You are on page 1of 12

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA

Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan 2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA. A. Hukum Agraria Kolonial. Dari konsideran UUPA di bawah kata menimbang, dapat diketahui beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut : 1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta; 2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat; 3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum. 1. Sebelum tahun 1870. a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie). VOC didirkan pada tahun 1602 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi. Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :[9] 1). Contingenten. Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun. 2). Verplichte leveranten. Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benarbenar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan. 3). Roerendiensten. Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian. b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811). Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir.

Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. 3. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816). Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak bumi. Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch. Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanahtanah negara nyang masih kosong.

4.

2.

Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda). a. Agrarische Wet (AW). Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal. Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan. Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda. Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit. b. Agrarische Besluit (AB). Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjuta dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118. Paham yang terkenal dari AB ini adalah mengenai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura. Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni : 1). Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht. 2). Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya.

3.

Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi[14] diberlakukan di Indonesia. Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan:

1). 2).

Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya; Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan lain-lain; 3). Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia. Sebagai akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis. Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di kalangan orang-orang dari golongan bumi putera diselesaikan menurut ketentuanketentuan hukum adatnya masing-masing. Demikian pula dengan kalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang ditetpkan adalah hukum yang berlaku untuk golongan masing-masing.

4.

Sesudah Tahun 1942. Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada : a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib; b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang; c. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar; d. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda; e. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya. Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ; a. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl; b. Hak perorangan atas tanah : 1) Hak milik, hak yayasan; 2) Hak wenang pilih, hak mendahulu; 3) Hak menikmati hasil; 4) Hak pakai; 5) Hak imbal jabatan; 6) Hak wenang beli. Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.

5.

Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960. Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat. Pada masa ini sistem hukum pertanahan masih kacau balau, karena Indonesia masih merupakan Negara baru, dan karena masih belum ada aturan hukum agraria nasional. Oleh karenanya, bebrapa hukum colonial masih berlaku. Pada saat ini namyak terjadi kekacauan serta sengketa pertanahan oleh sebab adanya ketidakpastian hukum agrarian yang berlaku, sehingga ini mendesak untuk dibentuknya suatu hukum agrarian nasional yang mampu mengarahkan suatem hukum pertanahan yang lebih baik serta dapat mengayomi seluruh masyarakat Indonesia.

B. Hukum Agraria Nasional (Sejak berlakukanya UUPA) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang substansinya adalah: mencabut Hukum Agraria Kolonial dan membangun Hukum Agraria Nasional. Dengan diundangkannya UUPA terjadi perombakan (reformasi) hukum agrari5grariandonesia, dan dengan ini bangsa Indonesia telah mempunya hukum agrarian yang sifatnya nasional. Tujuan diundangkan UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria nasional adalah sebagai berikut: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Selanjutnya adalah asas-asas UUPA, bahwa UUPA menganut atau memuat 8 asas Hukum Agraria nasional. Asas-asas ini merupakan dasar dan dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya. Asas-asas ini antara lain: 1. Asas Kenasionalan; bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional. 2. Asas pada tingkat yang tertinggi, bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara. 3. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan atau golongan. 4. Asas semua hak atas tanah mempuntyai fungsi sosial.

5. Asas hanya warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah. 6. Asas persamaan bagi setiap warga Negara Indonesia. 7. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atatu diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan. 8. Asas tata Guna tanah/penggunaan tanah secara berencana. Mengenai pelaksanaan asas-asas ini secara nyata dalam masyarakat akan dibahas pada bab selanjutnya.

BAB III PELAKSANAAN HUKUM AGRARIA DARI WAKTU KE WAKTU DAN PERLUNYA REFORMASI LEBIH LANJUT DI BIDANG HUKUM AGRARIA
A. Pelaksanaan Hukum Agraria dari Waktu ke Waktu (a). Masa Kolonial Dasar politik agraria colonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi mungkin. tujuannya tidak lain adalah untuk memperkaya atau mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa colonial yang merangkap sebagai penguasa. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia (Bumi putera pada waktu itu) menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam. Pada masa Kolonial, sistem hukum secara umum dan hukum agraria secara khusus ditandai 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi. eksploitasi atatu pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan Negara penjajah. penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada pihak penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirimkan ke Negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis; golongan penjajah dinaggap sebagai bangsa yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Depedensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah. masyarakat terjajah menajdi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologi, pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.1 (b). Masa Pemerintahan Soekarno Pada masa pemerintahan Soekarno, kebijakan makro ekonomianya lebih dititik beratkan pada sektor pertanian dengan lebih mengoptimalkan sumber daya yang ada. Karena itu ketentuan hukum agraria yang memberikan basis atau dasar yang kuat dalam sektor pertanian. Dari sinilah kemudian lahir undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang kemudian dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Sebagai ketentuan pokok, kiranya materi yang ada dalam UUPA masih perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundangan lainnya sebagai peraturan pelaksananya. Materi peraturan pelaksananya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan induknya, yang berkedudukan sebagai Umbrella rule. Ketentuan ini (UUPA) dibangun diatas sendi-sendi yang melihat hubungan antara negara dan bumi (tanah termasuk didalamnya) bukan merupakan hubungan kepemilikan tetapi merupakan hubungan penguasaan. Selain itu, dengan lahirnya UUPA meniadakan sifat dualisme hukum agraria menjadi sifat yang unifikatif. Artinya setiap orang utamanya warga negara Indonesia tanpa melihat lagi
1 Noer Fauzi, 1999, Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia , INSIST, KPA Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal.20-21

golongannya, sepanjang terkait dengan pertanahan, akan tunduk pada hukum yang sama, yaitu UUPA dan peraturan pelaksananya. Sifat yang unifikatif ini diperkuat lagi dengan memberikan peran yang besar pada hukum adat dalam pembentukan UUPA. Hukum adat berfungsi : 1. Sebagai sumber dan dasar dalam pembentukan hukum agraria nasional secara tertulis. Ini memberikan arti bahwa setiap peraturan hukum (agraria) tertulis harus didasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum adat. 2. Sebagai pelengkap hukum agraria tertulis. Ini terjadi, jika dalam hukum agraria tertulis belum ada peraturannya. Untuk itu semacam ini, hukum adat akan dipergunakan sebagai acuan dalam peraturannya. Pelaksanaan hukum agraria pada masa Soekarno ini pada awalnya masih jauh dari harapan, karena banyak sekali muncul masalah di bidang pertanahan. sudah muncul beberapa produk hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalah hukum ini, akan tetapi belum mencapai tujuan kestabilan yang diharapkan. Maka, kehadiran UUPA sebagai suatu produk hukum nasional pada saat itu merupakan suatu terobosan besar dari pemerintah di bidang hukum pertanahan secara khusus dan agrarian secara umum. Walaupun masih terseok-seok dalam pelaksanaannya, tapi ada titik terang menuju arah yang lebih baik. (c). Masa Pemerintahan Soeharto Kebijakan ekonomis makro pada pemerintahan Soeharto, lebih menitik beratkan pada sektor insudtri yang bersifat padat modal. Melalui Undang-undang penanaman modal asing dan domestik, diharapkan akan banyak investasi yang masuk dan dapat lebih membangkitkan perekonomian. Hanya saja kebijakan semacam ini akan melahirkan ketentuan hukum agraria yang memberikan keuntungan bagi pemilik modal dalam melaksanakan usahanya. Kondisi yang demikian ini kemudian melahirkan berbagai macam peraturan dibidang agrarian yang jauh menyimpang dan bertentangan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA. Bidang pertambangan dan kehutanan yang pada dasarnya merupakan bagian dari lingkup agraria dan oleh karena itu seharusnya ketentuan yang mengatur bidang tersebut harus mengacu pada jiwa dan nilai-nilai yang ada dalam UUPA, diabaikan begitu saja. Penetapan pengaturan pertambangan dan kehutanan dalam Undang-undang pokok dan bukan dalam undang-undang, didasari pada keinginan untuk melepaskan kedua bidang tersebut dalam ruang lingkup UUPA. Dengan dilepasnya kedua bidang tersebut maka terbukalah peluang untuk menggunakan kedua b idang sumber daya itu secara menyimpang, karena telah terlepas dari UUPA sebagai peraturan pokok yang mengayominya. Dan memang, pada era Soeharto banyak terjadi exploitasi hutan dan tambang secara besar-besaran bahkan berlebihan, dan buruknya lagi, hasil exploitasi itu tdak dinikmati oleh masyarakat Indonesia secasra menyeluruh, namun hanya diarasakan oleh segelintir orang dan pra investor asing. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri dalam negeri nomor 2 tahun 1976. Peraturan ini memberikan pengaturan yang lebih menguntungkan pemilik modal dibandingkan pemilih tanah, khususnya dalam hal penentuan bentuk dan besar ganti kerugian. Berbagai persoalan yang disebabkan adanya pembebasan tanah menjadi kerap terkait dengan persoalan HAM, misal kasus Borobudur, gubug derita, kedung omboh, waduk gajah mungkur, kasus Nipah dan sebagainya. Lebih lanjut kemudian, permendagri diatas kemudian diubah dalam Keputusan Presiden nomor 55 tahun 1993 mengenai pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Yang menjadi masalah dalam kepres tersebut adalah penafsiran mengenai kepentingan umum. Dari pemahaman tersebut, kepentingan umum sebagaimana dimaksud memiliki tujuan

yang baik. Namun, kenyataan yang terjadi adalah banyak sekali terjadi penyelewengan dan bahkan penggunaan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut dengan maksud utnuk menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Penerapannya juga banyak sekali mencederai Hak Asasi Manusia. Uraiannya adalah sebagai berikut:2 Pengadaan tanah yang diatur dalam Keppres No.55 Tahun 1993 ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaa tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar-menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Substansi ketentuan ini bersifat keperdataan yang meliputi ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH Perdata, yang berarti harus memenuhi syarat-syarat sahnya persetujuan yang dilaksanakan para pihak dan dilaksanakan dengan iktikad baik. Namun Keppres No.55 Tahun 1993 tidak merumuskan secara pasti tentang apa yang dimaksud kepentingan umum,tetapi hanya menyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Pengertian ini sangat abstrak sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Keadaan ini tetap menimbulkan penapsiran yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Keadaan ini tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat, karena pemerintah melepaskan hak atas tanah masyarakat demi kepentingan umum yang kabur sesuai dengan maksud dan kehendak pemerintah, yang dalam kenyataannya bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Pada saat dikembangkan Keppres No.55 Tahun 1993 tersebut, nuansa politik hukum yang dikembangkan oleh pemerintah hanya berorientasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kepentingan masyarakat secara menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan keadaan demikian dapat diasumsikan bahwa rumusan kepentingan umum sengaja dikaburkan agar dapat mengkomodasikan kepentingan pemilik modal.

(d). Era Reformasi Jatuhnya pemerintah Soeharto oleh gerakan reformasi, telah menjadi tonggak untuk melakukan tinjauan kritis (review) terhadap peraturan (agraria) yang dianggap sudah menyimpang karena dipergunakan sebagau instrument kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan reformasi agraria di Indonesia bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaharuan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam ketetapan MPR tersebut dapat dijumpai arah kebijakan sebagai berikut : 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pengaturan perundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundangan yang didasarkan pada prinsip pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. 2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landerform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

2 Adrian Sutedi, 2008, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.198

3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landerform. 4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. 5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik sumber daya alam yang terjadi. 6. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya alam yang terjadi. Kendati demikian, apabila kita melihat lebih lanjut banyak sekali terjadi penyelewengan terhadap pelaksanaan UUPA, sehingga sebenarnya reformasi hukum agraria Indonesia belum selesai dan masih bergerak mengikuti dinamika politik, sosial dan hukum. Berikut ini gambaran pelaksanaan UUPA di dalam masyarakat. B. Pelaksanaan UUPA: Antara Peraturan dan Kenyataan dalam Masyarakat Sebelum lebih jauh melihat pelaksanaan asas-asas UUPA, terlebih dahulu perlu untuk melihat apa yang menjiwai UUPA. Dalam rangka mewujudkan hukum agraria nasional yang mewujudkan suatu unifikasi hukum, maka UUPA dilandaskan pada Hukum Adat tentang tanah, dengan pertimbangan bahwa hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia sehingga Hukum Adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum Agraria nasional. Namun dalam pelaksanaannya, sering kali ditemukan kenyataan bahwa pelaksanaan UUPA sangat jauh dari nilai-nilai hukum adat dalam masyarakat. Bahkan, sering kali hak-hak ulayat yang seharusnya dilindungi oleh UUPA tergerus dan hilang perlahan-lahan oleh karena menjadi korban kepentingan pribadi, golongan maupun investor yang terselubung dengan dalih kepentingan umum. Di Bali sendiri sudah berapa banyak tanah adat yang hilang menjadi tanah Negara, atau tanah hak-hak pribadi yang kemudian berubah menjadi fasilitas umum, hotel, villa dan gedung-gedung lainnya. Hal ini tentu saja sangat miris, oleh karena salah satu hak yang dijunjung dalam UUPA adalah Hak Masyarakat Hukum Adat akan tanah. Kemudian lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan UUPA samapai saat ini, apabila dilihat dari segi asas-asas UUPA dapat ditemukan kenyataan sebagai berikut: 1. Asas Kenasionalan; bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional. Lebih jauh lagi, asas ini memiliki makna bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Namun, dalam prakteknya, seringkali terjadi pengkitak-kotakan antara orang asli daerah dengan pendatang dalam hal kemudahan memperoleh tanah. Di Bali saja dapat kita ambil contoh, bagaimana para pendantang sangat sulit untuk mendapatkan tanah di bali, karena sulitnya ijin dari masyarakat serta aparat setempat, dan hanya dapat dipermudah dengan bantuan dukungan biaya administrasi yang tinggi (kalau tidak mau

disebut sebagai uang pelicin). Belum lagi ijin untuk rumah ibadah pun semakin dipersulit, padahal itu demi kepentingan bangsa Indonesia juga, walau berbeda agama. 2. Asas pada tingkat yang tertinggi, bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara. Asas ini memiliki makna bahwa perkataan dikuasai di sini bukan berarti dimiliki akan tetapi pengertiannya adalah memberikan wewenang kepada Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, peruntukan, persediaan, pemeliharan tanah, juga mengatur hubungan tanah dengan orangorang, dan juga mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang terkait dengannya. Namun, prakteknya, banyak terjadi penyelewengan. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan hak menguasai negara dalam peraturan keagrariaan dan sumberdaya alam berlangsung tanpa arah yang jelas. Kalau dicermati sistem pengaturan hak penguasaan atas sumber-sumber agraria di Indonesia, seyogianya UUPA merupakan induk dari semua aturan keagrariaan dan sumberdaya alam. Namun kenyataan hukum Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua undang-undang sektoral mengenai keagrariaan dan sumberdaya alam disusun tanpa mengindahkan UUPA. Peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai negara atas tanah (para penulis buku mengistilahkan hak menguasai tanah oleh negara) terhadap hak ulayat dan hak perorangan atas tanah sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. Oleh karena itu hak menguasai negara perlu dibatasi. Jikalau tidak maka masyarakat yang akan mendapatkan penderitaan terus menerus sebagai akibat pelaksanaan kekuasaaan Negara yang sewenang-wenang, dan cenderung kembali pada paham Domein Verklaring yang berkempang pada jaman Kolonial. 3. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan atau golongan. Kepentingan nasional sering dimaknai sama dengan kepentingan umum. Idealnya bahwa, sekalipun UUPA mengakui eksistensi dari hak-hak pribadi dan ulayat, namun tidak dibenarkan apabila menolak untuk dilakukannya pembukaan lahan hutan demi melaksanakan proyek-proyek besar yang bertujuan memajukan masyarakat secara umum. Hanya saja, dalam prakteknya ini digunakan sebagai senjata pemerintah untuk mengambil alih lahan masyarakat adat secara paksa, untuk kepentingan golongan pengusaha dan investor serta pribadi-pribadi dalam pemerintah itu sendiri, namun tetap bersikukuh pada dalih bahwa hal tersebut adalah demi kepentingan umum. Pertanyaan selanjutnya adalah, kepentingan umum yang mana? Lebih mendasar lagi apa itu kepentingan umum? Pertanyaan itu masih menjadi ketidakjelasan hingga saat ini. 4. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Makna yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa ha katas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraannya dan kebahagiaannya ynag mempunyainya maupun bagi masysarakat dan Negara. Dalam kenyataannya, seringkali ditemukan bahwa suatu penguasaan atas tanah tidak mengindahkan kepentingan sosial. Contohnya adalah penguasaan tanah untuk pertambangan, seringkali tidak mempedulikan aspek sosial

5.

6.

7.

8.

masyarakat di sekitarnya, dan kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya tersebut. Sebut saja salah satu perusahaan asing di Indonesia yaitu PT. Freeport di jayapura, yang kurang memperhatikan masyarakat sekitarnya, mengeruk kekayaan di dalam bumi Indonesia namun kurang memberikan timbal balik bagi masyarakat di sekitarnya. Asas hanya warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah. Maknanya jelas bahwa yang berhak memiliki tanah di Indonesia adalah Warga Negara Indonesia. Namun, prakteknya, terutama secara nyata dapat dilihat di Bali, banyak sekali terjadi kasus di mana tanah dikuasai oleh Warga Negara Asing. Memang di dalam akta kepemilikan atau sertifikat tanah, nama yang tertera adalah naman orang Indonesia (WNI), namun WNI tersebut tidak memiliki hak apapun dari tanah tersebut oleh karena pengikatan hukum yang dilakukan membuat ia tidak memiliki hak, dan hak tersebut dialihkan kepada WNA yang berkepentingan, salh satunya oleh karena sumber dana pembelian tananh tersebut adalah berasal dari WNA tersebut. Ini merupakan sebuah pengelapan hukum dan bertentangan dengan UUPA. Asas persamaan bagi setiap warga Negara Indonesia. Ini memiliki makna bahwa tiap-tiap warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Karenanya, perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah terhadap sesama warga Negara yang kuat kedudukan ekonominya. Namun, kenyataan yang ada sangatlah meprihatinkan. Banyak warga Negara miskin tidak memiliki tanah. Yang berlaku adalah siapa yang memiliki uang atau tingkat ekonomi baik maka ia yang dapat memliki tanah. Banyak warga miskin tidak memiliki tanah. Ketimpangan terjadi di mana-mana. Di Bali saja, harga tanah sudah sangat tinggi, sehingga hanya orang yang mampu dalam finansial saja yang dapat membeli tanah. Sangat tidak adil. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atatu diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan. Kenyataannya yang terjadi, banyak praktek pertuanan atas tanah. Seorang yang memiliki tanah pertanian yang luas, mempekerjakan orang-orang untuk mengerjakan atau menggarap tanah pertaniannya. Para penggarap itu sebagai buruh upahan. Banyak pula yang terjadi, para buruh upahan itu sebenarnya merupakan pemilik awal tanah tersebut, kemudian karena kesulitan panen atau memerlukan uang ia meminjam uang lewat rentenir, dan terjebak pada dutang yang tidak dapat dilunasi sehingga tanahnya jatuh ke tangan rentenir. Dan untuk hidup, mereka akhirnya mengabdi kepada para rentenir tersebut. Inilah kenyataan yang sering terjadi. Asas tata Guna tanah/penggunaan tanah secara berencana. Ini terkait perencanaan penggunaan, pengalokasian tanah oleh pemerintah. Bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk itu sebagaimana diatur dalam UUPA dengan tujuan penyelenggaraan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Hanya saja dalam prakteknya, perencanaan ini sering tidak terarah pada tujuan untuk menyelenggarakan kehidupan masyasrakat yang lebih baik. Seringkali perencanaan bidang pertanahan penuh dengan kepentingan politik maupun kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal ini tentu saja sangat tidak sesuai dengan wewenang pemerintah yang diberikan oleh UUPA. Ini sama dengan penghianatan terhadap rakyat Indonesia.

You might also like