You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun.

Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa

permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini. Orang yang tidak beriman kepada qhada dan qadar, ia tidak pernah bersyukur, tidak bersabar, tidak optimis, tidak tenang hatinya, sombong dan mudah putus asa. Apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah: 1. Untuk memahami pengertian dari takdir dan iman kepada 2. Untuk memahami iman kepada qada dan qadar 3. Untuk memahami dan mengetahui macam-macam takdir 4. Untuk mengetahui hikmah bagi orang yang beriman kepada qada dan qadar 1.3 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasaan, makalah ini dibagi menjadi beberapa bab sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan

Membahas latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan makalah.

BAB II

: Iman Kepada Qadha dan Qadar

Membahas isi pembahasan makalah Beriman Kepada Takdir Alah SWT itu sendiri. BAB III : Penutup

Memuat tentang kesimpulan bahasan makalah.

BAB II IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

2.1

Pengertian Qadha dan Qadar Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya

sebagaimana berikut: 1. Pemutusan


(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jadilah, lalu jadi. [QS. Al-Baqarah (2): 117] 2. Perintah Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [QS. Al-Israa` (17): 23] 3. Pemberitaan

Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh. [QS. Al-Hijr (15): 66]

Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini.

Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orangorang yang bertanya. [QS. Fushshilat (41): 10] Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha). Ibnu Hajar berkata, Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut. (Fathul-Baari 11/477) Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci. Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami alUshuul 10/104).

2.2

Iman Kepada Qadha dan Qadar Allah Iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan,

dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Yang dimaksud dengan istilah takdir disini adalah Qadar (al-Qadar khairuhu wa syarruhu) atau qada dan qadar (alQadha wal qadar). Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya (Majmu Fataawa Syeikh Al-Islam, 8/258). Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini. Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk. (HR. Muslim) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya. (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari Abdullah bin Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: Sanad hadits ini shahih. Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah) 5

2.3

Tingkatan Takdir Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara

yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak. Tingkatan Pertama: al-Ilmu (Ilmu) Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia. Allah Taala telah berfirman,


Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (Qs. Al-Hajj: 70)

,
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan

tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Qs. Al-Anaam: 59)


Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu. (Qs. At-Taubah: 115) Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan) Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Taala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Taala dalam Ummul Kitab. Allah Taala berfirman,


Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).(Qs. Yaasiin: 12)


Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (Qs. Al-Hadiid: 22) Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.

(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari

Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557)) Dalam sabdanya yang lain,

: : ! : ,
Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, Tulislah! Ia bertanya, Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis? Allah berfirman, Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syariah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu anhu) Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya. Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak) Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuatNya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya,


Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.(Qs. Al-Anbiyaa: 23)

Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya. .Allah Taala berfirman,


Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.(Qs. Al-Anaam: 125)


Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. (Qs. At-Takwir: 29) Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

, ,
Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya. (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah alAhaadits ash-Shahihah (no. 1689)) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan

siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya. (alIqtishaad fil Itiqaad, hal. 15) Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan) Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Taala,


Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (Qs. Az-Zumar: 62) Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatanperbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya,


Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu. (Qs.Ash-Shaaffaat:96) Dan Allah Taala juga berfirman, yang artinya,

10

Allah

tidak

membebani

seseorang

melainkan

sesuai

dengan

kemampuannya. (Qs. Al-Baqarah: 286) 2.4 Klasifikasi Takdir Taqdir adalah istilah lain dari qadar, sebagaimana Firman Allah surah AlFurqaan [25] ayat 2 dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuranukurannya (takdirnya)

Menurut Keterlibatan Manusia a. Taqdir Mubram yaitu ketentuan Allah swt yang pasti terjadi dan tidak dapat diubah oleh manusia. Pengertian ini sesuai dengan Al Quran surah Yunus [10] ayat 49 Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya). b. Taqdir Muallaq yaitu taqdir yang di dalamnya terlibat usaha manusia. Pengertian ini sesuai dengan Al Quran surah Ar Raad [13] ayat 11; Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Menurut Waktu Penetapannya Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut. a. Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang

11

terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalildalil berikut ini. Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. [QS. Al-Hadiid (57): 22] Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, Dan Arsy-Nya berada di atas air. (HR. Muslim) b. Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini. Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia. (HR. Bukhari) c. Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. [QS. AdDukhaan (44): 4-5] Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz. d. Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. [QS. Ar-Rahmaan (55): 29]

12

2.5

Hikmah Iman kepada Takdir Allah (Iman dan Aqidah) Iman kepada takdir Allah memiliki buah dalam hal iman dan aqidah,

diantaranya adalah : 1. Melaksanakan Penghambaan Kepada Allah Azza wa Jalla Iman kepada takdir Allah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah dan merupakan bagian dari kesempurnaan hamba dalam perwujudan peribadatan kepada Robnya. Setiap bertambahnya iman seorang hamba terhadap takdir Allah maka bertambah dan semakin sempurna pula perwujudan peribadatannya kepada Allah. Maka setiap hal yang ia alami baik merupakan hal yang ia benci sesungguhnya akan menjadi kebaikan baginya dan ia kan mendapatkan pahala yang sangat atasnya. 2. Terbebas dari Kesyirikan Majusi (para penyembah api) berkeyakinan bahwa cahaya adalah pencipta kebaikan dan kegelapan adalah pencipta keburukan. Sedangkan qodariyah berkeyakinan sesungguhnya Allah tidak menciptakan perbuatan hamba namun hambalah yang menciptakan sendiri perbuatannya. Maka sebenarnya mereka telah menetapkan/berkeyakinan bahwa ada dua pencipta bersama Allah Azza wa Jalla. Keyakinan sesat semacam ini adalah kesyirikan dan iman yang benar terhadap takdir Allah Azza wa Jallamerupakan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Taala. Orang yang beriman terhadap takdir Allah mengetahui bahwa seluruh yang ada terjadi di bawah kehendak Allah, mengikuti ketentuan Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Memberi kepada siapa saja yang Dia kehedaki dan Dia adalah Dzat Yang Maha Menahan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tidak ada yang dapat menolak takdir dan hukum Allah. Hal ini merupakan bentuk pentauhidan kepada Allah, sehingga orang yang memiliki keyakinan semisal ini tidak akan mendekatkan dirinya dalam masalah ibadah melainkan hanya kepada Allah dan terhindar dari perbuatan kesyirikan semisal mengelus-elus kuburan orang sholeh (berharap hal tertentu akan terjadi padanya).

13

3.

Mendapatkan Hidayah dan Tambahan Iman Orang yang beriman kepada takdir Allah dengan iman yang benar dan

berarti ia telah merealisasikan tauhidnya, menambah imannya, ia akan mendapatkan hidayah dari Robnya dengan mudah. Bahkan iman kepada takdir Allah itu adalah bagian dari bentuk hidayah Allah baginya. AllahAzza wa Jalla berfirman,

Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya. ( QS. Muhammad [47] : 17). Firman Allah Subhanahu wa Taala,

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. ( QS. Ath Taghbun [64] : 11). 4. Ikhlas Iman terhadap takdir Allah akan menggiring pelakunya kepada keikhlasan. Maka ikhlas ini akan menjadi faktor pendorong baginya dalam seluruh amalnya dalam rangka melaksankan perintah Allah. Seorang yang beriman akan menyakini bahwa segala perkara adalah perkara yang Allah tentukan, semua kerajaan adalah milik Allah, kehendak Allah pasti terlaksana dan hal yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terlaksana, tidak ada yang dapat menolak keutamaan dari Allah, tidak juga ada yang dapat menetang ketetapan Allah. Hal-hal ini akan menuntun orang yang mengimaninya kepada ikhlas dalam beramal kepada Allah dan menyucikannya dari cacat dalam beramal kepada Nya. Karena tidak adanya faktor pendorong untuk tidak ikhlas yang ada pada dirinya.

14

5.

Tawakkal yang Benar dan Sempurna Tawakkal kepada Allah adalah inti ibadah, tawakkal tidaklah benar dan

lurus kecuali tawakkalnya orang yang beriman terhadap takdir dengan iman yang benar. Tawakkal dalam istilah di dalam syariat maksudnya adalah

mengahadapnya hati kepada Allah (ikhlas) ketika beramal, senantiasa memehon pertolongan dari Allah dan hanya berpegang/bersandar kepada Allah semata. Maka inilah rahasia dan hakikat tawakkal. Orang yang benar-benar melaksanakan tawakkal kepada Allah adalah orang yang juga mengambil sebab-sebab yang diperintahkan Allah, barangsiapa yang tidak mau mengambilnya maka tawakkalnya bukanlah tawakkal yang benar. Jika seorang hamba bertawakkal terhadap Robnya, berserah diri kepadaNya, mempercayakan urusannya kepadaNya maka Allah akan anugrahkan kepadanya kekuatan, keinginan yang kuat, kesabaran dan Allah akan palingkan darinya malapetaka. 6. Takut kepada Allah Orang yang beriman terhadap takdir Allah, anda akan temukan bahwa ia adalah orang yang senantiasa takut kepada Allah, khawatir jangan-jangan ia mati dalam keadaan suul khotimah (akhir yang buruk) karena dia tidaklah tahu apa yang akan terjadi padanya pada akhir hayatnya maka ia tidak akan pernah merasa aman dari makar Allah. Jika demikian maka ia akan menganggap amal sholeh yang telah ia lakukan hanya sedikit sehingga ia tidak tertipu dengan amal sholeh yang telah ia kerjakan. Karena sesungguhnya hati manusia berada diantara jari jemari Allah Ar Rohman, yang hati tersebut Allah lah yang membolak-baliknya seseuai dengan kehendakNya. Sedangkan akhir perbuatan seseorang hanyalah Allah Azza wa Jalla yang menentukan.

15

Nabi shallallahu alaihi was sallam mengatakan,

Demi Allah sesungguhnya seseorang diantara kalian ada yang beramal dengan amalan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan api neraka hanya satu hasta atau satu depa namun takdir telah mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan penghuni surga sehingga ia masuk ke surga. Dan ada seorang yang beramal dengan amalan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu atau dua hasta namun takdir telah mendahuluinya maka ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga memasukkannya ke neraka 7. Kekuatan Roja (Keinginan/Rasa Harap terhadap Sesuatu yang Dekat) dan

Baik Sangka terhadap Allah Orang yang beriman terhadap takdir adalah orang yang berbaik sangka terhadap Allah, dan memiliki sikap roja yang kuat. Hal ini karena ilmunya bahwa Allah tidaklah menetapkan suatu ketetapan kecuali ketetapan tersebut berupa keadilan, kasih sayang atau bijaksana (penuh hikmah). 8. Ridho Orang yang beriman terhadap takdir Allah keadaannya dapat menjadi lebih mulia hingga tingkatan menjadi orang yang ridho. Barangsiapa yang ridho terhadap Allah maka Allah pun akan meridhoinya bahkan ridho seorang hamba terhadap Allah merupakan hasil dari ridho Allah pada hamba tersebut. Ridho Allah kepada akan segera datang dengan dua bentuk, 1. Ridho Allah sebelumnya, yang menghasilkan ridho (hamba) kepada Allah 2. Ridho Allah setelahnya yang merupakan buah dari ridho Allah (kepada hamba)

16

Oleh karena itu ridho merupakan pintu Allah yang paling agung, surga di dunia, kesenangan orang-orang yang menghambakan diri pada Allah, penyejuk mata orang-orang yang merindukan pertemuan dengan Robbnya. Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan, Barangsiapa yang hatinya

dipenuhi kecintaan terhadap takdir Allah maka Allah akan memenuhi hatinya dengan merasa cukup, rasa aman, qonaah, alirkan hatinya terhadap kecintaan kepada Allah, merasa kembali kepadanya serta bertawakkal kepada Allah. Dan barangsiapa yang hilang darinya sebagian ridho terhadap takdir Allah maka Allah akan penuhi hatinya dengan sebaliknya, Allah akan membuatnya sibuk dari halhal yang akan membahagiakannya Seseorang bertanya kepada Yahya bin Muadz, Kapan seorang hamba akan mencapai tingkatkan ridho? Beliau menjawab, Jika jiwanya telah

mendirikan/melakukan empat landasan/pokok terhadap hal-hal yang dengannya ia bermualamah dengan Robbnya, 1. Ketika Allah memberiku (sesuatu) maka akan aku terima, 2. Jika Dia mencegahku (dari sesuatu) maka aku akan ridho terhadapnya, 3. Jika Dia mencegahku/melarangku (dari sesuatu)maka aku akan menjauhi hal tersebut, 4. Jika Dia menyeruku (untuk melakukan sesuatu) akan aku akan merimanya/melaksakannya Suatu hal yang harus diketahui adalah bukanlah syarat keridhoan bahwa seorang hamba tidak merasakan sakit, sesuatu yang dibenci melainkan (ketika itu terjadi) ia tidak berpaling dari aturan Allah dan tidak mencelanya. 9. Syukur Orang yang beriman terhadap takdir Allah mengetahui bahwa nikmat yang ada pada dirinya hanyalah dari Allah Subhanahu wa Taala semata.

Sesungguhnya Allah lah yang mampu untuk menghindarkan dari seluruh hal yang dibenci dan dimurkai. Maka pengetahuannya tersebut membawanya untuk mentauhidkan Allah dalam masalah syukur. Jika menimpanya hal-hal yang disenanginya maka ia akan bersyukur terhadap hal tersebut karena hal itu merupakan nikmat dan keutamaan dari Allah. Jika menimpanya hal-hal yang ia tidak senangi maka ia pun bersyukur atas takdir Allah atas dirinya karena

17

menahan amarah, mencegah caci maki, memperhatikan adab dan bertindak sesuai dengan ilmu terhadap takdir Allah. Karena sesungguhnya ilmu dan adab kepada Allah akan menggiring pemiliknya agar bersyukur kepada Allah terhadap semua hal yang menimpanya baik yang ia senangi ataupun yang ia benci. Walaupun syukur untuk hal yang kedua lebih berat dan lebih sulit oleh karena itu syukur jenis ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan syukur jenis yang pertama. Jika seseorang senantiasa bersyukur atas semua yang menimpanya maka nikmat Allah akan senantiasa tertuang untuknya dan mengalir untuknya karena syukur adalah pengikat nikmat yang telah ada dan pemburu nikmat yang hilang (belum ada ed.). Allah Tabaroka wa Taala berfirman,

Jika kalian bersyukur maka akan aku tambah nikmatku. ( QS. Ibrohim [14] : 7). Maka ketika engkau tidak melihat tambahan nikmat pada dirimu maka bersegeralah bersyukur pada Allah. 10. Kegembiraan Orang yang beriman terhadap takdir Allah akan merasa senang dengan keimanannya ini yang mana sebagaian orang Allah cegah darinya. AllahSubhanahu wa Taala berfirman,

Katakanlah, Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya (hidayah berupa iman, amal sholeh, menjauhi kesyirikan dan maksiat)[6], hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (berupa harta, unta dan sapi yang banyak). ( QS. Yunus [10] : 58). Selanjutnya orang yang beriman terhadap takdir Allah keadaan dirinya dapat meningkat dari keadaan ridho terhadap takdir Allah hingga mencapai bersyukur padanya atas apa yang ditakdirkan untuknya hingga akhirnya ia

18

mencapai tingkatan senang dengan semua yang ditakdirkan Allah pada dirinya. Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan, Kebahagian/kesenangan (terhadap takdir Allah) adalah nikmat hati yang paling tinggi, kelezatan dan keindahan. Maka kebahagian/kesenangan (terhadap takdir Allah) adalah nikmat Allah sedangkan kesedihan (terhadap takdir Allah) adalah adzabnya. Bahagia terhadap sesuatu derajatnya lebih tinggi daripada ridho terhadapnya karena ridho adalah rasa tenang dan lapang. Sedangkan bahagia adalan kelezatan dan keindahan. Maka setiap kebahagian sudah pasti telah ridho namun tidak setiap ridho adalah kebahagiaan. Oleh karena itulah kebagiaan merupakan lawan dari kesedihan dan ridho adalah lawan dari mencela/marah. Kesedihan membuat orang yang tertimpanya menjadi terluka sedangkan orang yang cacian/amarah tidaklah membuat pelakunya terluka kecuali orang yang tidak mampu untuk

melawan/membalasnya. 11. Ilmu terhadap Hikmah Allah Azza wa Jalla Iman terhadap takdir Allah dengan cara yang benar dapat memberikan kepada manusia pemiliknya rasa hikmah terhadap takdir Allah yang baik ataupun yang buruk. Oleh karena itu banyak hal (yang wujudnya terlihat sebagai keburukan ed.) yang terjadi pada kita lalu kita mengingkarinya padahal hal tersebut baik untuk kita. Demikian juga banyak hal yang wujudnya adalah kemaslahatan sehingga kita mencintainya padahal hal tersebut hikmahnya (sebenarnya bukanlah merupakan maslahat ed.). Maka Dzat Yang Mengatur Manusia lebih mengetahui tentang maslahat dan dampak apa yang Allah perintahkan. Allah Azza wa

Jalla berfirman,

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. ( QS. Al Baqoroh [2] : 216).

19

12.

Terbebasnya Akal dari Keyanikan Bathil dan Khurofat Diantara hidayah yang akan didapat seseorang yang beriman terhadap takdir

Allah, iman bahwasanya hal yang terjadi di alam semesta ini mengikuti takdir Allah Azza wa Jalla, takdir Allah adalah sebuah rahasia yang terkunci rapat yang tidak ada yang tahu kecuali Allah serta tidak diperlihatkan kepada seseorang melainkan hanya kepada mahluk yang Allah ridhoi dari kalangan malaikat/rosul. Dari sudut pandang ini maka anda akan dapati seorang yang beriman kepada takdir Allah tidak akan percaya kepada dukun, peramal dan tidak akan pergi mendatangi mereka. Dia tidak akan percaya perkataan, kepalsuan mereka sehingga dia akan selamat dari palsunya perkataan mereka kemudian dia akan terbebas dari keyakinan-keyakinan yang bathil dan khurofat.

20

BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Taqdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya. Karena Allah swt tidak akan merubah keadaan suatu kaum jika kaum itu tidak berusaha mengubah keadaannya sendiri. Maka berusahalah untuk merubah keadaan diri kita untuk senantiasa menjadi lebih baik lagi.

21

You might also like