You are on page 1of 111

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tinjauan Umum Kabupaten Nunukan

4.1.1 Administrasi dan Geografi Wilayah Kabupaten Nunukan terletak di daerah khatulistiwa sehingga

dipengaruhi iklim tropis basah dengan karakteristik yang khas, yakni curah hujan cukup tinggi dengan penyebaran merata sepanjang tahun. Di Wilayah Kabupaten Nunukan tidak terdapat pergantian musim yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan, Wilayah Kabupaten Nunukan termasuk dalam 2 (dua) wilayah utama, yaitu: Wilayah hujan bagian barat dengan curah hujan maksimum yang umumnya terjadi pada Januari atau Mei. Curah hujan rata-rata lebih dari 266,5 mm. Hujan maksimum sekunder terjadi pada April-Juni, sedangkan hujan minimum terjadi pada Februari. Kecamatan yang termasuk dalam wilayah ini yaitu Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, dan sebagian wilayah Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sembakung. Wilayah hujan bagian timur dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan April atau Mei. Hujan minimum umumnya terjadi pada bulan Juli-Agustus dengan curah hujan rata-rata 188,95 mm, tetapi curah hujan rata-rata tahunan lebih kecil dibandingkan curah hujan pada bagian kawasan pesisir, yaitu sebesar 199,5 mm. Kecamatan yang termasuk dalam wilayah ini adalah Kecamatan Nunukan, Sebatik, sebagian Kecamatan Sebuku, Lumbis, serta Sembakung.

Secara administratif wilayah Kabupaten Nunukan dibagi sembilan wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Nunukan, Kecamatan Nunukan Selatan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Sebatik Barat, Kecamatan Sebuku, Kecamatan Sembakung, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Krayan, dan Kecamatan Krayan Selatan. Berdasarkan hasil penataan wilayah desa/kelurahan di Kabupaten Nunukan, telah terjadi pemekaran kecamatan. Sebelum pemekaran, Sebuku masuk ke dalam Kecamatan Nunukan dan saat ini sudah menjadi kecamatan sendiri. Selain itu, Kecamatan Krayan mengalami pemekaran menjadi Kecamatan Krayan dan Kecamatan Krayan Selatan.

49 Kabupaten Nunukan memiliki luas 14.263,68 km2. Pada tahun 2007 (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008) Kabupaten Nunukan dihuni oleh 125.585 jiwa dengan kepadatan penduduk 8 jiwa per kilometer persegi. Kabupaten Nunukan sendiri terletak pada posisi 1150 33 - 1180 3 Bujur Timur serta 30 15 00 - 40 24 55 Lintang Utara. Persentase luas wilayah per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 6.

Krayan Selatan 12,31% Krayan 12,88% Sebatik 0,73%

Sebatik Barat 1,00%

Lumbis 25,56%

Sebuku 21,91%

Nunukan 11,19%

Sembakung 14,41%

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 6. Persentase luas wilayah per kecamatan Kabupaten Nunukan merupakan wilayah paling utara dari Provinsi Kalimantan Timur. Posisinya yang berada di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia

menjadikan Kabupaten Nunukan sebagai daerah yang strategis dalam peta lalu lintas antarnegara. Peta administrasi dapat dilihat pada Gambar 7. Wilayah Kabupaten Nunukan terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan. Sebagian besar didominasi oleh satuan fisiografi dataran tinggi dan pegunungan dengan luas 679.457 ha atau 47,63% dari luas wilayah. Dataran tinggi dengan kelerengan yang bervariasi merupakan wilayah paling luas yaitu mencapai 488.962 ha atau 34,28% dari luas wilayah. Peta fisiografis Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 8.

50

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 7. Administrasi Kabupaten Nunukan

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 8. Peta fisiografis Kabupaten Nunukan

51 4.1.2 Ketinggian dan Kemiringan Wilayah daratan Kabupaten Nunukan terletak pada ketinggian antara 0 hingga 1.500 mdpl (meter di atas permukaan laut) ketinggian 0 sampai 100 mdpl meliputi areal seluas 716.808 ha atau 50.25% dari luas Wilayah Kabupaten Nunukan. Wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari 1.500 mdpl hanya seluas 246 ha atau sebesar 0.02%. Persentase penyebaran dan luas ketinggian daerah di Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 9.
1.500 - 2.000 m 0,02%

1.000 - 1.500 m 18,87%

0 - 100 m 50,25% 500 - 1.000 m 19,98%

100 - 500 m 10,87%

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 9. Persentase penyebaran dan luas ketinggian daerah Kabupaten Nunukan Kelerengan wilayah daratan Kabupaten Nunukan bervariasi. Kawasan di bagian utara dan selatan Kabupaten Nunukan lebih didominasi oleh kawasan dengan kelerengan rendah yaitu di bawah 15%, sedangkan kawasan yang memiliki tingkat kelerengan di atas 15% banyak terdapat di kawasan barat dan tengah Kabupaten Nunukan. 4.1.3 Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di Wilayah Kabupaten Nunukan hanya delapan jenis tanah dan yang paling luas adalah podsolik/regosol sebesar 410.486 atau 28,79%. Jenis tanah ini umumnya terdapat di Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, dan Lumbis. Jenis tanah yang luasnya paling kecil yaitu alluvial/gambut sebesar 50.896 ha atau sebesar 3,7% dari luas wilayah. Jenis tanah Kabupaten Nunukan yaitu tanah alluvial yang hampir seluruhnya terdapat di Kecamatan Nunukan, Sebatik, Sebuku, dan Sembakung. Tanah alluvial/gambut hanya terdapat di Kecamatan Lumbis dengan luasan 837 ha, sedangkan di Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan tidak terdapat sama sekali.

52 Kabupaten Nunukan memiliki kedalaman efektif tanah yang bervariasi antara kurang dari 30 cm sampai lebih dari 90 cm. Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman tanah yang menyebabkan akar tanaman masih bisa tumbuh dengan baik. Sebagian besar wilayah Kabupaten Nunukan memiliki kedalaman tanah 30 60 cm dan >90 cm. Wilayah Kabupaten Nunukan dengan kedalaman tanah antara 30 - 60 cm seluas 600.442 ha atau 37,25% dari total luas wilayah Kabupaten Nunukan. Wilayah Kabupaten Nunukan yang memiliki kedalaman tanah >90 cm seluas 711,545 ha atau 12,24% dari total luas wilayah Kabupaten Nunukan. Ditinjau dari tekstur tanah, wilayah Kabupaten Nunukan mempunyai tekstur tanah halus, sedang, dan kasar. Tekstur tanah adalah perbandingan partikel liat, debu, dan pasir yang terdapat pada suatu gumpalan tanah. Tekstur tanah di Kabupaten Nunukan sebagian besar mempunyai tekstur tanah sedang, dengan luas 1.097.489 ha atau 67,52% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. Penyebaran dan luas masing-masing kelas tekstur tanah wilayah daratan di Kabupaten Nunukan untuk Kecamatan Sebatik dengan luas wilayah 27.303 ha dengan kelas tekstur tanah halus seluas 7.278 ha atau 26,66% dari luas wilayah kecamatan, tekstur sedang dengan luas 17.383 ha atau 63,67% dan gambut 2.642 ha atau 9,68% dari total luas kecamatan. Peta jenis tanah Kabupaten Nunukan dapat dilihat di Gambar 10.

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 10. Peta jenis tanah Kabupaten Nunukan

53 4.1.4 Pola Penggunaan Lahan Persebaran penduduk di Kabupaten Nunukan tidak merata, sebagian besar penduduk mendiami wilayah pesisir. Jumlah penduduk yang relatif besar cenderung mengelompok di daerah perkotaan, terutama daerah yang mempunyai aktivitas ekonomi yang cukup tinggi yang ditandai dengan adanya sarana transportasi dan keadaan ekonomi masyarakatnya yang memadai. Sebagian besar pemukiman penduduk di Kabupaten Nunukan yang berada di kawasan pesisir menempati daerah dataran rendah, di tepi pantai, muara-muara sungai kecil, dan bantaran sungai. Jenis-jenis penggunaan lahan terdiri atas pemukiman, pertanian (meliputi penggunaan lahan untuk perkebunan dan persawahan), kehutanan, perikanan, lahan konsesi untuk kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi, serta lahan untuk fasilitas umum. Jenis mata pencaharian penduduk di kawasan pesisir Kabupaten Nunukan bervariasi dengan kecenderungan pada aktivitas kehutanan, pertanian, perikanan, perdagangan, dan pelayanan jasa. Mata pencaharian di sektor perdagangan, pelayanan jasa, dan perikanan terkonsentrasi pada pada Kecamatan Nunukan dan Sebatik. Di sektor pertanian dan perkebunan hampir merata di semua kecamatan. Hasil pengamatan terhadap pola pemanfaatan lahan di Kecamatan Nunukan menunjukkan bahwa sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian yang berkembang dapat dilihat dari peningkatan lonjakan kenaikan produksi padi dan palawija dari 20.084 ton pada tahun 1997 menjadi 44.436 ton pada tahun 2007 (BPS Kabupaten Nunukan 2008). Kecenderungan lonjakan produksi pertanian ini besar kemungkinannya diperoleh melalui

perluasan lahan pertanian dalam jumlah yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode hampir sepuluh tahun, telah terjadi perubahan fungsi lahan, dari hutan nonproduksi (hutan alam) menjadi lahan pertanian. Perkembangan penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Nunukan dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas manusia. Peta pola penggunaan lahan berdasarkan RTRW disajikan pada Gambar 11.

54
POLA PENGGUNAAN LAHAN

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 11. Peta pola penggunaan lahan 4.1.4.1 Kehutanan Hutan yang terdapat di Kabupaten Nunukan seluas 1.426.368 ha yang terdiri dari hutan taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi (kawasan hutan dan kawasan budi daya nonkehutanan). Sebagian besar wilayah hutan merupakan kawasan budi daya nonkehutanan seluas 470.914 ha atau 33,01% dari kawasan hutan seluruhnya. Hutan lindung jaraknya relatif jauh dari permukiman yang ada. Hutan produksi pada umumnya telah diusahakan/ditebang oleh pemegang HPH maupun bekas ladang penduduk yang telah ditinggalkan, sedangkan hutan sejenis berupa hutan reboisasi tanaman industri dari pemegang HPH. Kabupaten Nunukan memiliki kawasan hutan lindung seluas 167.428 ha atau 11,7% dari luas wilayahnya. Peta kesesuaian lahan untuk hutan lindung di Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 12.

55

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 12. Peta kesesuaian lahan untuk hutan lindung 4.1.4.2 Pertanian Kelompok pertanian lahan kering meliputi kebun campuran, tegalan, dan ladang. Kebun campuran adalah penggunaan lahan kering yang sifatnya menetap atau kombinasi tanaman semusim dan tanaman keras. Penggunaan lahan pertanian lainnya pada umumnya merupakan campuran tanaman kopi, durian, nangka, rambutan, dan lain-lain. Tegalan adalah pertanian lahan kering dengan jenis tanaman semusim seperti tanaman ketela pohon, pisang, dan padi gunung. Ladang seperti halnya tegalan, ditanami dengan jenis tanaman semusim, tetapi sifatnya hanya sementara antara satu hingga tiga kali musim panen. Luas penggunaan untuk pertanian lahan kering 8.304 ha atau 0,58% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. Peta kesesuaian lahan pertanian di Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 13.

56

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 13. Peta kesesuaian lahan untuk pertanian 4.1.4.3 Perkebunan Perkebunan yang dimaksud yaitu perkebunan dengan jenis tanaman keras monokultur, baik perkebunan rakyat, perkebunan besar, maupun perkebunan swasta. Dalam rangka pengembangan sektor perkebunan di Kabupaten Nunukan, diterapkan pembinaan dengan menggunakan pola partial/swadaya, PIR/NES, dan perkebunan besar baik oleh negara maupun swasta, sedangkan akhir-akhir ini berkembang pola kemitraan dengan komoditas unggulan yaitu sawit. Budi daya tanaman perkebunan utama yang mendapat pembinaan secara khusus antara lain budi daya tanaman karet, kelapa, kopi, lada, kakao, kelapa sawit, dan cengkeh. Di samping itu, budi daya lainnya bersifat introduksi dan dikembangkan secara diversifikasi seperti vanili, aren, pala, dan jambu mete. Luas penggunaan lahan perkebunan yaitu 17.731 ha atau 1,24% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. 4.1.4.4 Perikanan Kabupaten Nunukan selain mempunyai potensi perikanan tangkap, juga perikanan budi daya seperti tambak/kolam berupa areal dengan penggenangan permanen yang telah mendapat campur tangan manusia baik itu berupa kolam air tawar maupun air laut atau yang telah dikenal dengan tambak. Rawa-rawa yang merupakan areal penggenangan permanen dan dasarnya yang dangkal ditumbuhi

57 tumbuh-tumbuhan besar yang umumnya berupa rerumputan rawa dan semak belukar. Luas penggunaan lahan kolam/tambak/rawa seluas 16.295 ha atau 1,14% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. 4.1.4.5 Pertambangan Pengembangan pertambangan di Kabupaten Nunukan hingga saat ini belum termanfaatkan secara optimal, padahal Kabupaten Nunukan memiliki beberapa potensi pertambangan yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Bahan galian golongan strategis (golongan A), yaitu minyak bumi dan batu bara. Minyak bumi terdapat di Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, Muara Bukat (Kecamatan Nunukan), dan Muara Sungai Sembakung (Kecamatan Sembakung). Selain di Simenggaris, batu bara juga terdapat di Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, Sembakung, dan Sebatik. Minyak bumi yang terdapat di Muara Bukat dan Muara Sungai Sembakung telah dieksploitasi oleh Pertamina. Kandungan batu bara yang terdapat di Simenggaris sedang diuji kandungannya oleh perusahaan swasta P.T. Anugerah Jati Mulya. 2. Bahan Galian golongan vital (golongan B), terdiri dari: - Emas, terdapat di Hulu Sungai Sebuku (Kecamatan Nunukan), Hulu Sungai Sembakung (Kecamatan Lumbis), dan Sungai Krayan. - Gips, terdapat di sekitar Sungai Sedadap, Pulau Nunukan, dan

Sembakung. Walaupun demikian, belum terdapat studi terperinci tentang jumlah kandungan cadangan mineral yang ada. 3. Bahan Galian Golongan C, terdiri dari: - Pasir kuarsa, terdapat di Kecamatahn Krayan. - Andesit, terdapat di Sungai Nyamuk, Pulau Sebatik, dan Kecamatan Sembakung. - Batu gunung, terdapat di Kecamatan Nunukan - Gamping, dengan kandungan CaO kandungan CaO 55,2% dan MgO 0,05%, tetapi jumlah cadangan yang ada diperkirakan tidak banyak, terdapat di Pasir Putih, Pulau Nunukan. Selain itu, terdapat juga di Kecamatan Krayan. - Bahan galian setengah permata (half precious probing material) di Sungai Bilal, Pulau Nunukan.

58 4.1.4.6 Permukiman Penggunaan lahan permukiman meliputi perumahan, perkantoran, tempat olahraga, taman, kuburan baik yang di perkotaan maupun pedesaan, demikian juga permukiman transmigrasi. Luas penggunaan untuk permukiman ini adalah 7.130 ha atau sekitar 0,05% dari luas wilayah Kabupaten. Selain dikembangkan di Pulau Nunukan sebagai kawasan perkotaan dengan pusat pemerintahan, di pengembangan Sebatik kawasan permukiman juga akan

dikembangkan

Pulau

(dua

kecamatan).

Kecamatan

Lumbis,

Sembakung, Krayan Induk, dan Krayan Selatan merupakan bagian dari wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. Pengembangan kawasan permukiman tersebut mendorong terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan negara yang berbasis potensi SDA wilayah. Kesesuaian lahan untuk permukiman dapat dilihat pada Gambar 14.

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 14. Peta kesesuaian lahan untuk permukiman a. Perumahan Perkotaan Berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan, deliniasi kawasan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: Kemiringan lereng relatif landai (0 - 15%) Tidak berada pada daerah banjir

59 Tidak berada pada daerah resapan air Tersedia air baku yang cukup Bebas dari bahaya gangguan geologi lingkungan Mempunyai tingkat aksesibilitas dan dapat dijangkau Tidak berada pada daerah rawan gempa Berada dekat pusat kota Tidak berada dalam kawasan lindung Berdasarkan kriteria tersebut, areal potensial dikembangkan untuk kegiatan permukiman perkotaan terletak di Pulau Nunukan atau Kota Nunukan, di bagian Pulau Sebatik, serta kota-kota kecamatan lainnya. Sehubungan dengan potensi pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan, diperlukan pengaturan ruang sebagai berikut: 1. Dapat dibangun akomodasi perkotaan serta sarana sosial-ekonomi yang dapat memfungsikan kota tersebut sebagai pendorong pengembangan kawasan sekitarnya atau daerah hinterland-nya. Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi yang ada disesuaikan dengan potensi daerah belakangnya. 2. Pemanfaatan air tanah sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan penduduk perkotaan dan sistem aktivitas. Selain itu, air sungai juga dimanfaatkan sebagai bahan baku air bersih harus melalui pengelolaan sehingga memenuhi kelayakan sebagai air bersih yang siap untuk dikonsumsi masyarakat. 3. Pembangunan unit-unit permukiman diwajibkan untuk menyediakan lahan kuburan, minimum 5% dari luas areal pengembangan perkotaan. 4. Pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada sistem

prasarana dasar yang artinya pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada penataan bangunan dan lingkungan yang serasi dan seimbang, meliputi sistem drainase, air bersih, air kotor, persampahan, jalan lingkungan, tata ruang, dan perumahan. 5. Pengembangan permukiman minimal harus menghindari lahan-lahan

pertanian yang produktif. 6. Sistem prasarana drainase: - Harus mempertimbangkan badan sungai yang ada sebagai saluran penerima

Koefisien aliran permukaan (run off) tidak lebih dari 25%. Pada lereng atau tanah yang peka terhadap erosi harus ada rekayasa teknis sehingga kekeruhan drainase tidak semakin pekat

- Perhitungan drainase berdasarkan banjir 10 sampai 25 tahun. 7. Sistem air bersih: Pengambilan air baku diutamakan dari air permukaan (sungai) dengan melakukan pengelolaan sehingga layak untuk dijadikan air minum dan kebutuhan air bersih lainnya. Untuk meningkatkan recharge air tanah, dianjurkan untuk membuat sumur resapan terutama pada tanah yang stabil dan mempunyai daya serap tinggi. Kapasitas kemampuan pelayanan didasarkan pada perhitungan kebutuhan air bersih rata-rata 100 liter/orang/hari, sesuai dengan standar hidup perkotaan. b. Perumahan Pedesaan Berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan, delineasi pengembangan kawasan permukiman pedesaan di Kabupaten Nunukan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Ketinggian <1.000 mdpl, kecuali desa-desa yang sudah ada di atas ketinggian 1.500 mdpl. 2. Mempunyai sistem dan atau potensi pengembangan pengairan dan drainase. 3. Kemiringan tanah <30%, kecuali jenis tanah regosol, litosol, rezina, dan organosol dengan kemiringan <15%. 4. Kedalaman efektif tanah > 30 cm. 5. Bukan daerah kritis/bahaya lingkungan beraspek geologi, seperti daerah patahan aktif, erosi, dan longsoran. 6. Tidak berada dalam kawasan berfungsi lindung. 7. Kemiringan lereng relatif landai 0 - 15%.

Permukiman desa yang tidak sesuai dengan kriteria di atas tetap dipertahankan terutama di desa yang terdapat pada kawasan Taman Nasional Krayan Mentarang yang terletak di ketinggian di atas 1.000 mdpl. Adapun permukiman desa yang terletak di daerah bahaya geologi lingkungan, seperti patahan aktif, erosi, dan longsoran tidak terdapat di Kabupaten Nunukan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada desa-desa di daerah kritis, tetapi desa-desa berada dalam kawasan lindung. Berdasarkan potensi pengembangan permukiman perdesaan di Kabupaten Nunukan, perlu dilakukan pengaturan ruang sebagai berikut: 1. Permukiman penduduk lokal/desa-desa yang berada pada kawasan lindung tetap dipertahankan. Namun, diusahakan untuk dimukimkan kembali ke dalam kawasan yang sesuai untuk permukiman, melalui pengembangan kawasan budi daya, baik budi daya pertanian maupun budi daya kehutanan. 2. Dapat dibangun sarana sosial-ekonomi berdasarkan kebutuhan sesuai dengan karakteristik tiap desa. Pada desa-desa yang berada di daerah aliran sungai perlu dikembangkan pelabuhan sungai yang berskala lingkungan, selain sarana prasarana sosial lainnya, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan sarana budaya. 3. Diperkenankan bangunan yang menunjang fungsi kawasan/kegiatan utama untuk kepentingan umum. 4. Pengembangan jalan sesuai dengan kebutuhan dan juga disesuaikan dengan karakteristik masing-masing desa. Bagi desa-desa yang terletak di daerah aliran sungai, digunakan akses sungai sebagai pintu keluar masuk desa. Pengembangan jalan lainnya dapat diintegrasikan dengan pengembangan lahan usaha masyarakat. 5. Permukiman pedesaan memiliki kepadatan maksimum lima rumah/hektar dan KDB maksimum 5%, dan tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat) atau usaha tani. 6. Perlu disesuaikan secara dini agar permukiman perdesaan yang berbasis sentra pertanian tidak berubah menjadi permukiman perkotaan agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan serta konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan dengan baik.

4.1.5 Kondisi Penduduk di Kabupaten Nunukan Keadaan penduduk di Kabupaten Nunukan berdasarkan distribusi menurut kecamatan, jumlah terbesar di Kecamatan Nunukan sebesar 42,96% dan Kecamatan Sebatik sebesar 16,15% (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008). Secara keseluruhan distribusi berdasarkan kecamatan terlihat pada Gambar 15.

Sebatik Barat 8,78%

Krayan 6,72%

Krayan Selatan 1,81% Lumbis 7,47% Sembakung 6,77%

Sebatik 16,15%

Sebuku 9,34%

Nunukan 42,96%

Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 15. Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan 2007 Berdasarkan kepadatan penduduk dari delapan kecamatan yang ada terlihat bahwa Kecamatan Sebatik memiliki kepadatan penduduk tertinggi, yaitu 194,2 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 20.283 jiwa dan luas wilayah 104,42 km2. Kepadatan Kecamatan Sebatik Barat yaitu 77,6 jiwa/km2. Di kecamatan lainnya, kepadatan penduduk yang ada hanya berkisar antara 1,29 - 33,79 jiwa/km2. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2007 Kecamatan Krayan Krayan Selatan Lumbis Sembakung Nunukan Sebuku Sebatik Sebatik Barat Jumlah Luas Wilayah (km) 1.837,54 1.756,46 3.645,50 2.055,90 1.596,77 3.124,90 104,42 142,19 14.263,68 Jumlah Penduduk (Jiwa) 8.438 2.271 9.380 8.503 53.951 11.731 20.283 11.028 125.585 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km) 4,59 1,29 2,57 4,14 33,79 3,75 194,24 77,56 8,80

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Rata-rata jiwa per rumah tangga terbanyak terjadi di Kecamatan Sebuku dengan jumlah rata-rata sebanyak 4,52 jiwa/keluarga dengan jumlah rumah tangga sebanyak 2.593 KK dan jumlah penduduk sebanyak 11.731 jiwa.

Tabel 6. Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata jiwa per rumah tangga tahun 2007 Rata-Rata Jiwa/ Penduduk Rumah Tangga Kecamatan (jiwa) (kk) Keluarga Krayan 8.438 1.917 4,40 Krayan Selatan 2.271 545 4,17 Lumbis 9.380 2.366 3,96 Sembakung 8.503 2.230 3,81 Nunukan 53.951 14.653 3,68 Sebuku 11.731 2.593 4,52 Sebatik 20.283 5.163 3,93 Sebatik Barat 11.028 3.235 3,41 Jumlah 125.585 32.702 3,84 2006 118.707 30.245 3,92 2005 115.210 32.895 3,50 2004 109.527 19.685 5,56 2003 106.323 19.546 5,44 2002 97.398 18.860 5,16
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

4.1.6

Kondisi Prasarana dan Sarana

4.1.6.1 Jalan dan Angkutan Sungai Prasarana dan sarana perhubungan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang kegiatan pembangunan. Kelancaran perhubungan

antarkecamatan, kabupaten, kota kecamatan, dan pedalaman/kawasan pedesaan akan mempercepat jalanya roda pembangunan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan keamanan. Prasarana perhubungan meliputi subsektor perhubungan darat, subsektor perhubungan laut, subsektor perhubungan air, dan subsektor perhubungan udara. Peranan perhubungan sangat vital dalam menunjang kegiatan pembangunan terutama darat. Prasarana jalan menjadi faktor utama dalam mendukung lancarnya mobilisasi kegiatan pembangunan di daerah. Program pembangunan jalan Kabupaten Nunukan untuk pertumbuhan ekonomi yaitu: Pembangunan Jalan Lingkar Pulau Nunukan antara lain sebagai berikut: Binusan Sungai, Fatimah Sungai, Bilal - alun-alun Sedadap Sungai, Jepun Tanjung, Harapan Sungai, Lancang Mamolo - Binusan, dengan jarak 51,60 km. Pembangunan Jalan Lingkar Pulau Sebatik antara lain sebagai berikut Bambangan Setabu Sungai, Taiwan Tanjung, Aru Sungai, Pancang Sungai Nyamuk - Aji Kuning - Bambangan, dengan jarak 58,50 km.

Pembangunan Jalan Lingkar Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan melalui Long Bawan Kuala, Belawit Lembudud Long, Layu - Tang Laan Tanjung, Pasir - Long Padi Binuang - Ba Liku Bungayan - Wa Yagung Long Bawan, dengan jarak 125 km.

Pembangunan jalan lintas kecamatan, yang menghubungkan kecamatankecamatan di Kabupaten Nunukan melalui: - Kecamatan Sebuku (Pembeliangan) - Kecamatan Sembakung (Atap), dengan jarak 22,79 km. - Kecamatan Sebuku (Pembeliangan) - Kecamatan Lumbis (Mansalong), dengan jarak 65,60 km. - Kecamatan Lumbis (Mansalong) - Kecamatan Krayan (Long Bawan), dengan jarak 235 km.

Pembangunan jalan lintas kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Nunukan dan Malinau yaitu Kecamatan Sebuku (Pembeliangan) - Kecamatan Lumbis (Mansalong) - Kabupaten Malinau - Kecamatan Malinau Utara (Salap), dengan jarak 87,63 km.

Pembangunan jalan lintas negara yang menghubungkan Kabupaten Malinau dan Nunukan ke batas negara sejauh 180,43 km. Jaringan jalan yang ada di Kabupaten Nunukan terbagi atas jalan negara, jalan

provinsi, dan jalan kabupaten. Berdasarkan jenis permukaannya, jaringan jalan darat dibagi menjadi jalan aspal, jalan berbatu/diperkeras, dan jalan tanah. Pada jalan negara dan jalan provinsi, masih diusulkan penetapannya ke tingkat provinsi/pusat. Hubungan antaribukota kecamatan di dalam kabupaten sebagian besar masih menggunakan jalur angkutan laut dan sungai. Jaringan jalan kabupaten relatif masih terbatas dibandingkan dengan luas wilayah administrasi Kabupaten Nunukan. Meskipun demikian, semua ibukota kecamatan maupun desa-desa yang ada dapat dijangkau dengan jalan darat, sehingga memudahkan penduduk untuk berinteraksi dan beraktivitas walaupun sebagian besar jalan tersebut belum beraspal. Jaringan jalan ke lokasi rencana PPN untuk daerah Sungai Mensapa dapat langsung dijangkau oleh kendaraan roda empat dengan baik karena keberadaan

lokasi yang berdekatan dengan jalan lingkar Pulau Nunukan. Jaringan jalan menuju Sungai Jepun, Sedadap, dan Kampung Buton sudah tersedia jalan agregat yang dapat dilalui oleh mobil sampai ke rencana lokasi. Pemerintah Kabupaten Nunukan merencanakan pengembangan prasarana jalan yang meliputi:
1.

Pemeliharaan secara periodik dan rutin serta peningkatan jalan menuju ibukota kecamatan dengan konstruksi hotmix.

2. 3.

Membuka isolasi daerah melalui pembangunan dan peningkatan jalan desa. Melanjutkan pembangunan ruas jalan baru dengan melengkapi kebutuhan rambu-rambu lalu lintas untuk keamanan dan ketertiban pemakai jalan.

4.

Meningkatkan kelas jalan. Kondisi jaringan jalan di Nunukan dapat dilihat berdasarkan jenis permukaan

jalan maupun kelas jalan. Sebagian besar (53,5%) jaringan jalan yang ada masih merupakan jalan berpermukaan campuran (agregat antara jalan aspal, batu, dan tanah). Persentase panjang jalan disajikan pada Gambar 16.

Aspal 16%

Tanah 49% Kerikil 35%

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 16. Persentase panjang jalan menurut jenis permukaan 2007 (km) Jumlah panjang jalan di wilayah Kabupaten Nunukan, termasuk wilayah perkotaannya, mencapai 816,90 km. Peta kesesuaian lahan untuk keterlintasan jalan dapat dilihat pada Gambar 17.

66

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 17. Peta kesesuaian lahan untuk keterlintasan jalan Pelayanan mobilisasi penduduk dan barang antarpulau, alat angkutan utama yang digunakan adalah kapal laut dan udara. Selain itu, untuk keperluan lokal (dalam kota) digunakan angkutan darat. Berdasarkan data Kantor Badan Statistik Kabupaten Nunukan tahun 2002, tercatat satu pelabuhan laut, dua bandar udara perintis, dan enam bandar udara air strip. Tersedia jadwal rute angkutan sungai, laut, dan udara yang melintasi Kabupaten Nunukan, yakni sebagai berikut :
1. 2. 3. 4.

Angkutan Sungai Tarakan - Nunukan Terjadwal (setiap hari) Angkutan Sungai Antarnegara Nunukan - Tawau (setiap hari) Angkutan udara Tarakan - Nunukan Angkutan Kapal Laut Nunukan Toli Makassar Balikpapan - Surabaya PP Angkutan sungai di Kabupaten Nunukan memegang peranan penting, tidak

hanya sebatas pada daerah pedalaman, tetapi juga sangat berperan pada daerah yang sudah berkembang di sekitar pantai. Sistem angkutan sungai ini berkembang di sepanjang Sungai Sebuku (Sungai Tulid dan Sungai Tikung), sepanjang Sungai Sembakung yang menghubungkan daerah yang tersebar di sepanjang sungai mulai dari hulu ke hilir dan sepanjang sungai di Lumbis serta Krayan Selatan yang ada di wilayah pedalaman Kabupaten Nunukan.

Sesuai dengan sifat-sifat sungai, peranan angkutan sungai demikian pentingnya untuk kelancaran arus barang, maupun penumpang ke dan dari pedalaman. Hal ini disebabkan masih terbatasnya prasarana dermaga perairan darat. Namun, di lain pihak adanya kegiatan angkutan sungai yang dilengkapi dengan prasarana dermaga dapat mempengaruhi ekosistem yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, ekosistem perairan dapat tercemar oleh bahan organik yang berasal dari pengguna angkutan dan bahan organik seperti bahan bakar, dan oli. Bahan-bahan ini dapat menambah ambang total petroleum hidrokarbon di dalam air. 4.1.6.2 Angkutan Udara Bandar udara Kabupaten Nunukan merupakan bandar perintis yang melayani daerah di Kabupaten Nunukan, bahkan antarkota yang ada di Provinsi Kalimantan Timur dengan jenis pesawat baling-baling kecil dan sedang. Kondisi yang sama juga terlihat pada perpaduan dengan angkutan lainnya untuk dapat menjangkau wilayah pedalaman dan perbatasan dengan penerbangan perintis. 4.1.6.3 Air Bersih a. Ketersediaan Prasarana dan Sarana Air Bersih Sumber air baku bagi kebutuhan air bersih diambil dari Sungai Bolong dan Sungai Bilal. Jumlah sambungan aktif mencapai 1.348 unit, terdiri 1.049 unit sambungan rumah (SR), 14 unit hidran, dan 289 unit sambungan nonrumah tangga. Perkembangan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan air bersih. Permasalahan yang ada dalam penyediaan air bersih di Kabupaten Nunukan ini yaitu sebagian besar daerah belum memilik sambungan air PDAM sebagai badan yang dapat mengolah dan menyediakan air bersih. Kecamatan Nunukan telah memiliki PDAM, sedangkan kecamatan lain masih memanfaatkan sumber air lainnya, seperti mata air dan air permukaan sebagai sumber air bersih. Selain itu, kapasitas yang tersedia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, adanya jaringan distribusi yang belum menjangkau ke seluruh wilayah, dan masih tingginya tingkat kebocoran air. Sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan di Kabupaten Nunukan ini sebelumnya sangat potensial. Sumber daya air tersebut terdiri dari air permukaan dan air tanah dalam. Kapasitas air bersih yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena permasalahan distribusi dan kualitas air yang belum sesuai dengan kebutuhan.

68 Pembangunan dan pemanfaatan embung-embung yang berasal dari sungai-sungai dapat sangat bermanfaat dalam mengatasi keterbatasan air baku untuk air minum pada musim kering. b. Tingkat Pelayanan Air Bersih Perkotaan Berdasarkan sistem sambungan perpipaan, tingkat pelayanan air bersih penduduk Kabupaten Nunukan sebesar 18%. Sisanya, sebanyak 82% penduduk di wilayah Kota Nunukan masih menggunakan sumber air baku yang berasal dari tanah, air permukaan, maupun air hujan. Penyediaan air yang bersih dan layak digunakan untuk keperluan sehari-hari dapat dipenuhi dengan tersedianya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM yang beroperasi di Kabupaten Nunukan berada di Kecamatan Nunukan dan Sebatik. Jumlah pelanggan PDAM Nunukan pada tahun 2007 (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008) mencapai 1.912 pelanggan atau dengan kata lain mengalami peningkatan masing sebesar 9,63% dibanding tahun sebelumnya. Selengkapnya data perkembangan pelanggan dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 18.

2.500 2.000 1.496 1.500 1.000 500 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1.496 1.510 1.573 1.912 1.744

Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 18. Banyaknya pelanggan pada PDAM Nunukan 20022007

Berdasarkan data tahun 2007, terdapat 1.912 orang dengan jumlah pelanggan terbanyak dari rumah tangga (tempat tinggal), instansi/kantor pemerintah. Di Kecamatan Nunukan, terdapat 1.484 pelanggan. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Banyaknya pelanggan air minum menurut jenis pelanggan 2007 Jenis Pelanggan Rumah Tangga (Tempat Tinggal), Instansi/Kantor Pemerintah Household, Government Hotel/Objek Wisata, Toko, Industri, Perusahaan Hotel, Market, Industry, Factory Badan Sosial, Rumah Sakit, Rumah Ibadah dsb Social, Hospital Sarana (Fasilitas) Umum Public Facilities Hydran Pelabuhan Hydran Port Lainnya/Industri Others Jumlah
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Nunukan 1.484 390 12 26 1.912

Sebatik 219 90 4 2 1 316

Lumbis 229 63 1 3 296

Seiring dengan peningkatan jumlah pelanggan, banyaknya air minum yang disalurkan oleh PDAM Nunukan juga mengalami peningkatan sebesar 17,41%. Data selengkapnya mengenai perkembangan banyaknya air minum yang disalurkan terlihat pada Gambar 19.

1.000.000 900.000 800.000 700.000 600.000 500.000 300.000 200.000 100.000 0 2002 2003 2004 2005 2006 468.832 385.179 470.339 514.418 756.006

887.632

2007

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 19. Banyaknya air minum yang disalurkan 2002-2007 (m3)

70 4.1.6.4 Listrik dan Telekomunikasi Prasarana listrik dan telekomunikasi merupakan fasilitas dasar yang sangat dibutuhkan untuk mendorong perkembangan kabupaten. Pelayanan listrik di Kabupaten Nunukan menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dikelola oleh PLN wilayah VI. Produksi tenaga listrik Kabupaten Nunukan mengalami peningkatan sebesar 28,29% pada tahun 2007. Peningkatan ini diiringi dengan meningkatnya tenaga listrik yang terpasang sebesar 16 MWH atau terjadi peningkatan sebesar 33,33% dari tahun sebelumnya. Otomatis tenaga listrik yang terjual juga mengalami peningkatan sebesar 26,80%. Tenaga listrik yang terjual sebesar 35.248 MWH, di mana sebagian besar digunakan oleh rumah tangga sebesar 18.550 MWH, kemudian kegiatan usaha sebesar 9.235 MWH. Adapun untuk kepentingan publik, industri, dan sosial masing-masing sebesar 4.921, 1.672, dan 870 MWH. Data perkembangan banyaknya tenaga listrik yang diproduksi dapat dilihat pada Gambar 20.

40.000 30.000 20.000 10.000 0 2004 Diproduksi Terjual 25.556 23.103 2005 29.553 26.129 2006 26.557 24.562 2007 34.070 31.145

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 20. Banyaknya tenaga listrik yang diproduksi Tahun 2004-2007 (MWH) 4.1.7 Kondisi Ekonomi Daerah Secara umum, wilayah Kabupaten Nunukan memiliki sektor ekonomi andalan berupa pertambangan. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 sebesar 1,38% dengan migas dan 17,37% tanpa migas. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tambah dari sektor pertambangan dan penggalian yang memberikan bagian terbesar terhadap nilai PDRB.

Perkembangan ekonomi di Kabupaten Nunukan banyak dipengaruhi oleh sektor perdagangan, baik regional (dalam wilayah kabupaten), maupun

perdagangan lintas batas dengan wilayah Negara Bagian Sabah di Malaysia Timur. Selain itu, terdapat pula perdagangan barang-barang yang berasal dari wilayah Sabah, Malaysia. Perlu dicermati bahwa ada usaha-usaha perdagangan ilegal yang berlangsung secara lintas batas antara negara Malaysia dan Indonesia di sekitar wilayah perkotaan Kecamatan Nunukan. Struktur perekonomian Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 terlihat masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat

diperbaharui. Hal ini tercermin pada tabel 8, nilai distribusi PDRB atas dasar harga berlaku yang masih didominasi oleh sektor pertambangan penggalian dan pertanian masing-masing sebesar 51,44% dan 24,84%. Hal ini menunjukkan perlu adanya dorongan dalam proses transformasi ekonomi Kabupaten Nunukan dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Tabel 8. Struktur perekonomian menurut lapangan usaha tahun 2003 2007 (%) Sektor/Sub Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB 2003 37,08 38,85 0,04 0,60 6,77 9,37 2,30 0,17 4,82 100 2004 33,27 43,01 0,04 0,65 6,28 9,84 2,34 0,16 4,41 100 2005 21,03 62,40 0,03 0,46 3,95 7,27 1,68 0,11 3,06 100 2006 21,01 57,78 0,03 0,49 4,19 10,08 2,03 0,13 4,26 100 2007*) 24,84 51,44 0,24 0,49 4,33 11,28 2,06 0,14 5,18 100

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

72 4.1.8 Kebijakan Pembangunan Kabupaten Nunukan Kebijakan struktur tata ruang dalam RTRW Kabupaten Nunukan adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan sistem kota atau sistem pusat-pusat permukiman yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung serta fungsi kegiatan dominan. 2. Mengembangkan prasarana wilayah yang mampu mendukung terwujudnya sistem kota-kota (sistem pusat-pusat permukiman) di Kabupaten Nunukan. 3. Mengembangkan kawasan-kawasan potensial di Kabupaten Nunukan dan mendukung terwujudnya struktur tata ruang yang diinginkan. Kebijakan pemanfaatan ruang Kabupaten Nunukan yang bertujuan

mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem, dan meningkatkan daya dukung lingkungan buatan guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.
1. 2.

Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan ruang secara serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan.

3.

Meningkatkan

kualitas

lingkungan

hidup serta

mencegah

timbulnya

kerusakan fungsi dan tatanan lingkungan hidup. Pengembangan prasarana wilayah diarahkan untuk mendukung terwujudnya prasarana wilayah yang diarahkan untuk mendukung terwujudnya struktur tata ruang dan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan yang telah direncanakan. Oleh karena itu, peningkatan dan pembangunan prasarana wilayah didasarkan pada rencana struktur tata ruang serta rencana pemanfaatan ruang wilayah. Secara lebih rinci kebijakaan pengembangan prasarana yaitu sebagai berikut:
1.

Pengembangan prasarana transportasi diarahkan untuk menghubungkan antara sentra produksi, pusat pengumpul, dan distribusi serta pasar.

2.

Pengembangan

prasarana

pengairan

diarahkan

untuk

mendukung

pengembangan pertanian lahan basah (sawah) dan tambak.


3.

Pengembangan pasokan energi listrik diarahkan untuk memenuhi kebutuhan di sentra produksi dan permukiman.

4.

Pengembangan prasarana penyediaan air bersih diarahkan pada pusat permukiman dan daerah yang rawan air bersih.

5.

Pengembangan prasarana industri perkebunan dan perikanan skala besar. Kecamatan Nunukan dan Sebatik merupakan pusat pertumbuhan hierarki I di

Kabupaten Nunukan. Hal ini berdasarkan kegiatan sosial-ekonomi yang berada dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia sehingga sangat strategis untuk pengembangan perdagangan antarnegara. Ciri-ciri pusat

pertumbuhan ini ditandai oleh antara lain sebagai berikut: Pola penggunaan lahan yang didominasi oleh kegiatan nonpertanian, antara lain adanya kegiatan campuran (permukiman dan kegiatan lainnya). Adanya pemusatan lokasi kegiatan sosial ekonomi yang mencirikan kegiatan perkotaan. Ketersediaan fasilitas sosial dan sarana ekonomi yang lengkap. Mudah diakses dari segala penjuru wilayah di Kabupaten Nunukan. Sesuai dengan fungsi pertumbuhan, Kecamatan Nunukan sebagai Ibukota Kabupaten merupakan pusat kegiatan ekonomi skala regional dan skala

internasional, lokasi pangkalan niaga, pergudangan, terminal agribisnis, industri, pemukiman, dan faslitas sosial-ekonomi yang berorientasi pelayanan antarpulau dan antarnegara. Selanjutnya, dalam RTRW, disebutkan rencana pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan. Pengembangan permukiman perkotaan dilakukan melalui peningkatan fungsi pusat-pusat ekonomi perkotaan dan pusat-pusat permukiman desa yaitu di Kecamatan Nunukan, Mansalong, Long Bawan, Pembeliangan, Tau Lumbis, Tanjung Karang, dan Atap. Rencana pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan diarahkan pada pengembangan permukiman perkotaan yang dapat memenuhi kebutuhan

lingkungan hunian yang serasi dan selaras. Rencana pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan akan diarahkan pada permukiman perkotaan Nunukan, Tanjung Karang, Atap, Long Bawan, Mansalong, Pembeliangan, dan Tau Lumbis.

74 4.1.9 Potensi Sumber Daya Alam dan Wilayah

4.1.9.1 Kehutanan Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya hayati. Selain itu, dapat pula memantapkan fungsi ekosistem sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Pembangunan kehutanan mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan sosial, baik dalam kawasan hutan maupun masyarakat di sekitar hutan. Pengelolaan hutan sebagai sumber daya alam perlu ditingkatkan dan disempurnakan agar memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu, kegiatan kehutanan perlu memperhatikan tata guna hutan, usaha perlindungan dan pengamanan flora dan fauna, areal tanah kritis, hutan tanam industri, serta penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat. Luas kawasan hutan di Kabupaten Nunukan seluas 1.426.368 ha yang terdiri dari taman nasional, hutan lindung, kawasan hutan, dan kawasan budi daya nonkehutanan. Sebagian besar wilayah hutan adalah kawasan budi daya nonkehutanan, yakni seluas 470.914 ha atau 33,01% dari kawasan hutan seluruhnya. Produksi kayu bulat tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 71,73% dibanding tahun sebelumnya yaitu dari 123.911,37 m3 menjadi 35.034,58 m3. Luas kawasan hutan disajikan pada Gambar 21.

Tam an Nas ional 25.02%

Kaw as an Budidaya Non Ke hutanan 33.01%

Hutan Lindung 11.74%

Kaw as an Hutan 30.23%

Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 21. Luas kawasan hutan menurut tata hutan kesepakatan 2007 (Ha)

75 4.1.9.2 Pertanian Pertanian merupakan sektor primer yang mendominasi aktivitas perekonomian di Kabupaten Nunukan. Pengembangan di bidang pertanian perlu ditingkatkan agar memberikan hasil yang lebih baik dari segi kuantitas dan kualitas. Pertanian yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan terus diupayakan untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Pada tahun 2007 luas panen padi (sawah dan ladang) di Kabupaten Nunukan mengalami peningkatan, yakni sebesar 4,28%. Produksi tanaman padi juga mengalami kenaikan, yaitu menjadi 48.127 ton atau dengan kata lain terjadi peningkatan produktivitas padi sebesar 9,65%. Kecamatan Krayan adalah daerah yang mempunyai luas panen dan jumlah produksi padi ladang yang lebih besar dibandingkan kecamatan yang lain, yaitu 38,11% dari total luas panen serta 40,83% dari total produksi. Peningkatan luas tanam yang pesat dibandingkan tahun sebelumnya dan diiringi dengan peningkatan hasil produksi dari masing-masing tanaman.

Tanaman bawang daun merupakan komoditas tanaman sayur-sayuran yang mengalami penurunan hasil produksi. Persentase produksi padi disajikan pada Gambar 22..

Sebuku 4%

Sebatik 21% Krayan 41%

Nunukan 11%

Sembakung 3%

Lumbis 6%

Krayan Selatan 14%

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 22. Persentase produksi padi menurut kecamatan 2007

76 4.1.9.3 Perkebunan Luas areal komoditas kelapa sawit pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 25,4% dibandingkan dengan tahun 2006. Sebagian besar luas areal kelapa sawit terdapat di Kecamatan Sebatik, Sebatik Barat, Sebuku, Lumbis, Sembakung dan Nunukan. Dilihat dari rata-rata produksi yang dihasilkan oleh setiap komoditas perkebunan, produksi terbesar dihasilkan oleh tanaman kakao sebesar 18.903,10 ton atau meningkat 6,8% dibandingkan tahun 2006. Persentase produksi komoditas kakao dan kelapa disajikan pada Gambar 23

20000 Hasil 15000 10000 5000 0

17702

18903.1

kakao 7458.32 7686.71 kelapa

2006 Tahun
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

2007

Gambar 23. Produksi komoditas kakao dan kelapa 2006-2007 (ton) 4.1.9.4 Perikanan Produksi perikanan pada tahun 2007 tercatat 4.947,57 ton, yang terdiri atas 4.585,36 ton produksi perikanan penangkapan dan 362,21 ton perikanan budi daya. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi perikanan tahun 2006 naik 9,31%. Pada tahun 2007, jumlah rumah tangga perikanan penangkapan

tercatat 2.273 rumah tangga atau naik sebesar 30,26 persen dibandingkan tahun 2006 (Gambar 25). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa meningkatnya peningkatan produksi produktivitas ikan di lokasi penelitian perairan, bukan disebabkan peningkatan oleh jumlah

tetapi disebabkan

penangkap ikan sebesar 30,26%. Persentase produksi perikanan disajikan pada Gambar 24.

77

Krayan 1.03% Se batik Barat 15.94%

Se m bak ung 19.09%

Lum bis 0.37%

Nunuk an 25.87%

Krayan Se latan 0.17% Se buk u 0.16%

Se batik 37.37%

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 24. Persentase produksi perikanan menurut kecamatan 2007 4.1.9.5 Pertambangan Hasil tambang batu bara mengalami peningkatan yang sangat pesat, yakni pada tahun 2006 jumlah produksi sebanyak 1.165.287 ton. Kemudian pada tahun 2007 menjadi 1.846.937.129 ton. Produksi minyak bumi di Kabupaten Nunukan selama tahun terakhir ini mengalami penurunan jumlah produksi. Dinas pertambangan mencatat produksi minyak bumi dari P.T. Perkasa Equatorial Sembakung Ltd. pada tahun 2007 sebesar 1.362.304 BBL atau menurun sebesar 22,59% dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi pertambangan batu bara dan minyak bumi 20062007 dapat dilihat pada Gambar 25.

2000000 Ton/BBL 1500000 1000000 500000 0

1670048 1165287

1846937 1362304 Batubara Minyak bumi

2006 Tahun
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

2007

Gambar 25. Produksi pertambangan batubara dan minyak bumi 2006-2007

Sumber : Survei Lapangan, 2008

Gambar 26. Kawasan tambang batubara dan minyak bumi 4.1.9.6 Permukiman A. Potensi Pengembangan Lahan Permukiman Potensi pengembangan kawasan permukiman meliputi perumahan, perkotaan, dan perdesaan. Demikian juga permukiman lain, seperti permukiman transmigrasi baik lokal maupun antarwilayah di Indonesia cukup luas. Berdasarkan arahan RTRW kabupaten, lahan untuk permukiman adalah 7.130 ha atau sekitar 0,05% dari luas wilayah kabupaten. Pengembangan kawasan permukiman selain dikembangkan di Pulau Nunukan sebagai kawasan perkotaan dengan pusat pemerintahan juga akan dikembangkan di Pulau Sebatik (dua kecamatan). Selain itu, dikembangkan juga di Kecamatan Lumbis, Sembukung, dan Krayan yang merupakan bagian wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. Rencana andalan pengembangan tersebut

dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru di perbatasan negara yang berbasis potensi SDA wilayah yang prospektif dan potensial mendukung keberlanjutan kawasan permukiman. Permukiman desa yang tidak sesuai dengan kriteria di atas tetap dipertahankan terutama di desa-desa yang terdapat pada kawasan Taman Nasional Krayan Mentarang yang terletak di ketinggian diatas 1.000 mdpl. Adapun permukiman desa yang terletak pada daerah bahaya geologi lingkungan, seperti patahan aktif, erosi, dan longsoran tidak terdapat di Kabupaten Nunukan. Hasil analisis menunjukkan tidak ada desa yang berada di daerah kritis, tetapi ada desa yang berada dalam kawasan lindung.

79 Berdasarkan potensi pengembangan permukiman perdesaan di Kabupaten Nunukan, perlu adanya pengaturan ruang seperti permukiman penduduk

lokal/desa-desa yang berada pada kawasan lindung. Akan tetapi, perlu diusahakan pemukiman kembali kawasan yang sesuai untuk permukiman. Fasilitas sosial dan ekonomi dapat dibangun sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik msing-masing desa. Pada desa-desa yang berada di daerah aliran sungai perlu dikembangkan pelabuhan sungai yang berskala lingkungan,

penyediaan prasarana dan sarana, serta fasilitas sosial dan ekonomi. Bangunan yang menunjang fungsi kawasan/kegiatan utama diperkenankan dibangun untuk kepentingan umum. Bagi desa-desa yang terletak pada daerah aliran sungai dan menggunakan akses sungai sebagai pintu keluar masuk desa dapat dibangun jalan akses dan menempatkan prasarana dan sarana sosial lainnya. Pengembangan jalan lainnya dapat diintegrasikan dengan pengembangan lahan usaha masyarakat. Permukiman perdesaan memiliki kepadatan maksimum lima rumah/hektar dan KDB

maksimum 5%. Tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat) atau usaha tani. Permukiman perdesaan yang berbasis sentra pertanian perlu disesuaikan secara dini agar tidak berubah menjadi permukiman perkotaan agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan. Selain itu, konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan dengan baik. B. Potensi Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Kemampuan daerah dalam sharing pembiayaan pembangunan kawasan

permukiman dilihat dari kemampuan indikator nilai indeks fiskal daerah. Untuk Kabupaten Nunukan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

61/PMK.07/2010 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk

Penanggulangan Kemiskinan Tahun Anggaran 2011, masuk dalam kategori sangat tinggi. Nilai indeks fiskal dapat menunjukkan kemampuan daerah dalam pendampingan pembiayaan bersama dengan pemerintah pusat. Pemerintah Kabupaten Nunukan telah memperlihatkan adanya potensi

kemampuan sharing pembiayaan pada program-program stimulan pembangunan perumahan dari pemerintah pusat seperti dari Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan kementerian lain yang terkait. Nilai indeks fiskal di Kalimantan Timur terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Daftar daerah berdasarkan indeks fiskal dan kemiskinan daerah di Kalimantan Timur
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Indeks Ruang Indeks Persentase Tingkatan Fiskal Daerah Penduduk Miskin Kelompok Penyediaan (IRFD) Daerah (IPPMD) DUUB Kab. Berau 2.999 0.886 4 Tinggi Kab. Bulungan 4.067 1.450 1 Sangat Tinggi Kab. Kutai Kartanegara 4.464 0.993 4 Tinggi Kab. Kutai Barat 3.796 1.335 1 Sangat Tinggi Kab. Kutai Timur 4.426 1.134 1 Sangat Tinggi Kab. Malinau 8.971 1.550 1 Sangat Tinggi Kab. Nunukan 3.248 1.800 1 Sangat Tinggi Kab. Pasir 2.175 1.416 1 Sangat Tinggi Kota Balikpapan 1.195 0.300 4 Tinggi Kota Bontang 3.185 0.303 4 Tinggi Kota Samarinda 1.062 0.421 4 Tinggi Kota Tarakan 1.829 0.721 4 Tinggi Kab. Penajam Paser Utara 2.935 0.698 4 Tinggi Kab. Tana Tidung 30.928 1.450 1 Sangat Tinggi Sumber : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2010 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah dalam rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan tahun anggaran 2011 Kab / Kota

Penentuan tingkat besaran penyediaan dana daerah untuk urusan bersama (DUUB) adalah dengan pertimbangan sebagai berikut: a. DDUB yang harus disediakan oleh daerah disesuaikan dengan katagori kelompok. b. DDUB yang harus disediakan oleh daerah dengan rincian sebagai berikut: Daerah yang termasuk dalam kelompok 1 menyediakan DDUB sangat tinggi; Daerah yang termasuk dalam kelompok 2 menyediakan DDUB sedang; Daerah yang termasuk dalam kelompok 3 menyediakan DDUB rendah; Daerah yang termasuk dalam kelompok 4 menyediakan DDUB tinggi. c. Penentuan batas persentase terendah dan tertinggi DDUB yang harus disediakan oleh daerah dengan mempertimbangkan hasil keputusan rapat koordinasi instansi yang terkait dengan program penanggulangan kemiskinan nasional.

81 d. Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

menyiapkan bahan perhitungan rincian penyediaan DDUB untuk masingmasing daerah berdasarkan batas persentase terendah dan tertinggi. e. Hasil perhitungan rincian penyediaan DDUB disampaikan oleh direktur jenderal perimbangan keuangan atas nama menteri keuangan kepada tim nasional paling lambat bulan Maret sebelum penyusunan rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga. f. Hasil perhitungan rincian penyediaan DDUB digunakan oleh pusat (tingkat nasional) sebagai bahan penetapan besaran DDUB pada masing-masing daerah. Berdasarkan data indeks fiskal tersebut, dapat dilihat bahwa Kabupaten Nunukan masuk pada kategori kelompok sangat tinggi. Oleh karena itu, diharapkan kondisi ini dapat terus dipertahankan. Kriteria mensyaratkan indeks

fiskal harus dievaluasi secara periodik untuk menentukan besaran bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat. Mengingat kedudukan Kabupaten Nunukan sebagai kawasan strategis nasional (KSN) di wilayah perbatasan dapat menjadi pertimbangan tersendiri untuk tetap mendapat prioritas bantuan pembiayaan pengembangan. Prioritas ini dapat berupa peningkatan dana alokasi khusus (DAK), khususnya sektor permukiman dan infrastruktur wilayah perbatasan. Menarik masuknya investasi baru sektor unggulan daerah untuk mendorong percepatan pembangunan wilayah perbatasan. Dalam rangka mewujudkan keterpaduan dalam pembangunan di wilayah Perbatasan khususnya dalam sektor permukiman, perlu dipahami profil

pelaksanaan pembangunan di daerah yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan pengembangan. Hal ini bertujuan agar arah kecenderungan pengembangan dapat diketahui. Arah kecenderungan pengembangan meliputi aspek keselarasan antara kawasan budi daya dengan kawasan lindung, keterkaitan antara pusat-pusat

pertumbuhan baru dengan pusat-pusat kegiatan (kota), penguatan pola interaksi orientasi ekonomi yang berbasis potensi sumber daya alam wilayah menjadikan kemauan politik (political will) pemerintah pusat dan daerah (Rosentraub 1996).

4.2

Analisis Kondisi Permukiman Perbatasan

Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara dengan kondisi umum yang tidak tertata, terpencar, nomaden, kumuh, dan tidak terkelola dengan baik, mempunyai dampak langsung terhadap keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Secara ekologi, perlu memerhatikan daya dukung dan lahan untuk pengembangan permukiman. Aspek lain yang kesesuaian juga harus

diperhatikan khususnya dalam pengembangan ekonomi adalah sektor unggulan wilayah yang potensial dikembangkan sehingga akan menjamin peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat agar keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah perbatasan dapat terlaksana. Adapun potensi SDA wilayah berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan terdiri dari subsektor pangan, perkebunan, subsektor sektor

pertambangan,

subsektor

pertanian

tanaman

perikanan,

subsektor kehutanan, subsektor pariwisata, dan sektor industri 4.2.1 Kondisi dan Permasalahan Permukiman Perbatasan Permukiman dalam istilah ini merupakan padanan kata human settlements. Permukiman diartikan sebagai tempat manusia hidup dan berkehidupan. Suatu permukiman terdiri atas the content (isi, yaitu manusia) dan the container (wadah, yaitu tempat fisik manusia tinggal yang meliputi elemen alam dan buatan manusia). Pengetahuan mengenai permukiman disebut ekistics (istilah Yunani). Ilmu ekistics dikembangkan oleh CA Doxiadis pada tahun 1967 (Winarso 2001). Permukiman merupakan suatu kesatuan wilayah tempat suatu perumahan berada. Oleh karena itu, lokasi dan lingkungan perumahan tersebut tidak akan pernah dapat lepas dari permasalahan dan lingkup keberadaan suatu permukiman yang seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya (termasuk orang yang datang ke tempat tersebut). Elemen-elemen permukiman terdiri atas alam, manusia, masyarakat, perumahan, dan jaringan infrastruktur (Sastra dan Marlina 2006). Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan (live) dan penghidupan (livelihoods). Adapun

83 perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa permukiman memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan perumahan. Kawasan permukiman adalah kawasan budi daya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dengan fungsi utama untuk permukiman (Permenpera 2006). Terkait dengan fenomena kawasan permukiman perbatasan negara, yang dimaksud kawasan permukiman perbatasan padanannya adalah kawasan perumahan dan permukiman khusus untuk menunjang kegiatan berbagai fungsi di wilayah perbatasan negara. (Permenpera 2006). Kawasan permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan, kondisinya (existing condition) sangat dipengaruhi oleh persebaran penduduk di masing-masing kecamatan yang berada di wilayah perbatasan kabupaten. Persebaran penduduk di wilayah perbatasan pada umumnya tidak merata sehingga kawasan

permukimannya

terlihat mengelompok

dan terpencar. Kondisi lingkungan

permukiman terdiri dari perumahan yang kumuh (slum area), tidak tertata, dan minim prasarana, sarana, fasos, dan fasum lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan yang tidak baik dan kurangnya kegiatan terkait program/proyek pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara. Persebaran penduduk yang mengelompok dan terpencar terlihat dari distribusi pusat-pusat permukiman yang ada di masing-masing kecamatan. Kecamatan kelompok wilayah kepulauan seperti Kecamatan Sebatik terdapat kawasan permukiman yang terdiri 5.163 KK yang lokasinya di ujung timur pulau. Kecamatan Sebatik Barat terdiri 3.235 KK yang lokasinya di ujung barat pulau. Kecamatan Nunukan sebanyak 14.653 KK. Kelompok wilayah daratan adalah Kecamatan Krayan Selatan 545 KK lokasinya di ujung barat wilayah administrasi kabupaten dan Kecamatan Lumbis 2.366 KK di bagian tengah wilayah daratan.

84

Sumber : Dokumentasi Survei, 2009

Gambar 27. Kawasan permukiman yang berkelompok dan terpencar Pola perkembangan kawasan permukiman yang mengelompok dan terpencar di wilayah perbatasan berdampak negatif terhadap keutuhan wilayah NKRI karena berpeluang dimanfaatkan negara tetangga untuk menggeser patok-patok

perbatasan untuk memperluas wilayah negaranya. Penggeseran patok-patok perbatasan negara dilakukan pada lokasi yang tidak terdapat permukiman sebagai tempat hunian dan aktivitas penduduk/masyarakat perbatasan. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun, kehilangan wilayah teritorial negara terus terjadi dan semakin meluas. Pergeseran batas wilayah di Pulau Sebatik sudah jauh ke dalam wilayah tertorial Indonesia, belum lagi yang terjadi di wilayah perbatasan lain di Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Krayan.

Sumber : Dokumentasi Survei, 2009

Gambar 28. Kawasan permukiman yang berada di atas batas wilayah perbatasan Masyarakat wilayah perbatasan yang memiliki karakteristik lingkungan sosial yang spesifik, seperti kegiatan pelintas batas, transaksi jual beli, dan kegiatan ekonomi bersama baik legal maupun yang ilegal memerlukan kemudahan berkomunikasi dan aksesibilitas yang baik. Kebutuhan tersebut pada umumnya belum terpenuhi atau memadai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhannya,

85 masyarakat melakukan upaya sendiri yang umumnya tidak sesuai dengan peratuaran dan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, membangun

perumahan di sepanjang bantaran sungai dan sampai melanggar batas wilayah perbatasan negara lain. Untuk memudahkan masyarakat dalam akses ke laut, digunakan sampan/perahu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang penting dan mendesak ke negara tetangga. Kondisi masyarakat perbatasan dengan karakteristik lingkungan yang spesifik menjadi fenomena tersendiri, antara lain dalam membangun perumahan dan fasilitas tidak memperhatikan batas-batas wilayah negara. Oleh karena itu, banyak bangunan rumah dengan ruang tamu wilayah di Indonesia dan dapur di Malaysia atau yang dikenal dengan rumah Malaysia-Indonesia (Malindo).

Sumber: Dokumentasi Survei, 2009

Gambar 29. Kawasan permukiman yang berada di muara sungai dan kumuh Kondisi kawasan permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan tersebut mencerminkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah kurang

memberikan perhatian pengembangan wilayah dan masyarakat perbatasan, khususnya dalam pengembangan kawasan permukiman. Pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan harus tertata, berkelanjutan, dan dikelola dengan baik melalui kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman perbatasan. 4.2.2 Pengembangan Lahan Permukiman Potensi pengembangan kawasan permukiman meliputi perumahan, perkotaan maupun perdesaan, termasuk kegiatan permukiman lain seperti, permukiman

transmigrasi baik lokal maupun antarwilayah di Indonesia cukup luas tersedia. Pengembangan kawasan permukiman akan dikembangkan di Pulau Nunukan,

86 Pulau Sebatik, Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Krayan sebagai kawasan perkotaan dan pusat pemerintahan. Penggunaan lahan permukiman meliputi perumahan, perkantoran, tempat olahraga, taman, dan kuburan, baik yang di perkotaan maupun pedesaan, serta permukiman transmigrasi. Luas penggunaan lahan untuk pengembangan permukiman adalah 7.130 Ha atau sekitar 0,05% dari luas wilayah kabupaten (RTRW Kabupaten Nunukan 2005). Rencana pengembangan kawasan permukiman tersebut dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru di perbatasan negara yang berbasis potensi SDA wilayah. Luas lahan untuk pengembangan kawasan permukiman, 60 % diperuntukkan untuk kawasan permukiman klaster-klaster di kecamatan yang berada di sepanjang wilayah perbatasan. Permukiman-permukiman perdesaan yang tidak sesuai dengan kriteria

kebutuhan akan tetap dipertahankan, khususnya desa-desa untuk mendukung kegiatan pelestarian kawasan Taman Nasional Krayan Mentarang yang terletak di ketinggian di atas 1.000 mdpl. Permukiman desa yang terletak pada daerah rawan bencana geologi lingkungan, seperti patahan aktif, erosi, dan longsoran tidak terdapat di Kabupaten Nunukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada permukiman di daerah kritis, tetapi terdapat permukiman di desa-desa yang berada dalam kawasan lindung. Sehubungan dengan potensi pengembangan permukiman perdesaan di Kabupaten Nunukan, perlu adanya pengaturan ruang, pengembangan, dan pengelolaan yang lebih baik. Pengembangan kawasan permukiman sesuai dengan arahan RTRW kabupaten, di Kecamatan Nunukan dan Nunukan Timur akan dikembangkan lahan seluas 1.700 ha sebagai kawasan permukiman perkotaan dan pusat pemerintahan. Adapun di Kecamatan Sebatik Timur akan dikembangkan kawasan permukiman perkotaan, pusat pertumbuhan baru Pulau Sebatik. Kecamatan-kecamatan tersebut berada di klaster III. Di Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat yang berada di klaster II, akan dikembangkan lahan seluas 1.850 Ha sebagai kawasan permukiman perdesaan dan pusat desa pertumbuhan berbasis potensi SDA wilayah, khususnya sektor perkebunan. Adapun di Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan yang berada di klaster I akan dikembangkan lahan seluas 750 ha sebagai kawasan

87 permukiman perdesaan dan permukiman perkotaan untuk pusat pertumbuhan baru berbasis potensi SDA wilayah, khususnya sektor pertambangan. Peta

pengembangan permukiman di setiap klaster terlihat pada Gambar 30.

KLUSTER II: 1850 Ha KLUSTER I: 750 Ha KLUSTER III: 1700 Ha

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008 dan Hasil Analisis

Gambar 30. Peta pengembangan permukiman di setiap klaster Pengembangan prasarana, sarana, fasos, dan fasum sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi di kawasan permukiman dapat dibangun sesuai

kebutuhan dan karakteristik wilayah kecamatan. Pada kecamatan yang berada di daerah aliran sungai perlu dikembangkan pelabuhan sungai, selain sarana prasarana sosial lainnya, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan sarana budaya. Bangunan yang menunjang fungsi kawasan/kegiatan utama diperkenankan untuk kepentingan umum. Pengembangan jaringan jalan dapat diintegrasikan dengan pengembangan lahan usaha masyarakat. Permukiman perdesaan memiliki kepadatan maksimum 25 rumah/hektar dan KDB maksimum 20%. Tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat) atau usaha pertanian. Pada permukiman perkotaan kepadatan maksimum 80 rumah/hektar dan KDB maksimum 40%, serta tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat). Penataan dan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan ke depan akan mendorong perkembangan wilayah perdesaan yang berbasis sentra

pertanian menjadi desa kota (sub urban) sebagai pusat pertumbuhan baru (Wacker 2002). Adapun untuk menjaga kawasan permukiman yang sudah dibangun agar tetap berkelanjutan perlu dilakukan pengendalian dan penyesuaian sejak dini agar tidak berubah menjadi permukiman perkotaan yang tidak terarah (urban sprawl). Hal ini bertujuan agar lahan pertanian produktif dapat dipertahankan dan konservasi tanah serta air dapat dilakukan dengan baik.

4.2.3 Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Permukiman Kemampuan pengembangan daerah kawasan (kabupaten/kota) permukiman dalam khususnya sharing dalam pembiayaan pembangunan

permukiman berdasarkan indikator nilai indeks fiskal daerah. Kabupaten Nunukan termasuk dalam kategori sangat tinggi. Nilai indeks fiskal dapat menunjukkan kemampuan daerah dalam pendampingan pembiayaan bersama dengan

pemerintah pusat. Pemerintah Kabupaten Nunukan telah memperlihatkan adanya potensi kemampuan sharing pembiayan pada program-program stimulan

pembangunan

perumahan

dari pemerintah

pusat seperti dari Kementerian

Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daeah Tertinggal, dan kementerian lain yang terkait. Data indeks fiskal menunjukkan bahwa Kabupaten Nunukan masuk pada kategori kelompok sangat tinggi, dengan skor indeks ruang fiskal daerah (IRFD) 3.248 dan skor indeks persentase penduduk miskin daerah (IPPMD) 1.800. Dengan demikian, diharapkan kondisi ini dapat terus dipertahankan. Kriteria mensyaratkan agar secara periodik indeks fiskal harus dievaluasi untuk

menentukan besaran bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat. Mengingat kedudukan Kabupaten Nunukan sebagai kawasan strategis nasional (KSN), wilayah perbatasan dapat menjadi pertimbangan tersendiri untuk tetap mendapat prioritas bantuan pembiayaan pengembangan. Prioritas bantuan

pembiayaan pembangunan dapat berupa peningkatan dana alokasi khusus (DAK), khususnya bidang permukiman perbatasan, infrastruktur, dan investasi sektor unggulan untuk mendorong percepatan pembangunan wilayah perbatasan. Kemampuan sharing Pemda Kabupaten Nunukan ditunjukkan pada setiap mendapatkan bantuan stimulan oleh pemerintah pusat, berupa dana pendamping

dan usulan dana program pembangunan melalui APBD dari masing-masing dinas terkait. Pada 2006 kemenpera memberikan bantuan stimulan pembangunan kawasan permukiman nelayan senilai kurang lebih Rp 4 miliar. Pemda menglokasikan dana untuk pembuatan kanal dan sarana air bersih senilai Rp 9 miliar serta biaya pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan permukiman nelayan seluas 100 ha. Kesediaan pemda bersama-sama dengan pemerintah pusat mengalokasikan dana APBD dalam mengembangkan nelayan perbatasan berkorelasi dengan membuktikan kemampuan kawasan permukiman

bahwa indeks fiskal yang sangat baik daerah dalam menyiapkan dana untuk

pembiayaan pembangunan permukiman.

4.3

Analisis Komparatif Sektor Unggulan Kawasan

Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Sektor-sektor potensial yang mempunyai peranan penting terhadap pengembangan kawasan permukiman tersebut antara lain adalah perkebunan, pertambangan, pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, dan industri. Kriteria yang menjadi pertimbangan di setiap sektor tersebut ada delapan, yaitu kesesuaian lahan, produktivitas, lokasi startegis, jumlah tenaga kerja, nilai produk, jangkauan pasar, akses transportasi, akses komunikasi. Kriteria tersebut berkorelasi positif dalam meningkatkan potensi pasar di wilayah perbatasan (Hanson 1998). Dalam menganalisis sektor-sektor potensial dan prospektif dengan

menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), di kecamatan wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan dibuat 3 (tiga) klastering subkawasan, yaitu: 1. Klaster I meliputi Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan 2. Klaster II meliputi Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat 3. Klaster III meliputi Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik Dalam penetapan klaster sesuai dengan kondisi potensi sumber daya alam kawasan pada kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah perbatasan,

Kabupaten Nunukan secara geografis dapat terlihat pada Gambar 31.

KLUSTER II KLUSTER I KLUSTER III

Gambar 31. Pembagian klaster di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan 4.3.1 Sektor Unggulan Subkawasan Klaster I Kecamatan yang termasuk dalam klaster I adalah Kecamatan Krayan dan Kecamatan Krayan Selatan. Adapun pembobotan kriteria terhadap sektor

unggulan dengan metode MPE dapat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor unggulan klaster I


Klaster I Pertambangan Perkebunan Kehutanan Pariwisata 5 5 6 5 6 6 5 5 Perikanan Pertanian Industri 6 7 6 5 7 7 6 6

No

Kriteria

Bobot

1 Kesesuaian Lahan 2 Produktivitas 3 Lokasi Strategis 4 Jumlah Tenaga Kerja 5 Nilai Produk 6 Jangkauan Pasar 7 Akses Transportasi 8 Akses Komunikasi Sumber: Hasil Analisis

8 8 7 6 9 6 7 7

7 6 6 6 7 7 6 6

9 8 7 7 8 9 7 7

5 4 6 7 5 5 5 5

4 4 6 6 4 5 4 4

5 5 6 5 6 5 6 6

Berdasarkan hasil perhitungan dengan teknik MPE, terlihat urutan atau prioritas sektor yang potensial di Klaster I Kabupaten Nunukan. Hasil tersebut disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Nilai sektor unggulan klaster I Klaster I No 1 2 3 4 5 6 7 Perkebunan Pertambangan Pertanian Perikanan Kehutanan Pariwisata Industri Sektor Nilai MPE 48.802.137 197.161.384 2.978.746 768.201 11.730.004 11.357.413 48.771.106

Sumber: Hasil Analisis

Berdasarkan tabel 11 di atas dapat disimpulkan bahwa sektor yang paling menentukan pada klaster I adalah sektor pertambangan dengan nilai 197.161.384. Perkebunan menempati urutan kedua dengan nilai MPE yaitu 48.802.137, prioritas ketiga adalah industri dengan nilai MPE 48.771.106. Urutan dari posisi ke-4 sampai ke-7, kehutanan dengan nilai MPE yaitu 11.730.004, pariwisata dengan nilai MPE yaitu 11.357.413, pertanian dengan nilai MPE yaitu 2.978.746 dan perikanan dengan nilai MPE yaitu 768.201. Data BPS (2007) menunjukkan bahwa produk pertambangan unggulan adalah minyak bumi dan batu bara. Jumlah produksi minyak bumi pada tahun 2007 sebanyak 1.362.304 ton. Jumlah produksi minyak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Gambar 32.

40.000 30.000 20.000 10.000 0 Diproduksi Terjual

2004 25.556 23.103

2005 29.553 26.129

2006 26.557 24.562

2007 34.070 31.145

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 32. Produksi minyak bumi (MMSTB) 2000 - 2007 (BBL) Produk batu bara pada klaster I juga merupakan produk unggulan. Data BPS (2007) menunjukkan jumlah produksi batu bara di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 sebesar 1.846.937.129 ton. Jumlah produksi bahan tambang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dari tahun sebelumnya sebesar 1.165.287 ton. Berdasarkan peta kesesuaian lahan, lokasi klaster I merupakan pegunungan dan perbukitan yang tidak teratur serta mempunyai kelerengan >40%. Berdasarkan peta kesesuaian lahan yang menunjukkan di atas 90%, kawasan Klaster I sangat sesuai untuk pertambangan (Gambar 33). Oleh karena itu, sektor tambang menjadi unggul pada klaster I dan didukung juga oleh daya dukung sumber daya alam yang ada pada kawasan klaster I.

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 33. Kesesuaian lahan untuk pertambangan Urutan kedua adalah sektor perkebunan. Hal ini didukung oleh kesesuaian lahan serta jenis tanah yang mendukung kegiatan perkebunan sehingga dapat mencegah erosi pada wilayah-wilayah yang berlereng. Peta kesesuaian lahan untuk perkebunan menunjukkan klaster I yang di atas 55% cocok untuk lahan perkebunan.

4.3.2 Sektor Unggulan Subkawasan Klaster II Kecamatan yang termasuk klaster II adalah Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat. Adapun pembobotan nilai dengan metode MPE dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor unggulan klaster II


Klaster II Pertambangan Perkebunan Kehutanan Pariwisata 5 5 5 6 5 4 5 4 Perikanan Pertanian Industri 7 7 6 7 7 7 7 5

No

Kriteria

Bobot

1 Kesesuaian Lahan 2 Produktivitas 3 Lokasi Strategis 4 Jumlah Tenaga Kerja 5 Nilai Produk 6 Jangkauan Pasar 7 Akses Transportasi 8 Akses Komunikasi Sumber: Hasil Analisis

8 8 7 6 9 6 7 7

9 8 7 8 9 7 7 7

7 6 7 7 7 6 6 6

8 7 6 7 7 5 5 4

5 4 6 6 6 5 5 4

8 8 7 5 6 5 5 5

Hasil perhitungan dengan teknik MPE memperlihatkan urutan atau prioritas sektor yang potensial di Klaster II Kabupaten Nunukan. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13. Nilai sektor unggulan klaster II Klaster II No Sektor 1 2 3 4 5 6 7 Perkebunan Pertambangan Pertanian Perikanan Kehutanan Pariwisata Industri

Nilai MPE 450.094.848 49.345.744 63.403.343 10.970.583 44.643.171 2.957.761 53.300.111

Sumber: Hasil Analisis

Berdasarkan tabel 13 di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor yang paling menentukan adalah sektor perkebunan dengan nilai 450.094.848. Pertanian menempati urutan kedua dengan nilai MPE 63.403.343. Prioritas ketiga adalah industri dengan nilai MPE 53.300.111. Posisi ke-4 sampai ke-7 berturut-turut pertambangan dengan nilai MPE 49.345.744, kehutanan dengan nilai MPE 44.643.171, perikanan dengan nilai MPE 10.970.583, dan pariwisata dengan nilai MPE 2.957.761.

Klaster II, berdasarkan peta land system, termasuk dalam kelompok punggung gunung batuan metamorfik yang tidak teratur yang menyebabkan klaster II sangat cocok untuk perkebunan. Selain itu, berdasarkan peta kesesuaian lahan untuk perkebunan, hampir di atas 90%. Kedua kecamatan tersebut sangat sesuai untuk tanaman perkebunan (gambar 34). Jenis komoditas unggulan perkebunan pada klaster II adalah kakao dan kelapa sawit.

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 34. Peta kesesuaian lahan untuk perkebunan Data BPS (2008) menunjukkan produksi kakao di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 sebanyak 18.903,10 ton. Produksi kelapa sebanyak 7.686,71 ton. Produksi kakao dan kelapa terus mengalami peningkatan dari 2002 sampai tahun 2007 seperti terlihat pada Gambar 35 berikut.

20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0

17702 15257.35 15889.6 17073.35 13592.3 6407.32 6407.32 6430.8 7406.6 7458.32 7686.71 18903.1

2002

2003

2004 kelapa

2005 kakao

2006

2007

Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Gambar 35. Produksi komoditas tanaman perkebunan 2002-2007 (ton) 4.3.3 Sektor Unggulan Subkawasan Klaster III Kecamatan yang termasuk dalam klaster III adalah Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Kecamatan Sebatik. Penilaian terhadap alternatif kegiatan penunjang pusat-pusat pertumbuhan terdapat di Kabupaten Nunukan berdasarkan sektor unggulan dengan pembagian klaster. Adapun hasil pembobotan nilai dengan metode MPE dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor unggulan klaster III
Klaster III Pertambangan Perkebunan Kehutanan Pariwisata Perikanan Pertanian Industri

No

Kriteria

Bobot

1 2 3 4 5 6 7 8

Kesesuaian Lahan Produktivitas Lokasi Strategis Jumlah Tenaga Kerja Nilai Produk Jangkauan Pasar Akses Transportasi Akses Komunikasi

8 8 7 6 9 6 7 7

7 7 8 6 7 7 7 7

5 5 8 5 5 7 7 7

8 8 9 7 7 8 7 7

9 9 9 8 8 9 7 7

7 6 8 6 5 5 7 7

5 7 8 5 5 5 7 7

7 7 8 6 6 7 7 7

Sumber: Hasil Analisis

Hasil perhitungan dengan analisis MPE memperlihatkan urutan atau prioritas metode pengembangan wilayah perbatasan yang potensial dalam rangka

meningkatkan pusat-pusat pertumbuhan. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15. Nilai sektor unggulan klaster III No 1 2 3 4 5 6 7 Sektor Klaster III Perkebunan Pertambangan Pertanian Perikanan Kehutanan Pariwisata Industri Nilai MPE 55.791.752 6.611.887 80.717.887 227.534.810 13.204.061 11.884.039 25.515.841

Sumber: Hasil Analisis

Berdasarkan tabel 15 di atas dapat di lihat bahwa sektor unggulan yang paling mendukung pusat pertumbuhan dalam pengembangan wilayah perbatasan adalah sektor perikanan dengan nilai 227.534.810. Sektor pertanian menempati urutan kedua yang dapat mendukung pusat pertumbuhan dalam pengembangan wilayah perbatasan dengan nilai MPE 80.717.887, prioritas ketiga sektor perkebunan dengan nilai MPE 55.791.752. Posisi ke-4 sampai ke-7 adalah industri, kehutanan, pariwisata, dan pertambangan. Alternatif pertama yang harus lebih diperhatikan dalam pengembangan wilayah perbatasan pada klaster III yang meliputi Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Sebatik yaitu peningkatan sektor perikanan. Perikanan tangkap dan budi daya perikanan laut merupakan kegiatan yang paling potensial dan telah mendukung pendapatan Kabupaten Nunukan selama ini. Pada gambar, ditampilkan kondisi topografi pada klaster III yang didominasi oleh tingkat kelerengan 0 - 8% dan 15 25%. Hal tersebut mengandung arti bahwa budi daya perikanan darat di klaster III tidak disarankan karena kondisi topografi Kabupaten Nunukan yang berlerenglereng seperti yang ditunjukkan pada Gambar 36. Keadaan berpotensi

menyebabkan longsor dan tidak memungkinkan untuk adanya budi daya perikanan darat.

Di urutan kedua diikuti sektor pertanian dengan komoditas unggulan yang dapat mendukung pusat pertumbuhan, yakni budi daya tanaman pangan terutama padi sawah yang produktivitasnya terus meningkat (Kabupaten Nunukan dalam Angka 2008).

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 36. Peta Kabupaten Nunukan berdasarkan kelerengan Sumber daya alam pertanian, terutama lahan dapat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dasar Kabupaten Nunukan. Kebutuhan pangan yang dimaksud adalah kebutuhan beras sebagai bahan makanan pokok, sayur-sayuran, dan palawija. Berdasarkan tiga perkiraan skenario, jumlah penduduk 5 dan 10 tahun yang akan datang membutuhkan areal pertanian basis. Kebutuhan pangan Kabupaten Nunukan selama setahun sebagai berikut: a. Lahan Sawah Sawah adalah lahan penghasil padi yang selanjutnya diolah menjadi beras sebagai makanan pokok masyarakat Kabupaten Nunukan. Sebagai dasar

perhitungan, kebutuhan setiap orang setiap tahun adalah 150 kg. Setiap 1 kg beras dihasilkan dari 1,54 kg gabah kering giling dan setiap hektar lahan menghasilkan 4,9 ton gabah kering giling per tahun. Adanya asumsi bahwa lahan efektif adalah 60% dari total lahan, maka jumlah kebutuhan total adalah jumlah kebutuhan dasar ditambah 67% (Tabel 15). Kebutuhan cadangan lahan sawah di Kabupaten

Nunukan sebesar 16.182,37 ha, untuk memenuhi kebutuhan beras sebanyak 47.481 ton gabah kering giling per tahun. b. Lahan Palawija Untuk kebutuhan bahan pangan lainnya, seperti kacang-kacangan, ubi, jagung dan lain-lain, terperinci dengan tingkat konsumsi dan produktivitas sebagai berikut: Jagung; kebutuhan konsumsi per orang per tahun adalah 26,7 kg dan produktivitas 2.6 ton/hektar/tahun. Ubi kayu; kebutuhan konsumsi 57.09 kg/orang/tahun, tingkat produktivitas 16.2 ton/ha/tahun. Ubi jalar; kebutuhan konsumsi 11.52 kg/orang/tahun, tingkat produktivitas 10.3 ton/ha/tahun. Kacang tanah; kebutuhan konsumsi 3.35 kg/orang/tahun, produktivitas 0.9 ton/ha/tahun. Kedelai; konsumsi 7.25 kg/orang/tahun, tingkat produktivitas 1.3

ton/ha/tahun. Kacang hijau; konsumsi 1.1 kg/orang/tahun dan tingkat produktivitas 0.9 ton/hektar/tahun. c. Lahan Peternakan Rakyat Pada tahun 2000, populasi ternak di Kabupaten Nunukan adalah 2.099 ekor sapi, 4.124 ekor kerbau, 449 ekor kambing, 2.821 ekor babi, 225.350 ekor ayam buras, 57.530 ekor ayam ternak, dan 5.968 ekor itik. Dengan asumsi pertumbuhan 5% per tahun, kebutuhan lahan untuk kegiatan peternakan tersebut membutuhkan lahan seluas 185 hektar pada tahun 2007 dan berkembang menjadi 236 hektar pada tahun 2012.

Tabel 16. Perhitungan kebutuhan lahan sawah (RTRW Kabupaten Nunukan 2004-2014)
Skenario Index Pesimis 2009 2014 Optimis 2009 2014 Ambisius 2009 2014 Sumber: Hasil Analisis 96.961 107.053 116.784 144.840 163.171 239.751 Tahun Jumlah Penduduk Keperluan Beras (ton) 150 13.979,40 15.434,55 16.072,05 19.933,35 19.698 30.832,35 Keperluan Gabah (ton) 1,54 21.528 23.768,90 24.750,64 30.696,97 30.334,53 47.481,21 Keperluan Dasar 4,90 4.393,47 4,850,80 5.051,15 6.264,69 6.190,72 9.690,04 Kebutuhan Lahan (Ha) 67% 7.337,09 8.100,83 8.435,42 10.462,03 10.338,50 16.182,37

Berdasarkan peta ketinggian lahan pada Gambar 37, pada klaster III didominasi ketinggian lahan berkisar antara 0 - 100 mdpl yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman padi. Hal ini juga didukung dengan peningkatan luas panen padi (sawah+ladang) di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007, di mana tanaman padi naik sebesar 4,28% (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008). Produksi tanaman padi juga mengalami kenaikan, yaitu menjadi 48.127 ton atau dengan kata lain terjadi peningkatan produktivitas padi sebesar 9,65%. Alternatif ketiga dalam pengembangan wilayah perbatasan pada klaster III adalah sektor

perkebunan. Hal ini didukung dengan peningkatan luas areal komoditas kelapa sawit pada tahun 2007 sebesar 25,4% dibandingkan dengan tahun 2006 (Kabupaten Nunukan dalam Angka 2008). Sebagian besar dari luas areal kelapa sawit terdapat di Kecamatan Sebatik, Sebatik Barat, Nunukan yang berada pada klaster III, sedangkan Lumbis dan Sebuku berada pada klaster II.

Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008

Gambar 37. Peta Kabupaten Nunukan berdasarkan wilayah ketinggian Kesimpulan hasil analisis MPE yang dilakukan untuk sektor-sektor yang

potensial dalam mendukung pengembangan permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan untuk klaster I (Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan) adalah sektor pertambangan, klaster II (Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat) sektor perkebunan, dan klaster III (Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik) sektor perikanan. 4.4 Analisis Strukturisasi Permasalahan dan Komponen Dominan Kebijakan Pengembangan permukiman di wilayah perbatasan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1992 memuat amanat tentang pengembangan permukiman khusus. Pengembangan permukiman (permukiman khusus) menjadi salah satu program prioritas pembangunan wilayah perbatasan dalam upaya pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam. Adanya keterbatasan infrastruktur dan

permukiman di wilayah perbatasan baik yang berada dalam kawasan perkotaan maupun perdesaan yang kurang berkembang menyebabkan aktivitas

sosioekonomi banyak berorientasi ke negara tetangga. Selain menyebabkan ketergantungan negara tetangga, hal ini berkaitan juga dengan keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan terhadap identitas nasional.

Pengembangan perbatasan

pusat-pusat

pertumbuhan

baru (border city) di wilayah ruang terbuka

terdapat

enam kategori,

yaitu (1) melindungi

hijau/konservasi dan sumber daya alam, (2) dapat mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) mengurangi dan efisiensi pembiayaan pembangunan infrastruktur, (4) mendorong sinergitas hubungan kota dan desa, dan (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Seong 2006). Dinamika kegiatan ekonomi perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) perbatasan negara. Apabila tidak terkendali akan dapat menjadi hambatan dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan, ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan secara

berkelanjutan di wilayahnya (Canales 1999). Berdasarkan hal tersebut kiranya perlu dibuat desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. 4.4.1 Elemen Permasalahan dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Menurut Saxena (1994) yang dikutip Marimin (2005) berdasarkan hasil kajian pendapat pakar, disusunlah struktur permasalahan untuk keberhasilan

pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan yang terbagi atas lima elemen pada permasalahan yang terdiri dari 24 subelemen kendala. Secara lengkap elemen permasalahan dan subelemen kendala terlihat pada tabel 17.

Tabel 17. Elemen permasalahan pengembangan kawasan permukiman perbatasan


No 1 Elemen (Masalah) Pengelolaan SDA wilayah perbatasan masih kurang No 1 2 3 4 5 6 7 8 2 Pengembangan dan Penataan kawasan permukiman kurang optimal 9 10 11 12 13 3 Pembangunan infrastruktur wilayah & permukiman belum sejalan 14 15 16 17 18 19 4 Kelembagaan belum mendukung pengembangan permukiman Pembiayaan belum mendukung pengembangan permukiman 20 21 22 23 24 Sub elemen (Kendala) Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan Perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut Pengembangan dan pengelolaan SDA belum optimal Rendahnya kesejahteraan masyarakat Aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional Persepsi wilayah perbatasan merupakan wil dan pintu belakang negara Pemanfaatan dan pengendalian tata ruang masih lemah Letak geografis Indonesia di titik silang benua EropaAsia, Asia-Australia & Australia- Eropa Banyak pemukiman berada di batas wilayah perbatasan Kondisi lingkungan tidak tertata, berpencar, kumuh & tidak dikelola dengan baik Rencana Tata Ruang Wilayah yang tidak sesuai dengan kebutuhan Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman Terbatasnya fasum & fasos Terbatasnya pelayanan publik Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan perkim Perkembangan infrastruktur & permukiman yang tidak terencana Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan sesuai peruntukan Penegakan hukum dan peraturan masih lemah Adanya privatisasi lahan oleh pemerintah & swasta Belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan Terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan Pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal

Dari lima elemen hasil kajian ini, pada setiap elemennya dijabarkan menjadi sejumlah subelemen yang rinci. Subelemen ini berupa indikator-indikator keberlanjutan yang mempunyai nilai tinggi yang telah dipilah-pilah sesuai dengan konteks kelima elemen program tersebut. Berikut ini adalah hasil hubungan

104 kontekstual antarsubelemen pada setiap elemen yang digambarkan dalam bentuk terminologi subordinat yang mengacu pada perbandingan berpasangan antar subelemen, di mana terkandung suatu arahan pada hubungan tersebut (Eriyatno dan Sofyar 2007). Hasil yang digunakan dalam model ISM adalah kajian dari pendapat pakar melalui wawancara mendalam seperti yang tertuang pada matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM). Pakar yang terlibat dalam proses ini adalah pakar dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat yang terpilih berdasarkan pengetahuan, pengalaman di bidang pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan. Gambaran dari masing-masing elemen masalah mengenai peringkat berdasarkan nilai driver power yang ada dapat dilihat pada gambar 38.

12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Sub Elemen (Kendala) Gambar 38. Peringkat elemen masalah berdasarkan nilai driver power Berdasarkan gambar 38 di atas, nilai driver power elemen masalah tertinggi pada subelemen 7 atau kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional dan subelemen 4 atau rendahnya kesejahteraan masyarakat, sedangkan yang memiliki nilai driver power terendah adalah 2 atau perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut. Masyarakat di wilayah perbatasan yang bersebelahan dengan wilayah negara tetangga yang jauh lebih maju pada umumnya memiliki orientasi sosial

ekonomi yang berorientasi kepada wilayah negara tetangga. Penggunaan alat tukar dan akses informasi serta komunikasi nasional yang terbatas dikhawatirkan dalam jangka panjang akan melunturkan rasa kebangsaan dan bela negara masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu meningkatkan upaya sosialisasi peningkatan wawasan kebangsaan melalui

program-program pembangunan yang selaras dengan pengembangan permukiman dan penyediaan prasarana dan sarana. Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan salah satu

permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan pada masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Hal ini menyebabkan prasarana dan sarana wilayah minim, fasilitas umum dan sosial terbatas, serta kesejahteraan masyarakat rendah. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat tertarik ke wilayah negara tetangga. Dalam rangka memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan. Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 39. Subelemen dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage, dan independent. Analisis data ISM dapat terlihat pada Lampiran 3. Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa elemen masalah dalam strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara diawali oleh (1) kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional, (2) terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan, (3) rendahnya kesejahteraan masyarakat, (4) terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan

infrastruktur dan permukiman, (5) terbatasnya fasos dan fasum, (6) kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan, (7) aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga, (8) kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga, (9) minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman, (10) terbatasnya pelayanan publik, (11) penegakan hukum dan peraturan masih lemah, dan (12) pemanfaatan dan pengelolaan dana

106 pembangunan belum optimal. sektor independent. Dengan Dua belas elemen masalah tersebut berada pada demikian, strategi pengembangan kawasan

merupakan elemen yang berperan sebagai peubah bebas berkekuatan penggerak besar, tetapi tidak tergantung kepada sistem. Kemudian diikuti oleh elemen masalah wilayah perbatasan yang menjadi pintu belakang negara dan adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan. belum

Level 1

Perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut

Banyak pemukiman berada di batas wilayah perbatasan

Dependent

Level 2
Pemanfaatan dan pengendalian tata ruang masih lemah
Letak geografis Indonesia di titik silang benua

Kondisi lingkungan tidak tertata, berpencar, kumuh & tidak dikelola dengan baik

RTRW yang tidak sesuai dengan kebutuhan

Level 3
Pengembangan dan pengelolaan SDA belum optimal Perkembangan infrastruktur & permukiman yang tidak terencana Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan sesuai peruntukan Adanya privatisasi lahan oleh pemerintah & swasta

Level 4
Persepsi Wilayah Perbatasan merupakan wilayah dan pintu belakang negara
Belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan

Level 5
Aktivitas sosek masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman Terbatasnya pelayanan publik

Independent
Penegakan hukum dan peraturan masih lemah Pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal

Level 6
Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan Terbatasnya fasos dan fasum Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan permukiman

Level 7

Rendahnya kesejahteraan masyarakat

Terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan

Level 8

Kurangnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional

Gambar 39. Diagram hierarki dari subelemen masalah dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara

Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kedua belas elemen faktor kunci masalah yang berada di sektor dependent sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Dalam strategi pengembangan kawasan posisinya akan mengikuti elemen lainnya yang berada di sektor independent. Hasil kajian subelemen pada analisis ISM berupa (a) Matriks reachability dan interpretasi dari elemen masalah yang terpengaruh program yang disajikan pada Lampiran 3. (b) Diagram model struktural ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program seperti disajikan pada Gambar 39. (c) Matriks driver power-dependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 40. Independent

25 24 7 23 4, 23 22 21 1, 15, 17 20 19 5, 6, 14, 16, 20, 18 24 17 16 15 14 13 12 8, 22 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 10 12 13 14 15 16 17 18 3, 1918, 20 21 19,22 2123 24 25 9 8 7 6 9, 10, 12, 13 5 4 3 2, 11 2 1 0

Linkage

Autonomus

Dependent

Gambar 40. Matriks DP-D untuk subelemen masalah dalam strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Perlu dicermati bahwa posisi masalah persepsi wilayah perbatasan merupakan wilayah dan pintu belakang negara serta masalah belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan dalam upaya pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan berada di dekat sektor linkage. Hal ini berarti faktor kunci dapat berubah menjadi sektor linkage apabila faktor-faktor yang lain mendukung subelemen tersebut. Berdasarkan hasil analisis, dua belas faktor kunci prioritas penggerak elemen tolok ukur yang sangat memengaruhi faktor lain dalam keberhasilan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yaitu subelemen-subelemen yang terletak pada sektor I

(independent). Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat faktor-faktor kunci yang berperan sebagai peubah linkage, tetapi dengan peningkatan peranan secara optimal dari faktor-faktor kunci seperti persepsi wilayah perbatasan merupakan wilayah dan pintu belakang negara (8) dan persepsi belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan akan berdampak terhadap peningkatan faktor-faktor kunci tersebut sebagai peubah linkage. Dalam desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, setiap tindakan meningkatkan peranan sektor-sektor independent. Tindakan meningkatkan peranan terhadap sektor-sektor tersebut akan menghasilkan terwujudnya program menuju sistem pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program. 4.4.2 Elemen Tolok Ukur dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Berdasarkan hasil kajian dan pendapat pakar, disusunlah struktur tolok ukur untuk menuju keberhasilan pengembangan kawasan permukiman yang terbagi atas lima elemen pada tolok ukur yang terdiri dari 16 subelemen kendala. Secara lengkap elemen tolok ukur dan subelemen kendala terlihat pada Tabel 18. Adapun hasil yang digunakan dalam model ISM adalah kajian dari pendapat pakar melalui wawancara mendalam seperti yang tertuang pada matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM) pada Lampiran 4. Pakar yang terlibat dalam proses ini adalah pakar dari kalangan pemerintah, legislatif, pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi, lembaga profesi,

masyarakat, dan LSM yang terpilih berdasarkan pengetahuan, pengalaman di bidang pengembangan kawasan permukiman.

Tabel 18. Elemen tolok ukur pengembangan kawasan permukiman perbatasan No Elemen (Tolok Ukur) 1 Otimalisasi pengelolaan SDA kawasan No 1 2 3 Sub elemen (Kendala) Penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan wilayah perbatasan Peningkatan kegiatan pengembangan pemukiman, sarana, dan prasarana wilayah Pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika wilayah perbatasan Pengelolaan SDA darat dan laut secara seimbang Peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara Pembangunan wilayah perbatasan melalui pengembangan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru sebagai dan embrio kegiatan ekonomi Penataan ruang wilayah Pembangunan infrastruktur, sarana, dan prasarana Partisipasi horison & vertikal pusat dan daerah Pendekatan pengelolaan wilayah perbatasan pada aspek keamanan, sosial ekonomi, budaya, lingkungan, dan kesejahteraan secara seimbang Sinergi/keterpaduan dan keseimbangan pembangunan berdasarkan potensi wilayah Peningkatan kerjasama pembangunan antar negara, antarpemerintahan, dan antar stakeholders di wilayah perbatasan Pembuatan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan Penyusunan kebijakan tingkat makro dan mikro, investasi, SDA, dan kelembagaan pendukung pusat pertumbuhan Penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan Evaluasi kegiatan untuk penganggaran dana pada kegiatan selanjutnya

4 5 2 Peningkatan pengembangan dan penataan kawasan permukiman 6

7 8 3 Pengembangan infrastruktur wilayah dan permukiman terpadu 9 10

11 4 Pengembangan kelembagaan 12

13 14

Alokasi dana untuk pengelolaan wilayah perbatasan

15 16

111 Gambaran dari masing-masing elemen tolok ukur mengenai peringkat berdasarkan nilai driver power yang ada disajikan pada Gambar 41.

9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Driver Power

Elemen (Tolok Ukur)


Gambar 41. Peringkat elemen tolok ukur berdasarkan nilai driver power Berdasarkan Gambar 41 di atas, nilai driver power elemen tolok ukur tertinggi pada subelemen 5 (peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara) dan 15 (penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan), sedangkan yang memiliki nilai driver power terendah adalah 3 (pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika wilayah perbatasan). Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 38 dan pada Gambar 39 subelemen dikelompokkan kedalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Analisis data ISM disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan Gambar 42, gambar tersebut menjelaskan pendapat para ahli tentang elemen tolok ukur dalam strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan. Elemen tolok ukur tersebut diawali oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara, penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan,

penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan

wilayah perbatasan,

pembangunan infrastruktur, prasarana dan sarana, pendekatan pengelolaan wilayah perbatasan pada aspek sosekbudhankam dan lingkungan. Selain itu, kesejahteraan secara seimbang, peningkatan kerja sama

pembangunan antarnegara antarpemerintahan dan antar-stakeholders di wilayah

perbatasan merupakan elemen tolok ukur tersebut. Hasil kajian subelemen pada analisis ISM berupa (a) Matriks reachability dan interpretasi dari elemen tolok ukur yang terpengaruh program, yang disajikan pada lampiran 4, (b) Diagram model struktural ISM dari elemen tolok ukur yang terpengaruh program seperti disajikan pada Gambar 38, (c) Matriks driver power-dependence untuk elemen tolok ukur yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 42.
Level 1
Pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika wilayah

Dependent

Level 2
Pengelolaan SDA darat dan laut secara seimbang Partisipasi horison & vertikal pusat dan daerah Penyusunan kebijakan tingkat makro dan mikro, investasi, SDA dan kelembagaan pendukung pusat pertumbuhan Evaluasi kegiatan untuk penganggaran dana pada kegiatan

Level 3
Peningkatan kegiatan pengembangan pemukiman, sarana dan prasarana wilayah Pembangunan Wilayah Perbatasan Penataan ruang wilayah Sinergi dan keseimbangan pembangunan

Linkage
Pembuatan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan

Level 4
Penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan wilayah perbatasan Pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana Pendekatan pengelolaan Wilayah Perbatasan pada aspek sosekbudhankam dan lingkungan serta kesejahteraan secara seimbang

Independent
Peningkatan kerjasama pembangunan antar negara, antar pemerintahan, dan antar stakeholders di wilayah perbatasan

Level 5
Peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara Penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan

Gambar 42. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara

113 Berdasarkan hasil analisis terdapat 6 faktor kunci prioritas penggerak elemen tolok ukur yang sangat memengaruhi program menuju strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yaitu

subelemen-subelemen yang terletak pada sektor I (independent). Setiap tindakan yang meningkatkan peranan dari sektor-sektor tersebut akan menghasilkan sukses program menuju sistem pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program. Independent
5, 15 17 16 15 1, 8, 1 1 0 4 , 12 13 12 11 10 9 8 6 7 7 8 9 6 5 4 3 2 1 0

Linkage

2, 6, 7, 11, 13 10 11 12 13 14 15 16 17 4, 9, 14, 16

Autonomus

Dependent

Gambar 43. Matriks DP-D untuk subelemen tolok ukur dalam pengembangan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara 4.4.3 Komponen-komponen Dominan dalam Kebijakan Pengembangan

Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Kabupaten Nunukan A. Hasil Pembobotan pada Setiap Komponen Dalam menganalisis komponen yang dominan dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan, digunakan model AHP untuk memilih arahan kebijakan yang tepat dan penting dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan. Gambar 39 merupakan diagram hirarki AHP yang telah didiskusikan dan merupakan pendapat pakar melalui wawancara yang mendalam. Pakar yang terlibat antara lain dari Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen PU, Menpera, KLH, DPR RI, perguruan tinggi, pemda, lembaga profesi, masyarakat, swasta, dan LSM.

Fokus

Permukiman PerbatasanNegara

Faktor

Kebijakan Pemerintah 0,418

Tingkat Pendapatan 0,120

Pendanaan Pembangunan 0,271

Prasarana dan Sarana 0,191

Stakeholders

Pemerintah 0,337

Pemerintah Daerah 0,222

Swasta 0,150

Masyarakat 0,133

Pakar 0,091

BKM / LSM 0,068

Tujuan

Pengembangan Dan Penataan Kawasan 0,326

Peningkatan Kesejahteraan 0,313

Pemulihan Ekosistem 0,158

Pengembangan Prasarana Kawasan 0,116

Minimalisasi Konflik 0,087

Sasaran

Strategi Pengembangan (Kawasan) 0,624

Strategi Pengembangan (Kelembagaan) 0,130

Strategi Pengembangan (Pembiayaan) 0,246

Gambar 44. Diagram hierarki AHP pada pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara Hierarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas yang dimulai dari penetapan fokus pada level l yaitu fokus pada pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Level 2 adalah faktor yang terdiri atas kebijakan pemerintah, tingkat pendapatan, pendanaan pembangunan, prasarana, dan sarana. Level 3 adalah aktor terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, pakar, dan BKM/LSM setempat. Aktor tersebut terkait dengan pengembangan kawasan permukiman dan masing-masing aktor mempunyai peran, pengaruh, dan kekuatan terhadap kebijakan-kebijakan pengembangan kawasan. Level 4 adalah tujuan untuk pengembangan kawasan permukiman yang terdiri atas pengembangan dan penataan kawasan, peningkatan kesejahteraan, pengelolaan SDA dan ekosistem kawasan, pengembangan prasarana kawasan dan minimalisasi konflik. Level 5 adalah sasaran yang terdiri atas strategi pengembangan kawasan, strategi pengembangan pembiayaan, dan strategi pengembangan kelembagaan. Hasil pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan yang disampaikan kepada

115 pakar dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, pakar perguruan tinggi, dan BKM/LSM, kemudian diolah dengan perangkat lunak Expert Choice. Hasil analisis AHP pada setiap level dari heirarki desain pengembangan kawasan berkelanjutan. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi (combined) dari pendapat para pakar pada setiap matriks berpasangan. B. Pembobotan Kriteria Faktor dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun faktor-faktor yang menjadi pengaruh utama dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan. Gambar 45 menunjukkan urutan prioritas faktor-faktor tersebut.

Keterangan : KBPM = Kebijakan Pemerintah PDPB = Pendanaan Pembangunan PSSR = Prasarana dan Sarana TKPM = Tingkat Pendapatan

Gambar 45. Urutan prioritas faktor dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan Berdasarkan gambar 45, hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2) kebijakan pemerintah dan pendanaan pembangunan menjadi prioritas utama dengan masing-masing bobot nilai adalah 0,418 dan 0,271. Kebijakan pemerintah akan membantu membangun pusat-pusat pertumbuhan baru kegiatan ekonomi dan perdagangan. Penyiapan perangkat kebijakan dan pendanaan pembangunan diperlukan guna pengembangan kawasan permukiman di tingkat kabupaten, kawasan pusat pertumbuhan maupun pada kawasan yang sangat terperinci di wilayah perbatasan negara. Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah

116 secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan

pemberian stimulan bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Hal tersebut dilakukan agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai. Adapun, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang ditempuh adalah partisipasi masyarakat, swasta, LKM, dan LSM. Memahami kecenderungan pertumbuhan kawasan perkotaan di wilayah perbatasan (pusat pertumbuhan baru) sangat terkait dengan 4 faktor: kebijakan, stakeholders, perilaku masyarakat, proses dan pola pertumbuhan. (1) Kebijakan merupakan faktor paling penting untuk mengontrol pertumbuhan suatu kota pada skala makro. (2) Pola pertumbuhan merupakan cerminan dapat dilihat secara langsung hasilnya. (3) Proses dapat mengindikasikan dinamika pertumbuhan kota. (4) Perilaku mengindikasikan kegiatan dari pelaku yang terlibat. Hasilnya adalah model pola pentahapan dan proses penyusunan kebijakan. Aturan dalam teori hierarki, memahami tiap tingkat harus mempertimbangkan tingkat yang paling atas dan paling bawah sebagai perbandingan hubungan yang paling dekat. Konsekuensinya untuk memahami proses adalah harus melihat pola dan perilaku yang terkandung di dalamnya. Pola merupakan gambaran sementara dari proses dan perilaku merupakan sumber dari proses pengambilan keputusan (Cheng 1999). Kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia tahun 20002020 antara lain pengembangan lokasi kawasan permukiman dengan memerhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, pola tata guna lahan, kesehatan lingkungan, dan tersedianya fasilitas sosial dan umum. Lokasi permukiman perlu memperhatikan keserasian dengan lingkungannya. (Permenpera 1999). Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa permukiman

merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budi daya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya, hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan suatu kawasan/kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan permukiman yang kontributif terhadap rencana tata ruang.

117 Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) telah terjadi: (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat; (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan; (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan; (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam; dan (v) komunitas lokal tersisih, di mana orientasi

pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan. Tantangan pengembangan kawasan permukiman yang akan datang antara lain (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan (iv) kegagalan implementasi dan kebijakan penentuan lokasi perumahan (Kirmanto 2005). Setelah lokasi kawasan permukiman ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, perlu dibuat rencana tapak kawasan (site planning) agar dalam jangka panjang perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana tapak kawasan ini penting karena akan menentukan bentuk dan pola kawasan yang dapat menciptakan suatu kawasan permukiman yang tertata sehingga kemudahan dan kenyamanan para penghuni dapat tercipta serta dapat mempengaruhi perilaku penghuni di mana pun kawasan permukiman berada termasuk di wilayah perbatasan negara. Hasil analisis AHP selanjutnya yang menjadi prioritas adalah peningkatan prasarana dan sarana dengan bobot nilai 0,191 dan yang menjadi prioritas yang terakhir adalah tingkat pendapatan dengan bobot nilai 0,120. Adanya peningkatan prasarana dan sarana serta peningkatan tingkat pendapatan. Diharapkan program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu dapat dilaksanakan di wilayah perbatasan negara Kabupaten Nunukan, sehingga akan memberikan keuntungan kepada pemerintah dan mensejahterakan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. C. Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar, tersusun stakeholder yang menjadi pengaruh utama dalam pengelolaan pengembangan kawasan permukiman tersebut

perbatasan negara berkelanjutan, Gambar 46 menunjukkan urutan prioritas stakeholder tersebut.

118

Keterangan :

PP = Pemerintah Pusat PD = Pemerintah Daerah ST = Swasta MY = Masyarakat PK = Pakar

Gambar 46. Urutan prioritas stakeholder dalam pengembangan permukiman perbatasan negara berkelanjutan

kawasan

Berdasarkan gambar 46 hasil analisis AHP yang merupakan stakeholder (level 3) menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah mempunyai peran utama dalam pengembangan kawasan permukiman, bobot nilai masing-masing

stakeholder adalah 0,337 dan 0,222. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap penetapan alternatif kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah

perbatasan Kabupaten Nunukan. Hal tersebut disebabkan kenyataan di lapangan maupun pada tingkat kebijakan sangat ditentukan oleh pengaruh dan peran dari aktor pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kewenangan penuh untuk mendorong percepatan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan kabupaten Nunukan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Secara umum, pengembangan wilayah perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif dari mulai pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro

dan disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah, sedangkan jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional. Swasta memiliki bobot nilai sebanyak 0,150. Swasta merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran terhadap pengembangan kawasan

permukiman. Swasta mempunyai peran sebagai penggalian sumber dana untuk investasi pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan

permukiman, seperti pernyataan Direktorat Jendral Pemberdayaan Sosial (2005) mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama. Tanggung jawab sosial swasta di antaranya peningkatan kesejahteraan dapat memberikan masyarakat, implikasi positif terhadap

meringankan

beban

pembiayaan

pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerja sama antara masyarakat, pemerintah dengan swasta. Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat yang mempunyai bobot nilai 0,133. Masyarakat berperan penting untuk menjaga wilayah perbatasan. Pembangunan permukiman sangat penting dilakukan di wilayah perbatasan tersebut menyangkut keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan akan identitas nasional. Hak-hak ulayat masyarakat perbatasan perlu diakui dan diatur keberadaannya. Keberadaan tanah ulayat secara sesungguhnya memiliki permasalahan secara administratif karena terkadang keberadaannya melintasi batas negara di dua wilayah negara. Walaupun demikian, karena hak-hak ulayat ini secara tradisional menjadi aset penghidupan sehari-hari masyarakat tersebut, keberadaanya tidak dapat dihapuskan, tetapi sebaliknya perlu diakui dan diatur secara jelas. Stakeholder selanjutnya adalah pakar dan BKM/LSM masing-masing

stakeholder tersebut mempunyai bobot nilai 0,91 dan 0,68. Kedua stakeholder tersebut mempunyai peran dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan terhadap sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan dan usaha-usaha penegakan hukum jika ada suatu

pelanggaran dalam setiap kegiatan pembangunan.

120 D. Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengembangan Kawasan

Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian utama, gambar 47 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.

Keterangan :

PPK = Pengembangan dan Penataan Kawasan PKS = Peningkatan Kesejahteraan PE = Pengembangan SDA dan Ekosistem Kawasan

PRK = Pengembangan Prasarana Kawasan MK = Minimasi Konflik

Gambar 47. Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Berdasarkan gambar 47 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan pengembangan dan penataan kawasan dan peningkatan

kesejahteraan mendapat priotitas utama dalam kriteria tujuan dengan masingmasing bobot nilai 0,326 dan 0,313. Pengembangan kawasan menjadi prioritas sesuai dengan GBHN 1999 tertinggal mengamanatkan yang harus bahwa wilayah perbatasan dalam

merupakan

kawasan

mendapat

prioritas

pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga akan terjadi peningkatan kesejahteraan

masyarakat di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Penanganan pengembangan kawasan permukiman sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pada pasal 2 memuat penjelasan bahwa lingkup pengaturan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang

menyangkut pemugaran,

penataan perbaikan,

perumahan perluasan,

meliputi

kegiatan

pembangunan

baru,

pemeliharaan,

dan

pemanfaataannya. meliputi kegiatan pemeliharaan, dan

Pengembangan pembangunan

yang menyangkut penataan permukiman baru, perbaikan, peremajaan, perluasan,

pemanfaatannya. Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Indonesia berbeda dengan di Malaysia. Dalam mengembangkan kawasan permukiman, Malaysia khususnya di wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perkembangan permukiman berpola linier/ribbon development

(Departemen PU 2002). Seiring meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan permukiman sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia ikut meningkat pula. Berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk berdasarkan pada tiap-tiap skenario yang direncanakan, serta dengan menggunakan asumsi bahwa setiap keluarga terdiri dari 5 orang, maka perkiraan kebutuhan minimum rumah pada tahun 2009 dan tahun 2014 berdasarkan tiap skenario dapat ditentukan seperti tertera pada Tabel 19. Tabel 19. Kebutuhan rumah di Kabupaten Nunukan tahun 2009 dan 2014 Kawasan Perumahan Skenario Pesimis 2009 2014 Optimis 2009 2014 Ambisius 2009 2014
Sumber: Hasil Analisis

Jumlah Penduduk 96.961 107.053 116.784 144.840 163.171 239.751

Kebutuhan Rumah (unit) 18.640 20.579 21.429 26.578 26.264 41.110

Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan di masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan sehingga menyebabkan minimnya prasarana dan sarana wilayah,

terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi

122 aktivitas memenuhi sosial-ekonomi hak-hak masyarakat ke wilayah negara tetangga. Untuk

masyarakat

sebagai warga negara dalam memperoleh

pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan. Kebijakan pengembangan wilayah perbatasan negara ke depan adalah dengan peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai daerah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang. Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan pradigma saat ini. Pada masa lalu pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan kepada aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah

perbatasan perlu pula menekankan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan

kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan

sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan di wilayah perbatasan pada masa yang akan datang. Prioritas selanjutnya adalah pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah dengan bobot nilai 0,158. Pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah sangat penting untuk dilaksanakan sehingga SDA dan wilayah tidak terdegradasi akibat adanya pembangunan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan

pembangunan perlu direncanakan secara terpadu berdasarkan pada pengelolaan secara optimal potensi-potensi SDA dan ekosistem wilayah. Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung terhadap kualitas lingkungan seperti fakta adanya kawasan permukiman yang liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah, para pekerja

menyewa tempat tinggal dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat dipenuhi kebutuhan rumahanya oleh para stakeholders terkait, maka gajinya akan lebih besar untuk kebutuhan kesejahteraan sehingga etos kerja para pekerja akan semakin meningkat (Gilbreath 2002). Prioritas selanjutnya yaitu pengembangan prasarana dan sarana dengan bobot nilai 0,116 yang sangat penting dilakukan untuk pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam di kawasan tersebut. Prioritas terakhir adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,087 yang penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat dengan masyarakat negara tetangga, masyarakat dengan pemerintah daerah, dan masyarakat dengan pemerintah provinsi/pusat. Hal ini dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah daerah maupun masyarakat. Peningkatan kerja sama bilateral, subregional, maupun regional dalam berbagai bidang pengelolaan perbatasan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan internasional maupun regional. Di era globalisasi seperti saat ini, setiap negara di saling tergantung satu sama lain. Adanya saling ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamananan. Oleh karena itu, peningkatan kerja sama dengan negara tetangga baik secara bilateral, subregional, maupun regional diharapkan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat menghindari terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari segi sosial-budaya maupun ekonomi. Selain itu kerja sama, antarnegara sangat diperlukan untuk meningkatkan investasi dan optimalisasi pemanfaatan SDA di wilayah perbatasan, serta untuk menanggulangi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di wilayah perbatasan. Kelembagaan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan RI -

Malaysia yang ada saat ini adalah General Border Committee (GBC) yang diketuai oleh Panglima TNI. Forum ini mengadakan pertemuan setahun sekali dengan pergantian tempat antara Indonesia dan Malaysia. Permasalahan perbatasan yang ada saat ini terjadi pada sembilan titik. Permasalahan ini sangat kompleks dan menyangkut kepastian hukum wilayah NKRI atau Malaysia, yaitu masalah (1) Tanjung Datu, (2) Batu Aum, (3)

Semilau, (4) Sungai Sinapad, (5) Sungai Semantipal, (6) Nanga Badau, (7) Sungai Buan, (8) Gunung Raya, dan (9) Pulau Sebatik. Kerja sama di bidang sosial-ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah) dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo telah dilengkapi dengan kelompok kerja (KK). Sosek Malindo di tingkat provinsi/negeri ditujukan untuk (a) menentukan proyekproyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b) merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyekproyek pembangunan sosial-ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d) menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerja sama pembangunan sosial-ekonomi di daerah perbatasan. E. Pembobotan Kriteria Sasaran dalam Pengembangan Kawasan

Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan Hasil dari pendapat pakar tersusun sasaran yang menjadi prioritas utama dalam keberhasilan pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara

berkelanjutan. Gambar 48 menunjukkan urutan prioritas sasaran tersebut.

Keterangan : SPKW = Strategi Pengembangan Kawasan SPPM = Strategi Pengembangan Pembiayaan SPKL = Strategi Pengembangan Kelembagaan

Gambar 48. Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Berdasarkan gambar 48 hasil analisis AHP yang merupakan sasaran (level 5) menunjukkan strategi pengembangan kawasan menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,624. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan ketersediaan infrastruktur dasar yang memadai untuk dilakukan pengembangan wilayah

125 perbatasan di Kabupaten Nunukan. Prioritas kedua yaitu pengembangan

pembiayaan dengan bobot nilai 0,246. Hal tersebut didukung oleh adanya dukungan pembiayaan dari pemerintah untuk melakukan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Prioritas yang terakhir adalah strategi pengembangan kelembagaan dengan bobot nilai 0,130. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan perencanaan tata ruang yang partisipatif, pembentukan pengelolaan community-based permukiman organization (CBO), sosialisasi dan program advokasi

berkelanjutan,

bantuan

teknis

pengembangan desain rumah dan lingkungan, pelembagaan aktivitas sosialkultural, peningkatan kelengkapan lingkungan (neighbourhood peningkatan investasi publik. a. Strategi Pengembangan Kawasan Arah pembangunan jangka panjang nasional yang berkaitan dengan attachment),

pembangunan wilayah perbatasan merupakan wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking. Dengan demikian, kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Adapun program pembangunan berupa penyusunan rencana pengembangan wilayah perbatasan dengan program kegiatan sebagai berikut: Penetapan arah kebijakan pembangunan wilayah perbatasan dengan orientasi mendukung pergerakan aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Penetapan garis batas negara secara jelas dan benar. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat setempat serta guna membantu pengamanan kawasan perbatasan. Pengembangan wilayah perbatasan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi strategis dengan pemanfaatan sumberdaya alam setempat. Peningkatan kualitas sumber daya manusia agar lebih berpotensi dan profesional. Penetapan fungsi lembaga pengelola wilayah perbatasan sesuai dengan kapasitas.

126 Arah kebijakan pemanfaatan ruang di wilayah perbatasan Provinsi Kalimantan Timur adalah: Perlu dibuka jalur transportasi yang menghubungkan wilayah perbatasan dengan daerah-daerah lainnya, baik yang menuju Indonesia maupun Malaysia untuk memudahkan pemasaran hasil-hasil bumi setempat. Perlu dibuka pos-pos imigrasi di wilayah perbatasan untuk melegalkan arus barang yang masuk dan keluar dari wilayah Indonesia. Perlu dibangun pelabuhan laut yang khusus melayani arus keluar-masuk barang dari Indonesia di Wilayah Nunukan Kepulauan. Mempercepat tercapainya kemandirian masyarakat dan pemerintah Kabupaten Nunukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Mengembangkan antarwilayah dan menyerasikan laju pertumbuhan antarsektor pembangunan ekonomi, serta

kecamatan,

wilayah pedesaan,

membuka wilayah pedalaman, perbatasan, wilayah yang terisolasi, dan kawasan tertinggal lainnya. Mengoptimalkan pemanfaatan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui dengan prinsip pembangunan yang

berkelanjutan. Meningkatkan investasi dan peran wisata untuk mendorong penguatan ekonomi rakyat.

Rencana Strategi Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2003--2008. Bagian dokumen perencanaan daerah ini yang memuat salah satu prioritas pembangunan daerah perbatasan dengan program prioritas: Pembangunan sarana dan prasarana jalan darat yang menghubungkan pusat pusat pertumbuhan ekonomi di daerah kota dan pantai dengan wilayah di perbatasan termasuk jalan tembus menuju ke daerah Malaysia. Pembukaan sarana dan prasarana perintis dan air strip yang sudah ada di daerah perbatasan dan bantuan subsidi penerbangan ke daerah perbatasan. Pengawasan sumber daya alam di daerah perbatasan dan pencurian oleh pihak-pihak yang kurang bartanggung jawab serta pengawasan pemindahan patok-patok batas negara di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Pengembangan potensi ekonomi yang tersedia di daerah perbatasan melalui

127 pola agribisnis dan agroindustri dengan tujuan ekspor ke negara tetangga. Peningkatan kerja sama sosial-ekonomi antara pemerintah dan masyarakat perbatasan antarkedua negara malalui payung kerja sama-SOSEK MALINDO dan kerja sama bidang lainnya yang saling menguntungkan kedua belah pihak. b. Strategi Pengembangan Pembiayaan Pada pasal 18 A ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah diatur secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. UndangUndang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk mendukung penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pendanaan atau pembiayaan tersebut menganut prinsip "Money Follow's Function", yang mengandung makna pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan

memperhatikan potensi, kondisi, kebutuhan, serta permasalahan daerah. Studi pengembangan Kawasan Strategis Nasional perbatasan Provinsi Kalimantan Timur yang menyangkut pula pemerintahan 4 kabupaten merupakan masalah nasional yang perlu mendapat perhatian khusus. Jangan sampai kasus Sepadan, Legitan, dan Ambalat Timur terulang dengan kembali Serawak di daerah (Malaysia). daerah Pinjaman daratan perbatasan

Kalimantan

Sumber-sumber terdiri Daerah atas dan

pendanaan/pembiayaan pendapatan Asli

pelaksanaan Dana

pemerintahan Perimbangan,

Daerah,

pendapatan lain yang syah. Wilayah perbatasan berkaitan dengan pemerintah pusat sehingga pendanaan pembangunan wilayah perbatasan juga dapat

bersumber dari RAPBN, keuangan pusat yang dikonsentrasikan kepada gubernur, atau yang ditugaskan dan/atau desa dalam rangka tugas pembantuan. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana

128 alokasi khusus (DAK). Dana perimbangan ini digunakan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya untuk menghindari ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan pemerintahan daerah. Dana bagi hasil (DBH) diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2000 dan pada pasal 21 sektor pertambangan, panas bumi sesuai dengan undang-undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, dan termasuk dana reboisasi. Dana alokasi umum (DAU) digunakan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dana potensi daerah. Wilayah perbatasan berkaitan dengan empat kabupaten sehingga ada peluang peningkatan DAU untuk membangun wilayah perbatasan. Dana alokasi khusus (DAK) digunakan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang menjadi prioritas nasional karena membangun wilayah perbatasan merupakan masalah daerah dan masalah nasional. Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 juga mengatur hibah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional dalam bentuk devisa/rupiah, bentuk barang dan jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar lagi. Selain itu, terdapat sumber-sumber pembiayaan lain yaitu pinjaman daerah yang digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pelayanan masyarakat. Sumber dana yang lain yaitu dana dekonsentrasi yang bertujuan untuk menjamin tersedianya dana untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan pada gubernur sebagai wakil pemerintah. Sumber dana/biaya dan kekayaan sumber daya alam yang ada di Provinsi Kalimantan Timur dan keempat kabupaten yang termasuk wilayah perbatasan cukup besar apabila dana tersebut dapat dimanfaatkan dengan kebijakan, perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasan yang baik. c. Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengembangan strategi nasional perbatasan Provinsi Kalimantan Timur

berkaitan dengan Kabupaten Nunukan sehingga sesuai dengan amanat Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam

129 menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. Penyelenggaraan desentralisasi memberikan syarat terhadap pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Urusan pemerintah terdiri dari urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintah atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah yaitu urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi, dan

pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren harus proporsional antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten. Oleh karena itu, ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisien. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan

mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antarkegiatan dan susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan. Untuk mencegah teradinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak maka ditentukan kriteria akuntanbilitas. Kriteria tersebut yaitu tingkat pemerintah yang paling berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut adalah yang paling dekat dari dampak yang timbul.Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi yang mendorong akuntanbilitas pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada penyelenggaraan urusan pemerintahan harus ekonomis. Seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam

130 menghadapi globalisasi. Penerapan kriteria eksternalitas, akuntanbilitas, serta semangat ekonomis diwujudkan melalui kriteria efisiensi. Ketiga kriteria ini dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan

demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi. Urusan kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib

diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan yaitu urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan upaya pengembangan potensi unggulan (core competence). Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan tetap harus

diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah membuat prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan harus difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Agar pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan memiliki payung hukum yang kuat, maka urusan wajib dan pilihan yang diselenggarakan oleh daerah harus dituangkan ke dalam peraturan daerah yang menjadi acuan dalam penentuan penyelenggaraan pemerintah daerah. Ketentuan tersebut meliputi penentuan struktur organisasi perangkat daerah, personil, dan anggaran. Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan, tiap tingkat pemerintahan harus melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan. Hal ini menjadi kewenangan pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Pemerintah berkewajiban menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dijadikan pedoman dalam mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pedoman yang memuat norma, standar, prosedur, dan kriteria tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menilai kemampuan apakah suatu urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah mampu diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Bagi pemerintahan daerah yang belum memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditentukan, kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut dapat ditunda sampai dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah. Untuk melaksanakan urusan pemerintah yang belum mampu dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah dilaksanakan pusat. oleh Pelaksanaan pemerintah urusan daerah pemerintah provinsi yang belum mampu kepada

dilimpahkan

departemen/LPND yang membidangi urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah didasarkan pada asas tugas pembantuan yang secara bertahap dapat diserahkan kepada urusan pemerintah daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan ini diserahkan apabila pemerintah daerah benar-benar telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dengan demikian, tugas pembantuan dapat dimanfaatkan sebagai instrumen peningkatan kemampuan pemerintah daerah sebelum urusan pemerintahan tersebut benar-benar diserahkan kepada daerah yang bersangkutan. Pemberdayaan pemerintah daerah sangat penting dilakukan untuk

meningkatkan kapasitas daerah sehingga mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat penyelenggaraan urusan pemerintah yang efisien sesuai dengan kewenangannya. Oleh karena itu, departemen/LPND bertanggung jawab menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria wajib dalam mengikutsertakan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait termasuk

pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut, peningkatan kapasitas dan fungsi kelembagaan dalam pengelolaan perbatasan dilakukan melalui optimalisasi fungsi dan peran kelembagaan antarinstansi pemerintah, penataan hubungan kerja baik secara horisontal maupun secara vertikal, peningkatan koordinasi, dan konsultasi antarlembaga. Selain itu, peningkatan juga dilakukan melalui pengembangan database informasi wilayah perbatasan yang dapat dijadikan acuan bersama oleh seluruh

stakeholder terkait. Pemahaman yang baik terhadap fungsi dan peran, tata hubungan yang jelas, koordinasi yang intensif, serta tingkat pengetahuan dan persepsi yang sama, diharapkan dapat menyelaraskan berbagai kewenangan, kebijakan dan peraturan-peraturan antara pemerintah pusat dan daerah. 4.4.4 Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan

Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara 4.4.4.1 Penyusunan Strategi Pengembangan Berdasarkan hasil analisis keterkaitan dan kinerja pengembangan kawasaan permukiman menunjukkan, sistem yang ada saat ini masih belum berkelanjutan. Sistem yang belum berkelanjutan menyebabkan perlunya perumusan berbagai strategi dan rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan permukiman

berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Berdasarkan hasil AHP, disusun analisis kebijakan yang dilakukan melalui tiga kajian strategi pilihan. Dari analisis tersebut, diketahui tiga masalah yang paling berpengaruh terhadap strategi dan rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, antara lain (1) Strategi Pengembangan Kawasan, (2) Strategi Pengembangan Pembiayaan, dan (3) Strategi Pengembangan Kelembagaan. Perkiraan kondisi (state) dipengaruhi potensi hubungan antarkomponen terkait untuk penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan (Cadenasso 2003). Berdasarkan dominasi responden mengenai kondisi masalah di masa yang akan datang, hal yang harus dilakukan yaitu kombinasi antarkondisi masalah dengan membuang kombinasi yang tidak sesuai (incompatible). Dari kombinasi antarkondisi masalah didapatkan dua skenario yaitu (1) Strategi optimis dan (2) Strategi pesimis.

a. Penyusunan Strategi Pengembangan Kawasan Interpretasi kondisi masalah dalam peubah skenario dilakukan melalui

keterkaitan strategi yang disusun dalam suatu skenario. Dalam hal ini, beberapa perubahan dilakukan pada peubah tertentu sehingga strategi yang bersangkutan dapat disimulasikan. Perkiraan permasalahan pengembangan kawasan pada kondisi di masa yang akan datang disajikan pada tabel 20.

Tabel 20. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kawasan pada kondisi masa yang akan datang
No 1 Masalah 5 Kesadaran masyarakat akan identitas nasional 7A Menurun, karena kawasan perumahan dan permukiman di wilayah perbatasan tidak didukung pembangunan infrastruktur lingkungan yang terpadu dengan infrastruktur primer kota 4A Menurun, karena pemerintah menganggap bahwa pembangunan sosial ekonomi wilayah perbatasan tidak penting Keadaan (State) 7B Tetap, karena pengadaan infrastruktur wilayah perbatasan dilakukan seadanya 7C Meningkat, karena pembangunan infrastruktur mendukung pertumbuhan kawasan

2 4. Kesejahteraan Masyarakat

4B Tetap, karena pembangunan tidak terkoordinasi dengan baik

4C Meningkat, karena pemerintah melakukan pembangunan sosial ekonomi, melakukan koordinasi, dan melibatkan sektor swasta 1C Meningkat, karena pembangunan terarah dan terencana

3 1. Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan

1A Menurun, karena SDA dikelola kurang optimal dan kondisi perekonomian dan pemerataan pembangunan menurun 15A Menurun, karena masyarakat tidak peduli dengan pemanfaatan lahan, yang penting aman dan tidak diakui oleh pihak lain

1B Tetap, karena banyak pengusahaan lahan di lakukan segelintir masyarakat (spekulan tanah) 15B Tetap, karena tidak ada sosialisasi yang baik, hanya sedikit penjelasan

4 15. Terbatasnya fasos dan fasum

15C Meningkat, karena pembangunan fasos dan fasum di wilayah perbatasan mulai dilakukan oleh instansi terkait, dan ada sosialisasi yang baik dari pemerintah tentang pemanfaatan lahan yang baik 14C Meningkat, karena kurang perhatian pemerintah terhadap wilayah perbatasan

5 14.Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman

14A Menurun, karena Kondisi letak geografis kurang mendukung untuk peningkatan kerjasama luar negeri antar negara

14B Tetap, karena adanya pembangunan yang tetap berjalan namun dalam jumlah yang masih minim

6 6. Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga

6A Menurun, karena pembangunan belum merata di segala bidang

6B Tetap, karena ada perhatian pemerintah akan pentingnya wilayah perbatasan, namun implementasinya belum dilakukan

6C Meningkat, karena karena pembangunan yang dilakukan di wilayah perbatasan negara tetangga lebih intens dan lebih fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat

Tabel 21 . Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kawasan No. Strategi 1. Skenario 1 2. Skenario 2 Kombinasi Kondisi Faktor 7A/4A/1A/15A/14A/6A 7C/4B/1C/15C/14C/6C

Skenario satu dibangun berdasarkan keadaan faktor kunci dengan kondisi pengembangan kawasan yakni kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional (7A) karena kawasan perumahan dan permukiman di wilayah perbatasan tidak didukung pembangunan infrastruktur yang terpadu dengan infrastruktur primer kota. Selain itu, pengadaan infrastruktur wilayah perbatasan dilakukan seadanya. Rendahnya kesejahteraan masyarakat (4A) karena pemerintah

menganggap bahwa pembangunan sosial-ekonomi wilayah perbatasan tidak penting dan pembangunan tidak terkoordinasi dengan baik. Kesenjangan

pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1A) karena SDA dikelola kurang optimal, kondisi perekonomian dan pemerataan pembangunan tidak merata, serta banyak pengelolaan lahan dilakukan segelintir masyarakat (spekulan tanah). Terbatasnya fasos dan fasum (15A) karena masyarakat tidak peduli dengan pemanfaatan lahan. Dalam pemanfaatan lahan bagi masyarakat yang penting adalah keamanan dan lahan tersebut tidak diakui pihak lain. Hal ini terjadi karena tidak ada sosialisasi yang baik dari pemda mengenai pentingnya pemanfaatan lahan. Kurangnya infrastruktur kawasan dan permukiman (14A) karena letak geografis tidak mendukung peningkatan kerja sama luar negeri antarnegara sehingga perlu adanya pembangunan infrastruktur dan permukiman. Kondisi sosial dan ekonomi negara tetangga lebih baik (6A) karena pemerintah memperhatikan perbatasan. pembangunan di segala bidang dan pentingnya wilayah

Skenario dua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan kawasan yaitu, meningkatnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional (7C). Kesadaran masyarakat akan identitas sosial meningkat karena kawasan perumahan dan permukiman di wilayah perbatasan didukung pembangunan infrastruktur yang terpadu dengan infrastruktur primer kota secara bertahap dan terencana. Kesejahteraan masyarakat relatif tetap (4B) karena pemerintah melihat tingkat kesejahteraan di wilayah perbatasan cukup baik sehingga tidak menjadi prioritas utama. Menurunnya kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1C) karena SDA dikelola dengan sangat baik. Bukan hanya itu, kondisi perekonomian dan pemerataan

pembangunan juga meningkat serta meningkatnya pembangunan fasos dan fasum (15C) karena masyarakat mengoptimalkan pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya dan berkoordinasi dengan pemda. Kondisi sosial dan ekonomi di negara tetangga lebih baik (6C) karena pembangunan di wilayah perbatasan lebih difokuskan pada aspek peningkatan keamanan melalui law enforcement, dengan pembangunan perbatasan. b. Penyusunan Strategi Pengembangan Pembiayaan Strategi yang disusun dalam skenario dikaitkan melalui interpretasi kondisi masalah ke dalam peubah skenario. Beberapa perubahan dilakukan pada peubah tertentu di dalam skenario sehingga strategi yang bersangkutan dapat sosial-ekonomi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

disimulasikan. Berikut ini perkiraan permasalahan pengembangan pembiayaan pada kondisi di masa yang akan datang. Tabel 22. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan

pembiayaan pada kondisi masa yang akan datang


No 1 Masalah 23.Terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan Keadaan (State) 23A 23B Menurun, karena kondisi sharing Tetap, karena pendanaan pusat, provinsi, kota kondisi sharing meningkat, alokasi dana khusus pendanaan untuk pengembangan dan pusat, provinsi, pengelolaan kawasan kota dari tahun permukiman perbatasan ke tahun tidak meningkat seiring kebijakan mengalami prioritas pembangunan di peningkatan wilayah perbatasan 23C Meningkat, karena menganggap pembangunan permukiman wilayah perbatasan tidak penting,

2 17. Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan perkim

17A Menurun, karena keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan kawasan semakin besar, adanya kesadaran bahwa pembangunan wilayah sangat penting

17B Tetap, karena pendekatan diproyeksikan dan tidak transparan

17C Meningkat, karena pemerintah menganggap bahwa pembangunan di wilayah perbatasan kurang penting 24C Meningkat, karena tidak adanya pengendalian terhadap pengelolaan dana pembangunan, adanya anggapan bahwa perbatasan hanya sekedar batas

3 24. Pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal

24A Menurun, karena kondisi aturan tentang tatacara penggunaan anggaran akan jelas ditingkatkan

24B Tetap, karena sudah ada perhatian pada infrastruktur dan permukiman

Tabel 23 . Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan pembiayaan No. Strategi 1. Skenario 1 2. Skenario 2 Kombinasi Kondisi Faktor 23A/17A/24A 23C/17B/24C

Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan pembiayaan karena terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23A). Hal ini dilakukan karena kondisi sharing pendanaan pusat, provinsi, kabupaten/kota tidak seimbang. Dana alokasi khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan

permukiman perbatasan meningkat seiring kebijakan prioritas pembangunan di wilayah perbatasan. Pendanaan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Dana untuk pengembangan, pengelolaan infrastruktur, dan perkim (17A) berkurang karena keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan wilayah perbatasan masih rendah. Rendahnya pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan (24A) terjadi karena kondisi pengatuaran tata cara penggunaan anggaran belum jelas sehingga perlu adnay peningkatan kinerja agar penggunaan dana pembangunan dapat optimal. Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan pembiayaan yaitu meningkatnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23C)

karena kondisi sharing pendanaan pusat, provinsi, kabupaten/kota meningkat. Alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan meningkat seiring kebijakan prioritas pembangunan di wilayah perbatasan. Pendanaan untuk pengembangan serta pengelolaan infrastruktur dan permukiman tetap (17B) karena keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan kawasan semakin besar, tetapi belum dilakukan secara baik, seperti belum optimalnya pemanfaatan serta pengelolaan dana pembangunan infrastruktur dan permukiman kondisinya tetap (24B) atau belum meningkat. c. Penyusunan Strategi Pengembangan Kelembagaan Strategi pengembangan kelembagaan yang disusun dalam skenario dilakukan dengan menginterpretasikan kondisi masalah ke dalam peubah skenario. Dalam hal ini, dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam skenario sehingga strategi yang bersangkutan dapat disimulasikan. Berikut ini perkiraan permasalahan pengembangan kelembagaan pada kondisi di masa yang akan datang. Tabel 24. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan

kelembagaan pada kondisi masa yang akan datang


No 1 Masalah 16. Pelayanan publik 16A Menurun, karena pembangunan belum diimbangi dengan peningkatan terhadap pelayanan publik 20A Menurun, karena penegakan hukum dan peraturan masih lemah dan cenderung menurun. Ini terlihat oleh banyaknya pelanggaranpelanggaran yang tidak menjalani proses hukum 5A Menurun, karena kondisi pembiayaan sudah optimal melalui lembaga pemerintah/swasta Keadaan (State) 16B Tetap, karena pemerintah menganggap kebijakan dan pedoman tidak diperlukan 20B Tetap, karena tidak ada terobosan berarti dalam upaya penegakan hukum 16C Meningkat,karena wilayah perbatasan hanya menjadi pintu belakang menjadi penting 20C Meningkat, karena Law enforcement meningkat

2 20. Penegakan hukum dan peraturan

3 5. Aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga

5B Tetap, karena Pemda membiarkan infrastruktur permukiman apa adanya

5C Meningkat,karena rencana pemda asal jadi tanpa pemikiran matang,dibukanya beberapa pintu

No

Masalah 16A

Keadaan (State) 16B

16C penyeberangan antar wilayah, pembangunan SDA di sektor perkebunan, pertambangan dan pertanian belum dapat menyerap tenaga lokal dan menjadi kegiatan penunjang perkembangan wilayah perbatasan

Tabel 25. Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kelembagaan No. Strategi 1. Skenario 1 2. Skenario 2 Kombinasi Kondisi Faktor 16A/20A/5A 16B/20C/5C

Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan faktor kunci dengan kondisi pengembangan kelembagaan. Dalam skenario ini dapat dilihat terbatasnya pelayanan publik (16A) karena pembangunan tidak diimbangi dengan

peningkatan pelayanan publik dan pemerintah menganggap kebijakan terkait pelayanan publik belum mendesak. Penegakkan hukum dan peraturan masih lemah (20A) dan cenderung menurun. Kondisi ini terlihat dari banyaknya pelanggaran yang tidak diproses secara hukum dan tidak ada terobosan berarti dalam upaya penegakkan hukum. Aktivitas sosial-ekonomi masyarakat rendah (5A) karena kondisi pembiayaan melalui lembaga pemerintah/swasta masih rendah. Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan faktor kunci dengan kondisi pengembangan kelembagaan. Pada skenario kedua, pelayanan publik tetap (16B) karena pembangunan tidak diimbangi dengan peningkatan terhadap pelayanan publik. Penegakkan hukum dan peraturan meningkat (20C) yang dapat dilihat dari berkurangnya pelanggaran yang dilakukan masyarakat perbatasan negara. Aktivitas sosial-ekonomi masyarakat dengan wilayah negara tetangga berkurang (5C) karena kondisi pembiayaan pembangunan di wilayah perbatasan meningkat melalui lembaga pemerintah/swasta, tetapi pemda membiarkan

pembangunan infrastruktur dan permukiman masih apa adanya.

4.5. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Percepatan pembangunan wilayah, terutama wilayah perbatasan, sangat memerlukan keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan wilayah di

perbatasan tersebut. Pada prinsipnya, komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan wilayah perbatasan telah tercermin dalam kebijakan pembangunan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1993 yang masih konsisten dengan GBHN tahun 1999--2004. Dalam GBHN tahun 19992004 pada Bab IV butir G dinyatakan bahwa perlu peningkatan pembangunan di

seluruh daerah termasuk wilayah perbatasan dengan tetap berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, hingga saat ini peningkatan pembangunan wilayah perbatas belum memperlihatkan hasil yang nyata. Kondisi ini disebabkan adanya ketimpangan pembangunan antara wilayah perbatasan dengan wilayah nonperbatasan. Oleh karena itu, infrastruktur wilayah masih terbatas dan permukiman di wilayah perbatasan baik yang berada dalam kawasan perkotaan maupun perdesaan kurang berkembang. Dampak dari hal ini yaitu aktivitas sosioekonomi banyak yang berorientasi ke negara tetangga. Selain menyebabkan ketergantungan terhadap negara tetangga, keterbatasan infrastruktur dan permukiman di wilayang perbatasan juga menyangkut kondisi keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan terhadap identitas nasional. Pengembangan perbatasan pusat-pusat pertumbuhan yaitu baru (border city) di wilayah (1) melindungi ruang terbuka

terdapat

enam kategori

hijau/konservasi dan sumber daya alam, (2) dapat mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) efisiensi pembiayaan pembangunan infrastruktur, (4) mendorong sinergisitas hubungan kota dan desa, serta (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Seong 2006). Dinamika kegiatan ekonomi perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) di perbatasan negara. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka dapat menjadi hambatan pengembangan potensi pertumbuhan yang selama ini berfungsi sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan, ekonomi, dan

peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan (Canales 1999). Berdasarkan hal paparan di atas, perlu dibuat desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Penyusunan kebijakan dan strategi tersebut dilakukan melalui lima tahapan analisis, yaitu analisis kondisi permukiman, analisis potensi sektor unggulan wilayah dengan menggunankan model perbandingan eksponensial (MPE), analisis faktor penting dengan interpretative structural modelling (ISM), desain kebijakan

pengembangan dengan analytical hierarchy process (AHP), serta skenario pengembangan dan rekomendasi kebijakan. Permodelan interpretasi struktural interpretative structural modelling (ISM) merumuskan alternatif kebijakan di masa yang akan datang. Pembuatan desain kebijakan pendekatan pengembangan analytical kawasan hierarchy permukiman process perbatasan menggunakan dibuat

(AHP).

Selanjutnya

pengklasifikasian subelemen dan desain kebijakan melalui deskripsi analisis kebijakan yang sesuai dengan keadaan di lapangan, hasil analisis ISM, dan AHP. Tahapan tersebut menentukan keadaan (state) suatu faktor, membangun skenario yang mungkin terjadi, dan menentukan implikasi dari skenario tersebut. 4.5.1 Desain Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Kajian pengembangan strategi dilakukan pada tiga peubah yang dianggap menentukan dan menjadi rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yaitu (1) Pengembangan kawasan, (2) Pengembangan pembiayaan, dan (3) Pengembangan kelembagaan. 4.5.1.1 Desain Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Penanganan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut, belum diatur dan diarahkan melalui kebijakan dan strategi pengembangan kawasan yang bersifat nasional dan

menyeluruh. Penanganan beberapa kasus atau masalah permukiman di wilayah perbatasan negara yang terjadi selama ini disebabkan belum melibatkan semua stakeholders baik pemerintah daerah, masyarakat, maupun swasta. Di samping itu, koordinasi masing-masing instansi terkait baik di pusat maupun daerah masih lemah.

141 Pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan negara, termasuk di dalamnya pengembangan kawasan permukiman, hanya berpedoman pada kebutuhan yang telah diamanatkan dalam GBHN 1999, Propenas 20002004, dan sesuai dengan kebijakan sektor masing-masing. Upaya penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman perbatasan sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penyusunan kebijakan dan strategi telah diupayakan oleh beberapa instansi pemerintah baik pusat maupun daerah melalui kajian dan studi. Hingga saat ini, upaya tersebut belum menghasilkan suatu peraturan yang dapat dijadikan acuan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan. Pengembangan kawasan permukiman perbatasan disusun berdasarkan faktor lingkungan yang strategis dan diperkirakan akan memengaruhi perkembangan wilayah perbatasan di masa yang akan datang. Pengembangan kawasan permukiman perbatasan ini diharapkan mampu

mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang tercipta akibat adanya perubahan lingkungan strategis baik lokal, regional, dan global. Adapun beberapa faktor kunci, antara lain: a. Pengembangan diarahkan pada wilayah yang memiliki potensi SDA sektor unggulan agar keberlanjutan kawasan permukiman dapat didukung. b. Pengembangan didukung dengan penyediaan prasaran dan sarana serta lingkungan yang memadai. c. Pengembangan dapat mendorong terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan sebagai tempat aktivitas dan usaha penduduk wilayah

serta berfungsi untuk meminimalisasi konflik di wilayah perbatasan. d. Pengembangan kawasan permukiman yang mengedepankan peningkatan kesejahteraan, ekonomi, serta fungsi pertahanan dilakukan bersama-sama dan seimbang sehingga dapat meningkatkan stabilitas wilayah perbatasan. Strategi pengembangan kawasan permukiman perbatasan bertumpu pada masyarakat yang menjadi subjek kegiatan yang tinggal di wilayah perbatasan, dan atau memiliki tempat usaha, maupun bekerja di wilayah perbatasan. Hasil analisis data dengan metode ISM memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional menjadi permasalahan yang paling krusial

142 di wilayah perbatasan. Hal-hal yang berkembang di masyarakat yang berpotensi menurunkan nilai identitas bangsa di wilayah perbatasan antara lain penggunaan mata uang ringgit sebagai alat pembayaran yang sah, tayangan televisi dengan dominasi acara-acara dari Negeri Malaysia, aktivasi pasar lebih ramai di wilayah Malaysia, kemudahan pengurusan KTP dan pembelian tanah di wilayah Malaysia, dan lain sebagainya. Kenyataan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat berkurang daripada rasa untuk mempertahankan identitas nasional. Salah satu solusi yang harus segera dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan identitas nasional yaitu dengan menciptakan lapangan kerja padat karya seluas-luasnya untuk masyarakat di wilayah perbatasan. Lapangan pekerjaan tidak akan terwujud tanpa dukungan pemerintah dalam menciptakan kegiatan melalui pembuatan kebijakan-kebijakan pendukung oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di wilayah perbatasan. Hasil analisis MPE memperlihatkan hasil dari tiga klaster berbasis potensi sektor unggulan yang dapat mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan apabila didukung oleh semua stakeholders. Orientasi seluruh kegiatan lebih banyak diupayakan dengan basis pemberdayaan masyarakat sebagai subjek pembangunan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat. Pemerintah bekerja sama dengan LSM dan pakar-pakar terkait yang berasal dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian dalam mewujudkan kemandirian masyarakat melalui pengadaan

pelatihan dan penyuluhan. Tolok ukur peningkatan kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional yang paling nyata ditandai dari peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara, serta adanya anggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk pengembangan kawasan permukiman perbatasan oleh pemerintah. Selama ini dana kegiatan-kegiatan dalam upaya percepatan pertumbuhan pembangunan di wilayah perbatasan relatif belum memadai karena hanya bersumber dari anggaran rutin setiap tahunnya. Pada Gambar 38 memperlihatkan bahwa penganggaran dana perlu dilakukan pemerintah secara berkala agar upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan pendapatan masyarakat dapat dicapai. Sumber dana pembangunan permukiman di wilayah perbatasan baik dana rutin maupun dana alokasi khusus akan menentukan jenis penanganan pembangunan.

143 Jenis penanganan pembangunan disesuaikan dengan karakteristik tenaga kerja dan masyarakat setempat yang didukung dengan potensi sektor unggulan yang tersedia di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Sesuai hasil analisis MPE di masingmasing klaster subkawasan, potensi sektor unggulan klaster 1 yaitu pertambangan, klaster 2 perkebunan, dan klaster 3 sektor perikanan. Berdasarkan ketentuan pada pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, bentuk penanganan pembangunan

perumahan dan permukiman memiliki dua kategori yaitu bentuk pembangunan baru (PB) dan peningkatan kualitas (PK). Ketentuan tersebut dapat digunakan dalam menentukan bentuk penanganan pembangunan di setiap jenis kegiatan usaha yang disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan permukiman masingmasing tenaga kerja atau masyarakat yang bersangkutan. Bentuk penanganan pembangunan permukiman sektor unggulan pertambangan yaitu pembangunan baru (PB) dan peningkatan kualitas (PK), sektor unggulan perkebunan yaitu pembangunan baru (PB), sedangkan sektor unggulan perikanan yaitu

pembangunan baru (PB) dan peningkatan kualitas (PK). Dalam pelaksanaan pembangunan permukiman akan mengubah bentang alam di lokasi tersebut. Dalam hal ini, ekosistem di kawasan tersebut dibuat menjadi ekosistem nonalami yang dapat mengubah total ekosistem alami. Berdasarkan hal tersebut, kajian terhadap lingkungan harus dilakukan secara seksama. Dalam hal ini pelaku harus membuat AMDAL sebagai kriteria pembangunan permukiman yang dilakukan agar tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Dengan kata lain, kelestarian lingkungan akan tetap terjaga dengan baik walaupun di lokasi tersebut dilakukan pembangunan kawasan permukiman. Adapun salah satu hal yang dapat dilakukan dalam melakukan kajian terhadap kelayakan dari segi lingkungan yakni melakukan analisis terhadap dampak lingkungan (AMDAL) di lokasi yang akan dibangun. AMDAL menjadi semakin penting apabila suatu wilayah berhadapan atau di dalamnya terdapat ekosistem fragile di wilayah pesisir seperti ekosistem padang lamun, ekosistem mangrove, dan ekosistem karang. Adanya AMDAL yang dilakukan secara serius akan dapat menyelesaikan berbagai masalah seperti masalah ekologi. Terjaganya ekologi akan

tetapmemungkinkan lestarinya lingkungan, sehingga dapat diharapkan kualitas

144 udara, tanah & air yang baik. Selain itu, ekosistem yang fragile sekalipun seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang akan terpelihara dengan baik karena berbagai hal yang dapat diminimalkan, sehingga ekosistem tersebut tidak terganggu walau di sekitarnya dibangun kawasan permukiman. AMDAL juga akan menjaga aspek sosial terpelihara dengan baik mengingat dalam AMDAL akan ada petunjuk untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial, melunturnya budaya, dan berbagai aspek sosial lainnya yang mungkin dapat luntur akibat terjadinya pembangunan kawasan permukiman. Dalam penanganan pembangunan permukiman tetap memperhatikan kriteria AMDAL kegiatan pembangunan permukiman terpadu yaitu dengan

mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada, penggunaan energi yang minimal, pengendalian limbah dan pencemaran, menjaga kelanjutan sistem sosialbudaya lokal, dan peningkatan pemahaman konsep lingkungan (Kepmen KLH 2000). Terkait dengan penanganan pembangunan kawasan permukiman terpadu dengan lingkungan khususnya bagi permukiman di pesisir dan nelayan,

Kabupaten Nunukan yang mempunyai wilayah pesisir yang luas dan pulau-pulau kecil terluar yang strategis, harus memperhatikan dan menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem hutan mangrove dalam pelaksanaannya. Wilayah pesisir Kabupaten Nunukan pada umumnya berpotensi untuk pengembangan permukiman baik nelayan maupun permukiman lainnya, karena jauh dari ancaman bencana tsunami. Namun demikian adanya potensi

pengembangan permukiman di wilayah pesisir tersebut dapat mengancam keberadaan hutan mangrove yang selama ini masih terjaga kelestariannya dengan baik. Kondisi tersebut perlu dijaga tanpa menghambat kebijakan pemda dalam pengembangan permukiman di wilayah pesisir dalam hal ini pembangunan permukiman tersebut hendaknya diterapkan persyaratan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku seperti, perlindungan pantai dengan mangrove yang ketebalan hutannya tetap dijaga tidak kurang dari 50 - 1000 meter, sesuai kondisi hidro-oseanografi di wilayah tersebut. Ketebalan hutan yang difungsikan sebagai lapisan penyangga (buffer zone) menurut RTRW Kabupaten Nunukan (2005) adalah 130 kali tinggi pasang surut. Hutan mangrove yang baik akan dapat

145 menjaga permukiman di wilayah pesisir karena berperan sebagai perangkat analisis mitigasi alami dalam menjaga keberlanjutan, hal ini disebabkan oleh: a. Penanganan abrasi lebih murah dibanding dengan membuat bangunan laut lain dan mangrove dapat memberi dampak ikutan yang menguntungkan kualitas perairan di sekitarnya. b. Mangrove memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan menahan intrusi air laut. Dengan demikian, persediaan sumber air baku untuk air minum masyarakat penghuni permukiman pesisir tetap terjaga kualitasnya. c. Secara estetika mangrove lebih baik daripada bangunan laut lainnya, selain berfungsi sebagai ekosistem pesisir juga mempunyai vegitasi yang beragam dengan panorama indah dan hijau. d. Bangunan laut dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi di tempat lain, sebaliknya hutan mangrove menahan erosi. e. Kawasan pertambakan dapat ditata ulang dengan sistem wanamina

(silvofishery), yaitu perpaduan antara hutan mangrove dan perikanan sehingga biota laut di sekitarnya dapat tumbuh dengan baik. f. Mangrove dapat menetralisasi lahan yang telah tercemar oleh logam berat sehingga pemanfatan lahan di wilayah pesisir baik untuk permukiman dan kegiatan bangunan lainnya tidak meluas dan efisien. Pembangunan kawasan permukiman juga harus dapat menjaga kelestarian lingkungan sehingga sumber daya alam tetap lestari, ekosistem tetap dalam kondisi prima sehingga dapat menjamin masyarakat yang hidup di dalamnya lebih sejahtera karena selalu mendapat hasil tangkapan dalam jumlah banyak. Salah satu aspek lingkungan yang harus diperhatikan dalam pembangunan kawasan permukiman yaitu harus dimulai dari sebelum pembangunan dilakukan (persiapan pembangunan), pada saat pelaksanaan hingga pembangunan dihuni permukiman, masyarakat. dan Upaya

pascapembangunan

permukiman

mempertahankan ekosistem hutan mangrove pada masyarakat yang sudah menghuni di kawasan permukiman dilakukan melalui pendekatan sistem sosialbudaya lokal. Hal bertujuan agar masyarakat mampu berpartisipasi dalam

146 pengendalian limbah dan pencemaran sehingga pemahaman masyarakat terhadap konsep lingkungan terus meningkat. Peningkatan pemahaman masyarakat penghuni terhadap konsep keberlanjutan lingkungan dapat mendorong usaha perbaikan kerusakan hutan mangrove yang dilakukan melalui kegiatan penanaman kembali. Masyarakat bersama pemda melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di pesisir wilayah Kabupaten Nunukan. Adapun bentuk penanganan pembangunan permukiman di masingmasing klaster sesuai dengan potensi SDA pendukung pengembangan

permukiman berkelanjutan dapat dilihat pada gambar 49.

2 1

Kluster 1 : Pembangunan Baru & Peningkatan Kualitas Kluster 2 : Pembangunan Baru Kluster 3 : Pembangunan Baru & Peningkatan Kualitas

Gambar 49. Bentuk penanganan pembangunan permukiman 4.5.1.2 Desain Strategi Pengembangan Pembiayaan Strategi pengembangan pembiayaan dalam percepatan pembangunan di

wilayah perbatasan sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan peran pemerintah terutama pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Selama ini pemerintah membuat dan menerima alokasi dana yang belum memadai untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman di wilayah perbatasan. Peran pemerintah

147 yang besar dapat mengintervensi lembaga keuangan dengan mengeluarkan kebijakan penganggaran untuk memudahkan biaya pembangunan rumah dan

melindungi hak masyarakat di wilayah perbatasan. Pemerintah juga menjadi fasilitator untuk penguatan kerja sama dengan stakeholders lainnya dalam mengupayakan pembanguann permukiman dan infrastruktur serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya. Adapun lembaga keuangan berperan dalam mengupayakan kemudahan kredit perumahan dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat yang diawasi oleh lembaga masyarakat lokal. Tujuan peningkatan pendapatan, kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan daerah dan

negara di wilayah perbatasan dapat tercapai melalui pengembangan pembiayaan. Faktor-faktor pengembangan yang mengindikasikan yaitu tolok ukur keberhasilan isolasi dalam serta

pembiayaan

penataan

dan pembukaan

ketertinggalan wilayah perbatasan dengan cara pembangunan infrastruktur serta prasarana dan sarana dalam jangka waktu yang sama. Pendekatan pengelolaan wilayah perbatasan yang dilakukan yaitu pengelolaan yang menyeluruh dan terpadu dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan,

lingkungan, serta kesejahteraan secara seimbang. Dukungan dalam pencapaian pengembangan pembiayaan pun dilakukan bersama-sama dengan kegiatan

peningkatan kerja sama pembangunan antarnegara, antarpemerintah, dan antarstakeholders di wilayah perbatasan. 4.5.1.3 Desain Strategi Pengembangan Kelembagaan Secara umum, pengembangan kawasan permukiman perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerja sama yang efektif dari pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dan strategi dari tingkat makro sampai tingkat mikro yang disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Sedangkan, jangkauan pelaksanaannya bersifat strategik sampai dengan operasional baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Desain strategi pengembangan kelembagaan yang berlaku bagi seluruh wilayah perbatasan baik darat maupun laut, perlu dijabarkan dalam suatu strategi.

148 Kebijakan di atas perlu dilaksanakan melalui upaya-upaya: a. Penyelarasan kegiatan-kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui anggaran pembangunan sektoral dan daerah yang diarahkan bagi pengembangan kawasan pertumbuhan baru, dan pengembangan wilayah secara terpadu di perbatasan. b. Keberpihakan dan perhatian yang lebih besar dari sektor-sektor terkait di pusat terhadap kawasan permukiman perbatasan. c. Penguatan dan pembentukan lembaga pengembangan kawasan permukiman perbatasan yang bertugas untuk menyusun kebijakan dan pengkoordinasian berbagai kegiatan terkait di tingkat pusat dan daerah. d. Pemberian dukungan dan fasilitas pengembangan kawasan permukiman perbatasan oleh instansi pusat dan pihak swasta dalam maupun luar negeri. e. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam kegiatan pengembangan kawasan permukiman perbatasan termaktub dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan permukiman perbatasan sejauh mungkin perlu dikelola oleh pemerintah daerah. Namun, kondisi kelembagaan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat di beberapa wilayah perbatasan masih perlu ditingkatkan. Program peningkatan dan pengembangan

kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat, termasuk lembaga adat, akan sangat membantu dalam proses pengembangan yang partisipatif. f. Sinkronisasi kewenangan pengelolaan dan peraturan perundangan-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah perlu diiringi dengan sinkronisasi antara

kewenangan dan peraturan-peraturan yang dibuat, baik antara instansi terkait maupun antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan pengelolaan maupun adanya

ketidaksinkronan peraturan yang ada. Selain itu diperlukan adanya basis data (database) mengenai wilayah perbatasan yang dapat menjadi referensi bersama. Upaya ini dilakukan untuk memudahkan antarinstansi terkait sehingga meningkatkan terjadinya pertukaran informasi koordinasi serta menciptakan

kesepahaman yang sama dalam pengelolaan kawasan permukiman perbatasan.

149 Strategi pengembangan kelembagaan ditujukan pada masyarakat agar

memperoleh posisi kemandirian (bargaining) dari posisi tawar sebelumnya sebagai objek pembangunan. Dalam pengembangan kelembagaan kemandirian masyarakat tidak akan terlaksana bila tidak didukung, dilindungi, serta tidak adanya kerja sama dari stakeholders lainnya. Pemerintah sebagai penyelenggara menekakan untuk lebih mengedepankan kualitas pelayanan publik serta kontinuitas penegakkan hukum dan peraturan untuk menghidupkan aktivitas ekonomi masyarakat di negeri sendiri. Pemerintah juga berperan untuk meneruskan kebijakan tersebut pada

penyelenggara setempat yaitu pemerintah provinsi, badan kerja sama antarnegara, dan pemerintah kabupaten untuk diaplikasikan dan dilaksanakan di wilayah perbatasan. Pemerintah memfasilitasi peningkatan aktivitas perekonomian di wilayah perbatasan dengan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan mayarakat di wilayah perbatasan dibutuhkan agar masyarakat dapat mandiri sesuai potensi sektor unggulan pada setiap klaster dan membentuk kelompok-kelompok tani menuju kelompok-kelompok usaha. Kelompok-

kelompok usaha ini memiliki posisi yang lebih kuat karena adanya kerja sama antaranggota mengupayakan sesuai kapasitas dan bermitra dengan pihak lain dalam

keuntungan

usaha. Hal ini dapat berdampak

positif pada

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan terbukanya peluang-peluang usaha yang dibantu dalam memperoleh modal/kredit usaha dan dari lembaga-lembaga keuangan. Pemerintah pun memfasilitasi upaya peningkatan kelembagaan masyarakat dengan mendatangkan pakar untuk memberikan pelatihan maupun penyuluhan sehingga tolok ukur keberhasilan pembangunan dari peningkatan kesejahteraan masyarakat pun tercapai. Peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan dapat mendorong peran dan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan yang terkait dengan pengembangan kawasan permukiman, khususnya penguatan dan

pembentukan lembaga-lembaga yang ada agar program kegiatan penyuluhan dan pelatihan keterampilan dapat berjalan dengan lancar dan baik.

150 4.5.1.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Perilaku strategi ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai faktor yang dikaji yang diakibatkan adanya perbedaan kombinasi faktor penting di wilayah perbatasan. Oleh karena itu, ditetapkan dua skenario pengembangan yang dapat dibangun dalam kebijakan sebagai berikut: a. Skenario I Skenario pertama dibangun atas dasar kondisi dan permasalahan saat ini

(existing condition) dari kawasan permukiman yang ada di wilayah perbatasan negara. Skenario ini mengandung pengertian bahwa skenario yang dirumuskan perlu dilaksanakan berdasarkan konsep walaupun mengandung usaha

pengembangan dan pengelolaan. Akan tetapi, tidak mengutamakan faktor-faktor penting yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan sehingga tidak memiliki prospek kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yang berpandangan jauh ke depan. Pada skenario pertama para pelaku pembangunan (stakeholder) dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara beranggapan bahwa faktor-faktor yang dikaji merupakan faktor yang potensial untuk meminimalisasi permasalahan pengembangan wilayah perbatasan di masa yang akan datang. Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan kawasan yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional (7A); rendahnya kesejahteraan masyarakat (4A); kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1A); terbatasnya fasos dan fasum (15A); kurangnya infrastruktur kawasan dan permukiman (14A); kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga (6A). Penerapan skenario pertama ini akan memberikan implikasi berupa (1) Meningkatnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan (3) Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan berkurang. Kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini direkomendasikan upaya yang dapat mendorong percepatan pengembangan kawasan permukiman berbasis potensi sektor unggulan wilayah seperti hal-hal berikut:

151 1. Pembuatan klaster permukiman berbasis potensi sektor unggulan wilayah berikut akses menuju dan keluar wilayah klaster 2. 3. 4. 5. Kemudahan akses informasi dan pasar Pembuatan informasi terpadu Promosi berkala untuk hasil-hasil sektor unggulan wilayah Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan usaha yang berbasis potensi masyarakat dan kearifan lokal 6. Penguatan kerja sama antara pemda, swasta/investor, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan dalam peningkatan keterampilan masyarakat 7. 8. Pembukaan lapangan pekerjaan padat karya di wilayah perbatasan negara Pembuatan pemetaan penggunaan lahan untuk perencanaan dan penataan kawasan permukiman yang disepakati oleh semua stakeholder yang terkait termasuk masyarakat pengguna dan dapat diakses oleh stakeholder yang terkait 9. Pembangunan terpadu infrastruktur dengan kawasan permukiman beserta pusat-pusat kegiatan di sepanjang perbatasan 10. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan 11. Pembangunan terminal-terminal berbasis sektor unggulan wilayah sebagai showroom yang dapat diakses secara mudah 12. Pembangunan fasos dan fasum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara bertahap 13. Pemeliharaan fasos dan fasum oleh pemda dengan melibatkan masyarakat sebagai pengguna dengan pemberian reward pada daerah dengan fasos dan fasum yang terpelihara baik Skenario pertama yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan pembiayaan yaitu terbatasnya alokasi dana khusus (DAK) untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23A); kurangnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan

permukiman (17A); pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal (24A). Untuk mendukung kebijakan pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini, maka

152 pada komponen pengembangan pembiayaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1. 2. 3. Kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan Menerapkan subsidi silang pada kegiatan usaha bersama masyarakat Kemudahan kepemilikan rumah bekerja sama dengan lembaga keuangan dengan biaya terjangkau 4. Pembuatan kebijakan penganggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk pembangunan wilayah perbatasan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang dievaluasi penggunaannya. Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi komponen pengembangan kelembagaan yaitu; terbatasnya pelayanan publik (16A); penegakan hukum dan peraturan masih lemah (20A); aktivitas sosial ekonomi masyarakat rendah (5A). Dalam rangka mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini maka pada pengembangan kelembagaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1. Pembuatan dan penguatan kerja sama dan kelompok usaha bersama di wilayah perbatasan 2. Pengawasan dan penegakkan hukum terkait kegiatan di wilayah perbatasan negara 3. Pelatihan dan penyuluhan sumber daya masyarakat yang diprakarsai pemda bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk kebutuhan tenaga kerja industri 4. Pembuatan lembaga inti-plasma kegiatan usaha sektor unggulan dengan kelompok usaha yang dibina oleh pemda dan swasta/investor 5. Kemudahan birokrasi pembuatan sertifikasi legalitas lahan usaha dan permukiman. 6. Evaluasi dan pembuatan kebijakan terkait wilayah perbatasan.

153 b. Skenario II Skenario kedua mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dapat dipertimbangkan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki. Rekomendasi kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara dapat seimbang antara lingkungan, sosial, dan ekonomi dari masyarakat. Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi komponen pengembangan kawasan yaitu; meningkatnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional (7C); kesejahteraan masyarakat relatif tetap (4B); menurunnya kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1C); meningkatnya pembangunan fasos dan fasum (15C); meningkatnya pembangunan infrastruktur kawasan dan permukiman; kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga (6C). Kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini dalam pengembangan kawasan maka harus didukung dengan rekomendasi berikut ini: 1. 2. 3. 4. Pembuatan informasi terpadu Promosi berkala untuk hasil-hasil sektor unggulan wilayah Pembangunan terpadu infrastruktur dengan kawasan permukiman Penguatan kerjasama antara pemda, pengusaha/investor, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan dalam peningkatan keterampilan masyarakat 5. Pembangunan terminal-terminal berbasis sektor unggulan daerah sebagai showroom yang dapat diakses secara mudah 6. Pemeliharaan fasos dan fasum oleh pemda dengan melibatkan masyarakat dengan pemberian reward pada daerah apabila kondisi fasos dan fasum yang terpelihara secara baik

Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi komponen pengembangan pembiayaan yaitu; meningkatnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23C); peningkatan dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan permukiman tetap (17B); optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan dana

154 pembangunan tetap (24B). Dalam rangka mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini maka untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1. Kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan 2. Evaluasi penganggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk pembangunan wilayah perbatasan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang

Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi komponen pengembangan kelembagaan yaitu; pelayanan publik tetap (16B); penegakkan hukum dan peraturan meningkat (20C); aktivitas sosialekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga berkurang (5C). Untuk mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini, maka pada pengembangan kelembagaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1. Pengawasan dan penegakan hukum terkait kegiatan di wilayah perbatasan 2. Evaluasi dan pembuatan kebijakan terkait pengembangan wilayah perbatasan 3. Pelatihan dan penyuluhan sumber daya masyarakat yang diprakarsai pemda bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk kebutuhan

pengembangan tenaga kerja industri sektor unggulan wilayah (pertambangan, perkebunan, dan perikanan)

4.5.2 Rekomendasi

Kebijakan

Pengembangan

Kawasan

Permukiman

Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara diperlukan kaitannya dengan adanya hak dan kewajiban dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Selain itu, setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang

sama untuk ikut serta dalam pembangunan permukiman. Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk ikut serta dalam pembangunan

155 permukiman. Keterpaduan pengembangan kawasan permukiman dapat

terselenggara jika memenuhi 3 indikator, yaitu: 1. Terwujudnya koordinasi/kerja sama antar-stakeholders dalam setiap tahapan penyelenggaraan pengembangan permukiman berikut prasarana dan sarana secara terpadu dalam suatu kelembagaan 2. Terwujudnya berkelanjutan 3. Berlangsung proses investasi dan pembiayaan pengembangan kawasan permukiman secara terpadu dan berkelanjutan berbasis potensi SDA wilayah kawasan permukiman layak huni secara terpadu dan

Dalam pembangunan permukiman, peran serta masyarakat baik sebagai individu maupun komunitas wajib dilakukan. Hal ini bertujuan agar hak setiap warga untuk mendapatkan rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur bisa terpenuhi dengan upaya dilakukan oleh masyarakat dibantu oleh stakeholders. Dalam rangka mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, direkomendasikan upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mendorong percepatan pertumbuhan wilayah melalui seperti hal-hal sebagai berikut: 1. Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan dan pembinaan dalam bidang permukiman secara terpadu dan berkelanjutan dilaksanakan oleh stakeholders terkait 2. Mendorong terciptanya pengembangan klaster-klaster kawasan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan negara 3. Mendorong terciptanya peraturan dan perundang-undangan di bidang

permukiman perbatasan berbasis potensi SDA wilayah 4. Penguatan dan pembentukan lembaga kerjasama pembangunan di wilayah perbatasan negara 5. Menyusun norma, standar, panduan, manual (NSPM) bidang permukiman

yang berbasis pemberdayaan masyarakat, kearifan lokal, dan lingkungan 6. Meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan

156 7. Meningkatkan kapasitas SDM dan pelaku pembangunan permukiman

berbasis kawasan 8. Mendorong berkembangnya inovasi, teknologi, dan investasi pembangunan kawasan permukiman perbatasan 9. Mendorong pelaksanaan penataan ruang kawasan permukiman berbasis potensi SDA wilayah prospektif dan partisipatif 10. Mendorong peran serta swasta/masyarakat dalam pembangunan dan

perbaikan rumah dalam rangka pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak huni dan terjangkau 11. Mengembangkan kredit mikro perumahan bagi pembangunan dan perbaikan rumah dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau 12. Meningkatkan penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) kawasan permukiman perbatasan Sedangkan, dalam pengembangan sektor unggulan kawasan Kabupaten sektor

Nunukan dari hasil dan pembahasan perkebunan, dan sektor perikanan

yaitu sektor pertambangan, dalam pengembangannya

diperlukan

persyaratan-persyaratan yang dapat mendukung keberlanjutan suatu kegiatan baik dalam pemanfatan ruang dan lahan adalah sebagai berikut:

Sektor Pertambangan: 1. Toleransi ekploitasi kegiatan pertambangan tidak lebih dari 60% luas kawasan potensial pengembangan sektor pertambangan. 2. Ekploitasi kegiatan pertambangan dengan menggunakan sistem 3 fit (3 lubang penambangan secara bersamaan). 3. Reklamasi dilakukan secara kontinyu untuk mengembalikan unsur hara tanah agar memudahkan dalam pemulihan fungsi kawasan melalui dimanfatkan untuk pengembangan fungsi lain seperti reboisasi atau perkebunan,

permukiman, dan penghijauan. 4. Pengembangan teknologi ekploitasi dari penggalian ke sistem pengeboran menyamping sehingga dapat meminimalkan sisa lubang-lubang galian yang

157 dapat merusak dan mendorong terjadinya degradasi lahan secara luas dalam waktu yang lama. 5. Pengembangan ekonomi sektor pertambangan benefit) melalui harus berorientasi manajemen pada manfaat dengan

(economic

pengelolaan

komposisi perbandingan sharing 70% untuk perusahaan (investor) dan 30% dialokasikan masyarakat. untuk biaya rehabilitasi lingkungan dan pemberdayaan

Sektor Perkebunan: 1. Pengembangan sektor perkebunan dilakukan dengan pendekatan

pengembangan perkebunan inti rakyat (PIR), inti-plasma, perusahaan negara (PTPN), dan swasta. 2. Pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan dalam hal peilihan benih, penanaman benih, pemeliharaan, panen, dan kegiatan pascapanen. 3. Komoditas sektor perkebunan yang akan dikembangkan selain berdasarkan potensi sektor unggulan kawasan juga memperhatikan kecenderungan pasar regionalnya dan animo masyarakat agar prospek pengembangannya dapat berkelanjutan. Sektor Perikanan: 1. Pengembangan sektor perikanan dengan memanfaatkan sumber daya laut sesuai dengan kemampuan daya dukung perairan (fishing ground) baik dari ketersediaan sumber daya (tidak over fishing) maupun kemampuan dalam menghindari penggunaan bahan pencemar 2. Pemanfaatan sumber daya laut dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan pengembangan kemampuan dalam pemanfaatan teknologi baru bidang perikanan 3. Mengembangkan sektor perikanan secara optimal dengan mengupayakan pelestarian ekosistem lingkungan pesisir, pantai, dan laut yang terjaga agar keberlanjutan kawasan dapat terwujud.

You might also like