You are on page 1of 23

REFERAT Spinal Anesthesia Pada Sectio Caesarea

Dokter pembimbing dr. Ratna, Sp. An

Disusun oleh Andreas Octaviano Rainaldy ( 08-149 ) Devira Fitrisia ( 08- )

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI PERIODE 7 JANUARI 2 FEBRUARI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN

Seperti diketahui oleh masyarakat bahwa setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar. Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total , yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi lokal -, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya. Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.

BAB II PEMBAHASAN ANESTESI SPINAL Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal (CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk memberikan kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus. Spinal anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia, ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam kondisi terjaga. Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi dengan anestesi umum. Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien. Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik. Indikasi: 1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul 3. Tindakan sekitar rektum perineum 4. Bedah obstetrik-ginekologi 5. Bedah urologi 6. Bedah abdomen bawah 7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan. Kontra indikasi absolut: 1. Pasien menolak 2. Infeksi pada tempat suntikan 3. Hipovolemia berat, syok 4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan 5. Tekanan intrakranial meningkat 6. Fasilitas resusitasi minim 7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. Kontra indikasi relatif: 1. Infeksi sistemik 2. Infeksi sekitar tempat suntikan 3. Kelainan neurologis 4. Kelainan psikis 5. Bedah lama 6. Penyakit jantung 7. Hipovolemia ringan 8. Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal : Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini: 1. Informed consent spinal : tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia

2. Pemeriksaan fisik

: tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium

: Hb, ht,pt,ptt

Peralatan analgesia spinal : 1. Peralatan monitor 2. Peralatan resusitasi 3. Jarum spinal : Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, : tekanan darah, pulse oximetri, ekg

quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).

Teknik analgesia spinal Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa

dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. 1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba. 2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis. 3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol 4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.

5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.

Tinggi blok analgesia spinal : Faktor yang mempengaruhi: 1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia 2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia 3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik. 4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan. 5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial. 7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik 8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang lebih tinggi. 9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat) 10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

2.2 Anastesi Lokal untuk Anastesi Spinal Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. Anestetik local yang paling sering digunakan: 1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100 mg (2-5ml) 2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml) 3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20 mg 4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml) Bupivacaine Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil

(hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida. Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut. Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.

Penyebaran anastetik local tergantung: 1. Factor utama: a) b) c) Berat jenis anestetik local(barisitas) Posisi pasien Dosis dan volume anestetik local

2. Faktor tambahan : a) b) Ketinggian suntikan Kecepatan suntikan/barbotase

c) d) e)

Ukuran jarum Keadaan fisik pasien Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung: 1. Jenis anestetia local 2. Besarnya dosis 3. Ada tidaknya vasokonstriktor 4. Besarnya penyebaran anestetik local Komplikasi Anastesi Spinal Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed. Komplikasi tindakan : 1. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan. 2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2 3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas 4. Trauma pembuluh saraf 5. Trauma saraf 6. Mual-muntah 7. Gangguan pendengaran 8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan: 1. Nyeri tempat suntikan 2. Nyeri punggung 3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor 4. Retensio urine 5. Meningitis

Komplikasi intraoperatif: 1). Komplikasi kardiovaskular Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-T4), dapat menyebabkan bardikardi sampai cardiac arrest. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

Patofisiologi Hipotensi Dan Bradikardi Pada Anestesi Spinal

Hubungan Antara Perubahan Tekanan Darah Dengan Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal

2). Blok spinal tinggi atau total Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat. Komplikasi respirasi Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)

mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan terjadinya respiratory arrest. Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menmyebabkan gangguan gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi. Komplikasi postoperative: 1). Komplikasi gastrointestinal Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan oleh simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen karena kontraksi usus dapat

menyebabkan kondisi operasi maksimal. Mual muntah juga bisa akibat hipotensi, dikarenakan oleh hipoksia otak yg merangsang pusat muntah di CTZ (dasar ventrikel ke IV). 2). Nyeri kepala Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran. 3). Nyeri punggung Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja. 4). Komplikasi neurologik Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia.

Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi tetap berlaku. Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran. Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang

menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu. 5). Retentio urine / Disfungsi kandung kemih Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. PENATALAKSANAAN HIPOTENSI 1. Tindakan Preventif Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal dengan 1 2 liter cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan volume sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer. Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading 10 20 ml/kg cairan intravena (kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi terjadinya venous pooling. (Kleinman, 2006)

Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan bahwa preloading cairan intravena pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak efektif. Coe et al. dalam penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal tidak mempunyai efek yang signifikan dalam mencegah terjadinya hipotensi. Hal ini juga dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda dengan Arndt et al. dia mengatakan bahwa prehidrasi dapat secara signifikan menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, namun hanya dalam waktu 15 menit pertama setelah dilakukan anestesi spinal. (Liguori, 2007) Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan pemberian preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu pemberian cairan tersebut. Dia mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih sebelum dilakukan anestesi spinal. (Salinas, 2009) Mojica, et.al., pada penelitiannya menilai efektivitas pemberian RL 20 cc/kg 20 menit sebelum dilakukan anestesi spinal dengan pemberian RL 20 cc/kg pada saat dilakukan anestesi spinal. Penelitian tersebut membandingkan kedua cara diatas dengan pemberian placebo (RL 1 2 cc/min). Dan didapatkan hasil bahwa pemberian kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal tidak menurunkan insidensi terjadinya hipotensi yang dibandingkan dengan pemberian placebo. Hal ini disebabkan oleh karena waktu paruh kristaloid yang pendek, dimana saat mulai terjadinya hipotensi, kristaloid sudah mulai berdifusi ke ruang interstitial, sehingga tidak dapat mempertahankan venous return dan curah jantung. Berbeda dengan pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal, ternyata cara ini lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan curah jantung. (Mojica, et.al., 2002)

Perbandingan pengaruh pemberian kristaloid sebelum dan sesaat anestesi spinal terhadap tekanan darah

Mengenai pemilihan cairan, Zorco, et al., dalam penelitiannya tentang efek posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah anestesi spinal didapatkan bahwa ketiga cara diatas dapat mencegah terjadinya penurunan curah jantung. Pemberian RL (kristaloid) maupun HES 6 % (koloid) pada saat anestesi spinal, ternyata tidak hanya dapat mencegah penurunan curah jantung, tapi dapat meningkatkan curah jantung. Namun saat efek kristaloid mulai berkurang terhadap curah jantung akibat cepatnya kristaloid berdifusi ke ruang interstitial, koloid masih dapat bertahan di intravaskuler dan masih dapat mempertahankan curah jantung. Namun dari segi ekonomis koloid lebih mahal dibandingkan kristaloid, dan koloid dapat menyebabkan terjadinya anafilaksis walaupun sedikit angka kejadiannya. (Zorco N., et al., 2009) Vercauteren, et.al., dalam penelitiannya mengatakan pemberian ephedrine sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV (bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya yang lain, dikatakan pemberian ephedrine intramuskuler masih dalam perdebatan, karena absorbsi sistemik dan peak effect dari pemberian intramuskuler sulit diprediksi. (Vercauteren, et al, 2000)

Penggunaan infus vasopresor terutama ephedrine sebagai profilaksis, secara signifikan dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi dibandingkan dengan prehidrasi

menggunakan kristaloid. Pada penelitian tersebut tidak didapatkan adanya hipertensi pada pasien yang diberikan infus ephedrine. Pemberiab atropine IV setelah preloading dengan kristaloid dapat menurunan angka kejadian hipotensi dan menurunkan penggunaan ephedrine. Pada penelitiannya terhadap 75 pasien, dimana 25 pasien diberikan placebo, 25 pasien diberikan 5 g atropine IV, dan 25 pasien diberikan 10 g atropine IV, didapatkan hasil angka kejadian hipotensi berturut-turut adalah 76 %, 52 % dan 40 %. Dan pada penelitian tersebut, efek samping seperti angina, perubahan ST segmen pada EKG dan confusion tidak didapatkan. Penelitian ini dibatasi untuk tidak diberikan pada pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemik dan pasien yang menggunakan bloker. Lim, et.al., mengatakan bahwa pemberian atropine secara rutin sebagai premedikasi pada anestesi spinal tidak direkomendasikan, namun pemberian atropine dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan baseline laju nadi yang rendah maupun pasien dengan baseline hipotensi dan bradikardi.

2.

Penatalaksanaan hipotensi Derajat hipotensi yang membutuhkan terapi aktif masih dalam perdebatan, hal ini

disebabkan karena adanya data-data ilmiah yang menunjukkan bahwa hipotensi masih dapat ditoleransi pada pasien yang sehat. Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung pada penyebab dasarnya. Jika terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan bradikardia dan nausea, hal ini mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope. Atropine dapat diberikan pada keadaan ini, namun tidak se-efektif bila diberikan vasopresor. Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi harus dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian preloading 500 1500 ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada beberapa penelitian lain tidak efektif.

Pada pasien tanpa adanya gangguan pada target organ dan asimptomatik, dengan penurunan tekanan darah mencapai 33 % belum perlu perlu dikoreksi. Monitoring tekanan darah dan juga pemberian suplemen oksigen harus diperhatikan pada anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus dimonitor secara hati-hati, karena pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya congestive heart failure, oedem paru, ataupun keduanya. Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap pemberian cairan intra vena membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak cukup cepat, oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor. Jika sudah ada indikasi penatalaksanaan dengan medikamentosa, vasopresor merupakan pilihan obat utamanya. Kombinasi dan adrenergik agonis lebih baik dari pada agonis murni dalam menangani penurunan tekanan darah, ephedrine merupakan obat pilihan utamanya. Dengan ephedrine curah jantung dan resistensi vaskuler perifer dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Secara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan preload. Cara yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi trendelenburg atau dengan head down. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 , karena dengan posisi trendelenburg yang terlalu ekstrim dapat menyebabkan penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan tekanan vena jugularis, dan bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap, posisi trendelenburg dapat meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang mendapatkan agen hiperbarik, yang dapat memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini dapat dihindari dengan menaikkan bagian atas tubuh menggunakan bantal dibawah bahu ketika bagian bawah tubuh sedikit dinaikkan diatas jantung. Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal : Pada pasien sehat Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan kristaloid 500 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut

dapat diulang setiap 2 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di susunan saraf pusat Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb. Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 20 mg IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 16 mg IV atau infus titrasi epinephrine 0.15 0.3 mcg/kg/min. Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 200 mcg IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine 0.15 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine 0.01 0.1 mcg/kg/min.

Algoritme Penatalaksanaan Hipotensi Pada Anestesi Spinal

EPHEDRINE Ephedrine memiliki efek kardiovaskuler seperti epinephrine, dapat meningkatkan tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung. Ephedrine juga memiliki efek bronkodilator. Perbedaannya, ephedrine memiliki durasi yang lebih panjang, kurang poten, memiliki efek langsung maupun tidak langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat. Efek tidak langsung dari ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine perifer postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine. (Morgan, 2006) Efek tidak langsungnya dapat meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan meningkatkan pelepasan dari noradrenaline dan menstimulasi secara langsung kedua reseptor () beta untuk meningkatkan curah jantung, laju nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik. (Morgan, 2006) Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat digunakan sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek antiemetik. (Morgan, 2006) Pada dewasa, dosis yang digunakan adalah 5 10 mg IV dengan durasi 5 10 menit atau 25 mg IM dengan durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan dalam infus, dengan dosis 25 30 mg ephedrine dalam 1 liter ringer laktat. Dosis untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.1 mg/kg. (Morgan, 2006; Salinas, 2009)

DAFTAR PUSTAKA

Covino, B.G., et al., Handbook of spinal anaesthesia and analgesia . 1994 : 1-168. Hartman., et al., The Incidence and Risk Factors for Hypotension After Spinal Anesthesia Induction: An Analysis with Automated Data Collection., Anesth Analg., 2002;94:15219. Kleiman, W., Mikhail, M., Spinal, Epidural, & Caudal Blocks., Clinical Anesthesiology., 4th Ed., 2006 : 289 323. Kol, I.O., et al., The Effects of Intravenous Ephedrine During Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery: A Randomized Controlled Trial., J Korean Med Sci., 2009; 24: 883-8. Liguori, G.A., Hemodynamic Complications., Complications in Regional Anesthesia and Pain Medicine., 1st Ed., 2007 : 43 52. Lim, H.H., et al., The Use of Intravenous Atropine After a Saline Infusion in the Prevention of Spinal Anesthesia-Induced Hypotension in Elderly Patients., Anesth Analg 2000;91:12036. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., Adrenergic Agonist & Antagonists., Clinical Anesthesiology., 2006 : 242 254. Mojica, J.L., et al., The Timing of Intravenous Crystalloid Administration and Incidence of Cardiovascular Side Effects During Spinal Anesthesia: The Results from a Randomized Controlled Trial., Anesth Analg 2002;94:4327. Salinas, FV., Spinal Anesthesia., A Practical Approach to Regional Anesthesia., 4th ed., 2009 : 60 102. Tarkkila, P., Complications Associated with Spinal Anesthesia. Complication of Regional Anesthesia, 2nd Ed., 2007 : 149 166. Tsai, T., Greengrass, R., Spinal Anesthesia., Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain Management., 2007 : 193 221. Viscomi, CM., Spinal Anesthesia, Regional Anesthesia, 2004 : 114 127.

Vercuteren., et al., Prevention of Hypotension by a Single 5-mg Dose of Ephedrine During Small-Dose Spinal Anesthesia in Prehydrated Cesarean Delivery Patients., Anesth Analg., 2000;90:324 7. Zorco, N., et al., The Effect of Trendelenburg Position, Lactated Ringers Solution and 6% Hydroxyethyl Starch Solution on Cardiac Output After Spinal Anesthesia., Anesth Analg., 2009;108:6559.

You might also like