You are on page 1of 28

HAK ASASI MANUSIA DAN KONSEP NEGARA HUKUM (SUATU TINJAUAN HISTORIS) KAREL WOWOR, SH.

, MH BAB I PENDAHULUN A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN


Pada zaman purbakala, filsuf-filsuf kenamaan pada zaman ini (pra-Socrates) seperti

Thales, Anaximandros, Anaximenes, Phitagoras, dan lain-lain, mencoba maencari inti alam semesta. Thales yang hidup pada tahun 624-548 berpendapat bahwa inti alam semesta itu adalah air. Anaximandros mengatakan teapeiron yang menjadi inti alam, yaitu suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya. Sedangkan Anaximenes (590-528) menyebutkan udara. Yang sangat berbeda sekali pendapatnya ialah Phitagoras. Menurutnya, yang menjadi dasar dari segala sesuatunya adalah bilangan.1 Anaximenes, Heraklitos dan Parmenides, mengakui adanya suatu keharusan alamiah. Manusia sebagai bagian dari alam semesta harus menyesuaikan diri dengan keharusan yang bersifat alamiah itu agar terwujud keadilan. Anggapan ini oleh para penulis sejarah filsafat hukum dinilai sebagai awal mula diakuinya berlakunya hukum alam dan hukum positif. Mereka menganggap baik hukum alam maupun hukum positif merupakan bagian dari aturan ketuhanan.2 Hukum alam, kata Marcus G. Singer merupakan satu konsep dari prinsip-prinsip umum moral sistem keadilan, dan berlaku untuk seluruh umat manusia dan umumnya diakui/diyakini oleh umat manusia sendiri. Karena itu hukum alam berbeda dan mempunyai ukuran yang lain dari hukum positif yang berlaku pada suatu masyarakat. Diangkat dari konsep hukum alam secara teoritik, individu mempunyai hak alam yang dapat dipindahkan, sebagaimana termuat dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Konsep hukum alam mempunyai beberapa bentuk, yang ide awal bermula dari konsepsi Yunani kuno yang intinya alam semesta, Setiap geraknya diatur oleh hukum abadi yang
1

DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal 16-19. H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 93.

tidak berubah-ubah dan di dalam perbedaannya berkaitan dengan adil menurut hukum alam dan adil menurut kebiasaan. Mazhab Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (336 264 SM), memberi gambaran yang cukup lengkap tentang hukum alam. Menurut aliran Stoa (nama Stoa menunjuk pada serambi bertiang, tempat Zeno memberikan pelajaran), alam semesta diatur oleh logika (logos/prinsip) dan umat manusia memilikinya. Karenanya manusia akan menaati hukum alam tersebut. Di sini manusia mempunyai kebebasan memilih dan tidak mungkin mereka melanggar hukum selama ia melakukan tindakan-tindakan di bawah kontrol akalnya yang berarti mengikuti kehendak alami. Para ahli filsafat Kristen menerima ajaran teori hukum alam Stoa dan hukum alam diidentifikasi dengan hukum Tuhan. Thomas Aquino (1225-1274) hukum alam merupakan bagian dari hukum keabadian Tuhan (The reason of devine wisdom), yang dapat diketahui/dirasakan oleh manusia lewat kekuatan otaknya. Manusia atau hukum positif merupakan aplikasi dari hukum alam pada masyarakat tertentu. Seperti kaum Stoa, Aquino percaya bahwa hukum manusia (human law) yang tabrakan dengan hukum alam bukan hukum yang benar. Thomas Aquino membagi hukum alam atas dua jenis: a. Principia prima, asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak dapat diasingkan daripadanya. Principia prima tidak dapat berubah menurut tempat dan waktu. b. Principia secundaria, asas yang bersumber dari principia prima, yang sebaliknya tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktudan tempat. Seringkali asas ini dikatakan sebagai penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap principia prima, yang dapat berupa baik atau buruk. Suatu penafsiran dapat mengikat umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.3 Lewat sekularisasi masyarakat dari masa renaisance/kebangkitan pikiran dan refomasi, teori hukum alam memperoleh landasan yang kokoh/landasan baru lewat akal manusia. Pada abad XVII, ahli hukum Belanda Hugo de Groot atau Grotius (1583-1645) percaya umat manusia secara alamiah tidak saja sebagai makhluk rasional tetapi juga makhluk sosial. Aturan tersebut secara alamiah berlaku untuk manusia ditentukan oleh logika manusia sendiri (terlepas dari keterkaitan Tuhan) memungkinkan manusia hidup harmonis
3

H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 99

satu dengan lainnya. Dari sini Grotius mengembangkan teori hukum internasional secara lebih konprehensif. Seterusnya, ahli filsafat Inggris (1588-1679), Thomas Hobbes melakukan modifikasi kebiasaan hukum alam, yang semula dalam alam terdapat harmonisasi/keadilan menjadi tidak ada keadilan. Manusia karena wataknya yang rakus, agresif dan mementingkan diri sendiri. Demi pembelaan diri, pengamanan dan tercapainya keinginan manusia sendiri, manusia mengikatkan diri dalam satu ikatan sosial/perjanjian sosial (social contract). Dalam perjanjian sosial, manusia menyerahkan bulat-bulat kemerdekaannya kepada penguasa yang absolut. Bagian ajaran utama Hobbes yang terutama menjadi masyur ialah pendapatnya dalam bidang filsafat politik. Bukunya yang terpenting adalah Leviathan. Ia mengingkari bahwa manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Satu-satunya kecondongan kodrati pada manusia ialah mempertahankan adanya. Ia mengakibatkan suatu egoisme radikal: homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia). Tetapi dalam keadaan demikian manusia justru tidak mampu untuk mempertahankan adanya. Itulah sebabnya manusia mengadakan suatu perjanjian, yaitu bahwa mereka akan takluk pada suatu kewibawaan. Dengan demikian negara timbul. Tetapi sekarang perjanjian itu tidak dapat dicabut lagi, sehingga negara mempunyai kekuasaan absolut terhadap para warga negara.4 John Locke berpendapat bahwa, manusia dalam state of nature (hukum alam), merdeka dan sederajat, sampai tidak aman/langgeng kemerdekaannya. Bila manusia masuk menjadi anggota masyarakat, manusia hanya menyerahkan hak-haknya yang penting demi keamanan dan kepentingan bersama. Masing-masing individu tetap memiliki hak prerogatif fundamental yang diperoleh dari hukum alam yang terkait dengan integritas kemanusiaan dan hak miliknya. Teori hukum alam memberikan dasar/basis filsafat dari Revolusi Amerika dan Perancis. Dalam abad XIX, teori hukum alam kehilangan pengaruh atas paham/aliran kemanfaatan (utilitorianism). Tokoh-tokoh dari aliran ini ialah Jeremy Bentham (1748-1832) disamping juga John Stuart Mill (1806-1973) dan Rudolf von Jhering (1818-1889, aliran positif, materialisme, aliran sejarah hukum dalam mencapai kekuatannya dan citacitanya.
4

K. Berten, Ringkasan Sejarah Filsafat, cet. 15, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 51

Seterusnya dalam abad XX hukum alam mendapat perhatian khusus, sebagian atas reaksi paham absolut. Hal ini disebabkan isi dan implementasi hukum alam seluruhnya tidak bersifat deterministik/mengatur, tetapi muncul dan dapat menarik dalam rangka membantu penyelesaian konflik secara ideal. Kritik-kritik yang muncul akibat tidak tegasnya hukum alam, merupakan kelemahan, karenanya, para pendukung hukum alam menekankan untuk lebih fleksibel dan hati-hati. Problem tersebut mendorong para pendukung hukum alam berseru tentang hukum alam dengan perubahan isi dan mengajak berpikir bahwa hukum alam merupakan ide yang pasti tentang keadilan yang dapat diterapkan dalam segala cara pada situasi yang berbedabeda (Grolier Academic Ency, 1983: 49). Dari tulisan tersebut menunjukkan bahwa, hukum alam cenderung berkembang terus dengan muatan sesuai dengan perkembangan masyarakat internasional itu sendiri. Nilai-nilai asasi hukum alam pada etika (moral) diharapkan tetap dipertahankan dan mewarnai semua aspek hubungan kemasyarakatan yang ada. Persoalannya kemudian muncul, moral mana yang cocok dengan hukum alam? Dalam perkembangannya, pengertian hukum alam selain terlalu umum, juga berbeda-beda isi dan tafsirannya. Hal ini, menurut Prof. Ritchie, dalam bukunya Natural Rights, mengemukakan sejarah hukum alam itu sesungguhnya tidak lain daripada sejarah gagasan hukum alam di dalam hukum dan politik.5 (A.P.dEntreves, 1963: 9). Dengan demikian, ungkapan yang sudah sering kita dengar manusia adalah zoon politicon dari Aristoteles maupun manusia menurut kodratnya sama dan bebas, mengandung makna/tafsiran yang bervariasi. Hal ini, sesuai dengan kandungan hukum alam yang berkait dengan norma tentang benar salah dan selaras dengan alam. Karena itu, dalam masyarakat yang semakin modern, keberadaan dan kemampuan hukum alam dipertanyakan orang. Hukum alam memang terkait dengan tingkah laku manusia sepanjang masa, sehingga Sir Frederick Pollock menyatakan Hukum alam mempunyai sejarah yang berlangsung terus menerus secara sempurna.

A.P. dEntreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, 1963, hal. 9

Sehubungan dengan itu, bagaimana tingkah laku manusia dalam kaitannya hidup bermasyarakat tetap harmonis, membangkitkan pikiran manusia untuk membicarakan tentang keadilan tertinggi dari Tuhan dan akal manusia. Hukum alam, pada dasar merupakan satu sistem hukum yang universal yang disusun oleh para pemikir Yunani. Pikiran-pikiran tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh bangsa Romawi dalam buku Corpus Iuris Civilis yang sampai sekarang dapat diketahui asasasasnya yang masih hidup. Bagaimana mengatur siasat manusia bermasyarakat, agar tercipta keadilan, kebaikan dan kesejahteraan, dibutuhkan ilmu dan kiat yang berhubungan dengan keberadaan hukum sendiri. Sebagai ilmu pengetahuan, hukum adalah pengetahuan tentang manusia dan tentang halhal yang bersifat kudus ( devinarum atque humanarum rerum notitia), suatu teori tentang benar dan salah (iusti atque iniusti scientia). Sebagai seni hukum merupakan kelanjutan dari apa hal-hal yang baik dan adil (ars boni et acqui). Demikian tingginya tugas ahli hukum sehingga dapat dibandingkan dengan tugas agamawan (merio quis nos sacerdatos). Ia betul, seorang agamawan dan penyeru keadilan, oleh karena keadilan dan hukum bersifat korelatif (iustitia est constans et perpetua volunta ius suum cuique tribuere) 6 Diakui bahwa akibat proses perkembangan masyarakat, diversifikasi dan tugas hukum semakin berkembang sesuai dengan strata, bidang, ruang lingkup, sasaran dan kelompok masyarakat yang membutuhkan. Dalam mempersiapkan semuanya, kiranya hukum alam (ius naturale), sebagai apa yang senantiasa baik dan benar (bonum et aequum) tetap berperan karena pada hakekatnya hukum yang hakiki sesuai dengan akal yang benar dan sesuai dengan alam. Salah satu tokoh hukum alam, Grotius mengemukakan suatu hipotesis tentang keberadaan/kewajaran hukum alam yang terlepas dari Tuhan. Pandangan Grotius merupakan satu tesis/dalil yang intinya jika hukum alam terdiri dari rangkaian peraturan yang mutlak, maka pembahasannya didasarkan kepada suatu koherensi dan keperluan intern. Untuk menjadi ilmu pengetahuan, hukum tidak harus tergantung dari pengalaman melainkan definisi, bukan kenyataan tetapi deduksi-deduksi logis. Oleh karena itu hanya asas hukum yang dapat membentuk ilmu pengetahuan semacam itu, dan harus disusun
6

A.P. dEntreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, 1963, hal. 19.

dengan mengenyampingkan semua hal yang dapat berubah dan berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain7. Dengan demikian hakikatnya bagi hukum rasional, hukum alam tidak perlu diperkuat karena memang demikian. Di dalam hukum berisi ukuran-ukuran/kualifikasi yang ada kaitannya dengan kenyataan yang dihadapi. Dari sari ajaran hukum alam tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum alam tersebut kekal dan tidak akan mati karena sesuai dengan nurani manusia. Malah dikatakan oleh O. Von Gierke ....(hukum alam jika tidak diperkenankan masuk ke dalam hukum positif maka ia akan terbang kian kemari di dalam kamar seperti hantu dan mengancam akan merubah menjadi kelelawar yang menghisap darah dari tubuh hukum positif .8 Kalau dikaitkan misalnya dengan Declaration of Human Rights terbukti mempunyai nilai yang relatif sama, khususnya dari segi efektivitasnya sama-sama berisi sederet keinginan. Hal ini membuktikan, kata penganut teori hukum alam bahwa hukum positif pun suatu saat pernah menghadapi ganjalan, tantangan dan ketidakberdayaan sama seperti hukum alam. Adanya kesepakatan lahir batin pemerintah dan anggota masyarakat mutlak diperlukan. Karena itulah hukum positif dikesankan seperti mengubah istilah yang emosional ke dalam istilah yang lebih riil dan rasional misalnya kebenaran moral menjadi kepastian hukum, walau dalam makna kepastian tersebut harus mematikan akal karena kita terpaksa menaati hanya ditetapkan pasti (oleh hukum positif).

B. PERMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam tulisan ini adalah : Bagaimanakah Hak Asasi Manusia dan Konsep Negara Hukum (suatu tinjauan historis). C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penulisan ini adalah:
7 8

------------- hal. 60. A.P. dEntreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, 1963, hal. 130.

1.

Untuk mengetahui sekilas sejarah Hak Asasi Manusia Untuk mengetahui konsep dari negara hukum.

2.

D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi data itu. Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.

BAB II HAK ASASI MANUSIA DENGAN NEGARA HUKUM


A. HUKUM ALAM DAN HAK ASASI MANUSIA Persolan antara justice/gerecht/adil, dengan truth/rechtig/benar dalam hukum akan dibicarakan terus sepanjang masa, karena hal ini menyangkut hakikat kemanusiaan dan harkat manusia dalam masyarakat. Seperti diketahui Aristoteles menganggap hukum alam merupakan produk rasio manusia semata-mata demi terciptanya keadilan abadi, sehingga keadilan menurut Aristoteles mempunyai dua makna, yakni: a. Adil dalam undang-undang bersifat temporer/berubah-ubah sesuai dengan waktu dan tempat, sehingga sifatnya tidak tetap dan keadilannyapun tidak tetap. b. Adil menurut alam berlaku umum, sah dan abadi sehingga terlepas dari kehendak manusia sendiri. Keadilan alam merupakan himpunan norma-norma hukum alam dan memuat prinsipprinsip umum yang bersumber dari alam budi manusia. Warga negara Yunani Kuno telah memiliki hak yang disebut isogaria (hak bicara) dan isonomia (persamaan di muka hukum). Hukum alam (natural law) salah satu muatannya adanya hak-hak pemberian dari alam (natural rights), karena dalam hukum alam ada sistem keadilan yang berlaku universal. Adanya hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan. Lepas dari perdebatan hubungan antara hak, kewajiban dan tanggungjawab dalam diri hukum itu sendiri yang masih terus berlangsung. Namun satu hal yang pasti, hak mempunyai kedudukan/derajat utama dan pertama dalam konteks hukum dan hak asasi manusia. Dalam rangka tercapainya keharmonisan hubungan anggota masyarakat, hubungan antara hak, kewajiban dan tanggungjawab secara proporsional akan mewujudkan hubungan ideal antar anggota masyarakat. Selama ini hak asasi manusia sering disebut hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut natural rights, human rights dan fundamental rights. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal Grond Rechten, 8

Mensen Rechten, Rechten van den mens. Istilah-istilah tersebut menunjuk, sebagaimana disebut di muka, yang titik beratnya pengakuan adanya hak manusia. Dalam kehidupan manusia bermasyarakat lebih lanjut bergandeng tangan dengan kewajiban asasi dan tanggungjawab asasi. Hak dalam dirinya ada suatu wewenang/tuntutan (claim), karena merupakan wewenangnya sehingga tuntutan tersebut bagian integral dari hak itu sendiri. Artinya, manakala hak-hak kemanusiaan dinjak-injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dilanggar sampai dihapus atau dibuang akan timbul tuntutan pemulihannya. Louis Henkin, dalam tulisannya The Rights of Man To Day, yang dikutip oleh Philipus Hadjon, . Human Rights are claims asserted recognized as of rights not claims upon love, or grace or brotherhood, or charity one does not have to earn or deserve then. They are not merely aspirations or moral assertions but increasingly legal claims under some applicable law .9 Istilah natural rights berkembang menjadi human rights pada abad XVII oleh para sarjana Perancis/Inggris (Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieau, J.J. Rousseau) mengandung makna persamaan di depan hukum. Dalam perkembangan lebih lanjut untuk hak asasi manusia dikenal pula istilah fundamental rights, meliputi legal rights dan moral rights. Hak tertentu dikatakan fundamental bukan karena hak-hak tersebut konstitusional sifatnya.10 Perkembangan konsep hak asasi seirama dengan perkembangan hukum alam, karena itu penelusurannya dilihat dari segi sejarah terdapat kebersamaannya. Philipus M. Hadjon mengatakan lebih lanjut tentang konsep hak asasi manusia pada abad XX merupakan sintesis dari tesis abad XVIII dan antitesis abad XIX. Tesis abad XVIII, hak asasi manusia tidaklah ditahbiskan secara ilahi (divinely ordained), juga tidak dipahami secara ilahi (divinely conceived); adalah ciptaan Allah. Hak-hak itu sifatnya kodrat (natural) dalam arti:
9

M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal. 50 10 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 51.

Kodratlah yang menciptakan dan mengilhami akal budi dan pengetahuan manusia, Setiap manusia dilahirkan dengan hak-hak tersebut, Hak-hak itu dimiliki manusia dalam keadaan alamiah (state of natural) dan kemudian dibawanya dalam hidup bermasyarakat. Adanya pemerintah, individu itu tetap otonom dan berdaulat, karenanya berdaulat di bawah setiap pemerintah. Oleh sebab itu, kedaulatan tidak dapat dipindahkan (inalienable) dan adanya pemerintah hanya atas persetujuan dari yang diperintah.

Antitesis abad XIX; pertama, masuknya dukungan etik dan utilitarian, kedua pengaruh sosialisme yang lebih mengutamakan masyarakat atau kelompok daripada individu, bahwa keselamatan individu hanya dimungkinkan dalam keselamatan kelompok atau masyarakat. Sintesis abad XX; pertama, abad XX menjembatani hukum kodrat dan hukum positif yaitu dengan menjadikan hak-hak kodrat sebagai hak-hak positif (positive legal rights), kedua, mengawinkan penekanan pada individu (yang sifatnya otonom dan memiliki kebebasan) dengan penekanan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi untuk semuanya, mengawinkan pandangan terhadap pemerintah sebagai ancaman bagi kebebasan dengan padangan terhadap pemerintah sebagai alat yang dibutuhkan untuk memajukan kesejahteraan bersama.11 Sebaliknya abad-abad sebelumnya yaitu abad XV/XVI dengan sistem pemerintah yang otoriter, segi-segi kewajiban manusia yang ditonjolkan, dalam arti melaksanakan kewajiban untuk negara. Dengan demikian, bila abad XVIII mulai mengedepankan kemerdekaan dan kebebasan individu sebagai arus balik sistem pemerintahan diktator/otoriter sebelumnya dan mengalami revolusi Amerika/Perancis, maka abad XIX menekankan aspek persamaan di depan hukum dalam arti individu sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi harus hidup dalam suatu masyarakat karena mempunyai persamaan tujuan, persamaan kepentingan sehingga hak-hak individu mempunyai fungsi sosial. Karena itu hak individu yang semula sifatnya mutlak seperti hak milik bergeser dan
11

M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal. 53.

10

mengandung unsur-unsur sosial. Sedangkan abad XX, kedua hak tersebut merupakan satu paket yang tidak terpisahkan sebagai hak dasar (basic rights) dengan jalan memasukkan ke dalam satu deklarasi internasional tentang hak asasi manusia, lewat Deklarasi Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948. Hal ini menunjukkan bahwa hak asasi tidak terbatas pada hak politik/sipil, tetapi hak ekonomi, sosial dan kultural dan dapat berkembang terus merupakan bagian integral dari isi hak asasi manusia. Khusus penekanan konsep kewajiban, disamping kebebasan ataupun persamaan secara terpisah dapat dilihat atau dikembalikan kepada sistem pemerintah/negara (sistem politik yang berlaku pada saat itu) ditambah kecenderungan kemajuan berpikir, keberanian para pemikir dan anggota masyarakat dalam mengemukakan ide/gagasannya. Di dalam makna kewajiban terkandung adanya beban/tugas yang harus dijaga. Dari uraian di atas, harus diakui bahwa hubungan antara hukum alam dan hak asasi bersifat integratif dalam arti antara hukum alam dan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan. Bicara soal hukum alam tidak dapat tidak, harus bicara dengan hak asasi manusia. Inti hukum alam tidak dapat lepas dengan ide/konsep moral/etika, keadilan dalam masyarakat/negara, justru hukum alam mendambakan keadilan seluruh alam. Keadilan universal merupakan keadilan potensial, menjadi berkembang dengan tafsir yang beragam manakala berhadapan dengan politik dan negara. Namun yang pasti, penafsiran dan sampai pelaksanaannya yang jauh dari ide dasar hukum alam dan kemanusiaan hanya akan bersifat kesementaraan. Human Rights is fairly new name for what were formerly called the rights of man the Rights of man at an earlier date had itself replaced the original term natural rights, demikian ungkapan Eleonar Roosevelt pada tahun 1940 dalam rangkan mengembangkan PBB.12 Golongan Stoi berpendapat bahwa antara jurist dengan filosof mempunyai ide yang sama, Sebagaimana dikatakan Cicero, there is a true law, rights reason, in accordance with nature, it is unalterable and eternal .13

12 13

Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 1. Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 1.

11

Dalam perjalanan para penganjur Hak Asasi dalam arti memperjuangkannya memerlukan waktu yang cukup panjang, para sarjana membagi dalam tiga golongan yang tidak dapat dilepaskan dengan budaya dan sistim politik suatu negara/kawasan yang bersangkutan, walaupun, hakikatnya, hak asazi manusia sedunia sama. Dengan demikian, HAM adalah konsepsi tentang diri manusia sendiri atau bicara tentang diri kita sendiri. Karena kalau kita mau jujur, konsepsi HAM adalah milik manusia untuk selama hidup dan merupakan konsepsi universal yang tidak dapat dihindari/diingkari. Peningkatan/pembatalan HAM dari bicara soal HAM hanya bersifat kesementaraan saja. 1. Konsep Hak Asasi Manusia Paham Liberal Hak asasi menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776. ... we hold these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.14 Nampak bahwa, pikiran Jhon Locke mewarnai proklamasi tersebut. Selanjutnya kemerdekaan Amerika

Lafayette, orang Perancis yang aktif dalam perang de lhomme et du citoyen pada tahun 1789 di Paris:

mengembangkan lebih lanjut deklarasi Amerika tersebut ke dalam Declaration des Droit men are born and remain free and equal in rights; indeed, that the purpose of all political associations is the concervation of the natural and inalienable rights of man; these rights are liberty, property, security and resistance to oppression; Liberty is defined as being unrestrained in doing anything that does not interfere with anothers rights, and is held to include the right to free speech, a free press, religion freedom, and freedom from arbitrary arrest. Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa mengedapankan hak asasi manusia merupakan reaksi keras terhadap sistem pemerintah, politik, sosial sebelumnya yang bersifat absolut, yang seharusnya keberadaan negara (sebagai lembaga politik) untuk menjamin hak asasi manusia. Dengan demikian, hak-hak tersebut bersifat mutlak harus dijunjung tinggi oleh negara, pemerintah dan organisasi-organisasi yang ada. Penghormatan hak-hak individu

14

Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 3.

12

(kemerdekaan dan pemilikan), ada yang berpendapat merupakan satu kelemahan konsep barat yang individualistic. Individualisme berat, dilihat dari konteks sejarah, adanya hak-hak tersebut adalahwajar. Mengapa kemandirian(zelfstandigheid) sesorang dohormati dan tidak gampang larut dalam masyarakat yang puralistik. Bicara soal individu, ada yang berpendapat bahwa individualisme dalam konteks individualisasi dan mandiri sangat positif, sebaliknya individualisme dalam arti tingkah laku yang ddidorong demi keuntungan/kepentingan diri sendiri) negatif, sehingga harus dihadiri dan dijauhi. Pada hakikatnya pemberian kepercayaan kepada individu/pribadi tidak dapat dilepaskan dari kenyataan dan tanbtangan lingkungan yang cukup berat serta pengalaman hidup dibawah pemerintahan otoriter, sentraslistik dan diktator, sehingga membentuk kutur yang individualistik. Konsep mengedepankan kemandirian individu dalam hidup bermasyarakat perlu mendapat pemikiran bersama. Perkembangan/tumbuhnya paham egoismediredam dikurangi kalau perlu (bila mungkin) dihilangkan. Untuk itu, perlu didorong peningkatan rasa kebersamaan dalam bernasyarakat dan bernegara. Kebersamaan dalam berbagai sektor kehidupan kiranya dapat dikembangkan meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, kultur dan lain-lain sebagaimana yang telah diakui oleh PBB. T.H. Marshall menjelaskan Property rights are part of the civil rights that are essential to individual freedom, and in the form of the freedom of contrac, they constitute the governing principle of a free market economy. Social rights, on the other hand, entitle the individual to some share of the social product based on membership in the economy rather than on property or labor .15 Selanjutnya dijelaskan, the core of modern social rights has always been represented by the income protection and service that constitute the social security system. In the broad sense in which I intend to use social security, it includes the statutory employment related benefit of old age, disability, unemployment, and health insurance, as well as family allowances and public assistance .16

15 16

Gaston V. Rimlinger, Capitalism And Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 531. Gaston V. Rimlinger, Capitalism And Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 53.

13

Sehubungan dengan itu, persoalan hak asasi manusia hendaknya didekati secara konprehensif, dalam arti merupakan tanggung jawab bersama, baik penguasa pemegang uang, pemikir, agamawan dan siapa saja yang merasa/mau terlibat dalam masalah kemanusiaan. Hal ini penting, karena masih banyak kelompok manusia yang kurang beruntung, baik karena berada pada posisi bawah, golongan tak berpunya yang kurang mendapatkan hak-haknya. Disinilah perlu, pendekatan kontektual dalam melaksanakan hak asasinya.17 Dalam suatu pemerintah dengan sistem politik sentralistrik, dictator, dengan segala macam batasan dan ketertutupan, serta perintah tunggal dari penguasSa, dalam proses waktu, sebagaimana dilihat dalam sejarah yang panjang, dapat berkembang menjadi masyarakat feudal. Dalam masyarakat tersebut hak-hak individu tetap dibatasi, namun mulai tumbuh hak-hak sosial dalam bentuk proteksi ekonmi dalam pengawasa/tugas-tugas paternalistic dan diatur dalam kelompok-kelompok ekonomi. Reaksi dari site mini munculnya paham kapitalisme yang mengembangkan mekanisme pasar bebas, sehingga pengembangan hak milik individu dan kebebasan individu tidak terpisahkan. 2. Konsep Hak Asasi Manusia Paham Sosialis Konsep sosialis mulai dari Karl Marx, menurut L. Henkin, makna hak asasi tidak menekankan pada hak terhadap masyarakat, justru menekankan kewajiban terhadap masyarakat. Dari ajaran tersebut, konsep sosialisme Marx bermaksud mendahulukan kemajuan ekonomi daripada hak politik dan hak-hak sipil, mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan.18 Hak asasi bukan bersumber hukum alam, tapi pemberian dari penguasa (pemerintah, negara), sehingga kadar dan bobotnya tergantung kepada negara. Ide hak asasi bagian dari ideologi komunis. Dengan demikian, hak asasi dari gerakan komunis tidak setua dengan hukum alam, ia lahir bersama dengan lahirnya gerakan dan paham komunis.

17 18

A. Masyhur Effendi, Wajah Hak Asasi Manusia, Pendekatan Secara Kontekstual, Jawa Pos, 10-12-1990. M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 63.

14

Bagi seorang marxist, Concept of liberty and idea of human rights, as defined by Enlightenment thinkers and ideologists of the French Revolution, are the specific expressions of a bourgeois society that is on the verge of collapse19. Dalam suatu masyarakat, menurut Leszek lebih lanjut, yang cenderung dan motivasi tinggi memberi hak-hak kepada individu, menurut Marx, akan selalu berhadapan dengan individu lain, sehingga anggota masyarakat egoistic, sifat tersebut bukan hasil dari pengurangan hak-hak manusia berdasarkan hukum alam, sehingga perlu ditekankan dan diselamatkan lewat sistem ekonomi yang mengurangi konflik. Ajaran komunis yang menjanjikan penghapusan kelas dan perjuangan kelas bermaksud menghilangkan akar konflik sosial, karena itu hak asasi manusia yang diangng-agungkan ajaran liberalis menjadi tidak penting. Hak asasi menjadi perlu dalam masyarakat kapasitalisme. Dalam masyarakat komunis, katanya, yang penting konflik tidak akan ada dan juga tidak ada kelas. Dalam masyarakat komunis dapat menimati hak asasi di bidang ekonomi yang dibutuhkan oleh semua anggota masyarakat, dan diatur di bawah negara, kemandirian menjadi tabu. Dengan demikian, kehancuran ideologi komunis, sebagaimana terlihat dewasa ini, dari sudut ini dapat dimengerti, karena paham komunis meniadakan hak-hak individu, sehingga bertentangan dan menetang hukum alam (tidak memberi kesempatan kepada orang per orang untuk memiliki hak selama hidup yang diberi oleh Tuhan). Penekanan hak dalam hak asasi, justru karena sejak lahirnya manusia sudah memiliki hak tersebut. Dengan demikian, dalam ideologi komunis mentabukan adanya kelompok yang berbeda pendapat (oposisi), oposisi adalah lawan yang harus dihapuskan. Menarik sekali pandangan bangsa Tanzania dalam seminar dengan mengundang lembaga yang cukup bergengsi, semisal The Internasional Cimmission of Jurist, Beberapa pemikiran yang berkembang didalam seminar beberapa tahun yang lalu tentang sistem kepartaian negara Tanzania. Pandangan beranjak dari satu asumsi dasar, bahwa ini hak asasi manusia berbicara tentang hak perseorangan, karena itu, kata Daudi Mwakawago (ex Menteri Penerangan Tanzania), tugas partai, baik yang bersistem tunggal ataupun banyak, salah satunya melakukan kontrol sosial (terhadap pemerintah), disamping mengawasi

19

Kolakowski Leszek, Marxism and Human Rights, Deadalus, 1983, hal 84.

15

jalannya/pelaksanaan hukum yang telah disepakai bersama. Pengawasan tersebut dalam rangka menegakkan Rule of Law 20 Tampaknya yang perlu diperhatikan ialah, bagaimana suatu aturan hukum tersebut berjalan dalam satu negara. Apakah hukum yang berlaku benar-benar Just lau (Hukum yang adil) dalam arti hukum yang menyalurkan aspirasi masyarakat ataukah unjust law (Hukum atas dasar kemauan pemerintah). Ini soalnya! Memang negara-negara Afrika yang baru merdeka sedang mencariidentitas. Tentu didalam pencarian tersebut, adat, dasar, watak, dan kepribadiannya akan mendapat tempat utama. Hal ini penting, selain untuk menghadapi persoalan intern antarsuku, juga melihat pengaruh dan pendapat sarjana barat yang sudah mapan/berakar. Doktrin yang dikumandangkan, ialah bagaimana membina perasaan/semangat nasional antar semua warga negara dari setiap negara-negara di Afrika. Semua warga negara merupakan satu keluarga dalam negaranya, kredo/semangat satu keluarga tersebut semata-mata demi persatuan dan kesatuan bangsa, untuk itu, sistem partai tunggallah yang paling tepat, begitu kata Pius Msekwa, Rektor Universitas Darusalam. Dalam sistem partai tunggal, kritik membangun dikembangkan, justru dianggap dalam satu keluarga. Dan kritik seperti ini lebih berhasil dari kritik lewat modek oposisi, begitu katanya, Rektor Universitas Darusalam tersebut, dalam kunci pidatonya lebih lanjut menyatakan bahwa, Semua warga negara mempunyai persamaan hak di muka hukum/ pemerintah, sehingga partisipasi dalam proses pembangunan negara juga besar, di sini hak asasi tetep dijunjung tinggi dan dihormati. Dalam sistem partai tunggal, katanya, ancaman dari oposisi tidak ada. Dan pimpinan partai lebih terbuka menerima pengaduan dari berbagai kelompok yang memiliki kebebasan berbicara. Jadi, adanya kebebasan mengeluarkan pendapat di kelompoknya tetap ada. Upaya tersebut merupakan pencarian/penggalian nilai-nilai budaya bangsa yang diangkat dalam rangka menegakkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan tanggung jawab dan bernegara.

20

Mansyur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 21.

16

Presiden Julius Nyerere sampai menyatakan The Ultimate Safeguard of a peoples Rights the peoples freedom, and all those things which they value is the ethic of the nation The ultimate safeguard the peoples ability to say no to the official, the ability tosay to him: no you cannot do that, that is un Tanganyikan and we cannot accept it from anybody. 3. Konsep Hak Asasi Manusia Dunia Ketiga Menurut H. Gros Espiel, di dalam kelompok dunia ketiga terdapat tiga kelompok yaitu kelompok pertama yang dipengaruhi oleh kelompok sosialis, marxisme, kelompok kedua yang dipengaruhi oleh konsep barat, dan yang ketiga, negara-negara yang karena filsafat hidupnya, ideologi dan latar belakang sejarahnya merupakan suatu konsep tersendiri tentang hak asasi manusia 21 Secara politis, dunia ketiga adalah negara-negara yang masuk dalam negara-negara nonblok (nonaligment countries) dan terdapat di benua Asia, Afrika, Amerika Latin dan beberapa negara di Eropa. Dari sekian negara ketiga sebagai contoh India dan Indonesia, dapat dilihat lebih lanjut, sebagai berikut: a. Mahatma Gandhi, bersurat ke Dirjen Unesco Paris tanggal 25 Mei 1947 mengemukakan pandangan India tentang hak-hak individu yang memperoleh pengakuan yang sah serta mendapat perlindungan, meliputi 100 macam hak, 5 hak-hak sosial dan 5 hak-hak perorangan. Hak-hak sosial meliputi: ahimsa (freedom from violence = kebebasan dari kekerasan), asteya (freedom from wants = kebebasan dari keinginan), aparigraha (freedom exploitation = kebebasan dari penghisapan), avybhicara (freedom from violation or dishouour = kebebasan dari pelanggaran), armitawa dan arogya (freedom from early dead and decease = kebebasan dari kematian). Hak perorangan meliputi: akredha (absence of intolerance = ketidakhadiran ketidaktoleranan), buthadaya atau astreha (compassion of fellow feeling = rasa kasihan rasa simpati), juaua vidya (knowledge = pengetahuan), satya atau suntra
21

M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal. 64.

17

(freedom of thought and consistence = kebebasan untuk konsisten dan pikiran), pravetti atau abhaya atau dhrti (freedom from fear and frusta on or despair = bebas dari ketakutan atau frustasi).22 b. Indonesia, menurut Soenawar Soekowati dalam buku Negara Kertagama, berisi tata pergaulan bermasyarakat dan bernegara, disebutkan antara lain .... mengenal adanya Rule of law di dalam praktek ketatanegaraan, hal itu jelas terlihat dari perumusan bijaksana mengemudikan perdata tinggi dan segala kerja dan pula tergambar dari kata-kata ..... Baginda makin keras berusaha untuk dapat bertindak bijak ... . Dalam pengadilan tidak sembarangan tapi tetap terlihat undang-undang .. Adil segala putusan yang diambil, sehingga semua merasa puas.... Kutipan-kutipan tersebut secara makro memberi bukti/indikasi bahwa sejak nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal norma, hukum dan perundang-undangan yang ditaati oleh warga dan penguasa. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan sifat dan semangat kebersamaan, kekeluargaan (kolektivitas yang tinggi). Semangat tersebut harus dipelihara terutama oleh penguasa lewat tindakan yang arif dan bijaksana. Dalam arti modern, adanya hukum dan undang-undang, dari satu sisi merupakan pembatasan kekuasaan pemerintah. Pembatasan tersebut memberi kelonggaran, kesempatan kepada anggota masyarakat untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah, yang berupa hak bertanya, protes, menyelidiki, menilai, mengkritik, mogok, menegur baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penguasa/pemerintah. Dengan demikian bibit, potensi asas negara hukum modern (Rechtsstaat, Constitutional state, rule of law) telah ada dan merupakan bagian dari watak, sifat bangsa. Indonesia dalam ide/watak tidak dapat menerima sistem pemerintah otoriter (machtstaat). Ini adalah bukti bahwa hak asasi manusia bukan gagasan baru atau asing bagi bangsa Indonesia, kemudian UUD 1945 cukup memberi akomodasi dan pengakuan atas hak asasi manusia itu sendiri. Pencatuman beberapa pasal dalam UUD 1945 sebelum diamandemen memberi indikasi yang cukup kuat bahwa para pendiri negara (the founding fathers) menyadari hal itu. Selain ketentuan-ketentuan pokok tentang hak asasi manusia dalam beberapa pasal UUD 1945, adanya rintisan MPRS tahun 1966 dengan dibentuknya Panitia Ad Hoc
22

M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 65.

18

B/MPRS/1966 yang bertugas merumuskan rancangan Piagam tentang Hak-Hak Manusia dan Warga Negara merupakan konsekuensi logis untuk tetap memelihara semangat warga negara/anggota masyarakat, sekaligus ikut merasa bertanggungjawab terhadap jalannya pemerintah. Dalam rangka penyempurnaan rancangan tersebut, lewat Sidang Istimewa MPRS No. 24/8/1966, disebar ke masyarakat untuk mendapat tanggapan/masukan. Kelanjutan rancangan tersebut nampaknya tidak mendapatkan persesuaian pendapat sehingga tidak sampai menjadi satu keputusan resmi. Perlu dicatat bahwa isi/materi rancangan tersebut selain memakai urutan Pancasila sebagai acuan, juga banyak persamaan, malah terjemahan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948. Sejauh mana kelanjutan usaha penyusunan Piagam tentang Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, di satu pihak menyatakan tidak perlu dengan alasan bahwa watak The Universal Declaration of Human Rights sebagai hukum kebiasaan bangsa Indonesia yang sebagai anggota PBB telah terikat. Kedua, Pancasila sebagai sumber, kedudukannya seperti Grund norm dari teori Hans Kelsen, yang penting bagaimana membuat peraturan perundangundangan mengakui martabat manusia. Ketiga, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tidak bertentangan dengan The Universal Declaration of Human Rights.23 B. KONSEP NEGARA HUKUM

Sebagaimana diketahui proses perjuangan menuju negara hukum cukup panjang, dari negara absolut pada zaman kuno, abad pertengahan (500-1500 M) diwarnai konflik berkepanjangan antara Paus dengan kerajaan. Sampai tumbuhnya nasionalisme lewat perdamaian West Phalia yang menandai zaman baru di Eropa (1500-1789), sifat absolutisme beberapa negara nasional tetap dominan. Hal ini menunjukkan perjuangan dan ide negara hukum sebagaimana didambakan para filosof belum berhasil. Masa-masa tersebut merupakan masa perang pena dan perang ide dari beberapa penulis abad pertengahan/abad baru.

23

M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 91.

19

Beberapa penulis, antara lain Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes pendukung sistem absolutisme, sedangkan John Locke, Montesquiwau, Voltaire, dan sebagain penulis lein pendukung sistem negara hukum. Niccola Machiavelli misalnya yang hidup dalam masa yang penuh dengan pertentangan/peperangan menghendaki agar kepentingan negara (raison detat) dipertahankan. Dalam upaya menuju negara nasional Italia yang kuat, raja harus bebas dan tidak terikat dengan norma-norma yang ada (agama dan moral). Raja harus dapat menjadi serigala, licik, penipu semata-mata demi negara. Sebaliknya Jean Bodin, penganjur absolutisme raja, dengan batasan hukum alam yang bertanggungjawab kepada Tuhan. Dengan demikian raja memiliki hak mutlak untuk mengikat rakyatnya lewat undang-undang yang disusunnya. Sedangkan Thomas Hobbes, mengajukan pemikiran bahwa kehidupan manusia di alam bebas yang penuh pertentangan dan peperangan, hasilnya adalah kehancuran. Karena itu perlu ada perjanjian masyarakat yang sepakat menyerahkan kekuasaan negara kepada raja. Raja yang mendapat mandat dari anggota masyarakat mempunyai kekuasaan mutlak. Dengan demikian paham absolutisme dari Eropa menunjukkan ciri-ciri autarki: a. autoritarisme, yaitu kekuasaan yang mutlak dimana kekuasaan raja tidak dibatasi oleh tanggungjawab kepada masyarakat, b. totalitarisme, yaitu penguasaan semua bidang kebudayaan dan bidang hidup oleh negara sampai kepada bidang agama. Raja menginginkan untuk menguasai concientia (hati nurani) daripada warga negaranya 24 Proses absolutisme berjalan terus menuju negara hukum atau negara yang memiliki konstitusi dimulai dengan gerakan-gerakan reformasi (pembaharuan), renaisance (gerakan yang mengharapkan kembali kepada kebudayaan klasik, baik Yunani dan Romawi) serta menghormati orang perseorangan. Manusia diberi kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. Gerakan-gerakan tersebut diteruskan dengan aliran hukum kodrat (pelopor Thomas Aquino) yang mengingatkan kembali kepada hukum alam. Dalam situasi serba alamiah, semua manusia mempunyai hak-hak tertentu, kewajiban tertentu yang harus dihormati dan dipertahankan. Hak-hak yang bersifat asli misalnya hak hidup, hak memilih
24

D. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, 1970.

20

masuk dalam kelompok hak asasi yang wajib dihormati. Diteruskan dengan aliran Aufklaerung (rasionalisme/pemurnian) akal. Aliran tersebut memberi inspirasi kepada satu strata/kelompok masyarakat bawah kemudian tumbuh dan berkembang. Golongan tersebut merupakan sempalan dari struktur masyarakat feodal yang terdiri dari pendeta, bangsawan dan rakyat. Rakyat yanag berada di strata bawah, akibat adanya pemikir ulung tentang negara, hukum dan masyarakat cukup mempengaruhi jalan pikirannya. Kelompok tersebut menjadi semakin maju dan berkembang dengan profesi yang bervariasi (jurnalis, advokat, dokter dan lain-lain yang dikenal sebagai golongan bourgeoisie), yang semula golongan ini dari segi politik tidak mempunyai kedudukan. Beberapa pemikir pendukung negara hukum dan hak asasi, antara lain John Locke (16321704) yang mempertahankan teori/aliran perjanjian masyarakat dalam rangka menghormati dan melindungi hak individu. Ia berpendapat bahwa individu memiliki hakhak kodrati/asli antara lain hak hidup, hak kebebasan, hak milik. Dengan demikian peranan/posisi raja dan pemerintah harus melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh melanggarnya. Selanjutnya Montesquieau (1689-1755), pendukung kebebasan warga negara

mengemukakan pandangannya tentang pembagian pemerintah ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan tersebut yang dikenal dengan Trias Politika, memisahkan mekanisme, jalan hubungan antaraparat pemerintahan secara tegas akan menciptakan sistem pemerintahan yang baik. Hal ini dimungkinkan karena adanya badan lain yang mengawasi/melakukan kontrol. Ketiga badan mempunyai kedudukan yang sama dengan wewenang yang berbeda, maka eksekutif sekedar menjalankan perintah undang-undang. Dengan demikian kemungkinan bertindak sewenang-wenang (tyranik) menjadi kecil. Asas le separation des pouvoirs akan menjamin kebebasan politik warga negaranya. Selanjutnya Voltaire (1694-1778), pendukung ide aufklareung membakar semangat kebebasan, keadilan dan persamaan dengan memberi tekanan pada aspek rasional sangat berpengaruh atas revolusi Perancis 1789. Tulisan Voltaire bertemakan kebebasan manusia, keadilan dan toleransi atas dasar pembentukan kebudayaan yang dibimbing oleh akal, sangat berpengaruh.

21

Pejuang hak asasi amnusia di daratan Eropa, puncaknya lewat Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Penduduk Negara (Declaration des Droits LHommes et du Citoyen) 1789 di Perancis. Dalam deklarasi tersebut ditegaskan dalam: Pasal 1, Semua manusia itu lahir dan tetap bebas dan sama dalam hukum. Perbedaan sosial hanya didasarkan pada kegunaan umum. Pasal 2, Tujuan negara melindungi hak-hak alami meliputi hak kebebasan, hak milik, hak keamanan dan hak perlindungan. Sementara itu perkembangan hak asasi manusia di Inggris, awal bangkitnya dimulai dengan pengakuan (pemaksaan) terhadap Raja John Lockland (John tanpa negara) atas hak-hak rakyat. Sebagaimana diketahui pada 1215 dalam Piagam Besar (Magna Charta), Raja John Lockland telah mengakui hak-hak rakyat secara turun temurun: - Hak kemerdekaan (kebebasan) tidak boleh dirampas tanpa keputusan Pengadilan, - Pemungutan pajak harus dengan persetujuan Dewan Permusyawaratan. Terbukti dalam perjalanan sejarah Inggris, ketentuan Magna Charta masih sering dilanggar, sehingga pada tahun 1679 lewat parlemen (parle = bicara) dikeluarkan lagi Habeas Corpus Act (Peraturan tentang Hak diperiksa di muka hakim). Dalam Habeas Corpus Act tersebut dijelaskan, setiap orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim dengan mengemukakan dasar (hukum) penahanan tersebut. Orang yang ditahan harus segera didengar penjelasannya. Pada tahun 1688, di Inggris terjadi perebutan kekuasaan antara Raja James II (Katolik) dengan saudaranya Mary II (Protestan) yang dimenangkan oleh Mery II/William II (suaminya). Konflik tersebut dinamakan Glorious Revolution (Revolusi Besar). Kemudian Raja William II menyusun Declaration and Bill of Rights 1689, berisi pengakuan bahwa hak-hak rakyat dan anggota parlemen tidak boleh diganggu gugat (dituntut) atas dasar ucapan-ucapannya. Adanya Bill of Rights tersebut merupakan awal menuju ke monarkhi konstitusional. Bill of Rights merupakan salah satu dokumen penting untuk menghormati hak asasi manusia.

22

Kalau kita lihat kembali sejarah perkembangan perjuangan hak asasi manusia di Amerika Serikat, pada tahun 1776 disusunlah Piagam Bill of Rights (Virginia). Piagam tersebut merupakan kesepakatan 13 negara Amerika Serikat yang pertama. Dalam Bill of Rights tersebut memuat ketentuan antara lain: semua manusia, karena kodratnya, bebas merdeka serta memiliki hak-hak yang tidak dapat dipisahkan (dirampas) dengan sifat kemanusiaannya. Hak tersebut antara lain hak hidup/kebebasan, hak memiliki, hak kebahagiaan dan keamanan. Kemudian hak asasi manusia dipertegas lagi lewat Declaration of Independence 1788, asasnya pengakuan persamaan manusia. Tuhan telah menciptakan manusia dengan hakhak tertentu yang tidak dapat dirampas, antara lain hak hidup, hak kebebasan, dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Pengakuan hak asasi manusia dipertegas lagi oleh Presiden Franklin D. Roosevelt yang diucapkan pada tahun 1941. Ungkapan Franklin D. Roosevelt dikenal dengan Four Freedom, isinya: Kebebasan (kemerdekaan) berbicara (freedom to speech) Kebebasan beragama (freedom to religion) Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want) Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Dengan demikian dalam hak asasi manusia terkandung beberapa sumpah yang dapat dibenarkan, yaitu: a. Hak asasi manusia berasal/bersumber dari Tuhan sering disebut hukum alam diberikan/dimiliki seluruh manusia per individu tanpa membeda-bedakan status orang per orang, b. Dalam hak asasi mengarah/mengutamakan lebih dahulu kepuasan batin (spiritual need) semua pihak yang dapat memberi kontribusi positif dan aktif pada kepuasaan lahir (biological need), c. Penjabaran/aplikasi hak asasi manusia berkembang terus seirama dengan perkembangan pikir, budaya, cita-cita manusia dan iptek, d. Manusia yang kehilangan hak asasi manusianya, ia hanya menjadi robot hidup yang hanya bernafas, 23

e. Keberadaan hak asasi manusia tetap melekat pada setiap orang untuk sepanjang hidupnya tanpa dapat diambil/dicabut kecuali ada pelanggaran atas aturan hukum yang berlaku lewat keputusan yang adil dan benar, f. Keberadaan negara antara lain untuk menghormati dan mempertahankan hak asasi manusia dengan kesepakatan bersama demi pengembangan martabat kemanusiaan, g. Kesadaran memiliki dan melaksanakan hak asasi harus dikaitkan pula dengan kewajiban asasi dan tanggungjawab asasi. Sebagaimana diketahui salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara hukum antara lain ditegakkannya hak asasi manusia agar cepat tercapai, kata Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh M. Hatta, negara hukum (Allgemeine Staatslehre) akan lahir apabila sudah dekat sekali identiteit der Staatsordnung mit der rechtsordnung identitas susunan negara dengan susunan hukum semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna. Dengan demikian negara hukum tanpa mengakui, menghormati sampai melaksanakan sendi-sendi hak asasi manusia tidak dapat dan tidak tepat untuk disebut sebagai negara hukum. Para ahli Eropa Kontinental (Eropa daratan) antara lain Emmanuel Kant, Julius Stahl menyebut rechtsstaat, sedangkan para ahli hukum Anglo Saxon (Inggris atau Amerika) memakai istilah Rule of Law. Stahl menyebut adanya 4 unsur dari rechtsstaat, yaitu: 1. Adanya pengakuan hak asasi manusia, 2. Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), 4. Adanya peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan dalam Rule of Law menurut A.V. Dicey mengandung 3 unsur, yakni: 1. Hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang, 2. Persamaan kedudukan di muka hukum (equality before the law), 3. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) dan tidak adanya kesewenangwenangan tanpa aturan yang jelas.

24

Hasil keputusan pertemuan para ahli hukum di Bangkok 1965 yang diselenggarakan oleh International Comission of Jurists, telah memperluas makna atau syarat Rule of Law sebagai berikut: 1. Adanya perlindungan konstitusional, 2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak, 3. Pemilihan umum yang bebas, 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, 5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroperasi, 6. Pendidikan warga negara (civil education).25 Hal tersebut menunjukkan adanya persamaan prinsip dengan ide hak asasi manusia yang dapat disimpulkan bahwa antara negara hukum dengan penegakan hak asasi manusia merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda. Hukum di dalam masyarakat yang semakin modern memerlukan sistem pemerintahan yang modern pula terutama dalam mengikutsertakan warga masyarakat. Negara dilihat dari sisi dan pendekatan hukum merupakan organisasi yang didirikan dan dipercaya untuk melindungi warga negaranya dengan hak menetapkan/menyusun seperangkat aturan hukum (baik tertulis maupun tidak) semata-mata demi kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran bersama serta berkewajiban dan bertanggungjawab atas pelaksanaannya secara objektif. Tugas dan kerja hukum, dikaitkan dengan asas hukum jelas sekali hubungannya. Istilah asas hukum (general principle of law) mengandung makna antara lain source, origin, basic truth of law (sumber, asal/asli, kebenaran dasar hukum). Menurut Sunariyati Hartono, Suatu asas hukum harus berperan sebagai sumber (source) atau asal (origin) yang mengandung suatu kaedah atau kebenaran dasar (basic truth) yang memberi arah pada penyusunan kaedah-kaedah hukum yang lebih konkrit sehingga seluruh bidang hukum merupakan satu kesatuan yang utuh.26 Karena itu dalam Bab XA UUD 1945 diatur tentang Hak Asasi Manusia, yakni pasalpasal 28A sampai dengan pasal 28J.
25 26

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta 1987, hal.60. Sunaryati Hartono, Peranan dan Kedudukan Asas-Asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional, FH UNPAR, Bandung, 1987, hal. 6.

25

Kalau asas-asas hukum tersebut sudah masuk ke dalam kaedah hukum positif atau dikonstitusionalkan, menurut Suriyati Hartono, semakin serasi kaedah hukum dengan asas hukum, dan semakin sesuai penerapan hukum dengan kaedah hukum positif, semakin kuat pula berlakunya asas-asas hukum nasional. Apabila kita hendak memperkuat nilainilai dan falsafah Pancasila, seyogyanyalah nilai-nilai itu dijabarkan secara konkrit dalam kaedah-kaedah dan pranata-pranata hukum agar pada gilirannya hukum nasional juga akan memperjelas dan mempertegas makna Pancasila itu.

26

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Bahwa hubungan antara hukum alam dan hak asasi bersifat integratif dalam arti antara hukum alam dan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan. Bicara soal hukum alam tidak dapat tidak, harus bicara dengan hak asasi manusia. Inti hukum alam tidak dapat lepas dengan ide/konsep moral/etika, keadilan dalam masyarakat/negara, justru hukum alam mendambakan keadilan seluruh alam. 2. Hukum di dalam masyarakat yang semakin modern memerlukan sistem pemerintahan yang modern pula terutama dalam mengikutsertakan warga masyarakat. Negara dilihat dari sisi dan pendekatan hukum merupakan organisasi yang didirikan dan dipercaya untuk melindungi warga negaranya dengan hak menetapkan/menyusun seperangkat aturan hukum (baik tertulis maupun tidak) semata-mata demi kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran bersama serta berkewajiban dan bertanggungjawab atas pelaksanaannya secara objektif. Tugas dan kerja hukum, dikaitkan dengan asas hukum jelas sekali hubungannya. B. SARAN

Berdasarkan ha-hal tersebut di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: Bahwa hukum di dalam masyarakat yang semakin modern memerlukan sistem pemerintahan yang modern pula terutama dalam mengikutsertakan warga masyarakat. Negara dilihat dari sisi dan pendekatan hukum merupakan organisasi yang didirikan dan dipercaya untuk melindungi warga negaranya dengan hak menetapkan/menyusun seperangkat aturan hukum (baik tertulis maupun tidak) semata-mata demi kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran bersama serta berkewajiban dan bertanggungjawab agar dilaksanakan secara objektif.

27

DAFTAR PUSATA

1. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Cet. 15, Kanisius, Yogyakarta, 1998. 2. H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002. 3. DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980. 4. A.P. dEntreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, 1963. 5. M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985. 6. Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983. 7. Gaston V. Rimlinger, Capitalism And Human Rights, Deadalus, 1983. 8. Kolakowski Leszek, Marxism and Human Rights, Deadalus, 1983. 9. Mansyur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. 10. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta 1987. 11. Sunaryati Hartono, Peranan dan Kedudukan Asas-Asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional, FH UNPAR, Bandung, 1987.

28

You might also like