You are on page 1of 6

1. Gangguan Saraf Perifer a. Definisi i.

Mononeuropati merupakan gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khususnya akibat tekanan, atau gangguan supali darah (vasa nervorum) ii. Polineuropati merupakan gangguan beberapa saraf perifer yang sering diakibatkan oleh proses peradangan, metabolic, atau toksik yang menyebabkan kerusakan dengan pola difus, distal, dan simetris yang biasanya mengenai ekstremitas bawah sebelum ekstremitas atas b. Mononeuropati i. Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan saat saraf ini melalui terowongan karpal yang dapat terjadi Secara tersendiri, contohnya pasien dengan pekerjaan yang banyak menggunakan tangan Pada gangguan yang menyebabkan saraf menjadi sensiti terhadap tekanan, misalnya pada diabetes mellitus Saat terowongan karpal penuh dengan jaringan lunak abnormal Gambaran klinis dari Carpal Tunnel Syndrome adalah: Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari, atau saat bekerja Pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nervus medianus Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan perkusi pada telapak tangan daerah Carpal Tunnel (Tinnel Sign) Kondisi ini sering bilateral Diagnosis dapat dipastikan secara elektrodiagnostik. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab, bila belum jelas, meliputi kadar glukosa darah, LED, dan fungsi tiroid. Pilihan terapi tergantung dari beratnya penyakit, yaitu: Balut tangan, terutama pada malam hari, pada posisi ekstensi parsial pergelangan tangan Diuretic, akan tetapi manfaat dari pemberian diuretic belum diketahui Injeksi local Carpal Tunnel dengan kortikosterois Dekompresi nervus medianus pada pergelangan tangan dengan pembedahan pada divisi fleksor retinakulum ii. Neuropati Ulnaris Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa tempat di sepanjang perjalanannya, tetapi terutama pada siku Gambaran klinis meliputi: Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku ke lengan sampai batas ulnaris tangan

Atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsic tangan, dimana eminensia tenar masih baik Hilangnya sensasi tangan pada distribusi nervus ulnaris Deformitas tangan cakar ( Claw Hand ) pada lesi kronik Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi lesi sepanjang perjalanan nervus ulnaris. Lesi ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada malam hari, dengan posisi siku ekstensi untuk mengurangi tekanan pada saraf. Untuk lesi yang lebih berat, dekompresi bedah atau transposisi nervus ulnaris, belum dapat dijamin keberhasilannya. Tetapi operasi diperlukan jika terdapat kerusakan nervus ulnaris terus-menerus, yang ditunjukkan dengan gejala nyeri persisten dan/atau gangguan motorik progresif. iii. Palsi Radialis Tekanan pada nervus radialis di lengan atas akan menyebabkan wrist drop akut dan kadang hilangnya sensasi pada distribusi nervus radialis superficial. Umumnya lesi terjadi akibat kelainan postur lengan atas dalam waktu lama, misalnya lengan yang terposisikan dengan tidak benar pada sandaran sofa karena intoksikasi alcohol (Saturday night palsy) iv. Lesi Pleksus Brachialis Selain trauma akut pada pleksus brachialis, misalnya akibat traksi saat persalinan atau kecelakaan, yang biasanya mengenai pengendara sepeda motor (pleksus radiks bagian atas-paralisis Erb; bagian bawahparalisis Klumpke), dikenali pula beberapa sindrom kronik Iga Servikal Iga servikal atau pita jaringan fibrosa dapat menekan pleksus brachialis pada rongga thoraks. Dulu, kondisi ini seringkali mengalami overdiagnosis dan diterapi berlebihan dengan pembedahan, Eksplorasi bedah pleksus brakialis saat ini dilakukan hanya untuk pasien dengan atrofi dan kelemahan progresif otot-otot intrinsic tangan, dengan gangguan sensorik yang sesuai (biasanya pada sisi ulnar lengan) dan didukung oleh pemeriksaan elektrodiagnostik. Bahkan pencitraan pleksus brakhialis dengan MRI tidak terlalu bermaknsa. Gambaran rontgen dapat menunjukkan iga servikal, akan tetapi penekan akibat pita jaringan fibrosa dapat tidak terlihat dari foto rontgen. Tumor Pancoast Karsinoma bronkogenik pada apeks paru dapat menginvasi radiks pleksus brakialis bagian bawah dan menyebabkan nyeri progresif pada lengan ipsilateral, atrofi dan kelemahan otot distal, dan gangguan sensorik terutama pada dermatom C7, C8, dan T1. Dapat pula disertai sindrom Horner sebagai akibat keterlibatan serabut simpatik

preganglion. Pola yang serupa dapat terjadi dengan tumor primer maupun sekunder lainnya. Kesulitan diagnostic dapat terjadi pada karsinoma payudara jika sebelumnya telah dilakukan radioterapi local-cedera pleksus brakhialis dapat pula disebabkan oleh invasi tumor atau pleksopati radiasi Pleksopati brakialis idiopatik ( amiotrofi neuralgia atau neuritis brakhialis) Keadaan ini umumnya ditandai dengan nyeri hebat pada bahu dan lengan saat onset. Biasanya tidak ada penyebab jelas tetapi dapat terjadi setelah imunisasi atau operasi. Saat nyeri menghilang (setelah beberapa hari/minggu) terjadi atrofi dan kelemahan yang berkelompok pada otot-otot periskapula dan ekstremitas atas yang lebih distal. Beberapa kelompok otot sangat rentan terkena, misalnya m. serratus anterior, dan menyebabkan scapula berbentuk seperti sayap (winging). Gangguan ini lebih sering terjadi unilateral daripada bilateral dengan gangguan sensorik minimal. Pemeriksaan elektrodiagnostik umumnya tidak membantu, walaupun mungkin terdapat bukti denervasi otot yang terknena . Cairan serebrospinal normal. Tidak ada terapi spesifik dan pemulihan spontan fungsi ekstremitas atas membutuhkan waktu 18 bulan sampai 2 tahun, namun tidak dapat dipastikan. v. Parestika Meralgia Kompresi nervus kutaneus lateral paha saat saraf tesebut melintas dibawah ligament inguinalis yang menyebabkan pola hilangnya kondisi yang khas, Onset kondisi ini terutama berhubungan dengan perubahan (peningkatan atau penurunan) berat badan pasien. vi. Palsi Poplitea Lateral Nervus peroneus komunis rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada lokasi kaput fibula, yang menyebabkan foot drop. Terjadi kelemahan pada dorsofleksi dan eversi pergelangan kaki, dan kelemahan ekstensor hallucis longus, disertai hilangnya sensai=si dengan derajat yang bervariasi. Kondisi ini sering terjadi pada keadaaan imobilitas dan pada kerentanan saraf terhadap tekanan, misalnya akibat diabetes mellitus. Foot Drop juga dapat diakibatkan oleh lesi pada radiks lumbal (biasanya L5). Secara teoritis hal ini dapat dibedakan secara klinis dari lesi nervus peroneus, karena pada lesi nervus peroneus inverse kaki masih baik, karena tibialis posterior dipersarafi oleh nervus tibialis dan bukan nervus peroneus. Akan tetapi, biasanya diperlukan pemeriksaan elektrodiagnostik pada lutut untuk menentukan lokasi lesi. Kerusakan nervus peroneus seringkali reversible, yang disebabkan oleh blok konduksi (neuropraksia). Untuk sementaara penggunaan balut foot drop dapat membantu. c. Neuropati Multifokal

Penyebab neuropati multifocal (mononeuritis multipleks) meliputi: Infiltrasi keganasan (karsinoma atau limfoma) Vaskulitis atau penyakit jaringan ikat: Arthritis rheumatoid Lupus eritematosus sistemik Poliartritis nodosa Granulomatosis Wegener Sarkidosis Diabetes mellitus Infeksi Lepra Herpes zoster HIV Penyakit Lyme Neuropati herediter dengan kerentanan terhadap palsi akibat tekanan Secara umum, neuropati multifocal akibat vaskulitis memberikan gejala nyeri, kelemahan, dan gangguan sensorik pada distribusi nervus perifer multiple. Ekstremitas bawah lebih sering terkena. Lesi saraf perifer tunggal umumnya berakumulasi bertahap secara akut atau sub0akut, dan menunjukkan gambaran klinis yang berbentuk bercak dan asimetris. d. Polineuropati Penyakit difus saraf perifer dapat di subklasifikasikan menurut ada tidaknya keterlibatan sensorik atau motorik atau keduanya. Secara patofisiologis dapat dibagi menjadi subdivisi lagi, tergantung apakah lokasi penyakit pada selubung myelin atau sarafnya sendiri (neuropati demielinasi dan neuropati aksonal, yang dapat dibedakan dari pemeriksaan konduksi saraf). Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian disatal dan/atau parestesia atau nyeri. Gejala motorik meliputi kelemahan dan distal atrofi otot. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan deformitas pada kaki dan tangan (pes cavus;claw hand) dan gangguan sensorik berat dapat menyebabkan ulserasi neuropati dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala otonom. Tandatanda klinisnya adalah keterlibataan luas LMN distal dengan atrofi, kelemahan otot, serta arefleksia tendon. Hilangnya sensasi posisi distal dapat menyebabkan ataksia sensorik. Dapat terjadi hilangnnya sensasi nyeri, suhu, dan raba dengan distribusi glove and stocking. Dapat terjadi penebalan saraf perifer. Terapi polineuropati tergantung dari penyebabnya. Neuropati akibat inflamasi umumnya harus ditangani di pusat spesialistik. Polineuropati demielinasi inflamasi akut (Sindrom Guillain-Barre) merupakan keadaan neurologiis yang berpotensi gawat darurat. Polineuropati demielinasi inflamasi kronik dan neuropati vaskulitis membutuhkan terapi kortikosteroid dan/atau imunomodulator yang meliputi obat-obat imunosupresan (azatioprin, siklofosfamid, atau siklosporin), immunoglobulin intravena, atau pertukaran

plasma. Terapi Simtomatik dapat mengurangi komplikasi neuropatik seperti gambaran otonom dan nyeri. Sangat penting untuk membedakan antara Sindrom Guillain-Barre dan polineuropati demielinasi inflamasi kronik, karena keduanya merupakan gangguan pada saraf perifer, akibat demielinasi pada SSP. 2. Sinaps Neuromuskuler a. Miastenia Gravis Keadaan ini merupakan penyakit autoimun yaitu terdapatnya antibody terhadap resptor asetilkolin pada sinaps neuromuscular. Dapat disertai patologi timus (hyperplasia, atrofi, atau tumor-timoma). Penyakit ini jarang, insidensi per tahun kira-kira 0,4/100.000, tetapi karena banyak pasien yang mengalami penyakit ini dalam jangka waktu lama, maka prevalensi mencapai 1/10.000. Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok usia. i. Gambaran Klinis Gambaran klinis meliputi: Ptosis fatig Diplopia dengan keterbatasan gerak mata Kelemahan wajah Ekspresi miastenik Kelemahan saat menutup mata Gejala dan tanda bulbar: Disfagia (dengan regurgitasi nasal cairan) Disartria (suara hidung) Keterlibatan otot-otot pernapasan (gejala bulbar dan pernapasan akut yang disebabkan oleh miastenia merupakan keadaan gawat darurat) Kelemahan otot leher dan ekstremitas gerak, memburuk pada sore/malam hari setelah berolahraga (fatig abilitas) ii. Pemeriksaan Penunjang Analisis antibody reseptor asetilkolin (15% pasien negative) Tes tensilon : Injeksi edrofonium (antikolinesterase kerja singkat yang secara sementara akan mempertahankan asetilkolin dengan melakukan blok pada metabolismenya) secara intravena akan menyebabkan perbaikan klinis yang cepat dan sementara. Tes ini sebaiknya dilakukan secara tersamar ganda, dan disiapkan peralatan resusitasi dan atropine jika terjadi efek muskarini akibat kelebihan asetilkolin. EMG, termasuk pemeriksaan serabut tunggal Tes fungsi tiroid untuk tirotoksikosis Analisis antibody terhadap otot lurik, pada sebagian besar pasien timoma akan positif CT Scan mediastinum anterior untuk mencari pembesaran timus, iii. Terapi

1. Antikolinesterase, misalnya piridostigmin, akan menyebabkan perbaikan gejala. Akan tetapi, pasien yang membutuhkan peningkatan dosis dapat mengalami efek samping kolinergik muskarinik sperti peningkatan salvias, muntah, nyeri abdomen, dan diare. Pada kasus ekstrem dapat terjadi perburukan pada kelemahan otot. 2. Kortikosteroid, misalnya prednisolon, diperlukan untuk penyakit yang sedang hingga berat yang tifak responsive terhadap terapi lain. Biasanya kortikosteroid diberikan dalam regimen selang sehari. Steroid harus ditingkatkan bertahap dari dosis rendah dan disesuaikan dengan perburukan gejala. Rawat inap rumah sakit dianjurkan pada awal terapi steroid yang penyakitnya bukan ocular murni. Jika telah tercapai keadaan terkontrol, dosis dapat diturunkan bertahap sesuai gejala. 3. Imunosupresi, misalnya dengan azatioprin, digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid untuk keadaan berat. 4. Timektomi jika terdapat timoma, dan pada pasien muda dilakukan pada awal penyakit untuk megurangi kebutuhan terapi medikamentosa,dan pada sebagian kecil pasien untuk mencapai remisi total. 5. Pertukaran plasma/plasmaferesis atau immunoglibukin intravena untuk persiapan timektomi dan pada penyakit sangat berat. Beberapa antibiotic, seperti aminoglikosida, tidak boleh diberikan pada pasien miastenik karena mempunyai efek blok pada sinaps neuromuscular. iv. Sindrom Miastenik Lainnya Sinaps neuromuscular walaupun jarang, dapat terkena penyakit congenital, atau gangguan paraneoplastik.

You might also like