You are on page 1of 13

18-02-2013 Penyelenggaraan KTT G20 KTT G-20 2013: Momentum Kerjasama Strategis Indonesia-Rusia dalam Skema BRIC (Kerangka

Acuan Tema Sentral Jurnal The Global Review Quarterly edisi ketiga, Mei 2013) Penulis : Hendrajit dan Tim Riset Global Future Institute (GFI) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang rencananya akan berlangsung pada September 2013 di kota St Petersburg, Rusia, merupakan momentum yang harus dimanfaatkan oleh pemegang otorittas keuangan Indonesia, meaupun seluruh stakeholders (Pemangku Kepentingan) kebijakan luar negeri Indonesia. Bahkan bisa digunakan sebagai momentum kebangkitan politik luar negeri Indonesia melalui ranah diplomasi. Terkait hal tersebut, menarik untuk mengindentifikasi beberapa agenda strategis yang bisa dimainkan Indonesia, sekaligus membangun kerjasama strategis dengan Rusia yang kebetulan akan menjadi tuan rumah sekaligus Ketua G-20 sejak 1 Desember 2012. Kalau kita merujuk pada pernyataan Kepala Staf Kantor Kepresidenan Kremlin, Sergei Ivanov sebagaimana diberitakan tim redaksi The Global Review 27 November 2012 ada beberapa agenda strategis yang dicanangkan oleh Rusia yang kiranya Indonesia bisa menyelaraskan agendanya sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif bagi kepentingan nasional.

1. Rusia akan fokus pada pemulihan ekonomi dan keuangan global yang saat ini sedang sakit. 2. Merangsang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. 3. Menawarkan pertemuan bersama para menteri keuangan dan tenaga kerja guna menilai masalah ekonomi global dari sudut tenga kerja. 4. Menyiapkan rencana penyelenggaraan Konferensi terpisah dari para Pemimpin BRIC (Brazil, Rusia, India dan Cina), untuk membahas penguatan peran Blok dalam pembuatan kebijakan International Monetary Fund (IMF). 5. Mempertimbangkan kemanfaatan pertemuan dengan negara-negara non G-20, mengadakan konferensi dengan pemuda, masyarakat sipil, komunitas bisnis, serta serikat buruh dari komunitas anggota G-20.

Terhadap poin 4 dan 5, Global Future Institute memandang hal tersebut sebagai prioritas utama sekaligus agenda strategis yang harus dimanfaatkan dalam kerangka Kebangkitan Politik Luar Negeri RI untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di dunia internasional. Maka itu, rencana penyelenggaraan Konferensi terpisah dari para Pemimpin BRIC atas prakarsa Rusia, merupakan momentum yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk membangun kerjasama strategis baru dalam Skema persekutuan strategis ala BRIC. Untuk mengimbangi persekutuan strategis Amerika Serikat dan Eropa Barat yang tergabung dalam G-8, yang kami pandang sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia pada khususnya, dan negara-negara berkembang pada umumnya. Sebagaimana diketahui bersama, negara-negara yang tergabung dalam G-8 adalah Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Jerman, Perancis, Inggris, Italia dan Rusia. Terhadap fakta tersebut di atas, kami sependapat dengan ulasan dari pakar ekonomi Universttas Gajah Mada-Yogyakarta Dr Revrisond Bawazir. Menurut Dr Revrisond, G20 dulu sebenarnya didirikan karena Amerika dilanda krisis ekonomi. Inisiatif mendirikan G20 itu berasal dari Amerika sendiri. Amerika ingin membagi beban kesulitan ekonomi dengan negara-negara lain. Dengan demikian, gagasan didirikannya G-20 sejatinya adalah sebagai alat yang digunakan untuk menyelamatkan perekonomian G-8. Khususnya dalam hal ini, Amerika Serikat.

Kedua, juga sejalan dengan pandangan Dr Revrisond, berdirinya G-20 sama sekali tidak bisa dipandang sebagai upaya untuk mengobah tata perekonomian dunia, apalagi untuk menampung partisipasi secara lebih luas. Yang terjadi justru kebalikannya. Amerika justru membagi beban dengan negara-negara di luar G-8. Kenyataan ini, menjadi satu perkembangan yang cukup menarik dan bahkan strategis ketika pihak pemerintah Rusia sebagai Ketua G-20 telah mencanangkan akan menyelenggarakan konferensi terpisah dari para pemimpin BRIC. Ini perkembangan menarik dan strategis karena dalam estimasi Global Future Institute, negara-negara yang tergabung dalam BRIC, bukan saja memiliki aspirasi tertentu, bahkan punya sebuah skema tersendiri untuk ikut mempengaruhi perkembangan ekonomi dunia, di luar skema dari persektuan strategis AS dan negara-negara yang tergabung dalam G-8. Indonesia Harus Pertimbangkan Kerjasama Strategis ala BRIC Satu fakta menarik yang harus kita ketahui bersama, adanya blok ekonomi BRIC yang dimotori oleh Rusia dan Cina, pada hakekatnya merupakan derivasi dari sebuah kerjasama strategis yang ditandatangani oleh Rusia dan Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 2001. Kesepakatan kedua negara inilah yang pada perkembangannya mengilhami negara-negara berkembang seperti Brazil dan India untuk memanfaatkan momentum kerjasama dengan dua negara yang sejak era Perang Dingin hingga saat ini, merupakan dua negara adidaya yang dipandang sebagai saingan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat dan Jepang. Lalu bagaimana Indonesia harus bersikap menghadapi adanya dua blok kepentingan di dalam tubuh G-20 tersebut? Kalau kita merujuk pada semangat Dasa Sila Bandung pada Konferensi Asia-Afrika April 1955 maupun Konferensi Gerakan Non Blok pada 1961, maka sudah seharusnya Indonesia mengambil posisis memihak pada kepentingan strategis negara-negara berkembang, seperti sudah dipertunjukkan oleh Brazil dan India dalam kerangka kerjasama BRIC bersama Rusia dan Cina. Indonesia sudah saatnya mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh untuk menciptakan format persekutuan ekonomi negara-negara berkembang dengan merujuk pada model ala BRIC, atau setidak-tidaknya bergabung dan membangun kerjasama strategis bersama-sama negara-negara yang tergabung dalam BRIC, seperti yang sekarang sudah dilakukan oleh Korea Selatan. Dengan demikian, kerjasmaa strategis yang dibangun dengan Rusia maupun Cina, didasarkan pada gagasan untuk memperkuat peran dan posisi strategis negara-negara berkembang di forum-forum ekonomi multilateral seperti G-20. Harus diakui inilah aspek krusial dari penyikapan Indonesia di G-20. Seperti yang dinyatakan oleh Dr Revrisond, ketika terjadi konflik antara AS versus Cina misalnya, atau ketika terjadi konflik kepentingan antara negara-negara yang tergabung dalam G-8 versus BRIC, Indonesia justru menjadi instrument bagi kepentingan G-8 untuk melobi negara-negara BRIC. Menyadari kenyataan ini, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri dari semua kementerian terkait, sudah saatnya mengeluarkan kebijakan luar negeri yang bertumpu pada kedaulatan dan kemandirian sebagaimana tercermin dalam azas politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Terlepas format yang paling pas nantinya apakah dengan membentuk blok ekonomi tersendiri bersama-sama beberapa negara berkembang tertentu ala BRIC atau untuk sementara menyatukan aspirasi bersama dengan negara-negara yang tergabung dalam BRIC, namun kedua opsi tersebut harus menyeleraskan diri dalam kerangka kerjasama strategis dengan Rusia dan Cina. Karena kedua negara tersebut dalam berbagai kesempatan secara terbuka membuka diri terhadap berbagai kerjasama strategis dengan negara-negara berkembang seperti yang pernah ditawarkan oleh Rusia untuk membantu negara-negara berkembang dalam bidang alih teknologi pada waktu

diselenggarakan Konferensi APEC Business Advisory Council (ABAC) tahun lalu. Atau kerjasama Cina-Indonesia dalam pengembangan Industri Pertahanan Strategis. Khususnya dengan Rusia, mengingat kenyataan bahwa saat ini Rusia merupakan Ketua G-20 dan sekaligus anggota G-8 yang memprakarsai kerjasama strategis dengan negara-negara berkembang di luar kerangka G-8, barang tentu Indonesia harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan seksama sebuah kerjasama strategis ala BRIC yang dimotori oleh Rusia. Terkait hal tersebut, menarik menyimak sebuah artikel yang ditulis oleh Maria Monica Wihardja. Dalam artikelnya yang bertajuk Indonesia and Russias Presidency of G-20, mengidentifikasi beberapa isu yang kiranya bisa menjadi dasar kerjasama strategis Indonesia dan Rusia dalam kerangka G-20 (baca: www.eastasiaforum.org). Menurut Monica yang juga merupaka staf peneliti CSIS tersebut, Indonesia dan Rusia keduanya bergantung pada ekspor bahan mentah. Kedua negara juga pernah berhutang pada IMF dan sudah melunasi hutang-hutangnya. Bahkan kedua negara ini sudah menjadi negara peminjam (Pada dua hal ini, kami dari GFI memandang ini masih kontroversial). Namun kenyataan bahwa kedua negara merupakan eksportir bahan mentah, kami sependapat sepenuhnya. Dan harus jadi titik tolak dalam mempertimbangkan sebuah kerjasama strategis baik secara bilateral maupun dalam kerangka kerjasama ala BRIC. Monica juga beranggapan bahwa kedua negara menaruh prioritas utama pada Pembangunan Infrastruktur dan Konektivitas. Kalau Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan program Master Plan Percepatan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di beberapa koridor provinsi di Indonesia, Rusia juga sedang giat-giatnya melaksanakan program investasi yang didukung pemerintah dalam rangka mendukung Pembangunan Sosial-Ekonomi di kawasan Timur Jauh Rusia (The Siberian Rusian Far East). Sebuah daerah yang selama ini diabaikan, namun saat ini disadari betul oleh pemerintah Rusia sebagai Pintu Masuk menuju kawasan Asia Pasifik. Dan lebih daripada itu, memiliki cadangan minyak dan gas alam yang terbesar di dunia. Seperti yang jadi pokok bahasan GFI tentang kesiapan keketuaan Indonesia dalam APEC 2013 di Bali Oktober mendatang, para pemegang otoritas perekonomian dan kebijakan luar negeri harus menyerap inspirasi dari Rusia, karena melalui program Siberian Russian Far East tersebut, telah berencana untuk menciptakan integrasi regional melalui terbangunnya sistem transportasi yang bisa menghubungkan antara kawasan Timur Jauh Rusia dengan kawasan Eropa. Selain itu, Rusia telah mampu memberi insentif untuk membangun infrastruktur dalam rangka menggalakkan persaingan. Seperti juga Indonesia, Rusia juga mengalami hambatan institusional (kelembagaan) dan regulasi, sehingga menghambat upaya Pembangunan Infrastruktur. Yang paling strategis dari sudut pandang Geopolitik/Geostrategi, Rusia punya minat dan ketertarikan yang semakin besar dengan kawasan Asia Pasifik. Dalam beberapa dekade terakhir, Rusia telah ikut serta dengan negara-negara tetangga di Asia Pasifik, membangun kerjasama multi-lateral dan integrasi ekonomi. Ini jelas merupakan bukti nyata adanya program kegiatan lintas perbatasan (cross border project) dengan mitra strategis dari negara-negara di kawasan Asia. Seperti proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Moskow dengan kawasan Timur Jauh Rusia dan Laut Jepang (Sea of Japan). Yang menembus juga Cina dan Korea Utara melalui rel kereta kereta api lintas perbatasan Korea (Inter-Korean Railway). Bukan itu saja. Rusia baru-baru ini juga menyetujui rencana eksplorasi pipa gas melalui Korea Utara, yang bertujuan untuk memasok gas Rusia ke Korea Selatan. Melalui serangkaian proyek lintas perbatasan ini, bisa dipastikan akan semakin meningkatkan nilai strategis Rusia secara geopolitik di kawasan Asia Pasifik. Karenanya sungguh sulit dimengerti dan amat disayangkan jika Indonesia tidak memanfaatkan nilai strategis Rusia di kawasan Asia Pasifik untuk kepentingan nasional Indoensia, khususnya dalam bidang ekonomi

dan perdagangan. Beberapa Agenda Strategis Kerjasama Indonesia-Rusia dalam Kerangka G-20: 1. Agenda Keuangan. Baik Indonesia dan Rusia, sama sama negara yang berusaha bangkit dari keterpurukan, yang keduanya harus memainkan peran aktif dalam perumusan regulasi baru keuangan global yang di luar kendali dan skema IMF dan Bank Dunia. 2. Indonesia dan Rusia bersama-sama memperjuangkan agenda reformasi IMF yang memperkuat posisi negara-negara berkembang, termasuk berjuang memasukkan agenda bantuan keuangan bagi pembangunan infrastruktur, dan pembangunan lintas perbatasan atas dasar upaya membangun konektivitas antar wilayah dan kawasan. 3. Dalam masa kepemimpinan Rusia di G-20, Indonesia punya peluang besar untuk mendorong dimasukkannnya agenda investasi pembangunan infrastruktur, meski akan menghadapi penolakan dari beberapa negara anggota G-30 dari kawasan Eropa. 4. Indonesia harus memandang investasi pembangunan infrastruktur dengan menyerap insipirasi dari Rusia terkait proyek lintas perbatasan yang menghubungkan Timur dan Barat sebagai upaya membangun dampak positif bagi konektivitas berskala global. Sekaligus dalam kerangka terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kuat dan seimbang. 5. Indonesia juga harus menyelaraskan kerjasama strategisnya dengan Rusia di bidang Food Energy dan Security (Ketahanan Energi dan Pangan). Seperti kita tahu, Rusia punya pengaruh besar dalam mempengaruhi ketahanan energy mengingat kemampuannya sebagai negara pengekspor gas, dan bahkan termasuk negara penghasil minyak. Alhasil, meski tidak termasuk anggota negara pengekspor minyak (OPEC), Rusia punya pengaruh dalam ikut menentukan harga minyak mentah dunia. Rusia juga punya kekuatan sebagai negara pemasok minyak dan gas, sehingga mampu ikut menentukan stabilitas harga energi. Belum lagi Rusia termasuk negara pengekspor daging terbesar ketiga di dunia. Sehingga Rusia juga patut diperhitungkan sebagai negara pemasok pangan global yang cukup signifikan. Selain itu Rusia punya kapasitas sebagai pengekspor produk-produk makanan. Semua itu menjadikan Rusia sebagai kekuatan yang unggul di bidang pangan dan energi. 6. Dan di atas semua itu, Indonesia harus mampu memastikan Rusia untuk tetap berkomitmen mendukung pembangunan agar dijadikan agenda strategis di forum G-20. Karena meski Rusia tidak lagi termasuk negara berkembang, namun praktis masih menghadapi bebrapa hambatan yang sama dengan Indonesia maupun beberpaa negara berkembang, terkait beberapa isu pembangunan ekonomi dan keuangan. 7. Selain itu, Indonesia dan Rusia juga menghadapi lemahnya regulasi, infrastruktur yang tidak memadai, dan praktek korupsi yang cukup parah. 8. Indonesia juga harus memastikan agar Rusia ikut mendukung disuarakannyaincome disparity (kesenjangan pendapatan). 9. Yang Indonesia harus sadari juga, Rusia saat ini merupakan pintu masuk yang menghubungkan Eropa dan Asia. Sehingga harus secepatnya mengupayakan kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua negara.

Kerja Sama Pertahanan Indonesia dengan Negara Negara Asia Pasifik Paska Embargo AS Indonesia sebagai salah satu Negara besar dan memiliki letak strategis di wilayah asia pasifik memiliki andil menjaga stabilitas kawasan. Sebagai Negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang ke empat di dunia dan memiliki lebih dari 17.480 maka Indonesia sebgai Negara kepulauan harus siap menjaga wilayahnya dari segala bentuk ancaman keamanan baik yang berasal dari luar maupun dalam. Wilayah Indonesia sendiri terbentang dari 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur, serta terletak di antara benua Asia dan Australia, dan terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Jika melihat posisi Indonesia scara geopolitik kita dapat melihat betapa strategisnya wilayah Indonesia saat ini baik dari segi jalur perdagangan Internasional dan Sumber Daya Alam, dimana salah satu jalur perdagangan internasional tersibuk di dunia ada di selat malaka yang merupakan wilayah dari NKRI dan masih ada beberapa selat lainnya yang juga menjadi jalur pelayaran internasional. Tentunya untuk mengamankan wilayah, angkatan bersenjata Indonesia harus memiliki sumber daya yang cukup mulai dari kualitas dan kuantitas alutsista yang memadai untuk menjaga wilayah Indonesia yang sangat luas di kawasan Asia Pasifik, dimana Asia Pasifik sendiri merupakan kawasan yang masih memiliki konflik antar Negara di dalamnya dan secara tidak langsung dapat memberikan anacaman bagi Indonesia. Asia pasifik sendiri merupakan sebutan bagi wilayah yang di isi oleh Negara Negara Asia yang wilayahnya berada di Samudera Pasifik serta beberapa Negara non Asia seperti Rusia, Amerika Serikat, Canada, Mexico, Peru, Chili, Australia, New Zealand, Rusia, dan beberapa Negara Oceania. Secara konteks Geografis Negara Asia Pasifik merupakan Negara Negara yang terletak di sekeliling lingkar luar pasifik (pacific rim) yang membujur dari Oceania, hingga ke Rusia, dan turun kebawah sepanjang pantai barat Amerika. Wilayah ini menjadi penting karena terdapat banyak kepentingan di beberapa wilayahnya, khususnya wilayah laut dimana sesama Negara Asia Pasifik saling klaim wilayah laut seperti yang terjadi pada laut China Selatan dan memicu ketegangan di kawasan Asia Pasifik. Berkaca pada teori Daerah Jantung yang di gagas oleh Sir Halford Mackinder yang berbunyi siapa pun yang menguasai Heartland maka ia akan menguasai World Island maka pantas saja beberapa Negara memperebutkan wilayah Laut China Selatan ini karena menjadi salah satu jalur pelayaran internasional yang penting dan simpanan migas yang ada di perut bumi laut China selatan. Selain konflik Laut China Selatan masih banyak konflik militer sesama Negara kawasan Asia Pasisik yang dapat mengganggu stabilitas keamanan kawasan, seperti konflik perbatasan Kamboja dan Thailand, belum lagi permasalahan Indonesia dan Malaysia yang telah ada sejak Orde Lama. Oleh karena itu Indonesia harus mampu untuk mengatasi semua itu. Menurut Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia, jika melihat potensi ancaman yang bersifat militer dari Negara luar sangatlah kecil meskipun tetap ada. Ancaman yang ada dari luar bagi Indonesia lebih bersifat non militer seperti kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh aktor aktor non-negara, seperti penyeludupan senjata, pencurian sumber daya alam dan berbagai macam perbuatan illegal lainnya. Melihat potensi ancaman dari dalam dapat disimpulkan menjadi beberapa ancaman berikut ini : Terorisme internasional yang memiliki jaringan lintas negara dan timbul di dalam negeri. Gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Aksi radikalisme yang berlatar belakang primordial etnis, ras dan agama serta ideologi di luar Pancasila, baik berdiri sendiri maupun memiliki keterkaitan dengan kekuatan-kekuatan di luar negeri.

Konflik komunal, kendatipun bersumber pada masalah sosial ekonomi, namun dapat berkembang menjadi konflik antar suku, agama maupun ras/keturunan dalam skala yang luas. Gangguan keamanan udara seperti pembajakan udara, pelanggaran wilayah udara, dan terorisme melalui sarana transportasi udara. Perusakan lingkungan seperti pembakaran hutan, perambahan hutan ilegal, pembuangan limbah bahan beracun dan berbahaya. Bencana alam dan dampaknya terhadap keselamatan banga.

Dalam masalah pertahanan dan keamanan terutama di bidang pertahanan Indonesia pernah memiliki pengalaman pahit ketika di jatuhi sanksi embargo oleh Amerika Serikat di bidang militer, dimana Amerika Serikat menghentikan segala bentuk kerja sama militer dengan Indonesia termasuk menghentkan program kerja sama pembinaan perwira militer Indonesia, tidak sampai disitu penjualan suku cadang alutsista pun di hentikan. Dalam masa embargo militer penuh oleh Amerika Serikat, pemenuhan kebutuhan alutsista TNI mengalami kendala diantaranya peremajaan alustsista yang bersifat strategis seperti pesawat pesawat temput dan angkut TNI menjadi tidak maksimal penggunaannya dan harus membeli spare part dari Negara lain sebagai solusi. Melihat potensi ancaman yang ada di wilayah Asia Pasifik, baik yang berasal dari luar dan dalam, serta ancaman yang berasal dari militer maupun non militer maka Indonesia harus di tuntut untuk mampu mencegah potensi potensi ancaman tersebut terjadi. Jika melihat perkasus maka bentuk ancaman dari luar dapat di artikan sebagai ancaman yang berasal dari Negara lain, misalnya seperti pelanggaran batas wilayah Negara, pencurian Sumber Daya Alam, bahkan ancaman agresi militer dari Negara lain terhadap Indonesia tetap ada meski kemungkinannya sangat kecil karena sudah meningkatnya peran diplomasi luar negeri Indonesia, peran PBB juga menjadi penting dalam mencegah masalah tersebut, selain faktor tersebut opini Internasional terhadap Indonesia cenderung membaik karena itu pentingn berbicara menjaga citra dalam politik internasional. Dengan melihat paparan di atas, terjadi berbagai dinamika keamanan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan isu separatisme dan pelanggaran HAM yang menjadi akar kebijakan embargo penuh Amerika Serikat terhadap kerja sama militer dengan Indonesia. Masa ini merupakan masa masa yang cukup menyulitkan bagi militer Indonesia khususnya TNI AU, dimana Alutsista yang ada banyak berasal dari Amerika Serikat Seperti Pesawat Hercules yang menjadi alutsista stratergis di milter Indonesia menjadi tidak layak terbang karena tidak mendapat pasokan suku cadang dari Lockheed Martin yang berbasis di Amerika Serikat, selain itu banyak Alutsista lain yang terkena dampak ialah F-16 A/B yang menjadi tulang punggung fighter TNI AU tdak maksimal penggunaannya. Selain itdak mendapat pasokan suku cadang alutsista yang sudah mengalami proses peremajaan juga tertahan di beberapa Negara seperti satu pesawat F-5 Tiger di Amerika Serikat dan suku cadangnya ada yang tertinggal di Malaysia, Singapura, Belgia. Walaupun pesaawat Hawk 19 dan Hawk 209 buatan Inggris namun tetap saja pesawat ini terkena imbas embargo Amerika Serikat karena mesin yang di gunakan buatan AS, tidak sampai disitu pesawat lainnya yakni A4-Skyhawk yang kini bisa kita temui di museum Lanud Adisucipto pun sempat tertahan di Selandia Baru dan Korea Selatan. Tidak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk yang kedua kalinya, pemerintah Indonesia mengambi langkah strategis dalam hal pengadaan alustsista, diantaranya menjalin kerja sama dengan Negara di kawasan asia pasifik lainnya selain Amerika Serikat, seperti Rusia. Periodisasi kerja sama ini dapat di bagi menjadi 2 periode, yaitu: masa embargo dan pasca embargo. Pasca di embargo penuh oleh Amerika serikat dari sisi International Military Education and Training (IMET), Foreign Military Sales (FMS), Foreign Military Financing (FMF), pemerintah Indonesia seolah tidak ingin mengulang kesalahan untuk ke dua kalinya dimana, Pemerintah Indonesia memperluas kerja sama militernya ke beberapa Negara terutama di Asia Pasifik diantaranya Rusia,

Korea Selatan, China, dan Amerika Serikat sendiri. Kebijakan strategis itu dimulai dengan pengadaan berbagai macam jenis alustsista untuk TNI. Hal itu di iringi dengan pembenahan yang di lakukan terhadap TNI yang di anggap Amerika Serikat sdan sekutunya sebagai pelanggar HAM dan tidak mengizinkan Indonesia untuk menggunakan alutsista asal Amerika Serikat dan menghentikan semua aktifitas pendidikan militer bagi TNI. Pembenahan itu dilakukan dengan melakukan refrormasi di Tubuh TNI seperti adanya komitmen untuk menjunjung tinggi nilai nilai HAM. Hal itu di nilai penting karena untuk membangun kembali citra tentara Indonesia yang kerap di anggap pelanggar HAM oleh Negara lain khususnya Amerika Serikat. Berbagai kerja sama strategis yang dilakukan Indonesia pasca Embargo oleh Amerika Serikat adalah sebagai berikut: -Rusia Kerja sama pertahanan Indonesia dengan Rusia memang bukan cerita baru, dimana sejak zaman operasi Trikora untuk merebut kembali Irian Barat Rusia yang kala itu bernaman Uni Soviet banyak membantu Indonesia dalam memberikan dukungan persenjataan untuk menghadapi Belanda. Kembali ke bahasan sebelumnya, dengan melihat dampak embargo yang cukup signifikan maka pemerintah Indonesia pada tahun 2003 mendatangkan pesawat Sukhoi multirole sebagai pesawat interceptor dan superioritas udara masing masing 2 unit SU-27 SKM dan SU-30MK2 dengan total 4 unit, secara bertahap pada tahun 2009 sampai 2010 tiba 3 unit Su-27 SKM dan 3 unit SU-30 MK2 dan di proyeksikan untuk menjadi 1 Skuadron penuh yang berlokasi di Skuadron 11 Lanud Sultan Hasanudin Makasar pada tahun 2012. Selain Pesawat tempur untuk TNI AU, Pemerintah Indonesia juga menyuplai beberapa peralatan tempur untuk matra laut yakni pemerintah Indonesia membeli rudal Yakhont untung mempersenjatai frigate Perusak Kawal Rudal Ahmad Yani Class yakni KRI Oswal Siahaan (354). Untuk jenis Ranpur atau Kendaraan Tempur Indonesia telah mendatangkan BMP-3F sejumlah 17 unit yang rencananya akan bertambah 37 unit secara bertahap dan dimulai pada tahun 2012 sehingga mencapai jumlah 54 unit, nilai kontrak pengadaan tank terberat yang dimiliki militer Indonesia saat ini mencapai 100 juta dolar Amerika, pengadaan ini bertujuan untuk melengkapi alutsista Marinir TNI AL karena kendaraan angkut personel yang ada dinilai sudah usang. Sebelumnya Marinir sudah menggunakan beberapa ranpur Rusia seperti PT-76 yang sudah ada sejak zaman operasi Trikora, selain operasi Trikora tank ringan milik Korps Marinir ini juga tela terlibat dalam banyak operasi yang melibatkan Korps Marinir TNI AL diantaranya operasi di Timtim dan operasi militer di Aceh. Rusia seolah menjadi kawan baik Indonesia dalam hal kerja sama militer, dimana pemerintah Rusia telah berkomintmen untuk tidak ikut campur dalam segala permasalahan dalam negeri Indonesia yang melibatkan alutsista dari Rusia. Rusia memandang Indonesia sebagai mitra penting untuk membangun kemitraan strategis. Oleh karena itu pemilihan Rusia sebagai mitra strategis dalam kerja sama keamanan menjadi pilihan yang tepat bagi Indonesia, bagaimanapun juga Indonesia memiliki kedaulatan mutlak terhadap kebijakan yang dibuat tanpa perlu ada intervensi Negara lain. - Korea Selatan Korea Selatan menjadi salah satu produsen langganan TNI, itu sejalan dengan kebijakan Indonesia untuk menghindari ketergantungan dari satu produsen senjata saja, alutsista asal Korea laris manis berdatangan ke tanah air. Militer Indonesia menjadikan Korea sebagai sumber pasokan alutsista yang cukup strategis, dimana Korea sebagai salah satu Negara Asia Pasifik yang tumbuh menjadi Negara dengan ekonomi yang tinggi dan seiring dengan itu pertumbuhan teknologi di Korea semakin mendunia. Tidak salah bagi Militer Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan Korea dalam hal pengadaan alutsista karena kecenderungan yang terjadi selama ini ialah Korea selalu menyertakan ToT atau Transfer of Technology dalam bidang industry pertahanan kepada Indonesia. Alih teknologi yang di dapatkan dari Korea sangat bermanfaat bagi perkembangan industri pertahanan

Indonesia, dimana dengan banyak belajar dari negeri ginseng tersebut secara perlahan dan bertahap Indonesia bukan tidak mungkin dapat mewujudkan industry pertahanan yang mandiri. Hal ini pula yang menjadi penekanan DPR-RI, anggota parlemen mensyaratkan TNI harus memprioritaskan penggunaan alutsista dalam negeri untuk, sebagai rewardnya DPR akan meningkatakan anggaran pertahanan. Agaknya dengan melakukan kerja sama dengan menyertakan alih teknologi menjadi strategi yang tepat untuk mencapai kemandirian di bidang alutsista. Alutsista yang datang dari Korea Selatan sangat beragam mulai dari senapan smpai kapal selam. Kerja sama militer Indonesia dengan Korea Selatan bermula dari pembelian KT-1B Woong Bee yang menjadi pesawat latih bagi para penerbang TNI AU, tercatat dalam periode tahun 2003 sampai 2008 TNI AU mengoperasikan sebanyak 12 Pesawat latih KT-1B Woong Bee yang di beli dari KAI (Korean Aerospace Industries). Kerja sama terus berlangsung, sesuai dengan kecenderungan tingkah laku Negara dalam politik internasional dimana teknik diplomasi memberi hadiah diperankan oleh korea, pada tahun 2009 Korea Selatan memberikan hibah 10 unit kendaraan tempur amphibi angkut personel LVTP-7A1. Kemitraan strategis yang di tawarkan Korea Selatan kepada Indonesia dengan tujuan memperkuat hubungan bilateral kedua Negara dalam bidang militer berlanjut, pada tahun 2003 Indonesia membeli Kapal Rumah Sakit yang berjenis Landing Platform Dock KRI dr.Soeharso (990) dari Daesun Shipbuildings & Engineering Co. Ltd, Korea Selatan. Kerja sama pengadaan kapal berjenis LPD terus berlanjut dimana 4 kapal LPD Makasar Class di pesan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan TNI AL dalam hal angkut kendaraan amphibi dan personel, 2 Kapal LPD Makassar Class ini di buat di galangan kapal Daesun Shipbuildings & Engineering Co. Ltd, yakni KRI Makassar (590) dan KRI Surabaya (591), sedangkan dua lainnya yaitu KRI Banjarmasin (592) dan KRI Banda Aceh (593) di buat di PT. PAL Indonesia di bawah pengawasan Daesun Shipbuildings & Engineering Co. Ltd, Korea. Pengadaan Alutsista untuk matra laut terus di tingkatkan oleh Indonesia dengan mengadakan tender pengadaan 3 unit kapal selam, dimana dalam tender tersebut melibatakan Perusahaan Korea Selatan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co. perusahaan dari Perancis dan Rusia. Tender kapal selam ini pun dimenangkan oleh Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co. dengan nilai kontrak US$1,08 miliar dan merupakan kontrak terbesar penjualan senjata Korea Selatan. Sebelumnya 2 kapal selam Indonesia yakni KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402 juga di overhaul di DSME (Daewoo Shipbuilding & Marine Engineerin).Dari Kedua pesaingnya Korea memenangi kontrak 3 buah kapal selam TNI AL, dimana nilai lebih yang ditawarkan Korea Selatan adalah alih teknologi yang memungkinkan kapal selam pertama dibuat di Korea Selatan dan selanjutnya 2 kapal selam di buat di PT. PAL Indonesia. kemenangan tender DSME ini mengalahkan pesaing yang santer di anggap akan menjadi kapal selam Indonesia yakni kapal selam kelas Kilo Project 636/Varshavyanka buatan Rusia, namun semua itu kalah oleh Changbogo Class dari Korea, dimana DSME mendapat dukungan penuh dari pemerintah Korea Selatan yang turun langsung dalam melakukan diplomasi dan menjadi sales Changbogo Class ini. Kerja sama militer Indonesia dan Korea Selatantidak terlepas dari hubungan baik antara kedua pemimpin Negara, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak dan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memiliki peran yang besar dalam pembelian pesawat latih kecepatan super sonik T-50 Golden Eagle buatan KAI ini. Selain sebagai pesawat latih untuk menggantikan Hawk MK-53, pesawat ini juga dapat berperan sebagai pesawat serang ringan dan dapat di persenjatai dengan berbagai senjata diantaranya untuk serangan rudal udara ke udara dapat di persenjatai dengan AIM-9 / ACMI 2 kaki dan AIM-9L (rudal jarak pendek) sedangkan untuk serangan rudal udara ke darat dapat di persenjatai dengan AGM-65 g Maverick. Untuk memenuhi kebutuhan pesawat tempur sebagai salah satu unsur strategis dalam Angkatan Udara pemerintah Indonesia sepakat melakukan kerja sama dalam pengembangan pesawat generasi 4,5 yang di beri nama KFX/IFX. Dalam kesepakatan ini pemerintah Korea Selatan menanggung 60% pembiayaan, kemudian KAI 20% dan Indonesia 20%, sebagai imbalan para ahli Indonesia dari PT.

Dirgantara Imdonesia dilibatkan dalam pengembangan pesawat ini yang diproyeksikan akan terbang pada tahun 2020. Indonesia akan mendapatkan 50 unit pesawat KFX ini dan menjadi mitra Korea Selatan dalam memasarkan produk ini di dunia Internasional. Optimisme pihak Korea Selatan terhadap proyek ini sangat tinggi, dimana Korea Selatan mengklaim teknologi pesawat ini lebih unggul dibanding dengan F-16 block 52. Apabila program ini terwujud sesuai dengan harapan maka merupakan tahap awal menuju kemandirian alutsista di bidang pesawat tempur bagi Indonesia. - China Kerja sama dalam bidang militer China dan Indonesia tidak hanya pada bidang pengadaan alutsista namun menyentuh level ke pembuatan nota kesepahaman dan pembuatan forum konsultasi, pada tahun 2006 Indonesia dan China sepakat membuat forum konsultasi bersama yang pertama kali di adakan di Jakarta dan forum konsultasi ke dua dilaksanakan di Beijing pada tahun 2007. Forum konsultasi ini bertujuan untuk meningkatakan hubungan kerja sama pertahanan antar dua Negara, hal itu di wujudkan dalam penandatanganan DCA (Defence Cooperation Agreement) . Kerja sama itu di wujud nyatakan dengan melakukan berbagai kerja sama di bidang pengadaan alutsista dan pendidikan militer bagi ke dua Negara. Bentuk kerja sama pengadaan alustsista bagi TNI ialah dengan mendatangkan alutsista buatan China dimana kecenderungan yang ada pemerintah Indonesia membeli alutsista jenis peluru kendali dari negeri Tiongkok tersebut. Berikut ini merupakan jenis jenis rudal yang di beli oleh Indonesia dari China berupa 3 unit rudal anti-kapal C-802 dipasang di kapal patroli jenis PB-57, 130 unit rudal panggul anti-pesawat udara QW-3 digunakan TNI di Lebanon, diterima 2006-2007, 80 unit rudal rudal panggul anti-pesawat udara QW-3 untuk sistem pertahanan udara TD-200B diterima 2009, 15 unit rudal panggul anti-pesawat udara QW-3 diterima 2010, Rudal anti-kapal C-802 akan dipasang di kapal patroli jenis PB-57 (Todak) dan frigate kelas Ahmad Yani dengan nilai kontrak belum diketahui, dan yang terbaru ialah 200 unit rudal antikapal C-705 untuk KCR-40, dipesan 2011. Salah satu yang istimewa dari kerja sama di pertahanan dengan China khususnya dalam pembelian rudal ialah Indonesia sepakat membeli Rudal anti kapal C-705 dari China, kerja sama ini menjadi istimewa karena kedua Negara bersepakat menjalin kerja sama alih teknologi untuk rudal jenis ini. Alih teknologi ini berbentuk joint production, dimana Indonesia di harapkan mampu untuk memproduksi rudal ini di dalam negeri serta mengembangkannya agar terjadi peningkatan kualitas. China dan Indonesia tidak terkait dalam MTCR (Missile Technology Control Regime) yang melarang perpindahan atau alih teknologi yang berkaitan dengan platform tanpa awak yang mampu membawa muatan 500kg dalam jarak 300km, sehingga untuk kedepannya kerja sama kedua Negara ini bisa di lanjutkan untuk platform yang lebih jauh dan dengan ukuran lebih besar seperti C-803 bahkan C-805 yang berjangkauan 500km. - Amerika Serikat Dengan berakhirnya embargo militer yang di jatuhkan Amerika Serika terhadap Indonesia di tandai dengan pengumuman yang di lakukan oleh Juru bicara departemen luar negeri Amerika Serikat Richard Boucher pada tahun 2005 yang menyatakan pemerintah Amerika Serikat akan mencabut semua embargo militer terhadap Indonesia dan melakukan normalisasi hubungan kerja sama dalam bidang keamanan dimana Amerika Serikat akan membuga kembali perdagangan Alustsista kepada Indonesisa dengan syarat para anggota militer yang terlibat harus di hukum. Alasan lain pembukaan hubungan militer ini ialah pemerintah Amerika menganggap Indonesia merupakan mitra penting untuk melakukan perang terhdap terorisme yang menjadi salah satu fokus kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada waktu itu. Di bukanya kembali hubungan kerja sama Alustsista Amerika dan Indonesia dimulai dengan pada tahun 2006 pengembalian satu unit pesawat tempur F-5 Tiger TNI AU yang sempat tertahan di Amerika Serikat untuk di modernisasi. Kerja sama terus berlanjut dalam proses normalisasi, sebelum

pencabutan embargo ini Amerika Serikat sudah memberikan 16 unit radar tempur AN/APG untuk 16 Hawk 209 milik TNI AU pada tahun 1999 sampai 2007 namun sempat terhenti pula oleh embargo yang di jatuhkan. Kerja sama dalam bidang alutsista dengan Amerika Serikat cenderung lancar ketika Presiden Republik Indonesia di jabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono dimana Indonesia dan Amerika sepakat untuk mengadakan suatu kemitraan komperhensif yang di usulkan oleh Presiden Yudhoyono pada tahun 2008 dan terwujud pada tahun 2011, salah satu isi pilar kemitraan komperhensif tersebut ialah komitmen kerja sama dalam waktu yang panjang dalam bidang politik dan keamanan. Di dalam bidang pertahanan kerja sama tersebut terwujud berupa Amerika Serikat menjual 27 unit helicopter angkut taktis Bell-412EP yang dirakit di PT. Dirgantara Indonesia dan diterima mulai tahhun 2012. Tidak sampai disana pemerintah Amaerika Serikat juga menawarkan Hibah 24 unit F-16 C yang di upgrade menjadi block 32 untuk melengkapi pesawat tempur veteran Indonesia yang telah ada saat ini. Program hibah F-16 ini penting mengingat kondisi F-16 TNI AU yang ada saat ini spesifikasinya di bawah pesawat hibah yang akan di modernisasi ini yakni TNI baru memiliki 10 unit F-16 A/B block 15 yang di beli pada tahun 1986, biaya modernisasi ini di perkirakan berada di kisaran 760 juta dolar AS. Kesimpulan Kebijakan kerja sama militer Indonesia pasca embargo oleh Amerika Serika ialah melakukan kerja sama dengan lebih dari satu Negara Negara di Asia Pasifik, kerja sama ini guna menghindari produsen tunggal dalam pengadaan alutsista, terlebih apabila produsen tunggal terebut melakukan embargo maka penggunaan alutsista tidak akan maksimal. Kebijakan kerja sama militer Indonesia dengan Negara selain Amerika Serikat juga bertujuan untuk menghindari intervensi Negara luar terhadap kebijakan Indonesia seperti yang pernah terjadi dengan Amerika terhadap Indonesia. Kerja sama dengan Negara berkembang seperti China dan Korea menciptakan transfer teknologi di antara Negara Negara berkembang agar tidak terus menerus tergantung dengan Negara lain, serta kerja sama pertahanan dengan Negara sekawasan dapat meningkatkan kerja sama pertahanan dalam meningkatkan stabiitas kawasan.

Refleksi Penyeleggaraan Pertahanan Pertahanan negara adalah merupakan upaya yang dilakukan yang bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Sistem pertahanan yang bersifat semesta ini senantiasa melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumberdaya nasional serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut. Untuk mewujudkan penyelenggaraan pertahanan negara tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mengamanatkan agar dirumuskan suatu kebijakan umum pertahanan negara. Berdasarkan kebijakan umum pertahanan negara tersebut Menteri Pertahanan yang ditugaskan Presiden untuk menyelenggarakan fungsi pertahanan menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara dan juga menyusun buku putih pertahanan. Menteri Pertahanan juga menetapkan kebijakan kerjasama bilateral, regional, dan internasional di bidangnya, merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan komponen pertahanan lainnya, menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan,

pengelolaan sumberdaya nasional serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI dan komponen kekuatan pertahanan lainnya, serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumberdaya nasional untuk kepentingan pertahanan negara. Penyelenggaraan fungsi pertahanan negara pada tahun 2012 telah banyak kemajuan yang dicapai, antara lain dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran RI dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 20012 tentang Industri Pertahanan, serta telah dilakukan revisi Produk kebijakan strategis tahun 2007 yang meliputi Doktrin Pertahanan Negara, Strategi Pertahanan Negara, Postur Pertahanan Negara, dan Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2008. Dalam rangka melaksanakan penegakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dari berbagai ancaman tersebut, Pemerintah melaksanakan pertahanan negara yang berdasarkan visinya: Terwujudnya Pertahanan Negara yang Tangguh serta misi Menjaga Kedaulatan dan Keutuhan Wilayah NKRI serta Keselamatan Bangsa. Grand Strategy penyelenggaraan Pertahanan Negara tersebut adalah: memberdayakan wilayah pertahanan dalam menghadapi ancaman; menerapkan manajemen pertahanan yang terintegrasi; meningkatkan kualitas personel kementerian pertahanan/TNI; mewujudkan teknologi pertahanan yang mutakhir; serta memantapkan kemanunggalan TNI-Rakyat dalam bela negara. Sepanjang tahun 2012, banyak hal yang telah dilakukan Pemerintah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pertahanan Negara. Di bidang legislasi dan regulasi Pemerintah bersama DPR telah menetapkan UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran RI dan UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Undang-undang Industri Pertahanan tersebut merupakan angin segar dan harapan bagi industri pertahanan dalam negeri untuk bangkit dan ikut mendukung pembangunan kekuatan pertahanan negara. Sementara itu produk legislasi yang sampai saat ini masih dibahas di DPR adalah RUU tentang Keamanan Nasional dan akan menjadi prioritas pembahasan di tahun 2013 bersama-sama dengan RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, di samping itu juga pembahasan RUU tentang Rahasia Negara yang saat ini masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Dalam kurun waktu selama tahun 2012 telah diterbitkan beberapa produk kebijakan yang strategis, antara lain telah direvisi Produk Kebijakan Strategis tahun 2007 yang meliputi Doktrin Pertahanan Negara, Strategi Pertahanan Negara, dan Postur Pertahanan Negara menjadi produk kebijakan tahun 2012, serta Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2008 menjadi produk kebijakan tahun 2013. Selain itu, sudah disusun juga Permenhan tentang Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden beserta Keluarganya serta penyusunan doktrin strategi militer. Untuk memperkuat dan memberdayakan industri pertahanan dalam negeri Pemerintah melakukan revitalisasi industri pertahanan, dimana komitmen tersebut telah diperkuat dengan disahkannya UU Industri Pertahanan. Revitalisasi industri pertahanan dilakukan juga dengan memperkuat Komite Kebijakan Indistri Pertahanan (KKIP) dalam rangka peningkatan daya saing dan kapasitas produksi industri pertahanan, terwujudnya keserasian pengadaan Alutsista dari luar negeri melalui program ToT (transfer of technoligy), dan joint production dalam pengadaan dan pengembangan Alutsista TNI. Perhatian pemerintah terhadap wilayah terluar Indonesia dilakukan dengan program dan kebijakan pemberdayaan wilayah pertahanan, pengelolaan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. Terkait dengan hal tersebut, upaya-upaya sinergitas dan operasional potensi pertahanan, transformasi sumberdaya nasional dan sarana prasarana nasional, dilakukan agar sinergi dengan apa yang

dilakukan Pemerintah Daerah terkait dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), melalui refungsionalisasi peran Pelaksana Tugas Pokok Kementerian Pertahanan di daerah. Berbagai program pembangunan diprioritaskan di daerah wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, antara lain berupa pembangunan pos pertahanan, penanaman kesadaran bela negara bagi masyarakat di perbatasan, pembangunan infrastruktur yang dapat mendukung petumbuhan ekonomi masyarakat setempat melalui operasi bhakti TNI sebagaimana yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan dan keamanan. Pemerintah juga telah melakukan perundingan-perundingan perbatasan darat, antara lain dengan Malaysia, Papua new Guinea (PNG), Republic Democratic Timor Leste (RDTL) dan perundingan perbatasan laut dengan Malaysia, Singapore, Vietnam, Filipina dan Palau, juga telah dilakukan perundingan-perundingan awal perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan India dan Thailand, serta kebijakan tentang pengelolaan survei dan pemetaan untuk kepentingan pertahanan negara dan telah diklaksanakan sinergitas tata ruang wilayah pertahanan ke dalam sistem tata ruang nasional. Di bidang kebijakan Trimatra Terpadu telah dilaksanakan pengintegrasian kekuatan komponen pertahanan negara di daerah secara optimal yang dilakukan melalui perwujudan keterpaduan doktrin, perencanaan, operasional, pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan dukungan logistik, dan penggelaran serta interoperabilitas Alutsista TNI dalam merespon ancaman. Di bidang internasional, Indonesia menjajaki beberapa kerjasama pertahanan dengan negara lain, antara lain kerjasama bilateral dengan negara-negara sahabat untuk menumbuhkan rasa saling percaya (confidence building measure/CBM), yang meliputi diplomasi pertahanan yang diprioritaskan dalam bentuk dialog strategis, kunjungan pejabat tinggi Kemhan/TNI, kerjasama dalam bidang industri pertahanan dan logistik, kerjasama militer dalam bidang diklat, kesehatan militer, patroli terkoordinasi, operasi bersama di perbatasan, serta pemanfaatan Indonesia Peace and Security Center (IPSC). Indonesia juga menunjukan perhatiannya terhadap persoalan dunia dengan ikut serta dalam misi-misi pemeliharaan perdamaian, sebagaimana telah dikirim suatu Satgas International Monitoring Team di Filipina Selatan sebagai wujud untuk memenuhi target 4.000 personel pada tahun 2014. Kerjasama internasional di bidang Peacekeeping Center antar negara ditingkatkan, yaitu melalui pertukaran perwira, workshop, dan seminar dalam ADMM Plus. Selain itu untuk mendukung permintaan misi pemeliharaan perdamaian dari PBB, maka pemerintah meningkatkan kapasitas dan kapabilitas personel TNI. Sebagaimana diketahui saat ini pemerintah sudah membangun suatu fasilitas Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian yang berlokasi di daerah Sentul, Jawa Barat yang sudah mencapai target program pembangunannya. Untuk membangun kekuatan pertahanan negara, pemerintah telah memprogramkan pengadaan Alutsista melalui pembangunan Minimum Essential Force (MEF), sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 2010 tentang Percepatan Pemenuhan Kekuatan Minimal Alat Utama Sistem Senjata TNI. Secara konsisten pemerintah merealisasikan percepatan MEF melalui rematerialisasi Alutsista, relokasi dan revitalisasi satuan TNI sesuai perkembangan ancaman, serta pengadaan Alutsista TNI dan pendukungnya sesuai shopping list yang telah direncanakan. Pengadaan Alutsista TNI mengutamakan penggunaan produk industri dalam negeri dengan skala prioritas MEF pada tahun 2012 untuk dapat menuingkatkan kemampuan mobilitas TNI, Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC), Satuan Siaga Batalyon Mekanis (standby force), dan Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana.

Terkait dengan upaya menumbuhkan nasionalisme bangsa melalui Bela Negara, dilakukan melalui penanaman sikap dan perilaku bela negara kepada setiap warga negara yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan bekerjasama dengan Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah, dengan melaksanakan pembinaan kesadaran bela negara bagi masyarakat di lingkungan pendidikan, lingkungan pekerjaan dan pemukiman, dan khususnya di wilayah perbatasan dan wilayah potensi konflik, serta koordinasi pembinaan pertahanan nirmiliter. Di bidang penilitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan, telah dilaksanakan program litbang di bidang strategi, sumberdaya pertahanan, teknologi, dan alat peralatan pertahanan dengan penekanan pada bidang-bidang yang mendukung kebijakan pertahanan negara, yang membahas tentang permasalahan perbatasan, pulau-pulau kecil terluar, konflik, separatis dan teroris, percepatan MEF serta profesionalitas TNI dengan mengedepankan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran berdasarkan skala prioritas. Untuk menghasilkan sumberdaya aparatur yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan organisasi di Kementerian Pertahanan dan TNI, maka telah dilakukan revitalisasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang difokuskan pada pengembangan bahasa asing, manajemen pertahanan, dan cyber defence, serta menyelenggarakan pelatihan bagi personel asing. Di samping juga diselenggarakan pendidikan formal studi pertahanan di Universitas Pertahanan, dalam bidang-bidang yang mendukung pengembangan sumberdaya aparatur yang memiliki kompetensi dalam bidang pertahanan. Untuk meningkatkan kinerja karyawan dan prajurit TNI, maka pemerintah telah mengupayakan perbaikan kesejahteraan melalui pembangunan perumahan bagi prajurit (Rusunawa dan Rusunami), panataan Rumah Negara, peningkatan pelayanan kesehatan bagi anggota TNI dan PNS beserta keluarganya melalui pemenuhan Alkes Rumkit secara berkala. Di samping itu juga dilakukan pengusulan asuransi kesehatan untuk mendukung Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Bagi prajurit TNI dan PNS yang bertugas dalam operasi pengamanan di wilayah perbatasan dan pulaupulau kecil terluar diberikan tunjangan khusus. --------------------*) Bahan, diolah dari: Keputusan Menteri Pertahan Nomor: KEP/20/M/I/2013 tanggal 9Januari 2012, tentang Kebijakan Pertahanan Negara 2013.

You might also like