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi pangan dan gizi, serta peningkatan kapasitas dan motivasi masyarakat. Rencana aksi untuk meningkatkan peran serta masyarakat dapat dirinci sebagai berikut: a. Pemberian insentif bagi mereka yang berjasa pada pencegahan dan

penanggulangan masalah pangan dan gizi, agar masyarakat semakin bergairah untuk berpartisipasi membantu menanggulangi masalah pangan dan gizi; b. Peningkatan motivasi masyarakat dan kapasitas dan kelembagaan yang mendukung proses pencapaian ketahanan pangan, agar semakin besar tingkat kapasitas kelembagaan masyarakat di perdesaan dan perkotaan; c. Pengembangan lembaga dan kebijakan pendukung, seperti lembaga simpanpinjam desa dan usaha kecil menengah (UKM) serta koperasi, untuk berkontribusi pada bangkitnya kembali lembaga simpan pinjam desa dan partisipasi UKM dan koperasi dalam penyediaan pangan.

68

14. Mengembangkan Sumberdaya Manusia. Pengembangan sumberdaya manusia di bidang pangan dan gizi dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan secara lebih komprehensif. Pemerintah merevitalisasi sistem penyuluhan melalui kerjasama sinergis dengan lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga pengembangan swadaya masyarakat yang lebih beradab, bertanggung jawab dan menjunjung nilai-nilai kebenaran. Rencana aksi yang dapat dilaksanakan untuk menunjang

pengembangan sumberdaya manusia (SDM) meliputi: a. Perbaikan program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan secara lebih komprehensif agar tersusun program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan yang lebih komprehensif; b. Penyusunan dan sosialisasi peraturan penyuluhan, penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan ketenagaan penyuluhan pertanian, peningkatan mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dan penerapan secara meluas pendekatan pemberdayaan/pendampingan kepada kelompok masyarakat petani/ nelayan c. Pemberian muatan pangan dan gizi pada kurikulum pendidikan di sekolah dasar dan kejuruan untuk meningkatklan kesadaran masyarakat tentang pangan bermutu sejak usia dini; d. Peningkatan kerjasama dengan lembaga non-pemerintah (LSM) dan kelompok masyarakat lain yang peduli terhadap peningkatan sumberdaya manusia (SDM) agar tercipta suatu kerjasama sinergis antara lembaga pemerintah, lembaga swasta, dan lembaga masyarakat yang peduli pada mutu pangan dan gizi.

69

15. Melaksanakan Kebijakan Makro dan Perdagangan yang Kondusif Falsafah utama dari kebijakan makro dan kebijakan perdaganga yang kondusif adalah integrasi strategi ekonomi makro ke dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, apa pun kondisinya. Untuk negara agraris dan basis sumberdaya seperti Indonesia, seluruh elemen kebijakan moneter dan kebijakan fiskal pasti amat terkait dengan pembangunan pertanian. a. Kebijakan fiskal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian, misalnya dengan pemberian keringanan pajak bagi para pelaku usaha di bidang pertanian dan pengolahan pangan untuk mendorong pertumbuhan investasi usaha berbasis pertanian dan pangan. b. Alokasi anggaran negara dan anggaran daerah yang memadai untuk pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, melalui peningkatan kapasitas, kepedulian dan pemberian pemahaman serta umpan balik kepada lembaga pemerintah yang berkompeten termasuk lembaga legislatif; c. Kebijakan proteksi perdagangan, minimal untuk empat komoditas utama dalam special products (SPs), yaitu: beras, jagung, kedelai dan tebu (plus daging) sebagaimana disampaikan secara resmi oleh Indonesia kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Langkah ini dapat dilakukan melalui penerapan berbagai instrumen dan regulasi perdagangan secara arif untuk melindungi dari persaingan yang tidak menguntungkan dan memberikan dukungan terhadap peningkatan daya saing produk pertanian strategis nasional.

70

3.2 Prasyarat Koordinasi dan Integrasi Kebijakan Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional bertumpu pada

sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan produksi domestik, serta mengurangi ketergantungan pada pemasukan atau impor pangan. Impor pangan hanya dilakukan pada keadaan yang memaksa, misalnya pada saat neraca pangan berada dalam keadaan negatif atau pada masa paceklik karena kekeringan dan/atau bencana alam lainnya. Seluruh sektor dan bidang dalam pemerintahan berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi, sebagai prasyarat penting, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, sampai Pemerintah Desa dan masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Saat ini paling tidak terdapat 20 lembaga pemerintah dan badan usaha milik negara yang terlibat langsung dan tidak langsung terhadap kebijakan ketahanan pangan. 1. Departemen Pertanian. Kebijakan produksi pangan, perkebunan,

peternakan, peningkatan produktivitas, pengelolaan lahan dan air irigasi, pengolahan dan pemasaran hasil, pengembangan sumberdaya manusia (penyuluhan, pendidikan dan latihan), penelitian dan pengembangan serta koordinasi pemantapan ketahanan pangan. 2. Departemen Dalam Negeri. Pembinaan ketahanan pangan di daerah dan provinsi, koordinasi kebijakan pangan dan pertanian antar daerah otonom, pemberian insentif perwilayahan komoditas pangan, pengalokasian dana alokasi ketahanan pangan, dalam kaitannya dengan fasilitasi penyusunan anggaran daerah, pertanggung- jawaban dan pengawasan keuangan daerah. 3. Departemen Pertahanan. Pembinaan strategi dan interdependensi daerah dalam mewujudkan dan memantapkan ketahanan pangan, pengamanan

71

jaringan distribusi dan stok pangan nasional.

Segmen ketahanan pangan

seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari strategi petahanan dan pertahanan nasional. 4. Departemen Keuangan. Penerimaan negara dari pajak, bea masuk, dan lainnya serta pembiayaan ketahanan pangan dalam skema anggaran pendapatan dan belanja negara negara, pengawasan komoditas pangan yang keluar dan masuk batas wilayah negara, dan pembinaan lembaga keuangan yang berhubungan dengan aktivitas pangan dan pertanian. 5. Departemen Perindustrian. Strategi industrialisasi yang mendukung produksi dan produktivitas industri pangan, kebijakan agroindustri, pengembangan industri kecil dan menengah, terutama bidang pangan dan pertanian, serta standarisasi teknis komoditas hasil industri pangan. 6. Departemen Perdagangan. Sistem distribusi pangan dan pertanian di

dalam negeri, perdagangan internasional produk pangan, tataniaga produk pertanian strategis, pengembangan ekspor komoditas pangan dan pertanian, skema perdagangan berjangka bagi komoditas pangan tertentu serta kerjasama internasional atau diplomasi ekonomi yang dibutuhkan untuk memantapkan ketahanan pangan. 7. Departemen Kehutanan. Strategi perlindungan hutan, konservasi sumber daya alam, rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial untuk ketahanan pangan, pemanfaatan lahan hutan untuk produksi pangan dan pertanian sepanjang saling mendukung konservasi sumberdaya alam, pelestarian plasma-nutfah sumberdaya hutan untuk pemantapan ketahanan pangan. 8. Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya untuk mendukung ketahanan pangan, pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan, pengembangan

72

masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta pembinaan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. 9. Departemen Perhubungan. Pengembangan infrastruktur perhubungan,

pelayanan pelabuhan, sarana dan prsaranan lain dalam perhubungan laut, darat dan udara, untuk mendukung kelancaran sistem distribusi pangan, pengawasan pergerakan komoditas pangan. 10. Departemen Pekerjaan Umum. Pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana (infrsatruktur), mulai dari jalan, jembatan, jaringan irigasi dan drainase, strategi penyusunan kebijakan tata ruang dan wilayah yang akan bermanfaat pada perwilayahan komoditas pangan dan pertanian. 11. Departemen Kesehatan. Peningkatan kualitas kesehatan, mutu pangan dan gizi masyarakat, pemahaman masyarakat terhadap kebutuhan energi, protein, vitamin dan mineral, pengawasan makan (dan obat), pengamanan mutu pangan, terutama tentang kandungan bahan, zat penyusun serta waktu kadaluarsa bahan pangan. 12. Departemen Sosial. Pencegahan gejala dan penanggulangan kasus rawan pangan, penanggulangan kemiskinan dan kekurangan pangan akut, rehabilitasi dan rekonstruksi daerah bencana, pemberdayaan masyarakat untuk menghadapi insekuritas pangan. 13. Departemen Komunikasi dan Informasi. Penyeberluasan kebijakan ketahanan pangan, khususnya tentang konsep pangan bermutu dan bergizi seimbang melalui rangkaian strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pangan dan gizi, sampai pada segenap lapisan masyarakat. 14. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah (UKM). Strategi pengembangan peran-serta kelembagaan koperasi dan UKM dalam pemantapan ketahanan pangan, kebijakan peningkatan produksi UKM

73

bidang pangan dan pertanian, kebijakan perbaikan pemasaran dan jaringan usaha pangan, serta dukungan strategi pengembangan dan restrukturisasi UKM, terutama di bidang pangan; 15. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Strategi pengembangan riset dan teknologi bidang pangan, dari hulu tingkat bahan baku dan produksi sampai hilir serta rekayasa teknologi pangan-pertanian untuk mendukung penemuan varietas unggul dan teknologi baru yang mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi komoditas pangan serta mampu mendorong aplikasi teknologi di tengah masyarakat. 16. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan. Strategi dan

kebijakan perencanaan pembangunan pangan yang terintegrasi dan terkoordinasi antar-instansi pemerintah serta antara pusat dan daerah, kebijakan pangan dan pertanian, kebijakan tataruang daerah dan wilayah, desentralisasi kebijakan pembangunan secara umum. 17. Kementerian Negara Koordinator Bidang Perekonomian. Koordinasi strategi dan kebijakan pembangunan pangan antar-instansi pemerintah dalam lingkup perekonomian, antara pusat dan daerah, terutama dalam kerangka revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. 18. Badan Pusat Statistik. Akurasi dan konsistensi data produksi dan

konsumsi pangan dan pertanian, derajat kesehatan dan kualitas gizi masyarakat, tingkat dan kedalaman kemiskinan, pertumbuhan dan kepadatan penduduk, koordinasi publikasi data dengan instansi lain dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. 19. Badan Pertanahan Nasional. Peningkatan kepastian usaha produksi

pangan, melalui pencegahan konversi lahan pertanian subur beririgasi dan pemberian sanksi yang setimpal bagi pelanggar ketentuan konversi lahan.

74

20. Perum Bulog. Memperoleh penugasan pemerintah untuk melaksanaan pengadaan pangan, terutama yang bersifat pokok dan strategis, melakukan pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan pangan Pemerintah dan distribusi pangan pokok kepada golongan masyarakat tertentu, khususnya pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka ketahanan pangan. 3.3 Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2010-2014 Rencana aksi ketahanan pangan periode 2010-2014 adalah suatu panduan pelaksanaan kebijakan umum tersebut di tingkat lapangan, sekaligus merupakan penjabaran rinci dari setiap elemen kebijakan dengan sasaran yang jelas, berikut focal point, terutama lembaga pemerintah yang paling bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Rinician inilah yang seharusnya menjadi semacam panduan berharga bagi para stakeholders ketahanan pangan dari lembaga pemerintah, swasta, BUMN, perguruan tinggi lembaga swadaya masyarakat dan kalamngan masyarakat umum. Selengkapnya, matriks rencana aksi ketahanan pangan 20102014 tersebut akan diuraikan berikut ini:

75

Matriks Rencana Aksi Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014

No

Tujuan Kebijakan

Program Kegiatan

Lembaga Relevan

Indikator keberhasilan (output)

Menjamin Ketersediaan Pangan

Peningkatan produktivitas untuk swasembada komoditas pangan strategis (beras, jagung, kedelai, tebu, daging) Pemberian insentif sistem produksi, meliputi subsidi input pertanian (pupuk dan benih) dan permodalan usaha pertanian. Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama yang lama tertidur dan tidak termanfaatkan. Perluasan areal tanaman pangan, pengamanan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, terutama ke luar Jawa Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan melalui pemberian insentif dan sanksi Pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai Peningkatan efisiensi penangan pasca panen

Utama: Deptan Pendukung: Deperin, Ristek, Utama: Menko Ekon, Pendukung: Deptan, Kadin, perbankan Utama: Deptan, Pendukung: BPN Dephut, KLH, Utama: Deptan, Pendukung: Dep PU, Pemprov Utama: Dephut, Pendukung: Deptan, KLH Utama: Dephut, Pendukung: KLH, Deptan, swasta Utama: Deperin, Pendukung: Deptan Kadin, Perbankan Utama: Dep PU, Pendukung: Deptan, Kadin, masyarakat

Tercapainya swasembada pangan strategis yang berbasis peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha. Semakin memadainya insentif sistem produksi bagi petani untuk meningkatkan produksi-produktivitas Tersedianya lahan baru untuk produksi bahan pangan strategis Tersedianya lahan pangan secara berkelanjutan 15 juta hektar untuk produksi pangan Berkurangnya degradasi lahan, terutama pada lahan marjinal/kritis Menurunnya degradasi lahan dan tersedianya air pada musim kemarau Meningkatnya efisiensi pasca panen

Perbaikan jaringan irigasi-drainase

Rehabilitasi 700.00 ha saluran irigasi, terutama di daerah lumbung pangan

55

No 2

Tujuan Kebijakan Menata Pertanahan dan Tata Ruang dan Wilayah

Program Kegiatan Pengembangan reforma agraria yang lebih berkeadilan tanpa harus mengganggu kepentingan petani Perbaikan administrasi pertanahan dan serifikasi lahan yang murah Pemberian sanksi yang sangat berat bagi pelaku konversi lahan subur beririgasi teknis menjadi kegunaan lain di luar pertanian Penyusunan tata ruang daerah dan wilayah yang memapu mendukung pewilayahan komditas unggulan Penyusunan tata tuang daerah dan wilayah, sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Perbaikan Rencana Tata Ruang Daerah dan Wilayah (RTRW) tingkat provinsi secara terkoordinasi antar daerah/wilayah. Penerapan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian subur melalui penyusunan peraturan dan penerapannya secara tegas bidang perpajakan atas lahan atau usaha yang dapat menghambat/memberatkan konversi lahan pertanian subur

Lembaga Relevan Utama: BPN, Pendukung: Deptan, Bappenas Depdagri, Pemda Utama: BPN, Pendukung: Deptan, Depdagri, Pemda Utama: Bappenas, Pendukung: BPN, Deptan, Pemda Utama: Dep PU Pendukung: Deptan, Bappenas, BPN, Pemprov Utama: Dep PU, Pendukung: Depkum, Deptan, BPN, Pemprov Utama: Bappenas, Pendukung: Dep PU BPN, Pemprov dan Pemda (Kab/kota) Utama: Depkum, Pendukung: Dep PU, BPN, Pemprov dan Pemda

Indikator keberhasilan (output) Terwujudnya kebijakan pengelolaan lahan pertanian yang lebih beradab

Terselesaikannya sengketa lahan, terutama tentang administrasi lahan Terhentinya fenomena konversi lahan subur beririgasi yang dapat menimbulkan fenomena ketidakdilan baru. Terciptanya administrasi petanahan yang memadai dan tidak memberatkan rakyat Tersusunnya RUTRW yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Semakin jelasnya RTRW Provinsi dan Daerah dengan mempertimbangkan unsur-unsur sosial, ekonomi, budaya dan kelestarian sumberdaya alam. Berkurangnya laju konversi lahan sawah (berkelanjutan) menjadi kegunaan lain di luar pertanian

56

No 3

Tujuan Kebijakan Melakukan antisipasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim

Program Kegiatan Penyusunan sistem peringatan dini, mulai dari tingkat teknis pola tanam pangan, langkah hemat air dan pemanenan air setiap ada hujan, sampai pelestarian sumber-sumber air di hulu sungai dan hutan konservasi. Program penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih jika kekeringan melanda. Perbaikan manajemen sistem irigasi, pengelolaan air dan rehabilitasi sumbersumber air air secara berkelanjutan, minimal untuk mengurangi dampak kekeringan yang lebih hebat Pengurangan secara sistematis terhadap luas, intensitas, dan durasi musim kemarau karena perubahan iklim, misalnya dengan injeksi air dengan dam parit, sumur resapan dan channel reservoir . Rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur irigasi serta melanjutkan program sejenis yang belum selesai pada periode sebelumnya. Pencegahan penurunan produksi pangan, perumusan skema perlindungan petani produsen (dan konsumen) secara sistematis. Penelitian dan pengembangan varietas pangan yang tahan kekeringan dan efisiensi pemakaian air permukaan dan air tanah

Lembaga Relevan Utama: Bappenas, Pendukung: Deptan, BMKG, Depdagri dan Pemda Utama: Depsos, Pendukung: Deptan Depdagri, Pemda Utama: Dep PU, Pendukung: Deptan, Depdagri, Pemda

Indikator keberhasilan (output) Tersusunnya dokumen sistem peringatan dini, mulai dari aspek pola tanam sampai pada pemanenan air

Tersedianya basis data bagi penyaluran bantuan darurat bahan pangan/air bersih pada saat kekeringan melanda. Membaiknya sistem pengelolaam air di daerah, terutama pada sistem kemarau.

Utama: Deptan, Pendukung: BMKG Depdagri, Pemda

Terselenggarakannya sistem injeksi air, dam parit, sumur resapan yang dikelola langsungoleh masyarakat.

Utama: Dep PU, Pendukung: Deptan, Depdagri, Pemda Utama: Deptan, Pendukung:Depdagri, Pemda Utama: Deptan, Pendukung:Depdagri, Universitas, Kadin, swasta dan Pemda

Terselesaikannya pembangunan proyek infrastruktur, terutama yang tidak sempat selesai pada 2009 Berkurangnya kemungkinan produksi pagan.karena petani telah dilindungi dari beberapa macam risiko... Tersedianya varietas baru yang unggul sekaligus mampu adaptasi dengan perubahan iklim dan pemanasan global.

57

No 4

Tujuan Kebijakan Menjamin Cadangan Pangan Pemerintah dan Masyarakat

Program Kegiatan Pengembangan cadangan di setiap lapis pemerintah: daerah dan desa Pengembangan lumbung pangan di tingkat masyarakat Peningkatan kerjasama antar-daerah otonom, terutama aliran pangan pokok dari daerah surplus ke daerah defisit pangan Pengelolaan sistem cadangan pangan oleh masyrakat, terutama pada keadaam darurat, masing-masing kelompok masyarakat Fasilitasi aspek manajemen kelompok dan fasiltiasi aspek teknis pengelolaan pangan

Lembaga Relevan Utama: Bulog, Pendukung: Deptan Depdagri, Pemda Utama: Depdagri, Pendukung: Deptan, Pemda Utama: Depdgari, Pendukung: Deptan Utama: Depdagri Pendukung: Deptan, Bulog Pemda, LKMD masyarakat Utama: Menkop Pendukung: Deptan, Pemda, Pem Desa, LKMD, masyarakat

Indikator keberhasilan (output) Tersedianya cadangan pangan pokok di setiap daerah (jika perlu setiap desa) Terintegrasinya sistem cadangan pemerintah dan cadangan masyarakat Semakin terintegrasinya kerjasama antar daerah dengan satuan kluster ekonomi yang saling mendukung Terkelolanya cadangan pangan masayrakat untuk mengatasi masalah kerawanan pangannya secara mandiri dan berkelanjutan. Meningkatnya kualitas kehidupan masayarakat nilai ekonomi cadangan pangan masyarakat.

58

No 5

Tujuan Kebijakan Mengembangkan Sistem Distribusi Pangan yang Adil dan Efisien

Program Kegiatan Pengembangan (pembangunan dan rehabilitasi) sarana dasar, jalan desa dan jalan usahatani Pemberdayaan organisasi petani di tingkat pedesaan Pengawasan sistem persaingan pedagang yang tidak sehat Pengawasan dan pengembangan standar mutu produk pangan Penghapusan retribusi produk pertanian yang masih mentah

Lembaga Relevan Utama: Dep PU, Pendukung: Dephub, Depdagri Utama: Deptan, Pendukung: Pemda. Depdagri, Dep PU Utama: Depdag, Pendukung: KPPU, Pemprov dan Pemda Utama: Depdag, Pendukung: Depkes, Deperin, BP POM Utama: Depkeu, Pendukung: Deptan, Depdag, Pemda Utama: Depdagri, Pendukung: Menko Kesra, Pemda Utama: Deptan, Pendukung:Depdagri, Pemda, Menko Kesra Utama: Bulog, Pendukung: Pemda, swasta, masyarakat Utama: Depkes, Pendukung: Deptan, Pemda, universitas

Indikator keberhasilan (output) Target pengerasan jalan desa dan jalan usahatani, dengan prioritas pada daerah lumbung pangan Meningkatnya posisi tawar petani di hadapan pengumpul dan tengkulak Berkurangnya kolusi harga antar pedagang yang merugikan petani Terjaminnya mutu produk pangan

Hilangnya retribusi memberatkan petani dan pedagang kecil. Semakin solidnya rasa saling percaya di antara masyarakat baik di perdesaan maupun di perkotaan Terintegrasinya budaya dan kearifan pangan lokal dengan pengentasan kemiskinan secara umum Berkurangnya tingkat salah-sasaran dan meningkatkanya kriteria tepat lainnya Tersedianya peta defisit dan surplus pangan di seluruh Indonesia

Meningkatkan Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan

Penguatan kelembagaan di tingkat desa untuk membantu aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pangan strategis Pengembangan pangan lokal untuk meningkatkan pendaptaan rumah tangga dan daya beli masyarakat Peningkatan efektivitas program beras untuk keluarga miskin-raskin Identifikasi secara dini dan pemantauan berkala gejala kurang pangan dan surplus pangan

59

No 7

Tujuan Kebijakan Menjaga Stabilitas Harga Pangan

Program Kegiatan Pemantauan secara mingguan dan bulanan harga pangan strategis (beras, jagung, gula, kedelai) Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyanggah untuk menjaga stabilitas harga pangan Pengembangan sistem pangadaan pangan pokok yang melibatkan lembaga usaha ekonomi pedesaan

Lembaga Relevan Utama: Depdag, Pendukung: BPS, Deptan, Pemda Utama: Depdag, Pendukung: Deptan, Bulog, Pemprov Utama: Bulog, Pendukung: Deptan, Pemda, univesitas Utama: Depkes, Pendukung: Deptan, Depdagri, Bappenas Utama: Depdagri, Pendukung: Depkes, Pemda, pemda Utama: Deptan, Pendukung: Depkes, Depdagri, Pemda, Utama: Bulog, Pendukung: Deptan, Depdagri, Depkes,

Indikator keberhasilan (output) Tersedianya data dan sebaran harga pangan strategis Siap sedianya pasokan pangan pada, terutama pada saat paceklik, gagal panen dan bencana alam Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat di tingkat desa dalam pengadaan pangan pokok Terciptanya sistem isyarat dini yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan oleh segenap lapisan masyarakat Bangkitnya kembali kelembagaan masyarakat dengan sistem monitoring sederhana yang dilakukan oleh setiap rumah tangga di seluruh Indoensia Tersedianya pangan dengan kandungan gizi seimbang yang mudah dijangkau Cepatnya penanganan gejala rawan pangan, terutama pada kantong-kantong kemiskinan di perdesaan dan perkotaan

Mencegah dan Menangani Keadaan Rawan Pangan dan Gizi.

Pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi Pemantauan secara berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga, karena gagal panen dan paceklik Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga Pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan untuk dapat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi

60

No 9

Tujuan Kebijakan Melakukan Diversifikasi Pangan

Program Kegiatan Pengembangan diversifikasi usaha melalui usahatani terpadu bidang pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dsb. Pelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati di daerah kawasan hutan Pengembanga pangan lokal sesuai dengan kekhasan daerah Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dan prinsip gizi seimbang Pengembangan teknologi pangan untuk meningkatkan nilai tambah dalam rangka diverisikasi pangan Perbaikan sistem komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) gizi

Lembaga Relevan

Indikator keberhasilan (output)

Utama: Deptan, Tersebarnya risiko gagal panen karena Pendukung:Depdagri, iklim dan cuaca serta karena fluktuasi Pemprov, Dinas2 harga yang sulit untuk diantisipasi Utama: Deptan, Pendukung: Dephut, KLH, masyarakat Teresdianya sumber pangan alternatif bagi masyarakat miskin, terutama pada kawasan hutan

Utama: Deptan, Berkembangnya pangan lokal, terutama Pendukung:Depdagri, yang memiliki sifat khas dan eksotis Pemda, masyarakat Utama: Depkes, Pendukung: Deptan, Depdagri, Pemda Berkembangnya sumber energi dan protein dari pangan alternatif yang ada

Utama: Menristek Tersedianya pangan alternatif yang dapat Pendukung: Deperin, mengurangi ketergantungan terhadap Kadin, masyarakat pangan pokok seperti beras Utama: Depkes, Meningkatnya pemahaman masyarakat Pendukung:Depdagri tentang gizi seimbang Pemda, Depkominfo Utama: Depkes, Pendukung: Deprin, Depdag, Deptan Utama: Depkes, Pendukung: POM Deprin, Deptan Utama: Depkes, Pemda, Deprin, Dep Bertambahnya pemahaman masyarakat, produsen pangan besar dan usaha kecil menengah tentang pangan bermutu dan aman bagi kesehatan Berkurangnya pangan tidak mutu dan tidak aman, dan terciptanya mekanisme penanganan dampak negatif pangan. Meningkatnya kualitas kemananan, mutu pangan, kehalanan pangan dalam sistem

10

Meningkatkan Mutu dan Keamanan Pangan

Pembinaan sistem produksi dan konsumsi pangan masyarakat agar terhindar dari cemaran biologis, kimia, dan fisik yang berbahaya. Pencegahan dini, penegakan hukum penanggulangan dampak pangan yang tidak aman. Penetapan standar keamanan dan mutu pangan, kehalalan, perdagangan pangan.

61

No 11

Tujuan Kebijakan Memfasilitasi Penelitian dan Pengembangan

Program Kegiatan Pemberian fasiltias, kemudahan, dan dukungan politis untuk penelitian dan pengembangan Alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian dan pengembangan Peningkatan kerjasama dan kemitraan antara lembaga penelitian, universitas dan sektor swasta dalam pencarian dan pengembangan inovasi penelitian

Lembaga Relevan Utama: Ristek, Pendukung: Deptan, Depkeu, universitas, swasta, masyarakat Utama: Ristek, Pendukung: Deptan, Depkeu, masyarakat Utama: Ristek, Pendukung: Deptan, Depdag, Deperin Utama: Deplu, Pendukung:Depdag, Dephan, Deptan Utama: Deplu, Pendukung:Depdag, Deptan Utama: Deplu, Pendukung:Depdag, Deptan

Indikator keberhasilan (output) Meningkatnya hasil-hasil penelitian yang dapat digunakanlangsung untuk mengembangkan produksi dan efisiensi usaha pangan Terwujudnya alokasi anggaran dana penelitian dan pengembangan bidang pangan sampai 1 persen dari PDB Semakin besarnya semangat sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penelitian dan pengembagan pangan Semakin kokohnya posisi Indonesia dalam perdagangan pangan di ASEAN, dan Asia Pasifik Bertambahnya secara signifikan jumlah atase pertanian dan perdagangan yang mampu membawa misi kepentingan nasional dalam kancah internasional Semakin dihormatinya Indonesia dalam arena perdagangan dan kerjasama ekonomi tingkat internasional

12

Melaksanakan Kerjasama Internasional

Penggalangan kerjasama ekonomi baik dalam kerangkan bilateral maupun multilateral Peningkatan jumlah atase pertanian dan perdagangan

Diplomasi ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk meningkatkan ketahanan pangan domestik

62

No 13

Tujuan Kebijakan Meningkatkan Peran Serta Masyarakat

Program Kegiatan Pemberian insentif bagi mereka yang berjasa pada pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi Peningkatan motivasi masyarakat dan kapasitas dan kelembagaan yang dapat mendukung proses pencapaian ketahanan pangan Pengembangan lembaga dan kebijakan pendukung, seperti lembaga simpan-pinjam desa dan usaha kecil menengah (UKM) serta koperasi

Lembaga Relevan Utama: Depdagri, Pendukung: Deptan Depdag, Pemda

Indikator keberhasilan (output) Semakin bergairahnya masyarakat untuk berpartisipasi membantu menanggulangi masalah pangan & gizi

Utama: Deptan, Meningkatnya motivasi dan kapasitas Pendukung:Depdagri kelembagaan masyarakat di perdesaan dan perkotaan Utama: Menkop, Pendukung: Pemda, Menko Perekonomi Kembali bangkitnya lembaga simpan pinjam desa dan semakin besarnya partisipasi UKM dan koperasi dalam penyediaan pangan

14

Mengembangkan Sumberdaya Manusia (Pangan-Pertanian)

Perbaikan program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan secara lebih komprehensif Penyusunan dan sosialisasi peraturan penyuluhan, penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan ketenagaan penyuluhan pertanian, dll Pemberian muatan pangan dan gizi pada kurikulum pendidikan di sekolah dasar dan kejuruan Peningkatan kerjasama dengan lembaga non-pemerintah (LSM) dan kelompok masyarakat lain yang peduli terhadap peningkatan sumberdaya manusia (SDM)

Utama: Deptan, Tersusunnya program pendidikan, Pendukung:Depdagri, pelatihan dan penyuluhan pangan yang Pemprov, Dinas2 lebih komprehensif; Utama: Deptan, Meningkatannya mutu, akseptabilitas Pendukung:Depdagri penyelenggaraan penyuluhan Pemprov, Dinas2 pertanian, pemberdayaan/ pendampingan kepada kelompok masyarakat petani/ nelayan Utama: Diknas Pendukung:Deptan, Depdagri, Pemda Semakin mningkatnya kesadaran masyarakat tentang pangan bermutu sejak usia dini;

Utama: Menko Kesra terciptanya suatu kerjasama sinergis Pendukung: Deptan, antara lembaga pemerintah, lembaga Depdagri, Pemda swasta, dan lembaga masyarakat yang peduli pada mutu pangan dan gizi.

63

No 15

Tujuan Kebijakan Melaksanakan Kebijakan Makro dan Perdagangan yang Kondusif

Program Kegiatan Kebijakan fiskal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian, misalnya dengan pemberian keringanan pajak bagi para pelaku usaha di bidang pertanian dan pengolahan pangan Alokasi anggaran negara dan anggaran daerah yang memadai untuk pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, melalui peningkatan kapasitas, kepedulian dan pemberian pemahaman Kebijakan proteksi perdagangan, minimal untuk empat komoditas utama dalam special products (SPs), yaitu: beras, jagung, kedelai dan tebu (plus daging) sebagaimana disampaikan secara resmi Indonesia kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan proteksi (dan promosi ini) danpat memberikan dukungan peningkatan daya saing produk strategis nasional

Lembaga Relevan Utama: Depkeu, Pendukung: BKPM, Deptan, Kadin, Depdagri, Pemprov Utama: Depkeu, Pendukung: Deptan, Kadin, Depdagri, Pemprov Utama: Depdag, Pendukung: Depkeu, Deptan, Kadin, Depdagri, Pemprov

Indikator keberhasilan (output) Semakin bergairahnya investasi usaha berbasis pangan dan pertanian, dari hulu sampai hilir

Semakin meningkatnya kesadaran para perumus kebijakan, anggota parlemen, untuk menjadikan sektor pangan dan pertanian sebagai landasan penting pembangunan ekonomi Indonesia Semakin membaiknya instrumen dan regulasi perdagangan untuk melindungi petani Indonesia dari persaingan global yang tidak menguntungkan.

64

BAB 4. PENUTUP: PENAJAMAN KEBIJAKAN Secara umum, penajaman kebijakan ketahanan pangan yang dapat mewadahi berbagai macam kepentingan yang berkembang menurut pelaku ekonomi dan segenap stakholders adalah berlandaskan falsafah dasar ketahanan pangan, bahkan kemandirian pangan, yang berdimensi ketersediaan pangan, aksesibilitas dan stabilitas harga pangan dan utilisasi pangan. Dimensi ketersediaan dapat dipenuhi dengan konsistensi strategi peningkatan produksi pangan di dalam negeri, untuk mengurangi ketergantungan kepada pangan impor, sekaligus meningkatkan kemandirian pangan dan kedaulatan bangsa. Dimensi aksesibilitas dapat dipenuhi dengan strategi kecukupan pangan (food adequacy), untuk menjamin ketersediaan dan kecukupan pangan di seluruh wilayah Indonesia, yang dapat dijangkau dan aman dikonsumsi masyarakat luas. Dimensi stabilitas dapat dipenuhi dengan pelaksanaan strategi implementasi kebijakan stabilisasi harga, baik dengan dukungan penuh anggaran negara, maupun dengan pembenahan aspek kelembagaan dari pasar pangan di dalam negeri. Penajaman kebijakan ketahanan pangan dapat ditempuh melalui berapa langkahh berikut: Pertama, memperkuat cadangan pangan pemerintah yang merupakan manifestasi dari konsep stok besi (iron stock) atau cadangan yang harus ada sepanjang waktu, terutama untuk mengatasi kondisi darurat. Di tingkat normatif, falsafah cadangan pangan ini telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Stok besi yang aman minimal setara satu bulan total konsumsi atau sekitar 300 ribu ton, sehingga diperlukan sekitar 3,6 juta ton per tahun. Selain itu, cadangan pangan pokok juga perlu disimpan dalam bentuk stok penyangga (buffer stock) untuk pengendalian gejolak harga, dalam skema operasi pasar. Perum Bulog mengelola cadangan

65

beras pemerintah (CBP) dan stok penyangga, terutama untuk menjalankan program beras untuk keluarga miskin (raskin). Apabila saat ini Bulog mampu melakukan pengadaan beras dalam negeri mencapat 2 juta ton atau lebih, hal itu adalah batas bawah tingkat aman untuk mengantisipasi gejolak peningkatan harga, terutama pada musim paceklik. Kapasitas gudang Bulog di seluruh

Indonesia mencapai 4 juta ton lebih, sehingga strategi pengadaan pangan (dari) dalam negeri hampir perlu memperoleh perhatian memadai. Kedua, memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan cadangan pangan yang bersifat pokok, walau pun tidak terbatas pada romantisasi lumbung pangan seperti pada masa lalu. Sebagian besar stok pangan di Indonesia itu dikelola masyarkat sendiri dan kalangan dunia usaha, karena kemampuan Bulog hanya 7-8 persen dari produksi beras nasional. Di satu sisi, secara administratif telah ditegaskan bahwa ketahanan pangan adalah urusan wajib bagi pemerintahan daearah (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota). Dalam hal ini kata kuncinya adalah pemerintah dan pemerintah daerah (plus masyarakat) perlu bahumembahu meningkatkan cadangan pangan, demi terciptanya ketahanan pangan, bahkan kemandirian pangan di Indonesia. Upaya pengelolaan cadangan pangan oleh pemerintah daerah dapat menjadi komplemen dari cadangan beras pemerintah (CBP) di tingkat pusat (yang dikelola Perum Bulog). Prasyarat, kriteria, dan indikator untuk mewujudkan cadangan pangan regional ini memang perlu secara rinci dirumuskan, agar meminimalisir upaya perburuan rente dari para petualang, mengurani risiko karena faktor ketidakpastian iklim, dan mengembangkan skema lindung nilai yang mampu mengurangi risiko finansial.

66

Ketiga, meningkatkan produksi dan produktivitas pangan di dalam negeri melalui aplikasi teknologi baru, yang dihasilkan melalui perjalanan panjang penelitian dan pengembangan (R and D), serta penelitian untuk pengembangan (R for D). Dunia usaha dan sektor swasta Indonesia secara umum perlu secara nyata melaksanakan kemitraaan strategis dengan peguruan tinggi dan pusat-pusat penelitian pangan, yang sebenarnya tersebut di segenap pelosok Indonesia. Hanya dengan R-and-D dan R-for-D inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Imdonesia akan meningkat berlipat-lipat. Dunia usaha dapat pula

untuk menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan diversifikasi pangan, terutama yang berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan. Diversifikasi pangan yang berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel dengan strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural heterogen. Dalam hal ini, langkah engembangan teknologi dan industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal. Keempat, menjamin kelancaran manajeman distribusi pangan pokok, maka pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus mampu menjaga stabilitas harga pangan pokok, dengan cara memperbaiki manajemen kebijakan perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Sebagaimana disinggung sebelumnya, dalam menghadapi kondisi darurat, pemerintah perlu memobilisasi cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat serta melakukan dan melibatkan industri pangan nasional. Pada kondisi tidak normal tersebut, subsidi harga pangan [dalam format Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), Sistem Kepaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan lain-lain], mungkin masih diperlukan, karena mampu menjangkau ribuan titik distribusi di segenap pelosok tanah air. Lebih penting lagi, skema subsidi pangan perlu pula dilihat sebagai investasi negara untuk memperkuat

67

jaringan distribusi program bahan pangan bersubsidi lainnya, bahkan menjadi cikal-bakal pelaksanaan food-stamp atau bantuan pangan, sekaligus untuk berkontribusi pada pembangunan sumberdaya manusia Indonesia yang lebih komprehensif. Kelima, melaksanakan strategi diversifikasi pangan secara lebih serius, untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras, yang saat ini sangat tinggi dan sering mempengaruhi tekanan permintaan terhadap beras. Falsafah dasar tentang pemenuhan pangan beragam dan gizi seimbang dapat dijadikan pintu masuk ke dalam strategi diversifikasi pangan yang berbasis tepungtepungan, yang bersumber dari pangan lokal, yang mudah sekali dijumpai di pelosok tanah air. Langkah awal dapat dimulai dengan pengembangan sumber pangan lokal, eksotik, bernilai ekonomi tinggi, mengandung protein, vitamin dan bergizi baik. Kampanye makan ikan dan minum susu akan mampu memperbaiki kecukupan protein dan vitamin, yang dapat saja mengurangi tekanan konsumsi terhadap bahan karbohidrat seperti beras yang sangat sensitif secara ekonomi dan politik. Kemudian, pengindustrian pangan lokal ini harus

memperoleh dukungan kebijakan yang memadai, mulai dari skema pembiayaan, insentif perpajakan, dan kemudahan lainnya.

68

You might also like